Konsep Radla’ah Me urut Huku Isla

37 j Pengguna nikotin, alkohol, ekstasi, amfetamin, kokain, dan stimulant sejenis oleh ibu telah terbukti memiliki efek berbahaya pada bayi yang disusui. 29

B. Konsep Radla’ah Me urut Huku Isla

1. Pengertian Hukum Islam Istilah “Hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan al-Fiqh al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari as- Syari‟ah al- Islamy. Dalam al- Qur‟an dan as-Sunnah, istilah hukum islam tidak dijumpai, yang digunakan adalah kata Syari‟at yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah Fiqh. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai pengertian hukum islam, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian Syariah dan fiqh. 30 Syari‟at pada asalnya bermakna “Jalan yang lempang”, atau “Jalan yang dilalui air terjun”. 31 Para Fuqaha‟ memakai kata Syari‟at sebagai nama hukum yang ditetapkan Allah SWT untuk hambanya dengan perantara Rasulullah SAW supaya para hamba melaksanakannya dengan dasar iman. 32 Sedangkan hukum dalam pengertian Ulama Ushul Fiqh ialah “Apa yang dikehendaki oleh Syari‟ اش ا atau pembuat hukum. Dalam hal ini, Syari‟ adalah Allah. Kehendak Syari‟ itu dapat ditemukan dalam Al-Qur‟an dan 29 http:selasi.netartikelkliping-artikelartikel-menyusui156-alasan-medis-yang-dapat- diterima-sebagai-dasar-penggunaan-pengganti-as i.html diakses 26 januari 2011 30 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarata; PT. Raja Grapindo Persanda, 2003, Cet. II, hlm.3 31 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta; PT. Raja Grapindon Persada, 1998, Cet. III, hlm.5 32 Hasbi Ash-Shyiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarata; PT. Bulan Bintang, 1985, Cet. V, hlm.7 38 penjelasannya dalam As-Sunnah. Pemahaman akan kehendak Syari‟, itu tergantung sepenuhnya kepada pemahaman ayat-ayat hukum dalam al- Qur‟an dan Hadits-hadits hukum dalam Sunnah. Usaha pemahaman, penggalian dan perumusan hukum dari sumber tersebut dikalangan ulama disebut Istinbath ا ا . Jadi istinbath adalah usaha dan cara mengeluarkan hukum dari sumbernya. Sumber hukum islam pada dasarnya ada 2dua macam: a. Sumber “tekstual” atau sumber tertulis, yaitu langsung berdasarkan teks al- Qur‟an dan Sunnah Nabi. b. Sumber “non-tekstual” atau sumber tak tertulis. Seperti Istihsan dan Qiyasah. 33 Sedangkan Fiqh menurut bahasa bermakna tahu dan Faham. Sedangkan menurut istilah ialah Ilmu Syari‟at, dan orang yang mengetahui Ilmu Fiqh dinamai Faqih. Para Fuqaha jumhur mutaakhirin menta‟rifkan fiqh dengan ilmu yang menerangkan hukum-hukum syar a‟ yang diperoleh dari dalil-dalil yang tafshil. Apabila dikatakan hukum syari‟ah, maksudnya ialah hukum-hukum fiqh yang berpautan dengan masalah-masalah amaliyah, yang dikerjakan oleh para mukallaf sehari-hari. 33 H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, Ciputat; PT. Logos Wacana Ilmu, 2005. Cet, III, hlm. 1-2 39 Hukum ini dinamai juga hukum furu‟, karena dipisahkan dari ushulnya; yakni diambil, dikeluarkan dari dalil- dalilnya dalil Syar‟i yang menjadi objek ushul fiqh. Jelasnya fiqh islam mempunyai ushul pokok-pokok atau dasar dan furu‟ cabang-cabang yang diambil dari pokok tersebut. 34 Kata Fiqh, dipakai untuk nama segala hukum agama, baik yang berhubungan dengan kepercayaan ataupun yang berhubungan dengan muamalah praktis, segala hukum dinamai juga Fiqh. Memahami hukum dinamai juga fiqh, tidak ada perbedaan antara suatu hukum dengan yang lainnya inilah yang dimaskud dengan firman Allah SWT didalam Surat at-Taubah ayat 122, yang berbunyi:    i                    ب ا 9 : 122 Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya ke medan perang. mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. ” Q.S. at-Taubah 9: 122 Dari pengertian diatas dapat difahami dan dimengerti arti Hukum Islam yang sebenarnya, bahwa Hukum Islam adalah Syari‟at Islam ketentuan Allah atau titah Allah terhadap hambanya dan kemudian dari penjabaran yang luas 34 Hasbi Ash-Shyiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, hlm. 17-18 40 maka dibuatlah fiqh sebagai intisari dari proses peng-instinbathkan suatu hukum syar‟i. Karena fiqh itu adalah suatu ilmu induk dari hasil pemahaman antara dua ilmu yakni Qaidah Fiqhiyyah dan Qaidah Ushuliyyah atau Ushul Fiqh, yang semuanya itu didasarkan pada suatu hukum yang bersifat abstrak atau masih umum dan khusus. 2. Pe gertia Radla’ah Kata Radla‟ dalam bahasa arab berasal dari kata kerja radha‟a-radha‟i- radh a‟an, yang artinya menetek atau menyusui. 35 Istilah Radh a‟ di pakai untuk tindakan menetek atau menyusui, anak yang menyusui disebut Radh i‟ dan perempuan atau ibu yang menyusui disebut Murdh i‟. 36 Abdurahman al-Jaziri juga memberikan definisi yang tidak jauh berbeda. Menurutnya, Radh a‟ secara etimologi adalah nama bagi sebuah hisapan susu, baik manusia maupun susu binatang. 37 Al- Sayyid Sabiq berpendapat bahwa penyebutan “susuan”, sesungguhnya mencakup segala macam bentuk susuan. Akan tetapi. Istilah ini memiliki definisi tertentu agar dapat difahami dengan benar dan memberikan implikasi hukum y ang jelas terutama dalam persoalan pernikahan, anggapan “susuan” bersifat 35 Kamus Al-munir Arab- Indonesia, Surabaya; Kashiko, 2000, cet. I, hlm. 221 36 Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, Jakarta; PT. Hidakarya Agung, 1990, cet. VIII, hlm. 142 37 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab al- Fiqh „ala Mazhahib al-Arba‟ah, Beirut; dar al-Fikr, juz. IV, hlm. 192 41 mutlak tidak dapat dibenarkan karena istilah itu harus diterjemahkan dengan penyusuan sempurna. Penyusuan sempurna menurut al-Sayyid Sabiq adalah “Seorang anak bayi yang menyusu tetek dan menyedot air susunya dan tidak berhenti dari menyusu kecuali dengan kemauannya sendiri tanpa halangan”. 38 Pengertian Radh a‟ secara bahasa memiliki makna yang sangat luas dan umum. Artinya tidak disyaratkan bahwa yang disusui berupa anak kecil atau orang dewasa. Didalam fik ihnya Imam Syafi‟I yang ditulis oleh Wahbah Zuhaili. Pengertian Radla‟ secara etimologi berarti menghisap puting dan meminum air susunya. Sedangkan secara termonologi berarti sampainya air susu seorang wanita atau sesuatu yang dihasilkan dari sana kedalam lambung anak kecil atau kedalam otaknya. Dari definisi ini dapat kita ketahui bahwa unsur-unsur yang harus terpenuhi dalam praktik Radh a‟ adalah Ibu Susu Murdhi‟, Air Susu Ibu Laban dan BayiAnak Radh i‟ yang menyusu dan ini juga termasuk kedalam rukun susuan yang menjadi ikatan mahram. 