Prosedur Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 (Studi Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo)

(1)

1 S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

080200113

AGIE GAMA IGNATIUS

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

PROSEDUR PEMILIHAN KEPALA DESA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 72 TAHUN 2005 (Studi Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

080200113

AGIE GAMA IGNATIUS

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara

NIP. 196002141987032002 SURIA NINGSIH, SH., M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

Surianingsih, SH, M.Hum

NIP. 196002141987832002 NIP. 195409121984031001 Dr. Pendastaren Tarigan, SH., MH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

PROSEDUR PEMILIHAN KEPALA DESA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 72 TAHUN 2005 (Studi Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo)

Agie Gama Ignatius * Suria Ningsih** Pendastaren Tarigan ***

Pelaksanaan pembangunan desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteran masyarakat dengan kegiatan dan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengakui adanya otonomi yang dimiliki oleh desa dan kepada desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pemerintahan desa berdasarkan Peraturan pemerintah nomor 72 tahun 2005. Prosedur pemilihan kepala desa berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 dan Kendala Pemilihan Kepala Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah hukum normatif yang bersifat deskriptif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengelola dan mempergunakan data sekunder. Namun dalam penelitian hukum deskriptif yang dimaksudkan penelitian itu juga termasuk dilakukannya survey ke lapangan melalui wawancara kepada pihak yang terkait dalam skripsi ini.

Pemerintahan desa berdasarkan Peraturan pemerintah nomor 72 tahun 2005 adalah Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa. Perangkat Desa terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya. Perangkat Desa terdiri atas sekretariat desa; pelaksana teknis lapangan;. unsur kewilayahan. Prosedur pemilihan kepala desa berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 adalah Penjaringan dan Kampanye Calon Kepala Desa, Pemungutan dan Perhitungan Suara serta Pengumuman dan Penetapan Caloa Terpilih, Pengesahan dan Pelantikan Calon Terpilih, Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa. Kendala Pemilihan Kepala Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo, Masih ada yang belum paham atau belum tahu khususnya masyarakat yang sudah lanjut usia. Masih ada masyarakat yang terlambat untuk memberikan hak suaranya. Masih adanya masyarakat yang belum terdaftar. Pilkades ini sangat rentan pasalnya kondisi masyarakat atau para pendukung sangat sensitive. Peraturan perundang-undangan. Tidak adanya anggaran awal yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, pendanaan merupakan permasalahan yang cukup penting dalan setiap kegiatan. Faktor keuangan menjadi salah satu permasalahan yang harus dipenuhi sebuah lembaga dalam mendukung operasionalnya

Kata Kunci : Prosedur Pemilihan Kepala Desa *Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I, Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara **Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU


(4)

KATA PENGANTAR

Tiada kegembiraan, seraya mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul Prosedur Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Suria Ningsih, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara dan sekaligus Dosen Pembimbing I penulis yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Dr. Pendastaren SH, M.H selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.


(5)

7. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.

8. Keluarga Besar Ayahanda Nomen Sembiring dan Ibunda, Wartares Ginting yang selalu memberikan dukungan baik secara moril maupun material sehingga terselesaikanya skripsi ini.

9. Teman-Teman stambuk 2008 yang telah mendukung dan memberikan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan sampai selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan. Oleh karena itu penulis meminta maaf kepada pembaca skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapatkan berkah dari Tuhan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum di negara Republik Indonesia.

Medan, Maret 2014 Hormat Saya


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 20

G. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II PEMERINTAHAN DESA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 72 TAHUN 2005 ... 25

A. Pemerintahan Desa ... 25

B. Badan Perwakilan Desa (BPD) ... 42

C. Kepala Desa dan Peran Kepala Desa ... 47

BAB III PROSEDUR PEMILIHAN KEPALA DESA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 72 TAHUN 2005 ... 48


(7)

B. Pemungutan dan Perhitungan Suara serta Pengumuman dan

Penetapan Caloa Terpilih ... 58

C. Pengesahan dan Pelantikan Calon Terpilih ... 60

D. Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa ... 60

BAB IV KENDALA PEMILIHAN KEPALA DESA KUTAMBARU KECAMATAN MUNTHE KABUPATEN KARO... 64

A. Gambaran Umum Desa Kutambaru Kecamatan Munthe, Kabupaten Karo ... 64

B. Kendala dalam Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 ... 69

C. Upaya mengatasi kendala dalam Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 ... 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 71 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

PROSEDUR PEMILIHAN KEPALA DESA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 72 TAHUN 2005 (Studi Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo)

Agie Gama Ignatius * Suria Ningsih** Pendastaren Tarigan ***

Pelaksanaan pembangunan desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteran masyarakat dengan kegiatan dan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengakui adanya otonomi yang dimiliki oleh desa dan kepada desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pemerintahan desa berdasarkan Peraturan pemerintah nomor 72 tahun 2005. Prosedur pemilihan kepala desa berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 dan Kendala Pemilihan Kepala Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah hukum normatif yang bersifat deskriptif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengelola dan mempergunakan data sekunder. Namun dalam penelitian hukum deskriptif yang dimaksudkan penelitian itu juga termasuk dilakukannya survey ke lapangan melalui wawancara kepada pihak yang terkait dalam skripsi ini.

Pemerintahan desa berdasarkan Peraturan pemerintah nomor 72 tahun 2005 adalah Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa. Perangkat Desa terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya. Perangkat Desa terdiri atas sekretariat desa; pelaksana teknis lapangan;. unsur kewilayahan. Prosedur pemilihan kepala desa berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 adalah Penjaringan dan Kampanye Calon Kepala Desa, Pemungutan dan Perhitungan Suara serta Pengumuman dan Penetapan Caloa Terpilih, Pengesahan dan Pelantikan Calon Terpilih, Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa. Kendala Pemilihan Kepala Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo, Masih ada yang belum paham atau belum tahu khususnya masyarakat yang sudah lanjut usia. Masih ada masyarakat yang terlambat untuk memberikan hak suaranya. Masih adanya masyarakat yang belum terdaftar. Pilkades ini sangat rentan pasalnya kondisi masyarakat atau para pendukung sangat sensitive. Peraturan perundang-undangan. Tidak adanya anggaran awal yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, pendanaan merupakan permasalahan yang cukup penting dalan setiap kegiatan. Faktor keuangan menjadi salah satu permasalahan yang harus dipenuhi sebuah lembaga dalam mendukung operasionalnya

Kata Kunci : Prosedur Pemilihan Kepala Desa *Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I, Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara **Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU


(9)

BAB I PENDAHULUAN

H. Latar Belakang

Dalam Undang-Undang DasarNegara Kesatuan Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), baik sebelum maupun setelah amandemen tidak ada satu ketentuanpun yang secara eksplisit mengatur tentang pemilihan kepala desa.1

Dalam konteks sistem pemerintahan NKRI yang membagi daerah Indonesia atas daerah-daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk dan susunan tingkatan pemerintahan terendah adalah desa atau kelurahan. Dalam konteks ini, pemerintahan desa adalah merupakan sub sistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan nasional yang langsung berada di bawah pemerintah kabupaten.

Bahkan pengaturan tentang Desa-pun secara eksplisit juga tidak ditemukan dalam UUD 1945, walaupun sebenarnya Desa dan Sistem Pemerintahanya mempunyai peranan sangat penting dalam pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disebut NKRI), mengingat semua masyarakat bertempat tinggal di desa atau dengan sebutan istilah lainnya. Dan pemerintahan desa-lah yang bersentuhan langsung dengan denyut nadi kehidupan masyarakat.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang pemerintah desa disebutkan bahwa :

“Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan

1


(10)

adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.”

Pelaksanaan pembangunan desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteran masyarakat dengan kegiatan dan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengakui adanya otonomi yang dimiliki oleh desa dan kepada desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu.2

Sedangkan terhadap desa diluar desa gineologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa atau karena transmigrasi ataupun alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk ataupun heterogen maka otonomi desa yang merupakan hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa itu sendiri. Dengan demikian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.

Pengaturannya kepada desa, tugas pembantuan dari pemerintah dan pemerintah daerah, urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan yang diserahkan kepada desa untuk melaksanakan pemerintahan


(11)

tertentu.Pemerintahan desa merupakan struktur pemerintahan paling bawah dan secara langsung berinteraksi dengan masyarakat sehingga kewenangan pemerintahan desa adalah untuk meningkatkan pelayanan serta pemberdayaan masyarakat, sumber pendapatan asli desa. Bagi hasil pajak daerah yang diterima oleh kabupaten/kota, bantuan dari pemerintah dan pemerintah daerah serta hibah dari pihak ketiga Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 mengatur Tentang Desa.

Kepala desa sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan di daerah kecil yaitu desa yang dipilih masyarakat secara langsung oleh penduduk desa yang memenuhi persyaratan yang berlaku dengan masa jabatan kepala desa adalah enam tahun dan ketentuan tentang tata cara pemilihan kepala desa kepala desa pada dasarnya bertanggungjawab pada rakyat desa dan prosedur pertanggung jawabannya disampaikan kepada Bupati/walikota melalui camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa (selanjutnya disebut BPD) kepala desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawaban dan menyampaikan informasi kepada rakyat tentang pokok-pokok pertanggungjawabannya.Masyarakat tetap diberi peluang untuk menanyakan lebih lanjut tentang pertanggungjawabannya lembaga kemasyarakatan di desa dibentuk untuk membantu pemerintah desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat.

