Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kepemilikan dan Penjualan Senjata Api Serta Amunisi Ilegal Oleh Masyarakat Sipil (Studi Putusan Nomor 3550/Pid.B/2006/PN.Mdn)

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEPEMILIKAN DAN PENJUALAN SENJATA API SERTA AMUNISI

ILEGAL OLEH MASYARAKAT SIPIL (Studi Putusan Nomor 3550/Pid.B/2006/PN.Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

MUHAMMAD HERU NIM:060200018

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEPEMILIKAN DAN PENJUALAN SENJATA API SERTA AMUNISI

ILEGAL OLEH MASYARAKAT SIPIL (Studi Putusan Nomor 3550/Pid.B/2006/PN.Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

MUHAMMAD HERU NIM:060200018

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujuin Oleh:

Ketua Departem

196107021989031001 Abul Khair,SH.M.Hum

`Pembimbing I Pembimbing II

Muhammad Nuh,SH.M.Hum

19480801198003100 19600317199803100 Alwan,SH.M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kepemilikan dan Penjualan Senjata Api Serta Amunisi Ilegal Oleh Masyarakat Sipil (Studi Putusan Nomor 3550/Pid.B/2006/PN.Mdn).

Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam pembuatan skripsi ini penulis tidak sendirian, ada banyak pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada :

1. Bapak Prof. Runtung, S.H.M.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Suhaidi, S.H.M.Hum, selaku Pembangu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syarifuddin, S.H.M.Hum, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Muhammad Husni, S.H.M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara beserta seluruh dosen pengajar dan staf pegawai, yang mendukung penulis dalam perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Ibu Nurmalawaty, S.H.M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum pidana, yang mendukung penulis dalam pemilihan judul dan penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Bapak Muhammad Nuh, S.H.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang membimbing dan mendukung penulis dalam masa penulisan sampai penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Alwan, S.H.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang membimbing dan mendukung penulis dalam masa penulisan sampai penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak Sunarto Ady Wibowo, selaku dosen wali penulis yang telah membimbing penulis selama menjalankan perkuliahan di Fakultas HukumUniversitas Sumatera Utara.

7. Segenap Dosen Fakultas Hukum USU yang telah memberikan saya ilmu, para pegawai fakultas hukum, pengurus perpustakaan judisium fakultas hukum, kantin bunda, kantin prm, kantin ME, dan Unit Pelayanan Komputer.

8. Sembah sujud anakmu kepada ayah ibu tercinta yang melahirkan saya ke dunia ini, Ayahanda IPDA Aspan dan Ibunda Nilawati Yatim, yang telah membesarkan saya sehingga saya sampai pada masa sekarang ini, bakti anakmu ini kupersembahkan untuk keduanya.

9. Kepada saudara-saudaraku tercinta, abang-abangku tersayang, Asnil Arif dan Harry Agus Perdana, yang selalu menjaga saya, sebagai adik bungsu.


(5)

10.Organisasi yang telah membesarkan saya dalam berorganisasi: BTM Alladinsyah, SH, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), PERMAHI, beserta seluruh anggota dan presidiumnya

11.Senior saya: Ahmad Alamududy Amri, SH, Irma Latifah Sihite, SH, Diki Elnanda Chaniago, SH, Mayasari, SH, Zulkifli, SH, Anggraini Fajrin, SH yang banyak member saya tips dan trik untuk berkuliah selama ini.

12.Teman-teman terdekat saya: Anov, Adli, Rudi, Ramos, Radinal, Husnul, Ani, Jefri, Kukuh, Darwin, Annisa, Archiman, Ahmad Solob, Nanda, Sudirman, Herman Chandra, Wina, Yusuf, Harianto, Rahmat Arifin Mendrofa, Rizki Kurnia dan seluruh teman- teman fakultas hukum USU stambuk 2006

13.Adik-adik junior saya: Agmal, Miranda, Teo, Rina, Karin, Ami, Farid, Ferdiansyah, Ferdinand, Lia, Berliana, Fiqa, Lidya, Ragil, Bin, Adhari, Rozy, semoga kalian bisa menjadi lebih maju dan hebat dari saya

14.Seluruh personil MCC UII yang bersama-sama berjuang dan bergembira bersama.

15.Kepada dia yang selalu membuat saya tersenyum, I love u.

16.Warnet Surbakti sebagai tempat berkumpul dan bermain, Rental nasional yang banyak membantu, dan Warnet Opium yang ramah terhadap user

17.Seluruh dan segenap pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu dalam kesempatan ini, semoga Allah membalas kebaikan kalian semua


(6)

Terima kasih saya ucapkan untuk kalian semua, karena memberikan saya ilmu kehidupan, kasih sayang, bekal, cinta, perhatian, kebersamaan, dan kenangan dalam sejarah hidup saya.

Medan, 01 Mei 2010


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI ………...iv

ABSTRAKSI………vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….1

B. Rumusan Masalah ………...3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………...4

D. Keaslian Penulisan ……….5

E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian dan Unsur Tindak Pidana ………..5

2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana……….. 20

3. Pengertian dan Jenis-Jenis Senjata Api ………...27

F. Metode Penelitian ……….32

G. Sistematika Penulisan ………...35

BAB II PENGATURAN KEPEMILIKAN SENJATA API BAGI MASYARAKAT SIPIL A. Masyarakat Sipil yang Berhak Memiliki Senjata Api ……40

B. Prosedur Penggunaan Senjata Api Bagi Masyarakat Sipil dan Prosedur Kepemilikan Senjata Api……….42

C. Tujuan Pengaturan Penggunaan Senjata Api Bagi Masyarakat Sipil ……….51


(8)

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA KEPEMILIKAN SENJATA API ILEGAL

A. Penyalahgunaan Senjata Api ……….52

B. Hal-Hal yang Menyebabkan Masyarakat Menggunakan Senjata Api Ilegal dan Faktor-Faktornya..……….59

C. Perdagangan senjata Api………62

BAB IV KASUS TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEPEMILIKAN SENJATA API DAN AMUNISI OLEH MASYARAKAT SIPIL A. Kasus 1. Kasus Posisi ……….67

2. Dakwaan ………..68

3. Tuntutan ………..70

4. Putusan ………77

B. Analisa Kasus ………81

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ………85

B. Saran ……….86

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

ABSTRAK Oleh: Muhammad Heru1 Muhammad Nuh,SH.M.Hum2

Alwan,SH.M.Hum3

1

Mahasiswa Fakultas Hukum USU Departemen Hukum Pidana 2

Dosen Pembimbing I 3

Dosen Pembimbing II

Kalau kita membaca di masa media seperti surat kabar, majalah, televisi maka kita dapat melihat bahwa hampir setiap hari memuat berita berbagai kasus kejahatan itu ada yang berhasil diungkapkan dan ada pula yang belum berhasil diungkapkan. Kalau kita perhatikan maka nampak beberapa jenis kejahatan itu cenderung meningkat baik dari segi kwantitas maupun kwalitas, selanjutnya pada akhir-akhir ini berbagai macam kejahatan itu terjadi dengan mempergunakan alat canggih. Di samping teknik kejahatannya itu sendiri sudah terorganisir dengan baik dan tersusun rapi.

Terjadinya kejahatan yang mengarah ketindakan yang sadis dan brutal mengakibatkan timbulnya ganguan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat, juga berakibat timbulnya keresahan di tengah-tengah masyarakat. Sering terjadi tindak kejahatan tersebut dilakukan dengan menggunakan senjata api. Peredaran senjata api di Indonesia belakangan terlihat terjadi adanya peningkatan, hal ini terindikasi dengan banyak muncul kasus – kasus penyalahgunaan senjata api di masyarakat. Peredaran senjata api ilegal hingga sampai kepada masyakat tentu tidak terjadi begitu saja, beberapa sumber penyebab terjadinya yang berkaitan dengan peredaran senjata api yaitu penyeludupan dan pasokan dalam negeri.

Secara normatif, Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup ketat menerapkan aturan kepemilikan senjata api. Ada sejumlah dasar hukum yang mengatur mengenai hal ini, mulai dari level undang-undang yakni UU Darurat No. 12 Tahun 1951,dan Perpu No. 20 Tahun 1960. Selebihnya adalah peraturan yang diterbitkan oleh Kepolisian, Kapolri No. SK Kepala Polri Nomor 82 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Non-Organik.Hukuman terhadap kepemilikan senjata ap tanpa izin juga cukup berat. Dalam UU Darurat No12.Tahun 1951 disebutkan hukuman masksimal terhadap kepemilikan senjata api tanpa izin adalah maksimal hukuman mati,hukuman seumur hidup dan 20 tahun penjara .

Penulisan Skripsi ini diberi judul Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kepemilikan Dan Penjualan Senjata Api Serta Amunisi Ilegal Oleh Masyarakat Sipil (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor:3550/Pid.B/2006/PN.Mdn).Metode Penelitian yang digunakan Pada Penulisan ini adalah Kepustakaan dan Penelitian Lapangan. Penelitian Kepustakaan adalah Penelitian yang dilakukan meneliti bahan –bahan kepustakaan khususnya peraturan perundang-undangan .Sedangkan penelitian lapangan adalah yaitu penelitian yang dilakukan dengan dengan mendatangi objek penelitian untuk mengadakan wawancara.