39 3. Ko sep Radla’ah Me urut Huku Isla 38 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan; Analisis Perbandingan Antar Mazhab, Jakarta; PT. Prima Heza Lestari, 2006,cet. I, hlm. 44 39 , Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟I ; Mengupas Masalah fiqhiyah Berdasarkan Al- Qur‟an dan Hadits, Jakarta; Al- Mahirah , 2010 cet. I, Juz. III, hlm. 27 42 Anak adalah amanah yang diberikan Allah SWT bagi kedua orang tua. Oleh sebab itu, ketika anak lahir kedunia maka tanggung jawab sepenuhnya menjadi kewajiban ayah dan ibunya. Diantara kewajiban orang tua untuk anaknya adalah anak tumbuh sehat dan terpenuhi segala sesuatunya. Pada saat usia bayi, ASI Air Susu Ibu adalah sumber makan pokok yang paling mendesak baginya. Bahwa Allah SWT menganjurkankan kepada para ibu-ibu untuk menyusui anak- anaknya dan memberikan batas 2 dua tahun penuh karena pada saat itu, anak masih sangat membutuhkan ASI sebagai makanan dan minuman pertama yang didapat oleh sianak. Sebagaimana firman Allah SWT didalam surat Al-Baqarah ayat 233, sebagai berikut:                                                                         . ق ا 2 : 233 Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara maruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu 43 disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. ”Q.S. Al-Baqarah 2: 233 Lapaz ا ا ا merupakan jama‟ dari kata ا dengan adanya huruf “Ta” marbutoh. Sedangkan ا ا artinya bapak dan ا ا berarti ibu. Sedangkan untuk lapaz bapak dan ibu adalah ا ا ا sebagaimana yang biasa diucapakan oleh orang arab. Imam Abu Hayan didalam kitab al-Bahri mengatakan itu adalah qiyasan dari lapaz ا , akan tetapi lapaz tersebut diucapakan hanya untuk bapak. Maka kemudian didatangkan huruf “Ta” menjadi lapaz ا untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan dari segi bahasa, seakan-akan kalimat tersebut menyatakan bahwa bapak dan ibu adalah asal dari pada anak, maka diucapkan untuk mereka berdua dengan lapaz ا ا . 40 Bentuk dalil ini adalah dengan menggunakan Shigat atau kalimat Khabar berita karena untuk menguatkan seharusnya menjadi lapaz ض , pada dasarnya bentuk lapaznya adalah berita, sedangkan hakikatnya adalah perintah. 41 Kata al-Walidat maknanya adalah para ibu, baik ibu kandung maupun bukan. Ini berarti bahwa al- Qur‟an sejak dini telah menggariskan bahwa air susu 40 Muhammad „Ali as-Shobuniy, Rowai‟u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur‟an, Beirut: Maktabah al- „Ashriyyah, 2005 juz. I, hlm. 324 41 Muhammad „Ali as-Shobuniy, Rowai‟u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur‟an, hlm. 328 44 ibu, baik kandung maupun bukan adalah makanan terbaik buat bayi hingga usia dua tahun. Penyusuan yang selama dua tahun itu, walaupun diperintahkan, bukanlah kewajiban. Ini difahami dari penggalan ayat yang menyatakan “bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”. Namun demikian, ia adalah anjuran yang sangat ditekankan, seakan-akan ia adalah perintah wajib. Jika ibu bapak sepakat untuk mengurangi masa tersebut, maka tidak mengapa. Hendaknya jangan berlebih dari dua tahun, karena dua tahun telah dinilai sempurna oleh Allah. Disisi lain, penetapan waktu dua tahun itu, adalah untuk menjadi tolak ukur bila terjadi perbedaan pendapat misalnya ibu atau bapak ingin memperpanjang masa penyusuan. Masa penyusuan tidak harus 24 dua puluh empat bulan, karena dalam QS. Al-Ahqaf 46 ayat 15 menyatakan bahwa masa kehamilan dan penyusuan adalah 30 tiga puluh bulan. Ini berarti, jika janin yang dikandung selama sembilan bulan maka penyusuannya adalah 21 dua puluh satu bulan. Sedangkan jika dikandung hanya 6 enam bulan, maka ketika itu masa penyusuannya adalah 24 dua puluh empat bulan. Tentu saja ibu yang menyusukan memerlukan biaya agar kesehatannya tidak tergangu dan air susunya selalu tersedia. Atas dasar itu lanjutan ayat mengatakan, “merupakan kewajiban atas yang dilahirkannya”, yakni Ayah, “memberi makan dan pakaian kepada para ibu” kalau ibu anak-anak yang 45 disusukan itu telah diceraikan secara ba‟in, bukan raj‟iy. Adapun jika ibu anak itu masih berstatus isteri walau telah ditalak secara raj‟iy, maka kewajiban memberi makan dan pakaian adalah kewajiban atas dasar hubungan suami isteri, sehingga bila mereka menuntut imbalan penyusuan anaknya, maka suami wajib memenuhinya selama tuntutan imbalan itu dinilai wajar. 42 Mengapa menjadi kewajiban bapak? Karena pada kalimat ا itu terkandung makna bahwa anak itu mengikuti ayah atau bapak dan nasabnya kepada ayah atau bapak bukan kepada ibu. Maka kewajiban yang muncul untuk menafkahkan kepada para ibu dan wanita-wanita yang menyusui karena adanya anak maka bapak wajib menafkahinya. Imam Zamakhsyariy berkata “kalau anda berkata kenapa diucapkan bukan ا ا? Anda menjawab: agar dapat diketahui bahwa sang ibulah yang melahirkan untuk bapaknya karena anak itu adalah milik bapaknya. Oleh karena itu tersambung nasabnya kepada bapak bukan kepada ibu ”. 43 Imam al-Jashosh dalam tafsirnya Ahkamul Q ur‟an berkata: pada ayat ini mengandung 2 dua makna,sebagai berikut: 42 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Quran,Jakarta: Lentera Hati, 2007 cet. X, vol. I, hlm. 503-504 43 Muhammad „Ali as-Shobuniy, Rowai‟u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur‟an, hlm. 328; Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, Jakarta; Ghalia Indonesia, hlm. 109-111 46 a. Sesungguhnya seorang ibu lebih berhak menyusui anaknya selama 2 dua tahun dan tidak berhak untuk si ayah menyusukan anaknya kepada orang lain selama si ibu atau isterinya berkainginan menyusui. b. Sesungguhnya kewajiban ayah memberikan nafkah susuan hanya sampai 2 dua tahun.Dan pada firman Allah itu menunjukan bahwa suami atau bapak tidak berhak mencampuri urusan penyusuan, karena Allah mewajibkan penyusuan itu kepada bapak melalui ibu, mereka berdua adalah ahli waris dan Allah mengutamakan bapak dari pada ibu pada masalah waris. Hal itu menjadi dasar penentuan ayah atau bapak sebagai pemberi nafkah bukan ibu. Demikian menjadi dasar kewajiban memberikan nafkah untuk anak-anaknya sejak kecil hingga dewasa tanpa ada campur tangan dari pihak lain. 44 Mengenai batas-batas antara hak dan kewajiban ibu dalam menyusukan anaknya-yang berhubungan dengan upah, perceraian, martabat dan kesehatan- para ahli fikih terjadi perbedaan pendapat mengenai seorang ibu yang telah melahirkan anaknya, apakah ia wajib menyusui anaknya sendiri atau bisa disusui perempuan lain?. Pendapat pertama yakni dari Imam Malik dengan menyatakan bahwa seorang ibu wajib menyusukan anaknya, tanpa satu alasanpun untuk menolaknya, selama ia masih dalam status isteri dari ayah anaknya, tanpa mendapat upah. 44 Muhammad „Ali as-Shobuniy, Rowai‟u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur‟an, hlm. 333 47 Kecuali jika ibu tersebut termasuk kedalam golongan wanita yang bermartabat tinggi, yang menurut adat istiadat setempat misalnya, ia tidak diperkenankan menyusukan anaknya. Jadi harus diupayakan mencari wanita lain yang sanggup menyusukan anaknya dengan mendapat upah. Namun demikian, pengecualian ini juga batal dengan sendirinya, jika ternyata ada hal-hal tertentu yang membuat ibu tersebut mau tidak mau harus menyusukan anaknya sendiri. Sedangkan hal-hal yang dapat menggugurkan pengecualian dalam menyusukan anak bagi wanita bermartabat atau ningrat itu adalah sebagai berikut: a. Bayi menolak menyusu kecuali kepada ibunya. b. Kedua orang tua tidak memiliki dana untuk membayar upah wanita lain untuk menyusukan anaknya. c. Tidak ada wanita lain yang mau menyusukan anaknya. d. Ada wanita lain, namun tidak bersedia jika dibayar. Pendapat yang kedua yakni dari Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟I dan Imam Ahmad, menyatakan bahwa seorang ibu tidak mutlak wajib menyusukan anaknya, sekalipun ibu itu masih dalam status sebagai isteri dari ayah anaknya. Lantaran menyusukan anak itu sama dengan pemberian nafkah, sedangkan pemberian nafkah merupakan kewajiban suaminya atau ayah si anak. Kalaupun seorang ibu mau menyusukan anaknya, itu lantaran pada dasarnya seorang ibu 48 pasti memiliki rasa kasih sayang terhadap anaknya, sehingga ibu tersebut tidak berhak menuntut dan atau menerima upah. Oleh sebab itu, seorang ibu berhak menolak menyusukan anaknya, jika memang merasa tidak mampu atau merasa akan tergangu kesehatannya jika menyusukan anak, sebagaimana firman Allah dalam Al- Qur‟an, sebagai berikut: ...     ... ق ا 2 : 233 Artinya : “Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya”. Q.S. Al-Baqarah 2: 233 Berdasarkan argument ayat ini, seorang ibu tidak dipaksa untuk menyusukan anaknya menurut ketentuan hukum, kecuali dalam keadaan darurat, tidak ada pilihan lain, dalam artian telah ditetapkan pula oleh hukum lain atau memenuhi berbagai ketentuan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Selain itu, seorang isteri yang telah diceraikan oleh suaminya, juga tidak boleh dipaksa untuk menyusukan anaknya, lantaran kewajiban memberikan nafkah kepada anak merupakan kewajiban suaminya. Dan kalaupun ternyata - karena satu lain hal – terpaksa harus menyusukan anaknya, maka ibu tersebut berhak menuntut atau menerima upah menyusukan dari mantan suaminya, lantaran upah tersebut bukan semata-mata upah murni, tetapi dapat sebagai realisasi dari kewajiban seorang ayah memberikan nafkah kepada anaknya. Dengan demikian, menyusukan anak tidak merupakan kewajiban agama yang mutlak bagi seorang ibu, jika menyusukan anak itu akan menimbulkan hal 49 yang mudarat, yakni dapat mencelakakan ibu atau anaknya atau kedua- duanya.misalnya, jika ibu mengidap suatu penyakit menular yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan anakya. 45 Imam al-Qurtubi menyatakan bahwa Lapaz yang tersebut didalam al- Qur‟an surat al-Baqarah ayat 233 itu adalah Muktamal. Artinya, mengandung 2 dua pengertian, yakni bisa hak, bisa juga tanggung jawab. Jadi, tidak berarti kewajiban mutlak. Alasannya, jika Allah SWT memang ingin mengatakan dengan jelas bahwa menyusukan anak itu merupakan kewajiban mutlak ibunya, tentu Allah SWT akan menyatakan : “Dan ibu wajib menyusukan anak-anaknya” Sama halnya dengan firman Allah SWT mengenai kewajiban mutlak seorang ayah dalam memberikan nafkah kepada keluarganya, yang dinyatakan dengan firman-Nya: ..      .. ق ا 2 233 Artinya : “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu”.Q.S. al-Baqarah 2: 233 Oleh sebab itu, menyusukan anak bukan kewajiban mutlak seorang ibu, hanya hak seorang ibu. Jadi boleh dilaksanakan, boleh juga tidak. Berbeda dengan seorang ayah, yang mutlak dibebani kewajiban memberi nafkah kepada 45 Abdul Hakim al-Sayyid Abdullah, Keutamaan Air Susu Ibu, hlm. 39-41 50 keluarganya anak isterinya, sehingga seorang ayah wajib secara mutlak mencari upaya agar anaknya ada yang menyusukan. Namun demikian, hak menyusukan anak bagi seorang ibu itu akan berubah menjadi kewajiban jika ia masih dalam status isteri dari ayah sianak, sesuai dengan tuntutan fitrahnya. Kecuali ia termasuk wanita bangsawan yang tidak diizinkan menyusukan anak sendiri, sesuai dengan tuntutan adat istiadatnya. Namun demikian, pengecualian ini akan gugur dengan sendirinya jika anak tersebut ternyata menolak menyusu kepada selain ibunya. Maka menyusukan anak pada akhirnya kembali menjadi kewajiban atau tanggung jawab ibunya. Selain itu, wajib bagi seorang suami memberikan kesempatan penuh kepada isterinya untuk menyusukan anaknya, dalam artian tidak boleh dihalangi selama siisteri atau ibu dari anak itu suka melakukannya. Demikian pula halnya, si isteri telah diceraikan atau masih dalam masa iddah. Hal itu untuk menjamin terpenuhinya hak seorang ibu dalam menyusukan anaknya. Lantaran hanya seorang ibulah yang memiliki rasa kasih sayang tulus terhadap bayinya, yang merupakan bagian dari dirinya. Selain dari itu, menyusukan anak secara alami semata-mata bertujuan untuk kepentingan dan perlindungan serta kesehatan anak, lantaran ASI merupakan makan dan minuman yang terbaik untuk bayi. 46 Dalam islam, hubungan keluarga bisa terjadi melalui penyusuan. Namun aturan tersebut tidak bersifat umum. Rasulullah SAW tidak serta merta 46 Abdul Hakim al-Sayyid Abdullah, Keutamaan Air Susu Ibu, hlm. 41-43 51 mengharamkan pernikahan karena pernah menjalin hubungan persusuan. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam proses penyusuan yang dapat menimbulkan hubungan mahram. Para ulama telah membahas beberapa kriteria untuk memastikan hubungan mahram benar-benar terwujud antara bayi yang menyusu dengan perempuan yang menyusui. Kriteria tersebut terkait macam dan sifat ASI yang diberikan kepada bayi, karakter perempuan yang menyusui dan kondisi anak yang menyusui. Praktik radla‟ah itu memiliki unsur-unsur dalam pelaksanaannya, diantaranya adalah Ibu susu Murdh i‟, anak atau Bayi yang menyusu Radhi‟ dan Air susu Laban. Penjelasannya sebagai berikut: 1. Ibu susu Murdhi‟ Kondisi orang yang menyusui juga harus diperhatikan dalam persusuan untuk memastikan apakah yang dilakukan terhadap bayi benar- benar memiliki konsekuensi hukum atau tidak sama sekali. Mengenai identitas dari orang yang menyusui, Mazhab Maliki, Hanafi, syafi‟I dan Hambali sepakat bahwa orang yang menyusui anak bayi itu adalah seorang perempuan. 47 47 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab al- Fiqh „ala Mazhahib al-Arba‟ah, hlm. 195-196 52 Imam Syafi‟I menjelaskan apabila wanita menyusui seorang bayi maka bayi tersebut seperti anaknya secara hukum, dengan 3 tiga syarat berikut: a Si Bayi benar-benar menyusu pada wanita tersebut. Air susu hewan ternak tidak berkaitan dengan pengharaman anak. b Wanita yang menyusui dalam kondisi hidup. Jika seorang bayi menyusu kepada wanita yang telah meninggal atau meminum air susu yang dipompa dari wanita yang telah meninggal, ini tidak berimplikasi pada pengharaman. Namun air susu wanita saat hidup dipompa, kemudian setelah meninggal susu tersebut diminumkan kepada bayi, menurut pendapat yang shahih bayi itu menjadi mahramnya. c Wanita tersebut masih bisa melahirkan akibat hubungan intim atau lainnya, misalnya dia ibu susu telah berusia 9 sembilan tahun keatas, karena kedua putingnya telah dapat mengeluarkan air susu. Jika ternyata air susu tersebut berasal dari wanita yang belum berusia 9 sembilan tahun, ini tidak menjadikan mahram. Jika dia telah berusia 9 sembilan tahun maka menjadi mahram, meskipun belum dihukumi baligh. Sebab, asumsi baligh sudah ada, sementara susuan telah cukup hanya dengan asumsi seperti hanya nasab. 53 Dalam hal ini sama saja hukumnya antara ibu susuan yang telah menikah maupun belum, juga antara yang masih perawan maupun bukan. 