Lembaga ini berfungsi sebagai wadah partisipasi dalam pengelolaan pembangunan agar dapat terwujud demokratisasi dan transparansi pembangunan pada tingkat masyarakat dan untuk memotivasi masyarakat agar dapat berperan aktif dalam kegiatan pembangunan . Pemberdayaan masyarakat sangat diperlukan


(12)

dalam pelaksanaan pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui penetapan kebijakan program dan kegiatan sesuai dengan masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat, demokrasi dalam konteks pemilihan kepala desa (selanjutnya disebut Pilkades) dapat dipahami sebagai pengakuan keanekaragaman serta sikap politik partisipasif dari masyarakat dalam bingkai demokratisasi pada tingkat desa. Hal ini merujuk pada UU nomor 8 tahun 2005 tentang perubahan atas Undang-UndangNo.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengakui penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan dimana desa berhak dan memiliki kewenangan untuk mengurus rumah tanggga desa.

Demokrasi merupakan bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya yang diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Mekanisme pemilihan kepala desa menurut PPNo.72 tahun 2005 Pada Pasal 43 disebutkan bahwa: BPD memberitahukan kepada kepala desa mengenai akan berakhirnya masa jabatan kepala desa secara tertulis enam bulan sebelum berakhir masa jabatan. BPD memproses pemilihan kepala desa, paling lama empat bulan sebelum berakhirnya masa jabatan kepala desa.Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa, di Bagian Keempat diatur tentang Pemilihan Kepala Desa, yaitu mulai dari Pasal 43 s/d Pasal 54. Dalam Pasal 46 PP No. 72 tahun 2005 tersebut diatur sebagai berikut :


(13)

(1) Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk desa dari calon yang memenuhi syarat.

(2) Pemilihan Kepala Desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil

(3) Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan dan tahap pemilihan.

Untuk pemilih diatur dalam Pasal 45, yang berbunyi sebagai berikut: ” Penduduk desa Warga Negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara pemilihan kepala desa sudah berumur tujuh belas tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.” Panitia pemilihan melakukan pemeriksaan identitas bakal calon berdasarkan persyaratan yang ditentukan, melaksanakan pemungutan suara dan melaporkan pelaksanaan pemilihan kepala desa kepada BPD, panitia pemilihan melaksanakan penjaringan dan penyaringan bakal calon kepala desa sesuai persyaratan.calon kepala desa yang telah memenuhi persyaratan ditetapkan sebagai calon kepala desa oleh panitia pemilihan.

Calon kepala desa yang berhak dipilih diumumkan kepada masyarakat ditempat-tempat yang terbuka dan calon kepala desa dapat melakukan kampanye sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, calon kepala desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang mendapatkan dukungan suara terbanyak. Panitia pemilihan kepala desa melaporkan hasil pemilihan kepala desa kepada BPD.


(14)

Berdasarkan uraian di atas maka judul dalam penulisan skripsi ini adalah: Prosedur Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 (Studi Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo)

I. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pelaksanaan pemerintahan desa berdasarkan Peraturan pemerintah nomor 72 tahun 2005?

2. Bagaimana prosedur pemilihan kepala desa berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005?

3. Apa saja yang menjadi kendala Pemilihan Kepala Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo?

J. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui pelaksanaan pemerintahan desa berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005.

b. Untuk mengetahui bagaimana Prosedur Pemilihan Kepala Desaberdasarkan Peraturan pemerintah nomor 72 tahun 2005

c. Untuk mengetahui kendala Pemilihan Kepala Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo


(15)

2. Manfaat Penulisan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat,sebagai berikut : a. Secara Teoritis

Sebagai usaha pengembangan ilmu hukum administrasi negara khususnya yang berhubungan dengan sistem pemerintahan Desa yang berkaitan dengan proses pemilihan Kepala Desa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005

b. Secara Praktis

Memberikan masukan kepada masyarakat, berkaitan dengan proses pemilihan Kepala Desa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005

K. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan, penelitian yang mengangkat judul tentang Prosedur Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 (Studi Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo),ini belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat saya pertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis


(16)

L. TinjauanPustaka 1. Pengertian Desa

Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara dan bangsa ini terbentuk. Struktur sosial sejenis desa, masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi sosial yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan tingkat keragaman yang tinggi membuat desa mungkin merupakan wujud bangsa yang paling konkret.

Desa berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang- Undang Nomor 12 tahun 2008 ini adalah Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di kabupaten/kota. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenahi desa adalah keanekaragaman, partisipasi, ekonomi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.

Menurut H.A.W. Widjaja Desa adalah: “Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung


(17)

di bawah camat dan berhak untuk menyelenggarakan rumah tangganya dalam ikatan NKRI.”3

Dalam Peraturan pemerintah republik Indonesia Nomor 72 tahun 2005melalui Pasal 1 mendefinisikan : “Desa atau dengan nama lain, sebagai suatukesatuan masyarakat hukum yag memiliki batas-batas wilayah yang berwenangdan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkanasal-usul dan adat istiadat setempat yang dihormati dan daam system pemerintahan Negera Kesatuan Republik Indonesia.

2. Otonomi Desa

Bagi masyarakat Desa, Otonomi Desa bukanlah menunjuk padaotonomi Pemerintah Desa semata-mata, tetapi juga otonomi masyarakatdesa dalam menentukan diri mereka dan mengelola apa yang mereka milikiuntuk kesejahteraan mereka sendiri. Otonomi Desa berarti juga memberi ruang yang luas bagi inisiatif dari bawah/desa. Kebebasan untukmenentukan dirinya sendiri dan keterlibatan masyarakat dalam semuaproses baik dalam pengambilan keputusan berskala desa, perencanaan danpelaksanaan pembangunan maupun kegiatan-kegiatan lain yang dampaknyaakan dirasakan oleh masyarakat desa sendiri, merupakan pengejawantahanotonomi desa. Keberadaan otonomi desa mengacu pada konsep komunitas,yang tidak hanya dipandang sebagai suatu unit wilayah, tetapi juga sebagaisebuah kelompok sosial, sebagai suatu sistem sosial, maupun sebagai suatukerangka kerja interaksi.

3


(18)

Akhir-akhir ini, tuntutan daerah untuk diberi otonomi yang seluas-luasnyamakin menonjol. Bahkan, beberapa daerah memilih untukmemisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mendirikanNegara baru, misalnya Sulawesi Selatan, Maluku dan Aceh, serta Papua. Kondisi seperti inisebagian orang dinilai sebagai benih-benih terjadinya disintegrasi bangsasebaliknya, oleh sebagian orang dinilai bahwa pemberian otonomi yangseluas-luasnya ini merupakan satu-satunya jalan keluar untukmempertahankan integrasi nasional.Dalam sejarah ketatanegaraanIndonesia, fenomena tentang daerah yang memiliki otonomi seluas-luasnyatadi sesungguhnya bukan hal yang baru bahkan bukan lagi sesuatu yangmembahayakan keutuhan Bangsa dan Negara.Demikian pula, keberadaandesa-desa adat yang memiliki susunan asli ternyata tidak menimbulkangagasan pemisah diri dari unit pemerintahan yang begitu luas.Oleh karenaitu, otonomi luas sesungguhnya bukan paradoksi bagi integrasi bangsa dansebaliknya.Artinya cita-cita memberdayakan daerah melalui kebijakanotonomi luas tidak perlu disertai dengan sikap “buruk sangka” yangberlebihan tentang kemungkinan perpecahan bangsa.

Kekhawatiran inijustru akan menunjukkan bahwa pemerintahan pusat memang kurangmemiliki “political will” yang kuat untuk memberdayakan daerah. Dengandemikian, ide untuk kembali menyeragamkan sistem pemerintahan daerahdengan alas an untuk menjaga keutuhan dan persatuan bangsa antara lainmelalui penghapusan “daerah istimewa” dan penyeragaman pemerintahandesa, adalah sangat tidak kontekstual dan tidak konseptual. Perubahankebijakan tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah


(19)

(termasukpemerintahan desa) dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 menjadi UU Nomor 22 Tahun 1999, UU No 32tahun 2004 serta yang terbaru dengan adanya perubahan Undang-UndangPemerintahan Daerah melalui penetapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun2008, membawa implikasi yang sangat besar. Salah satu implikasi tersebutadalah bahwa desa tidak sekedar merupakan wilayah administrative sebagaikepanjangan tangan pemerintahan pusat di daerah (pelaksana asasdekonsentrasi), tetapi memiliki lebih merupakan kesatuan masyarakathukum yang memiliki otonomi luas. Berdasarkan kerangka waktunya (timeframe), perkembangan otonomi pada kesatuan hukum masyarakat terkecil(desa) mengalami pergeseran yang sangat fluktuatif, dimana pada satu desamemiliki otonomi yang sangat luas (most desentralized), sedang disaat laindesa tidak memiliki otonomi sama sekali dan hanya berstatus sebagaiwilayah administrative (most centralized). Pada awalnya, terbentuknya suatukomunitas bermula dari berkumpul dan menetapnya individu-individu disuatu tempat terdorong oleh alasan-alasan yang mereka anggap sebagaikepentingan bersama.Alasan-alasan untuk membentuk masyarakat yangmasih bersifat sederhana atau tradisional ini adalah pertama untuk hidup,kedua untuk mempertahankan hidupnya terhadap ancaman dari luar, danketiga untuk mencapai kemajuan dalam hidupnya.4

Kumpulan individu-individu yang membentuk desa dan merupakansebuah daerah hukum ini, secara alami memiliki otonomi yang sangat luas,lebih luas dari pada otonomi daerah-daerah hukum diatasnya yang lahir dikemudian hari, baik

4


(20)

yang terbentuk oleh bergabungnya desa-desa dengansukarela atau yang dipaksakan oleh pihak-pihak yang lebih kuat. Otonomiatau kewenangan desa itu antara lain meliputi hak untuk menentukan sendirihidup matinya desa itu, dan hak untuk menentukan batas daerahnya sendiri.Selanjutnya disebutkan juga bahwa masyarakat sebagai daerah hukum,menurut hukum adat mempunyai norma-norma sebagai berikut : berhakmempunyai wilayah sendiri yang ditentukan oleh batas-batas yang sah,berhak mengurus dan mengatur pemerintahan dan rumah tangganya sendiri,berhak memilih dan mengangkat Kepala Daerahnya atau MajelisPemerintahan sendiri, berhak mempunyai harta benda dan sumberkeuangan sendiri, berhak atas tanah sendiri, dan berhak memungut pajaksendiri.5

Namun dalam penyusunan peraturan tentang pemerintahan desasebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979,kenyataannya desa bukan lagi dianggap sebagai kesatuan masyarakathukum yang otonom, khususnya dalam masalah administrasi pemerintahansecara umum.

