Peningkatan Toleransi Melalui Budaya Tepa Salira (Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal)

D.02

PENINGKATAN TOLERANSI MELALUI BUDAYA TEPA SARIRA
(Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal)
Tri Rejeki Andayani
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta
menikpsy@yahoo.com

Abstraksi. Pendidikan karakter bertujuan membentuk kepribadian seseorang melalui
pendidikan budi pekerti dan pembelajaran nilai-nilai hidup. Toleransi merupakan salah satu
nilai-nilai hidup yang penting bagi setiap anak untuk hidup rukun dan harmonis dalam
kemajemukan masyarakat Indonesia. Budaya Jawa yang mengedepankan kerukunan dan
keharmonisan sosial tentu saja memiliki nilai-nilai budaya yang menunjang terwujudnya hal
tersebut, salah satu diantaranya adalah tepa sarira. Penelitian ini bertujuan untuk menguji
peningkatan sikap dan perilaku toleransi pada anak usia Sekolah Dasar melalui penerapan
model pendidikan karakter yang berbasis budaya tepa sarira. Desain dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan quasi eksperimen dengan bentuk pretest-posttest one-group design
experiment (before and after only with no control design). Subjek penelitian ini adalah siswa
kelas atas Program Inklusi di SD Al Firdaus Surakarta sebanyak 88 siswa. Pengumpulan data
menggunakan Skala Sikap Toleransi (Reliabilitas 0,939) dan Kuesioner Perilaku Toleransi

(Reliabilitas 0,843). Teknik analisis data dilakukan dengan teknik Uji-t. Hasil penelitian
membuktikan bahwa melalui sistem integrasi pembelajaran di sekolah, model pendidikan
karakter yang berbasis budaya tepa sarira terbukti dapat meningkatkan sikap dan perilaku
toleransi pada anak usia sekolah dasar. Untuk memperluas manfaat penelitian, maka
penerapan model pembelajaran nilai toleransi berbasis budaya tepa sarira ini perlu
ditingkatkan dari segi waktu dan tempat penyelenggaraan, peningkatan kompetensi dan
profesionalitas guru melalui Pelatihan dan Pendampingan Penyusunan dan Pengembangan
RPP Berbasis Pendidikan Karakter, dan melibatkan peran orangtua (keluarga) sebagai salah
satu sumber sosialisasi nilai-nilai hidup dan budaya yang menunjang pendidikan karakter.
Kata kunci:toleransi, tepa sarira, pendidikan karakter

Tidak

dapat

bahwa

karakter yang mengajarkan nilai-nilai hidup,

perkembangan masyarakat pada saat ini


termasuk nilai toleransi telah menjadi satu

makin diwarnai dengan peritiwa-peristiwa

kesadaran bagi setiap bangsa, terutama yang

yang

memiliki kemajemukan seperti Indonesia.

menjauh

dipungkiri

dari

kerukunan

dan


keharmonisan sosial. Perbedaan bukan lagi

Salah satu program yang berkembang

dipandang sebagai kekayaan kehidupan

pesat dalam merealisasikan upaya-upaya

bersama tetapi justru pemicu perpecahan

pendidikan

karena

Pendidikan Nilai-nilai Hidup (Living Values

tidak

Sesungguhnya


adanya

toleransi.

pentingnya

pendidikan

Education

397

karakter

adalah

Programme/LVEP)

Program


yang

398 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013

dikembangkan oleh Tillman (2001). Salah

Transformatif

satu tujuan program ini adalah membantu

diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Islam

individu merefleksikan dan menerapkan 12

dan Sosial (LKiS) yang memiliki tiga tema,

nilai-nilai universal dalam kehidupan, nilai-

yaitu: (a) Islam dan Gender, (b) Islam dan


nilai

kesederhanaan,

Politik Kewarganegaraan, (c) Islam dan

toleransi, kejujuran, menghargai, damai,

Relasi Agama. Program ini menggunakan

tanggung jawab, kebahagiaan, persatuan,

empat prinsip

kasih sayang, rendah hati, kerjasama dan

pengalaman, terbuka dan jujur, refleksi, dan

kebebasan. Sampai dengan saat ini sebanyak


dialogis.

