Produksi Kompos Yang Dihasilkan Dari Limbah Padat Rumah Tangga Dan Kotoran Ternak Babi Dengan Menggunakan Dan Tidak Menggunakan EM4 Sebagai Aktivator.

(1)

PRODUKSI KOMPOS YANG DIHASILKAN DARI LIMBAH PADAT RUMAH TANGGA DAN KOTORAN TERNAK BABI DENGAN

MENGGUNAKAN DAN TIDAK MENGGUNAKAN EM4 SEBAGAI AKTIVATOR

SKRIPSI Oleh :

JULIANA ELISABET NAINGGOLAN NIM. 121021109

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PRODUKSI KOMPOS YANG DIHASILKAN DARI LIMBAH PADAT RUMAH TANGGA DAN KOTORAN TERNAK BABI DENGAN

MENGGUNAKAN DAN TIDAK MENGGUNAKAN EM4 SEBAGAI AKTIATOR

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

JULIANA ELISABET NAINGGOLAN 121021109

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

(4)

ABSTRAK

Limbah padat rumah tangga Dusun IV Desa Marindal II Kabupaten Deli Serdang yaitu kotoran ternak babi dan limbah dapur dapat mencemari lingkungan sekitar. Bau menyengat tercium dari kotoran ternak. Limbah dapur dapat menjadi perindukan vektor. Daun-daunan kering yang berserakan tidak menarik secara estetika.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang pemanfaatan limbah padat rumah tangga tersebut untuk dimanfaatkan menjadi kompos dengan menggunakan Effective Microorganisms 4 (EM4) sebagai aktivator dan tidak menggunakan aktivator untuk melihat kematangan kompos yang dihasilkan dilihat dari ciri-ciri fisik.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian yang bersifat eksperimen dengan disain penelitian Rancangan Praeksperimen pada jenis Perbandingan Kelompok Statis (Static Group Comparison). Sampel dalam penelitian ini adalah limbah padat rumah tangga pada empat keluarga (4 KK), yaitu dua keluarga sebagai kelompok yang menggunakan EM4 sebagai aktivator dan dua keluarga sebagai kelompok yang tidak menggunakan aktivator

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kematangan kompos adalah sama, namun yang membedakannya ada pada bau dan warna. Tercium sedikit bau khas kotoran ternak pada kelompok yang tidak menggunakan aktivator. Warna pada kelompok yang tidak menggunakan aktivator terlihat hitam kecoklatan namun tidak begitu signifikan seperti pada kelompok yang menggunakan aktivator. Waktu kematangan kompos pada kelompok yang menggunakan aktivator adalah 15 hari sedangkan pada kelompok yang tidak meggunakan aktivator adalah 40 hari.

Masyarakat disarankan memanfaatkan limbah rumah tangga untuk dijadikan kompos dengan menggunakan aktivator EM4.


(5)

ABSTRACT

Domestic solid waste of Hamlet IV Marindal Village II Deli Serdang Regency such are pig livestock and domestic waste can contaminate the surrounding environment. The animal feces is pungent smelled in this area. Domestic waste can be a vector breeding place. Dried leaves scattered aesthetically unappealing.

This research aims to gain an description of the utilization domestic solid waste to be compost by using Effective Microorganisms 4(EM4) as an activator and without activator base on physical characteristics.

This research is experimental research with a design research of comparison group Pre experiment Static design (Static Group Comparison). Sample in this research is the domestic solid waste in four household, that are two household as a group using EM4 as activator and two household as a group that without activator.

The research result has the same ripe of compost, but what distinguishes it is in odor and color. Smells slightly distinctive odor of animal manure in the group that not use an activator. Color in the group that not use activator looks brownish black but not contrast as in the group using the activator. Ripe of compost in the group using activator took 15 days while in the group not using activator took 40 days. Suggested to people to utilized domestic waste to be compost using EM4 activator.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Juliana Elisabet Nainggolan Tempat/Tanggal Lahir: Medan/ 13 Juli 1981

Agama : Kristen Protestan Nama Orang Tua

Ayah : Sabar.Nainggolan

Ibu : Dinar. Sitorus

Anak ke : 5 dari 5 orang bersaudara Alamat Rumah : Jl. Dame No.12 Medan Amplas Riwayat Pendidikan

Tahun 1987 - 1993 : SD Negeri 060931 Medan Tahun 1993 - 1996 : SMP Negeri 15 Medan

Tahun 1996 - 1999 : Sekolah Menengah Umum Swasta RK.Tri Sakti Tahun 1999 - 2002 : D-III Kesehatan Lingkungan


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Produksi Kompos Yang Dihasilkan Dari Limbah Padat Rumah Tangga Dan Kotoran Ternak Babi Dengan Menggunakan Dan Tidak Menggunakan EM4 Sebagai Aktivator”.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada orang tua tercinta, Ayahanda Sabar Nainggolan dan Ibunda Dinar Sitorus yang telah memberikan dukungan baik moril dan materil dalam membesarkan, mendidik, memotivasi dan selalu mendoakan penulis. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Ir. Evi Naria, M.kes selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara beserta seluruh dosen dan staf Departemen Kesehatan Lingkungan yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalaman kepada penulis selama menuntut ilmu di FKM USU.


(8)

3. dr. Surya Dharma, MPH selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, arahan petunjuk dan saran-saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. dr. Devi Nuraini Santi, MKes selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan petunjuk dan saran-saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Ir. Evi Naria, M.kes yang telah bersedia menjadi dosen penguji I pada sidang skripsi dan memberikan masukan dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini.

6. Dra. Nurmaini, MKM, Ph.D yang telah bersedia menjadi dosen penguji II pada sidang skripsi dan memberikan masukan dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini.

7. Dr. Juanita, SE, M.Kes selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.

8. Untuk seluruh keluargaku, Drs. David M. Nainggolan , Mastiur N,SE, M.Pd, Betesdha Cahaya Duma N, Josua, SH. terima kasih untuk kebersamaan, dukungan, dan doa yang diberikan kepada penulis.

9. Untuk rekan-rekan kerja di Puskesmas Sukaramai terimakasih untuk kebersamaan, dukungan, dan doa yang diberikan kepada penulis.

10.Teman-teman FKM USU, Netty Paska Laoli, Epi Rela Sinaga, Ika Juni A.Ginting, Daswati S, Reni Aristy, Annisa Rambe, Dewi Sartika, Pebruanti, Marta, Eka Novi, Luciana Sianturi, Damaris Orosa, Yuni Messi, Faisal, Chatarina S, Donny Hutapea, Juspen Simarmata, SKM , Febewati, SKM , Yulisa, SKM dll yang tidak dapat di sebutkan satu persatu, terima kasih untuk kebersamaan, dukungan, dan doa yang diberikan kepada penulis.


(9)

11.Untuk Bapak dan ibu di Kantor Desa Marindal II Deli Serdang yang selalu memberikan informasi dan data yang dibutuhkan penulis.

12.Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan, kerjasama dan doanya.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini baik dari segi isi maupun penyajianya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin

Medan, Januari 2014 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Abstract... ... iii

Daftar Riwayat Hidup ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... viii

Daftar Tabel ... xi

Daftar Gambar ... xii

Lampiran ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1. Tujuan Umum ... 4

1.3.2. Tujuan Khusus ... 4

1.4. Manfaat Penelitian... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Pengertian Limbah Padat ... 6

2.1.1. Jenis Sampah ... 6

2.1.2. Sumber-Sumber Sampah ... 9

2.1.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Jumlah Sampah... 10

2.1.4. Sistem Pengelolaan Sampah ... 12

2.1.5. Dampak Sampah ... 14

2.2. Pengertian Kompos ... 18

2.3. Prinsip Dasar Pembuatan Kompos ... 20

2.3.1. Faktor Penting Dalam Pengomposan ... 21 2.4. Bioaktivator ... 32

2.4.1. Jenis-Jenis Aktivator ... 34

2.4.2. Keuntungan Kotoran Ternak Menjadi Kompos (Pupuk) ... 37

2.5. Ciri-Ciri Kompos Yang Sudah Matang ... 38

2.6 Manfaat Kompos ... 39

2.7. Kerangka Konsep ... 40

BAB III METODE PENELITIAN ... 41

3.1. Jenis dan RancanganPenelitian ... 41

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 41

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 41

3.2.2. Waktu Penelitian ... 42

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 42

3.3.1. Data Primer ... 42

3.3.2. Data Sekunder ... 42

3.4. Objek Penelitian ... 42

3.5. Sampel ... 42

3.6. Defenisi Operasional ... 43


(11)

3.7.1. Bahan dan Peralatan ... 44

3.7.1.1. Bahan Pada Kelompok Yang Menggunakan Aktivator ... 45

3.7.1.2. Bahan Pada Kelompok Yang Tidak Menggunakan Aktivator ... 45

3.7.1.3. Bahan Mollase ... 45

3.7.1.4. Alat ... 46

3.7.2. Komposter ... 46

3.7.3. Cara Kerja Penelitian ... 47

3.7.3.1. Prosedur Kerja Pengaktifan EM4 Menurut Pabrik ... 47

3.7.3.2. Prosedur Kerja Pengaktifan EM4 Menurut Suryat ... 48

3.7.3.3. Prosedur Kerja Pembuatan KomposDari Limbah Padat Rumah .... Tangga Dengan Menggunakan Aktivator (Kel.Eksperimen) ... 49

3.7.3.4. Prosedur Kerja Pembuatan Kompos Dari Limbah Padat Rumah Tangga Tidak Menggunakan Aktivator (Kel.Kontrol) ... 51

3.7.4. Rasio Karbon (C) Dan Nitrogen (N) ... 52

3.8. Analisa Data ... 54

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 55

4.1. Hasil Analisis Kematangan Kompos ... 55

4.1.1. Hasil Analisis Kematangan Kompos Pada Kel. Yang Menggunakan Aktivator (Kel.Eksperimen Atau Yang Menerima Perlakuan ... 55

4.1.2. Hasil Analisis Kematangan Kompos Pada Kel.Yang Tidak Menggunakan Aktivator (Kel.Kontrol) ... 57

4.2. Waktu Yang Diperlukan Untuk Pembuatan Kompos Dari Limbah Padat Rumah Tangga Dan Kotoran Ternak Babi Dengan Menggunakan Dan Tidak Menggunakan Aktivator ... 59

4.2.1. Waktu Yang Diperlukan Untuk Pembuatan Kompos Dari Limbah Padat Rumah Tangga Dan Kotoran Ternak Babi Dengan Menggunakan Aktivator ... 59

4.2.2. Waktu Yang Diperlukan Untuk Pembuatan Kompos Dari Limbah Padat Rumah Tangga Dan Kotoran Ternak Babi Tidak Menggunakan aktivator ... 62

BAB V PEMBAHASAN ... 65

5.1. Analisis Kematangan Kompos Pada Kel.Yang Menggunakan Aktivator dan Pada Kelompok Yang Tidak Menggunakan Aktivator ... 65

5.2. Waktu Yang Diperlukan Untuk Pembuatan Kompos Dari Limbah Padat Rumah Tangga Dan Kotoran Ternak Babi Dengan Menggunakan Dan Tidak Menggunakan Aktivator ... 70