48 Mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali mengatakan bahwa tidak disyaratkan bagi wanita yang menyusui itu harus masih hidup. Artinya, jika dia mati lalu ada seorang bayi menyusu darinya, maka cukuplah sudah hal itu sebagai penyebab keharaman. Bahkan mazhab Maliki mengatakan “Kalaupun diragukan apakah yang dihisapnya itu susu atau bukan, keharaman tetap terjadi”. Seluruh mazhab juga sepakat bahwa, laki-laki pemilik air susu yakni suami wanita yang menyusui itu menjadi ayah bagi anak yang disusui isterinya itu, keharaman mereka berdua, seperti keharaman antara ayah dan anak. Ibu suami wanita yang menyusui itu, menjadi nenek bagi anak yang menyusui, saudara perempuan laki-laki itu menjadi bibinya, sebagaimana halnya dengan wanita yang menyusuinya menjadi ibunya, ibu wanita itu menjadi neneknya dan saudara perempuan wanita itu menjadi neneknyan pula. 49 Mengenai hubungan status seorang ibu susuan fuqaha telah sependapat bahwa secara garis besar apa yang diharamkan oleh susuan 48 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟I ; Mengupas Masalah fiqhiyah Berdasarkan Al- Qur‟an dan Hadits, hlm. 28 49 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh lima Mazhab; Ja‟fari, Hanafi, Maliki,Syafi‟I dan Hambal,Jakarta; PT. Lentera Basritama, 2003, cet. II, hlm. 340 54 dengan apa yang diharamkan oleh nasab. Yaitu bahwa seorang perempuan yang menyusui sama kedudukannya dengan seorang ibu. Oleh karenanya, ia diharamkan bagi anak yang disusukannya dan diharamkan pula baginya semua orang perempuan yang diharamkan atas anak laki-laki dari segi ibu nasab. 50 Dalil yang menjadi pijakan adalah surat An-Nisaa ayat 23, yang berbunyi:                                                        ءا ا 4 : 23 Artinya: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu, anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu dan sudah kamu ceraikan, Maka tidak berdosa kamu mengawininya; dan diharamkan bagimu isteri-isteri anak kandungmu 50 Ibnu Rusyd, Bidayah al- Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, jilid. II, hlm. 26 55 menantu; dan menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ”. Q.S. An-Nisaa‟ 4: 23 Dan hadits Nabi SAW, yang berbunyi: 51 ا ا ا با ح با ا ا ص . اقف اـض ا ح ، اـض ا خا با اـ ا ، ح ا اـ ا ب ا ح ا . ـ ا ا ا 52 Artinya: “Dari Ibnu „Abbas. Bahwasanya Nabi SAW. Diminta berkahwin dengan anak Hamzah. Maka sabda Nabi : “Sesungguhnya ia tidak halal bagiku, lantaran ia itu anak bagi saudara susuku; karena Haram dari penyusuan itu apa-apa yang haram dengan sebab nasab”.H.R. Bukhari dan Muslim 2. Anak atau Bayi yang menyusu Radli‟ Anak adalah amanah yang diberikan Allah SWT bagi kedua orang tuanya. Sebab itu, ketika anak lahir kedunia maka tanggung jawab sepenuhnya menjadi kewajiban orang tua yakni ayah dan ibunya. Berdasarkan penjelasan sebelumnya bahwa menyusukan anak adalah hak bagi seorang ibu, demikian menurut kesepakatan para ahli fiqh. Hal ini dijelaskan didalam Al- Qur‟an dalam surat al-Baqarah ayat 233: 51 A. Hasan, Terjemah Bulughul Maram Ibnu Hajar Al- “Asqalani, Bandung; CV Penerbit Diponegoro, 2002, cet. XXVI, hlm. 509 52 Al-Bukhariy, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhariy, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, Juz. V, hlm. 125; Muslim, Abi Husain Muslim bin Hajjaji al-Qusyairiy al- Neisaburiy, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, juz. I, nomor 1445 56           .. ق ا 2 : 233 Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan….Q.S. Al-Baqarah 2: 233 Namun mekanisme dalam penyusuan itu sendiri seperti batas usia anak susuan, yang disusukan dan berimplikasi terhadap hubungan mahram terhadap ibu susuan, terbagi kepada 3 tiga kelompok. Diantaranya: a. Jumhur Ulama dari kalangan Sahabat maupun Tabi‟in. 53 antara lain: Maliki, Syafi‟I, Ishak, Abu Saur, dua sahabat Abu Hanifah dan Al- „Awza‟i. 54 dari kalangan sahabat antara lain: Umar bin al-Khattab dan puteranya Abdullah bin Umar, Abnu Mas‟ud, Ibnu Abbas, Abu Musa serta para Isteri Nabi SAW selain dari Aisya. Mereka berpendapat bahwa usia anak susuan yang berimplikasi terhadap hubungan mahram yaitu usia 2 dua tahun pertama sejak kelahiran. 55 Imam Malik, Abu Hanifah, Syafi‟I dan lainnya berpendapat bahwa penyusuan anak besar tidak mengharamkan. 56 Kelompok pertama ini bersandar kepada firman Allah SWT didalam Al-quran surat Al-Baqarah ayat 233, yang berbunyi: 53 Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh keluarga, Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 2001, cet. I, hlm.194 54 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, jilid. II , hlm. 27 55 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan; Analisis Perbandingan Antar Mazhab, hlm. 28 56 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, jilid. II , hlm. 27; Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh keluarga, hlm 194 57           .. ق ا 2 : 233 Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan….Q.S. Al-Baqarah 2: 233 Dari ayat diatas, menurut kelompok ini menunjukan batasan usia seorang anak yang berakibat terjadinya hubungan mahram sebagaimana yang terjadi pada garis keturunan nasab. Dan hadits Nabi SAW dari „Aisyah r.a., yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang berbunyi: ا ا خ ها ص ا ا ا ها ض شئا اقف ،ك ك أك ج غ أ ف ج : خأ . اقف : أ ا خ . اج ا اض ا ا ف ا ا ا 57 Artinya: “Dari Aisyah r.a Bahwa Nabi SAW masuk rumah Aisyah dan mendapati seorang laki-laki, seketika itu raut muka beliau berubah seakan tidak senang kehadiran tamu itu. lalu Aisyah menjelaskan kepada Nabi SAW seraya berkata: “Lelaki itu adalah saudaraku sesusuan”. Nabi SAW menjawab: Hai Aisyah kenalilah baik-baik siapa-siapa yang menjadi saudara susuanmu Saudara sesusuan yang berakibat mahram itu adalah penyusuan yang dapat mengenyangkan”. H.R. Bukhari dan Muslim Berdasarkan hadis ini, maksudnya adalah penyusuan saat sang anak berada pada periode bayi dari lahir sampai dengan 2 dua tahun, sehingga setiap menyusu akan memenuhi kebutuhan rasa laparnya. 58 57 Al-Bukhariy, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhariy, Juz. V, hlm. 125; Muslim, Abi Husain Muslim bin Hajjaji al-Qusyairiy al-Neisaburiy, Shahih Muslim, juz. I, nomor 1455 58 Abu Ubaid mengemukakan bahwa “Jika seorang bayi lapar, maka makanan yang dapat mengenyangkannya adalah susu. Dan penyusuan yang dapat mengharamkan pernikahan dan membolehkan Khulwah adalah penyusuan yang dapat menghilangkan rasa laparnya. Yang demikian itu, karena perutnya masih sangat kecil sehingga cukup dengan susu saja dan bahkan susu itu dapat menumbuhkan dagingnya. 59 Karena menurut Fuqaha yang lebih menguatkan hadits ini, mereka mengatakan bahwa air susu yang tidak dapat berfungsi sebagai makanan bagi orang yang menyusu, tidak menyebabkan keharaman. 60 b. Abu Hanifah berpendapat bahwa usia anak susuan yang dapat mengakibatkan hubungan mahram adalah yang berusia pada kisaran 30 tiga puluh bulan. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, dalam surat Al-Ahqaf ayat 15 sebagai berikut: ..      ... فاـقحأا 46 : 15 Artinya: “…Dan mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan…” Q.S. Al-Ahqaaf 46: 15 Maksud 30 tiga puluh bulan pada ayat diatas menurut Abu Hanifah terhitung sejak kelahiran dan bukan dihitung dari semenjak dalam 58 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan; Analisis Perbandingan Antar Mazhab, hlm. 28-29 59 Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh keluarga, hlm. 192 60 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, jilid. II , hlm. 28 59 kandungan. Apabila perhitungan berdasarkan ayat, maka jumlahnya adalah 2,5 dua koma lima tahun. Pendapat Abu Hanifah ini dari sisi perhitungan berbeda dari pandangan Ibnu Abbas yang dijadikan pegangan Jumhur al-Mufassirin. Menurut Ibnu Abbas yaitu bagi seorang bayi prematur yakni yang berada didalam kandungan selama 6 enam bulan, maka masa penyusuannya dilakukan 24 dua puluh empat bulan. Apabila si bayi berada dikandungan selama 7 tujuh bulan, maka masa penyusuan menjadi 23 dua puluh tiga bulan. Dan bila berada selama 8 delapan bulan, maka masa penyusuannya itu dilakukan selama 22 dua puluh dua bulan. Selanjutnya, apabila masa kandugannya selama 9 sembilan bulan, maka penyusuan itu dilakukan selama 21 dua puluh satu bulan. Dengan demikian, masa mengandung dan menyusui diseimbangkan sejumlah bulan yang disebut didalam al- Qur‟an, yaitu 30 tiga puluh bulan. 61 c. Daud dan fuqaha al-Zahiri berpendapat bahwa penyusuan anak yang sudah besar, dapat menjadi mahram. Hal ini merupakan pendapat dari 61 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan; Analisis Perbandingan Antar Mazhab, hlm. 30-31 60 Aisyah r.a., 62 hadits ini tentang salim yang mendapat izin masuk keluar rumahnya. 63 Sebagai berikut: اقف ، ها ص ا ب ئاج : ،ها ا ا خ ح بأ ج ف أ ح . ها ص ا اقف : ض أ اق : ف ، ك ج ض أ ف ك ها ص ها : اق ك ج أ ق ا 64 Artinya: “Sahlah binti Suhail mendatangi Nabi SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku lihat raut muka cemburu dari Abu Hudaifah terhadap “Salim” bekas hamba sahaya Abu Hudaifah yang sering masuk keluar rumah kami. Nabi SAW bersabda: “Maka susukanlah ia susu. sahlah menimpali: “Ya Rasul dia anak laki- laki yang sudah dewasa, bagaimana aku menyusuinya?” Rasulullah SAW pun tersenyum seraya berkata: “hal itu aku ketahui bahwa dia anak laki-laki dewasa”.H.R. Muslim Pendapat ini didukung oleh sekelompok ulama Salaf dan khalaf bahkan mereka mempertegas bahwa sekalipun yang disusukan itu lanjut usia, ketentuan akibat susuan disamakan dengan usia anak kecil. Sebagai bukti dukungan „Aisyah terhadap hadits ini, Ia pun pernah menyuruh kepada saudara perempuannya bernama Ummu Kulsum dan para putri saudara laki-lakinya apa bila menghendaki atau memperkenankan lelaki asing bebas keluar masuk rumah, hendaklah ia disusui terlebih dahulu. 62 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, jilid. II , hlm. 27 63 A. Hasan, Terjemah Bulughul Maram Ibnu Hajar Al- “Asqalani, hlm. 506 64 Muslim, Abi Husain Muslim bin Hajjaji al-Qusyairiy al-Neisaburiy, Shahih Muslim, juz. I, nomor 1453 61 Dengan demikian, batas usia anak susuan menurut versi kelompok ini tidak memiliki batasan tertentu, bahkan seseorang tua bangka pun juga dapat melakukan sebuah tindakan yang dapat mengakibatkan hubungan mahram dan haram menikah melalui proses penyusuan oleh seorang perempuan terhadap laki-laki asing itu. 65 3. Air susu Laban Didalam al- Qur‟an dan as-Sunnah tidak menjelaskan secara rinci mengenai sifat ASI yang bisa berdampak terjadinya mahram. Namun para ulama telah membahas mengenai status ASI yang diminum atau diminumkan kepada bayi. Mengenai jumlah atau kadar susuan yang menyebabkan mahram, itu terbagi menjadi 4 empat kelompok. Diantaranya: a. Satu kali susuan sudah menjadi mahram. Pendapat ini dianut oleh Jumhur Abu Hanifah, Malik 66 dan salah satu riwayat Ahmad. Dari kalangan sahabat dan tabi‟in seperti ibnu al-Musayyab, al-Hasan, al-Zuhri, Qatadah, al- Awza‟I, al-Sauri dan al-Lais. Mereka berpegang kepada dalil- dalil naqli yang bersumber dari al- Qur‟an dan hadits. Diantaranya: Dalil al- Qur‟an surat an-Nisaa‟ ayat 23, sebagai berikut: 65 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan; Analisis Perbandingan Antar Mazhab, hlm. 31-32 66 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, jilid. II , hlm. 27; Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟I ; Mengupas Masalah fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadits, hlm. 31 62 . .       .. ءا ا 4 : 23 Artinya: “…Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan..”Q.S. an- Nisaa‟ 4: 23 Hadits Nabi SAW dari „Aisya r.a., yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, sebagai berikut: ا خ ها ص ا ا ا ها ض شئا اقف ،ك ك أك ج غ أ ف ج ا : خأ . اقف : ا خ أ . اج ا اض ا ا ف ا ا ا 67 Artinya: “.Dari Aisyah r.a Bahwa Nabi SAW masuk rumah Aisyah dan mendapati seorang laki-laki, seketika itu raut muka beliau berubah seakan tidak senang kehadiran tamu itu. lalu Aisyah menjelaskan kepada Nabi SAW seraya berkata: “Lelaki itu adalah saudaraku sesusuan”. Nabi SAW menjawab: Hai Aisyah kenalilah baik-baik siapa-siapa yang menjadi saudara susuanmu susuan yang diharamkan menikah adalah susuan yang mengenyangkan ” H.R. Bukhari dan Muslim Dan hadits Nabi SAW dari Ibnu Abbas r.a, sebagai berikut: ا ا ا با ح با ا ا ص . اقف اـض ا ح ، اـض ا خا با اـ ا ، ح ا اـ ا ب ا ح ا ا ا ا 68 67 Al-Bukhariy, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhariy, Juz. V, hlm. 125; Muslim, Abi Husain Muslim bin Hajjaji al-Qusyairiy al-Neisaburiy, Shahih Muslim, juz. I, nomor 1455 68 Al-Bukhariy, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhariy, Juz. V, hlm. 125; Muslim, Abi Husain Muslim bin Hajjaji al-Qusyairiy al-Neisaburiy, Shahih Muslim, juz. I, nomor 1445 63 Artinya: “Dari Ibnu „Abbas. Bahwasanya Nabi SAW. Diminta berkahwin dengan anak Hamzah. Maka sabda Nabi : “Sesungguhnya ia tidak halal bagiku, lantaran ia itu anak bagi saudara susuku; karena Haram dari penyusuan itu apa-apa yang haram dengan sebab nasab ”. H.R. Bukhari dan Muslim Dengan landasan dalil naqli tersebut, kelompok ini menegaskan bahwa nash-nash tersebut tidak menyebutkan batasan tertentu mengenai jumlah susuan. b. Kelompok yang menyatakan bahwa tiga kali susuan dapat menjadi mahram. Pendapat ini berdasar riwayat ketiga dari Ahmad, diikuti Ahlu al-Zahir kecuali Ibnu Hazm. Dari kalangan sahabat antara lain: Ishaq, Abu Ubaid, Abu Saur dan Ibnu Munzir 69 . Dengan argumentasi yang dijadikan dasar adalah hadits „Aisyah r.a., yang berbunyi: ها ص ها اق : ا ّ ا ّ ا ح ا . ا 70 Artinya: “Rasulullah SAW bersabda; satu kali isapan sedotan atau dua Isapan tidak meng haramkan pernikahan”. H.R. muslim Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari jalan Ummu al-Fadhl, yang berbunyi: اق ، ا أ : ، ها ص ها با أ خ اقف ، ب ف : ، خأ ا ج ف أ ا اك ،ها ا ، ض أ ض ث ح ا أ ا ض أ ا أ أا أ ا ف 69 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan; Analisis Perbandingan Antar Mazhab, hlm. 47 70 Muslim, Abi Husain Muslim bin Hajjaji al-Qusyairiy al-Neisaburiy, Shahih Muslim, juz. I,nomor 1450 64 ها ص ها اقف : ا جا إا جا إا ح ا . ا 71 Artinya: “Ada seorang lelaki kampung mendatangi Nabi SAW yang sedang berada dirumahku dan lelaki itu mengadu: “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku mempunyai seorang isteri dan aku menikah wanita lain, lalu isteri pertamaku menyatakan bahwa ia pernah menyusui isteri keduaku dengan satu kali susuan atau dua kali”. Nabi SAW menjelaskan :”Satu kali susuan atau dua kali susuan tidak mengharamkan pernik ahan”.H.R. Muslim Dari kedua hadits diatas, memberi kesimpulan kepada kelompok ini adanya anggapan bahwa penyebutan bilangan yang diulang berarti meliputi tiga yaitu tiga kali susuan. 