84 negara di dunia, termasuk Indonesia telah

transformasi sosial, penghormatan hak-hak

menerapkan LVEP.

asasi, dan penghargaan pada pluralisme

tersebut

adalah

Indonesia

Selanjutnya

Heritage


dan

Toleran

utama,

yang

yaitu belajar dari

Sedangkan

tujuannya

adalah

(Salim, 2003).

Foundation (IHF), lembaga pendidikan


Pusat Studi Budaya dan Perubahan

yang didirikan oleh Ratna Megawangi

Sosial

(2008)

ini

Surakarta, telah menyelenggarakan program

mengembangkan suatu model Pendidikan

Pendidikan Apresiasi Seni (PAS), yang

Holistik Berbasis Karakter. Model tersebut

ditujukan pada para siswa sekolah dasar di


sudah diterapkan di lebih dari 700 sekolah

Surakarta sejak tahun 2002. Program

Semai Benih Bangsa (TK Nonformal) dan

dimaksudkan

TK Formal lainnya. Melalui program Semai

penghargaan terhadap seni tradisi dan

Benih

pluralisme budaya

pada

Bangsa,


Tahun

2000

ditumbuhkan

sembilan

Universitas

Muhammadiyah

untuk

ini

menanamkan

kepada

para

siswa

karakter pada anak-anak yakni : (1) cinta

sekolah dasar melalui program pendidikan

Tuhan

(2)

apresiasi seni. Adapun jenis seni yang

dan

dijadikan sarana adalah seni tari, seni

dan

tanggung

segenap
jawab,

kemandirian; (3)

ciptaanNya;
kedisiplinan

kejujuran/amanah dan

pedalangan,

dan seni karawitan. Program

arif; (4) hormat dan santun; (5) dermawan,

PAS ini dipraktikkan melalui kegiatan

suka

gotong-

ekstra kurikuler pada empat sekolah dasar di

royong/kerjasama; (6) percaya diri, kreatif

Surakarta sejak tahun 2002 sampai 2006

dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan

(Khisbiyah dan Sabardila, 2004).

menolong

dan

Prihartanti

keadilan; (8) baik dan rendah hati; dan (9)

program

melalui

pendidikan

LVEP

dan IHF,

karakter

dalam

penelitiannya mengenai model pembelajaran

toleransi, kedamaian dan kesatuan.
Selain

(2008)

yang

nilai toleransi menemukan

bahwa akar

permasalahan yang sering terjadi pada anak

mengutamakan nilai toleransi terdapat pula

usia

dalam

kemampuan penghargaan terhadap orang

Program

Belajar

Bersama

sekolah

dasar

adalah

rendahnya

Peningkatan Toleransi Melalui Budaya Tepa “alira
(Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal) | 399
Andayani, T.R. [hal.397-406]
lain,

rendahnya

perbedaan,

dan

menerima

tingkatan ketiga setelah “nandhing salira”

kemampuan

dan “ngukur salira”. Untuk mewujudkan

kesediaan
kurangnya

penyelesaian konflik secara damai. Lebih

kerukunan,

lanjut dikatakan Prihartanti bahwa melalui

seseorang masih dalam tingkatan nanding

model

sarira, karena nandhing sarira merupakan

pembelajaran

yang

telah

tidak

menghargai diri sendiri, mengembangkan

pengkajian diri dimana seseorang masih

keterampilan sosial dalam memberi dan

mengutamakan "aku" yang berarti lebih

menerima penghargaan dalam berinteraksi

kearah egosentrisme. Penelitian Andayani,

dengan orang lain, mengenal tindakan

Yusuf dan Hardjajani (2010, 2011) telah

toleran dan tidak toleran serta mampu saling

menyusun

menghargai dalam keragaman, serta mampu

model pembelajaran nilai toleransi berbasis

menyelesaikan konflik secara damai.

budaya tepa sarira pada anak usia sekolah

berbagai

program

rendah

bila

tingkatan

dan

paling

tercapai

dikembangkannya siswa diharapkan dapat

Mencermati

yang

akan

mengembangkan

dalam

suatu

dasar.

pembelajaran di atas, pengembangan Living

Model

tersebut

dikembangkan

Values Education yang berbasis kearifan

sebagai

lokal masih sangat jarang dikembangkan.