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

6.1. Kesimpulan ... 72

6.2. Saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Daftar Rasio C/N Bahan Kompos ... 22

Tabel 2.2. C/N Rasio Beberapa Bahan Organik ... 23

Tabel 2.3. Kondisi Ideal Pengomposan ... 25

Tabel 2.4. Kandungan Unsur Hara Pada Beberapa Kotoran Ternak Padat&Cair...36


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kematangan Kompos Yang Menggunakan EM4 Sebagai Aktivator . .... 55 Gambar 2. Kematangan Kompos Yang Tidak Menggunakan EM4


(14)

ABSTRAK

Limbah padat rumah tangga Dusun IV Desa Marindal II Kabupaten Deli Serdang yaitu kotoran ternak babi dan limbah dapur dapat mencemari lingkungan sekitar. Bau menyengat tercium dari kotoran ternak. Limbah dapur dapat menjadi perindukan vektor. Daun-daunan kering yang berserakan tidak menarik secara estetika.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang pemanfaatan limbah padat rumah tangga tersebut untuk dimanfaatkan menjadi kompos dengan menggunakan Effective Microorganisms 4 (EM4) sebagai aktivator dan tidak menggunakan aktivator untuk melihat kematangan kompos yang dihasilkan dilihat dari ciri-ciri fisik.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian yang bersifat eksperimen dengan disain penelitian Rancangan Praeksperimen pada jenis Perbandingan Kelompok Statis (Static Group Comparison). Sampel dalam penelitian ini adalah limbah padat rumah tangga pada empat keluarga (4 KK), yaitu dua keluarga sebagai kelompok yang menggunakan EM4 sebagai aktivator dan dua keluarga sebagai kelompok yang tidak menggunakan aktivator

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kematangan kompos adalah sama, namun yang membedakannya ada pada bau dan warna. Tercium sedikit bau khas kotoran ternak pada kelompok yang tidak menggunakan aktivator. Warna pada kelompok yang tidak menggunakan aktivator terlihat hitam kecoklatan namun tidak begitu signifikan seperti pada kelompok yang menggunakan aktivator. Waktu kematangan kompos pada kelompok yang menggunakan aktivator adalah 15 hari sedangkan pada kelompok yang tidak meggunakan aktivator adalah 40 hari.

Masyarakat disarankan memanfaatkan limbah rumah tangga untuk dijadikan kompos dengan menggunakan aktivator EM4.


(15)

ABSTRACT

Domestic solid waste of Hamlet IV Marindal Village II Deli Serdang Regency such are pig livestock and domestic waste can contaminate the surrounding environment. The animal feces is pungent smelled in this area. Domestic waste can be a vector breeding place. Dried leaves scattered aesthetically unappealing.

This research aims to gain an description of the utilization domestic solid waste to be compost by using Effective Microorganisms 4(EM4) as an activator and without activator base on physical characteristics.

This research is experimental research with a design research of comparison group Pre experiment Static design (Static Group Comparison). Sample in this research is the domestic solid waste in four household, that are two household as a group using EM4 as activator and two household as a group that without activator.

The research result has the same ripe of compost, but what distinguishes it is in odor and color. Smells slightly distinctive odor of animal manure in the group that not use an activator. Color in the group that not use activator looks brownish black but not contrast as in the group using the activator. Ripe of compost in the group using activator took 15 days while in the group not using activator took 40 days. Suggested to people to utilized domestic waste to be compost using EM4 activator.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk dunia bergerak cepat dan terus bertambah. Sejarah kehidupan, manusia akan selalu dihadapakan pada berbagai persoalan. Salah satu dari persoalan yang diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi adalah produksi sampah. Semakin besar jumlah populasi manusia dan segala aktivitasnya maka akan semakin besar pula sampah yang akan dihasilkannya. Menurut data dari Kantor Kepala Desa Marindal II Kecamatan Patumbak jumlah penduduk sampai dengan bulan Juli 2014 dari sembilan dusun (9 dusun) adalah 11.041 jiwa dan 3.329 kepala keluarga. Sedangkan jumlah penduduk di dusun IV sampai dengan bulan Juli 2014 adalah 1.279 jiwa dan 501 kepala keluarga. Pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun mengakibatkan konsentrasi produksi sampah meningkat, apalagi bila sampah tersebut tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan berbagai masalah. Selain mengganggu pemandangan (estetika) terhadap lingkungan, sampah juga dapat menimbulkan berbagai resiko penyakit, seperti muntaber, diare, dan gangguan infeksi saluran pernafasan (ispa). Sampah juga dapat mencemari perairan, mencemari tanah, dan menyebabkan banjir.

Timbunan sampah dapat kita lihat berasal dari berbagai sumber, baik pasar, pertokoan, restoran, sekolah, rumah sakit, perkantoran, perumahan dan masih banyak lagi. Sampah yang paling dekat dengan kita ada paling banyak dihasilkan adalah sampah yang berasal dari limbah rumah tangga.


(17)

Menurut Tobing (2005), lingkungan yang sehat, bersih dan indah merupakan dambaan setiap orang tetapi untuk mewujudkannya diperlukan pemahaman dan komitmen dalam bertindak. Keinginan untuk mencapainya sangat sering dikumandangkan baik oleh kelompok masyarakat maupun oleh lembaga pemerintah tetapi seringkali hanya sebatas slogan belaka tanpa diiringi oleh upaya serius. Berbagai langkah telah diupayakan oleh pemerintah, tetapi tanpa dukungan secara sadar oleh anggota masyarakat, lingkungan yang sehat tidak akan pernah dapat terwujud karena upaya ini harus dilakukan secara bersama-sama. Kesan bahwa masyarakat tidak perduli terhadap lingkungan, tercermin dari keadaan lingkungan yang dari waktu ke waktu memperlihatkan penurunan kualitas. Kondisi seperti ini terjadi karena lingkungan dicemari oleh berbagai bahan buangan (sampah atau limbah) baik limbah rumah tangga maupun limbah industri.

Seiring dengan perkembangan penduduk Dusun IV Gg.Perhubungan Desa Marindal II Kec.Patumbak Kabupaten Deli Serdang, pertumbuhan pembangunan juga meningkat dan memberi dampak pertumbuhan volume sampah. Desa Marindal II tepatnya di Dusun IV Gang Perhubungan pada umumnya memiliki ternak babi, dimana ternak babi tersebut mereka pelihara tepat berada dibelakang rumah mereka. Kotoran ternak tersebut tidak dikelola dengan baik dibiarkan begitu saja, mengalir dan terbuang di saluran parit mereka. Saluran air limbah tersebut tidak tertutup sehingga dapat mencemari lingkungan sekitar. Hal ini mengakibatkan kualitas lingkungan di Gang Perhubungan pada saat ini menurun, ditandai dengan bau yang sangat menyengat pada daerah tersebut. Disamping itu limbah padat rumah tangga khususnya limbah yang berasal dari dapur selain diberikan sebagai pakan ternak mereka, tak jarang juga terlihat terbuang begitu saja tanpa dikelola dengan baik sehingga hal ini dapat memicu sebagai tempat perindukan vektor berkembang biak


(18)

seperti tikus dan lalat. Daun – daun kering juga terlihat berserakan dihalaman rumah mereka sehingga tidak menarik secara estetika terhadap lingkungan tersebut.

Bertolak dari masalah ini, penulis tertarik melakukan memberikan solusi yang tepat kepada masyarakat yaitu dengan cara memanfaatkan sampah organik yang ada yaitu sampah yang berasal dari sisa dapur, kotoran ternak babi dan daunan kering untuk dijadikan kompos. Pengomposan dilakukan secara aerob. Peneliti mengambil empat keluarga sebagai sampel yang memiliki karakteristik yang sama untuk diteliti. Karakteristik yang sama dari empat keluarga tersebut adalah memiliki enam anggota keluarga yaitu kepala keluarga, ibu rumah tangga dan anak, menghasilkan sampah organik dapur 5 kg dalam waktu 8 hari per keluarga yang dapat dijadikan sebagai bahan pembuatan kompos, kemudian memiliki jumlah ternak babi yang sama yaitu 2 ekor ternak dan menghasilkan kotoran ternak babi dalam waktu 8 hari kira – kira 8 kg pada masing - masing ternak keluarga dan limbah daun – daunan kering berkisar antara 8 kg dalam waktu 8 hari.

Diharapkan dengan adanya eksperimen pembuatan kompos dari limbah padat rumah tangga dan kotoran ternak babi permasalahan di Dusun IV Gang Perhubungan Desa Marindal II Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang dapat dikurangi atau diminimalisir, sehingga limbah atau sampah tersebut dapat dikelola dengan baik yang mana dampak negatif yang ditimbulkan oleh limbah tersebut dapat diubah menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat tersebut. Pembuatan kompos dapat digunakan sebagai pupuk organik yang berguna untuk tanaman atau kebun mereka. Berdasarkan hal diatas akhirnya penulis melakukan penelitian tentang Produksi Kompos Yang Dihasilkan Dari Limbah Padat Rumah Tangga Dan Kotoran Ternak Babi Dengan Menggunakan Dan Tidak Menggunakan EM4 Sebagai Aktivator.


(19)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas bahwa di Dusun IV Gg. Perhubungan Desa Marindal II Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang dapat diketahui Produksi Kompos Yang Dihasilkan Dari Limbah Padat Rumah Tangga Dan Kotoran Ternak Babi Dengan Menggunakan Dan Tidak Menggunakan EM4 Sebagai Aktivator.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Produksi Kompos Yang Dihasilkan Dari Limbah Padat Rumah Tangga Dan Kotoran Ternak Babi Dengan Menggunakan Dan Tidak Menggunakan EM4 Sebagai Aktivator.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Menentukan kematangan kompos yang dihasilkan.

2. Melihat waktu yang diperlukan untuk pembuatan kompos dari limbah padat rumah tangga dan kotoran ternak babi dengan menggunakan dan tidak menggunakan EM4 sebagai aktivator.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi bagi pemerintah/Instansi yang terkait agar meningkatkan upaya penyehatan lingkungan melalui pengelolaan limbah padat rumah tangga.

2. Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi masyarakat khususnya Ibu Rumah Tangga dalam pengelolaan sampah agar dapat bermanfaat dengan cara meproduksi kompos yang dihasilkan dari limbah padat rumah tangga yaitu limbah daur dan kotoran ternak babi di Dusun IV Desa Marindal II Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014.


(20)

3. Memberi masukan bagi peneliti lainnya mengenai Produksi Kompos Yang Dihasilkan Dari Limbah Padat Rumah Tangga Dan Kotoran Ternak Babi Dengan Menggunakan Dan Tidak Menggunakan EM4 Sebagai Aktivator.

4. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang cara produksi kompos yang dihasilkan dari limbah padat rumah tangga.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Limbah Padat

Menurut Asrul (1996), limbah padat atau yang biasanya seperti kita ketahui adalah sampah dalam ilmu kesehatan lingkungan hanya sebagian dari benda atau hal-hal yang dipandang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau harus dibuang, sedemikian rupa sehingga tidak sampai mengganggu kelangsungan hidup. Pengertian sampah menurut Notoatmodjo (2003) adalah suatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia, atau benda padat yang sudah tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang.

Menurut Slamet (2002), sampah adalah segala sesuatu yang tidak lagi dikehendaki oleh yang punya dan bersifat padat.