72 c. Kelompok yang menyatakan dapat menjadi mahram, apabila disusukan sebanyak lima kali penyusuan. Pendapat i ni di anut oleh Imam Syafi‟I dan Imam Hambali, 73 Ibnu Hazm, Atha‟ dan Thawus. Dari kalangan sahabat dipelopori oleh „Aisyah, Ibnu Mas‟ud dan Ibnu Zubeir. Pedoman yang dijadikan dasar adalah hadits „Aisyah yang berbunyi: 71 Muslim, Abi Husain Muslim bin Hajjaji al-Qusyairiy al-Neisaburiy, Shahih Muslim, juz. I, nomor 1451 72 Ahmad sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan; Analisis Perbandingan Antar Mazhab, hlm. 47-48; Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, jilid. II, hlm. 27 73 Abdul Hakim as-Sayyid Abdullah, Keutamaan Air Susu Ibu, hlm. 114; Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟I ; Mengupas Masalah fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadits, hlm. 30 65 اق ا أ ؛ شئا : ا ا ض ش ، آ ق ا أ ا ف اك ها ص ها ف ف ، ا ب ث ، ح آ ق ا أ ق ا ف ا 74 Artinya: “Aisyah mengatakan: Pada mulanya ayat yang diturunkan berkenaan dengan susuan adalah sepuluh kali susuan yang diketahui pasti mengakibatkan keharaman menikah. Kemudian ayat tersebut dinasakh dan digantikan dengan lima kali susuan yang diketahui pasti, kemudian Rasulullah SAW wafat dan itulah yang terbaca didalam al- Qur‟an. H.R. Muslim Kalimat yang terakhir “Dan itulah yang terbaca didalam al- Qur‟an”, maksudnya bahwa turunnya ayat „lima kali susuan” berfungsi sebagai penasakh, sangat terlambat. Hal itu disebabkan tenggang waktu yang sangat sempit antara kewafatan Nabi SAW dan turunnya ayat tersebut, sehingga hanya sebagian orang yang membaca “lima kali susuan”. Akan tetapi, setelah diketahui statusnya adalah nasakh, maka mereka pun berijma‟ bahwa “susuan lima kali”, tidak dibaca. 75 Maksudnya hukum pertama hanya berlaku bagi orang yang tidak mengalami penasakhan ayat tersebut. 76 Jadi menurut Imam Syafi‟I dan Ishaq, „Aisyah dan sebagian isteri Nabi mengeluarkan fatwa mengenai hal tersebut. Sedang Imam Ahmad berpegang pada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud dan 74 Muslim, Abi Husain Muslim bin Hajjaji al-Qusyairiy al-Neisaburiy, Shahih Muslim, juz. I,nomor 1452 75 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan; Analisis Perbandingan Antar Mazhab, hlm. 48-49 76 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟I ; Mengupas Masalah fiqhiyah Berdasarkan Al- Qur‟an dan Hadits, hlm. 31 66 tir mizi. Selanjutnya Ia mengatakan: “Jika seseorang berpegang pada ucapan „Aisyah yang menyebutkan lima kali penyusuan, maka yang demikian itu merupakan pendapat yang kuat. Dan Saya tidak berani berpendapat sedikitpun mengenai hal itu”. 77 d. Sepuluh kali susuan dapat mengharamkan pernikahan. Pendapat ini berdasarkan riwayat dari „Aisyah dan Hafsah. Antara lain sebagai berikut: ا ا ها ض شئا ا خأ ها ب ا ا فا ض أف ، ك أ ا خا ا ض ب ا ها ص خ ا كأ ف ا ض ا ث غ ض ف ض ث ا ض ا ث ا ض ش ك أ أ جأ ا ها ض شئا ق ا ا 78 Artinya: “Dari Nafi‟ bahwa Salim bin abdillah mengabarkan dari Aisyah, bahwa „Aisyah Ummul Mukminin mengirim Salim kepada saudara perempuanya bernama Ummu Kulsum agar menyusui Salim. Salim menerangkan bahwa Ummi Kulsum menyusuinya sebanyak tiga kali susuan dan ia sakit, sehingga tidak lagi dapat menyusuiku kecuali tiga kali saja, dan akupun belum pernah keluar masuk rumah „Aisyah secara bebas, dikarenakan Ummi Kulsum belum menyempurnakan susuan sebanyak sepuluh kali menyusui”.H.R. al-Baihaqi Hadits Nabi SAW berdasarkan riwayat Hafsah, yang berbunyi: ا ها ض ا أ ّ ح ا خا ا ا بأ ب ص ض ب اف ا خأ ب ها ب صا ب أ 77 Sya ikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita, Jakarta: Pustaka Kautsar, 2003, cet. XII, hlm. 468 78 Al-Baihaqi, Ahmad bin al-Husain bin Ali, Sunan al-Kubra, Beirut: Dar al-Fikr, juz VII, hlm. 457 67 ا خ اك ف ض غص ا خ ا ض ش ق ا ا 79 Artinya: “Dari Sofiyah binti Abdul Ubaid isteri Abdullah bin Umar, bahwa Hafsah „Ummul Mukminin mengirimi Ashim bin Abdullah bin Sa‟ad kepada saudara perempuannya bernama Fatimah binti Umar bin Khattab untuk menyusuinya dengan sepuluh kali susuan agar Ashim dapat keluar masuk rumah Hafsah dan ketika itu ia masih anak-anak yang masih menyusu. Lalu Fatimah pun melakukannya, sehingga Ashim dapat keluar masuk secara bebas dirumah Hafsah”.H.R. Malik, Abdur Razaq dan al-Baihaqi Pada pembahasan sebelumnya, mengenai usia anak dan kadar jumlah susuan yang menjadi mahram. Ternyata masih menimbulkan persoalan seputar susuan. Bagaimana cara memasukan air susu atau ASI itu ke dalam perut bayi, apakah melalui metode yang sudah umum yaitu melalui puting susu ibu susuan, tetapi dapat saja air susu itu diperah lalu diminumkan atau dialirkan dengan bantuan alat seperti sedotan lalu diletakkan dimulut sang bayi. Dan bagaimana hukumnya jika ASI dicampur dengan tambahan Air atau makanan lain sebelum dikonsumsi oleh bayi. Serta bagaimana pula jika ASI telah berubah bentuk misalnya ASI dibuat keju, dikentalkan atau dibekukan dan seterusnya. Hal ini sudah diperdebatkan dikalangan Ulama Fiqh, mengenai mekanisme pemberian ASI itu sendiri. Akan dijelaskan dibawah ini sebagai berikut: 79 Al-Baihaqi, Ahmad bin al-Husain bin Ali, Sunan al-Kubra, juz VII, hlm. 457 68 a. Kelompok Ahl al-Zahir, dikemukakan oleh Ibnu Hazm yang berpendapat bahwa kriteria susuan yang berakibat mahram adalah susuan bayi anak kecil melalui puting ibu yang menyusui dengan menggunakan mulut. Adapun susuan yang dilakukan dengan cara memerah atau semacamnya dan diletakkan dimulut bayi atau dengan cara dicampur roti lalu disuapkan kemulutnya, atau melalui hidung, telinga, dengan suntikan, maka cara-cara seperti itu tidak dapat mengakibatkan hubungan mahram. Dalil yang menjadi landasan pendapat ini, adalah : al- Qur‟an surat an- Nisaa‟ ayat 23, sebagai berikut: . .       ... ءا ا 4 : 23 Artinya: “…Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan..”Q.S. an-Nisaa‟ 4: 23 Dan hadits Nabi SAW dari Ibnu Abbas r.a, sebagai berikut: ا ا ا با ح با ا ا ص . اقف ، اـض ا خا با اـ ا ، ح ا اـ ا اـض ا ح ب ا ح ا . ا ا ا 80 Artinya: “Dari Ibnu „Abbas. Bahwasanya Nabi SAW. Diminta berkahwin dengan anak Hamzah. Maka sabda Nabi : “Sesungguhnya ia tidak halal bagiku, lantaran ia itu anak bagi saudara susuku; karena Haram dari penyusuan itu apa-apa yang haram dengan se bab nasab”.H.R Bukhari dan Muslim 80 Al-Bukhariy, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhariy, Juz. V, hlm. 125; Muslim, Abi Husain Muslim bin Hajjaji al-Qusyairiy al-Neisaburiy, Shahih Muslim, juz. I, nomor 1445 69 Hadits ini menunjukan makna “susuan” yang terdapat didalamnya memberikan pengertian spesifik yang menolak indikasi lain selain cara- cara yang sudah umum yakni melalui puting susunya langsung. Selain dari pada itu, menurut Ibnu Hazm dari kalangan Zahiriyah tidak dinamakan susuan. Cara yang tidak dikelompokkan susuan dapat dilakukan dengan cara memerah dan dikentalkan kemudian dijadikan makanan atau minuman, selanjutnya dimakan, ditelan atau menggunakan alat Bantu seperti sedotan atau sejenisnya. Maka cara-cara seperti ini bukan susuan, sehingga Allah tidak menjadikannya mahram. 