Latar Belakang Alih Fungsi Lahan Tebu Menjadi Lahan Kelapa Sawit Di PT. Perkebunan Nusantara Ii Unit Kebun Tandem

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkebunan merupakan sistem perekonomian pertanian komersial yang bercorak kolonial. Sistem perkebunan ini dibawa oleh perusahaan kapitalis asing pada jaman penjajahan yang sebenarnya merupakan sistem perkebunan Eropa. Perkebunan merupakan bagian dari sistem perekonomian pertanian komersial yang diwujudkan dalam bentuk usaha pertanian tanaman komersial dalam skala besar dan kompleks yang bersifat padat modal, menggunakan lahan yang luas, memiliki organisasi tenaga kerja yang besar dengan pembagian kerja yang rinci, menggunakan teknologi modern, spesialisasi, sistem administrasi dan birokrasi serta pemasaran yang baik Pahan, 2008. Ada beberapa jenis tanaman perkebunan yang banyak dibudidayakan di Indonesia yang terbagi atas tanaman semusim dan tanaman tahunan. Salah satu tanaman perkebunan semusim yang dibudidayakan pada masa penjajahan hingga sekarang adalah tanaman tebu. Di Sumatera Utara sendiri terdapat beberapa perkebunan tebu yang cukup luas, baik itu perkebunan tebu milik rakyat maupun milik negara. PT. Perkebunan Nusantara II PTPN II merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara, yang mengusahakan tanaman tebu sebagai tanaman perkebunan. Universitas Sumatera Utara Pertanaman tebu di Provinsi Sumatera Utara dikelola oleh PTPN II. Yaitu dengan lokasi penanaman di wilayah pabrik gula Sei Semayang Kabupaten Deli Serdang dan di wilayah pabrik gula Kwala Madu Kabupaten Langkat dengan proporsi tebu rakyat sebesar 8,52 Dinas Perkebunan Sumatera Utara, 2008. Budidaya tanaman tebu yang diusahakan oleh PTPN II dimulai sejak tahun 1983. Tanaman tebu yang diusahakan oleh PTPN II terbagi dalam dua macam yaitu sebagai tanaman konversi dan tanaman rotasi. Tanaman konversi adalah sebagian lahan tembakau deli yang dialihfungsikan untuk budidaya tanaman tebu yang secara terus menerus ditanam disuatu areal, sedangkan tanaman rotasi adalah penanaman tebu yang ditanam disaat tanaman tembakau deli telah selesai dipanen. Dan rotasi yang dijalankan dilahan tembakau deli adalah setiap 5 tahun Febrianto, 2006. Beberapa tahun terakhir produksi dan produktivitas gula PTPN II Sumatera Utara masih berfluktuatif pada tingkat produktivitas dibawah normal. Jika mencermati perkembangan produksi selama 20 tahun giling 1983-2002, rendahnya produksi terjadi sejak tahun giling 1999, rataan produktivitas hablur yang dihasilkan hanya mencapai 4,6 ton per ha Dinas Perkebunan Sumatera Utara, 2008. Universitas Sumatera Utara Tabel. 1 Pengembangan Tebu di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2005 sd 2009 . NO Tahun Pengusahaan Tebu Luas Ha Produksi Tebu Ton Rendemen Produksi Hablur Ton 1 Tahun 2005 TS TR 13.409,4 736,0 1.146.332,2 44.160.0 6,75 6,75 77.377,424 2.980,800 Jumlah 1 - 14.145,4 1.190.492.2 - 80.358,224 2 Tahun 2006 TS TR 12.366,16 588,36 853.344,06 33.441,48 5,70 5,70 48.726,915 2.146,085 Jumlah 2 - 12.954,52 886.785,540 - 50.873,000 3 Tahun 2007 TS TR 11.797,6 655,9 657.353,14 39.510,85 6,0 6,0 40.755,89 2.449,67 Jumlah 3 12.452,5 696.863,99 - 43.205,57 4 Tahun 2008 TS TR 12.827 808 890.835,22 52.489 6,00 6,00 60.131,8 3.546,56 Jumlah 4 13.635 943.324,22 63.678,36 5 Tahun 2009 TS TR 7.277,51 1.308,92 424.329,48 67.081,91 6,06 6,06 25.711,95 4.060,98 Jumlah 5 - 8.585,93 491.348,39 - 29.772,92 Sumber : Dinas Perkebunan Sumatera Utara, 2005-2009 Universitas Sumatera Utara Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa luas perkebunan tebu PTPN II yang ditandai dengan TS terus mengalami penurunan. Pada tahun 2008 luas perkebunan tebu PTPN II sempat mengalami kenaikan, akan tetapi pada tahun 2009 luas perkebunan tebu PTPN II mengalami penurunan yang cukup besar sebesar 5.500 Hektar. Penurunan areal perkebunan tebu ini dikarenakan adanya alih fungsi lahan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Selain itu, dari tabel juga dapat dilihat bahwa produktivitas tebu PTPN II dapat dikatakan menurun. Dari tahun 