Pergeseran Pola Kekuasaan Rezimentasi: Suatu Studi Tentang Pengaturan Politik Hubungan Negara -Masyarakat Sipil Pada Rezim Soeharto dan Pengaturan Politik Hubungan Pusat-Daerah Pasca Rezim Soeharto

(1)

PERGESERAN POLA KEKUASAAN REZIMENTASI:

Suatu Studi Tentang Pengaturan Politik Hubungan

Negara -Masyarakat Sipil Pada Rezim Soeharto dan

Pengaturan Politik Hubungan Pusat-Daerah

Pasca Rezim Soeharto

SKRIPSI

OLEH

MARGARETH OINIKE TAMBUNAN

040906046

D E P A R T E M E N I L M U P O L I T I K

P R O G R A M S A R J A N A

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

ABSTRAK ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH ... 1

2. PERMUSAN MASALAH ... 16

3. TUJUAN PENELITIAN... ... 17

4. MANFAAT PENELITIAN ... 17

5. DASAR-DASAR TEORI ... 18

5.1 PERSPEKTIF TEORI NEGARA ... 18

5.2 TEORI TENTANG MASYARAKAT ... 23

a. Liberal Pluralis ... 23

b. Marxis ... 24

c. State Organik ... 25


(3)

5.3.1 PENGERTIAN DEMOKRASI ... 28

5.3.2 MODEL-MODEL DEMOKRASI ... 31

5.3.3 CIRI-CIRI DEMOKRASI ... 32

5.4 TEORI DAN KONSEP DESENTRALISASI ... 34

5.4.1 DESENTRALISASI DI MASA ORDE LAMA... 37

5.4.2 DESENTRALISASI DI MASA ORDE BARU ... 38

5.4.3 LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) ... 40

6. METODOLOGI PENELITIAN... 41

6.1 JENIS PENELITIAN ... 41

6.2 TEKNIK PENGUMPULAN DATA ... 42

6.3 TEKNIK ANALISA DATA ... 42

BAB II HUBUNGAN NEGARA-MASYARAKAT PADA ERA SOEHARTO DAN HUBUNGAN PUSAT-DAERAH PASCA SOEHARTO DALAM KERANGKA SISTEM POLITIK INDONESIA 1. HUBUNGAN NEGARA-MASYARAKAT PADA ERA SOEHARTO... 43

1.1 Paham Inbegralistik ... 43

1.2 Negara Pasca Kolonial ... 47

1.3 Negara Otoriter Birokratik Rente ... 50

1.4 Bureaucratic Authoritarian ... 52

1.5 Negara Birokratik Otoriter Korporatis... 54

2. HUBUNGAN PUSAT-DAERAH MENURUT UU. NO. 22 TAHUN 1999 DAN UU NO. 25 TAHUN 1999 ... 63


(4)

BAB III ANALISIS PENGATURAN POLITIK HUBUNGAN NEGARA-MASYARAKAT PADA ERA SOEHARTO DAN HUBUNGAN PUSAT-DAERAH PASCA SOEHARTO

1. HUBUNGAN NEGARA-MASYARAKAT PADA MASA KEKUASAAN

SOEHARTO ... 75

1.1 Munculnya Negara Kuat dan Peranannya Dalam Negara Berkem- bang ... 75

1.2 Teori Negara Pasca Kolonial (Structural-Historis) dan Konsep Otonomi Relative ... 79

1.3 Peran Birokrasi dan Kontribusi Pendekatan Kultural (Sosio-Historis) Terhadap Negara Kuat di Indonesia ... 82

2. HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT-PEMERINTAH DERAH PASCA SOEHARTO ... 97

2.1 Dasar-dasar Politik Otonomi Daerah ... 99

2.2 Hubungan dan Kebijakan Pusat dan Daerah ... 109

3. DIMENSI HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH DALAM OTONOMI ... 110

a. Hubungan Kewenangan ... 111

b. Hubungan Pengawasan ... 112

c. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah ... 113

d. Hubungan Pusat dan Daerah Serta Susunan Organisasi Pemerintahan di Daerah ... 116


(5)

BAB IV KESIMPULAN ... 123 DAFTAR PUSTAKA


(6)

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG MASALAH

Masa pemerintahan Soeharto telah berlalu beberapa tahun yang lalu. Dan telah digantikan dengan pemerintahan yang mengusung agenda reformasi yang selama ini banyak di sebut-sebut oleh banyak orang. Secara khusus para akedemisi dan para aktor politik yang berada di Negara Indonesia ini. “Perjuangan baru dimulai” demikianlah Indonesia berusaha membangkitkan semangatnya untuk kembali membangun negeri ini yang sempat terpuruk oleh pemerintahan yang berdiri selama lebih dari tiga puluh tahun di bawah kepemimpinan Soeharto.

Berangkat dari perubahan rezim di Indonesia, maka penulisan skripsi ini di fokuskan pada kajian penelitian pada studi tentang hubungan state- society dan hubungan pusat- daerah pasca Soeharto. Dimana pada tahun 1998, rezim kepemimpinan Soeharto mengalami kejatuhannya. Dan hubungan state-society maupun hubungan pusat-daerah telah banyak mengalami perubahan-perubahan yang dinilai positip.

Pergeseran pola kekuasaan rezimentasi pasca Soeharto dapat kita lihat dalam berbagai hal. Salah satu yang dapat kita lihat adalah beberapa perubahan penting dalam proses demokratisasi di Indonesia dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir setelah runtuhnya rezim Soeharto. Pergeseran pola kekuasaan rezimitasi merupakan suatu bukti bahwa transisi menuju demokrasi merupakan salah satu bagian dari sebuah proyek politik besar menuju Demokrasi Indonesia.


(7)

Perubahan rezim ini menggambarkan proses kejatuhan Soeharto dalam kerangka demokratisasi yang melibatkan tarik menarik kekuatan di antara para elit yang menentukan sifat dari perubahan politik tersebut. Pergeseran pola kekuasaan melibatkan aktor-aktor politik yang memiliki kemampuan menciptakan aksi-aksi yang inovatif dan bermanfaat bagi masa depan demokrasi. Dalam kata-kata O’Donnell dan Schmitter, karakteristik utama perubahan menuju demokrasi adalah keputusan dan talenta politik individual.1

Penulisan skripsi ini tentunya memiliki beberapa alasan dalam mengangkat tema yang sudah disebutkan di atas sebelumnya. Untuk itu penulis akan mencoba memaparkan deskripsi tentang pentingnya tema tersebut untuk dibahas.Rezim otoriter yang dibangun pada masa orde baru di Negara Indonesia pada saat itu memusatkan perhatiannya pada kekuasaan Negara (state-centric). Namun setelah pemerintahan itu berakhir, maka orde reformasi mulai melakukan pergeseran yang tidak hanya berkonsentrasi pada kekuasaan Negara, tapi juga pada peran masyarkat sipil atau civil society. Betapa sulitnya kita untuk membayangkan suatu Negara yang tanpa masyarakat sipil, dan demikian juga sebaliknya. Negara dan masyarakat sipil adalah dua hal yang tidak dapat

Menurut pendekatan ini, posisi strategis aktor-aktor politik tergantung pada letak dan keberadaan mereka dalam keseluruhan proses perubahan. Aktor politik yang berbasis kelas dalam hal ini tidak begitu penting kategorisasi elite berkuasa-pemimpin oposisi, faksi garis keras-garis lunak dan kelompok moderat-radikal. Pendekatan ini bersifat

state-centric karena memberikan perhatian yang besar pada kekuasaan rezim otoriter.

1


(8)

dipisahkan. Keduanya memiliki hubungan yang saling berdekatan dan saling melengkapi. Perlu di ingat pula, civil society merupakan salah satu syarat bagi terbentuknya kehidupan politik modern yang mencerminkan berfungsinya sistem Negara yang demokratis. Untuk itu, Negara harus dapat membuka dirinya kepada masyarakat. Bukan saja hanya untuk mempertahankan legitimasinya, tetapi juga melibatkan masyarakat dalam berbagai macam kebijakan yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat. Pentingnya penelitian mengenai hubungan Negara-masyarakat pada era transisi di Indonesia dapat kita lihat dalam gambar berikut :2

Gambar 1: Kerangka Analisis

Hubungan Negara-Masyarakat Pada Era Transisi

Hubungan

Dengan analisis state-civil society pada masa orde baru dapat disimpulkan bahwa civil society masih sangat lemah. Atau bisa dikatakan belum tercipta.

2

Munafrizal Manan, Gerakan Rakyat Melawan Elite, Yogyakarta: Resist Book, 2005, hal. 6.

Demokrasi Yang Terkonsolidasi

Negara Masyarakat


(9)

Negara dalam masa orde baru muncul sebagai kekuatan utama yang dominan dalam pengelolaan sosial, ekonomi, dan politik. Negara melakukan penetrasi yang dalam terhadap semua sektor kehidupan masyarakat dengan metode hubungan

patront – client, institusionalisasi sosial poltik, koorperantisme negara, dan

hegemoni ideologi. Secara teoritis, negara orde baru adalah negara organis dengan sifat pluralis dalam state. Menurut Langenberg, orde baru adalah negara sekaligus sistem negara. Negara menunjuk kepada aspek kelembagaan, sedangkan sistem negara kepada sistem jaringan eksekutif, militer, parlemen, dan birokrasi.3

Kemunculan rezim otoriter merupakan fenomena yang luas terjadi di sekitar tahun 1960an, baik itu di Amerika Latin ( Brazil ditahun 1964, Argentina ditahun 1966, Chile dan Uruguay di tahun 1973) dan di Asia Tenggara (Thailand di tahun 1957, Indonesia ditahun 1965, Malaysia ditahun 1969 dan Philipina ditahun 1972). Cukup menarik perhatian untuk dicatat bahwa setelah merebut kekuasaan, langkah-langkah baru pembangunan bergaya kapitalis gencar dilakukan oleh hampir semua rezim otoriter di atas. Semua Negara tersebut memakai cara-cara kekerasan untuk mengakhiri ketidakstabilan politik.

Untuk menguatkan kontrol negara terhadap masyarakat, digunakan beberapa ideologi : (1) Pancasila sebagai salah satu negara, (2) dwifungsi ABRI dimana ABRI mewakili negara, (3) Konsep Bhinneka Tunggal Ika dan wawasan nusantara, (4) Konsep kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan yang sejajar dengan ideologi negara.

4

Menurut O’Donnell, rezim Otoritarianisme birokratik muncul dengan memiliki sifat-sifat sebagai berikut 5

1. Pemerintah dipegang oleh militer, tidak sebagai dictator pribadi, melainkan sebagai suatu lembaga, berkolaborasi dengan teknokrat sipil

:

2. Ia didukung oleh entrepreneur oligopolistik, yang bersama Negara berkolaborasi dengan masyarakat bisnis internasional.

3. Pengambilan keputusan dalam rezim Orde Baru bersifat birokratik-teknokratik, sebagai lawan pendekatan politik dalam pembuatan kebijaksanaan yang memerlukan suatu proses bargaining yang lama diantara berbagai kelompok kepentingan.

4. Massa didemobilisasikan.

3

Michael van Langenberg, The New Orde State : Language, Ideology, Hegemony, dalam Arief Budiman, State and Civil society in Indonesia, Australia : Aristoc, 1990, hal. 122.