pendidikan karakter

Indonesia

kemajemukan

dengan pertimbangan sebagai berikut : (1)

kulturalnya memiliki kekayaan budaya dan

Visi bangsa Indonesia dalam Pembukaan

nilai-nilai

UUD

landasan

dengan segala

luhur

yang

dapat

pengembangan

menjadi

pendidikan

salah

1945,

Pemerintah

satu

alternatif

dalam

di sekolah dasar,

yakni

Negara

”....membentuk
Indonesia

yang

karakter. Sebagaimana diungkapkan dalam

melindungi segenap bangsa Indonesia dan

penelitian Hildred Geertz (1983) pada

seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

keluarga Jawa bahwa pembentukan karakter

memajukan

anak Jawa menuju pada pribadi yang

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

memiliki prinsip kerukunan dan prinsip

melaksanakan

hormat. Dalam

berdasarkan

konteks budaya Jawa,

kesejahteraan

ketertiban

umum,

dunia

kemerdekaan,

yang

perdamaian

pendidikan karakter/watak di keluarga Jawa

abadi, dan keadilan sosial,...”; (2) Indonesia

dianggap tercapai bila anak Jawa memiliki

adalah satu dari 84 negara di dunia yang

sikap hormat dan rukun.

menerapkan

Salah satu nilai Budaya Jawa yang

LVEP

Education Programme),

(Living

Values

suatu program

menciptakan

kemitraan antara para pendidik di seluruh

kerukunan (integrasi) bangsa adalah budaya

dunia dan didukung oleh UNESCO. LVEP

“tepa sarira”. Menurut Bratakesawa (dalam

fokus pada pembelajaran 12 nilai-nilai

Darminta, 1980), tepa sarira merupakan

universal, yakni : kesederhanaan, toleransi,

dapat

dijadikan

landasan

400 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013

kejujuran, menghargai, damai, tanggung

pendidikan

jawab,

pembelajaran.

kebahagiaan,

persatuan,

kasih

karakter

ke

dalam

Sehingga

model

penuangan

dan

ide/gagasan, materi dan media pendidikan

kebebasan; dan (3) Salah satu pencapaian

karakter acapkali menjadi pekerjaan yang

sayang,

rendah

hati,

Millenium

target
(MDGs)

kerjasama

Development

2015

adalah

Goals

pemerataan

dinilai sulit dirancang dan diterapkan oleh
para guru.
Mengacu

pendidikan dasar (memastikan bahwa setiap
anak,

baik

pendidikan

dan

Teori

Sosialisasi

perempuan

Primer (Primary Socialization Theory) yang

menyelesaikan tahap

diungkapkan oleh Oetting and Donnermeyer

laki-laki

mendapatkan

pada

dasar);

dan

Secara

(1998) bahwa keluarga (orangtua), sekolah

psikologis, anak usia sekolah dasar memiliki

(guru) dan teman sebaya merupakan sumber

tugas perkembangan yang khas, salah

sosialisasi bagi anak. Tulisan ini akan

satunya adalah mengembangkan hati nurani,

menyajikan

pengertian moral dan tata nilai (Hurlock,

pembelajaran nilai toleransi berbasis budaya

1990). Oleh karena itu, tepat apabila model

tepa

pembelajaran nilai ini dikembangkan pada

integrasi

anak usia sekolah dasar untuk mendukung

Pembelajaran (RPP) di sekolah dasar.

pembentukan pribadi-pribadi yang utuh

Dengan harapan, dari hasil pemaparan ini

sejak dini.

maka hasil-hasil penelitian tersebut dapat

Pada

dan

awalnya,

(4)

program

ini

sarira

hasil

yang

dalam

dimanfaatkan

penerapan

disampaikan
Rencana

secara

lebih

model

melalui

Pelaksanaan

luas,

baik

dikembangkan untuk membantu para guru

diselenggarakan oleh guru-guru di sekolah

menindaklajuti
pemerintah

kebijakan

kebijakan

dasar lainnya, maupun oleh para orangtua

(Kementerian

Pendidikan

selaku salah satu sumber sosialisasi bagi

Nasional, sekarang menjadi Kementerian
Pendidikan

dan

Kebudayaan)

anak.

yang

menetapkan bahwa mulai 2011 pendidikan

Metode Penelitian

karakter harus sudah menjadi bagian yang

Desain

tidak

terpisahkan

dalam

dalam

penelitian

ini

proses

menggunakan pendekatan quasi eksperimen

pembelajaran di sekolah menuntut para

dengan bentuk pretest-posttest one-group

pendidik mampu mengimplementasikannya.