2.1.1 Jenis Sampah

Jenis sampah menurut Mulyono (2014) dibagi atas 3 yaitu :

1. Sampah organik

Sampah organik merupakan sampah yang berasal dari limbah tanaman, sisa kotoran hewan, dan kotoran manusia. Sampah organik dibedakan menjadi dua jenis, yaitu organik basah dan organik kering. Organik basah masih mengandung air dalam sampah, misalnya sampah sayuran, sampah buah – buahan, sampah tanam – tanaman kebun. Sementara itu, sampah organik kering seperti kertas, kardus, kayu, ranting, dan batang pohon kering.


(22)

2. Sampah anorganik

Sampah anorganik pasti bukan berasal dari mahluk hidup. Prinsip daur ulang (recycle) berlaku dalam proses pengolahan sampah anorganik seperti plastik dan logam. Ada beberapa bahan plastik yang hanya bisa didaur ulang 1 – 2 kali. Namun pada dasarnya plastik tidak boleh didaur ulang lebih dari dua kali karena berbahaya bagi kesehatan.

3. Sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)

Sampah jenis ini sangat berbahaya bagi manusia dan mahluk hidup lainnya. Pasalnya, beberapa bahan mengandung merkuri sangat tinggi, seperti bekas kemasan cat semprot, baterai bekas, bahan insektisida, dan kimia pengawet lainnya.

Menurut Chandra (2005), sampah padat dapat dibagi menjadi beberapa kategori, seperti berikut:

1. Berdasarkan zat kimia yang terkandung didalamnya. a. Organik, misalnya sisa makanan, daun, sayur, dan buah b. Anorganik, misalnya logam, pecah-belah, abu, dan lain - lain 2. Berdasarkan dapat atau tidaknya terbakar

a. Mudah terbakar, misalnya kertas, plastik, daun kering, kayu. b. Tidak mudah terbakar, misalnya kaleng, besi, gelas, dan lain - lain. 3. Berdasarkan dapat atau tidaknya membusuk

a. Mudah membusuk, misalnya sisa makanan, potongan daging, dan sebagainya. b. Sulit membusuk, misalnya plastik, karet, kaleng, dan sebagainya.


(23)

1. Garbage yaitu jenis sampah yang terdiri dari sisa-sisa potongan hewan atau sayuran dari hasil pengolahan yang sebagian besar terdiri dari zat-zat yang mudah membusuk, lembab, dan mengandung sejumlah air bebas.

2. Rubbish terdiri dari sampah yang dapat terbakar atau yang tidak dapat terbakar yang berasal dari rumah - rumah, pusat - pusat perdagangan, kantor - kantor, tapi yang tidak termasuk garbage.

3. Ashes (Abu) yaitu sisa-sisa pembakaran dari zat - zat yang mudah terbakar baik dirumah, dikantor, industri.

4. Street Sweeping (Sampah Jalanan) berasal dari pembersihan jalan dan trotoar baik dengan tenaga manusia maupun dengan tenaga mesin yang terdiri dari kertas - kertas, daun - daunan.

6. Dead Animal (Bangkai Binatang) yaitu bangkai - bangkai yang mati karena alam, penyakit atau kecelakaan.

7. Houshold Refuse yaitu sampah yang terdiri dari rubbish, garbage, ashes, yang berasal dari perumahan.

8. Abandonded Vehicles (Bangkai Kendaraan) yaitu bangkai - bangkai mobil, truk, kereta api.

9. Sampah Industri terdiri dari sampah padat yang berasal dari industry - industri, pengolahan hasil bumi.

10. Demolition Wastes yaitu sampah yang berasal dari pembongkaran gedung.

11.Construction Wastes yaitu sampah yang berasal dari sisa pembangunan, perbaikan dan pembaharuan gedung - gedung.


(24)

12. Sewage Solid terdiri dari benda - benda kasar yang umumnya zat organik hasil saringan pada pintu masuk suatu pusat pengelolahan air buangan.

13. Sampah khusus yaitu sampah yang memerlukan penanganan khusus misalnya kaleng - kaleng cat, zat radiokatif.

2.1.2 Sumber-Sumber Sampah

Menurut Notoatmojo (2003), Sumber - sumber sampah dibagi sebagai berikut:

1. Sampah yang berasal dari pemukiman (domestic waste)

Sampah ini terdiri dari bahan-bahan padat sebagai hasil kegiatan rumah tangga yang sudah dipakai dan dibuang, seperti : sisa-sisa makanan baik yang sudah dimasak atau belum, bekas pembungkus baik kertas, plastik, daun, pakaian -pakaian bekas, bahan - bahan bacaan, perabot rumah tangga.

2. Sampah yang berasal dari tempat - tempat umum.

Sampah ini berasal dari tempat - tempat umum, seperti : pasar, tempat-tempat hiburan, terminal bus, stasiun kereta api. Sampah ini berupa kertas, plastik, botol, dan daun.

3. Sampah yang berasal dari perkantoran

Sampah ini berasal dari perkantoran, perdagangan, departemen, perusahaan. Sampah ini berupa kertas - kertas, plastik, karbon, klip. Umumnya sampah ini bersifat kering dan mudah terbakar (rubbish).

4. Sampah yang berasal dari jalan raya

Sampah ini berasal dari pembersihan jalan, yang umumnya terdiri atas : kertas - kertas, kardus - kardus, debu, batu-batuan, pasir, sobekan ban, onderdil - onderdil kendaraan yang jatuh, daun - daunan, dan plastik.


(25)

Sampah dari kawasan industri, termasuk sampah yang berasal dari pembangunan industri dan segala sampah yang berasal dari proses produksi, misalnya: sampah-sampah pengepakan barang, logam, plastik, kayu, potongan tekstil, kaleng.

6. Sampah yang berasal dari pertanian/perkebunan

Sampah ini sebagai hasil dari perkebunan atau pertanian, misalnya : jerami, sisa sayur-mayur, batang padi, batang jagung, ranting kayu yang patah.

7. Sampah yang berasal dari pertambangan

Sampah ini berasal dari daerah pertambangan, dan jenisnya tergantung dari jenis usaha pertambangan itu sendiri, misalnya: batu - batuan, tanah/cadas, pasir, sisa - sisa pembakaran (arang).

8. Sampah yang berasal dari peternakan dan perikanan

Sampah dari peternakan dan perikanan ini berupa : kotoran-kotoran ternak, sisa -sisa makanan, dan bangkai binatang.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Jumlah Sampah

Menurut Chandra (2005), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jumlah sampah:

1. Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk tergantung pada aktifitas dan kepadatan penduduk. Semakin padat penduduk, sampah semakin menumpuk karena tempat atau ruang untuk menampung sampah kurang. Semakin meningkat aktifitas penduduk, sampah yang dihasilkan semakin banyak, misalnya pada aktifitas pembangunan, perdagangan, dan industri.


(26)

Pengumpulan sampah dengan menggunakan gerobak lebih lambat jika dibandingkan dengan truk.

3. Pengambilan bahan-bahan yang ada pada sampah untuk dipakai kembali.

Metode itu dilakukan karena bahan tersebut masih memiliki nilai ekonomi bagi golongan tertentu.

4. Faktor Geografis

Lokasi tempat pembuangan apakah didaerah pegunungan, lembah, pantai, atau di dataran rendah.

5. Faktor Waktu

Bergantung pada faktor harian, mingguan, bulanan, atau tahunan. Jumlah sampah perhari bervariasi menurut waktu. Contoh, jumlah sampah pada siang hari lebih banyak daripada jumlah di pagi hari, sedangkan sampah di daerah pedesaan tidak begitu bergantung pada faktor waktu.

6. Faktor Sosial Ekonomi dan Budaya

Contoh, adat - istiadat dan taraf hidup dan mental masyarakat.

7. Pada musim hujan, sampah mungkin akan tersangkut pada selokan, pintu air, atau penyaringan air limbah.

8. Kebiasaan Masyarakat

Contoh, jika seseorang suka mengkonsumsi satu jenis makanan atau tanaman,

sampah makanan itu akan meningkat.


(27)

Akibat kemajuan teknologi, jumlah sampah dapat meningkat. Contoh: plastik, kardus, rongsokan, AC, TV, dan kulkas.

10. Sampah

Makin maju tingkat kebudayaan suatu masyarakat, semakin kompleks pula macam dan jenis sampahnya.

Sedangkan timbulan sampah menurut Dinas Kebersihan Kota Medan dalam Kajian Pengolahan Sampah, faktor – faktor yang mempengaruhi timbulan sampah adalah :

1. Jumlah penduduk, artinya jumlah penduduk meningkat timbulan sampah meningkat. 2. Keadaan sosial ekonomi, semakin tinggi keadaan sosial ekonomi seseorang akan semakin

banyak timbulan sampah perkapita yang dihasilkan.

3. Kemajuan teknologi, akan menambah jumlah dan kualitas sampahnya 2.1.4 Sistem Pengelolaan Sampah

Menurut Dinas Kebersihan Kota Medan (2013), pengelolaan sampah adalah pengaturan yang berhubungan dengan pengendalian timbulan sampah, penyimpanan, pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan, pengolahan dan pembuangan sampah dengan cara merujuk pada dasar – dasar yang terbaik mengenai kesehatan masyarakat, ekonomi, teknik, konversi, estetika dan pertimbangan lingkungan yang lain dan juga tanggap terhadap perilaku massa.

Menurut Notoatmodjo (2003), sampah erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat karena dari sampah-sampah tersebut akan hidup berbagai mikroorganisme penyebab penyakit (bakteri patogen) dan juga binatang serangga sebagai pemindah / penyebar penyakit (vektor). Oleh sebab itu sampah harus dikelola dengan baik sampai sekecil mungkin tidak mengganggu atau mengancam kesehatan masyarakat.


(28)

Pengelolaan sampah yang baik bukan saja untuk kepentingan kesehatan tetapi juga untuk keindahan lingkungan. Yang dimaksud pengelolaan sampah disini adalah meliputi pengumpulan, pengangkutan sampai dengan pemusnahan atau pengolahan sampah sedemikian rupa sehingga sampah tidak mengganggu kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.

Cara – cara pengelolaan sampah antara lain sebagai berikut :

1. Pengumpulan dan Pengangkutan Sampah

Pengumpulan sampah menjadi tanggung jawab dari masing-masing rumah tangga atau institusi yang menghasilkan sampah. Oleh sebab itu, mereka ini harus membangun atau mengadakan tempat khusus untuk mengumpulkan sampah. Kemudian dari masing-masing tempat pengumpulan sampah tersebut harus diangkut ke tempat penampungan sementara (TPS) sampah, selanjutnya ke tempat penampungan akhir (TPA).

Mekanisme, sistem, atau cara pengangkutannya untuk daerah perkotaan adalah tanggung jawab pemerintah daerah setempat yang didukung oleh partisipasi masyarakat produksi sampah, khususnya dalam hal pendanaan. Sedangkan untuk daerah pedesaan pada umumnya sampah dapat dikelola oleh masing-masing keluarga tanpa memerlukan TPS maupun TPA. Sampah rumah tangga daerah pedesaan umumnya didaur ulang menjadi pupuk.

2. Pemusnahan dan Pengolahan Sampah

Pemusnahan dan/atau pengolahan sampah padat ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain sebagai berikut :

a. Ditanam (landfill) yaitu pemusnahan sampah dengan membuat lubang ditanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah.