4

Syamsul Hadi, Strategi Pembangunan Mahatir dan Soeharto ‘Politik Industrialisasi dan

Modal Jepang di Malaysia dan Indonesia’, Jakarta: Japan Foundation, 2005, hal.9-10. 5


(10)

Di Indonesia, persaingan politik yang keras antara partai Komunis Indonesia (PKI) dan militer, khususnya Angkatan Darat, berakibat jatuhnya rezim Soekarno ditahun 1965 dan membuka jalan bagi jenderal Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan politik. Yang kemudian dikenal dengan sebutan Orde Baru, dan kebanyakan berintikan para teknokrat dan petinggi Angkatan Darat. Rezim ini memulai sepak terjangnya mengkonsentrasikan segenap upaya mereka pada pembangunan ekonomi dengan mengandalkan modal asing. Dengan dihancurkannya PKI, yang merupakan penghalang utama bagi terbentuknya kelas social dengan hak milik pribadi, pasar kapitalis, dan investasi asing dibuka.

Bangkitnya rezim otoriter dengan intervensi langsung dari kekuatan militer yang terjadi di Indonesia, menempatkan petinggi-petinggi militernya dan para teknokrat sebagai elemen penting didalam rezim. Selain itu juga rezim di Indonesia ini juga melihat modal asing sebagai mesin alternatif untuk mempercepat pembangunan ekonomi. Indonesia merepresentasikan rezim otoriter dengan militer sebagai kekuatan utamanya.

Sebagai implikasi daripada hubungan dengan model otoritarian dalam hubungan Negara dan Masyarakat dapat kita lihat dari berbagai macam hal. Dalam Negara dengan sistem otoritarian, hak-hak masyarakat di kendalikan secara penuh oleh penguasa Negara, kebebasan berbicara di batasi, organisasi-organisasi di koptasi untuk kepentingan kekuasaan,dan pers dikontrol secara ketat oleh alat penguasa (seperti militer, birokrasi, dan organisasi politik rezim). Implikasi lain yang dengan jelas dapat kita lihat pada masa kepemimpinan Soeharto adalah tidak adanya pertanggung jawaban kekuasaan dan rakyat tidak memiliki wewenang untuk membatasi kekuasaan penguasa atau pemerintah pada waktu itu. Kekuasaan yang di pegang oleh satu orang pada waktu itu di jadikan kekuatan penopang sistem pemerintahan yang otoritarian. Sangat jelas berbeda dengan konsep Negara yang demokratis, dimana kekuasaan dikendalikan


(11)

sepenuhnya oleh rakyat. Akibatnya Masyarakat pada saat itu tidak tahu-menahu apa-apa saja kegiatan pemerintah yang sedang dilakukan. Masyarakat tidak dapat terlibat langsung dalam penentuan kebijakan publik yang tujuannya untuk mensejahterakan Masyarakat.

Perkembangan politik dan budaya politik Indonesia era reformasi, yang sampai pada kenyataan bahwa reformasi yang berlangsung tidak menunjukan hadirnya efektivitas penggunaan kekuasaan, perubahan atau pembangunan politik, kecuali pada perspektif perebutan kekuasaan. Dalam fokus politik makro lebih didominasi pada hubungan antar aktor-aktor politik. Bahkan secara keseluruhan politik Indonesia masih terkonsentrasi pada kepentingan Negara dibanding pada kepentingan masyarakat atau rakyat. Begitu juga tentang kebijakan desentralisasi yang dilandasi dengan gerakan reformasi, bagi Ignas hanya memindahkan “sentralisme” politik dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah.6

Peralihan kekuasaan dari Otoritarian menuju Demokratisasi memiliki banyak penyebab. Terjadinya transisi itu disebabkan oleh krisis material atau krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis regional.Awalnya krisis itu melanda Thailand dengan merosotnya nilai tukar mata uang bath terhadap mata uang Dollar AS. Krisis itu kemudian menjalar ke Philipina, Korea Selatan dan Malaysia dan kemudian berhenti di Indonesia. Krisis ekonomi di Indonesia turut menghancurkan harapan dan optimisme para ekonomi dunia yang meramalkan Indonesia akan menjadi raksasa ekonomi di Asia. Pertumbuhan ekonomi yang

6

Ignes Kleden, “Indonesia Setelah Lima Tahun Reformasi (Mei 1998-Mei 2003)” dalam ANALISIS, Jakarta: CSIS, 2003, hal. 160-172.


(12)

tinggi pada saat itu ternyata tidak mengurangi realitas penduduk miskin yang masih mendominasi di Indonesia. Mereka tidak merasakan keadilan, pengangguran dalam jumlah besar, persoalan pelanggaran hak asasi manusia, dan lain sebagainya. Pukulan keras dari krisis ekonomi memperlemah kekuasaan Soeharto, karena basis ekonomi dipenuhi oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal itulah yang menjadi penyebab timbulnya semangat perlawanan masyarakat terhadap Soeharto beserta seluruh basis penopangnya. Dan kemudian menimbulkan perlawanan besar-besaran yang di prakarsai oleh para mahasiswa. Mereka menuntut pemerintahan Orde Baru segera dibubarkan, dan tak lama setelah itu akhirnya Indonesia mulai memasuki masa transisi menuju demokrasi.

Persoalan berikut yang disajikan penulis adalah persoalan mengenai Otonomi Daerah, sebagai suatu pengaturan politik hubungan Pusat- Daerah. Berawal dari Pasal 18 UUD 1945, yang sudah mengalami perubahan dalam sidang tahunan MPR bulan Agustus 2000.

Menurut pembahasan Bagir Manan, secara struktur, Pasal 18 (lama) sama sekali diganti baru. Yang semula hanya satu pasal menjadi tiga pasal ( Pasal 18 , Pasal 18 A, dan Pasal 18 B). Pasal –pasal baru ini memuat paradigma baru dan arah politik Pemerintahan Daerah yang baru pula. Hal-hal tersebut nampak dari prinsip-prinsip dan ketentuan berikut :

(1) Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat2). Ketentuan ini menegaskan bahwa Pemerintah Daerah adalah suatu pemerintahan otonom dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pemerintahan daerah hanya ada pemerintahan otonomi. Sedangkan Pasal 18 lama, tidak menegaskan Pemerintahan Daerah sebagai satuan pemerintahan yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan tertentu sebagai urusan rumah tangganya.

(2) Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat 5). Meskipun secara historis UUD 1945 menghendaki otonomi seluas-luasnya, tetapi karena tidak dicantumkan, maka yang terjadi adalah penyempitan otonomi daerah menuju pemerintahan sentralisasi. Untuk menegaskan kesepakatan yang telah ada pada saat penyusunan UUD 1945 dan menghindari


(13)

pengebirian otonomi menuju sentralisasi, maka sangat tepat pasal 18 yang baru menegaskan pelaksanaan otonomi seluas-luasnya. Daerah berhak mengatur dan mengurus segala urusan atau fungsi pemerintahan yang oleh Undang-Undang tidak ditentukan sebagai yang diselenggarakan pusat. Selain itu, campur tangan pusat harus dibatasi pada hal-hal yang benar-benar bertalian dengan upaya menjaga keseimbangan antara prinsip kesatuan (unity) dan perbedaan (diversity).

(3) Prinsip kekhususan dan keragaman daerah. Mengandung makna bahwa bentuk dan isi otonomi daerah tidak harus seragam. Perbedaan potensi daerah menjadi dasar menentukan bentuk dan bentuk dan isi otonomi. (4) Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya.

(5) Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Pasal 18 lama, menyebutkan : “hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Yang dimaksud bersifat istimewa adalah pemerintahan asli atau pemerintahan bumi putera.

(6) Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum (Pasal 18 ayat 3). Dengan demikian tidak ada lagi keanggotaan DPRD yang diangkat. Hal yang sama berlaku juga untuk keanggotaan DPR. (7) Prinsip hubungan Pusat dan Daerah harus dilaksanakan secara selaras dan

adil (Pasal 18 ayat 2). Bahwa daerah berhak secara wajar segala sumber daya untuk mewujudkan Pemerintahan Daerah yang mandiri dan kesejahteraan rakyat daerah yang bersangkutan.7

Salah satu hal yang menunjukkan adanya perubahan di era reformasi ini juga dapat kita lihat lewat undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Secara khusus Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 ini sudah berulang kali mengalami perubahan demi penyempurnaan. Kajian terhadap isi Undang-Undang menarik perhatian banyak pihak, serta sering kali membuka perdebatan. Sebagai contoh adalah mengenai seberapa besar Pemerintah Pusat menyerahkan kewenangannya (desentralisasi) kepada daerah otonom. Pola sentralistik pada Negara kesatuan seperti Indonesia adalah kehendak untuk menyatukan wilayah dalam satu kesatuan administrasi pemerintahan, kebijakan politik, dan ekonomi

7

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta : Pusat Studi Hukum UII, 2004, hal.11-17.


(14)

yang terpusat, dan adanya kesatuan hukum. Ada dua bentuk Negara kesatuan yaitu Negara kesatuan dengan pola sentralistik dan Negara kesatuan dengan pola desentralistik.

Menurut Hendarmin, bahwa akses pola sentralistik Negara kesatuan umumnya berasal dari cara pandang top-down yakni persepsi bahwa pemerintah pusat adalah pihak yang lebih paham untuk mengatasi permasalahan ketimbang pemerintah daerah. Daerah dilihat sebagai suatu kesatuan wilayah Negara yang sepenuhnya harus berada dalam kontrol pemerintah pusat yakni sebagai bagian dari wilayah kekuasaan pusat. Seluruh wilayah Negara kemudian dipahami sebagai bagian dari kepemilikan pemerintahan pusat. Pusat adalah subjek kekuasaan sementara pemerintah daerah di posisikan sebagai alat kekuasaan Pemerintahan Pusat. Sedangkan Negara kesatuan dengan pola desentralistik memiliki pengertian yakni memberikan otonomi luas kepada daerah adalah merupakan prinsip manajemen pemerintahan yang rasional. Melalui desentralisasi pemerataan pembangunan dan kebijakan pembangunan berbasis lingkungan menjadi lebih mungkin untuk dilaksanakan.

Berbeda dengan konsep Sentralisasi pada masa Orde Baru, di mana kekuasaan berada sepenuhnya pada Pemerintahan Pusat. Akibatnya, sering kali terjadi ketidakmerataan hasil yang diperoleh. Padahal setiap daerah memiliki potensi alam yang berbeda-beda, kultur yang berbeda, dan kondisi geografis yang berbeda pula. Berangkat dari hal-hal seperti itu, maka konsep Sentralistik tidaklah dirasa cukup untuk memajukan Negara Indonesia ini. Masyarakat semakin bergejolak menuntut pemerataan keadilan yang selama ini tidak di rasakan.