Selanjutnya pada masa pemerintahan Republik Indonesia,pengaturan penyelenggaraan pemerintahan desa mendapat landasan yuridispada Pasal 18 UUD 1945 yang mengakui kenyataan histories bahwasebelum proklamasi kemerdekaan, di Indonesia sudah terdapat daerahdaerahSwapraja yang memiliki berbagai hak dan wewenang dalampenyelenggaraan berbagai urusan di wilayahnya. Ini berarti, desa secarateoritis juga memiliki hak yang bersifat autochtoon atau hak yang telahdimiliki sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara Indonesia.

5Ibid


(21)

Terlebih lagi dengan pembentukan kelurahan, maka kesatuanmasyarakat “Desa” ini hanya berstatus wilayah administrative yangditempatkan sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat (pelaksana asasdekonsentrasi).

3. Sejarah Otonomi Desa

Pasang surut keadaan Pemerintahan Desa sekarang ini adalah sebagai akibat pewarisan undang-undang lama yang pernah ada, yang mengatur Pemerintahan Desa sejak penjajahan Belanda, yaitu Inlandsche Gemeente Ordonnantie atau IGO (Stbl No. 83/1906) yang berlaku untuk Jawa dan Madura

dan Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten atau IGOB (Stbl No.

490/1938 jo Stbl No. 681/1938) yang berlaku untuk luar Jawa dan Madura.

Desa di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Mr. Hermawan WarnerMuntinge, seorang Belanda anggota Raad van Indie pada masa penjajahan kolonial Inggris, yang merupakan pembantu Gubernur Jendral Inggris yangberkuasa pada tahun 1811 di Indonesia. Dalam sebuah laporanya tertanggal 14Juli 1817 kepada pemerintahanya disebutkan tentang adanya Desa-desa didaerah-daerah pesisir utara Pulau Jawa. Dan dikemudian hari ditemukan jugadesa-desa di kepulauan luar jawa yang kurang lebih sama dengan desa yangada dijawa.6

Keberadaan otonomi desa secara tidak langsung erat kaitannya dengankeberadaan pemerintahan desa.Karena selama ini otonomi desa juga mengaturketentuan tentang keberadaan pemerintah desa yang pasa saat ini terdiri

6

.Sadu Wasistiono, M..Irawan tahir, Prospek Pengembangan Desa;Bandung: Fokus Media, 2007. hal 7


(22)

dariunsur perangkat desa dan badan permusyawaratan desa.7

Perkembangan pemerintahan desa di Indonesia pada perkembangannyabanyak mengalami perubahan di tiap periodenya. Hal ini terkait dengan pasangsurut pergeserannya dari sistem penjajahan ke pola sentralisasi dankedesentralisasi. Sejarah perkembangan pemerintahan desa secara legal formaldiawali dari:

Selain itu,keberadaan otonomi desa juga terkait dengan peraturan perundang-undanganyang mengatur tentang pemerintahan desa yang di Indonesia sudah lahir sejakkeberadaannya di era pemerintahan Hindia Belanda (Penjajahan) sampaiterbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang PemerintahanDaerah.

a. Masa Pemerintahan Kolonial Belanda

Ketentuan yang mengatur khusus tentang Desa pertama kali terdapatdalam

Regeringsregelement (RR) tahun 1854 yaitu Pasal 71 yang mengaturtentang

Kepala Desa dan Pemerintahan Desa, sebagai pelaksana dariketentuan tersebut, kemudian Pemerintah Kolonial mengeluarkan peraturanInlandse Gemeente Ordonantie (IGO) pada tahun 1906, yaitu peraturan dasarmengenahi Desa khusus di Jawa dan Madura33. IGO pada dasarnya tidakmembentuk Desa, melainkan hanya memberikan landasan sebagai bentukpengakuan adanya Desa sebelumnya.

Warisan Undang-Undang lama yang pernah ada yang mengatur tentangdesa, yaitu Inlandsche Gementee Ordonantie (Stbl. 1906 Nomor 83) yangberlaku untuk Jawa dan Madura dan Inlandsche Gementee

OrdonantieBuitengewesten (Stbl. 1983 Nomor 490 jo Stbl. 1938 Nomor 681)

7

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 200 ayat (1)


(23)

yang berlakudi luar Jawa dan Madura. Pengaturan dalam kedua Undang-Undang ini tidakmengatur pemerintahan desa secara seragam dan kurang memberikandorongan kepada masyarakatnya untuk tumbuh kearah kemajuan yang dinamis.Akibatnya desa dan pemerintahan desa yang ada sekarang ini bentuk dancoraknya masih beraneka ragam, masing-masing daerah memiliki ciri-cirinyasendiri, yang kadang-kadang merupakan hambatan untuk pembinaan danpengendalian yang intensif guna peningkatan taraf hidup masyarakatnya.Sedangkan disebutkan juga bahwa :“Sebagai peraturan desa (pranata) tentang Pemerintahan Desa (IGO/S83 Tahun 1906 yang berlaku untuk pulau Jawa dan Madura dan IGOB/S1938 untuk daerah diluar Jawa dan Madura merupakan landasan pokokbagi ketentuan-ketentuan tentang susunan organisasi, rumah tangga dantugas kewajiban, kekuasaan dan wewenang Pemerintah Desa, KepalaDesa dan Anggota Pamong Desa.”8

8

Sumber Saparin, Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hal 31.

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa ada dua ketentuan dasar yangmengatur Pemerintahan Desa IGO untuk Jawa dan Madura, IGOB untuk luarJawa dan Madura.Pasal 1 Inlandsche Gementee Ordonantie (IGO) tahun 1906Staatblad Nomor 83 menyatakan “Penguasaan Desa dijalankan oleh KepalaDesa dibantu beberapa orang yang ditunjuk olehnya, mereka bersama-samamenjadi Pemerintah Desa”. Ketentuan tersebut adalah yang berlaku pertamakali di Negara kita yang pada waktu itu dibawah kekuasaan PemerintahanKolonial Belanda menyangkut Kelembagaan Pemerintahan desa, Kepala Desadipilih langsung oleh masyarakat yang pelaksanaannya diatur dengan ketentuanBupati.


(24)

IGO manetapkan bahwa Kepala Desa dibantu beberapaorang yang ditunjuk olehnya. Pengertian ditunjuk olehnya dijelaskan pada Pasal2 ayat (2) IGO Staatblad Nomor 83 yang mengatur “Tentangmengangkat/melepas anggota Pemerintah Desa, kecuali Kepala Desadiserahkan kepada adat-istiadat kebiasaan pada tempat itu”. Jadi pada masa ituotonomi desa telah diatur secara konteks yuridis dan ini merupakan periodeawal pemberian kewenangan kepada desa untuk berkembang sesuai dengankemampuan dan adat-istiadat yang berlaku ditingkat lokal.Demikianlah secara institusional/kelembagaan Pemerintah Desa terdiridari Kepala Desa dan beberapa orang yang ditunjuk oleh adat kebiasaan.Pendapat lain menyebutkan, yaitu:“Meskipun Pasal 1 kelihatannya kabur mengenai siapa yang menjadiPemerintah Desa, namun dapat ditarik kesimpulan bahwa PemerintahDesa bersifat 1 (satu) orang (eenhofding bestuur)”.9

Disamping itu pengaturan tentang Pemerintah Desa kemudian oleh PemerintahBelanda diterbitkan Inlandsche Gementee Ordonantie Buitengewesten

(IGOB)tahun 1938 yang berlaku diluar pulau Jawa dan Madura. Sumber lainmenyebutkan bahwa:“Ketentuan-ketentuan yang berlaku di desa-desa diluar pulau Jawa danMadura ialah IGOB pada hakekatnya tidak berbeda dengan peraturanperaturanyang dicakup dalam IGO yang berlaku di pulau Jawa danMadura.”10

Tetapi secara garis besar, Saparin menyebutkan bahwa :

9

Bayu Surianingrat, Pemerintahan dan Administrasi Desa, Bandung: Ghalia Yayasan Beringin KORPRI unit Depdagri ,2011, hal :98

10

Sumber Saparin, Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Jakarta Ghalia Indonesia, 1986, hal : 35