2005 – 2009, angka produktivitas menunjukkan angka sebesar 85,5 ton, 69 ton, 55,7 ton, 69,5 ton, dan 58 ton per Ha nya. Penurunan produktivitas antara lain disebabkan faktor baku teknis budidaya yang tidak pernah tercapai. Artinya, pelaksanaan budidaya dilapangan belum sesuai dengan pedoman budidaya. Faktor lain yang menonjol adalah proporsi tanaman keprasan yang cukup besar, dominasi varietas tebu lama yang telah mengalami degradasi genetik dan dikepras berulang-ulang serta sudah tidak murni lagi. Sehingga untuk kembali dapat meningkatkan produktivitasnya maka harus dilakukan program rehabilitasi tanaman yang terencana dengan menanam varietas-varietas tebu unggul. Beberapa karakteristik yang melekat pada tanaman tebu dapat menjadi pendorong dan penghambat dalam pengembangan tebu. Karakteristik tebu yang dapat menjadi pendorong antara lain : 1 tebu mempunyai fleksibilitas tinggi terhadap kondisi lingkungan sehingga dapat dibudidayakan dalam berbagai kondisi lahan, relatif rentan terhadap hama penyakit, 2 tebu memiliki pilihan yang luas dalam pengembangan produk-produknya. Sedangkan karakteristik tebu yang menjadi Universitas Sumatera Utara penghambat adalah pada pengelolaan yang lebih sulit dan biaya tebang, muat dan angkut yang lebih besar. Disamping itu perbandingan bobot tebu dengan nilai per unit bobotnya lebih rendah. Tebu bersifat cepat mudah rusak. Rendemen yang telah mencapai kemasakan optimal akan cepat menurun, sehingga jika ada hambatan pada saat penebangan maupun pengolahan mengakibatkan terjadi pengurangan kadar gula yang dihasilkan. Dinas Perkebunan Sumatera Utara, 2008. Karakteristik penghambat dalam pengembangan tebu diatas merupakan salah satu alasan terjadinya alih fungsi lahan tebu. Dan tanaman kelapa sawit merupakan tanaman pengganti tanaman tebu di PTPN II. Maraknya penanaman kelapa sawit di Indonesia dikarenakan tanaman ini merupakan bibit minyak paling produktif di dunia. Tanaman kelapa sawit yang setiap harinya membutuhkan 4 liter air untuk tumbuh dengan baik, dapat diolah menjadi sumber energi alternatif seperti biofuel. Selain itu, kelapa sawit mempunyai banyak kegunaan lain yaitu sebagai bahan kosmetik, bahan makanan seperti mentega, minyak goreng dan biskuit. Kelapa sawit juga merupakan bahan baku sabun dan deterjen. Nilai ekonomis kelapa sawit yang tinggi membuat permintaan bibit tanaman ini terus meningkat. Indonesia adalah produsen dan konsumen benih kelapa sawit terbesar di dunia dengan total konsumsi 170 juta benih dari total 280 juta bibit. Indonesia bersama Malaysia menjadi pemasok utama kebutuhan kelapa sawit dunia dengan pasokan sebesar 85 dari total kebutuhan kelapa sawit dunia. Menurut catatan greenpeace, seluas 28 juta hektar hutan Indonesia sejak tahun 1990 telah beralihfungsi menjadi kebun kelapa sawit. Universitas Sumatera Utara Permintaan akan tanaman ini, diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2030 dan tiga kali lipat pada tahun 2050 dibandingkan tahun 2000 Kompas, 2008. Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bila pada 1967 Indonesia hanya memiliki areal perkebunan kelapa sawit seluas 105.808 hektar, pada 1997 telah membengkak menjadi 2,5 juta hektar. Pertumbuhan yang pesat terjadi pada kurun waktu 1990-1997, dimana terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata 200.000 hektar setiap tahunnya, yang sebagian besar terjadi pada perkebunan swasta. Areal penanaman kelapa sawit Indonesia terkonsentrasi di lima propinsi yakni Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh. Areal penanaman terbesar terdapat di Sumatera Utara dengan sentra produksi di Labuhan Batu, Langkat, dan Simalungun dan Riau. Pada 1997, dari luas areal tanam 2,5 juta hektar, kedua propinsi ini memberikan kontribusi sebesar 44, yakni Sumatera Utara 23,24 584.746 hektar dan Riau 20,76 522.434 hektar. Sementara Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh masing- masing memberikan kontribusi 7 hingga 9,8, dan propinsi lainnya 1 hingga 5 Prasetyani dan Miranti, 2004. Universitas Sumatera Utara

1.2. Identifikasi Masalah