(15)

Akhirnya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 dikeluarkan, dengan maksud setiap daerah dapat memajukan daerahnya sendiri, dengan cara penyelenggaraan rumah tangga Pemerintahan sendiri. Pelaksanaan Otonomi Daerah kelihatannya sederhana. Namun sebenarnya mengandung pengertian yang cukup luas dan terasa rumit, karena di dalamnya terkandung makna pendemokrasian dan pendewasaan politik rakyat di daerah. Penyebab utama dari di berlakukannya Otonomi Derah di Indonesia sendiri adalah tuntutan rakyat terhadap pemerataan, keadilan, juga tuntutan terhadap bidang ekonomi dan politik. Kesalahpahaman sering terjadi sebelum berpindahnya konsep sentralisasi ini ke konsep desentralisasi. Pemerintah sebelum diberlakukannya Otonomi daerah. Misalnya, pemerintah menganggap pemerataan pembangunan ekonomi sudah cukup merata. Tetapi daerah memandang lain, bahwa hasil dari daerah yang ditarik kepusat jauh tidak seimbang dengan hasil yang dikembalikan kepada daerah. Potensi sumber daya alam di daerah bahkan seringkali kurang bisa dinikmati oleh masyarakat didaerah yang bersangkutan. Dan secara keseluruhan, daerah tertentu yang merasa kaya sumber daya alamnya hanya mendapatkan jatah beberapa persen saja, sedangkan sebagian besar ditarik ke pusat dan penggunaanya tidak cukup jelas. Berdasarkan teori areal division of power, dikenal adanya sistem atau model pemerintahan daerah yang menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraannya. Sistem ini membagi kekuasaan Negara secara vertikal antara Pemerintah Pusat di satu pihak, dan Pemerintah Daerah dilain pihak. Di dalam implementasinya terkandung beberapa macam format penyerahan kewenangan (desentralisasi) dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah bawahan. Pengertian


(16)

kosep Desentralisasi dan Otonomi Daerah sebenarnya mempunyai tempatnya masing-masing. Istilah otonomi lebih cenderung kepada political aspect, sedangkan desentralisasi lebih cenderung kepada administratif aspek.8

8

Bambang Yudoyono, Otonomi Daerah, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2003 hal.4.

Desentralisasi merupakan media dalam pelaksanaan hubungan antara level pemerintahan dalam lingkup suatu negara. Hubungan antar level pemerintahan ini berbeda penerapannya kepada Negara dengan sistem Liberal dibandingkan dengan Negara dengan sistem Kesatuan. Pada Negara dengan sistem Liberal, hubungan antar Pemerintahan (Pusat dan Daerah) dikenal dengan sistem terpisah. Pada sistem ini Pemerintah Pusat tidak secara ketat mengontrol urusan-urusan pemerintahan yang sudah diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah memiliki otonomi penuh yang dijamin oleh Konstitusi Negara, untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Pada sistem Liberal dikenal juga adanya urusan-urusan pemerintahan yang tetap menjadi wewenang penuh Pemerintah Pusat karena berkaitan langsung dengan kepentingan Negara. Sebagai contoh, urusan keimigrasian, moneter, pertahanan dan keamanan, peradilan, sebagian pendidikan masih ditangan Pemerintah Pusat meskipun pelaksanaannya oleh Pemerintah Negara-Negara bagian. Pada sistem Negara Kesatuan hubungan antar level pemerintahan berlangsung secara inklusif dimana otoritas Pemerintah Daerah dalam melaksanakan urusan-urusan pemerintahan tetap dibatasi oleh Pemerintah Pusat melalui suatu sistem kontrol yang berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan. Seberapa besar kewenangan yang diberikan menuju


(17)

kemandirian daerah di dalam suatu Negara Kesatuan, tergantung kepada sistem dan political will dalam memberikan keleluasaan pada Daerah.

Sedangkan yang menjadi ciri khas dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah pertama demokrasi dan demokratisasi, yaitu memberikan kewenangan sepenuhnya kepada masyarakat di daerah melalui DPRD baik di propinsi maupun di Kabupaten dan Kota. Tidak ada lagi campur tangan pemerintah pusat, siapa yang akan menjadi Gubernur, Bupati, Walikota, sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat daerah untuk menentukannya. Kemudian mengenai hal proses legalisasi terjadi perubahan yang mencolok. Semua peraturan daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi, Kabupaten, Kota tidak lagi harus diserahkan oleh Pemerintah Pusat. Kedua, mendekatkan pemerintah kepada rakyat. Pemerintah daerah diharapkan dapat melaksanakan fungsi pemerintahan umum kepada rakyat secara cepat dan tepat. Pemerintah memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat. Ketiga, sistem otonomi yang luas dan nyata. Pemerintah Daerah berwenang melakukan apa saja yang menyangkut penyelenggaraan, kecuali di bidang politik luar negeri, dan hal lainnya. Keempat, tidak menggunakan sistem otonomi bertingkat dengan tidak dikenalnya lagi adanya daerah tingkat I di Propinsi dan Daerah Tingkat II di Kabupaten dan Kotamadya. Keenam, penguatan posisi rakyat melalui DPRD. Melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 membuka peluang yang sangat besar bagi penguatan bagi masyarakat di Daerah dengan diperkuatnya DPRD. Masyarakat dapat berpartisapasi dalam penentuan kebijakan publik. Rakyat mempunyai kewenangan untuk ikut serta merencanakan dan menentukan kemana daerahnya


(18)

akan dikembangkan. Disamping itu rakyat dapat mengontrol baik kepada Eksekutif maupun kepada Legislatif atas kinerja yang dihasilkan. Dengan demikian, diharapkan Pemerintah di Daerah dapat berhati-hati dalam menjalankan roda pemerintahan di Daerah.

Melalui penyelenggaraan Otonomi Daerah, diharapkan memiliki implikasi untuk kedepannya. Implikasi tersebut tampak dalam hubungan Eksekutif-Legislatif yang baik buruknya tergantung kepada keadaan arah perkembangan masa depan dalam mewujudkan demokrasi. Dimensi yang positif dari penguatan atau pemberdayaan terhadap lembaga Legislatif Daerah yaitu DPRD akan lebih aktif didalam menangkap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, kemudian mengadopsinya dalam berbagai bentuk kebijakan publik di daerah bersama-sama Kepala Daerah. Hal itu ditegaskan dalam pemberian hak-hak yang sangat luas kepada DPRD yang juga diberi atribut “Parlementarian” dimana DPRD dapat menolak pertanggungjawaban Kepala Daerah. Namun yang perlu perhatian khusus adalah ketika efek negatif mulai muncul kepermukaan. Yaitu konflik yang berkepanjangan antara Kepala Daerah dan DPRD. Hal-hal yang dapat menimbulkan konflik adalah (1) gaya kepemimpinan Kepala Daerah sangat berbeda dengan pimpinan DPRD (2) Latar belakang kepentingan yang berbeda antara Kepala Daerah dengan pimpinan DPRD dan (3) dan latar belakang pengalaman dalam berpolitik dan penyelenggaraan pemerintahan yang sangat berbeda antara Kepala Daerah dengan pimpinan DPRD maupun anggotanya. Jika hal-hal yang negatif ini yang muncul, maka yang menjadi masalah baru dalam masyarakat adalah menurunnya pelayanan dan perlindungan masyarakat dan bisa


(19)

dipastikan akan melahirkan ketidakpercayaan rakyat terhadap jalannya Pemerintah Daerah.

Konsep Desentralisasi menurut Undang-Undang No.22 Tahun 1999 ini, merupakan dasar dalam pelaksanaan Otonomi Derah di berbagai Daerah yang tersebar diseluruh Indonesia. Kemungkinan dari implikasi yang ditimbulkan di masa mendatang sangat luas dan cukup bervariasi. Semuanya menyangkut berbagai aspek penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun perlu kita ketahui dan sadari, keberhasilan dari implementasi sistem ini bergantung dari seberapa besar kemauan dan kemampuan dari segenap komponen bangsa untuk mempertahankan dan menjaga komitmen nasional yang telah terbentuk. Perdebatan yang timbul dari perbedaan pendapat boleh berlangsung, namun komitmen dalam pelaksanaan Otonomi Daerah tidak boleh terhambat. Oleh karena itu, dalam pelaksanaanya harus terus menerus mengalami penyempurnaan demi perwujudan Otonomi Daerah yang sesungguhnya.

Dua pokok permasalahan yang telah dipaparkan penulis yaitu mengenai Hubungan State-Society dan relasi Pusat dan Daerah, memiliki beberapa hasil penelitian yang telah ada terlebih dahulu baik itu yang bersumber dari buku-buku maupun tesis-tesis. Salah satunya adalah buku-buku yang berjudul : “Gerakan Rakyat Melawan Elite” yang ditulis oleh Munafrizal Manan (Penerbit : Resist Book, yogyakarta, 2005). Buku ini menjelaskan tentang tumbangnya Soeharto yang telah banyak membawa dampak terhadap hubungan Negara dengan masyarakat pada era transisi di Indonesia. Posisi Negara yang sangat kuat pada masa Orde Baru tidak lagi dapat dipertahankan pada era transisi di


(20)

Indonesia. Pada era transisi, Negara tidak tampak lagi terus mempertahankan dominasi dan hegemoninya terhadap masyarakat. Sebaliknya, yang terjadi adalah relative menguatnya posisi masyarakat terhadap Negara. Posisi masyarakat yang kuat itu tercermin dari keberanian mereka melakukan resistensi dan kontrol yang gencar terhadap Negara.

Dalam bukunya Munafrizal Manan dikatakan, “sejak era transisi dibuka, keberanian rakyat melancarkan resistensi dan kontrol terhadap Negara meningkat sangat mengesankan sekaligus secara kuantitatif dan kualitatif. Arus resistensi dan kontrol rakyat yang menciptakan situasi di mana Negara tidak mampu menegakkan hokum terhadap aksi-aksi resistensi rakyat yang telah melanggar hokum. Situasi ini memaksa Negara mengambil sikap akomodatif atau gerakan rakyat tersebut.”9

Dimasa Orde Lama dan Orde Baru tidak ada keseimbangan antara perbedaan dan kesatuan. Yang ada adalah serba kesatuan. Setiap perbedaan dianggap ancaman yang membahayakan. Akibatnya, pemerintahan senantiasa atau selalu lebih cenderung diselenggarakan menuju atau dalam serba sentralisasi. Bahkan sentralisasi yang otoritarian , melampaui sentralisasi demokratis. Otonomi adalah ancaman, karena itu tidak boleh dilaksanakan sebagaimana mestinya. Reformasi telah menggeser ayunan bandul ke arah otonomi seperti diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999, termasuk pula perubahan pasal 18 UUD 1945 menjadi pasal baru. Dalam praktik, ada tanda-tanda ayunan bandul itu tidak sekedar mencari keseimbangan melainkan memindahkan imbangan untuk menjadi serba daerah, serba otonomi. Otonomi adalah instrumen pengimbang dan penyeimbang dan menyeimbangkan kecenderungan memusat dan mendaerah. Hanya dengan demikan, otonomi akan menjadi instrumen kesejahteraan dan ketentraman bagi seluruh kehidupan bermasyarakat, berbangasa dan bernegara.

Buku berikutnya yang menjadi bahan acuan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah “Menyongsong Fajar Otonomi Daerah” yang di tulis oleh Prof.Dr. Bagir Manan,S.H.,M.CL dengan penerbit Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII Yogyakarta, tahun 2004. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari berbagai macam-macam forum diskusi mengenai pemerintahan daerah atau otonomi. Berikut merupakan inti dari isi buku yang dipaparkan :

10

9

Munafrizal Manan, Ibid, hal. 228.