(10)

ABSTRAK Oleh: Muhammad Heru1 Muhammad Nuh,SH.M.Hum2

Alwan,SH.M.Hum3

1

Mahasiswa Fakultas Hukum USU Departemen Hukum Pidana 2

Dosen Pembimbing I 3

Dosen Pembimbing II

Kalau kita membaca di masa media seperti surat kabar, majalah, televisi maka kita dapat melihat bahwa hampir setiap hari memuat berita berbagai kasus kejahatan itu ada yang berhasil diungkapkan dan ada pula yang belum berhasil diungkapkan. Kalau kita perhatikan maka nampak beberapa jenis kejahatan itu cenderung meningkat baik dari segi kwantitas maupun kwalitas, selanjutnya pada akhir-akhir ini berbagai macam kejahatan itu terjadi dengan mempergunakan alat canggih. Di samping teknik kejahatannya itu sendiri sudah terorganisir dengan baik dan tersusun rapi.

Terjadinya kejahatan yang mengarah ketindakan yang sadis dan brutal mengakibatkan timbulnya ganguan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat, juga berakibat timbulnya keresahan di tengah-tengah masyarakat. Sering terjadi tindak kejahatan tersebut dilakukan dengan menggunakan senjata api. Peredaran senjata api di Indonesia belakangan terlihat terjadi adanya peningkatan, hal ini terindikasi dengan banyak muncul kasus – kasus penyalahgunaan senjata api di masyarakat. Peredaran senjata api ilegal hingga sampai kepada masyakat tentu tidak terjadi begitu saja, beberapa sumber penyebab terjadinya yang berkaitan dengan peredaran senjata api yaitu penyeludupan dan pasokan dalam negeri.

Secara normatif, Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup ketat menerapkan aturan kepemilikan senjata api. Ada sejumlah dasar hukum yang mengatur mengenai hal ini, mulai dari level undang-undang yakni UU Darurat No. 12 Tahun 1951,dan Perpu No. 20 Tahun 1960. Selebihnya adalah peraturan yang diterbitkan oleh Kepolisian, Kapolri No. SK Kepala Polri Nomor 82 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Non-Organik.Hukuman terhadap kepemilikan senjata ap tanpa izin juga cukup berat. Dalam UU Darurat No12.Tahun 1951 disebutkan hukuman masksimal terhadap kepemilikan senjata api tanpa izin adalah maksimal hukuman mati,hukuman seumur hidup dan 20 tahun penjara .

Penulisan Skripsi ini diberi judul Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kepemilikan Dan Penjualan Senjata Api Serta Amunisi Ilegal Oleh Masyarakat Sipil (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor:3550/Pid.B/2006/PN.Mdn).Metode Penelitian yang digunakan Pada Penulisan ini adalah Kepustakaan dan Penelitian Lapangan. Penelitian Kepustakaan adalah Penelitian yang dilakukan meneliti bahan –bahan kepustakaan khususnya peraturan perundang-undangan .Sedangkan penelitian lapangan adalah yaitu penelitian yang dilakukan dengan dengan mendatangi objek penelitian untuk mengadakan wawancara.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan zaman pada saat ini mengalami kemajuan pertumbuhan yang sangat pesat,tidak hanya didunia teknik industri dan perdagangan tetapi juga dalam dunia hukum.perkebangan zaman diikuti juga oleh perkembangan tingkat kejahatan dimana perkembanagn tingkat kejahatan dipengaruhi oleh peredaran senjata api ilegal.senjata api pada dasarnya dapat dimiliki oleh masyrakat sipil tetapi melalu proses yang cukup panjang.

Secara normatif, Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup ketat menerapkan aturan kepemilikan senjata api untuk kalangan sipil. Ada sejumlah dasar hukum yang mengatur mengenai hal ini, mulai dari level undang-undang yakni UU Darurat No. 12 Tahun 1951,UU No 8 Tahun 1948 dan Perpu No. 20 Tahun 1960. Selebihnya adalah peraturan yang diterbitkan oleh Kepolisian, seperti SK Kapolri No. Skep/244/II/1999 dan SK Kepala Polri Nomor 82 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Non-Organik. Berdasarkan SK tahun 2004, persyaratan untuk mendapatkan senjata api ternyata relatif mudah. Cukup dengan menyerahkan syarat kelengkapan dokumen seperti KTP, Kartu Keluarga, dan lain-lain, seseorang berusia 24-65 tahun yang memiliki sertifikat menembak dan juga lulus tes menembak, maka dapat memiliki senjata api. SK tersebut juga mengatur bahwa individu pemilik senjata api untuk keperluan pribadi dibatasi minimal setingkat Kepala Dinas atau Bupati untuk kalangan pejabat pemerintah, minimal Letnan Satu untuk kalangan angkatan bersenjata, dan pengacara atas rekomendasi Departemen Kehakiman.


(12)

Seiring dengan meningkatnya kejahatan dengan senjata api, pada tahun 2007 Kapolri Sutanto mengeluarkan kebijakan penarikan senjata api yang dianggap ilegal. Senjata api ilegal adalah senjata yang tidak sah beredar di kalangan sipil, senjata yang tidak diberi izin kepemilikan, atau senjata yang telah habis masa berlaku izinnya. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, izin kepemilikan senjata api di Indonesia dibatasi hingga satu tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. Gerakan Polri ini bertujuan untuk mengurangi kepemilikan senjata api oleh sipil karena banyak penyalahgunaan senjata api oleh masyarakat. Meskipun sudah ada upaya preventif dengan mewajibkan calon pemilik mengikuti psikotes terlebih dahulu sebelum mendapat izin kepemilikan senjata. 4

Perkelahihan,pertikaian dan perampokan Semua ini tidak lepas dari masih adanya peredaran senjata api ilegal yang ada di masyarakat, baik standar atau rakitan. Dengan memiliki senjata api, setiap orang merasa memiliki kekuatan yang cukup untuk menyerang “musuhnya”, tanpa mereka sadar bahwa “musuhnya” juga memiliki senjata api yang sama. Sebagai akibatnya beberapa nyawa melayang dengan sia-sia. Dengan menyadari bahwa kepemilikan senjata api ilegal bisa mendorong ke arah ke arah terjadinya pertikaian atau lebih jauh lagi kerusuhan (antar orang, antar penduduk, antar golongan, antar agama), maka sudah sepantasnya setiap orang, dengan kesadarannya menyerahkan senjata api mereka kepada aparat, baik kepada polisi atau kepada TNI. Kepemilikan senjata api secara tidak sah dapat dikenai sangsi hukum, sedangkan aparat sudah

4


(13)

memberikan jaminan untuk tidak memberikan tuntutan hukum kepada mereka yang menyerahkan senjata api mereka secara suka rela.

Motif warga sipil menguasai senjata api secara ilegal memang bermacam-macam.Dalam situasi perang terbuka, motifnya jelas"membunuh atau dibunuh". Dalam kasusk kekerasan bersenjata, sejak Mei 2000,hingga pra Deklarasi Malino, Desember2001, motif ini jelas sangat menonjol.Motif ini juga masih terungkap dalam sejumlah kasus kekerasan bersenjatapaska Deklarasi Malino.Dalam situasi yang relatif damai,sebagian warga tetap menguasai senjata api.Alasannya sederhana, karena sama sekali tidak mempercayai jaminan keamanan dari aparat keamanan. Mereka menyatakan terpaksa memiliki senjata api secara ilegal,karena tidak ada kepastian keamanan.Mereka tidak ingin menjadi korbankekerasan bersenjata.Bagi para penjahat jelas senjata api digunakan untuk memudahkan niat jahatnya.

B. RUMUSAN MASALAH

Pokok materi pembahasan guna memperoleh kesimpulan tujuan pembahasan suatu karya ilmiah tergambar dalam permaslahan yang dikemukakan.Oleh karena itu,sehubungan dengan judul di atas,berikut penulis akan mengemukakan rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu:

1. Bagaimana pengaturan mengenai kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil?

2. .faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kepemilkan senjata api ilegal? 3. bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilkan dan


(14)

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui bagaimana pegaturan kepemilkan senjata api bagi masyarakat sipil. Terutama yang diatur dalam hukum pidana materil maupun formil.

b. untuk mengetahui faktor-faktor apa saja menyebabkan terjadinya senjata api secara ilegal,sehingga dapat diantisipasi peredarannya sekaligus dapat meminalisir dampak dari kepemilikan senjata api ilegal.

c. untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap kepemilikan senjata api ilegal ditinjau dari analisa putusan nomor 3550/Pid.B/2006/PN.Mdn .

Penulisan ini dapat bermanfaat secara teoritis dan praktis ,secara praktis penulisan ini bermanfaat bagi:

a. Masyarakat secara umum guna memberi informasi mengenai dampak dari kepemilkan dan penjualan senjata api ilegal, sehingga masyarakat dapat membantu aparat kepolisian dalam menagani penyebaran senjata api ilegal.

b. Aparat penegak hukum dan pemerintah, yang bertujuan untuk menegakan sendi-sendi hukum pidana dan menjaga ketertiban.memberi masukan kepada aparat penegak hukum mengenai upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi tindak


(15)

pidana kepemilikan dan penjualan senjata api ilegal oleh masyarakat sipil.

Secara teoritis penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pakar hukum,civitas akademika dan para ilmuwan lainya dalam memberikan sumbangsih literatur dan referensi berkaitan dengan kepemilkan senjata api ilegal oleh masyarakat sipil.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang diberi judul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kepemilikan Dan Penjualan Senjata Serta Amunisi Ilegal Oleh Masyarakat Sipil (Studi Putusan Nomor 3350/Pid.B/2006/PN.Mdn)” ini merupakan penulisan asli yang belum pernah terdapat dalam literatur manapun.Sepengetahuan penulis belum ada penulis lain yang mengemukakanya, dan penulis telah mengkonfirmasikanya kepada Sekretarian Departemen Pidana.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Dan Unsur-unsur Tindak Pidana

A. Pengertian tindak pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “Straftbaar Feit”, Strafbar Feit terdiri dari 3 (tiga) kata yakni Straf,

Baar dan Feit. Straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, perkataan baar

diterjemahkan sebagai dapat dan boleh sedangkan kata feit diterjemahkan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Istilah tindak pidana telah lazim


(16)

digunakan dan merupakan istilah resmi dalam perundang-undangan.5

Tindak menunjuk pada hak kelakuan manusia dalam arti positif (handelen). Padahal pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif.

Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, walaupun masih diperdebatkan ketetapatannya.

6

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak ditemukan definisi tindak pidana. Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk mengenai pertanggungjawaban. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya melakukan suatu perbuatan, yang kemudian apakah orang yang telah melakukan perbuatan tersebut dapat dipidana atau tidak. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum.

Perbuatan aktif maksudnya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan atau diisyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP atau merusak yang diatur dalam Pasal 406 KUHP. Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun, dimana seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misal perbuatan tidak menolong sebagaimana diatur dalam Pasal 531 KUHP atau perbuatan membiarkan yang diatur dalam Pasal 304 KUHP.

5

Drs.Adami Chazawi,SH.Pelajaran Hukum Pidana Bagian I,Jakarta,Raja Grafindo Persada,2002,hal 67

6


(17)

Simon mengatakan bahwa straftbaar feit adalah kelakukan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.7

7

Adami Chazawi ,op.cit,Hal 26

Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa straftbaar feit adalah kelakukan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

Menurut ahli hukum pidana Indonesia, Komariah E. Saprdjaja bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.

Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya diletakkan sanksi pidana. Dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.

Terdapat pemisahan antara pertanggungajwaban pidana dan tindak pidana, yang dikenal dengan paham dualisme, yang memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana.

Para ahli hukum umumnya mengidentifikasi adanya tiga persoalan mendasar dalam hukum pidana. Saner, berpendapat bahwa hal itu berkaitan dnegan, onrecht, schuld, dan strafe. Sementara itu, packer menyebut ketiga masalah tersebut berkenaan dengan crime, responsibility, dan panishment.


(18)

Menurut Soedarto, persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu, dan pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu. Dengan kata lain, masalah mendasar dalam hukum pidana berhubungan dengan persoalan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Pembedaan ini, menimbulkan konsepsi yang bukan hanya perlu memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungajwaban pidana, tetapi lebih jauh memisahkan pertanggungjawaban pidana dengan pengenaan pidana. Berdasarkan hal ini pengkajian juga diarahkan untuk mendalami bagaiman teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seharusnya diterapkan dalam mempertanggungjawabkan dan mengenakan pidana terhadap pembuat tindak pidana. Dengan kata lain, perlu pengkajian untuk menemukan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana.

Teori yang memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana bertitik tolak dari pandangan bahwa, unsur tidak pidana hanyalah perbuatan, dengan demikian aturan mengenai tindak pidana mestinya sebatas menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Aturan hukum mengenai tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang daam hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain diluar kategori tersebut.

Dengan adanya aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali perbuatan-perbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain,

the rules which all of you us what we can and cannot do. Aturan tersebut


(19)

itu, ditinjau dari tujuan-tujuan prevensi, aturan hukum yang memuat rumusan tindak pidana juga berfungsi sebagai peringatan bagi masyarakat untuk sejauh mungkin menghindar dari melakukan perbuatan tersebut, mengingat ancaman pidana yang dilekatkan padanya. Aturan tersebut berisi pedoman bertingkah laku bagi masyarakat, sehingga dilihat dari segi represif tekanannya lebih banyak pada fungsi perlindungan individu dari kewenang-wenangan penguasa.

Sedangkan aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorag sehingga sah jika dijatuhi pidana. Tekanannya justru pada fungsi melegitimasi tindakan penegak hukum untuk menimpakan nestapa pada pembuat tindak pidana. Dengan keharusan untuk tetap menjaga kesimbangan antara tingkat ketercelaan seseorang karena melakukan tindak pidana dan penetuan berat ringannya nestapa yang menjadi konsekuensinya.

Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana merupakan saringan pengenaan pidana, yaitu hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang memiliki kesalahan dan pidana yang dikenakan sebatas kesalahannya tersebut.

Tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, apabila dilihat dari konsep sistem hukum sebagaimana dikemukakan Hart, juga menyebabkan kedua hal tersebut berada pada struktur aturan yang terpisah. Dikatakannya “primary laws

setting standards for behavior and sencodary laws specifying what officals must or may do when they are broken. 8

8

Chairul huda,Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan,Prenada Media.Jakarta.2006 .hal 28


(20)

Suatu tindak pidana adalah suatu perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidanan berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Dalam defenisi-defenisi tersebut, unsur kesalahan telah dikeluarkan, sehingga tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan saja. Perbuatan disini berisi kelakukan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakukan atau kelakukan dan akibatnya. Kelakukan juga terdiri dari melakukan sesuatu (komisi) dan tidak melakukan sesuatu (omisi). Dengan demikian, tindak pidana merupakan perbuatan melakukan sesuatu, perbutan tidak melakukan sesuatu, dan menimbulkan akibat, yang dilarang oleh undang-undang.

Pengertian tersebut di atas, dalam pasal 11 Rancangan KUHP dirumuskan dengan “tindak pidana” adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.9

Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaiman di negara-negara civil law lainnya, tindak pidana umumnya dirumsukan dalam kodifikasi. Namun demikian, sejauh ini tidak terdapat ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara bagiamana merumuskan suatu tindak pidana. Tidak mengherankan apabila terdapat berbagai rumusan tindak pidana yang memuat hal-hal di luar karakteristik perbuatan dan Dapat ditegaskan, sepanjang berkenaan dengan perumusan defenisi tindak pidana, pikiran-pikiran untuk memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana telah menjadi bagian pembaruan hukum pidana Indonesia, dengan diadopsi dalam Rancangan KUHP.

9 Ibid


(21)

sanksi atas perbuatan tersebut. Dalam hal ini, berbagai tindak pidana terutama yang terdapat dalam KUHP, perumusannya tidak sejalan dengan teori pemisahan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Tindak pidana pertama-tama berisi larangan terhadap perbuatan. Dengan demikian, pertama-tama suatu tindak pidana berisi larangan terhadap kelakuan-kelakuan tertentu. Dengan delik-delik omisi, larangan ditujukan kepada tidak diturutinya perintah. Dengan demikian, norma hukum pidana berisi rumusan tentang suruhan untuk melakukan sesuatu. Dalam hal tindak pidana materil, larangan ditujukan kepada penimbulan akibat. Tindak pidana berisi rumusan tentang akibat-akibat yang terlarang untuk diwujudkan.

Ketika tindak pidana berisi rumusan tentang dilarangnya suatu omisi, maka pada hakikatnya undang-undang justru memerintahkan setiap orang melakukan sesuatu, apabila mendapati keadaan-keadaan yang juga ditentukan dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian, rumusan tentang tindak pidana berisi kewajiban, yang apabila tidak dilaksanakan pembuatnya diancam dengan pidana. Kewajiban disini, menurut Wilson bukan hanya bersumber dari ketentuan undang-undang, dapat kewajiban tersebut timbul dari suatu perjanjian ataupun kewajiban yang timbul di luar perjanjian, atau kewajiban yang timbul dari hubungan-hubungan yang khusus, atau kewajiban untuk mencegah keadaan bahaya akibat perbuatannya, bahkan kewajiban-kewajiban lain yang timbul dalam hubungan sosial.10

10

Ibid hal 30


(22)

B. Unsur-unsur tindak pidana

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dari dua sudut pandang yaitu : a. Unsur tindak pidana dari sudut teoritis

Menurut Moeljatno, unsur tidak pidana adalah 11 1. Perbuatan

2. Yang diarang (oleh aturan hukum)

3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan)

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan hukum. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataan benar-benar dipidana. Pengertian diancam adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana.

Tresna menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah :12 1. Perbuatan atau rangkaian perbuatan

2. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan 3. Diadakan tindakan penghukuman

Dari unsur ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan dengan demikian dijatuhi pidana. Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertenttangan dengan undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu tidak

11

Adami Chazawi,Op.cit,hal 79. 12


(23)

terdapat kesan perihak syarat-syarat (subyektif) yang melekat pada orangnya untuk dijatuhkannya pidana.

Sedangkan menurut Vos unsur-unsur tindak pidana adalah :13 1. Kelakuan manusia

2. Diancam dengan pidana

3. Dalam peraturan perundang-undangan

Dari rumusan-rumusan tindak pidana dalam KUHP itu, maka dapat diketahui adanya 8 (delapan) unsur tindak pidana, yaitu :

1. Unsur tingkah laku

Tindak pidana adalah mengenai larangan berbuat, oleh karena itu perbuatan tingkah laku harus disebutkan dalam rumusan. Tingkah laku unsur mutlak tindak pidana. Jika ada rumusan tindak pidana tanpa mencantumkan unsur tingkah laku, misalnya Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan adalah suatu pengecualian dengan alasan tertentu dan tidak berarti tindak pidana itu tidak terdapat unsur perbuatan, unsur itu telah ada dengan sendirinya didalamnya, dan wujudnya tetap harus dibuktikan di sidang pengadilan untuk menetapkan telah terjadinya penganiayaan.

