Tradisi Bondang Dan Tantangan Globalisasi: Studi Kasus Di Desa Silo Lama, Kecamatan Air Joman, Kabupaten Asahan, Propinsi Sumatera Utara

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.2•Oktober 2005
TRADISI BONDANG DAN TANTANGAN GLOBALISASI:
Studi Kasus di Desa Silo Lama, Kecamatan Air Joman, Kabupaten Asahan, Propinsi Sumatera Utara
Edy Suhartono Aktivis Ornop – SPSU dan JALA
Abstrak Pengelolaan lahan pertanian tidak hanya menyangkut aspek teknis, tetapi biasanya juga kait-mengait dengan sistem budaya, sistem sosial, dan kepercayaan yang hidup di dalam suatu komunitas. Modernisasi pertanian selama beberapa dekade terakhir ini di satu sisi telah membawa dampak positif pada peningkatan produktivitas lahan pertanian, tetapi di sisi lain juga mengakibatkan hilangnya tradisi-tradisi lokal dalam pengelolaan pertanian. Tulisan ini menguraikan salah satu tradisi lokal yang masih bertahan hidup di tengah perubahan zaman menuju globalisasi, yaitu tradisi bondang di Asahan.
Kata kunci: bondang, ritus adat, tarikat

Gambaran Umum Desa Silo Lama merupakan salah satu
desa yang berada di Kecamatan Air Joman, Kabupaten Asahan, yang hingga saat ini masih menjalankan berbagai aktivitas adat di dalam sendi-sendi kehidupannnya. Salah satu aktivitas tersebut adalah dalam kegiatan pertanian. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat di daerah ini pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani. Berbeda dengan petani-petani pada umumnya, petani di desa ini memiliki keunikan tersendiri di dalam melaksanakan kegiatan bertani. Mereka pada umumnya masih bersandar pada nilai-nilai dan tradisi yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat tersebut. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada saat akan memulai aktivitas penanaman (disebut buka Bondang) serta pada saat akan melakukan panen (tutup Bondang). Apa yang menarik dari kegiatan ini adalah bahwa selain bersandarkan pada kearifan tradisional, konsep pertanian bondang ini ternyata cukup sinergis dengan upaya menciptakan keseimbangan lingkungan. Dalam rangka aktivitas pertanian Bondang ini petani tidak menggunakan sama sekali zat-zat

kimia maupun obat-obatan yang dapat mengakibatkan berbagai dampak pada kesehatan dan kerusakan lingkungan. Kegiatan pengolahan lahan pertanian dari mulai tanam hingga panen sepenuhnya dilakukan secara tradisional, tanpa menggunakan bahan-bahan kimia. Oleh sebab itu, sebagai salah satu bentuk kearifan tradisional masyarakat, tradisi Bondang ini penting untuk diselamatkan.
Desa Silo Lama terletak lebih kurang 20 km sebelah timur laut dari Kota Kisaran, sehingga mudah dicapai. Desa ini cukup dikenal, khususnya bagi masyarakat Asahan. Di desa inilah pernah berdiam seorang alim yang bernama Syekh Silo atau Syekh Haji Abdurrahman Urrahim bin Nakhoda Alang Batubara. Beliaulah yang pertama kali membuka hutan di kawasan ini yang selanjutnya menjadi cikal bakal desa, yakni Desa Silo Lama dan Desa Silo Bonto. Selain alim, beliau juga memiliki kemampuan untuk mengobati penyakit serta memberikan nasihat bagi warga yang membutuhkan. Karena kemampuannya ini, nama Syekh Silo cukup dikenal berikut Ajaran Tarekat Al Satariyah yang dipimpinnya.

102

Edy Suhartono

Tradisi Bondang dan Tantangan Globalisasi: Studi Kasus...