10


(21)

2. PERUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicarikan jalan pemecahannya. Perumusan masalah merupakan perjabaran dari identifikasi masalah dan pembatasan.11 Atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti didasarkan atas identifikasi masalah dan pembatasan masalah. Perumusan masalah yang baik berarti telah menjawab setengah masalah dalam penelitian.12

1. Bagaimana hubungan state-society pada masa kekuasaan Soeharto?

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah diatas, maka dalam penelitian ini, penulis merumuskan masalah dalam penelitiannya sebagai berikut :

2. Bagaiman hubungan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah pada pasca Soeharto?

3. Bagaimana analisis pengaturan politik hubungan Negara-Masyarakat dengan pengaturan politik hubungan Pusat dan Daerah?

11

Husani Usman, dan Purnomo, Metodologi Penelitian Sosial, Bandung : Bumi Aksara, 2004. hal.26.

12


(22)

3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan peneitian adalah pernyataan mengenai apa yng hendak kita capai.13

1. Mendeskripsikan hubungan state-society pada masa Soeharto dan pasca Soeharto.

Tujuan penelitian dicantumkan dengan maksud agar pihak lain yang membaca laporan penelitian dapat mengetahui dengan pasti apa tujuan penelitian sesungguhnya. Adapun yang menjadi tujuan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

2. Untuk mengetahui sejauh mana hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah pada masa Soeharto dan pasca Soeharto.

3. Untuk menganalisis pengaturan politik hubungan Negara-Masyarakat dan pengaturan politik hubungan Pusat dan Daerah.

4. MANFAAT PENELITIAN

Setiap penelitian yang dilakukan, diharapkan mempunyai manfaat. Baik itu manfaat untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Penelitian ini bermanfaat bagi penulis dalam rangka melatih diri dalam membuat suatu karya tulis, sekaligus memperdalam pengetahuan penulis terkait dengan judul yang diteliti. Melalui penelitian ini juga, penulis membiasakan diri dalam membaca suatu karya tulis serta berpikir lebih kritis terhadap suatu konteks masalah yang ada.

13


(23)

2. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat terhadap pengembangan teori-teori politik yang ada. Seperti Pemerintahan Politik Lokal, Pembangunan dan Perubahan Politik Indonesia, Analisa Kekuatan Politik, Metode Penelitian Ilmu Politik, dan teori politik lainnya yang berhubungan dengan cakupan masalah penelitian ini.

3. Melalui penulisan penelitian ini, kiranya juga dapat bermanfaat terhadap kemajuan dan perkembangan kinerja institusi pemerintahan yang terkait, seperti misalnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun DPR yang berusaha menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebaik mungkin

5. DASAR-DASAR TEORI

5.1 PERSPEKTIF TEORI NEGARA

Negara (state) merupakan integrasi dari sebuah kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dala masyarakat dan menertibkan gejala-gejala dalam masyarakat. Negara adalah organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaanya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara menggambarkan adanya satu struktur kekuasaan yang memonopoli pengguanaan paksaan fisik yang sah terhadap kelompok masyarakat yang tinggal dalam wilayah yang jelas batas-batasnya. Jadi, dapat dikatakan Negara merupakan


(24)

pengelompokan masyarakat atas dasar kesamaan struktur kekuasaan yang memerintahnya. Negara mempunyai dua tugas yaitu :

1. mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonisme yang membahayakan.

2. mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan kearah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya.

Negara (Roger H. Soltau), adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat. Negara (Harold J. Laski), adalah suatu masyarakat yang di integrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Negara (Max Weber), adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah. Negara (Robert M.Mac Iver), adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban didalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa.14

Pandangan tersebut pada hakekatnya adalah pengakuan warga atas kekuatan dan kekuasaan Negara yang harus diterima sebagai sebuah keniscayaan. Atas pengakuan dan/atau kenyataan bahwa Negara memiliki kekuasaan dan

14

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,2003,hal.39.


(25)

kekuatan hampir mutlak untuk memaksakan kehendak telah memunculkan pergulatan pemikiran yang terus berlangsung hingga kini yang pada intinya adalah bagaimana warga harus menerima konsekuensi kekuasaan sekaligus bagaimana kekuasaan itu harus dikendalikan untuk tidak dijadikan sewenang-wenang. Salah satu fungsi terpenting dalam ilmu Negara dan ilmu Politik adalah mengupas, membuka dan mengurai masalah yang berkait dan bersangkutpaut dengan kekuatan dan kekuasaan Negara, antara penguasa dan rakyatnya.15

Negara (L.J Van Apeeldoorn) dalam bukunya Incleiding tot de Studdie van

het Nederlandse Recht menyatakan Negara dapat diartikan “penguasa”, untuk

menyatakan orang-orang yang melakukan kekuasaan tertinggi atas persekutuan rakyat yang bertempat tinggal dalam suatu daerah. Negara yang terkadang memiliki “persekutuan rakyat” yakni untuk menyatakan sesuatu bangsa yang hidup dalam suatu daerah, dibawah kekuasaan yang tertinggi menurut kaedah-kaedah hukum yang sama. Dalam arti lain Negara mengandung arti “sesuatu wilayah tertentu”, dalam hal ini istilah Negara dipakai untuk menyatakan sesuatu daerah didalamnya diam suatu bangsa dibawah kekuasaan tertinggi.16

Hans kelsen juga menyatakan bahwa Negara itu adalah merupakan

persekutuan susunan zwangsording, yakni yang dipertahankan oleh paksaan yang mengandung hak pemrintah dan terdapat kewajiban manusia untuk seharusnya

15

Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung : FokusMedia,2007, hal.25.

16

Muhammad Budairi, Masyaarakat Sipil dan Demokrasi, Yogyakarta: E-Law Indonesia, 2002, hal. 122.


(26)

menaati perintahnya itu. Maka Negara itu sama atau identik dengan hukum, sebab ketertiban Negara merupakan personifikasi dari ketertiban hukum.17

Epicurus memberi pengertian dari Negara, yaitu Negara terbentuk

disebabkan terdorong oleh karena adanya kepentingan sebagai unsur-unsur perseorangan, dan dari situ jelaslah bahwa tujuan dari Negara hanyalah menjaga tata tertib dan keamanan dalam masyarakat, dengan tidak memperdulikan macam dan bagaimana Negara itu. Pemikiran Epicurus ini seyoganya mengilhami segala bentuk kebijakan penguasa. Realitas yang kita hadapi adalah bagaimana liciknya penguasa mengatasnamakan demi Negara atau atas dasar Negara, telah memeras atau mengobrak-abrik rakyatnya sendiri.18

Ramlan Surbakti, menyimpulkan bahwa arus utama pemikiran tentang

konsep negara terbagi dalam dua tataran, yaitu individual dan kelembagaan. Negara pada tataran individual adalah sekumpulan individu yang memiliki sejumlah kewenangan termasuk menyusun dan melaksanakan keputusan/kebijakan semua pihak di wilayah tertentu. Sementara negara dalam arti tataran kelembagaan seperangkat organanisasi administratif, kepolisian dan militer. Masing-masing organisasi dipimpin, dikelola dan dikoordinasi oleh pihak eksekutif. Termasuk dalam organisasi itu adalah membuat kebijakan yang mewakili kepentingan masyarakat seperti parlemen, partai politik, dan organisasi korperatis serta lembaga-lembaga kemasyarakatan yang dimobilisasi untuk menjalankan kebijakan serta menjaga kepentingan dan kekuasaan negara.19

17

Muhammad Budairi, Ibid, hal.123.

18

Muhammad Budairi, Ibid, hal.123.

19

Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society, Jakarta : LP3ES, 2006, hal. 20.


(27)

Didalam buku yang berjudul : “Rekonstruksi Civil Society”, Antonio Gramsci, Nicos Poulantzas, dan Ralph Miliband yang tidak hanya melihat negara dalam konteks aparat negara, tetapi juga organisasi-organisasi sosial yang berada diluar negara. Menurut Gramsci, negara tidak hanya mencampur unsur-unsur lembaga pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) serta aparat pertahanan dan keamanan (militer dan kepolisian), tetapi juga lembaga-lembaga non pemerintah atau organisasi sosial politik, ekonomi, dan kultural yang bisa menjadi sarana hegemoni. Menurut Poulantzas, negara merupakan tempat berlangsungnya pergulatan politik antar kelas, termasuk antar pejabat pemerintah. Disamping itu negara juga merupakan institusi kekuasaan yang mencerminkan relasi sosial sangat kompleks. Negara adalah institusi kekuasaan relatif mandiri, baik dalam menjalankan kebijakan maupun ketika mengamankan segala kepentingannya terhadap tuntutan masyarakat20

Ada beberapa filosof yang melihat keberadaan Negara dengan kekuasaan yang dimilikinya sangat bermanfaat bagi keberlangsungan suatu bangsa. Mereka mengatakan bahwa kekuasaan Negara merupakan teori Negara yang menyatakan bahwa kekuasaan Negara harus mutlak. Negara adalah lembaga yang kedudukannya berada diatas rakyatnya. Ia memegang peranan mutlak dalam menentukan apa yang baik dan seharusnya bagi rakyatnya. Pemikiran ini pertama kali dikemukakan secara sistematis oleh pemikir besar Yunani Kuno yaitu Plato yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Aristoteles. Bagi Plato dan Aristoteles kekuasaan yang besar bagi Negara merupakan hal yang sepatutnya. Individu akan menjadi liar dan tak terkendali bila Negara tidak memiliki kekuasaan yang besar. Sementara itu pada Abad ke-16, dasar pemikiran kekuasaan raja-raja yang mutlak mengalami pergeseran kembali dari yang bersifat Illaniah menjadi bersifat duniawi kembali. Dasar pemikiran ini dikemukakan oleh Grotius (Hugo de Groot) dan Thomas Hobbes. Inti gagasan ini menurut Grotius adalah Negara terjadi

20

Lihat : dalam Ramlan Surbakti, “Perspektif Kelembagaan Baru Mengenai Hubungan


(28)

karena adanya suatu persetujuan, karena tanpa Negara orang tidak dapat menyelamatkan dirinya dengan cukup. Dari persetujuan inilah lahir pemerintah.

Thomas Hobbes sendiri menggambarkan Negara itu sebagai Leviathan. Negara yang tidak boleh sekedar diartikan sebagai pemerintahan (eksekutif) karena dalam Negara terletak segala bentuk kekuatan dan kekuasaan baik formal(yang diatur dalam aturan tertulis) ataupun yang tidak formal (yang tidak diatur dalam aturan tertulis seperti aturan adapt, tradisi, kebiasaan, dll) yang termanisfestasikan dalam bentuk hubungan timbal balik antara yang memerintah (yang memiliki kekuasaan dan kekuatan memaksa, yang sering disebut “penguasa”) dengan yang diperintah atau rakyat.21

Perspektif tentang state- civil society bukanlah hal yang baru dan konsepnyapun berbeda negara yang satu dengan Negara yang lain. Karena perbedaan stuktur sosial, ekonomi, politik masing-masing Negara. Di Eropa, zaman pencerahan bagi wanita dalam hal pemberian suara adalah memasuki abad 20 setelah revolusi industri maka persamaan hak bagi setiap warga Negara di Eropa diakaui. Post industrial society menandakan pengaruh Negara semakin berkurang sehingga muncul sentra-sentra industri. Sehingga hasil-hasil reproduksi implikasinya bagi politik adalah perluasan wilayah sehingga bangsa Eropa 5.2 TEORI TENTANG MASYARAKAT

21

Thomas Hobbes, Leviathan (1965), dalam menggambarkan Negara sebagai makhluk / binatang laut yang sangat besar dan menakutkan, yang siap menerkam warga. Lihat : Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1999, hal. 200.