(29)

b. Dibakar (inceneration) yaitu memusnahkan sampah dengan jalan membakar didalam tungku pembakaran (incenerator).

c. Dijadikan pupuk (composting) yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk (kompos), khususnya untuk sampah organik daun-daunan, sisa makanan, dan sampah lain yang dapat membusuk. Daerah pedesaan hal ini sudah biasa sedangkan di daerah perkotaan hal ini perlu dibudayakan. Apabila setiap rumah tangga dibiasakan untuk memisahkan sampah organik dengan anorganik kemudian sampah organik diolah menjadi pupuk tanaman, dapat dijual atau dipakai sendiri. Sedangkan sampah anorganik dibuang dan akan segera dipungut oleh para pemulung. Dengan demikian masalah sampah akan berkurang.

2.1.5. Dampak Sampah

Bila sampah tidak dikelola dengan baik tentu akan dapat menimbulkan masalah bagi manusia. Banyak kejadian – kejadian dari efek yang ditimbulkan oleh sampah, akibat manusia menyepelekan masalah sampah.

Menurut Suryati (2014) dampak yang diakibatkan oleh sampah adalah : 1. Mengganggu Estetika

Sampah yang berceceran di jalan atau disembarang tempat sungguh tidak menyedapkan mata. Tumpukan sampah yang berserakan menimbulkan kesan jorok, tidak bersih, dan sangat merusak keindahan.

2. Mencemari Tanah dan Air Tanah

Sampah yang menumpuk dipermukaan tanah akan mencemari tanah dan air didalamnya. Cairan kotor dan bau busuk hasil pembusukan sampah yang merembes ke dalam tanah dapat mencemari air tanah. Bukan tidak mungkin, air yang


(30)

digunakan dari pompa tanah dapat terkontaminasi akibat gaya hidup yang tidak sehat ini.

3. Mencemari Perairan

Sampah yang dibuang kesaluran air akan mencemari perairan sungai, irigasi, waduk, bahkan pantai. Padahal, banyak yang masih memanfaatkan pengairan dari sungai dan sumber air lainnya untuk kebutuhan sehari – hari.

4. Menyebabkan Banjir

Tumpukan sampah yang berada disaluran air (irigasi) dapat menyumbat pintu - pintu air sehingga air sulit mengalir. Maka tak heran jika dikota- kota besar, banjir sering terjadi akibat masyarakatnya menyepelekan sampah.

5. Menimbulkan Bau Busuk

Sampah- sampah yang menumpuk di darat atau yang terendam di air akan mengalami pembusukan. Bau busuk yang menyebar di udara akan tercium dan mengganggu pernafasan.

6. Sebagai Sumber Bibit Penyakit

Sampah yang menimbulkan bau busuk akan mengundang lalat. Pada sampah yang busuk, bersarang bermacam-macam bakteri penyebab penyakit. Lalat tersebut dapat memindahkan bibit penyakit dari sampah kedalam makanan atau minuman.

Sedangkan menurut Gelbert dkk (1996), ada tiga dampak sampah terhadap manusia dan lingkungan yaitu :

1. Dampak Terhadap Kesehatan

Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan sampah yang tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme dan


(31)

menarik bagi berbagai binatang seperti lalat dan anjing yang dapat menjangkitkan penyakit. Potensi bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan sebagai berikut :

a. Penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum. Penyakit demam berdarah (haemorhagic fever) dapat juga meningkat dengan cepat didaerah yang pengelolaan sampahnya kurang memadai

b. Penyakit jamur dapat juga menyebar (misalnya jamur kulit)

c. Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita (taenia). Cacing ini sebelumnya masuk kedalam pencernaan binatang ternak melalui makanannya yang berupa sisa makanan/sampah

2. Dampak Terhadap Lingkungan

Cairan rembesan sampah yang masuk kedalam drainase atau sungai akan mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati sehingga beberapa spesies akan lenyap , hal ini mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis. Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam oraganik dan gas-cair organik, seperti metana. Selain berbau kurang sedap, gas ini dalam konsentrasi tinggi dapat meledak.

3. Dampak Terhadap Keadaan Sosial dan Ekonomi Dampak-dampak tersebut adalah sebagai berikut :

a. Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan bagi masyarakat : bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buruk karena sampah bertebaran dimana - mana


(32)

b. Memberikan dampak negatif terhadap kepariwisataan

c. Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat kesadaran masyarakat. Hal penting disini adalah meningkatnya pembiayaan secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak masuk kerja, rendahnya produktivitas)

d. Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akan memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan, drainase, dan lain – lain.

e. Infrastruktur lain dapat juga mempengaruhi oleh pengelolaan sampah yang tidak memadai, sepertinya tingginya biaya yang diperlukan untuk pengolahan air. Jika sarana penampungan sampah kurang atau tidak efisien, orang akan cenderung membuang sampahnya di jalan. Hal ini mengakibatkan jalan perlu lebih sering dibersihkan dan diperbaki.

2.2. Pengertian Kompos

Menurut Susetya (2014), kompos adalah pupuk yang terbuat dari bahan organik seperti dedaunan, batang, ranting lapuk, kotoran ternak dan lain - lain. Kompos adalah hasil fermentasi atau dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan, atau limbah organik. Sedangkan pengertian lain dari kompos menurut Suryati (2014), kompos merupakan pupuk yang dibuat dari sampah organik yang sebagian besar berasal dari rumah tangga. Kompos adalah bahan organik yang bisa lapuk, seperti daun - daunan, sampah dapur, jerami, rumput, dan kotoran lain, yang semua itu berguna untuk kesuburan tanah. Kompos merupakan material organik yang sudah didekomposisi dan digunakan sebagai media tanah, pupuk dan penyubur tanah.


(33)

Menurut Habibi (2008), proses pembuatan kompos sebenarnya meniru proses terbentuknya humus di alam. Namun dengan cara merekayasa kondisi lingkungan, kompos dapat dipercepat proses pembuatanya, yaitu hanya dalam jangka waktu 30-90 hari. Waktu ini melebihi kecepatan terbentuknya humus secara alami. Oleh karena itulah, kompos selalu tersedia sewaktu-waktu diperlukan tanpa harus menunggu bertahun-tahun lamanya

Menurut Susetya (2014), kompos apabila dilihat dari proses pembuatannya dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu :

1. Kompos Yang Diproses Secara Alami

Pembuatan kompos secara alami adalah pembuatan kompos yang dalam proses pembuatannya berjalan dengan sendirinya, dengan sedikit atau tanpa campur tangan manusia. Manusia hanya membantu mengumpulkan bahan, menyusun bahan, untuk selanjutnya proses pengomposan berjalan dengan sendirinya. Kompos yang dibuat secara alami memerlukan waktu pembuatan yang lama, yaitu mencapai waktu 3-4 bulan bahkan ada yang mencapai 6 bulan lebih.

2. Kompos Yang Dibuat Dengan Campur Tangan Manusia

Pembuatan kompos dengan campur tangan manusia adalah pembuatan kompos yang sejak dari penyiapan bahan (pengadaan bahan dan pemilihan bahan), perlakuan terhadap bahan, pencampuran bahan, pengaturan temperatur, pengaturan kelembaban dan pengaturan kelembaban dan pengaturan konsentrasi oksigen, semua dilakukan dibawah pengawasan manusia.

Proses pembuatan kompos yang dibuat dengan campur tangan manusia biasanya dibantu dengan penambahan aktivator pengurai bahan baku kompos. Aktivator pembuatan kompos terdapat bermacam-macam merk dan produk, tetapi yang paling penting dalam


(34)

menentukan aktivator ini adalah bukan merk aktivatornya, akan tetapi apa yang terkandung didalam aktivator tersebut, berapa lama akitivator tersebut telah diuji cobakan, apakah ada pengaruh dari unsur aktivator tersebut terhadap manusia, terhadap ternak, terhadap tumbuh-tumbuhan maupun pengaruh terhadap organisme yang ada di dalam tanah atau dengan kata lain pengaruh terhadap lingkungan hidup disamping itu juga harus dilihat hasil kompos seperti apa yang diperoleh.

Tujuan dari pembuatan kompos yang diatur secara cermat seperti sudah disinggung diatas adalah untuk mendapatkan hasil akhir kompos jadi yang memiliki standar kualitas tertentu. Diantaranya adalah memiliki nilai Carbon/Nitrogen (C/N) ratio antara 10-12. Kelebihan dari cara pembuatan kompos dengan campur tangan manusia dan menggunakan bahan aktivator adalah proses pembuatan kompos dapat dipercepat menjadi 2-4 minggu.

2.3. Prinsip Dasar Pembuatan Kompos

Menurut Suryati (2014), pada dasarnya, membuat kompos adalah untuk meniru proses terjadinya humus di alam dengan bantan mikroorganisme. Ada dua jenis mikroorganisme yang berperan dalam proses pengomposan, yaitu mikroorganisme yang membutuhkan kadar oksigen tinggi (aerob) dan mikroorganisme yang bekerja pada kadar oksigen rendah (anaerob). Meskipun menghasilkan produk akhir yang sama (kompos), perbedaan mikroorganisme yang digunakan akan memengaruhi proses pembuatan kompos. Proses pengomposan aerobik dan anaerobik juga disampaikan oleh Mulyono (2014), yaitu sebagai berikut :


(35)

Pada proses pengomposan aerobik, jenis mikroorganismenya memerlukan oksigen dan air yang harus terpenuhi. Mikroorganisme merubah sampah organik menjadi kompos dengan bantuan oksigen dan air. Proses aerobik akan menghasilkan karbon, nitrogen, fosfor, belerang, dan protoplasma pertumbuhan bakteri.

Mikroorganisme yang terlibat pada pengomposan aerobik akan menghasilkan CO2,

air panas, humus, dan unsur hara. Mikroorganisme memerlukan energi berupa karbondioksida dan nitrogen untuk mengubah bahan organik menjadi kompos. 2. Pengomposan Anaerobik

Pada proses pengomposan ini memerlukan bakteri anaerob atau bakteri yang tidak membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Bakteri anaerobik dapat tumbuh tanpa terkontaminasi udara.

Pengomposan anaerobik biasa dilakukan secara tertutup dalam wadah tertutup yang hampir hampa udara. Bahan yang cocok untuk dikomposkan adalah bahan organik yang kadar airnya tinggi. Pengomposan anaerob menghasilkan gas metan (CH4),

karbondioksida (CO2), asam organik asetat, asam propionat, asam butirat, asam

laktat, dan asam suksinat. Sebelum digunakan, keringkan kompos yang masih berupa lumpur dan tiriskan. Proses pengeringan sebaiknya jangan terkena matahari langsung. Cairan pengomposan anaerobik bisa digunakan sebagai pupuk cair dan diaplikasikan melaui tanah.