(25)

a) Adanya ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah Desa untuk setiapakhir triwulan membuat anggaran dan belanja. Dalam IGO hal ini tidakdijumpai. b) Ketentuan mengenai kerja bakti bagi warga desa, untuk

kepentinganumum. Di dalam IGOB warga desa ganti rugi, misalnya membayarsejumlah uang yang disetor ke kas desa;

c) Mengenai masalah tanah bengkok, didalam IGOB tidak dijumpaikarena diluar Jawa dan Madura, tersedia banyak tanah bila setiaporang mau berusaha.

b. Masa Pendudukan Militer Jepang

Pengalaman penyelenggaraan pemerintahan desa di Indonesia sedikitmengalami perubahan setelah adanya pendudukan Militer Jepang. Mengutipdari tulisan Bayu bahwa pada masa Pemerintahan Militer Jepang ini telahditetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 Pasal 2 sebagai berikut:“Pembesar Tentara Dai Nippon memegang kekuatan pemerintahan militeryang tertinggi dan juga segala kekuasaan yang dahulu ada di tanganGubernur Jenderal. Selanjutnya Pasal 3 berbunyi semua badan-badanpemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan Undang-Undang daripemerintah terdahulu, tetap diakui sah buat sementara waktu, asal sajatidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer.”11

Dengan demikian ternyata pendudukan militer Jepang tidak mengubahsecara mendalam ketentuan-ketentuan tentang penyelenggaraan pemerintahansepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan

11


(26)

satunya peraturan mengenahi desa yang dikeluarkan olehPenguasa Militer Jepang adalah Osamu Seirei No. 7 Tahun 2604 (1944).Peraturan ini hanya mengatur dan merubah Pemilihan Kepala Desa (Ku-tyoo)yang menetapkan jabatan Kepala Desa menjadi empat tahun12

c. Masa Indonesia Merdeka

Pemberlakuan peraturan perundang-undangan tentang PemerintahanDesa esensinya tidak mengalami perubahan sejak jaman Kolonial Belanda,pendudukan militer Jepang dan masa Indonesia Merdeka sebelum tahun 1979.pandangan ini didasarkan pada fakta-fakta sejarah sebagai berikut:

(1) IGO dan IGOB berlaku efektif (1906-1942);

(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 dan Osamu Seirei (1942-1945), secara substantif tetap memberlakukan IGO/IGOB;

(3) 1945-Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979.

Dalam kurun waktu yang relative panjang, IGO/IGOB secara tidak resmi tetapdipakai sebagai rujukan dalam penyelenggaraan Pemerintahan desa sampaiterbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979.Melihat kenyataan itu terkesanbahwa Pemerintah Republik Indonesia seperti tidak mampu membuat peraturanPemerintah Desa sendiri.Barangkali didorong kebutuhan dan gunamenghasilkan kesan tidak mampu, pemerintah kemudian berhasil menyusunPerundang-undangan Pemerintah desa dengan lahirnya Undang-UndangNomor 19 Tahun 1965 Tentang Desa Praja. Undang-Undang ini di undangkanpada tanggal 1 September 1965 karena tengah terjadi peristiwa

12


(27)

G30S/PKIsecara praktis Undang-Undang ini belum sempat diberlakukan, TAP MPRS No.XXI/MPRS/1966, tanggal 5 Juli 1966 menunda berlakunya Undang-UndangNomor 19 Tahun 1965.kemudian dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun1969, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 dinyatakan tidak berlaku lagi.Demikianlah setelah terjadinya peristiwa G30S/PKI tahun 1965 secaratidak resmi IGO/IGOB tetap digunakan sepanjang tidak bertentangan dengankepentingan umum dan UUD 1945. kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 5Tahun 1979 yang merupakan berkah tersendiri bagi masyarakat Indonesia yangsudah merdeka selama 33 tahun. Harapan itu terwujud dengan ditetapkannyaUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, menurutUndang-undang ini adalah:“Desa diartikan satu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduksebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuanmasyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendahdibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiridalam ikatan NKRI”.13

Adapun isi materi Undang-undang ini adalah mengatur desa secara seragam diseluruh wilayah Indonesia mulai penyelenggaraan pemerintahan desa,administrasi desa, unsur-unsur desa, pembentukan desa, organisasipemerintahan desa, hak dan kewajibannya. Sebagai landasan yang dipakaidalam penyusunan Undang-Undang ini adalah Pancasila. UUD 1945 Pasal 18 yang berbunyi:“Pemabagian Daerah Indonesia atas daerah besar kecil dengan bentuksusunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang

13

Phillipus M. Hadjon, dkk, “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to The Indonesian Administrative Law)”, Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994, hal : 122.


(28)

denganmamandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistempemerintahan Negara dan hak asal-usul dalam daerah yang bersifatistimewa.”14

Dan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat NomorIV/MPR/1978 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (selanjutnya disebut GBHN) yangmenegaskan bahwa perlu memperkuat pemerintahan desa agar mekin mampumenggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunandanmenyelenggarakan administrasi desa yang makin meluas dan efektif. DalamUndang-Undang ini mengakui adanya kesatuan masyarakat termasukdidalamnya kesatuan masyarakat hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaanyang masih hidup sepanjang masih menunjang kelangsunganpembangunan dan ketahanan nasional. Oleh karena itu, yang dimaksudpemerintahan desa dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 adalahkegiatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakanorganisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat. Tetapi kenyataanyang terjadi selama 30 (tigapuluh) tahun system pemerintahan yang dipakaiadalah sentralistis sehingga menimbulkan gejolak di tingkat masyarakat untukmenuntut adanya kekuasaan yang lebih besar kepada desa atau sering disebutotonomi desa atau penerapan sistem desentralisasi.

M. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode pengumpulan data dan bahan-bahan yang berkaitan dengan materi skripsi ini. Dengan maksud agar

14


(29)

tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan nilai ilmiahnya, maka diusahakan memperoleh dan mengumpulkan data-data dengan mempergunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah hukum normatif yang bersifat deskriptif.Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengelola dan mempergunakan data sekunder. Namun dalam penelitian hukum deskriptif yang dimaksudkan penelitian itu juga termasuk dilakukannya survey ke lapangan melalui wawancara kepada pihak yang terkait dalam skripsi ini15

2. Pendekatan Penelitian .”

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-empiris. Pendekatan

yuridis digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan Prosedur Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, sedangkan pendekatan empiris digunakan untuk menganalisis hukum yang dilihat sebagai prilaku masyarakat yang berpola dalam kehidupan masyarakat yang selalu berinteraksi dan berhubungan dalam aspek kemasyarakatan.16

15

Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta Cet. V, Ind-Hillco, 2001, hal. 13.

16

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999, hal. 36.


(30)

3. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini berupa penelitian studi kasus dengan penguraian secara deskriptif analitis tentang apa yang sekarang berlaku dan apa yang semestinya berlaku.17

Spesifikasi pada penelitian ini adalah deskriptif, karena data yang diperoleh dari penelitian berusaha memberikan gambaran tentang proses dan seputar permasalahan yang ada dalam pelaksanaan perjanjian leasing, serta menganalisisnya sehingga suatu kesimpulan yang bersifat umumSejalan dengan pendapatnya Peter Mahmud Marzuki bahwa:18

4. Sumber Data

“Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.”

Sumber data diperoleh dari :data primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Penelitian ini, bahan hukum yang digunakan oleh peneliti adalah penjelasan terhadap sumber bahan hukum dalam pendekatan yuridis normatif terdapat bahan hukum yang dikaji meliputi:19

17

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia. Press, Jakarta: 2008, hal.4.

18

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Surabaya: Kencana Perdana Media Group, 2007, hal 22.

19

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2004), hal 31.


(31)

a. Data primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat, terdiri dari:

1) Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

2) Peraturan Perundang-undangan, antara lain:

a) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

b) Peraturan Pemerintahan Nomor 72 Tahun 2005

b. Datasekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari:

1) Pustaka di bidang ilmu hukum, 2) Hasil penelitian di bidang hukum,

3) Artikel-artikel ilmiah, baik dari koran maupun internet. c. Data tersier

Bahan yang memberikan petunjuk, maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hokum

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara: a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Dalam hal ini mencari dan mengumpulkan serta mempelajari data dengan melakukan penelitian atas sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis berupa buku-buku karangan pasa sarjana dan ahli hukum yang bersifat


(32)

teoretis ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.

b. Penelitian Lapangan (Field Research) dalam bentuk studi kasus

Pengumpulan data melalui riset dilakukan dengan melakukan wawancara kepada pihak yang terkait dalam proses pemilihan kepala desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karoyang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini.

6. Analisa Data

Analisa data yang digunakan adalah metode deskriptif, hal ini dilakukan terhadap data yang sifatnya data sekunder yang diperoleh melalui kajian kepustakaan.Selanjutnya menganalisis data primer maupun data sekunder yang berbentuk dokumen. Data yang telah diperoleh kemudian dikumpulkan yang selanjutnya diolah dan dianalisis untuk dapat dipertanggungjawabkan.