(29)

melakukan ekspansi kenegara lain. Berikut merupakan hal-hal yang dapat kita perhatikan dalam melihat keberadaan hubungan antara state-civil society.22

1. Fungsi perlindungan kekerasan seseorang dan yang lainnya dan serangan dari luar sebagai warga Negara.

a. Liberal Pluralis

Menekankan pada individu dimana Negara merupakan kumpulan dari kelompok kelompok dan kumpulan dari individu yang mana individu itu mempunyai kepentingan, dan kepentingan itulah yang utama. Dalam berinteraksi, mereka mempunyai betas-batas toleransi, dimana kebutuhan-kebutuhan mereka yang tidak dapat dan dapat dipenuhi. Individu berinteraksi sebatas mana memberi keuntungan bagi dirinya sehingga muncul prinsip “Pareto Optimal”. Dalam hal ini yang mempunyai fungsi :

2. Fungsi Perlindungan dimana individu jangan sampai diperlakukan tidak adil. 3. Negara mewajibkan menyelenggarakan hokum/lembaga pemerintahan

sehingga fungsi administrative berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga tidak terjadi kerusuhan.

Inti dari Liberal-Pluralis adalah mekanisme pasar, keterbukaan, jaminan keadilan dan kompetisi.

b. Marxis

Kalangan Marxis menolak liberal-pluralis yang paling fundamental adalah berkaitan dengan struktur ekonomi- masyarakat dan pola pemasaran alat-alat

22

Affan Gaffar, Politik Indonesia , Transisi Menuju demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hal. 177.


(30)

produksi. Jadi, setiap produksi menentukan interaksi dalam masyarakat. Menentukan pola atau kondisi ekonomi-masyarakat dan intelektual. Marx juga melihat pertentangan yang tidak ada habis-habisnya antara kelompok-kelompok penguasa dengan yang dikuasai dalam hal pembagian factor-faktor produksi. Dalam hal ini Negara adalah instrument bagi kelompok yang berkuasa untuk menekan kalangan yang dikuasai. Pemerintah merupakan komite yang mengelola kepentingan masyarakat banyak yang sebenarnya mementingkan masyarakat borjuasi dan hal ini berlangsung terus sampai kaum proletar menghancurkan kapitalis itu.

c. State Organik

State Organik berkembang menjadi liberalian peninsulen (peranan agama Katolik sangat besar). Hegemonik Negara dalam state-organik sangat besar atau sangat menonjol, sehingga tidak ada rotasi kekuasaan. State organic juga menguasai pasar dan ekonomi.

Manusia mempunyai naluri (instinct) untuk hidup berkawan dan hidup bersama dengan orang lain secara gotong royong. Setiap manusia mempunyai kebutuhan fisik maupun mental yang sukar dipenuhinya seorang diri. Ia perlu makan, minum, berkeluarga dan bergerak secara aman. Defenisi mengenai masyarakat ada bermacam-macam, bergantung kepada sudut pandangan masing-masing sarjana sosial. Menurut Robert Maciver: “masyarakat adalah suatu sistem hubungan-hubungan yang ditertibkan” (society means a sistem of orderd


(31)

relations).23 Dan menurut perumusan Harold J. Laski dari London School Economics and Political Science maka masyarakat adalah “sekelompok manusia yang hidup bersamaan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Dari dua defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat mencakup semua hubungan dan kelompok dalam suatu wilayah.24

Dalam bukunya Munafrizal Manan, “Gerakan Rakyat Melawan Elite”; “Menurut definisi Sosiologi”, masyarakat merujuk pada kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dalam waktu yang cukup lama dan mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan dalam suatu sistem hidup bersama. Dalam politik, masyarakat sering dipahami secara lebih spesifik, yaitu apa yang disebut dengan civil society. Dalam tradisi Eropa abad 18, makna civil society dianggap sama dengan pengertian Negara. Hobbes dan Locke, mengartikan civil society sebagai tahapan evolusi dari natural society, sehingga civil society sama dengan Negara. Hobbes melihatnya sebagai peredam konflik antar individu dalam masyarakat supaya tidak saling menghancurkan. Sementara Locke bertolak dari pemahaman kebebasan individu dan jaminan perlindungan hak milik pribadi.25

23

Robert Maciver, dalam : The Web of Government, new York : The Mac Millan Company, 1961, hal. 22.

24

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,2003, hal.33-34.

25

Munafrizal Manan, Gerakan Rakyat Melawan Elite, Yogyakarta : Resist Book, 2005, hal.25.

Konsep masyarakat yang telah dikemukakan para ahli diatas merupakan defenisi yang melihat kecenderungan kearah sosiologis. Sementara itu, dalam dunia politik, konsep masyarakat lebih dikenal lagi dengan istilah civil society. Atau yang lazim disebut sebagai masyarakat sipil. Masyarakat sipil senantiasa dihubungkan dengan kekuasaan Negara. Dengan kata lain, masyarakat sipil mempunyai keterkaitan yang erat dengan Negara. Masyarakat sipil merupakan penyeimbang kekuasaan Negara. Seperti yang dapat kita lihat dari beberapa pengertian mengenai civil society yang dikemukakan oleh para ahli berikut


(32)

Ferguson memaknai Masyarakat yang sering dipahami dalam politik sebagai sebutan civil society. Berikut ini merupakan kutipan mengenai pandangan Ferguson terhadap civil society. Dalam bukunya An Essay on the History of Civil

society (1767), Ferguson memaknai civil society sebagai “suatu masyarakat yang

terdiri dari lembaga-lembaga otonom yang cukup kuat mengimbangi kekuasaan Negara, sehingga terhindar dari dominasi dan despotisme Negara”. Dalam pengertian Ferguson, civil society adalah masyarakat yang “polity”, fase akhir dari “savage” ke “barbarian”, menuju ke “commercial” dan “polite”.26

Cohen dan Arato (Civil Society and Political Theory,1992), teori tentang civil society hanya dapat dipahami dalam konteks interaksi antara Negara, ekonomi, dan individu warga Negara. Tiga komponen tersebut terus menerus berada dalam situasi hubungan interaktif dengan berbagai ketegangan yang mewarnai dinamika kehidupan masyarakat modern. Negara sebagai sebuah instrument politik kekuasaan tidak seyogyanya mendominasi kehidupan ekonomi dan kebebasan individual warga Negara. Ketiga hal itu bisa menjadi acuan untuk menilai perkembangan dari civil society.

Sebagaimana yang diungkapkan Ferguson sebelumnya, yang memaknai

civil society sebagai lembaga yang dapat mengimbangi kekuasaan Negara agar

terhindar dari despotisme Negara maka Cohen dan Arato melihat civil society tidak saja sebagai suatu lembaga otonom namun juga melihat adanya suatu interaksi anatara Negara dan Masyarakat.

27

Negara dan civil society sudah saling mendekat sehingga hubungan antara keduanya cenderung saling melengkapi. Pada saat ini perkembangan dari civil society tidak dapat lagi dipisahkan dari kehidupan politik modern. Berbeda

26

Munafrizal Manan, ibid, hal. 15.

27

Munafrizal Manan, ibid, hal. 17, lihat juga : Abdul Gafar Rarim, Negara dan Civil

Society : Elaborasi Terminologis, Yogyakarta : Dikat Kuliah Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL


(33)

dengan makna civil society pada abad ke-18 yang menempatkan civil society dibawah proteksi Negara agar tidak secara total tunduk pada kekuasaan politik. Proteksi Negara itu dapat berupa penyediaan ruang-ruang publik bagi masyarakat untuk mengespresikan pandangan dan kepentingannya tanpa harus mengganggu otoritas Negara sedangkan Manfred Henningsen, memiliki penilaian sendiri terhadap kehadiran civil society dalam sebuah negara. Berikut merupakan kutipan dari Manfred Henningsen :

Civil society sesungguhnya merupakan syarat bagi kehidupan politik modern yang kehadirannya akan mencerminkan berfungsinya sebuah sistem Negara yang demokratis. Kehadiran civil society akan menyemarakkan ruang publik, melalui Negara dapat menyerap berbagai artikulasi kepentingan yang secara objektif hidup dalam masyarakat. Negara tidak lagi mampu mengisolasi diri dari masyarakatnya, kalau tidak semakin tergantung pada mereka, bukan saja dalam konteks membangun dan mempertahankan legitimasi, tetapi juga dalam membuat belbagai kebijakan yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat. Sistem demokrasi yang sehat memang seharusnya terus-menerus menjaga kualitas hubungan yang harmonis serta produktif antara Negara dan civil

society.28

5.3 DEMOKRASI

5.3.1. PENGERTIAN DEMOKRASI

Demokrasi bukanlah suatu hal yang baru lagi pada masa sekarang ini. Bahkan setiap orang mengaku sebagai seorang demokrat. Demokrasi memberikan pancaran legitimasi pada kehidupan modern: hukum, undang-undang dan politik kelihatan absah ketika semua itu bersifat “demokratis”. Namun dalam kenyataanya tidaklah selalu demikian. Mayoritas para pemikir politik dari Yunani Kuno sampai masa sekarang ini/dewasa ini sangat kritis terhadap teori dan praktik demokrasi dalam berdirinya sebuah negara. Suatu komitmen yang menyebar luas

28

Lihat : Muhammad A.S. Hikam, Islam Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil


(34)

terhadap demokrasi merupakan fenomena belakangan ini. Selain itu, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang sangat sulit untuk di ciptakan dan di pertahankan.

Secara leksikal, demokrasi berasal dari kata Yunani yakni “demos” yang berarti rakyat dan “kratos” yang berarti wewenang atau memerintah. Secara sederhana demokrasi dapat di defenisikan sebagai kewenangan rakyat untuk memerintah. Demokrasi modern spesifikasi yang luar biasa terhadap sistem pemerintahan. Untuk membentuk sebuah pemerintahan yang demokratis di perlukan institusionalisasi nilai demokrasi yang substansial menjadi nilai-nilai yang terlembagakan inilah yang oleh pakar politik disebut sebagai demokrasi prosedural, karena ia mengatur dengan jelas bagaimana nilai-nilai demokrasi itu bisa berfungsi dalam sistem politik modern. Pada abad 19, pengertian demokrasi baru mengalami perluasan lagi mengikuti tradisi pemikiran Schumpeterian, dimana demokrasi di maknai sebagai proses pengambilan keputusan kolektif yang penuh melalui Pemilu yang bebas, jujur dan adil guna memilih kandidat yang berhak memegang jabatan politis. Sehingga, demokrasi dalam pengertian ini meliputi dua dimensi yaitu : Menyangkut kontestan, semua kontestan yang terlibat di dalam proses demokrasi (Pemilu) memiliki kesempatan untuk menarik dukungan dari orang lain dan menaati aturan bersama yang telah disepakati.

kedua,Sebagai partisipasi untuk mengukur sejauh mana keterlibatan warga Negara


(35)

dalam suatu proses politik. Untuk mengukur tingkat partisipasi warga Negara dalam suatu proses politik, instrument utama yang digunakan adalah Pemilu.29

Selanjutnya masih dalam pengertian demokrasi yang dimaknai oleh Robert A. Dahl yang menyebutkan bahwa demokrasi adalah adanya hak yang sama dan tidak dibedakan antara rakyat yang satu dengan rakyat yang lainnya. Hak tersebut diatur dalam undang-undang dan peraturan-peraturan yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterima semua pihak (legitimate). Kemudian Dahl menyatakan bahwa demokrasi juga harus ditunjukkan dengan adanya partisipasi efektif yang menunjukkan adanya proses dan kesempatan yang sama bagi rakyat untuk mengekspresikan preferensinya dalam keputusan-keputusan yang diambil. Untuk itu harus ada ruang yang memperkenankan publik untuk mengespresikan kehendak-kehendaknya. Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa demokrasi juga harus memberikan ruang dan waktu mengenai adanya “kemegertian yang tercerahkan” yang menunjukkan bahwa rakyat mengerti dan paham terhadap keputusan-keputusan yang diambil Negara, tidak terkecuali birokrasi. Kemengertian tersebut menunjukkan pada adanya efektifitas peran pemerintah dalam mensosialisasikan keputusan-keputusannya, dan dalam memberikan kesempatan yang sama kepada rakyat untuk mengkritisinya. Artinya, rakyat umumnya dapat menerima keputusan pemerintah sebagai keputusan yang paling adil.30

Pengertian yang dikemukakan oleh Robert A. Dahl memliki perbedaan cara pandang dalam memaknai demokrasi. Maurice Duverger sendiri tidak hanya

29

Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi, Yogyakarta : Pondok Edukasi, 2004, hal.13.