Ada beberapa kebiasaan hidup yang diajarkan oleh Syekh Silo kepada para pengikutnya; yang ini kemudian mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, yakni tradisi Jamu Laut dan Aktivitas Pertanian Bondang. Salah satunya yang akan diungkap di sini adalah aktivitas pertanian Bondang. Aktivitas pertanian ini merupakan bentuk kearifan tradisional masyarakat dalam rangka pengelolalan lingkungan hidup, khususnya di bidang pertanian. Acara ini dibuat dalam upaya membentuk tertib tanam padi serentak. Berdasarkan catatan almarhum Syekh Silo kegiatan pertanian Bondang ini sudah dilakukan sejak tahun 1925. Kegiatan ini merupakan perpaduan antara nilai-nilai yang terkandung di dalam agama Islam serta kepercayaan tradisional masyarakat terhadap adanya kekuatan gaib di dalam aktivitas pertanian.
Aktivitas Bondang Bondang adalah istilah dalam bahasa

Melayu untuk menyebut lahan. Aktivitas Bondang baik pada saat buka maupun tutup secara umum dapat dilihat dalam beberapa tahapan proses, yakni: (1) potong ayam; (2) nasehat dari tokoh adat tentang arti penting Bondang; (3) zikir dan do’a; (4) dialog dengan kekuatan gaib; (5) tepung tawar bibit. Kegiatan ini biasanya dimulai dengan penyembelihan ayam yang dibawa oleh warga desa di tempat tertentu. Darah sembelihan, tulang belulang sisa makanan serta kotoran hewan sembelihan diletakkan di tempat yang telah ditetapkan sebagai persembahan. Selanjutnya warga desa berkumpul di tempat tersebut dan membaca takhtim, takhlil, dan do’a serta menepungtawari benih yang dibawa oleh masing-masing warga. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan hasil panen yang memuaskan serta terhindar dari gangguan hama dan sebagainya. Selain pembacaan do’a bersama, juga dilakukan proses dialog antara seorang datuk dengan kekuatan gaib melalui medium yang terdiri dari beras (warna kuning dan putih) serta jagung yang diletakkan dalam satu wadah yang beralaskan daun. Di atas beras dan jagung ini kemudian diletakkan 4 buah telur (yang bagian atasnya telah dilubangi). Telur ini diletakkan bersisian, masing-masing dengan sebatang rokok dan wadah pembungkus yang terbuat dari daun. Rokok diletakkan di antara telur dan pembungkus daun. Kesemua perlengkapan

persyaratan ini, kemudian dimasukkan ke dalam tanah. Selanjutnya berlangsunglah proses dialog antara datuk dengan kekuatan gaib setempat.
Pada saat acara buka Bondang, do’a yang dipanjatkan biasanya berisi pengharapan agar bibit yang akan ditanam memberikan hasil yang memuaskan. Akan halnya proses dialog, isinya tidak jauh beda; yakni mengharapkan penjagaan dari kekuatan gaib agar tanamannya benar-benar memberikan hasil yang melimpah dan dihindarkan dari segala bentuk kesulitan yang mungkin terjadi; khususnya yang berasal dari dunia gaib. Sementara itu, pada acara tutup Bondang proses dan substansi acara tidak jauh berbeda, namun lebih ditekankan pada pengungkapan tanda rasa syukur atas hasil panen padi. Pada kedua acara (buka dan tutup Bondang) akan dipimpin oleh seorang pengetua adat (datuk), ustadz serta tokoh masyarakat.
Sebagai acara terakhir, setelah pembacaan do’a dan acara dialog dengan kekuatan gaib selesai dilanjutkan dengan acara tepung tawar; yakni menepungtawari bibit tanaman yang akan ditanam. Acara penepungtawaran ini sambil diiringi dengan teriakan “menjadi padi” maksudnya adalah agar bibit yang akan ditanam nantinya dapat benarbenar menghasilkan padi yang baik. Setelah seluruh prosesi acara selesai dilanjutkan dengan acara makan bersama.
Sistem Sosial Tak dapat dipungkiri bahwa kedudukan
Syekh Silo di seantero Asahan cukup dikenal baik, dan cukup mengakar khususnya di Desa Silo Lama. Sebagai pendatang serta perintis di daerah ini, kehadiran Syekh Silo cukup memberi pengaruh terhadap kehidupan di masyarakat. Hal ini terbukti dengan terbentuknya karakter dan kebiasaan hidup di masyarakat yang sepenuhnya mengacu dari ajaran dan aturan yang diterapkan oleh Syekh Silo. Sebagai misal, dalam hal ketaatan terhadap peraturan dan larangan yang telah ditetapkan, maka akan ada ganjaran atau hukuman yang sifatnya mendidik. Seperti larangan mencuri, tidak boleh berzina, tidak boleh mabuk-mabukan, tidak boleh berjudi, tidak boleh menipu. Setiap yang melakukan pelanggaran terhadap larangan yang telah ditetapkan akan dikenakan ganjaran; yang sifatnya mendidik.
Tinjauan secara etnisitas, warga masyarakat yang bermukim di desa ini sebagian