2.3.1. Faktor Penting Dalam Pengomposan

Menurut Suryati (2014), ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mempercepat proses dekomposisi sehingga kompos yang akan dibuat berhasil, yaitu : 1. Rasio Carbon/Nitrogen (C/N)


(36)

Rasio C/N adalah perbandingan antara bahan dasar kompos yang mengandung Karbon (C) dan Nitrogen (N). Perbandingan keduanya harus tepat, yaitu sekitar 30/40 : 1. Kandungan karbon yang diberikan harus lebih banyak karena karbon akan dipecah oleh mikroba sebagai sumber energi. Sementara itu, nitrogen hanya dibutuhkan bakteri untuk proses sintesa protein saja. Kandungan rasio C/N ini sangat dipengaruhi dari kandungan bahan baku yang digunakan. Berikut tabel ulasannya :

Tabel 2.1. Daftar Rasio C/N Bahan Kompos

No Nama Bahan Organik Rasio C/N

1. Sampah sayuran 12 : 1 hingga 20 :1

2. Sampah dapur campur 15:1

3. Jerami padi 70:1

4. Jerami jagung 100 : 1

5. Serbuk gergaji 500 : 1

6. Kayu 00 : 1 hingga 400 : 1

7. Daun segar 10 : 1 hingga 40 : 1

8. Daun kering 50 : 1 hingga 60 : 1

9. Kacang-kacangan 15 : 1

10. Kulit kayu 100 : 1 hingga 130 : 1

11. Batang/cabang pohon 15 : 1 hingga 60 : 1

12. Kotoran sapi 20 : 1

13. Kotoran ayam 10 : 1

14. Sampah buah-buahan 35 : 1

15. Rumput segar 12 : 1 hingga 25 : 1

16. Bonggol jagung 60 : 1


(37)

Sedangkan bila menurut Mulyono (2014), kandungan C/N yaitu : Tabel 2.2. C/N Rasio Beberapa Bahan Organik

No Nama Bahan Organik Rasio C/N

1. Urine ternak 0,8

2. Kotoran ayam 5,6

3. Kotoran sapi 15,8

4. Kotoran babi 11,4

5. Tinja manusia 6-10

6. Darah 3

7. Tepung tulang 8

8. Urine manusia 0,8

9. Enceng gondok 17,6

10. Jerami gandum 80-130

11. Jerami padi 80-130

12. Ampas Tebu 110-120

13. Jerami jagung 50-60

14. Sesbania sp 17,8

15. Serbuk gergaji 500

16. Limbah sayuran 11-27

Sumber : Mulyono (2006) 2. Ukuran Bahan Kompos


(38)

Memotong atau mencacah bahan dasar kompos untuk mempercepat proses dekomposisi. Partikel bahan kompos akan memengaruhi porositas serta luasnya permukaan area kontak antara mikroba dengan bahan kompos. Ukuran ideal potongan bahan mentah sekitar 4 cm. Potongan yang terlalu kecil menyebabkan timbunan menjadi padat sehingga tidak ada sirkulasi udara didalamnya.

3. Kelembaban

Kelembaban dalam tumpukan bahan baku kompos ditunjukkan dalam kadar air bahan, yaitu 30-40%. Tata udara yang baik akan menjadikan tumpukan bahan baku tetap berada pada kisaran suhu dan kelembaban yang optimal. Apabila suhu dan kelembaban berada di luar kisaran tersebut, maka diperlukan upaya untuk mencapai kondisi optimal. Sementara itu, proses pengomposan akan berlangsung optimum pada suhu 30-450C. 4. Kandungan Air dan Oksigen

Kadar air bahan mentah idealnya 50-70%. Jika tumpukan kompos kurang mengandung air, bahan akan bercendawan sehingga proses penguraian bahan akan berlangsung lambat dan tidak sempurna. Karena itu, untuk memastikan tidak adanya kelebihan dan kekurangan air, penting untuk menjaga aerasi selama proses pengomposan dengan cara membuat lubang atau celah di dasar atau bagian samping komposter agar sirkulasi udara terjaga.

5. Suhu

Aktivitas mikroba dapat menghasilkan panas pada proses pengomposan. Peningkatan suhu berkaitan dengan komsumsi oksigen. Semakin tinggi suhu, maka semakin banyak komsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi terjadi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Suhu berkisar 30-600C


(39)

menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Namun, suhu yang lebih tinggi dari 600C akan membunuh sebagian mikroba, hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih – benih gulma yang ikut saat proses dekomposisi berlangsung.

6. pH

Besaran pH (derajat keasaman) saat proses pengomposan berlangsung berkisar 6,5-7,5. Pada proses pengomposan, perubahan pH akan berlangsung ketika pengomposan berhasil, dan pH akan berubah menjadi netral (7,0).

Tabel 2.3. Kondisi Ideal Pengomposan

No Parameter Kondisi Ideal Kondisi yang Dapat Diterima

1. Rasio 25 : 1 atau 35 : 1 20 : 1 atau 40 :1

2. Kelembaban 40 – 62% 40-65%

3. Konsentrasi oksigen tersedia >10% >5%

4. Ukuran partikel Bervariasi 1 inci

5. pH 6,5-8,0 5,5-9,0

6. Suhu 54-600C 43-660C

Sumber : Suryati (2014)

Menurut Habibi (2008), prinsip dasar pengomposan secara aerob adalah : 1. Rasio C/N Bahan Pada Pengomposan

Rasio C/N adalah perbandingan antara kadar karbon (C) dan kadar Nitrogen (N) pada suatu bahan. Semua mahluk hidup tersusun dari sejumlah besar bahan karbon (C) serta Nitrogen (N) dalam jumlah kecil. Pembuatan kompos aerob yang optimal membutuhkan rasio C/N 25 : 1 sampai 30 : 1. Nilai dari rasio C/N merupakan faktor penting yang


(40)

mempengaruhi kegiatan bakteri. Unsur karbon (C) dimanfaatkan oleh bakteri sebagai sumber energi dalam proses metabolisme dan perbanyakan sel. Sedangkan unsur nitrogen (N) digunakan untuk membentuk protein atau pembentukan protoplasma. Jika bahan organik memiliki kandungan C terlalu tinggi maka proses penguraian akan berlangsung lama. Sebaliknya, jika C terlalu rendah maka sisa nitrogen akan berlebih sehingga akan terbentuk gas amoniak (NH3).

Kadar amoniak yang terlalu banyak dapat meracuni bakteri. Oleh sebab itu, jumlah C/N ratio perlu dihitung dan direncanakan secara tepat. Dalam hal ini perbandingan C/N dari bahan baku pengomposan pada kelompok yang menggunakan aktivator dan kelompok yang tidak menggunakan aktivator adalah 26,9. Ini menunjukkan bahwa perbandingan C/N pada pengomposan tersebut sudah memenuhi standart pengomposan.

2. Volume bahan

Baik banyaknya bahan baku maupun cara menumpuk bahan baku sangat menentukan proses pengomposan. Tumpukan bahan yang lebih banyak dapat mempercepat proses pengomposan dibandingkan tumpukan bahan yang sedikit. Namun demikian, semakin besar tumpukan bahan baku, semakin sulit untuk mengatur atau mengontrol suhu dan kelembabannya.

Volume bahan baku yang dibuat pada pengomposan ini dilakukan dengan proporsional, dimana jumlah bahan pengomposan adalah sebesar 21 kg dan komposter pengomposan ini berkapasitas untuk 50 kg, sehingga tumpukan kompos dan banyaknya kompos sesuai.

3. Ukuran bahan

Berlangsungnya proses pengomposan akan lebih cepat dan lebih baik jika ukuran bahan baku yang akan dikomposkan diperkecil, karena mikroorganisme akan lebih mudah beraktivitas mengolah dan membentuk koloni pada bahan yang sudah lembut (substrat) dibandingkan dengan bahan dengan ukuran besar. Ukuran bahan yang dianjurkan pada pengomposan secara aerob


(41)

yaitu 1-7,5 cm. Pencacahan sebaiknya tidak terlalu lembut seperti bubur, karena pada saat berlangsungnya pengomposan bahan akan mengeluarkan kadar air.

Ukuran bahan pengomposan ini sesuai dengan ukuran pengomposan yang dianjurkan yaitu berkisar 1 cm.

4. Kadar bahan pada bahan pengomposan secara aerob

Pada proses pengomposan secara aerob, kadar air bahan sebaiknya antara 40 – 50 %. Kondisi kadar air seperti itu harus dipertahankan saat berlangsungnya pengomposan agar mikroorganisme aerob dalam kompos dapat bekerja dengan baik dan tidak mati. Kadar air yang sesuai sangat membantu pergerakan mikroba dalam bahan. Transportasi makanan untuk mikroba, dan reaksi kimia yang ditimbulkan oleh mikroba.

Apabila kadar air terlalu banyak dapat menyebabkan bahan semakin padat, melumerkan sumber makanan yang dibutuhkan mikroba dan menghalangi masuknya oksigen ke dalam bahan. Namun, jika air terlalu sedikit maka bahan baku akan menjadi kering dan tidak mendukung kehidupan mikroba.

Kondisi kadar air yang terbaik yaitu sedang, tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah. Cara sederhana untuk mengetahui kadar air yaitu dengan mengambil bahan dan meremasnya dalam genggaman tangan. Apabila bahan kompos pecah/hancur dan tidak keluar air sama sekali dari genggaman maka perlu diberi tambahan air. Apabila bagian kompos keluar dari sela – sela jari dengan air berlebih berarti terlalu basah sehingga kompos perlu dibalik – balik. Kondisi bahan dengan kandungan air yang tepat yaitu, dapat dikepal dengan tangan meskipun hancur lagi. Cara untuk mengetahui basah atau tidaknya bagian tengah, dibutuhkan alat pengontrol berupa tongkat bambu atau kayu. Dengan menusukkan alat ini kedalam tumpukan kompos sampai ke tengah maka dapat diketahui tiga hal penting, yaitu basah atau tidak, hangat atau tidak, dan berbau busuk atau tidak. Jika tongkat tersebut hangat dan basah berarti pengomposan masih berlangsung dengan baik. Namun apabila tongkat tersebut kering dan dingin maka perlu disiram


(42)

air. Disamping itu, untuk menjaga kadar air bahan diperlukan tempat yang terlindung dari air hujan dan sinar matahari langsung. Tempat yang teduh sangat dianjurkan agar proses pengomposan secara aerobik dapat berlangsung dengan baik.

Kadar kelembaban pada pengomposan ini diperhatikan secara manual seperti pada penjelasan diatas, dilakukan secara rutin dan seksama.

5. Suhu (Temperatur) pengomposan secara aerob

Suhu ideal untuk pengomposan secara aerob yaitu diantara 45-65oC. Suhu kompos organik dapat dijaga agar tetap stabil dengan cara mengatur kadar air.

Suhu yang terlalu rendah dapat disebabkan bahan yang kurang lembab sehingga aktivitas mikroorganisme menurun. Masalah ini dapat diatasi dengan cara bahan kompos disiram dengan air hingga mencapai kadar air yang optimal.

Demikian pula, jika kondisi suhu bahan terlau tinggi, tidak baik bagi proses pengomposan seara aerob. Suhu yang terlalu tinggi dapat diatasi dengan cara membalikkan bahan.

Pengukuran suhu pada pengomposan ini juga dilakukan secara manual (fisik) yaitu dengan menutup komposter dengan benar, kemudian pada hari keempat bahan kompos dibuka untuk membalikkan bahan agar suhu kompos dapat stabil begitu seterusnya sampai pengomposan berakhir dan menjadi kompos. Hal lain untuk melihat suhu pada pengomposan adalah bila pada proses pengomposan terdapat cendawan maka kadar air kurang sehingga dianjurkan menambahkan atau menyiram dengan air.

6. Derajat keasaman (pH)

Untuk berlangsungnya pengomposan secara aerob dengan baik dibutuhkan pH netral yaitu antara 6-8. Jika kondisi asam biasanya dapat diatasi dengan pemberian kapur. Namun, sebenarnya dengan cara memantau suhu dan membolak balikkan bahan kompos secara tepat dan benar sudah dapat mempertahankan konsidi pH tetap pada titik netral, tanpa pemberian kapur. Dengan demikian, proses pemeriksaan pH setiap waktu tidak perlu dilakukan.


(43)

Memantau derajat keasaman (pH) juga dilakukan secara manual. Pemantauan juga dilakukan secara rutim dengan cara membolak balikkan bahan kompos secara tepat dan benar.