30

Muhamad Budairi, Masyarakat Sipil dan Demokrasi, Yogyakarta : E-Law Indonesia,2002, hal 49.


(36)

melihat demokrasi itu dari ruang dan waktu untuk mengekspresikan partisipasi rakyat. Namun lebih jelas lagi Maurice menjelaskan demokrasi sebagai berikut :

Maurice Duverger seorang sarjana Prancis mengemukakan dalam bukunya

yang berjudul Les Regimes Politiques, demokrasi ialah cara memerintah dimana golongan yang memerintah dan golongan yang diperintah adalah sama dan tidak terpisah-pisah. Artinya suatu sistem pemerintahan Negara dimana dalam pokoknya semua orang berhak sama untuk memerintah dan juga untuk diperintah.31

31

Muhammad Budairi, Ibid, hal 13.

Demokrasi adalah sistem pemerintahan Negara yang berkedaulatan rakyat, artinya kedaulatan berada ditangan rakyat, atau kehendak rakyat merupakan factor yang menentukan dalam sistem pemerintahan Negara, yang mana di Indonesia kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Montesqiue telah mengemukakan ajaran tentang pemisahan kekuasaan, yang kemudian terkenal dengan nama Trias Politika, dan ajaran inilah yang kemudian menentukan tipe demokrasi modern. Selain itu JJ.Rosseau mengemukakan ajaran mengenai kedaulatan rakyat, yang justru tidak dapat dipisahkan dengan demokrasi.

5.3.2 MODEL-MODEL DEMOKRASI

Dalam wacana yang dikemukakan oleh David Held, demokrasi didasarkan atas beberapa model sebagai berikut :

a. Demokrasi Langsung, atau demokrasi partisipasi. Yaitu sistem pengambilan keputusan mengenai masalah-masalah publik dimana warga Negara terlibat secara langsung di dalamnya. Ini merupakan tipe demokrasi “asli” yang terdapat di Athena kuno, di antara tempat-tempat lain.


(37)

b. Demokrasi Liberal, atau demokrasi Perwakilan. Suatu sistem pemerintahan yang mencakup pejabat-pejabat terpilih yang melaksanakan tugas “mewakili” kepentingan-kepentingan atau pandangan-pandangan dari pada warga Negara dalam daerah-daerah yang terbatas sambil tetap menjunjung tinggi aturan hukum.

c. Demokrasi yang didasarkan atas model satu partai. Hingga kini,Uni Soviet, masyarakat Eropa Timur dan banyak Negara sedang berkembang menganut konsepsi ini.32

Sejalan dengan defenisi demokrasi yang dikemukakan oleh Robert Dahl, ia menyebutkan bahwa yang menjadi ciri khas demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah secara terus-menerus terhadap preferensi atau keinginan masyarakatnya. Tatanan politik seperti itu bisa digambarkan dengan memakai dua dimensi teoritik, yaitu: 1) seberapa tinggi tingkat kontestasi, kompetisi atau oposisi yang dimungkinkan,2) seberapa banyak warga negara yang memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi politik itu.33

32

David Held, Demokrasi dan Tatanan Global,Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2004, hal.5-6.

33

Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia, Surabaya: SIC, 2002, hal.160.

5.3.3 CIRI-CIRI DEMOKRASI

Demokrasi ditandai dengan adanya ciri-ciri pembatasan-pembatasan terhadap tindakan Pemerintah untuk memberikan perlindungan individu dan kelompok baik dari penyelenggaraan pergantian pimpinan secara berkala, tertib, damai melalui badan perwakilan rakyat sebagaimana yang dikutip dalam wacana Arifin Rahman


(38)

Menurut Arifin Rahman dalam bukunya “Sistem Politik Indonesia”, “demokrasi ditandai oleh ciri-ciri adanya pembatasan-pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok, baik dalam penyelenggaraan pergantian pemimpin secara berkala, tertib dan damai dan melalui alat-alat perwakilan rakyat. Kemudian yang menjadi ciri lainnya adalah bahwa prasarana pendapat umum baik pers,tv, radio, harus diberi kesempatan untuk mencari berita secara bebas dalam merumuskan pendapat mereka. Karena kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, berserikat, berkumpul, merupakan hak-hak politik dan sipil yang sangat mendasar. Ciri lainnya ditandai dengan sikap menghargai hak-hak minoritas dan perseorangan, lebih mengutamakan musyawarah daripada paksaan dalam menyelesaikan perselisihan, sikap menerima legitimasi dari sistem pemerintahan”.34

a. legitimasi pemerintah didasarkan pada klaim bahwa pemerintah tersebut mewakli keinginan rakyatnya, artinya klaim pemerintah untuk patuh pada aturan hukum didasarkan pada penekanan pada apa yang dilakukan merupakan kehendak rakyat.

Lalu sebagaimana yang telah diungkapkan Arifin tentang adanya pembatasan terhadap pemerintah untuk melindungi rakyat, maka ciri-ciri demokrasi menurut Bingham Powel adalah sebagai berikut :

b. Pengaturan yang mengorganisasikan perundingan (bargaining) untuk memperoleh legitimasi dilaksanakan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Pemilihan dipilih dengan interval yang teratur, dan pemilih dapat memilih diantara beberapa alternaif calon. Dalam prakteknya, paling tidak terdapat dua partai politik yang mempunyai kesempatan untuk menang sehingga pilihan tersebut benar-benar bermakna.

c. Sebagian besar orang dewasa dapat ikut serta dalam proses pemilihan, baik sabagai pemilih maupun sebagai calon untuk menduduki jabatan penting. d. penduduk memilih secara rahasia dan tanpa dipaksa.

34


(39)

e. masyarakat dan pemimpin menikmati hak-hak dasar, seperti kebebasan berbicara, berkumpul, dan berorganisasi dan kebebasan pers. Baik partai politik yang lama maupun yang baru dapat berusaha memperoleh dukungan.35

5.4 TEORI DAN KONSEP DESENTRALISASI

Otonomi bila kita tinjau dari segi etimologisnya berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni kata “auto” yang berarti sendiri dan “nomos” yang berarti undang-undang atau peraturan.36 Selanjutnya istilah ini berkembang menjadi terminologi “pemerintahan sendiri” atau mengatur dengan undang-undang sendiri. Lalu beberapa ahli mencoba menarik sebuah defenisi otonomi yang diartikan sebagai “pemberian hak dan kekuasaan perundang-undangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri kepada instansi, perusahaan daerah atau kebebasan atas kemandirian, bukan kemerdekaan.37

Sementara istilah “daerah” itu sendiri memiliki arti yang cukup luas yakni sebagai : “bagian dari permukaan bumid alam kaitannya dengan keadaan alam dan sebagainya yang khusus, lingkungan pemerintahan, wilayah, selingkungan kawasan, tempat-tempat sekeliling atau yang termasuk dalam lingkungan suatu kota (wilayah dan sebagainya);tempat-tempat dalam suatu lingkungan yang sama

35

Arifin Rahman, Ibid, hal.162.

36

Setyawan Dharma, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai, dan Sumber

Daya, Djambatan, hal.88. 37


(40)

keadaannya (iklimnya, hasilnya, dan sebagainya); tempat-tempat yang terkena peristiwa yang sama; bagian permukaan tubuh”.38

Dengan demikian otonomi daerah secara istilah dapat dapat dirumuskan sebagai sebuah kondisi dimana kewenangan daerah dijunjung tinggi dan mendapat tempat yang strategis dalam arti pemerintah daerah sama sekali tidak mengalami proses intervensi yang dapat mengganggu kewenangannya tersebut dan untuk mengatur wilayahnyan dalam lingkup kewengan itu. Sementara itu mengacu pada undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah disebutkan

Lalu keterkaitan antara kedua kata tersebut yakni otonomi dan daerah adalah merupakan dua buah kata yang sering dipakai secara bersamaan. Ini disebabkan karena menurut Sumitro Maskun : “pengertian otonomi dalam ligkup suatu negara selalu dikaitkan dengan daerah atau pemerintahan daerah (local

government) . Otonomi dalam pengertian ini, selain berarti mengalihkan

kewenangan dari pusat (central government) kedaerah, juga berarti menghargai atau mengefektifkan daerah kewenangan asli yang sejak semula tumbuh dan hidup didaerah untuk melengkapi sistem prosedur pemerintahan Negara didaerah. Dilain sisi, pengertian desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya mempunyai temaptnya masing-masing. Istilah otonomi lebih cenderung pada political aspect, sedangkan desentralisasi lebih cenderung kepada administrative aspect. Jika berbicara mengenai otonomi daerah, tentu akan menyangkut pertanyaan seberapa besar wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang telah diberikan sebagai wewenang rumah tangga daerah?

38


(41)

bahwa otonomi daerah “menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

Dalam rangka mewujudkan tatanan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tuntutan keadaan, maka berbagai kebijakan strategis telah dan akan ditetapkan, diantaranya adalah pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999, serta PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom. Disamping itu telah ditetapkan pula pengaturan mengenai Perimbangan Keuangan antar Pusat dan Daerah, serta diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 1999. Berdasarkan teori areal division of power, dikenal adanya sistem atau model pemerintahan daerah yang menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraanya. Sistem ini membagi kekuasaan Negara secara vertikal antara “pemerintah Pusat”di satu pihak, dan “pemerintah daerah” dilain pihak. Didalam implementasinya tedapat beberapa macam format penyerahan kewenangan (desentralisasi) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, memiliki berbagai ciri-ciri yaitu sebagai berikut : Demokrasi dan Demokratisasi, ciri ini menyangkut dua hal utama, yaitu pertama mengenai rekrutmen Pejabat Politik di Daerah, dan yang kedua adalah menyangkut proses legalisasi di daerah. Rekrutmen Pejabat Politik berdasarkan UU. No. 22 Tahun 1999 ini, memberikan kewenangan sepenuhnya kepada masyarakat didaerah melaui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik


(42)

diPropinsi maupun Kabupaten dan Kota. Tidak ada lagi campur tangan pemerintah Pusat melalui Departemen Dalam Negeri, Mensesneg, dan Panglima TNI. Siapa yang akan menjadi Pejabat didaerah itu diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat didaerah untuk menentukannya. Mendekatkan Pemerintah dengan

rakyat,pada sistem pemerintahan daerah yang baru, pelaksanaan otonomi daerah

secara luas diletakkan didaerah Kabupaten dan Daerah Kota, bukan kepada Daerah Propinsi. Kebijakan ini didasarkan kepada pertimbangan, bahwa penyelenggaraan pemerintahan akan efiesien dan efektif jika antara “yang memberi pelayanan dan perlindungan” dengan “yang diberi pelayanan dan perlindungan” berada dalam jarak hubungan yang relative dekat. Dengan dengan demikian diharapkan pemerintah daerah dapat melaksanakan fungsi pemerintahan umum itu kepada rakyat secara cepat dan tepat.