103

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.2•Oktober 2005

besar terdiri dari etnis Melayu dan Jawa serta Batak Toba dalam jumlah yang relatif lebih sedikit. Warga masyarakat di desa ini pada umumnya bekerja sebagai petani, di samping pekerjaan lain seperti pedagang, pegawai negeri, sektor informal dan home industry. Selain agama Islam, di desa ini juga terdapat penganut agama Kristen Protestan dan Katolik. Kedatangan suku bangsa Batak di daerah ini diperkirakan berasal dari daerah Tapanuli Utara pada masa penjajahan Belanda sebagaimana yang diungkap Cunningham dalam The Postwar Migration of Toba Batak to East Sumatra, (1958).
Meskipun Syekh Silo sudah tidak ada, namun ajaran-ajaran beliau melalui tarekat Al Satariyah yang diajarkan kepada masyarakat cukup mengakar dan mewarnai dinamika kehidupan sosial di dalam masyarakat. Seiring dengan perjalanan waktu, sosok dan kharisma Syekh Silo sebagai tokoh panutan di wilayah ini tampaknya akan ditentukan oleh waktu dan Jama’ah tarekat Al Satariyah yang ada di daerah ini. Sejauh tarekat ini masih eksis di tengahtengah masyarakat, maka dengan sendirinya sistem sosial yang sudah terbangun selama ini akan terus mampu bertahan. Hal ini sekaligus menentukan bagi hidup matinya tradisi Bondang sebagai sebuah momentum kegiatan pertanian yang merupakan warisan dari ajaran Syekh Silo.
Karena ajaran Al Satariyah cukup begitu kuat di daerah ini, yang inti ajarannya mengacu dan merupakan perluasan dari nilai-nilai ajaran Islam dengan sendirinya telah menjadi penopang dan sendi-sendi kehidupan di dalam masyarakat. Dengan kata lain, sistem sosial yang menjadi dasar bentukan kehidupan masyarakat sepenuhnya berada dalam kaidah nilai-nilai agama Islam. Oleh karenanya, realitas sistem sosial yang ada di desa ini sebenarnya bisa dilihat dari kehidupan di dalam jama’ah tarekat Al Satariyah.
Sistem Budaya Mengingat kuatnya pengaruh ajaran
Syekh Silo di desa ini, dengan sendirinya telah merasuk di dalam pola-pola kehidupan masyarakat. Jika sistem budaya dimaknai sebagai sistem perilaku, maka sistem budaya masyarakat di Desa Silo Lama identik dengan sistem nilai yang dibangun oleh Syekh Silo melalui tarekat Al Satariyah yang diajarkannya. Karena apapun alasannya sistem budaya

sebenarnya meliputi sistem dan pola-pola tingkah laku masyarakat yang menjadi suatu kebiasaan dan kecenderungan umum dari masyarakatnya.