N. Sistematika Penulisan

Dalam menyusun skripsi ini, penulis menguraikan bab demi bab sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan membahas mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan metode penelitian dan sistematika penulisan

BAB II PEMERINTAHAN DESA BERDASARKAN


(33)

Bab ini akan membahas tentang Pemerintahan Desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), Kepala Desa dan Peran Kepala Desa BAB III PROSEDUR PEMILIHAN KEPALA DESA BERDASARKAN

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 72 TAHUN 2005

Pada bab ini akan membahas Penjaringan dan Kampanye Calon Kepala Desa, Pemungutan dan Perhitungan Suara serta Pengumuman dan Penetapan Calon Terpilih dan Pengesahan dan Pelantikan Calon Terpilih serta Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa

BAB IV KENDALA PEMILIHAN KEPALA DESA KUTAMBARU KECAMATAN MUNTHE KABUPATEN KARO

Pada bab ini akan membahas tentang Gambaran Umum Desa Kutambaru Kecamatan Munthe, Kabupaten Karo dan Kendala dalam Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 serta Upaya mengatasi kendala dalam Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab kesimpulan dan saran dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian penelitian, kemudian dilengkapi dengan saran yang mungkin bermanfaat di masa yang akan datang untuk penelitian lanjutan.


(34)

33

PEMERINTAH NOMOR 72 TAHUN 2005

D. Pemerintahan Desa

Desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara ini terbentuk. Struktur sosial sejenis desa, masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang penting. Dengan tingkat keragaman yang tinggi, membuat desa merupakan wujud bangsa yang paling konkret.20

Pengaturan mengenai desa di Indonesia telah ada sejak zaman kolonial.Inlandshe Gemeente Ordonantie (IGO) diberlakukan untuk Jawa dan Madura serta Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten (IGOB) untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura.Pemerintah desa di Pulau Jawa pada waktu itu terdiri dari lurah, bahoe, lebe, kabayan dan kamitua.Mereka adalah golongan pendiri desa yang dikepalai oleh lurah.Lapisan ini mendapat keistimewaan dalam penguasaan tanah.Tanah-tanah ini biasanya disebut bebau atau bengkok (tanah jabatan) yang didapat selama mereka menduduki jabatan-jabatan tersebut.Mereka juga mendapat hak-hak istimewa dari pemerintah kolonial karena tanah perkebunan yang dipakai pemerintah kolonial berasal dari lapisan pemerintah desa ini, selain itu pemerintah desa juga menjadi andalan bagi perekrutan tenaga kerja perkebunan.Hak istimewa yang diperoleh pemerintah desa

20

HAW. Widjaja. Otonomi Desa: Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh. Jakarta: Rajawali Pers, 2008, hal 4


(35)

misalnya seperti tanah yang dikuasainya terbebas dari cultuurdienst (bekerja untuk menanam tanaman ekspor). Untuk menghasilkan uang, para pamong desa tersebut mempekerjakan penduduk desanya untuk mengolah tanah bengkok miliknya atau dapat juga menyewakan tanah bengkok kepada orang lain21

Pola penguasaan tanah pada masa penjajahan kolonial ini sesungguhnya berbeda dengan pranata tradisional sebelum Belanda menjejakkan kaki di Indonesia.Kala itu, raja adalah penguasa mutlak atas tanah.Tanah bengkok pada masa itu merupakan tanah gaji yang diberikan raja untuk dikelola oleh pejabat.Dari hasil bumi tanah tersebut, sebagian hasilnya diberikan kepada kas kerajaan.Pejabat kemudian menyuruh orang untuk mengelola tanah bengkok.Pengelola tanah bengkok ini disebut bêkêl.

Pengaturan IGO dan IGOB ini milik pemerintah kolonial ini bertahan cukup lama dan baru diganti dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Kesamaan antara IGO dan IGOB dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 yakni sama-sama memandang desa sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum (volkgemeenschappen) memiliki hak ada istiadat dan asal usul sehingga nama dan bentuk desa tidak diseragamkan.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, peraturan perundang-undanganmengenai desa diubah dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 mengadakan penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasional.Selain itu, administrasi desa dipisahkan dari hak adat istiadat dan hak

21


(36)

asal usul. Desa diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam sedangkan hak otonomi untuk mengatur diri sendiri ditiadakan. Saat itu, Presiden Soeharto sendiri telah berjanji bahwa pembangunan masyarakat miskin yang umumnya tinggal di pedesaan akan mendapat perhatian utama pemerintah. Akan tetapi, pada kenyataannya masih terdapat permasalahan dalam pembangunan pedesaan.

Sebagaimana diungkapkan Mike Coppin dalam Rural Society Journal:

There are a number of internal problems involved in making development programs work in Indonesia. One is the sheer number and accessibility of Indonesia's tens of thousands of villages. AMD (ABRI Masuk Desa), a rural development program run by the armed forces, which mainly supports infrastructure services and vocational training, has yet to reach more than two thirds of the villages. Another problem is ensuring that projects are locally appropriate; the new rule that villages can choose their areas of development for use of Inpres funds should assist in achieving that goal. A major problem is corruption a recent survey rated Indonesia the worst country in Asia for graft

(Ada sejumlah masalah internal dalam pembuatan program kerja pembangunan di Indonesia. Salah satunya adalah banyaknya desa di Indonesia yang mencapai puluhan ribu. AMD (ABRI Masuk Desa), sebuah program pembangunan pedesaan yang dijalankan oleh angkatan bersenjata yang mendukung layanan infrastruktur dan pelatihan kejuruan, bahkan belum mencapai lebih dari dua pertiga jumlah desa. Masalah lain adalah memastikan sudah sesuaikah proyek-proyek dengan kondisi setempat; aturan baru bagi desa dimana dapat memilih area untuk pembangunan desa mereka dengan danaInpres harus membantu dalam


(37)

mencapai tujuan tersebut. Masalah utama adalah korupsi survei terbaru, Indonesiaadalah negara terburuk di Asia untuk korupsi)22

Setelah terjadi reformasi, pengaturan mengenai desa diubah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang secara nyata mengakui otonomi desa dimana otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Selain itu, terjadi perubahan dalam aspek pemerintahan desa.Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa sebagai unsur eksekutif dan Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai unsur Legislatif.Pengaturan inilah yang tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979.Dalam pelaksanaan tugasnya, Kepala Desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD.

Pengaturan mengenai desa kembali mengalami perubahan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan mengenai desa di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 kemudian ditindaklanjuti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Dalam hal kewenangan secara prinsipil tidak ada perubahan yang mendasar dalam pengaturan mengenai kewenangan desa. Sama halnya dengan peraturan sebelumnya, baik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 mendefinisikan desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan

22

Mike Coppin. “NGOs and Rural Development in Indonesia”. Rural Society Journal.Vol.9, No.3. 1995, hal 52


(38)

masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perubahan mendasar tampak dalam aspek sistem pemerintahan baik pemerintahan desa maupun terkait hubungannya dengan hierarkhis pemerintahan diatasnya. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan BPD. Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat. Untuk meningkatkan pelayanan di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa sekretaris desa akan diisi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pembentukan desa harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya jumlah penduduk, luas wilayah, bagian wilayah kerja, perangkat, serta sarana dan prasarana pemerintahan.Pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada.Desa yang kondisi masyarakat dan wilayahnya tidak lagi memenuhi persyaratan dapat dihapus atau digabung. Sementara itu, disisi lain desa juga dapat diubah statusnya menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa


(39)

Pemerintah Desa bersama BPD dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat setempat.

Secara eksternal, desa sejak lama berada dalam konteks formasi Negara

(state formation) yang hierarkhis-sentralistik.Perjalanan sejarah Indonesia mencatat, pemerintahan desa sebenarnya merupakan wujud konkret selfgoverning community (pemerintahan sendiri yang berbasis masyarakat) yang dibentuk secara mandiri23.Jika dilihat dari definisi desa yang dipahami sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri, ini mengindikasikan bahwa desa itu mempunyai otonomi. Namun, menurut Hanif Nurcholis, otonomi desa bukan otonomi formal seperti yang dimiliki pemerintah kabupaten/kota maupun provinsi, tapi berdasarkan asal-usul dan adat istiadat24

Otonomi desa tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang diperoleh secara tradisional dan bersumber dari hukum adat.Otonomi desa merupakan otonomi yang asli, bulat, dan utuh serta bukan pemberian dari pemerintah sehingga pemerintah pusat berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki desa25

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sendiri sesungguhnya telah mengakui adanya otonomi desa sebab desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan maupun pendelegasian dari Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah untuk melaksanankan urusan pemerintah tertentu. Sedangkan

.

23

Abdul Gaffar Karim. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal 269

24

Hanif Nurcholis. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: Grasindo, 2005, hal 136

25


(40)

bagi desa yang berasal dari pemekaran, otonomi desa memberikan kesempatan untuk berkembang mengikuti pertumbuhan desa itu sendiri.26

Sebagai struktur pemerintahan terbawah yang memiliki otonomi sendiri, desa mempunyai beberapa kewenangan.

Secara umum, kewenangan desa terbagi menjadi empat, diantaranya adalah:

1) Generik, yakni urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa.

2) Devolutif, yakni kewenangan yang melekat pada desa, seperti misalnya menyusun Peraturan Desa, menyelenggarakan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa

3) Distributif, yakni urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. Misalnya dalam hal pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) di jalan desa, atau mengelola pasar desa.

4) Tugas Pembantuan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Misalnya dalam hal Pemilihan Umum (Pemilu) atau pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB).