2. Unsur sifat melawan hukum

Melawan hukum adalah suatu sifat tercela atau terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada Undang-undang (melawan hukum formil) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan hukum materil). Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan

13 Ibid


(24)

bertentangan dengan asas-asas hukum masyarakat, maka sifat tercela tersebut tidak tertulis. Seringkali sifat tercela dari suatu perbuatan itu terletak pada kedua-duanya, seperti perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) pada pembunuhan, adalah dilarang baik dalam undang-undang maupun menurut masyarakat.

Dari sudut undang-undang, suatu perbuatan tidaklah mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang (wederrechtelijk) dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundang-undangan. Berpegang pada pendirian ini, maka setiap perbuatan yang ditetapkan sebagai dilarang dengan mencantumkannya dalam peraturan perundang-undangan (menjadi tindak pidana), tanpa melihat apakah unsur melawan hukum itu dicantumkan atauhkah tidak dalam rumusan maka dengan demikian tindak pidana itu sudah mempunyai sifat melawan hukum, artinya melawan hukum adalah unsut mutlak dari tindak pidana.

Mencatumkan secara tegas unsur sifat melawan hukum dalam suatu rumusan tindak pidana didasarkan pada suatu alasan tertentu, sebagaimana tercermin dalam keterangan risalah penjelasan Wvs Belanda, ialah adanya kekhawatiran bagi pembentuk Undang-undang, jika tidak dimuatnya unsur melawan hukum, akan dapat dipidananya pula perbuatan lain yang sama namun tidak bersifat melawan hukum. Adalah wajat dan dapat dimengerti pendirian pembentuk Undang-undang ini, mengingat hukum pidana menganut sifat melawan hukum formil dalam hal pemidanaan (dalam arti positif) sebagaimana termuat secara tegas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.


(25)

Sifat terlarang yang bagaimana yang harus dibutikan tidak sama bagi setiap tindak pidana, dan bergantung pada redaksi rumusan dan paham yang dianut, contohnya sifat terlarang dalam perbuatan mengambil pada pencurian, bagi paham sifat melawan hukum obyektif adalah terletak pada tidak ada izin dari sipemilik benda, dan inilah yang harus dibuktikan. Tetapi bagi paham melawan hukum subyektif, melihat dari rumusan (maksud untuk memiliki dengan melawan hukum), yang harus dibuktikan ialah keadaan batin ketika sebelum berbuat, ialah berupa kesacaran bahwa mengambil barang milik orang lain itu adalah terlarang atau tercela. Unsur batinlah yang menyebabkan perbuatan mengambil tersebut menjadi bersifat melawan hukum, karena slain tercela menurut masyarakat juga tercela menurut undang-undang.

3. Unsur Kesalahan

Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat subyektif. Dalam hal ini berbeda dengan unsur melawan hukum yang dapat bersifat obyektif dan dapat bersifat subyektif, bergantung pada redaksi rumsuan dan sudut pandang terhadap rumusan tindak pidana tersebut.

Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah berupa unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum perbuatan dengan si pelaku. Hanya dengan adanya hubungan antara ketiga unsut tadi dengan keadaan batin pembuatnya inilah, pertanggungjawaban dapat


(26)

dibebankan pada pelaku. Dengan demikian maka terhadap pelaku tadi dijatuhi pidana. Adapun yang termasuk kesalahan dalam arti luas adalah :

a. Kesengajaan

Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai kesengajaan. Didalam memori van Toelichting (MvT) WvS Belanda ada sedikit keterangan mengenai ksengajaan, yang menurut Moeljatno menyatakan “Pidana pada umumnya hendaknya hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui.

Kesegajaan ada 3 (tiga) bentuk, yaitu : 14 1. Kesengajaan sebagai maksud,

Sama artinya dengan menghendaki unuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif), dan juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materil).

2. Kesenjangan sebagai kepastian,

Adalah berupa kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbuatan tertentu.

3. Kesenjangan sebagai kemugnkinan

14

Adil Matogu,Kajian Hukum Lingkungan Terhadap perusakan Hutan di kawasan Hutan lindung Tormotutung Kisaran Sumatera Utara (skripsi),2007


(27)

Ialah kesenjangan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil risiko untuk melakukan perbuatan itu.

b. Kelalaian

Undang-undang juga tidak memberikan defenisi apakah kelalaian itu. Hanya dalam Memori Penjelasan (MvT) menyatakan, bahwa kelalaian terletak antara sengaja dan kebetulan.15 Meskipun demikian, kelalaian itu dipandang lebih ringan dibandingkan dengan sengaja. Kelalaian ini merupakan unsur batin, bisa berupa kehendak, pengetahuan, perasaan dan lain sebagainya yang dapat menggambarkan perihal keadaan batin manusia. Apabila kemampuan berpikir, berperasaan itu tidak digunakan sebagaimana mestinya maka disebut sebagai kelalaian.16

a. Tindak pidana materil atau tindak pidana dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana.

4. Unsur akibat konstitutif

Unsur akibat konstitutif terdapat pada :

Dalam tindak pidana materil, timbulnya akibat itu bukan untuk memberatkan pertanggungjawaban pidana, dalam arti berupa alasan pemberat pidana, tetapi menjadi syarat selesainya tindak pidana. Perbedaan lain, ialah unsur akibat konstritutif pada tindak pidana

15 Ibid 16


(28)

materil adalah berupa unsur pokok tindak pidana, artinya jika unsur ini tidak timbul, maka tindak pidananya tidak terjadi hanyalah percobaan, b. Tindak pidana sebagai syarat memperberat pidana bukan merupakan

unsut pokok tindak pidana, artinya jika syarat ini tidak timbul, tidak terjadi percobaan, melainkan terjadinya tindak pidana selesai.

c. Tindak pidana dimana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat Tanpa timbulnya akibat dari perbuatan yang dirumuskan dalam undang-undang tindak pidana, baru dapat dipidana apabila akibat terlarang itu telah timbul.

Tindak pidana materil dimana unsur akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana, berbeda dengan tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai pembuat pidana atau tindak pidana yang dkualifisert oleh akibatnya. Perbedaan itu adalah dalam tindak pidana materil, jika akibat itu tidak timbul, maka tindak pidana itu tersebut tidak terjadi, yang terjadi adalah percobaan. Tetapi jika akibat tidak timbul pada tindak pidana dimana akibat sebagai syarat pemberat pidana, maka tidak terjadi percobaan, tetapi yang terjadi adalah tindak pidana selesai yang lain.

5. Unsur keadaan yang menyertai

Unsur keadaan yang menyertai, adalah unsur tidak pidana yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan. Unsur


(29)

keadaan yang menyertai ini dalam kenyataan rumusan tindak pidana dapat berupa:17

1. Mengenai cara melakukan perbuatan

2. Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan 3. Mengenai obyek tindak pidana

4. Mengenai subyek tindak pidana

5. Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana 6. Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana 6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana

Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari yang berhak mengadu. Pengaduan substansinya adalah sama dengan laporan, ialah berupa keterangan atau informasi mengenai telah terjadinya tindak pidana yang disampaikan kepada pejabat penyelidik atau penyidik yakni kepolisian, atau dalam hal tindak pidana khusus ke kantor kejaksaan negeri.

7. Syarat tambahan untuk memperberat pidana

Mengenai syarat ini telah disinggung pada saat membicarakan unsur akibat konstitutif. Unsur adalah berupa alasan utnuk diperberatnya pidana, dan bukan unsut syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana sebagiamana pada tindak pidana materil.

17


(30)

Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana bukan merupakan unsur pokok tindak pidana yang bersangkutan, artinya tindak pidana tersebut dapat terjadi tanpa adanya unsur ini.

8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana

Unsur syarat tambahan untuk dapanya dipidana adalah berupa unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan, yang menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan. Artinya bila setelah perbuatan dilakukan keadaan ini tidak timbul, maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum dan karenanya si pembuat tidak dapat dipidana. Sifat melawan hukumnya dan patutnya dipidana perbuatan itu sepenuhnya digantungkan pada timbulnya unsur ini. Nilai bahayanya bagi kepentingan hukum dari perbuatan itu adalah terletak pada timbulnya unsur syarat tambahan, bukan semata-mata pada perbuatan.

2. Pengertian Pertanggung jawaban Pidana

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”tanggung jawab” adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Pidana adalah kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, dsb).18

Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindakan pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan

18


(31)

perbuatan pidana.19

Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuaan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat.

Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana.

20

Nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan tindak pidana.

Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya, artinya celaan yang objektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada siterdakwa.

21

19

Moeljatno.Asas-asas Hukum Pidana,Rineka Cipta,Jakarta.1993,hal 155 20

Prof.Mr.Roeslan Saleh,Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana ,Aksara Baru,Jakarta.1983,hal 75

21

Ibid hal .76

Oleh karena itu dikatakan bahwa dasar daripada adanya tindak pidana adalah asas legaliteit, yaitu asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan diandam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidannya sipembuat adalah asas”tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.


(32)

Dapat dikatakan orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila dia mempunyai kesalahan.

Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat (liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana.22

22

Chairul Huda,Op.cit Hal 4.

Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common

law sistem, berlaku maksim latin yaitu octus non est reus, nisi mens sit rea. Suatu

kelakukan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa kehendak jahat, pada satu sisi doktrin ini menyebabkan adanya mens rea merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana. Pada sisi lain, hal ini menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang tersebut..

Dengan demikian, mens rea yang dalam hal ini disinonimkan dengan

quilty of mind atau vicious will, merupakan hal yang menenukan

pertanggungjawaban pembuat pidana. Dilihat dari sisi ini, penggunaan dktrin

mens rea dalam common law system, pada hakikatnya sejalan dengan penerapan


(33)

Berpangkal tolak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno mengemukakan suatu pandangan yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis, pada pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana ini hanya menyangkut persoalan “perbuatan” sedangkan masalah apakah orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan, adalah persoalan lain.23

Dalam banyak kejadian, tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari batin terdakwa sama sekali tidak patut dicelakan terhadapnya. Dengan kata lain, walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya tidak dililiputi kesalahan dan karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu.