Sistem budaya yang mengacu sistem dan pola-pola kelakuan masyarakat sesungguhnya implisit dan menjadi bagian integral dari sistem nilai budaya. Sistem nilai budaya inilah yang menjadi dasar bagi terbentuknya karakter dan kepribadian masyarakat. Pada masyarakat Desa Silo Lama, karakter dan kepribadian yang dilandasi oleh nilai-nilai hidup agama Islam sebenarnya cukup relevan dengan entitas Melayu sebagai sebuah etnik yang notabene nilai-nilai budayanya banyak merujuk pada agama Islam. Di sini terlihat betapa sistem nilai yang terkandung di dalam agama (baca: Islam) pada akhirnya mampu mewarnai corak dan nilai-nilai budaya Melayu.
Sebagai salah satu bentuk ekspresi dan manifestasi dari sistem budaya yang ada pada masyarakat Desa Silo Lama, dapat dilihat dari adanya budaya pencak silat yang merupakan kebudayaan tradsional yang acap dilakukan oleh masyarakat pada setiap bulan Syawal, tepatnya satu minggu setelah Hari Raya Idul Fitri. Kegiatan ini, selain dimaksudkan untuk menjaga dan membina kesehatan jasmani, pun juga dimaksudkan untuk untuk membina keluarga, hubungan kerabat, dan jama’ah. Budaya pencak ini pada dasarnya merupakan media bagi masyarakat khususnya jama’ah Al Satariyah untuk membina mental spritual dan fisik sekaligus berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam yang dirangkai dengan budaya dan seni beladiri Melayu.
Sistem Teknologi Salah satu sistem yang cukup
menunjang dalam kehidupan manusia adalah sistem teknologi. Sistem ini sedemikian rupa sehingga selalu saja mengikuti perkembangan zaman. Pada beberapa kelompok masyarakat, perkembangan sistem teknologi sangat dipengaruhi oleh sistem pengetahuan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Pada masyarakat Desa Silo Lama, sesuai dengan konteks sosial masyarakat serta latar geografi perkembangan peradabannya masih berada dalam konteks agraris. Relevan dengan kenyataan ini, maka teknologi yang berkembang adalah teknologi yang berbasis pada realitas agraris. Namun hingga saat ini, dengan masih

104

Edy Suhartono

Tradisi Bondang dan Tantangan Globalisasi: Studi Kasus...

eksisnya aktivitas Bondang, maka teknologi yang digunakan masyarakat di desa ini menggunakan teknologi sederhana, seperti cangkul, sabit, dan parang babat untuk membuka lahan. Penggunaan teknologi pertanian, dalam hal ini tetap dilihat sebagai alat untuk mempermudah, bukan merusak lingkungan yang ada.
Tradisi Bondang dan Tantangan Globalisasi Realitas Bondang merupakan salah satu
wujud dari bentuk-bentuk kearifan budaya lokal yang ada di Desa Silo Lama dan Desa Silo Bonto, Asahan. Tradisi ini begitu mengakar di tengah-tengah masyarakat, karena memang berpijak pada akar sejarah, budaya dan agama masyarakatnya. Hal ini menjadikan tradisi ini masih terus bertahan di tengah-tengah masyarakat. Persoalannya, apakah tradisi Bondang ini masih tetap seperti dulu; ataukah sudah mengalami berbagai pergeseran yang cukup signifikan. Sejauh ini memang belum dapat disimpulkan secara akurat. Karena memang belum dilakukan suatu penelitian yang bersifat intensif dan ilmiah.
Sebagai sebuah realitas sosial, Bondang menjadi sebuah realitas yang cukup fenomenal di tengah perkembangan arus modernisasi dan globalisasi dewasa ini. Karena hal ini menyangkut tradisi, maka sangat boleh jadi ia dimaknai sebagai sesuatu yang statis, karena merupakan warisan turun temurun dari generasi yang pertama. Ada banyak studi yang memfokuskan pada persoalan kearifan tradisional dalam kaitannya dengan konteks perubahan sosial. Ada ahli yang melihat tradisi sebagai sesuatu yang dinamis (Vayda, 1989). Dengan kata lain, akan selalu terjadi perubahan dengan adanya pergeseran, pengurangan dan penambahan tradisi sesuai dengan kondisi pola pikir pendukungnya. Dalam hal ini Calson (1984) menyatakan bahwa tradisi sebagai suatu proses yang tidak stabil, selalu berubah sesuai dengan kepentingan dan kondisi yang sedang berlaku. Senada dalam hal ini Frederick Barth (1987) menyatakan bahwa tradisi selalu mengalami perubahan dan bervariasi. Sementara, Daniel Lerner (1983) menegaskan bahwa semua gerakan perubahan sosial mengubah cara-cara di dalam mana umat manusia hidup sehari-hari. Proses modernisasi memiliki kekuatan untuk mengubah jalan hidup pribadi.