Disamping kewenangan secara umum tersebut, berdasarkan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa dibedakan menjadi :

1) Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa

26

Titik Triwulan Tutik. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006, hal 225


(41)

2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa

3) Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota

4) Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa

Pemerintahan desa menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, dijalankan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa:

1) Pemerintah Desa, terdiri atas: a) Kepala Desa

Kepala Desa dipilih langsung melalui Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) oleh penduduk desa setempat.Kepala Desa bertugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Wewenang kepala desa antara lain:

(1) Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD

(2) Mengajukan rancangan peraturan desa

(3) Menetapkan Peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD

(4) Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD Kepala Desa mempunyai kewajiban memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada


(42)

Bupati/Walikota melalui Camat, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD, dan menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat.

b) Perangkat Desa

Perangkat Desa bertugas membantu Kepala Desa melaksanakan tugas dan wewenangnya. Perangkat Desa ini terdiri dari:

(1) Sekretaris Desa

Sekretaris desa adalah staf yang memimpin Sekretariat Desa dimana kedudukannya diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Sekretaris desa bertugas membantu kepala desa di bidang pembinaan administrasi dan memberikan pelayanan teknis administrasi kepada seluruh perangkat pemerintah desa. Ia diangkat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas nama Bupati/Walikota.

(2) Perangkat Desa lainnya (a) Sekretariat desa

(b) Pelaksana teknis lapangan (c) Unsur kewilayahan 2) Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

Badan Permusyawaratan Desa merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.BPD beranggotakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan


(43)

mufakat.Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh masyarakat lainnya.Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa. Selain Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa, terdapat lembaga-lembaga lain yang dapat dibentuk di desa-desa, yaitu lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan peraturan desa, asalkan pembentukannya berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Lembaga kemasyarakatan dimaksud bertugas membantu pemerintah desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa.27

Lembaga kemasyarakatan ini ditetapkan dengan Peraturan Desa.Salah satu fungsi lembaga kemasyarakatan adalah sebagai penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat dalam pembangunan.Lembaga kemasyarakatan desa ini misalnya seperti Rukun Tetangga, Rukun Warga, PKK, Karang Taruna, dan lembaga pemberdayaan masyarakat.

Pada saat reformasi bergulir tahun 1998 di Indonesia, penyelenggaraanpemerintahan di daerah juga menjadi salahsatu sasaran reformasi. Revisi UUNo 5 Tahun 1974 dan UU No 5 Tahun 1979 menjadi tidak terelakan lagi, maka lahirlah UU No22 Tahun 1999 tentanag Pemerintahan Daerah yang sekaligus mengatur Daerahotonom dan Desa dalam satu paket, yang kemudian dalam perjalananya direvisi kembali menjadi UU No 32 Tahun2004 serta di ubah kemabali menjadi UU No12 Tahun 2008. UU No12 Tahun 2008 tersebut tidak

27

Jimly Asshiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006, hal 327


(44)

saja mengatur dan sekaligus membawaperubahan di daerah (provinsi, kabupaten dan kota), Namur juga memberikanlandasan bagi perubahan yang mendasar di desa. Salah satu perubahanmendasar dalam pengaturan mengenahi desa adalah munculnya BPD (BadanPermusyawaratan Desa) yang merupakan lembaga tersendiri dan memilikifungsi yang sangat luas seperti mengayomo adat sitiadat, membuat PeraturanDesa, menampung dan menyalurkan Aspirasi masyarakat serta melakukanpengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintaha Desa.

Desa yang pada awalnya di definisikan sebagai statu wilayah yangditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasukdidalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasipemerintahan terendah langsung dibawah camat, berubah rumusanya menajdikesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur danmengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adatistiadat setempat.28

Kajian hukum terhadap otonomi desa biasanya berkaitan denganbagaimana negara memperlakukan desa. Dilihat secara mendalam maknapengaturan sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945 berikutpenjelasnya, maka dapat dikatakan bahwa esensi dari Pasal tersebutmencerminkan pengakuan negara terhadap apa yang disebut dengana otonomidesa dewasa ini. Lebih dari itu dengan menyebutkan desa sebagai susunan asliyang memiliki hak asal usul, maka menurut UUD 1945 hanya desa yangdipastikan memiliki otonomi.Adapun daerah-daerah besar dan kecil lainya,

28


(45)

semacam provinsi,kabupaten ataupun kota yang dikenal dalam sistem pemerintahan daerah saatini, dapat saja bersifat otonom karena pemberian pusat terhadap hak otonombagi daerah-daerah tersebut, inilah yang kita kenal dengan otonomi daerahsebagai konsekuensi diberlakukanya politik desentralisasi di indonesia.

Sejak Tahun 1955, sudah terbentuk sebuah lembaga di desa yangberfungsi merencanakan segala kebutuhan desa bersama-sama denganperangkat desa, dengan debutan Badan Perencanaan Pemerintah Desa (Bappensa), nama ini lalu berubah menjadi Badan Musyawarah Desa(Bamudes), dan berubah nama lagi menjadi Lembaga Musyawarah Desa (LMD)pada saat berlakunya UU No 5 Tahun 1979 sampai lahirnya UU No 22 Tahun 1999 yangmengintroduksi Badan Perwakilan Desa (BPD) yang kemudian di rubah dalamUU No32/2004 dan UU No 12 Tahun 2008 menjadi Badan Permusyawaratan Desa(BPD).Baik ditinjau dari aspek Yuridis formal maupaun fungsinya, memangada perbedaan yang cukup substancial antara LMD dan BPD.LMD memilikifungsi legislasi saja, sementara BPD selain berfungsi legislasi juga berfungsimengontrol pemerintahan desa, dan juga menampung dan menyalurkanaspirasi masyarakat.

Desa berdasarkan undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 ini adalah Desa atau yang disebut dengan namalain, selanjutnya Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-bataswilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentinganmasyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yangdiakui dan/atau dibentuk dalam sistem pemerintahan nasional dan berada


(46)

dikabupaten/kota. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenahi desaadalah keanekaragaman, partisipasi, ekonomi, otonomi asli, demokratisasi danpemberdayaan masyarakat.

Desa yang dimaksud menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,termasuk antara lain Nagari di Sumatra barat, Gampong di Provinsi NAD,Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Negeri diMaluku. Dalam Undang-undang ini mengakui juga otonomi oleh Desa ataupundengan sebutan lainnya dan kepala desa melalui pemerintahan desa dapatdiberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupunpemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah yang bersifatadministrative, seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa ataupunkarena transmigrasi, ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis,majemuk ataupun heterogen maka otonomi desa akan diberikan kesempatanuntuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.Sebagai perwujudan demokrasi, dalam penyelenggaraan pemerintahandesa, dibentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) ataupun sebutan lain yangsesuai dengan budaya yang berkembang di desa bersangkutan, yang berfungsisebagaia lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa,seperti pembuatan dan pelaksanaan peraturan desa, anggaran pendapatan danbelanja desa, keputusan kepala desa. Didesa dibentuk lembaga kemsyarakatanyang berkedudukan sebagai mitra kerja pemerintahan desa dalammemberdayakan masyarakat desa.


(47)

Kepala desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desa,yang dalam tata cara dan prosedur pertanggung jawabanya disampaikankepada Bupati atau Walikota, melalui camat. Kepada BPD, kepala desa wajibmemberikan keterangan laporan pertanggungjawabanya dan kepada rakyatmenyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabanya, namun tetapharus memberi peluang kepada masyarakat melalui BPD untuk menanyakandan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang bertaliandengan pertanggungjawaban yang dimaksud.

Pemerintah Desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa lainya.Kepala desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa WNRI.Pemilihankepala desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa WNRI.Pemilihankepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta haktradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaanya berlakuketentuan hukum adat setempat.Jabatan kepala adesa adalah enam tahun dandapat dipilih kembali hanya satu kali masa jabatan berikutnya.Sangatlah jelas berdasar ketentuan mengenai desa diatas, yaitu desa diera reformasi sekarang mempunyai kewenangan dan diakui sebagai salah satudaerah yang memiliki “kekuatan” dengan nama otonomi desa. Dengan adanya“kekuatan” ini desa memperoleh kekuasaan dalam menentukan kebijakandalam berprakarsa dan berinisiatif sesuai dengan potensi yang dimiliki, baiksumber daya manusia dan sumber daya alamnya untuk berkembang sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Mengenai halitu dapat diperoleh penjelasan terkait kewenangan desa.


(48)

Menurut ketentuan Pasal 206 UU No 32 tahun 2004 Juncto Pasal 4 PPNo 72 Tahun 2005 Juncto Permendagri No 30 tahun 2006, urusan pemerintahanyang menjadi kewenangan desa mencakup::

a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usuldesa

b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kotayang diserahkan pengaturannya kepada desa

c. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan/ataupemerintah kabupaten/kota

d. Urusan pemerintahan lainya yang oleh peraturan perundang-undangandiserahkan kepada desaTugas pembantuan yang berasal dari pemerintah, pemerintah provinsi,dan/atau pemerintah kabupaten/kota kepada desa, harus disertai denganpembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sehinggatugas tersebut dapat terlaksana dengan baik. Di Desa dibentuk BPD yang berfungsi menetapkan Peraturan Desabersama Kepala Desa dengan masukan dari aspirasi masyarakat. Anggota BPDadalah wakil dari penduduk Desa bersangkutan yang ditetapkan dengan caramusyawarah dan mufakat, sedangkan pimpinan BPD dipilih dari dan olehanggota BPD yang masa jabatannya adalah enam tahun dan dapat dipilihkembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Di Desa dibentuk lembagakemasyarakatan yang ditetapkan dengan Peraturan Desa, yang bertugasmembantu Pemerintah Desa dan merupakan mitra dalam memberdayakanmasyarakat Desa. Yang dimaksud dengan kemasyyarakatan desa,


(49)

sepertiRukun Tetangga, Rukun Warga, PKK, Karang Taruna dan LembagaPemberdaya Masyarakat.