81 Ulama kontemporer Syeikh Yusuf al-Qaradhawi sejalan dengan pendapat Ibnu Hazm. Ia mengatakan bahwa dasar keharaman yang diletakkan agama bagi penyusuan adalah Ibu yang menyusukan dalam ayat ini. Keibuan yang ditegaskan al- Qur‟an itu, tidak mungkin terjadi hanya dengan menerima atau meminum air susunya, tetapi dengan menghisap dan menempel sehingga menjadi jelas kasih sayang ibu dan ketergantungan anak yang menyusu. Ia menegaskan bahwa merupakan keharusan untuk merujuk kepada lapaz yang digunakan al- Qur‟an, sedang makna lafaz yang digunakannya itu dalam bahasa al- Qur‟an dan as- Sunnah adalah jelas dan tegas, bermakna menghisap tetek dan menelan 81 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan; Analisis Perbandingan Antar Mazhab, hlm. 57-58; Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh keluarga, hlm.192-193 70 airnya secara perlahan dan bukan sekedar makan atau minumnya dengan cara apapun, walau atas pertimbangan manfaat. 82 b. Pengikut Mazhab Maliki Malikiyah, berpendapat bahwa susuan yang dilakukan dengan cara menyuapkan kemulut bayi atau dengan menggunakan alat Bantu yang dialirkan kehidung jika aliran susu tersebut sampai kerongga perut, maka hal itu dapat mengakibatkan hubungan mahram. Demikian juga dengan cara memberikan susu dengan dengan menggunakan jarum suntik kedalam tubuh bayi. 83 Dalam hal suntikan al- Muzani dari pengikut mazhab Syafi‟I menetapkan hukum mahram secara mutlak. Yang menjadi landasan kelompok ini adalah sebagai berikut: ها ص ها اق : ا ّ ا ّ ا ح ا . ا 84 Artinya: “Rasulullah SAW bersabda; satu kali isapan sedotan atau dua Isapan tidak meng haramkan pernikahan”. H.R. muslim Penunjukan dalil ini, memberikan pengertian bahwa sedikit atau banyak jumlah air susu, apabila sampai kemulut sang bayi, maka dapat menimbulkan hubungan mahram. 82 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur‟an, Jakarta; Lentera Hati, 2007 cet. X, jilid II, hlm.394 83 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, jilid. II , hlm. 28; Abdul Hakim al-Sayyid Abdullah, Keutamaan Air Susu Ibu, hlm. 115 84 Muslim, Abi Husain Muslim bin Hajjaji al-Qusyairiy al-Neisaburiy, Shahih Muslim, juz. I, nomor 1450 71 Dari argumentasi ini, merupakan landasan konkrit bahwa apapun cara yang digunakan untuk menyusui sang bayi dan berapapun jumlah susuan, asal melalui mulut, maka dapat berakibatkan mahram. Dan jika dengan suntikan untuk mengalirkan air susu, apabila dimasukkan melalui mulut, maka cukup memberikan status mahram. 85 c. Pengikut Mazhab Hanafi, Mazhab Syafi‟I dan Mazhab Hanbali. Berpendapat bahwa susuan yang melalui mulut dengan cara memasukkan melalui hidung dan atau menyuapkannya melalui mulut dapat berakibat terjadinya hubungan mahram. Adapun yang menggunakan alat suntik untuk menyusukan, menurut pendapat ini tidak mengakibatkan mahram. 86 Dan mazhab Syafi‟I menjelaskan dengan memberikan ASI melalui jarum suntik, keharaman ini tidak bisa terjadi dengan cara memasukkan obat ke lubang anus atau kemaluan huqnah sebab tidak ada unsur memberi makan, huqnah bisa digunakan untuk membantu proses pencernaan dalam perut. 87 Yang menjadi landasan kelompok ini adalah sebagai berikut: 85 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan; Analisis Perbandingan Antar Mazhab, hlm. 59-60 86 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, jilid. II , hlm.28; Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟I ; Mengupas Masalah fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadits, hlm. 28-29 87 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟I ; Mengupas Masalah fiqhiyah Berdasarkan Al- Qur‟an dan Hadits, hlm. 29 72 ا ا خ ها ص ا ا ا ها ض شئا ج غ أ ف ج . اقف ،ك ك أك : خأ . اقف : أ ا خ . اج ا اض ا ا ف ا ا ا 88 Artinya: “Bahwa Nabi SAW masuk rumah Aisyah dan mendapati seorang laki-laki, seketika itu raut muka beliau berubah seakan tidak senang kehadiran tamu itu. lalu Aisyah menjelaskan kepada Nabi SAW seraya berkata: “Lelaki itu adalah saudaraku sesusuan”. Nabi SAW menjawab: Hai Aisyah kenalilah baik-baik siapa-siapa yang menjadi saudara susuanmu Saudara sesusuan yang berakibat mahram itu adalah penyusuan yang dapat mengenyangkan rasa lapar bayi”. H.R. Bukhari dan Muslim Pengertian yang dapat difahami berdasar hadits ini adalah penyuapan air susu melalui mulut sibayi dan mengenyangkan rasa laparnya, sudah membuktikan adanya hubungan mahram. Dalil tersebut tidak menyebutkan cara tertentu memberi susu, tapi kata kuncinya adalah mengenyangkan yang menjadi tolak ukur bagi terjadinya hubungan mahram. Dan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud melalui jalur Laqith bin Shabrah: ب ب ح ا ث ح ا اق خا ف ب ق ا ث ح ا قف اق ص ب ق بأ ص ب ق ب صا ك 88 Al-Bukhariy, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhariy, Juz. V, hlm. 125; Muslim, Abi Husain Muslim bin Hajjaji al-Qusyairiy al-Neisaburiy, Shahih Muslim, juz. I, nomor 1455 73 باصأا ب خ ء ض ا غ ا اق ء ض ا خأ ها ف غ اب ا ئاص أ ا اش ا ا ا با ا 89 Artinya: “Telah membacakan hadis kepada kami Qutaibah bin sa‟id kepada yang lain- lain, mereka berkata : telah membacakan hadis kepada kami : Yahya bin sulaim dari Ismail bin Katsir dari „Ashim bin Laqith bin Shabrah dari bapak Ashim yaitu Laqith bin Shabrah; berkata: “Saya berkata kepada Nabi SAW, Wahai Rasulullah sam paikanlah kepadakku tentang wudhu‟. Nabi bersabda: sempurnakanlah wudhumu dan bersihkan sela-sela jarimu Dan lebihkanlah olehmu memasukkan air kedalam lubang hidung kecuali kamu dalam keadaan puasa..”. wajah istidlal hadis diatas adalah berlebihan memasukkan air kedalam hidung hingga tertelan masuk ke dalam Lambung, dapat membatalkan puasa seseorang yang melakukannya . Dan bagi bayi yang dituangkan susu dimulutnya, diserupkan seorang yang berlebihan memasukkan air kehidung ketika berwudlu. Dan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud melalui jalur Ibnu Mas‟ud: اق با : ها ص ها اق : ا ا اض ا ح ا أ ، ا ش . ا با 90 Artinya: “Ibnu Mas‟ud berkata bahwa Nabi SAW telah bersabda: “Tidak ada penyusuan melainkan apa yang menguatkan tulang dan menumbuhkan daging”. H.R. Abu Daud 89 Abu Daud, Sulaiman bin al- Asy‟as al-Sijistaniy al-Azdiy, Sunan Abi Daud, Bairut: Dar Ibnu Hazm, 1997, cet. I, nomor. 142, hlm. 24 90 Abu Daud, Sulaiman bin al- Asy‟as al-Sijistaniy al-Azdiy, Sunan Abi Daud, nomor. 2059. hlm. 316; A. Hasan, Terjemah Bulughul Maram Ibnu Hajar Al- “Asqalani, hlm. 510 74 Hadis ini mempertegas bahwa kualitas susu yang dikonsumsi bayi pada periode pertumbuhan dan pembentukan tubuh berakibat terjadinya hubungan mahram. Periode dimaksud sebagaimana dijelaskan didalam al- Qur‟an yaitu usia dibawah dua tahun. 