Sebagai sebuah bentuk kearifan tradisional masyarakat Melayu di Desa Silo Lama, Kec. Air Joman, Kabupaten Asahan, tradisi Bondang membuktikan bahwa cara bertani selaras alam dengan sendirinya membantu mencegah rusaknya lingkungan sebagai akibat penggunan zat-zat kimia yang berlebihan, baik pada struktur tanah maupun produk tanaman yang dihasilkan. Hal ini sekaligus ingin menegaskan bahwa arus modernisasi dan globalisasi yang saat ini begitu hebat mempengaruhi masyarakat ternyata tidak selamanya berlaku mutlak dan universal.
Persoalannya, meskipun petani di desa ini masih terus melalukan tradisi Bondang, namun sesungguhnya masih banyak persoalan yang dihadapi oleh petani di sini; yang ini jika tidak ditangani maka secara lambat laun akan berpengaruh pada keberlanjutan aktivitas tradisi Bondang. Beberapa permasalahan real yang kini dihadapi petani di desa ini adalah kesulitan dalam hal permodalan; penentuan harga gabah yang tidak menguntungkan; minimnya sarana penyimpanan hasil panen; tumbuh suburnya ijon; dan koperasi yang tidak berfungsi.
Dalam kaitan inilah kemudian, kehadiran Yayasan SINTESA selaku LSM yang melakukan kegiatan pendampingan dan pengorganisasian sejak lama telah berupaya untuk menjadikan tradisi Bondang sebagai wadah untuk melakukan kegiatan pemberdayaan dan kampanye bagi memasyarakatnya program Pertanian Organik (organic farming), tidak hanya di Desa Silo Lama tapi juga di daerah lainnya.
Kesimpulan dan Saran Sebagai sebuah aktivitas, tradisi

Bondang pada dasarnya merupakan percampuran antara kepercayaan pada kekuatan ghaib (saat dialog), adat (saat tepung tawar) dan keyakinan pada agama Islam (saat berdo’a). Boleh dikatakan bahwa hampir semua tradisi yang ada di negeri ini selalu menggambarkan realitas ini. Karenanya menarik untuk mengungkap signifikansi hubungan antara ritualitas adat, kepercayaan pada kekuatan gaib dan agama dalam wacana kebudayaan kita dalam mewujudkan keseimbangan lingkungan hidup yang ada disekitar kita. Jika kebudayaan dimaknai sebagai sesuatu yang dinamis, maka tradisi Bondang yang notabene mengakar pada keyakinan agama, kepercayaan,

105

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.2•Oktober 2005

dan adat istiadat akan menghadapi tantangan globalisasi serta modernisasi yang semakin kerap melanda kebudayaan manusia; yang sewaktu-waktu dapat menggerus tradisi ini dari tengah-tengah masyarakat. Persoalannya, sejauhmana tradisi Bondang ini mampu terus bertahan? tentunya ini sangat tergantung pada

masyarakat pendukungnya. Harapannya, tentu, melalui identifikasi dan dokumentasi tradisi Bondang ini, nilai-nilai positif, khususnya dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup yang selaras dengan alam dan berkelanjutan dapat terus dipertahankan.

Daftar Pustaka

Bunch, Roland. 1991. Dua Tongkol Jagung: Pedoman Pengembangan Pertanian Berpangkal pada Rakyat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Joachim Metzner & N. Daldjoeni (Penyunting).1987. Ekofarming: Bertani Selaras Alam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Lerner, Daniel. 1983. Memudarnya Masyarakat Tradisional. Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada University Press.

Lister Berutu dkk. 1998. Tradisi dan Perubahan: Konteks Masyarakat Pakpak Dairi. Medan: Penerbit Monora.


Usman Pelly. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: Penerbit LP3ES.

Ecology and Farming, Magazine No. 14, Januari – April 1997, IFOAM, Germany, 1997.

Bulletin SADAR, No. I/Desember 1992, Yayasan SINTESA, Kisaran, 1992.

Bulletin SADAR, No. II/Oktober 1993, Yayasan SINTESA, Kisaran, 1993.

Monografi Desa Silo Lama, 1994.

Monografi Desa Silo Bonto, 1997.

Riwayat Hidup dan Perjuangan Syekh Abdurrahman Silau (Syekh Silau Laut), diterbitkan dalam rangka Haul setengah abad (ke – 50) , 24 Desember 1989.

106