Keuangan Desa ialah semua hak dan kewajiban desa yang dapatdinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupabarang yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hakdan kewajiban.Keuangan desa tersebut diperoleh dari sumber pendapatandesa. Terdiri dari pendapatan asli desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusidaerah Kabupaten/Kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dandaerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota, serta bantuan lain dari pemerintah,peemrintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota, termasuk pula hibah dansumbangan dari pihak ketiga. Yang dimaksud dengan sumbangan dari pihakketiga, dapat berbentuk hadiah, donasi, wakaf dan/atau sumbangan lain sertapemberian sumbangan dimaksud tidak mengurangi kewajiban-kewajiban pihakpenyumbang. Belanja Desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraanpemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.

Pengelolaankeuangan desa dilakukan oleh kepala desa yang dituangkan dalam peraturandesa tentang anggaran pendapatan dan belanja desa.Desa dapat mendirikan Badan usaha miliki desa, sesuai dengankebutuhan dan potensi desa.Disamping itu desa dapat mengadakan kerjasamauntuk kepentingan desa dan untuk kerjasama dengan pihak ketiga dapatdibentuk badan kerjasama desa. Dalam pembangunan kawasan perdesaanyang dilakukan oleh kabupaten/kota dan/atau pihak ketiga harusmengikutsertakan Pemerintah Desa dan BPD, dengan memerhatikankepentingan masyarakat desa, kewenangan desa, kelancaran,


(50)

pelaksanaaninvestasi, kelestarian lingkungan hidup, keserasian kepentingana antar kawasandan kepentingan umum.

E. Badan Permusyawarakatan Desa (BPD)

Badan Perwakilan Desa (BPD) yang ada selama ini berubah namanya menjadi BPD.BPD merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Desa. Dalam Pasal29 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Badan Permusyawaratan Desa berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa, serta Dalam Pasal 209 UU No 32 tahun 2004 Junto Pasal 209 UU No 12 Tahun 2008 Juncto Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 disebutkan bahwa fungsi dari Badan Permusyawaratan Desa ialah menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, oleh karenanya BPD sebagai Badan Permusyawaratan yang berasal dari masyarakat desa, disamping menjalankan fungsinya sebagai jembatan penghubung antara kepala desa dengan masyarakat desa, juga harus menjalankan fungsi utamanya, yakni fungsi representasi.

Perubahan ini didasrkan pada kondisi faktual bahwa budaya politik lokal yang berbasis pada filosofi “musyawarah untuk mufakat”. Musyawarah berbicara tentang proses, sedangkan mufakat berbicara tentang hasil. Hasil yang baik diharapkan diperoleh dari proses yang baik. Melalui musyawarah untuk mufakat, berbagai konflik antara para elit politik dapat segera diselesaikan secara arif, sehingga tidak sampai menimbulkan goncangan-goncangan yang merugikan masyarakat luas.


(51)

Keanggotaan BPD seperti yang disebutkan dalam Pasal 30 PP No 72 tahun 2005 adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya.Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa.BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.Adapun jumlah anggota BPD ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 11 (sebelas) orang, dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk dan kemampuan keuangan Desa (Pasal 31 PP No. 72 tahun 2005). Dalam Pasal 35 PP No 72 Tahun 2005, dijelaskan BPD mempunyai wewenang:

a) Membahas rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa

b) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa

c) Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Desa d) Membentuk panitia pemilihan Kepala Desa

e) Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan,dan menyalurkan aspirasi masyarakat dan menyusun tata tertib BPD.Dan dalam Pasal 37 PP No 72 Tahun 2005, Anggota BPD mempunyai hak:

1) Mengajukan rancangan Peraturan Desa 2) Mengajukan pertanyaan


(52)

3) Menyampaikan usul dan pendapat 4) Memilih dan dipilih

5) Memperoleh tunjangan

Peraturan Desa ialah produk hukum tingkat desa yang ditetapkan oleh Kepala Desa bersama BPD dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa (Pasal 55 PP No 72 tahun 2005). Peraturan desa dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa, dengan demikian maka pemerintahan desa harus merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan-peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta harus memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat dalam upaya mencapai tujuan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat jangka panjang, menengah dan jangka pendek.

Peran BPD dalam mendukung tata penyelenggaraan Pemerintahan Desa 1. Fungsi Penyerapan Aspirasi

Aspirasi dari masyarakat yang diserap oleh BPD dilakukan melalui mekanisme atau cara ;

a. Penyampaian langsung kepada BPD

Penyampaian aspirasi oleh warga kepada BPD tidak jarang pula dilakukan baik secara individu maupun bersama-sama dengan menyampaikan langsung kepada anggota BPD yang ada di lingkungannya (RW).

b. Penyampaian melalui forum wargaBPD memperhatikan aspirasi dari masyarakat melalui forum-forum yang diadakan wilayah.


(53)

c. Penyampaian melalui pertemuan tingkat desaPenyampaian aspirasi melalui forum rembug desa atau rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Desa. Pada forum ini pemerintah mengundang perwakilan dari masyarakat yaitu ketua RT/RW, tokoh agama, adat, masyarakat serta mengikut sertakan BPD guna membahas mengenai permasalahan maupun program yang sedang atau akan dijalankan oleh Pemerintah Desa.

2. Fungsi Pengayoman Adat

Pelaksanaan fungsi pengayoman adat oleh BPD dapat berjalan dengan baik apabila peran dari BPD dan juga kesadaran masyarakat yang cukup tinggi terhadap nilai-nilai sosial seperti musyawarah dalam menyelesaikan perselisihan yang timbul di dalam masyarakat tetap dijaga dan dipatuhi.

3. Fungsi Legislasi

Fungsi legislasi yang dilakukan oleh BPD mengacu kepada peraturan yang ada seperti PP 72 tahun 2006, Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 3 tahun 2010 tentang Badan Permusyawaratan Desa, dimana pada Pasal 9 Perda tersebut dijelaskan bahwa BPD berwenang :

a. Membahas rancangan peraturan desa bersama Kepala Desa;

b. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan Kepala Desa;

c. Mengusulkan pengesahan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Desa; d. Membentuk panitia pemilihan Kepala Desa;

e. Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat; dan


(54)

f. Menyusun tata tertib BPD.

Proses pembuatan Peraturan Desa oleh BPD dapat dilakukan melalui proses penyerapan aspirasi dari warga. Proses tersebut dilakukan jika berkaitan dengan masyarakat atau yang akan melibatkan masyarakat. Pada pelaksanaannya, pembuatan Peraturan Desa usul dan inisiatif dapat muncul bergantian antara Pemerintah Desa dan BPD. Dalam pembuatan kebijakan desa, bargaining position aktor yang terlibat di dalamnya sangat menentukan terhadap hasil kebijakan yang akan dikeluarkan. Semakin kuat bargaining position aktor pembuat kebijakan akan lebih dapat menentukan arah kebijakan yang dibuat. Dominasi bargaining position oleh salah satu aktor pembuat kebijakan akan menimbulkan kecenderungan arah kebijakan memihak pada aktor yang lebih dominan. Permasalahan akan muncul jika arah kebijakan lebih didominasi oleh pihak yang berseberangan dengan kepentingan publik atau warga. Pada pembuatan APBDes, pemerintah mengundang BPD dan tokoh-tokoh masyarakat untuk memberikan masukan mengenai materi yang akan dimasukkan dalam RAPBDes. RAPBDes yang telah disusun oleh pemerintah kemudian diserahkan kepada BPD untuk dibahas dan disetujui.

4. Fungsi Pengawasan

Pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan merupakan salah satu alasan terpenting mengapa BPD perlu dibentuk.Pengawasan oleh BPD terhadap pelaksanaan pemerintahan desa yang dipimpin Kepala Desa merupakan tugas BPD.Upaya pengawasan dimaksudkan untuk mengurangi adanya penyelewengan atas kewenangan dan keuangan desa dalam penyelenggaraan pemerintahan


(55)

desa.Konsistensi BPD dalam melakukan pengawasan terhadap bagaimana suatu program pemerintah, fungsi pemerintahan, peraturan dan keputusan yang telah ditetapkan bersama BPD dilaksanakan oleh Pemerintah Desa.

Sikap Kepala Desa yang tidak otoriter dalam menjalankan kepemimpinannya menjadikan BPD mampu melaksanakan tugas dan kewenangannya untuk mewujudkan adanya pemerintahan yang baik dan berpihak kepada warga. BPD merupakan lembaga desa yang mempunyai kedudukan sejajar dengan Kepala Desa dan menjadi mitra Kepala Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa terealisasi berdasarkan pengamatan BPD sering diikutsertakan dan didengarkan apa yang menjadi aspirasi dan masukannya.

F. Kepala Desa dan Peran Kepala Desa

Kepala desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa warga negara Indonesia yang memenuhi syarat.Kepala desa yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan ditetapkan sebagai kepala desa. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberi peluang kepada masyarakat hukum adat memilih kepala desa atau sebutan lain menurut hukum adatnya. Selain itu juga, tata carapemilihan baik pemilihan kepala desa di luar maupun di dalam masyarakat hukum adat akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah yang berpedoman pada peraturan pemerintah.