5.4.1. DESENTRALISASI DI MASA ORDE LAMA

Berdasarkan Undang-Undang No. 1/ 1957 dimungkinkan pembentukan daerah sampai pada tiga tingkatan. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959 yang antara lain menyatakan berlakunya UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar dengan demikian RI kembali menjadi negara kesatuan. Setelah RIS dibubarkan di tahun 1950, misalnya berkali-kali juga disusun UU tentang Pokok Pemerintahan Daerah yang menjanjikan otonomi yang seluas-luasnya bagi tiap-tiap daerah di Indonesia. Kemelut politik Nasional yang terjadi di saat itu akibat tidak berhasilnya konstituante membuat Undang-Undang Dasar baru telah menghantarkan Dekrit


(43)

Presiden 5 Juli 1959. Dengan menghapus daerah-daerah atau wilayah-wilayah administratif dan memberikan peluang bagi otonomi daerah yang seluas-luasnya. Penyerahan tugas-tugas Pemerintah Pusat dalam bidang pemerintahan umum, perbantuan pegawai negri dan penyerahan keuangan kepada Pemerintah Daerah mulai dilaksanakan. Selanjutnya UU No. 18 Tahun 1985, pada dasarnya menetapkan bahwa dekosentrasi dan desentralisasi dijalankan dengan menjunjung tinggi desentralisasi teritorial. Upaya menghapuskan dualisme pemerintahan juga dilakukan dengan menempatkan Kepala Daerah sebagai wakil Pemerintah Pusat selain fungsinya sebagai Kepala Daerah yang bersangkutan. Kepala Daerah sebagai pelaksana fuangsi eksekutif dipisahkan dengan DPRD yang diberikan wewenang sebagai pelaksana kekuasaan legislatif di daerah. Pimpinan DPRD juga harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan fungsi legislatifnya kepada Kepala Daerah dan bukan sebaliknya. Pada masa ini Pemerintah Pusat masih berkuasa penuh terhadap daerah. Kekuasaan penuh tersebut dilaksanakan sepenuhnya oleh Kepala Daerah yang dapat bertindak mengatasnamakan Pemerintah Pusat, dapat mengangkat Kepala Daerah meskipun dari luar calon yang diajukan DPRD, serta dapat melakukan pengawasan.39

Pada awal kekuasaannya, pemerintah Orde Baru harus menghadapi sekian dilemma yang diwarisi dari pemerintahan sebelumnya. Selain ambruknyaa sektor perekonomian Negara, pemerintahan Orde Lama menyisakan sekian bara 5.4.2. DESENTRALISASI DI MASA ORDE BARU

39

Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Malang: Averroes Press, hal.43-45.


(44)

separatisme yang harus segera dipadamkan. Keinginan daerah-daerah untuk melepaskan diri dari NKRI terutama didasarkan pada alasan bahwa distribusi kekuasaan politik dan ekonomi dilakukan secara sepihak oleh pemerintah pusat. Untuk mengatasi persoalan itu maka pemerintah Orde Baru mengeluarkan UU No.5/1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang dinyatakan mulai berlaku sejak 23 Juli 1974. Dalam Implementasinya penyelenggaraan Pemerintahan Daerah lebih mengutamakan keberpihakan pada kepentingan politik kekuasaan Pemerintah Pusat atas Daerah. Dengan kata lain UU tersebut memberikan keleluasaan kepada Pemerintah Pusat untuk mendominasi Pemerintah Daerah.

Dalam bukunya “Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia” koirudin menjelaskan : “ Konstruksi sistematika kekuasaan yang dianut oleh UU No.5/1974 membagi pemerintahan di Indonesia kedalam tiga hierarki, yang diatur secara struktural, yakni: Pusat, Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II, yang masing-masing dengan tugas, kewenangan dan fungsi yang tumpang-tindih, kendati dalam rincian dan proporsi yang berlainan. Pada undang-undang ini distribusi otoritas kekuasaan digambarkan sebagai piramida terbalik. Pusat selalu beroleh kekuasaan yang jauh lebih besar, ketimbang daerah tingkat satu, selanjutnya daerah tingkat dua beroleh kekuasaan lebih kecil ketimbang daerah tingkat satu. Dibawah pemerintahan orde baru prinsip mendekatkan pelayanan publik kepada rakyat relatif terabaikan. Selama rezim orde baru berkuasa, posisi tawar politik (political bargaining position) pemerintah daerah ketika berhadapan dengan berbagai rupa kepetingan pemerintah atasannya sangat lemah, karena pilihan-pilihan politik lokal (local

political choices) memang tidak bisa berkembang secara optimal sejalan

dengan hasil-hasil lokal. Pemerintah daerah secara struktural, harus mau hidup dan bekerja dalam suasana yang serba tertekan. Sesuai format yang digariskan secara sepihak oleh pemerintah pusat. Pada zaman rezim orde baru program-program yang muncul dari bawah dan yang secara rasional mencoba untuk mengadopsi nilai-nilai lokal sendiri, tidak pernah bisa diwujudkan. Karena program-program yang muncul dari bawah dianggap sesuatu yang secara politis tidak efisien atau tidak berdampak positif bagi upaya menyuburkan lahan hegemoni kekuasaan pemerintah pusat40

40

Koirudin, ibid, hal.45.


(45)

5.4.3. LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM)

Bila kita ingat pada zaman Orba, LSM pada masa itu identik dengan kelompok antipemerintah atau oposan atau bahkan dituduh sebagai "agen asing". Masa Orba adalah masa yang gelap dalam demokrasi. Ketika itu kita selalu merasakan kehadiran militer dan intel di mana-mana. Pertemuan atau seminar dengan mudah dilarang. Banyak orang takut atau khawatir bisa "diciduk" setiap saat atau dituduh PKI. Kasus-kasus penindasan dalam isu-isu pertanahan, perburuhan, kehutanan, dan lingkungan bukan main banyaknya. Di pihak lain, penguasa dengan mudah menumpuk kekayaan dan kekuasaan tanpa batas, dan Soeharto terus-menerus menjadi presiden tanpa kita tahu kapan berakhirnya. LSM pada saat itu adalah musuh penguasa. Dan akibatnya yang positif, semua aktivis LSM, meskipun berbeda-beda ideologi dan posisi, merasa menjadi satu dan mempunyai musuh yang satu. Baru semenjak reformasi, di mana ada kebebasan politik, LSM dianggap sebagai salah satu bagian kelembagaan politik yang penting dan diakui.

Kini, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), LSM telah tumbuh dari hanya berjumlah sekitar 10.000 di tahun 1996 menjadi sekitar 70.000 di tahun 2000. Fenomena ini sama dengan yang terjadi di berbagai negara lainnya, di mana jumlah LSM telah meningkat secara tajam. Karena itu tidak mengherankan, bahwa LSM telah menjadi "Sektor Ketiga", yaitu sektor publik yang mengedepankan kepedulian sosial atau personal. Sektor Pertama adalah sektor negara atau pemerintah yang berkewajiban menjamin pelayanan bagi warga


(46)

negaranya dan menyediakan kebutuhan sosial dasar, sedangkan Sektor Kedua adalah sektor swasta yang terdiri dari kalangan bisnis dan industrial yang bertujuan mencari penghidupan dan menciptakan kekayaan. Sebagai Sektor Ketiga, maka LSM beroperasi di luar pemerintah dan pasar. Mengutip Salamon dan Anheier, Hadiwinata mendefinisikan LSM mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Formal, artinya secara organisasi bersifat permanen, mempunyai kantor dengan seperangkat aturan dan prosedur; (2) Swasta, artinya kelembagaan yang berada di luar atau terpisah dari pemerintah; (3) Tidak mencari keuntungan, yaitu tidak memberikan keuntungan (profit) kepada direktur atau pengurusnya; (4) Menjalankan organisasinya sendiri (self-governing), yaitu tidak dikontrol oleh pihak luar; (5) Sukarela (voluntary), yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu; (6) Nonreligius, artinya tidak mempromosikan ajaran agama; dan (7) Nonpolitik, yaitu tidak ikut dalam pencalonan di pemilu.

6. METODOLOGI PENELITIAN

6.1 JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Yang dimaksud dengan penelitian kulitatif adalah sebagai jenis penelitian yang penemuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistic atau hitungan lainnya.41

41

Anslelm Straisi, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hal.4.

Penelitian kualitatif bertumpu pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengendalikan manusia sebagai alat penelitian, memanfatkan metode


(47)

kualitatif, mengarahkan sasaran penelitiannya pada usaha menemukan teori dari dasar. Penelitian kualitatif ini bersifat deskriptif, lebih mementingkan proses daripada hasil, membatasi studinya dengan fokus, memiliki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitiannya bersifat sementara dan hasil penelitiannya tersebut disepakati oleh pihak peneliti dan subjek penelitian.42 6.2 TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Didalam penulisan peneitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data yaitu dengan menggunakan metode Library research atau yang biasa disebut dengan studi pustaka. Penulis dalam hal ini memanfaatkan data-data dan berusahan mengumpulkan data-data yang bersumber dari buku-buku, makalah-makalah, jurnal, koran, internet dan sumber informasi lainnya yang terkait dengan masalah-masalah yang ada dalam penelitian ini.

6.3 TEKNIK ANALISA DATA

Penelitian ini bersifat analisis deskriptif, yaitu dengan arah tujuan

memberikan gambaran mengenai situasi ataupun kondisi yang terjadi. Data-data yang terkumpul, baik data yang berasal dari kepustakaan dan sumber lain akan di explorasi dengan menggunakan analisis deskriptif dan pendekatan sejarah secara mendalam tentang permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

42

Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Posdakarya, Bandung, hal. 27.


(48)

BAB II

HUBUNGAN NEGARA-MASYARAKAT PADA ERA

SOEHARTO DAN HUBUNGAN PUSAT-DAERAH PASCA

SOEHARTO DALAM KERANGKA SISTEM POLITIK

INDONESIA

1. HUBUNGAN NEGARA-MASYARAKAT PADA ERA SOEHARTO 1.1 Paham Integralistik

Dengan analisis state-civil society, dapat kita ketahui bahwa dalam era kepolitikan orde baru hubungan keduanya masih sangat lemah, bahkan dapat dikatakan belum tercipta sama sekali. Negara dalam masa Orde Baru muncul sebagai kekuatan utama yang dominan dalam pengelolaan sosial, ekonomi, dan politik. Negara melakukan penguatan kekuasaan yang dalam terhadap semua sektor kehidupan masyarakat dengan metode hubungan patront-client, institusionalisasi sosial-politik, koorporatisme Negara, dan hegemoni ideologi.43

43

Muhammad A.S Hikam, Demokrasi Melalui Civil Society,sebuah Tahapan Reflektf

Indonesia, Dalam : Prisma, No.II / 1993, hal. 62

Secara teoritis, Negara Orde Baru adalah Negara organis dengan sifat pluralis dalam state. Namun demikian, strategi koorporatisme tidak begitu berhasil karena tidak terciptanya sistem perwakilan kepentingan sebagaimana yang semula diharapkan. Misalnya, KNPI belum mampu mewakili aspirasi kepentingan pemuda, MUI belum dapat mewakili aspirasi kalangan ulama Islam, dan SPSI belum dapat membela keinginan dan tuntutan kalangan buruh.