7. Aerasi

Pengomposan secara aerob membutuhkan membutuhkan oksigen. Oleh karena itu tentunya keberadaan udara atau oksigen mutlak diperlukan oleh mikroba aerob.

Pada pengomposan secara aerob harus dikondisikan sedemikian rupa agar setiap bagian bahan kompos memperoleh suplai oksigen yang cukup. Pada pembuatan kompos secara aerob skala kecil, jumlah oksigen tidak harus diketahui. Aerasi pada bahan baku pengomposan ini juga sangat diperhatikan, dimana pengaturan oksigen juga dilakukan dengan merancang komposter sedemikian rupa yaitu memberikan lubang aerasi pada tutup bagian atas komposter. Disamping itu membolak balikkan bahan baku pengomposan secara rutin yaitu 3 hari sekali.

Prinsip Dasar Pengompoan Secara Anaerob menurut Habibi (2008), adalah :

Pengomposan secara anaerob yaitu pengomposan yang berlangsung tanpa adanya udara atau oksigen sedikit pun. Oleh karena itu pada pelaksanaannya dibutuhkan tempat khusus yang tertutup rapat. Sebenarnya cara pembuatan kompos secara anaerob ini tidak jauh berbeda dengan pembuatan biogas atau pembuatan septik tank.

Hasil pengomposan anaerob berupa CH4, H2S, H2, CO2, asam asetat, asam butirat, asam laktat,

etanol, metanol, dan hasil sampingan berupa lumpur. Lumpur inilah yang kita namakan sebagai kompos.

Beberapa hal yang juga perlu diperhatikan ketika melakukan pengomposan secara anaerob menurut Habibi (2008) :


(44)

Proses pengomposan secara anaerob yang optimal membutuhkan rasio C/N = 25:1 hingga 30:1. Semakin tinggi rasio C/N, proses pembusukan semakin cepat, dan kandungan N dalam lumpur semakin tinggi. Sebaliknya, apabila rasio C/N terlalu rendah maka amonia yang dihasilkan terlalu banyak sehingga dapat meracuni bakteri. Prinsip – prinsip perhitungan rasio C/N pada pengomposan secara aerob dapat diterapkan juga pada pengomposan secara anaerob.

2. Ukuran Bahan

Pada pengomposan secara anaerob, sangat dianjurkan untuk menghancurkan bahan selumat – lumatnya sampai berupa bubur atau lumpur. Hal ini bertujuan untuk mempercepat proses penguraian yang dilakukan oleh bakteri dan mempermudah pencampuran atau homogenisasi bahan.

3. Kadar Air (Rh)

Pengomposan secara anaerob membutuhkan kadar air yang tinggi, yaitu sekitar 50% ke atas. Kadar air yang banyak pada proses pengomposan secara anaerob diperlukan bakteri untuk membentuk senyawa – senyawa gas dan bermacam – macam asam organik sehingga pengendapan kompos akan lebih cepat. Secara fisik, kadar air dapat memudahkan proses penghancuran bahan organik dan mengurangi bau.

4. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) optimal yang dibutuhkan pada pengomposan secara anaerob yaitu antara 6,7 – 7,2. Untuk mempertahankan kondisi pH hendaknya ditambahkan kapur pada tahap awal bahan dimasukkan.

5. Temperatur (Suhu)

Suhu di daerah tropis rata – rata antara 25-350C sudah cukup baik bagi proses pengomposan secara anaerob. Namun, suhu paling baik (optimal) yang dibutuhkan yaitu diantara 50-600C. Suhu optimal tersebut dapat dibantu dengan cara meletakkan tempat pengomposan dilokasi yang terkena sinar matahari langsung. Apabila sinar matahari dimanfaatkan untuk menaikkan suhu


(45)

maka gas metan yang dihasilkan akan semakin tinggi an proses pembusukan akan berlangsung lebih cepat. Dengan demikian, gas metan perlu dikeluarkan setiap hari, yaitu dengan cara membuka lubang gas pada instalasi pengomposan.

6. Aerasi

Seperti telah dikemukakan dimuka bahwa proses pengomposan secara anaerob tidak dibutuhkan udara (oksigen), karena yang berperan dalam proses pengomposan yaitu mikroorganisme anaerob. Oleh karena itu, tempat pembuatan kompos harus selalu dikondisikan tertutup rapat, tidak diperkenankan udara masuk sedikit pun juga.

2.4. Bioaktivator

Menurut Setiawan (2012), bioaktivator adalah inokulum campuran berbagai jenis mikroorganisme selulolitik dan lignolitik untuk mempercepat laju pengomposan pada pembuatan pupuk kandang. Dalam bioaktivator ini terdapat berbagai macam mikroorganisme fermentor dan dekomposer. Mikroorganisme dipilih yang dapat bekerja secara efektif dalam memfermentasikan dan mengurai bahan organik.

Secara global terdapat beberapa golongan mikroorganisme pokok dalam bioaktivator, yaitu bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp., Streptomycetes sp., ragi (yeast), dan Actinomycetes

1. Bakteri Fotosintetik

Bakteri fotosintetik merupakan bakteri bebas yang dapat mensitesis senyawa nitrogen, gula, dan substansi bioaktif lainnya. Hasil metabolir yang diproduksi dapat diserap secara langsung oleh tanaman dan tersedia sebagai substrat untuk perkembangbiakan mikroorganisme yang menguntungkan.


(46)

Bakteri ini memproduksi asam laktat sebagai hasil penguraian gula dan karbohidrat lain yang bekerja sama dengan bakteri fotosintesis dan ragi. Asam laktat ini merupakan bahan sterilisasi yang kuat yang dapat menekan mikroorganisme berbahaya dan dapat menguraikan bahan organik dengan cepat.

3. Streptomycetes sp

Streptomycetes sp. mampu memproduksi enzim streptomisin yang bersifat racun terhadap hama dan penyakit yang merugikan.

4. Ragi (yeast)

Ragi memproduksi substansi yang berguna bagi tanaman dengan cara fermentasi. Substansi bioaktif yang dihasilkan oleh ragi berguna untuk pertumbuhan sel dan pembelahan akar. Ragi ini juga berperan dalam perkembangan atau pembelahan mikroorganisme menguntungkan lain, seperti Actinomycetes, dan bacteri asam laktat. 5. Actinomycetes

Actinomycetes merupakan organisme peralihan antara bakteri dan jamur. Organisme tersebut mengambil asam amino dan zat serupa yang diproduksi bakteri fotosintesis dan mengubahnya menjadi antibiotik. Tujuannya untuk mengendalikan patogen serta menekan jamur dan bakteri berbahaya dengan cara menghancurkan khitin, yaitu zat esential untuk pertumbuhan. Actinomycetes juga dapat menciptakan kondisi yang baik bagi perkembangan mikroorganisme lain.

2.4.1 Jenis – Jenis Aktivator

1. EM-4 (Effective Microorganisms 4)

EM-4 merupakan produk bioaktivator yang beredar di pasaran berupa Effective Microorganisms (EM) asli yang tidak dapat langsung diaplikasikan pada media. Hal


(47)

ini disebabkan kandungan mikroorganisme dalam EM asli masih dalam kondisi tidur (dorman) sehingga tidak akan memberikan pengaruh yang nyata. Untuk itu, EM asli perlu dilarutkan menjadi EM aktif apabila ingin digunakan.

Menurut Suryati (2014), cara mengaktifkan aktivator EM-4 adalah sebagai berikut :

a.Campurkan 1 liter air EM asli dengan 1 liter molase lalu tambahkan air hingga tercampur menjadi 10 liter larutan.

b.Masukkan larutan yang telah jadi kedalam wadah, lalu tutup hingga rapat.

c.Biarkan 5-10 hari dalam keadaan kedap udara. Wadah harus tertutup rapat dan terhindar dari sinar matahari langsung.

d.Buka tutup wadah pada hari ke lima untuk mengeluarkan gas agar tidak meledak e.Setelah 5-10 hari, EM aktif sudah dapat digunakan dengan indikasi tercium bau

asam. pH EM aktif berkisar 3,5 – 3,7

f.Apabila tidak langsung digunakan, EM aktif bisa dimasukkan ke dalam wadah khusus.Wadah yang baik untuk menyimpan EM aktif adalah tangki plastik atau tangki stainless stell asalkan kondisinya tangki bersih dan dapat mempertahankan kondisi anaerob. Sebaliknya, jangan gunakan tempat bekas oli, tempat bahan kimia atau tangki logam berat.

Sedangkan cara mengaktifkan aktivator EM4 menurut petunjuk pemakaian EM4 dari pabrik adalah :

EM4 sebanyak 1 liter yang dijual dipasaran untuk kapasitas bahan baku pengomposan 1 ton. Prinsip perhitungan campuran 1 liter EM4 tersebut adalah :


(48)

EM4 : molase : air yaitu 1 : 1: 50untuk 1 ton bahan baku ( 1 liter EM4 : 1 liter molase : 50 liter air).

2. MOL (Mikroorganisme Lokal)

Menurut Mulyono (2014), mol merupakan mikroorganisme hasil fermentasi dari bahan yang ada dilingkungan sekitar dan mudah didapat. Bahan baku untuk membuat mol dapat diperoleh dari hewan dan limbah yang ada disekitar rumah, seperti sisa buah-buahan, rebung, pisang, pucuk tanaman merambat, tulang ikan, keong mas, urine hewan, air tajin, sisa makanan, sisa sayur didapur, nasi yang sudah basi, air kelapa, dan terasi. Intinya sebagian besar limbah organik rumah tangga dapat dijadikan bioaktivator atau mikroorganisme lokal (MOL). Sedangkan bila menurut Setiawan (2012), mol atau biokativator yang dibuat sendiri dan atau mikroorganisme adalah kumpulan mikroorganisme yang bisa “diternakkan” fungsinya sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik. Contoh mol antara lain adalah mol tapai, mol ikan asin, mol buah, mol rebung bambu, dan lainnya.

3. Kotoran Hewan / Ternak

Menurut Susetya (2014), pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari

kotoran hewan. Kandungan hara dalam pupuk kandang rata-rata sekitar 55% N, 25% P2O5, dan 5% K2O (tergantung jenis hewan dan makanannya). Menurut Yuliarti

(2009), dibedakan menjadi pupuk kandang segar dan pupuk kandang busuk. Pupuk kandang segar merupakan kotoran hewan yang baru saja keluar dari tubuh hewan, yang kadang- kadang tercampur dengan urin dan sisa makanan yang ada dikandang. Selain pupuk kandang segar, ada pupuk kandang busuk. Pupuk kandang busuk


(49)

biasanya merupakan pupuk kandang yang telah disimpan lama disuatu tempat hingga telah mengalami proses pembusukan.