(56)

55

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 72 TAHUN 2005

E. Penjaringan dan Kampanye Calon Kepala Desa

Pemilihan Kepala Desa dimulai dengan dibentuknya panitia pemilihan.Panitia pemilihan bersifat independen dan tidak terikat dengan pemerintahan administrasi negara seperti pemerintahan kecamatan dan pemerintahan kabupaten. Panitia pemilihan bersifat netral dan tidak memihak kepada salah satu calon kepala desa yang bersaing dalam proses pemilihan kepala desa. Panitia ini dibentuk atas pertimbangan kehendak masyarakat desa melalui Badan Permusyawaratan Desa untuk melaksanakan pemilihan kepala desa.Dalam penentuan calon panitia pemilih dilakukan dengan melakukan musyawarah oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat desa melalui perwakilan yang ada dalam Badan Permusyawaratan Desa (BPD).29

Panitia pemilihan kepala Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo tahun 2011 yang dibentuk berjumlah 15 (limabelas) orang yang terdiri darikomponen-komponen masyarakat desa, yakni :

1. Unsur perangkat desa

2. Pengurus lembaga kemasyarakatan desa 3. Tokoh-tokoh masyarakat

29

Hasil Wawancara dengan Sabar Simanjorang, selaku Ketua Badan Permusyawartan Desa tanggal 17 September 2014


(57)

Panitia pemilihan yang terpilih kemudian dilaporkan kepada kepaladaerah untuk disahkan dan dilantik oleh kepala daerah. Panitia yang telahdisahkan dan dilantik oleh kepala daerah akan mendapatkan pelatihan pengarahanyang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Karo melalui BiroPemerintah Kabupaten Karo.

Panitia Pemilihan Kepala Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo dibentuk pada tanggal 25 Maret 2011 dengan susunan sebagai berikut :30 1. Ketua Panitia (Sabar Simanjorang) :

a. Menjalankan tugas kepanitian sesuai dengan peraturan perundang-undangan baik Peraturan BPD (Tata Tertib Khusus Pilkades), Peraturan Bupati, Peraturan Daerah dan Peraturan Pemerintah beserta intrumen pelaksananya

b. Menetapkan Peraturan Panitia tentang Tata Cara yang mengatur mengenai Tahapan Pilkades setelah dimusyawarah dengan Anggota Panitia

c. Menetapkan uraian tugas bagi anggota Panitia Pemilihan sesuai posisi/jabatannya

d. Merencanakan, mengorganisaikan, melaksanakan dan mengendalikan pelaksanaan Pilkades mulai dari penyusunan jadwal sampai dengan tahapan penghitungan suara serta pelaporan

e. Menandatangani Keputusan penetapan Bakal Calon yang memenuhi persyaratan administrasi.

30Ibid


(58)

f. Menandatangani keputusan penetapan calon yang lulus ujian penyaringan dan berhak dipilih.

g. Menandatangani penetapan DPS dan DPT Pemilihan Kepala Desa. h. Mengusulkan penggantian anggota Panitia Pemilihan.

i. Menandatangani Keputusan penetapan petugas yang membantu tugas-tugas Panitia Pemilihan.

j. Menandatangani keputusan penunjukan petugas dalam pelaksanaan Pilkades.

k. Membuat dan menyampaikan laporan kepada BPD mengenai :

a) Laporan kegiatan (tahapan pemilihan Kepala Desa) disertai data dan kelengkapannya;

b) Laporan keuangan berupa penerimaan dan pengeluaran disertai bukti pengeluaran yang sah;

c) Laporan administrasi untuk keperluan pengesahan Calon Kepala Desa Terpilih dan pelantikan.

l. Mengambil langkah-langkah antisipasi terhadap kemungkinan munculnya masalah

m. Melakukan penyelesaian masalah secara tepat, cermat dan secara koordinatif baik internal panitia maupun dengan BPD, Pemerintah Desa, instansi/SKPD tingkat kecamatan dan kabupaten.

n. Mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan tugas/kerja seksi agar tahapan Pilkades berjalan lancar, aman, tertib dan sukses.


(1)

E. Kendala dalam Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005

Hambatan-Hanbatan dalam pemilihan Lurah Desa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005, antara lain :36

1. Masih ada yang belum paham atau belum tahu khususnya masyarakat yang sudah lanjut usia

2. Masih ada masyarakat yang terlambat untuk memberikan hak suaranya. 3. Masih adanya masyarakat yang belum terdaftar

4. Pilkades ini sangat rentan pasalnya kondisi masyarakat atau para pendukung sangat sensitif

5. Peraturan perundang-undangan

6. Tidak adanya anggaran awal yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, pendanaan merupakan permasalahan yang cukup penting dalan setiap kegiatan. Faktor keuangan menjadi salah satu permasalahan yang harus dipenuhi sebuah lembaga dalam mendukung operasionalnya

F. Upaya mengatasi kendala dalam Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005

Melakukan kegiatan sosialisasi dengan mengunjungi warga dari rumah ke rumah.Sosialisasi dengan mengikuti acara keagamaan dan sosial misalnya tahlilan, ibu-ibu PKK dan karang taruna.Penyampaian visi dan misi di Kantor Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo.Penyebaran foto atau

36

Hasil Wawancara dengan Togong Ginting selaku Panitia Pemilihan Kepala Desa Kutambaru Kabupaten Karo tanggal 19 Agustus 2014


(2)

gambar masing-masing calon kepala desa.Mengadakan acara perjamuan; (3) Kendala yang dialami para calon kepala desa di Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo antara lain :Kegiatan sosialisasi ke warga yang belum sepenuhnya menyeluruh. Keterbatasan dana. Belum banyak warga yang mengenal calon kepala desa secara pribadi; (4) Upaya mengatasi kendala yang dialami para calon kepala desa di Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo antara lain: memberi tugas kepada para pendukung dan meminta bantuan dari keluarga terdekat dan teman-teman untuk ikut berpartisipasi dalam mensosialisasikan dirinya. Meminjam uang kepada para pendukung atau pihak lain sesuai dengan dana yang dibutuhkan. Tetap berusaha melakukan sosialisasi dengan mengenalkan diri dan menyakinkan kepada warga bahwa bisa mengabdikan diri kepada masyarakat.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya yang dikaitkan dengan permasalahan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pemerintahan desa berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa, Kepala Urusan. Perangkat Desa terdiri dari atas sekretariat desa, pelaksana teknis lapangan, unsur kewilayahaan.

2. Prosedur pemilihan kepala desa berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 adalah Penjaringan, Kampanye Calon Kepala Desa, Pemungutan,Perhitungan Suara, Pengumuman, Penetapan Caloa Terpilih, Pengesahan dan Pelantikan Calon Terpilih.

3. Kendala Pemilihan Kepala Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo, dibagi dua yaitu : ada yang belum paham atau belum tahu khususnya masyarakat yang sudah lanjut usia, masyarakat yang terlambat untuk memberikan hak suaranya masyarakat yang belum terdaftar, kesadaran masyarakat, ketersediaan dana, adanya anggaran awal yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, pendanaan merupakan permasalahan yang cukup penting dalan setiap kegiatan. Faktor keuangan menjadi salah satu permasalahan yang harus dipenuhi sebuah lembaga dalam mendukung operasionalnya


(4)

B. Saran

Pada kegiatan akhir pembahasan skripsi ini merasa perlu untuk menuliskan saran sebagai tindak lanjut dari kesimpulan-kesimpulan diatas, yaitu:

1. Pada pemilu yang akan datangsosialisasi kepada warga perlu diperluas agar masyarakat bisa mengetahui secara menyeluruh siapa saja calon kepala desa Kutambaru dan apa saja visi misi mereka.

2. Mengajak ataupun menginformasikan kepada warga desa untuk berpartisipasi dalam menggunakan hak pilihnya agar tidak banyak angka golput yang terjadi dalam pemilihan kepala desa yang akan datang;

3. Bagi masyarakat Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo disarankan bagi warga desa Kutambaru untuk bisa berpartisipasi secara aktif dalam mempergunakan hak pilihnya dalam pemilihan kepala desa di periode mendatang.

4. Sosialisasi pemilihan kepala desa, perlu tersedianya anggaran dana untuk tahapan pemilihan kepala desa.


(5)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2004.

Abdul Gaffar Karim. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006

Bayu, Surianingrat, Pemerintahan dan Administrasi Desa, Bandung: Ghalia Yayasan Beringin KORPRI unit Depdagri ,2011.

Hanif Nurcholis. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: Grasindo, 2005.

Hadjon, Phillipus M., dkk, “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to The Indonesian Administrative Law)”, Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994.

Kartohadikoesoema, Sutardjo, “Desa”, Bandung: Sumur,2010.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Surabaya: Kencana Perdana Media Group, 2007.

Sadu Wasistiono, M..Irawan tahir, Prospek Pengembangan Desa;Bandung: Fokus Media, 2007.

Sumber Saparin, Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.

Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta Cet. V, Ind-Hillco, 2001.

Titik Triwulan Tutik. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006.


(6)

Widjaja, HAW Otonomi Desa: Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 2004 Peraturan Pemerintah .No 72 Tahun 2005 tentang Desa

Internet

diakses tanggal 28 Juli 2014

2014

Edi Cahyono,www.geocities.com> diakses tanggal 28 Juli 2014.

Wawancara

Hasil Wawancara dengan Togong Ginting selaku Panitia Pemilihan Kepala Desa Kutambaru Kabupaten Karo tanggal 19 Agustus 2014