91 Mengenai status kemurnian Air susu atau ASI, juga ikut diperdebatkan dikalangan ulama. Menurut Ibnu al-Qasim, ia berpendapat bahwa apabila air susu dilarutkan dalam air atau lainnya, kemudian diminumkan kepada anak kecil, maka tidak menyebabkan hukum tahrim. 92 Hal senada juga dikeluarkan oleh Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa jika ASI diberikan kepada bayi dicairkan atau dikentalkan atau dibuat dalam bentuk keju terlebih dahulu, maka otomatis tidak menyebabkan hukum tahrim haram perkawinan lantaran pemberian ASI melalui hal tadi itu tidak dapat disebutkan sebagai kegiatan penyusuan bayi secara alamiah dan sang bayi pun tidak merasa puas dengan hal itu. 93 Se dangkan menurut Imam Syafi‟I, ia mengatakan bahwa penetapan mahram tidak disyaratkan susu itu harus dalam kondisi alami, baru keluar dari puting bahkan mekipun asi tersebut telah masam, mengental, menguap, menjadi keju, mengering, berbuih atau tercampur 91 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan; Analisis Perbandingan Antar Mazhab, hlm. 60-61 92 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, jilid. II , hlm. 28 93 Abdul Hakim as-Sayyid Abdullah, Keutamaan Air Susu Ibu, hlm 116 75 air. Dan si bayi memakannya. Hal ini disebabkan karena air susu telah sampai kedalam perut dan tujuan memberikan makan pun telah tercapai. Karena status air susu itu sendiri tidak hilang. Pendapat ini diikuti oleh Ibnu habib, Ibnu Mutharrif dan Ibnu al-Majasyun dari kalangan ulama maliki. 94 Pendapat Imam Syafi‟I ini juga didukung oleh Imam Hambali dan Ibnu Qudamah didalam kitab al-Mughni, ibnu qudamah mengatakan bahwa apapun yang dilakukan oleh seseorang sebelum ia memberikan ASI kepada bayinya, yang jelas ASI tersebut akan dikonsumsi melewati kerongkongan dan akan sampai kedalam rongga perutnya, yang dapat menumbuhkan daging dan tulangnya. Dengan demikian, cara ini dianggap sama dengan kegiatan menyusukan bayi secara alami, yang menyebabkan wanita tersebut haram bagi bayinya. 95 Menurut Syeikh Muhammad Syarbiniy al-Khathiby, sebab-sebab susuan yang mendapatkan hukum tahrim adalah karena didalam air susu ibu merupakan bagian dari tubuh ibu susu yang diberikan kepada bayinya 94 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟I ; Mengupas Masalah fiqhiyah Berdasarkan Al- Qur‟an dan Hadits, hlm. 28-29; Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, jilid. II , hlm. 28; Sya ikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita, hlm. 473-474 95 Abdul Hakim as-Sayyid Abdullah, Keutamaan Air Susu Ibu, hlm. 117 76 dan menjadi bagian dari tubuh bayi yang menyusu dan didalam air susu ibu tersebut terkandung air maninya si ibu susu seperti haramnya nasab. 96 Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, Menyusui adalah merupakan hak bagi setiap ibu dengan memberikan batasan usia menyusu yang ideal yakni selama 2 dua tahun penuh bila ingin menyempurnakan penyusuan itu. Dan bagi ibu yang menghendaki penyusuan kurang dari masa yang telah ditentukan, dalam hal ini islam membolehkan kepadanya untuk menyapih anaknya. Dengan melalui musyawarah dengan suami dengan memikirkan masak- masak untung ruginya. Dan suami berkewajiban memberikan makanan dan minuman yang bergizi kepada anaknya sebagai makanan pengganti pada masa penyapihan. Karena dalam islam menyusui pada hakikatnya adalah bentuk nafkah yang harus diberikan kepada bayi oleh ayahnya lewat sang ibu dengan cara penyusuan. Oleh karena itu, suami berkewajiban mencarikan air susu untuk bayi sesuai dengan kadar kemampuannya dengan cara memberikan makanan bergizi kepada isterinya atau sang suami mencarikan perempuan lain untuk menyusukan anaknya. 96 Syeikkh Sulaiman al-Bijirmiy, Kitab Bijirmiy „ala al-Khathibi, juz. IV, hlm. 69-70; Ibnu Qasim al-Ghazi, Kitab Hasiyyah al-Bujuriy, juz. 2, hlm. 77 Dalam islam hubungan keluarga bisa terjadi melalui jalur penyusuan. Namun aturan tersebut tidak bersifat umum, karena Nabi SAW tidak serta merta memberikan hukum tahrim karena sebab penyusuan. Karena dalam proses penyusuan itu harus terdiri dari unsur-unsur pelaksaannya, diantaranya adanya ibu susu, adanya anak yang menyusu dan air susu. Identitas dari orang yang menyusukan itu adalah seorang perempuan yang masih hidup dan perempuan tersebut sudah baligh serta masih dapat melahirkan. Dan laki-laki yang menjadi suaminya menjadi ayah bagi ank-anaknya. Anak yang menyusu harus dalam masa menyusui yakni sebelum usia 2 dua tahun sejak waktu kelahirannya. Dan penyusuan tersebut dapat mengenyangkan atau memenuhi akan kebutuhan rasa lapar bayi tersebut. Dan mengenai jumlah air susu yang menjadikan hukum tahrim adalah dengan memberikan batasan minimal 3 tiga kali hisapan susuan dan maksimal adalah 5 lima kali hisapan susuan. Karena dalam dalil yang diriwatkan melalui jalur „Aisyah r.a., bahwa penyusuan sebanyak 10 sepuluh kali hisapan susuan telah dinasakh oleh yang 5 lima kali hisapan susuan. Batasan sebanyak 10 sepuluh kali susuan, ini berlaku bagi yang tidak mengalami penasakhan. Dalam hal cara pemberian ASI itu terdapat perbedaan pendapat mengenai mekanismenya. 78 Menurut Ibnu Hazm dan kelompok Ahl al-Zahir, yang berdampak kepada hukum tahrim adalah dengan menyusui secara langsung melalui puting ibu dengan menggunakan mulut. Selain dari itu yakni dengan memerah lalu disuapkan, ASI dicampur atau melalui hidung, telinga dan dengan cara suntik, maka itu tidak mengakibatkan hukum tahrim. Pendapat ini diikuti oleh Yusuf Qaradawi sebagai ulama Kontemporer. Menurut mazhab Maliki, penyusuan yang dilakukan dengan cara disuapkan atau menggunakan bantuan alat lalu dialirkan kehidung dan sampai kedalam rongga perut, maka dapat mengakibatkan hukum tahrim. Begitu juga dengan jarum suntik kedalam tubuh bayi. Al- Muza ni pengikut mazhab Syafi‟I juga menetapkan bahwa penyusuan menggunakan suntikan mendapati hukum tahrim secara mutlak. Pengikut mazhab Hanafi, Mazhab Syafi‟I dan Mazhab Hambali, mengenai pemberian ASI melalui mulut atau memasukan kedalam hidung atau menyuapkannya dapat berakibat hukum tahrim. Mengenai cara penyusuan menggunakan alat suntik, mereka mengatakan tidak mengakibatkan mahram. Menurut mazhab Syafi‟I, keharaman ini tidak bisa terjadi dengan cara memasukkan kedalam lubang anus atau kemaluan, sebab tidak ada unsur memberikan makan. 79 Mengenai status kemurnian ASI menurut Ibnu al-Qasim bahwa apabila air susu dilarutkan dalam air atau lannya, kemudian diminumkan kepada anaknya maka tidak menyebabkan hukum tahrim. Begitu juga dengan Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa jika ASI tersebut dicairkan, dikentalkan atau dibuat keju maka tidak menyebabkan hukum tahrim, karena hal semacam itu tidak dapat disebutkan sebagai kegiatan menyusui secara alami dan bayi pun tidak merasa puas. Sedangkan menurut Imam Syafi‟I bahwa penetapan mahram tidak disyaratkan susu itu dalam kondisi alami, baru keluar dari puting bahkan meskipun ASI tersebut telah masam, mengental, menguap, menjadi keju atau tercampur air dan si bayi memakannya. Hal ini disebabkan karena air susu tersebut telah sampai kedalam perut dan tujuan memberikan makan telah tercapai. Karena status dari ASI itu sendiri tidak hilang.

C. SEJARAH IBU SUSU