24

Dipisahkannya tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur tindak pidana dan ditempatkan sebagai faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana. Namun demikian, bagaimana konsepsi ini diterapkan dalam praktik hukum perlu pengkajian lebih lanju. Pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus Untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntu ketika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan.

23

Ibid hal 5 24


(34)

perkara. Oleh karena iu, pengkajian mengenai teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawban pidana, pertama-tama dilakukan dengan menelusuri penerapan dan perkembangannya dalam putusan pengadilan. Dengan kata lain, konkretisasi sesungguhnya dari penerapan dari teori tersebu terdapat dalam putusan pengadilan.

Seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela oleh karennya, sebab dianggap dapat berbuat lain jika memang tidak ingin berbuat demikian. Dilihat dari segi masyarakat, ini menunjukkan pandangan yang normatif menganai kesalahan. Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang berpandangan psychologisch. Tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin daripada terdakwa, tetapi bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mengenai keadaan batin itu, apakah dinilai ada atau tidak ada kesalahan.

Pompe menyingkat kesalahan ini dengan dapat dicela (verwijbaarheid) dan dapat dihindari (vermijdbaarheid) perbuatan yang dilakukan25

25

Prof.Mr.Roeslan Saleh,Op.Cit,hal.77

. Pompe mengatakan, menurut akibatnya, hal ini adalah dapat dicela, menurut hakikatnya dia adalah dapat dihindarinya kelakukan melawan hukum itu. Karena kehendak si pembuat itu terlihat pada kelakuan yang bersifat melawan hukum, maka ini dapat dicelakan padanya. Sampai sekian jauh, maka kesalahan menyebabkan atau mempunyai akibat dapat dicela. Celaan ini dimungkinkan karena si pembuat itu


(35)

bisa berusaha, agar dia tidak berbuat berlawanan dengan hukum oleh karena dia juga dapat berbuat sesuai dengan hukum. Pelanggaran atas norma itu bergantung pada kehendaknya, itu dapat dihindari. Berarti kesalahan pada hakikatnya dapat dihindari. Menurut Pompe, kelakuan adalah suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang yang nampak keluar dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi objek hukum.

Simons mengatakan bahwa kesalahan adalah keadaan psychis orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi.26

a. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu.

Jadi yang harus diperhatikan adalah :

b. Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.

Dua hal inilah yang harus diperhatikan, dimana diantara keduanya terjalin erat satu dengan yang lainnya, yang kemudian dinamakan kesalahan. Hal yang merpakan kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan.

Mengenai keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana merupakan persoalan yang lazim disebut dengan kemampuan bertanggung jawab. Sedangkan mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang dilakukan, merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alasan pemaaf, sehingga mampu bertanggungjawab, mempunyai kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan. Tiga unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Yang satu

26


(36)

bergantung pada yang lain, dalam arti demikianlah urut-urutannya dan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih dahulu. Konkritnya tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau kealpaan, apabila orang itu tidak mampu bertanggung jawab. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu bretanggung jawab dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan.

Selanjutnya tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka haruslah : a. Melakukan perbuatan pidana

b. Mampu bertanggung jawab

c. Dengan kesengajaan atau kealpaan d. Tidak adanya alasan pemaaf

Telah dikatakan diatas bahwa mengenai keadaan batin dari si terdakwa dalam ilmu hukum pidana merupakan kemampuan bertanggung jawab, apakah yang menyebabkan maka hal ini merupakan suatu masalah ?

Dalam hukum positif kita, yaitu dalam Pasal 44 KUHP dinyatakan bahwa :

“Apabila yang melakukan perbuatan pidana itu tidak dapat dipertanggungjawabkan disebabkan karena pertumbuhan yang cacat atau


(37)

adanya gangguan karena penyakit daripada jiwanya maka orang itu tidak dipidana. “

Jadi seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 44 KUHP, maka tidak dapat dipidana.

Ketentuan dalam hukum positif ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam teori, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak diinginkan. Demikian yang disebut mengenai oran gyang mampu bertanggungjawab. Orang yang tidak mampu bertanggung jawab tentu saja tidak sepantasnya dianggap dapat berbuat seperti yang diharapkan oleh hukum ataupun pikiran yang sehat.

Prof. Mr. Roeslan Saleh mengatakan bahwa orang yang mampu bertanggungjawab itu harus memenuhi tiga syarat, yaitu : 27

a. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya.

b. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patur dalam pergaulan masyarakat.

c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, ada dua faktor yang harus dipenuhi yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, orang yang akalnya

27


(38)

tidak sehat tidak dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum. Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan mana yang tidak.

3. Pengertian Dan Jenis-jenis Senjata Api

A. Pengertian senjata api

Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 Pasal 1 ayat (2) memberikan pengertian senjata api dan amunisi yaitu termasuk juga segala barang sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1 ayat (1) dari peraturan senjata api 1936 (Stb 1937 Nomor 170), yang telah diubah dengan ordonantie tanggal 30 Mei 1939 (Stb Nmor 278), tetapi tidak termasuk dalam pengertian itu senajata “yang nyata” mempunyai tujuan sebagai barang kuno atau barang yang ajaib dan bukan pula sesuatu senjata yang tetap tidak dapat terpakai atau dibikin sedemikian rupa sehingga tidak dapat digunakan.

Menurut pasal 1 ayat (1) Undang-undang senjata api (L.N. 1937. No. 170 diubah dengan L. N. 1939 No. 278) tentang Undang-undang senjata api (pemasukan, pengeluaran dan pembongkaran) 1936, yang dimaksud senjata api adalah :

a. Bagian-bagian senjata api;

b. Meriam-meriam dan penyembur-penymebur api dan bagian-bagiannya;


(39)

c. Senjata-senjata tekanan udara dan senjata-senjata tekanan per, pistol-pistol penyembelih dan pistol-pistol-pistol-pistol pemberi isyarat, dan selanjutnya senjata-senjata api tiruan seperti pistol tanda bahaya, pistol-pistol perlombaan, revolver tanda bahaya dan revolver-revolver perlombaan, pistol-pistol mati suri, dan revolver-revolver-revolver-revolver mati suri dan benda-benda lain yang serupa itu yang dapat dipergunakan untuk mengancam atau mengejutkan, demikian juga bagian-bagian senjata itu, dengan pengertian, bahwa senjata-senjata tekanan udara, senjata-senjata tekanan per dan senjata-senjata tiruan serta bagian-bagian senjata itu hanya dapat dipandang sebagai senjata api, apabila dengan nyata tidak dipergunakan sebagai permainan anak-anak.

Sedangkan berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1976, senjata api adalah salah satu alat untuk melaksanakan tugas pokok angkatan bersenjata dibidang pertahanan dan keamanan, sedangkan bagi instansi pemerintah di luar angkatan bersenjata, senjata api merupakan alat khusus yang penggunannya diatur melalui ketentuan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1976, yang menginstruksikan agar para menteri (pimpinan lembaga pemerintah dan non pemerintah) membantu pertahanan dan keamanan agar dapat mencapai sasaran tugasnya.

B. Jenis-jenis senjata api

Senjata api yang beredar jenisnya bermacam-macam, berikut ini adalah senjata api ditinjau dari type, jenis, negara produsen dan kalibernya. Senjata tersebut antara lain :


(40)

No. Type Jenis Kaliber Negara Produsen

1. A-91 Rifle Gempur

Padat

5.45x39 mm, 5.56x45 mm

Russia

2. AAI ACR Rifle Gempur 5.56x45 mm USA

3. AAI CAWS Senjata Gempur

Dekat

7.62 mm USA

4. AAI SBR Serial Bullket

Riffle

4.32x45 mm USA

5. SS1-V1 Rifle Gempur 5,56x45 mm Indonesia 6. SS1-V2 Rifle Gempur 5,56x45 mm Indonesia

7. AK-47 Rifle Gempur 7.62x39 mm Russia

8. AK-101 Rifle Gempur 5.56 mm Russia

9. Albini-Braendlin M1867

Riffle Satu 11x50 mm Jerman

10. ALFA Defender Pistol 9x19 mm Republik

Czech 11. ALGIMEC AGMi Semi auto 9x19 mm Italia 12. Allin-Springfield

M1879 Karbin

Single Shot Karbin

4-7 mm USA

13. AMT Automag III Pistol Magnum 9 mm USA 14. APS Stechkin Machine Pistol 9x18 mm Russia 15. Arisaka Year 29 Bolt Action Rifle 6.5x50 mm Jepang 16. Armalite AR-9 Shotgun

Semi-Auto

7.62 mm USA

17. B94 Rifle Semi-Auto 12.7x108mm Russia

18. Baby Nambu Pistol 7 mm Jepang

19. Bacon Arms C. Pepperbox

Revolver


(41)