design experiment atau sering disebut

Meskipun pentingnya pendidikan karakter

dengan before and after design atau before

telah disadari penuh oleh para guru, namun

and after only with no control design.

pada kenyataannya tidak setiap guru dengan

Subjek penelitian ini adalah siswa

mudah mengintegrasikan nilai-nilai hidup

kelas atas Program Inklusi di SD Al Firdaus

yang

Surakarta (selaku sekolah mitra penelitian),

menjadi

bagian

penting

dalam

Peningkatan Toleransi Melalui Budaya Tepa “alira
(Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal) | 401
Andayani, T.R. [hal.397-406]
sebanyak 88 siswa. Siswa kelas atas SD

pembelajaran (awal semester) dan sesudah

(Kelas IV, V, dan VI) rata-rata berusia 10-

pembelajaran (tengah semester).

tahap

Analisis data dilakukan dengan teknik

perkembangan kognitif operasional konkrit,

Uji-t untuk membuktikan adanya perbedaan

antara lain ditandai dengan hilangnya

sikap dan perilaku toleransi antara sebelum

egosentrisme, terbatas pada hal-hal konkrit

dan sesudah perlakuan (penerapan model

dan menuju tahap operasional formal.

pembelajaran).

12

tahun

telah

mencapai

Menurut Piaget (dalam Monks, dkk, 1996),
tahap ini ditandai dengan berkembangnya

Hasil Penelitian

kemampuan reasoning dan logika, serta

Eksperimen dilakukan dalam kurun

munculnya pemikiran deduktif, induktif dan

waktu tiga bulan (setengah semester) sesuai

abstraktif. Kemampuan ini diperlukan dalam

dengan kesepakatan dan kesiapan dari pihak

diskusi saat penerapan model pembelajaran.

sekolah. Penerapan model pembelajaran

Program pendidikan inklusi adalah sistem

dengan

layanan pendidikan yang mensyaratkan anak

dilaksanakan di sekolah yang menjadi mitra

berkebutuhan khusus (ABK) belajar di

penelitian tersebut dilaksanakan oleh guru-

sekolah-sekolah

guru mata pelajaran yang sebelumnya telah

terdekat

biasa/reguler

di

bersama

kelas

teman-teman

sistem

mengikuti

integrasi

Workshop

RPP

Penyusunan

yang

dan

seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil,

Pengembangan RPP Berbasis Pendidikan

1994). Maka SD Al Firdaus selaku sekolah

Karakter

inklusi

Andayani, Yusuf dan Hardjajani (2010).

dipilih

sebagai

sekolah

mitra

yang

diselenggarakan

oleh

penelitian, karena konsekuensi dari kelas

Setiap

adanya inklusi (keberadaan siswa yang

merancang dan mengembangkan RPP sesuai

merupakan Anak Berkebutuhan Khusus atau

dengan tujuan pembelajaran dan kesesuaian

ABK) tentu saja menuntut sikap dan

dengan aktivitas dalam model pembelajaran.

perilaku toleransi yang cukup tinggi dari

Secara rinci masing-masing perlakuan dan

siswa lain saat menjalin interaksi sosial

hasil pengukuran penerapan model disajikan

antara siswa ABK dan non ABK.

dalam tabel 1.

Pengumpulan

data

menggunakan

guru

Sebelum

diberi

kebebasan

pembelajaran

untuk

yang

Skala Sikap Toleransi (Reliabilitas 0,939)

melibatkan aktivitas-aktivitas pilihan guru

dan

Toleransi

tersebut diterapkan, terdapat aktivitas dalam

dengan

model pembelajaran yang harus diberikan

pengukuran

pada setiap awal penerapan model adalah

Kuesioner

(Reliabilitas
rancangan
terhadap
dilakukan

Perilaku

0,843).
diatas,

sikap
dua

Sesuai
maka

dan
kali,

perilaku

toleransi

Aktivitas No.1 (Nilai Positif) dan/atau

yakni

sebelum

Aktivitas No.5 (Ekspresi Seni). Kedua

402 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013

untuk

berkembang harga diri yang positif dari diri

menghargai

siswa, sehingga melalui harga diri yang

potensi diri (nilai positif) dari orang lain dan

positif, siswa akan lebih percaya diri dan

membangun harga diri setiap anak dengan

terdorong untuk melakukan hal-hal yang

cara

positif, termasuk sikap dan perbuatan yang

aktivitas

tersebut

mendorong

siswa

menerima

penghargaan
menimbulkan

bertujuan
belajar

umpan

dari

orang

keberanian

balik

berupa

lain,
anak

serta
untuk

mencerminkan

adanya

kepedulian

dan

penghargaan pada orang lain.