Tabel 2.4. Kandungan Unsur Hara Pada Beberapa Kotoran Ternak Padat dan Cair

No Nama Ternak dan Bentuk Kotorannya

Nitrogen (%)

Fosfor (%) Kalium (%)

Air (%)

1. Kuda – padat 0,55 0,30 0,40 75

2. Kuda – cair 1,40 0,02 1,60 90

3. Kerbau – padat 0,60 0,30 0,34 85

4. Kerbau – cair 1,00 0,15 1,50 92

5. Sapi – padat 0,40 0,20 0,10 85

6. Sapi – cair 1,00 0,50 1,50 92

7. Kambing – padat 0,60 0,30 0,17 60

8. Kambing – cair 1,50 0,13 1,80 85

9. Domba – padat 0,75 0,50 0,45 60

10. Domba – cair 1,35 0,05 2,10 85

11. Babi – padat 0,95 0,35 0,40 80

12. Babi – cair 0,40 0,10 0,45 87

13. Ayam – padat dan cair 1,00 0,80 0,40 55


(50)

Tabel 2.5 Rata – Rata Jumlah Unsur Hara Pada Kotoran Ternak No Jenis

Ternak

N P K Ca Hg Na Fe Mn Zn Cu Ni Cr

1. Sapi 1,1 0,5 0,9 1,1 0,8 0,2 5726 344 122 20 - 6 2. Babi 1,7 1,4 0,8 3,8 0,5 0,2 1692 507 624 510 19 25 3. Ayam 2,6 3,1 2,4 12,7 0,9 0,7 1758 572 724 80 48 17 Sumber : Yuliarti (2009)

2.4.2. Keuntungan Kotoran Ternak Menjadi Kompos (Pupuk)

Menurut Setiawan (2012), tingginya pemanfaatan kotoran ternak menjadi pupuk kandang karena beberapa keuntungan sebagai berikut :

1. Dengan mengubah kotoran ternak menjadi pupuk kandang, massa dan volume kotoran ternak menjadi berkurang.

2. Mengelimir bau yang menyengat di sekitar kandang

3. Dengan mengubah kotoran ternak menjadi pupuk kandang, patogen yang terdapat dalam kotoran ternak akan terbasmi

4. Bibit gulma yang terdapat didalam kotoran ternak akan mati ketika terjadi dekomposisi

5. Pupuk kandang mampu memperbaiki kondisi tanah yang kian rusak karena pengaruh penggunaan pupuk kimia

6. Meningkatkan pelepasan unsur hara yang kualitasnya lebih tinggi dari kompos secara perlahan – lahan dalam jangka waktu tertentu (release)


(51)

7. Dengan mengubah kotoran ternak menjadi pupuk kandang, sumber polusi menjadi berkurang. Proses dekomposisi akan menstabilkan nitrogen (N) yang mudah menguap menjadi bentu lain, seperti protein.

8. Memiliki nilai tambah sehingga secara ekonomi lebih menguntungkan 9. Pupuk kandang mampu mengikat air tanah sehingga bisa digunakan sebagai sumber energi bagi flora dan fauna tanah

10. Pupuk kandang dapat meningkatkan pertumbuhan mikroba dan perputaran hara dalam tanah.

2.5. Ciri – Ciri Kompos Yang Sudah Matang

Setelah semua proses pembuatan kompos dilakukan, mulai dari pemilahan bahan, pengadaan bahan, perlakuan bahan, pencampuran bahan, pengamatan proses, pembalikan kompos sampai menjadi kompos, menurut Mulyono (2014), berikut cara mudah untuk menentukan kompos yang sudah matang :

1. Genggam kompos, lalu kepal kompos seperti ingin memeras. Kompos yang matang akan tidak terasa panas dan relatif dingin. Selain itu, apabila kepalan dikencangkan, kompos akan mengeluarkan air

2. Fisik kompos matang tidak akan menggumpal saat dijatuhkan, menyerupai pasir yang sudah kering.

3. Masukkan jari kedalam tumpukan kompos. Jika suhu kompos masih terasa

hangat berarti proses dekomposisi masih berlangsung menandakan kompos matang. Artinya, kompos yang matang ditandai dengan terhentinya proses


(52)

4. Kompos yang sudah matang relatif tidak berbau. Jika dicium, aromanya seperti tanah.

Menurut Suryati (2014), ciri-ciri kematangan kompos yang sudah matang adalah sebagai berikut :

1. Bentuknya sudah berubah menjadi lebih lunak dan sangat berbeda dengan bentuk awalnya.

2. Volume bahan menyusut, menjadi 1/3 dari awal 3. Warna cokelat kehitaman

4. Tidak berbau menyengat

5. Mudah dihancurkan atau remah (partikel halus).

Menurut SNI 19-7030-2004 yang menyatakan ciri-ciri kematangan kompos yaitu : 1. Warna kompos biasanya coklat kehitaman

2. Aroma kompos yang baik tidak mengeluarkan aroma yang menyengat, tetapi mengeluarkan aroma lemah seperti bau tanah ata bau humus hutan.

3. Apabila dipegang dan dikepal, kompos akan menggumpal, apabila ditekan dengan lunak, gumpalan kompos akan hancur dengan mudah.

2.6. Manfaat Kompos

Menurut Isroi (2008), kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek yakni sebagai berikut :

1. Aspek Ekonomi

a. Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah b. Mengurangi volume/ukuran limbah


(53)

2. Aspek Lingkungan

a. Mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah b. Mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan 3. Aspek bagi tanah/tanaman

a. Meningkatkan kesuburan tanah

b. Memperbaiki struktur dan karakteristik tanah c. Meningkatkan kapasitas serap air tanah d. Meningkatkan aktifitas mikroba tanah

e. Meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi, dan jumlah panen) f. Menyediakan hormon dan vitamin bagi tanaman

g. Menekan pertumbuhan/serangan penyakit tanaman h. Meningkatkan retensi/ketersediaan hara di dalam tanah 2.7. Kerangka Konsep

Kelompok Yang Tidak Menggunakan Aktivator Limbah Padat :

Sampah sisa dapur,

Kotoran Ternak babi dan daun-daunan kering

Kelompok Menggunakan Aktivator


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian yang bersifat eksperimen dengan disain penelitian Rancangan Praeksperimen pada jenis Perbandingan Kelompok Statis (Static Group Comparison). Perbandingan Kelompok Statis (Static Group Comparison) ini adalah rancangan eksperimen yang memiliki dua kelompok yaitu kelompok kontrol atau pembanding dan kelompok eksperimen atau menerima perlakuan. Kelompok eksperimen menerima perlakuan yang diikuti dengan pengukuran kedua atau observasi, lalu hasil observasi tersebut kemudian dikontrol atau dibandingkan dengan hasil observasi pada kelompok kontrol yang tidak menerima perlakuan atau intervensi. Maka dengan jenis dan rancangan penelitian ini akan diketahui bagaimana produksi kompos yang dihasilkan dari limbah padat rumah tangga (limbah organik) dan kotoran ternak babi dengan menggunakan dan tidak menggunakan EM4 sebagai aktivator.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Dusun IV Gg.Perhubungan Desa Marindal II, Kec.Patumbak Kabupaten Deli Serdang

3.2.2. Waktu Penelitian


(55)

3.3. Metode Pengumpulan Data 3.3.1. Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil kegiatan selama proses produksi kompos yaitu pengumpulan bahan, alat, pembuatan kompos, dan pemantauan kompos.

3.3.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari kantor Kepala Desa Marindal II, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang.

3.4. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah limbah padat empat rumah tangga di Dusun IV Gg.Perhubungan Desa Marindal II, Kec.Patumbak Kabupaten Deli Serdang.

3.5. Sampel

Sampel dalam penelitian ini yaitu limbah padat rumah tangga pada di Dusun IV Gg.Perhubungan Desa Marindal II, Kec.Patumbak Kabupaten Deli Serdang. Pengambilan limbah (sampah) dilakukan secara Purposive Sampling pada empat keluarga (4 KK). Tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium, hasil akhir dari kompos hanya dilihat dari bentuk fisik, demikian pula pada proses pelaksanaannya dilakukan secara manual ataupun fisik dilihat secara makro.

Adapun pertimbangan peneliti melakukan pengambilan sampel secara Purposive Sampling pada lokasi penelitian di Dusun IV Gg.Perhubungan Desa Marindal II, Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang bahwa dari keempat keluarga yang diteliti memiliki karakteristik yang sama yaitu memiliki enam anggota keluarga yaitu kepala keluarga, ibu rumah tangga dan anak, menghasilkan sampah organik dapur 5 kg dalam waktu 8 hari per keluarga yang dapat dijadikan sebagai bahan pembuatan kompos,


(56)

kemudian memiliki jumlah ternak babi yang sama yaitu 2 ekor ternak dan menghasilkan kotoran ternak babi dalam waktu 8 hari kira – kira 8 kg pada masing – masing ternak keluarga dan limbah daun – daunan kering berkisar 8 kg dalam waktu 8 hari. Informasi ini didapat peneliti dari keluarga yang diteliti serta melihat langsung pada keluarga yang diteliti tersebut. Peneliti juga melihat kondisi lingkungan dusun IV. Masyarakat setempat tidak pernah berpikiran untuk mengolah sampah dan kotoran ternak babi mereka agar lebih berguna.

3.6. Definisi Operasional

Untuk mendapatkan penafsiran yang sama dalam penelitian ini maka perlu diberi batasan operasionalnya yaitu :

1. Limbah padat rumah tangga adalah bahan yang tidak berguna atau tidak diinginkan atau dibuang oleh anggota rumah tangga yang berbentuk padat 2. Sampah (limbah campur dapur) adalah sisa – sisa buangan potongan sayuran

atau sayuran basi, kulit bawang, sisa teh, perasan kelapa dan lain - lain yang dapat dijadikan bahan untuk pembuatan kompos.

3. Kotoran ternak babi adalah sampah (limbah) yang berasal dari ternak babi rumah tangga yang dapat dijadikan bahan untuk pembuatan kompos.

4. Daun – daunan kering adalah limbah (sampah) yang berasal dari tanaman pohon rumah tangga yang sudah kering dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan kompos.

5. Menggunakan aktivator/menggunakan Effective Microorganisms (EM4) adalah pembuatan kompos yang mendapatkan perlakuan/intervensi (menggunakan


(57)

EM4) terhadap bahan pembuatan kompos untuk mempercepat proses penguraian bahan kompos atau untuk mempercepat proses pengomposannya 6. Tidak menggunakan aktivator adalah pembuatan kompos yang tidak

mendapatkan perlakuan (intervensi) apapun (tidak menggunakan EM4) terhadap bahan pembuatan kompos

7. Kompos adalah sisa bahan organik yang berasal dari tanaman, hewan dan limbah organik yang telah mengalami proses dekomposisi atau fermentasi atau kompos merupakan pupuk yang dibuat dari sampah organik yang sebagian besar berasal dari rumah tangga. Kompos yang sudah matang dilihat dari waktu yang diperlukan dan ciri – ciri fisiknya yaitu : menggumpal atau tidak menggumpal, hangat atau tidak hangat bila jari dimasukkan kedalam tumpukan kompos, bau atau tidak bau. Proses pengomposannya juga dilihat secara fisik ataupun manual.

3.7. Pelaksanaan Penelitian 3.7.1. Bahan dan Peralatan

Adapun bahan dan peralatan yang diperlukan untuk pembuatan kompos adalah : 3.7.1.1. Bahan Pada Kelompok Yang Menggunakan Aktivator (Kelompok

Eksperimen)

1. Limbah padat rumah tangga (sampah dapur campur dapur seperti sisa sayuran,sisa perasan kelapa, bubuk teh, dan lain - lain)

2. Daun-daunan kering 3. Kotoran ternak babi 3. Em4


(58)

3.7.1.2. Bahan Pada Kelompok Yang Tidak Menggunakan Aktivator (Kelompok Kontrol)

1. Limbah padat rumah tangga (sampah dapur campur dapur seperti sisa sayuran,sisa perasan kelapa, bubuk teh, dan lain - lain)

2. Daun – daunan kering 3. Kotoran ternak babi 3.7.1.3. Bahan Mollase

Mollase adalah tetes tebu. Tetes tebu dapat diganti dengan air gula merah, dimana mollase pada eksperimen ini dibutuhkan 21 ml air gula merah pada masing – masing sampel yang menggunakan aktivator untuk pembuatan kompos.