20. Beholla Pistol Pistol 7.65x17 mm Jerman

21. Belgian M1871

Trooper's Revolver

Revolver 11x17.5 mm Belgia

22. Belgian M1883

NCO's Revolver

Revolver 9x23 mm Belgia

23. Benelli B82 Pistol 9x18 mm Italia

24. Beretta Machine Guns

Pistol 5.56 mm Italia

25. Baretta M1915 Pistol 7.65x17mm Italia 26. Baretta 32 Pistol – Taget

Model

7.65x21mm Italia

27. Baretta 81B Cheetah

Pistol 7.65x17mm Italia

28. Baretta M80 Olimpionica

Pistol 22 mm Italia

29 BM59 Riffle tempur 7.62 mm Italia

30. BM59 Mark E Rifle tempur 9x19 mm Italia

31. Billenium 92 Pistol 9x19 mm Italia

32. Benelli M3 Semi auto shoot gun

7.62 mm Italia

33. Bounded 8040

Cougar D

Rifle tempur 11x17.5 mm Italia

34. Berdan rifle Rifle tempur 9x19 mm Rusia

35. C1 Rifle Rifle Tempur 7.62 mm Kanada

36. C9 – LMG FN Minimi 5.56 mm Belgia

37. CADCO Medusa Revolver 9x23 mm US

38. Calico Liberty Revolver 9x19 mm US 39. Campo-Giro Model

1904

Pistol 7.65x17mm Spanyol


(42)

41. CETME Ameli LMG 5.56mm Spanyol 42. ChinaLake NATIC Pelancar Bom

tangan

40x46mm USA

43. Chinese Type 54 Pistol 7.62x25mm Cina 44. Chinese Type 63

Rifle

Riffle Gempur 7.62x39mm Cina

45. Chinese Type 80 Machine Pistol 7.62x25mm Cina 46. Christensen Arms

Carbon Tactical

Bolt Action Rifle 7.62x25mm USA

47. CIS .50 MG HMG 50 mm Singapura

48. Civil Defence Supply MP5-224

SMG 22 mm Jerman

49. Colt Accurized

Rifle

Rifle Semi-Auto 5.56 mm USA

50. Colt Defender Riffle auto 10 mm USA

51 Colt Mustang Pistol 9x17mm USA

52. Colt M16 Riffle gempur 5.56 mm USA

53. Combined Service Forces 60

SMG Luger 9X19 mm Taiwan

54. CZ-581 Mod.4 Riffle Gempur 7.62x39mm Belgia

55. CZ-584 Mod.7 FN 5.56 mm Belgia

56. DPMS Panther Bull A-15

Pistol 7.62x25mm USA

57. SMG 16 mm Rusia

58. SMG 12 mm Rusia

59. Riffle 7.62x39mm USA


(43)

G. Metode Penelitian

Sudah merupakan ketentuan dalam hal penyusunan serta penulisan karya ilmiah atau skripsi diperlukan metode penelitian dalam pengerjaannya. Metode penelitian sebagai suatu hal yang mempunyai cara utama yang dieprgunakan untuk mencapai suatu tujuan dan untuk menghasilkan karya tulis ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, maka harus didukung dengan fakta-fakta/dalil-dalil yang akurat yang diperoleh dari penelitian. Dalam pembahasan skripsi ini, metodologi penelitian hukum yang digunakan penulis seperti :

1. Spesfiikasi Penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian Hukum Normatif. Dalam hal ini penelitian Hukum Normatif, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan yang berhubungan dengan judul skripsi penulis yaitu “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kepemilika Dan Penjualan Senjata Api serta Amunisi Ilegal Oleh Masyarakat Sipil (studi Putusan di Pengadilan Negeri Medan)

2. Bahan Hukum

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan bahan hukum tersier.

Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang diurut berdasarkan hirarki mulai dari UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan aturan lain di bawah Undang-undang serta bahan hukum asing pembanding.


(44)

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku, pendapat para sarjana dan Putusan pengadilan Negeri Medan register 3550/Pid.B/2006/PN.Mdn.

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus huku m dan lain-lain.

3. Lokasi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Medan yang terletak dalam wilayah pemerintahan Kotamadya Medan dan juga di Kepolisian Daerah Sumatera Utara.

4. Alat Pengumpul Data

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian kepustakaan atau penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan berdasarkan bahan-bahan bacaan, dengan cara membaca buku-buku, literatur-literatur serta peraturan perundang-undangna yang berhubungan dengan materi yang akan dibahas dalam skripsi ini. Data yang diperoleh dari bahan pustaka ini dinamakan dengan data sekunder.28

28

Soejono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,UI Press,Jakarta.Hal 12

Data sekunder ini mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah pendapat sarjana, hasil penelitian yang berwujud laporan majalah, artikel dan juga berita dari internet yang bertujuan untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori atau asas atau doktrin yang berkenaan dengna kepolisian dan pertanggungjawaban pidana. Yang kesemuanya ini


(45)

dimaksudkan untuk memperoleh data yang sifatnya toritis yang digunakan sebagai pedoman dalam penelitian dan menganalisa permasalahan yang dihadapi.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Selain penelitian kepustakaan, penulis juga mengadakan penelitian secara langsung ke lapangan yaitu dengan mendatangi objek penelitian untuk mengadakan wawancara terhadap beberapa aparat kepolisian di lingkungan Polda Sumut, untuk mendapatkan data-data, informasi dan keterangan-keterangan yang diperlukan dalam penulisan skripsi. Wawancara (interview) adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka (face to face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seseorang responden. Penelitian lapangan dalam penulisan skripsi ini bersifat melengkapi data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan.

5. Analisis Data

Terhadap data yang diperoleh, akan dianalisa secara kualitatif. Menurut Bogan dan Biklena analisa data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritaka kepada orang lain29

29


(46)

H. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi yang diberi judul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kepemilikan Dan Penjualan Senjata Api Ilegal Oleh Masyarakat Sipil (Studi Putusan Nomor 3550/Pid.B/2006/PN.Mdn)” .Dibagi dalam kedalam lima bab yang diperincikan sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Terdiri dari tujuh sub bab yang mana memuat hal-hal umum mengenai latar belakang penulisan yaitu yang menjadi dasar bagi penulisan skripsi ini,didalamnya juga mengidetifikasi rumusan masalah yang menjadi sudut pandang atau kajian yang hendak dibahas secara tersistematis yang diarahkan pada tujuan dan manfaat penulisan. Pada bab satu juga dibahas mengenai tinjauan kepustakaan yang secara garis besar menjadi landasan terminologi dan yuridis dalam melakukan penulisan ini.Dalam bab ini,penulis juga menerangkan tentang keaslian penulisan,dimana tulisan ini ditulis dan dibuat oleh penulis.Akhirnya bab ini ditutup dengan sistematika penulisan yang menerangkan bagian-bagian dari keseluruhan bab ini secara ringkas.

BAB II : PENGATURAN KEPEMILKAN SENJATA API BAGI MASYA-

RAKAT SIPIL.

Pada bagian ini ,penulis akan membahas mengenai masyarakat sipil yang berhak memiliki senjata api dan prosedur kepemilikan senjata api.Dalam bab ini juga dibahas prosedur penggunaan senjata api bagi masyarakat sipil dan juga membahas mengenai tujuan pengaturan penggunaan senjata bagi masyarakat sipil.


(47)

BAB III : FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA KEPEMILIKAN SENJATA API ILEGAL.

Dalam bab ini, penulis membahas tetang penyalahgunaan senjata api,hal-hal yang menyebabkan masyarakat menggunakan senjata api ilegal dan perdagangan senjata api ilegal

BAB IV : KASUS TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEPEMILIKAN DAN PENJUALAN

SENJATA API SERTA AMUNISI ILEGAL OLEH MASYARAKAT SIPIL.

Pada bab ini, penulis akan membahas mengenai kasus pertanggungjawaban pidana terhadap kepemilikan dan penjualan senjata api serta amunisi ilegal oleh masyarakat sipil.Dimana kasus akan diuraikan dari dakwaan sampai putusan dan akan dianalisa oleh penulis.

BAB V : PENUTUP

Terdiri dari 2 sub bab yang merupakan kesimpulan atau intisari dari penulisan skripsi ini beserta rekomendasi saran.


(48)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan zaman pada saat ini mengalami kemajuan pertumbuhan yang sangat pesat,tidak hanya didunia teknik industri dan perdagangan tetapi juga dalam dunia hukum.perkebangan zaman diikuti juga oleh perkembangan tingkat kejahatan dimana perkembanagn tingkat kejahatan dipengaruhi oleh peredaran senjata api ilegal.senjata api pada dasarnya dapat dimiliki oleh masyrakat sipil tetapi melalu proses yang cukup panjang.

Secara normatif, Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup ketat menerapkan aturan kepemilikan senjata api untuk kalangan sipil. Ada sejumlah dasar hukum yang mengatur mengenai hal ini, mulai dari level undang-undang yakni UU Darurat No. 12 Tahun 1951,UU No 8 Tahun 1948 dan Perpu No. 20 Tahun 1960. Selebihnya adalah peraturan yang diterbitkan oleh Kepolisian, seperti SK Kapolri No. Skep/244/II/1999 dan SK Kepala Polri Nomor 82 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Non-Organik. Berdasarkan SK tahun 2004, persyaratan untuk mendapatkan senjata api ternyata relatif mudah. Cukup dengan menyerahkan syarat kelengkapan dokumen seperti KTP, Kartu Keluarga, dan lain-lain, seseorang berusia 24-65 tahun yang memiliki sertifikat menembak dan juga lulus tes menembak, maka dapat memiliki senjata api. SK tersebut juga mengatur bahwa individu pemilik senjata api untuk keperluan pribadi dibatasi minimal setingkat Kepala Dinas atau Bupati untuk kalangan pejabat pemerintah, minimal Letnan Satu untuk kalangan angkatan bersenjata, dan pengacara atas rekomendasi Departemen Kehakiman.