berekpresi (kreativitas). Dengan demikan

Tabel 1. Penerapan Model dengan Sistem Integrasi RPP
Kelas,
Jml
Siswa

Mata Pelajaran &
Topik

Aktivitas Model yang
Diterapkan

Tujuan Aktivitas Model
1.

IVB
(34)

VB
(35)

IPA :
Struktur Organ
Tubuh

PKN :
Negara Kesatuan
Republik Indonesia
IPS :
Sejarah Nasional
Hindu, Budha, Islam.

1. Integrasi Aktivitas No.3
(Empati Berbasis Tepa
Sarira)
2. Integrasi Aktivitas No.11
(Cerita Si Jangkung dan Si
Pendek).

Integrasi Model No.9 (Kuartet
Toleransi Berbasis Tepa Sarira)

Eksplorasi Pustaka

1. Integrasi Aktivitas No.6
(Percobaan Kelihatan dan
Tidak Kelihatan).
2. (Aktivitas No.10 Saat Tak
Ada Budaya Antri.
3. Diskusi Tema Penelitian
dari Studi Kepustakaan
(Bagian dari Materi
Pelajaran di Sekolah).

Agama Islam :
Al Qur’an dan Hadist

1. Integrasi Aktivitas No.6
(Percobaan Kelihatan dan
Tidak Kelihatan).
2. Guru kreatif menambah
aktivitas sendiri, dengan
materi ”Noktah Hati”

VIC
(32)

Pembelajaran

berlangsung

Meningkatkan empati dan tenggang
rasa pada sesama anak.
2.a. Mengenalkan tindakan toleran dan
tidak toleran yang bersumber dari
perbedaan fisik.
2.b. Memahami konsekuensi positif dari
tindakan toleran dan konsekuensi
negatif bila tidak toleran.
1. Mengenalkan tindakan toleran dan
tidak toleran.
2. Memahami konsekuensi positif dari
tindakan toleran dan kosekuensi
negatif bila tidak toleran.

1. Meningkatkan
pengetahuan
dan
kesadaran tentang akibat dari bersikap
dan/atau berperilaku tidak toleran.
2. Mengenalkan budaya antre dan
memahami konsekuensi bila dunia ini
tidak ada budaya antre.
3. Menghargai dan menerima perbedaan
pendapat dalam tema-tema penelitian
di sekolah.
Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran
tentang akibat dari perilaku tidak toleran.

seperti

sekolah dan dikuti oleh seluruh siswa (ABK

biasa, sesuai dengan jadwal pelajaran di

dan nonABK) dengan jumlah siswa 34 pada

Peningkatan Toleransi Melalui Budaya Tepa “alira
(Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal) | 403
Andayani, T.R. [hal.397-406]
Kelas IVB, 35 pada Kelas VB, dan 32 pada

dengan kelengkapan data pada pre-test dan

Siswa Kelas VIC. Pengambilan data pre-test

post-test).

(pengukuran sikap dan perilaku toleransi)

Hasil

analisis

data

menunjukkan

pada awal semester dan post-test pada

adanya peningkatan sikap dan perilaku

tengah semester. Data yang dapat dianalisis

toleransi pada siswa yang telah mengikuti

sejumlah 28 siswa Kelas IVB, 32 siswa

pembelajaran (pendidikan) karakter yang

Kelas VB, dan 28 siswa Kelas VIC (sesuai

berlangsung dengan sistem integrasi RPP.

Tabel 2. Hasil Analisis Data
Kelas
& Jml
Data

Uji Asumsi
Normal Homogen
S
P
S
P

IVB
(28)









Mean
Sikap (S)
Pre
Post
98,18

102,14

Mean
Perilaku (P)
Pre
Post
22,46

Hasil Analisis Data
Uji t
S
P

39,93

p: 0,00
p0,05

p:0,001
p