3.7.1.4 Alat

1. Ember plastik beserta tutup (Komposter) 2. Cangkul (alat pengaduk)

3. Pisau pencacah bahan 4. Telenan

5. Plastik 6. Sepatu Boat

7. Penutup tangan (Handskun) 8. Masker (penutup wajah) 9. Gelas Ukur 250 ml 10. Gelas Ukur 10 ml


(59)

3.7.2. Komposter

Pengomposan dilakukan secara aerob. Berikut bahan dan cara membuat komposter aerob ember plastik :

Bahan – bahan yang diperlukan : 1. Ember plastik berkapasitas 50 kg

2. Pipa paralon berdiameter 1 inchi dengan panjang 30 cm 3. Pipa paralon berdiameter 1 inchi dengan panjang 10 cm Cara membuat :

1. Tutup komposter dilubangi dengan diameter 1 inchi

2. Pipa paralon diameter 1 inchi dengan panjang 30 cm direkatkan atau disambungkan pada pipa paralon yang berdiameter 1 inchi dengan panjang 10 cm

3. Masukkan pipa paralon yang telah direkatkan tadi kedalam lubang tutup komposter

4. Komposter secara aerob siap digunakan yang memiliki lubang aerasi (udara) sebagai sirkulasi.

3.7.3. Cara Kerja Penelitian

3.7.3.1. Perhitungan Campuran Pengaktifan EM4 Menurut Pabrik

EM4 yang dipakai dalam penelitian ini adalah EM4 yang diproduksi oleh PT. Songgolangit Persada. EM4 tersebut dengan berat 1 liter untuk kapasitas bahan baku pengomposan 1 ton.


(60)

EM4 : molase : air yaitu 1: 1: 50 untuk 1 ton bahan baku (dengan arti 1 liter EM4:1liter molase:50 liter air). Setelah pecampuran EM4 selesai dilaksanakan maka biarkan 5-10 hari dalam keadaan kedap udara. Wadah harus tertutup rapat dan terhindar dari sinar matahari langsung. Kemudian setelah 5-10 didiamkan (diaktifkan), EM aktif sudah dapat digunakan dengan indikasi tercium bau asam.

Pada penelitian ini, pengaktifan EM4 dilakukan oleh peneliti berdasarkan petunjuk EM4 pabrik. Bahan baku pengomposan pada penelitian ini dengan berat total 21 kg yaitu yang terdiri dari 8 kg kotoran ternak, 5 kg limbah dapur campur dan 8 kg daunan kering.

Perhitungan campuran EM4 adalah : = 1 liter = 1000 kg

= 0,1 liter = 100 kg = 0,01 liter = 10 kg

= 0,001 liter = 1 kg = 1 ml = 0,001 liter x 1000 ml = 1 ml

Maka untuk bahan baku kompos 21 kg adalah : = 1 ml x 21

= 21 ml

Sedangkan untuk air yang dibutuhkan pada campuran ini adalah : 21 ml = 0,021 liter

0,021 liter x 50 liter = 1,05 liter = 1,05 liter = 1,05 x 1000 ml


(61)

= 1050 ml

Sehingga campuran yang dibutuhkan adalah :

EM4 : molase : air yaitu : 21 ml EM4 : 21 ml molase : 1050 ml air. 3.7.3.2. Prosedur Kerja Pengaktifan EM4 Menurut Suryati (2014), yaitu :

1. Campurkan 1 liter EM asli dengan l liter mollase lalu tambahkan air hingga tercampur menjadi 10 liter larutan

2. Masukkan larutan yang telah jadi ke dalam wadah lalu tutup hingga rapat . 3. Biarkan 5-10 hari dalam keadaan kedap udara.Wadah harus tertutup

rapat dan terhindar dari sinar matahari langsung.

4. Buka tutup wadah pada hari kelima untuk mengeluarkan gas agar tidak meledak.

5. Setelah 5-10 hari, EM aktif sudah dapat digunakan dengan indikasi tercium bau asam. pH EM aktif berkisar 3,4-3,7

6. Apabila tidak langsung digunakan, EM aktif bisa dimasukkan ke dalam wadah khusus. Wadah yang baik untuk menyimpan EM aktif adalah tangki plastik atau tangki stainless stell, asalkan kondisinya tangki bersih dan dapat mempertahankan kondisi anaerob. Sebaliknya jangan gunakan tempat bekas oli, tempat bahan kimia, atau tangki logam berkarat.

7. Sebagai catatan, EM4 aktif yang dihasilkan tidak boleh digandakan agar hasilnya sempurna.


(62)

3.7.3.3. Prosedur Kerja Pembuatan Kompos Dari Limbah Padat Rumah Tangga Dengan Menggunakan Aktivator (Kelompok Eksperimen)

1. Pisahkan sampah organik dan anorganik terlebih dahulu. Gunakan hanya sampah organik sebagai bahan baku pengomposan.

2. Siapkan alat dan bahan untuk membuat kompos, yaitu sayuran sisa atau sayuran yang sudah hampir membusuk, sisa perasan kelapa, dan sisa limbah campur dapur lainnya beserta sampah daun – daunan kering. Sampah organik yang telah dipilah dipotong atau dicacah kecil-kecil (ukuran 1-2 cm) atau dengan kata lain untuk sampah yang berukuran besar perlu dicacah menjadi ukuran lebih kecil yang bertujuan untuk mempercepat pelapukan.

3. Campurlah limbah dapur campur, kotoran ternak dan daun - daunan kering secara merata.

4. Siramkan EM4 secara perlahan – lahan kedalam adonan hingga merata. 5. Bahan sampah (limbah) yang telah diaduk tadi lalu dimasukkan kedalam

komposter. Proses komposting yang baik temperatur 30-400 celcius. 6. Adonan pengomposan ditutup

7. Pantau suhu dan kelembabannya setiap 3 hari sekali 8. Beri air apabila kekurangan air.

9. Aduk – aduk atau bolak – balik adonan apabila kelebihan air atau suhu terlalu tinggi

10. Sehabis dibalik, tutup kembali komposter. Demikian selanjutnya sampai kompos menjadi matang.


(63)

11. Jika perlu kompos dapat diayak untuk memisahkan bagian yang kasar. Kompos kasar ini bisa dicampurkan kedalam bak pengomposan sebagai aktivator.

3.7.3.4. Prosedur Kerja Pembuatan Kompos Dari Limbah Padat Rumah Tangga Tidak Menggunakan Aktivator (Kelompok Kontrol)

1. Pisahkan sampah organik dan anorganik terlebih dahulu. Gunakan hanya sampah organik sebagai bahan baku pengomposan.

2. Siapkan alat dan bahan untuk membuat kompos, yaitu sayuran sisa atau sayuran yang sudah hampir membusuk, sisa perasan kelapa, dan sisa limbah campur dapur lainnya beserta sampah daun – daunan kering. Sampah organik yang telah dipilah dipotong atau dicacah kecil-kecil (ukuran 1-2 cm) atau dengan kata lain untuk sampah yang berukuran besar perlu dicacah menjadi ukuran lebih kecil yang bertujuan untuk mempercepat pelapukan.

3. Campurlah limbah dapur campur, kotoran ternak dan daun - daunan kering secara merata.

4. Aduk adonan hingga merata.

5. Bahan sampah (limbah) yang telah diaduk tadi lalu dimasukkan kedalam komposter. Proses komposting yang baik temperatur 30-400 celcius. 6. Adonan pengomposan ditutup

7. Pantau suhu dan kelembabannya setiap 3 hari sekali 8. Beri air apabila kekurangan air.

9. Aduk – aduk atau bolak – balik adonan apabila kelebihan air atau suhu terlalu tinggi


(64)

10. Sehabis dibalik, tutup kembali komposter. Demikian selanjutnya sampai kompos menjadi matang.

11. Jika perlu kompos dapat diayak untuk memisahkan bagian yang kasar. Kompos kasar ini bisa dicampurkan kedalam bak pengomposan sebagai aktivator.

3.7.4. Rasio Karbon (C) Dan Nitrogen (N)

Bahan baku pengomposan untuk kelompok yang menggunakan aktivator (kelompok pembanding) dan kelompok yang tidak menggunakan aktivator (kelompok kontrol) adalah sama yaitu limbah dapur campur, kotoran ternak babi dan daun – daunan kering.

Rasio C/N bahan – bahan tersebut adalah : 1. Limbah dapur campur = 15 :1

2. Kotoran ternak babi = 11,4 3. Daun – daunan kering = 50 : 1

Perhitungan Rasio C/N menurut Habibi (2008), adalah sebagai berikut :

Rasio C/N = (besar atau berat bahan baku pengomposan x Rasio C/N jenis bahan baku pengomposan I) + (besar atau berat bahan baku pengomposan x rasio C/N jenis pengomposan II) + dan seterusnya tergantung berapa jenis bahan pengomposannya kemudian dibagi dengan total besar atau berat pengomposa.n Maka perhitungan rasio C/N total untuk bahan baku pengomposan penelitian ini adalah :

Diketahui berat bahan baku pengomposan : 1. Limbah dapur campur = 5 kg


(65)

2. Kotoran ternak babi = 8 kg 3. Daun – daunan kering = 8 kg

Maka total bahan baku pengomposan = 5 kg + 8 kg + 8 kg = 21 kg

Rasio C/N = (5 kg x limbah dapur campur) + (8 kg x kotoran ternak babi) + (8 kg x daun – daunan kering

= (5 x 15/1) + (8 x 11,4) + (8 x 50/1) = (75/5) + (91,2/8) + (400/8)

= 566,2 21 = 26,9 = 27

Sehingga diperoleh Rasio C/N total dari bahan baku pengomposan penelitian ini adalah 27, artinya memenuhi standart rasio /N total untuk mendapatkan pengomposan yang optimal. Standart rasio C/N dari pengomposan adalah 25 : 1 - 30 : 1.

3.8 Analisis Data

1. Tabulasi : Data ditabulasi dengan menggunakan komputer yaitu dengan membuat tabel pada kelompok eksperimen (yang menggunakan aktivator).


(66)

2. Penyajian : Data disajikan dalam bentuk penggelompokan yaitu keluarga yang menggunakan EM4 dan keluarga yang tidak

menggunakan EM4 sebagai aktivator.

3. Analisis : Hasil data dianalisis secara deskriptif untuk menjelaskan perbandingan waktu yang diperlukan yaitu antara kompos yang menggunakan EM4 dan kompos yang tidak menggunakan EM4 sebagai aktivator. Perbandingan waktu tersebut akan menunjukkan serta menjelaskan kematangan kompos dilihat secara fisik.


(1)

Gambar 13. Daun

Daunan Kering Berjatuhan


(2)

Gambar 15. Hari Ketujuh

Kompos Menggunakan EM4 Pada Kelompok Eksperimen


(3)

Gambar 17. Hari Kelimabelas Kompos Menggunakan EM4 Pada Kelompok Eksperimen


(4)

Gambar 19. Hari Keduapuluh Kompos Tidak Menggunakan EM4 Pada Kelompok Kontrol


(5)

(6)