(49)

Seiring dengan meningkatnya kejahatan dengan senjata api, pada tahun 2007 Kapolri Sutanto mengeluarkan kebijakan penarikan senjata api yang dianggap ilegal. Senjata api ilegal adalah senjata yang tidak sah beredar di kalangan sipil, senjata yang tidak diberi izin kepemilikan, atau senjata yang telah habis masa berlaku izinnya. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, izin kepemilikan senjata api di Indonesia dibatasi hingga satu tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. Gerakan Polri ini bertujuan untuk mengurangi kepemilikan senjata api oleh sipil karena banyak penyalahgunaan senjata api oleh masyarakat. Meskipun sudah ada upaya preventif dengan mewajibkan calon pemilik mengikuti psikotes terlebih dahulu sebelum mendapat izin kepemilikan senjata. 4

Perkelahihan,pertikaian dan perampokan Semua ini tidak lepas dari masih adanya peredaran senjata api ilegal yang ada di masyarakat, baik standar atau rakitan. Dengan memiliki senjata api, setiap orang merasa memiliki kekuatan yang cukup untuk menyerang “musuhnya”, tanpa mereka sadar bahwa “musuhnya” juga memiliki senjata api yang sama. Sebagai akibatnya beberapa nyawa melayang dengan sia-sia. Dengan menyadari bahwa kepemilikan senjata api ilegal bisa mendorong ke arah ke arah terjadinya pertikaian atau lebih jauh lagi kerusuhan (antar orang, antar penduduk, antar golongan, antar agama), maka sudah sepantasnya setiap orang, dengan kesadarannya menyerahkan senjata api mereka kepada aparat, baik kepada polisi atau kepada TNI. Kepemilikan senjata api secara tidak sah dapat dikenai sangsi hukum, sedangkan aparat sudah

4


(50)

memberikan jaminan untuk tidak memberikan tuntutan hukum kepada mereka yang menyerahkan senjata api mereka secara suka rela.

Motif warga sipil menguasai senjata api secara ilegal memang bermacam-macam.Dalam situasi perang terbuka, motifnya jelas"membunuh atau dibunuh". Dalam kasusk kekerasan bersenjata, sejak Mei 2000,hingga pra Deklarasi Malino, Desember2001, motif ini jelas sangat menonjol.Motif ini juga masih terungkap dalam sejumlah kasus kekerasan bersenjatapaska Deklarasi Malino.Dalam situasi yang relatif damai,sebagian warga tetap menguasai senjata api.Alasannya sederhana, karena sama sekali tidak mempercayai jaminan keamanan dari aparat keamanan. Mereka menyatakan terpaksa memiliki senjata api secara ilegal,karena tidak ada kepastian keamanan.Mereka tidak ingin menjadi korbankekerasan bersenjata.Bagi para penjahat jelas senjata api digunakan untuk memudahkan niat jahatnya.

B. RUMUSAN MASALAH

Pokok materi pembahasan guna memperoleh kesimpulan tujuan pembahasan suatu karya ilmiah tergambar dalam permaslahan yang dikemukakan.Oleh karena itu,sehubungan dengan judul di atas,berikut penulis akan mengemukakan rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu:

1. Bagaimana pengaturan mengenai kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil?

2. .faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kepemilkan senjata api ilegal? 3. bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilkan dan


(51)

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui bagaimana pegaturan kepemilkan senjata api bagi masyarakat sipil. Terutama yang diatur dalam hukum pidana materil maupun formil.

b. untuk mengetahui faktor-faktor apa saja menyebabkan terjadinya senjata api secara ilegal,sehingga dapat diantisipasi peredarannya sekaligus dapat meminalisir dampak dari kepemilikan senjata api ilegal.

c. untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap kepemilikan senjata api ilegal ditinjau dari analisa putusan nomor 3550/Pid.B/2006/PN.Mdn .

Penulisan ini dapat bermanfaat secara teoritis dan praktis ,secara praktis penulisan ini bermanfaat bagi:

a. Masyarakat secara umum guna memberi informasi mengenai dampak dari kepemilkan dan penjualan senjata api ilegal, sehingga masyarakat dapat membantu aparat kepolisian dalam menagani penyebaran senjata api ilegal.

b. Aparat penegak hukum dan pemerintah, yang bertujuan untuk menegakan sendi-sendi hukum pidana dan menjaga ketertiban.memberi masukan kepada aparat penegak hukum mengenai upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi tindak


(52)

pidana kepemilikan dan penjualan senjata api ilegal oleh masyarakat sipil.

Secara teoritis penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pakar hukum,civitas akademika dan para ilmuwan lainya dalam memberikan sumbangsih literatur dan referensi berkaitan dengan kepemilkan senjata api ilegal oleh masyarakat sipil.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang diberi judul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kepemilikan Dan Penjualan Senjata Serta Amunisi Ilegal Oleh Masyarakat Sipil (Studi Putusan Nomor 3350/Pid.B/2006/PN.Mdn)” ini merupakan penulisan asli yang belum pernah terdapat dalam literatur manapun.Sepengetahuan penulis belum ada penulis lain yang mengemukakanya, dan penulis telah mengkonfirmasikanya kepada Sekretarian Departemen Pidana.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Dan Unsur-unsur Tindak Pidana

A. Pengertian tindak pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “Straftbaar Feit”, Strafbar Feit terdiri dari 3 (tiga) kata yakni Straf,

Baar dan Feit. Straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, perkataan baar

diterjemahkan sebagai dapat dan boleh sedangkan kata feit diterjemahkan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Istilah tindak pidana telah lazim


(53)

digunakan dan merupakan istilah resmi dalam perundang-undangan.5

Tindak menunjuk pada hak kelakuan manusia dalam arti positif (handelen). Padahal pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif.

Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, walaupun masih diperdebatkan ketetapatannya.

6

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak ditemukan definisi tindak pidana. Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk mengenai pertanggungjawaban. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya melakukan suatu perbuatan, yang kemudian apakah orang yang telah melakukan perbuatan tersebut dapat dipidana atau tidak. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum.

Perbuatan aktif maksudnya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan atau diisyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP atau merusak yang diatur dalam Pasal 406 KUHP. Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun, dimana seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misal perbuatan tidak menolong sebagaimana diatur dalam Pasal 531 KUHP atau perbuatan membiarkan yang diatur dalam Pasal 304 KUHP.

5

Drs.Adami Chazawi,SH.Pelajaran Hukum Pidana Bagian I,Jakarta,Raja Grafindo Persada,2002,hal 67

6


(54)

Simon mengatakan bahwa straftbaar feit adalah kelakukan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.7

7

Adami Chazawi ,op.cit,Hal 26

Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa straftbaar feit adalah kelakukan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

Menurut ahli hukum pidana Indonesia, Komariah E. Saprdjaja bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.

Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya diletakkan sanksi pidana. Dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.

Terdapat pemisahan antara pertanggungajwaban pidana dan tindak pidana, yang dikenal dengan paham dualisme, yang memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana.

Para ahli hukum umumnya mengidentifikasi adanya tiga persoalan mendasar dalam hukum pidana. Saner, berpendapat bahwa hal itu berkaitan dnegan, onrecht, schuld, dan strafe. Sementara itu, packer menyebut ketiga masalah tersebut berkenaan dengan crime, responsibility, dan panishment.


(55)

Menurut Soedarto, persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu, dan pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu. Dengan kata lain, masalah mendasar dalam hukum pidana berhubungan dengan persoalan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Pembedaan ini, menimbulkan konsepsi yang bukan hanya perlu memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungajwaban pidana, tetapi lebih jauh memisahkan pertanggungjawaban pidana dengan pengenaan pidana. Berdasarkan hal ini pengkajian juga diarahkan untuk mendalami bagaiman teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seharusnya diterapkan dalam mempertanggungjawabkan dan mengenakan pidana terhadap pembuat tindak pidana. Dengan kata lain, perlu pengkajian untuk menemukan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana.

Teori yang memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana bertitik tolak dari pandangan bahwa, unsur tidak pidana hanyalah perbuatan, dengan demikian aturan mengenai tindak pidana mestinya sebatas menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Aturan hukum mengenai tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang daam hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain diluar kategori tersebut.

Dengan adanya aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali perbuatan-perbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain,

the rules which all of you us what we can and cannot do. Aturan tersebut


(56)

itu, ditinjau dari tujuan-tujuan prevensi, aturan hukum yang memuat rumusan tindak pidana juga berfungsi sebagai peringatan bagi masyarakat untuk sejauh mungkin menghindar dari melakukan perbuatan tersebut, mengingat ancaman pidana yang dilekatkan padanya. Aturan tersebut berisi pedoman bertingkah laku bagi masyarakat, sehingga dilihat dari segi represif tekanannya lebih banyak pada fungsi perlindungan individu dari kewenang-wenangan penguasa.

Sedangkan aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorag sehingga sah jika dijatuhi pidana. Tekanannya justru pada fungsi melegitimasi tindakan penegak hukum untuk menimpakan nestapa pada pembuat tindak pidana. Dengan keharusan untuk tetap menjaga kesimbangan antara tingkat ketercelaan seseorang karena melakukan tindak pidana dan penetuan berat ringannya nestapa yang menjadi konsekuensinya.

Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana merupakan saringan pengenaan pidana, yaitu hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang memiliki kesalahan dan pidana yang dikenakan sebatas kesalahannya tersebut.

Tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, apabila dilihat dari konsep sistem hukum sebagaimana dikemukakan Hart, juga menyebabkan kedua hal tersebut berada pada struktur aturan yang terpisah. Dikatakannya “primary laws

setting standards for behavior and sencodary laws specifying what officals must or may do when they are broken. 8

8

Chairul huda,Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan,Prenada Media.Jakarta.2006 .hal 28


(57)

Suatu tindak pidana adalah suatu perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidanan berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Dalam defenisi-defenisi tersebut, unsur kesalahan telah dikeluarkan, sehingga tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan saja. Perbuatan disini berisi kelakukan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakukan atau kelakukan dan akibatnya. Kelakukan juga terdiri dari melakukan sesuatu (komisi) dan tidak melakukan sesuatu (omisi). Dengan demikian, tindak pidana merupakan perbuatan melakukan sesuatu, perbutan tidak melakukan sesuatu, dan menimbulkan akibat, yang dilarang oleh undang-undang.

Pengertian tersebut di atas, dalam pasal 11 Rancangan KUHP dirumuskan dengan “tindak pidana” adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.9

Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaiman di negara-negara civil law lainnya, tindak pidana umumnya dirumsukan dalam kodifikasi. Namun demikian, sejauh ini tidak terdapat ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara bagiamana merumuskan suatu tindak pidana. Tidak mengherankan apabila terdapat berbagai rumusan tindak pidana yang memuat hal-hal di luar karakteristik perbuatan dan Dapat ditegaskan, sepanjang berkenaan dengan perumusan defenisi tindak pidana, pikiran-pikiran untuk memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana telah menjadi bagian pembaruan hukum pidana Indonesia, dengan diadopsi dalam Rancangan KUHP.

9 Ibid


(58)

sanksi atas perbuatan tersebut. Dalam hal ini, berbagai tindak pidana terutama yang terdapat dalam KUHP, perumusannya tidak sejalan dengan teori pemisahan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Tindak pidana pertama-tama berisi larangan terhadap perbuatan. Dengan demikian, pertama-tama suatu tindak pidana berisi larangan terhadap kelakuan-kelakuan tertentu. Dengan delik-delik omisi, larangan ditujukan kepada tidak diturutinya perintah. Dengan demikian, norma hukum pidana berisi rumusan tentang suruhan untuk melakukan sesuatu. Dalam hal tindak pidana materil, larangan ditujukan kepada penimbulan akibat. Tindak pidana berisi rumusan tentang akibat-akibat yang terlarang untuk diwujudkan.

Ketika tindak pidana berisi rumusan tentang dilarangnya suatu omisi, maka pada hakikatnya undang-undang justru memerintahkan setiap orang melakukan sesuatu, apabila mendapati keadaan-keadaan yang juga ditentukan dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian, rumusan tentang tindak pidana berisi kewajiban, yang apabila tidak dilaksanakan pembuatnya diancam dengan pidana. Kewajiban disini, menurut Wilson bukan hanya bersumber dari ketentuan undang-undang, dapat kewajiban tersebut timbul dari suatu perjanjian ataupun kewajiban yang timbul di luar perjanjian, atau kewajiban yang timbul dari hubungan-hubungan yang khusus, atau kewajiban untuk mencegah keadaan bahaya akibat perbuatannya, bahkan kewajiban-kewajiban lain yang timbul dalam hubungan sosial.10

10

Ibid hal 30


(59)

B. Unsur-unsur tindak pidana

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dari dua sudut pandang yaitu : a. Unsur tindak pidana dari sudut teoritis

Menurut Moeljatno, unsur tidak pidana adalah 11 1. Perbuatan

2. Yang diarang (oleh aturan hukum)

3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan)

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan hukum. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataan benar-benar dipidana. Pengertian diancam adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana.

Tresna menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah :12 1. Perbuatan atau rangkaian perbuatan

2. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan 3. Diadakan tindakan penghukuman

Dari unsur ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan dengan demikian dijatuhi pidana. Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertenttangan dengan undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu tidak

11

Adami Chazawi,Op.cit,hal 79. 12


(1)

Berdasarkan Uraian diatas maka Ismail dapat dihukum karena telah melakukan kepemilikan senjata api serta amunisi tanpa prosedur.

“Bahwa Hakim dapat menjatuhkan vonis pada seseorang dibutuhkan minimal 2 (dua) alat bukti yang Syah “

Menurut Pasal 183 KUHAP

1)

a. I WAYAN DANU WIJAYA, SH Keterangan Saksi-saksi

b. HISAR SIRAIT 2)

Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti senjata Api dan peluru No. Lab : 3117/BSK/VII/2006 tgl. 12 Juli 2006 yang dibuat dan ditandatangani oleh Ir. Sapto Sri Suhartomo dan Achmad Kolbinus, ST

Keterangan Surat

3)

Petunjuk adalah dengan adanya persesuaian keterangan saksi dan keterangan tersangka serta Kerterangan Surat

Petunjuk

4)

Dalam hal ini keterangan Terdakwa ISMAIL Keterangan Terdakwa

Pada rapat musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan pada Hari Senin tanggal 20 November 2006 menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 2 tahun.Menurut penulis apa yang di putuskan majelis hakim sudah tepat karena sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum tentang


(2)

Hukum yang dijatuhkan Majelis Hakim kepada terdakwa adalah sebagai bentuk dari pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa yaitu melanggar ketentuan Pasal 1 ayat 1 UU Darurat tahun 1951 tentang senjata api dan Bahan Peledak terdakwa dapat dimintai pertanggung jawaban pidana karena terdakwa orang yang mampu bertanggung jawab melakukan tindak pidana.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan yang dikemukakan sebelumnya ,maka dapatlah diambil beberapa kesimpulan serta saran-saran yang penulis anggap penting dan bermanfaat dari skripsi ini:

1. Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup ketat menerapkan aturan kepemilikan senjata api untuk kalangan sipil. Ada sejumlah dasar hukum yang mengatur mengenai hal ini, mulai dari level undang-undang yakni UU Darurat No. 12 Tahun 1951, Perpu No. 20 Tahun 1960. Selebihnya adalah peraturan yang diterbitkan oleh Kepolisian,seperti SK Kepala Polri Nomor 82 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Non-Organik.

2. faktor-faktor yang mendorong kepemilikan senjata api yaitu :

a. Faktor pengamanan diri, jika sewaktu-waktu berhadapan dengan hal yang mengancam jiwanya.

b. Faktor pemuasan diri, karena merasa dirinya sanggup mengkoleksi barang eksklusif dimana tidak semua orang bisa mendapatkannya. c. Faktor sistem dan prosedur izin kepemilikan senjata api yang begitu


(4)

d. Faktor perdagangan senjata api ilegal, dimana kebetulan saja belum terungkap, tidak terungkap, atau memang sudah diungkap, dengan harga jual yang lebih murah, dan proses mudah.

e. Faktor untuk melakukan tindak kriminal, dimana melakukan kejahatan perampokan, pembunuhan, teror.

3. Seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban pidana ,apabila tidak ditemukan alasan pengapusan pidana .Dalam tindak pidana kepemilakn senjata api seseorang dapat dihukum atau dapat dimintai pertanggungjawaban pidana maksimal 20 tahun penjara ,penjara seumur hidup,dan hukuman mati.Tingginya hukuman terhadap kepemilkan senjata api disebabkan peredaran senjata api dapat meresahkan masyarakat dan mengangu stabilitas keamaanan nasional.

B. Saran

Sebagai rekomendasi penulis terhadap ilmu pengetahuan, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :

1. Guna mengatasi semakin maraknya peredaran senjata api ,perlu mengkaji persoalan senjata api senjata api secara komprehesif,baik dari sisi kebijakan,pengawasan maupun pengunaanya.

2. Bagi pelaku tindak pidana kejahatan menggunakan senjata api harus ditindak dengan tegas tanpa memperdulikan latar belakang atau strata sosial sehingga tercipta keadilan yang merata bagi masyarakat.


(5)

DAFTAR PUSTAKA. BUKU-BUKU

Chawazi,Adami,2002,Pelajaran Hukum Pidana I,Jakarta :Raja Grafindo Persada. Moelijatno,1993,Asas-Asas Hukum Pidana ,Jakarta:Rineka Cipta.

Saleh,Roeslan,1983,Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana ,Jakarta:Aksara Baru.

Huda Chairul,2006,Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Pidana Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan,Jakarta :Prena Media.

Moleong,Lexy, 2007, Metode Penelitian Kuantitaif,Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.

Soekanto Soerjono,1986,Pengantar Penelitian Hukum,Jakarta:UI Press.

Marpaung Laden,2002,Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh,Jakarta :sinar Grafika

Pudyamoko Sri,2009,Perizinan,Jakarta:Grasindo

Karnavian Tito,2008,Indonesia Top Secret Membongkar Konflik Poso,Jakarta :Gramedia Pustaka Utama

Hamzah,Andi,1993,Hukum Acara Pidana di Indonesia ,Jakarta :Arika Cipta Wisnubroto,2009,Teknis Persidangan Pidana ,Jokjakarta:UAJY Press

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.


(6)

Undang-Undang Nomor 20 Prp Tahun 1960 tentang Kewenangan Perizinan Yang diberikan Menurut Perundang-undangan Mengenai Senjata Api

Ordonasi Tanggal 19 maret 1937(Stbl.1937 No170) Dan Ordonasi Tanggal 10 Maret 1939(Stbl.No 178),jo Ordonasi Tanggal 30 Mei 1939(Stbl.1939 No.279) Tentang Vuurwapen Regelingen.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun1948 Tentang Pendaftaran Dan Pemberian Izin Pemakaian senjata Api.

Skep Kapolri:No 82/II/2004 tanggal 16 februari 2004 Tentang Buku Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Dan Pengendalian Senjata Api Non Organik TNI/POLRI

INTERNET.

http:/

http:/ http:/