(49)

Menurut Langenberg, “Orde Baru adalah Negara sekaligus sistem Negara menunjuk kepada aspek kelembagaan, sedangkan sistem Negara kepada sistem jaringan eksekutif, militer, parlemen, dan birokrasi”.44 Untuk menguatkan control Negara terhadap masyarakat digunakan beberapa ideology: (1) Pancasila sebagai falsafah Negara. Dilahirkan pula konsep Negara Pancasila dengan sub-sub bagiannya, Seperti Sistem Politik Demokrasi Pancasila dan Sistem Ekonomi Pancasila(2) Dwifungsi ABRI, yang dalam hal ini ABRI mewakili Negara (3) Konsep Bhineka Tunggal Ikad dan wawasan Nusantara (4) Konsep kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, yang sejajar dengan ideology Negara integralistik-organis atau Negara organik-koorporatis.45

Selain itu, Orde Baru memperkenalkan “ideologi pembangunan” yang secara konsisten menjadi doktrin yang ampuh untuk memelihara status quo. Pembangaunan sangat bergantung pada sistem Negara dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan. Menurut Langenberg, Pancasila, UUD1945, dan dwi fungsi ABRI digunakan untuk menekankan kehidupan konstitusional, memelihara stabilitas politik, dan membina kesadaran politik dalam rangka mencegah terulangnya instabilitas politik pada tahun 1950-1960an.46

Berbagai model kepolitikan Orde Baru telah dikemukakan oleh banyak pengamat politik Indonesia, baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri.

44

Abdul Azis, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta : Gema Insani Press, 1996 dalam: Michael Van Langenberg, The New Orde State: Language,

Ideology, Hegemony, dalam Arief Budiman, State and Civil Society in Indonesia, Glen

Waverllen, Australia: Aristoc, 1990, hal.122.

45

Abdul Azis ,Ibid, hal 122.

46


(50)

Model-model tersebut berupaya menciptakan semacam bangunan dalam memahami kehidupan politik di Indonesia.

Dalam paham Integralistik, Negara menjadi mutlak. Kedaulatan Negara mengatasi kedaulatan rakyat. Paham ini bersifat totalitarianisme. Semua bagian dalam keseluruhan diarahkan kepada persatuan dan kesatuan dalam Negara. Dalam Negara yang terpenting adalah , “keseluruhan”, bukan “bagian-bagian”. Namun sebagaimana diketahui, founding fathersI yang bersidang menyusun UUD 1945 menolak gagasan Soepomo tersebut.47

Sehingga dapat dipahami penggunaan paham integralistik akhir-akhir ini lebih banyak bersifat politis daripada menyangkut hukum tata Negara, khususnya tidak merujuk pada paham integralistik versi Soepomo. Dalam GBHN 1993/1998 bahkan tertera kalimat yang menyatakan bahwa paham integralistik menjadi penuntun pembangunan nasional. Apakah yang dimaksud dengan paham integralistik “versi baru” ini? Paham ini menolak pandangan yang mengatakan bahwa manusia adalah bebas seperti yang dianut liberalisme. Manusia tidak bebas, sebab sejak lahirnya sudah terikat. Manusia disamping sebagai makhluk individu juga adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk individual, manusia bisa berbuat apa saja, akan tetapi “kebebasan” itu diikat oleh kepentingan umum yang Dalam pasal-pasal UUD 1945 ditemui gagasan yang bertolak belakang dengan paham integralistik. Misalnya, pasal 28 menjadi hak-hak dasar manusia. Semula Soepomo menolak pasal ini. Dalam UUD 1945 juga ditemui voting, sedangkan menurut paham integralistik, kepala Negara tidak dipilih, tetapi diangkat.


(51)

lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Kepentingan umum yang lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial mengatasi kepentingan individual yang lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk individual.

Dengan demikian, sebagai satu keluarga besar dengan Negara sebagai “kepala keluarga”, semua anggotanya diwajibkan bekerja demi kepentingan umum atau kepentingan seluruh keluarga. Kepentingan individupun harus diabdikan untuk kepentingan tujuan keluarga. Sebagai satu keluarga tentu saja segenap anggotanya hidup dengan harmonis, rukun dan saling menghargai, serta patuh kepada kepala keluarga. Bila ia melanggar hal ini, berarti dianggap tidak mengabdi kepada kepentingan umum dan harus berhadapan dengan seluruh keluarga karena menggangu harmonisasi kehidupan sosial. Dalam keadaan yang demikian, oposisi dilarang dan dikritik terbuka ditabukan. Pengambilan keputusan dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat. Sedapat mungkin voting dihindarkan. Dalam sistem ini tidak dikenal tirani mayoritas atau minoritas, demikian pula sebaliknya.

Maka dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa pada Negara dengan paham integralistik di Indonesia hubungan masyarakat sipil dengan Negara tidak menunjukkan adanya keterbukaan satu dengan yang lainnya. Selain itu juga kita dapat melihat hak-hak dasar manusia tidak sesuai dengan pasal 28 UUD 1945. Negara tidak dengan terbuka melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Sebagai contoh, Kepala Negara tidak dipilih melalui pemilihan umum, melainkan diangkat sendiri oleh jajaran pemerintahan yang lainnya.

47


(52)

Paham integralistik tidak menunjukkan adanya demokratisasi, karena kekuasaan Negara dalam hal ini adalah mutlak. Dan lagi didalamnya tidak diperkenankan kelompok oposisi dan kritik yang datangnya dari masyarakat untuk Negara tidak diperbolehkan.

1.2 Negara Pasca Kolonial

Model ini diperkenalkan oleh Benedict Anderson. Menurutnya, Negara Orde Baru merupakan kelanjutan dalam pola-pola tertentu yang berasal dari Negara kolonial sebelumnya.48 Dalam hal demikian, model ini mirip dengan Negara Beamtenstaat versi Mc Vey. Tetapi berbeda dengan McVey yang lebih menekankan gejala-gejala dipermukaan, Anderson lebih menjelaskan dengan memberikan penjelasan secara teoritis tentang kontradiksi yang tajam disetiap “Negara bangsa”. Kontradiksi ini terjadi antara kepentingan-kepentingan Negara disatu pihak dengan kepentingan masyarakat yang lebih populis, partisipatoris pada pihak lain.49

227.

48Abdul Azis, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta : Gema Insani Press, 1996 dalam: Ben Anderson, Old State, New Society:Indonesia’s New Order in

Comparative Historical Perspective, Journal of Asian Studies, Vol.XLII, 1983, P.80. 49

Vedi R. Hadiz, Politik, Budaya, dan Perubahan Sosial, Ben Anderson dalam Studi

Politik Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1992, hal. 80.

Dalam dua kutub kepentingan terbentang spektrum luas. Pertama, kutub kepentingan Negara secara penuh mensubordinasikan kepentingan-kepentingan partisipatoris (seperti pada situasi rezim militeris atau kolonialis). Kedua, pada kutub yang lain, keadaan ketika Negara mengalami


(1)

masyarakat akan selalu muncul untuk menolak kecenderungan pola pemerintahan yang sentralisme. Dengan demikian, perkembangan politik di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sipil dengan Negara sebagai aktor utamanya. Hal itu merupakan salah satu syarat perwujudan demokrasi. Namun yang sangat disayangkan juga, penerapan hal itu sering sekali terhalangi oleh perilaku kontrol Negara yang sangat kuat bahkan cenderung berlebihan. Sehingga masyarakat sipil tidak bisa dengan leluasa menyuarakan keinginannya terhadap Negara ini. Sebagaimana contoh nyata pengalaman politik di Negara Indonesia selama puluhan tahun dibawah Orde Baru.

Kenyataan juga menunjukkan bahwa selama tiga puluh dua tahun Orde Baru berhasil membangun dan mempertahankan kekuasaan Negara sentralis. Selama itu juga Negara menikmati dan menjaga penuh otonomi serta selalu berupaya memaksakan kepentingannya terhadap masyarakat sipil. Negara, terutama lembaga eksekutif, berkembang menjadi alat yang efektif dalam mengelola dan menangani mobilisasi politik yang mendukung perbagai kebijakan Negara. Lewat berbagai aturan perundang-undangan, dan proses penataan kehidupan politik, Negara menghambat dan mengontrol pertumbuhan gerakan masyarakat sipil.

Sementara itu, dalam konteks permasalahan mengenai hubungan pusat dan daerah setelah masa pemerintahan Soeharto, kita juga dapat menarik beberapa kesimpulan terkait dengan permasalahan tersebut. Berbagai macam persoalan yang dihadapi masyarakat akhir-akhir ini selalu dikaitkan dengan masalah


(2)

otonomi daerah. Selama Orde Baru Indonesia telah menjalani sistem pemerintahan sentralisasi. Yang sedikit banyaknya telah merugikan masyarakat. Akan tetapi perubahan demi perubahan telah terjadi seiring dengan runtuhnya rezim Orde Baru yang lebih berkonsentrasi kepada agenda reformasi. Penyesuaian-penyesuaianpun mulai dilaksanakan. Mengingat Negara Indonesia pada saat itu berada dalam situasi yang cukup labil. Ketika itu juga masyarakat banyak menuntut perubahan kearah desentralisasi lewat pelaksanaan otonomi daerah. Perubahan tersebut tampak dalam perundang-undangan yang terkait dengan hal tersebut. Pada akhirnya dikeluarkan UU No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi daerah termasuk juga UU No, 25 Tahun 1999 tentang pengaturan keuangan. Hubungan pusat dan daerah semakin membaik, mengingat semakin luasnya kekuasaan yang diberikan kepada tiap-tiap daerah dalam mengurus rumahtangganya sendiri. Otonomi daerah dianggap sangat penting. Karena pemerintahan pusat juga memiliki banyak keterbatasan dalam mengatur wilayah yang luas di Indonesia ini. Selain itu juga, masing-masing daerah lebih mengetahui apa-apa saja potensi alam yang mereka miliki untuk kemudian dikembangkan. Demikian pula halnya dengan kemampuan sumber daya manusianya. Yang kesemuanya itu pada akhirnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dan bukan hanya kepada aktor-aktor tertentu. Dengan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai demokrasi, maka pelaksanaan otonomi daerah tidak akan sulit mencapai sasarannya.


(3)

Mengingat masih banyaknya kekurangan dari penulisan skripsi ini, maka penulis juga membuka lebar ruang saran dan kritik bagi seluruh pembaca guna penyempurnaan skripsi ini.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2003.

Arief, Sritua, Strategi Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang : Dari Ketergantungan Impor Sampai Ketegantungan Ekspor, Jakarta : UI Press, 1990.

Azis, Abdul, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta : Gema Insani Press, 1996.

Booth, Anne, Ekonomi Orde Baru, Malaysia : LP3ES, 1986.

Budairi, Muhammad, Masyarakat Sipil dan Demokrasi, Yogyakarta : Penerbit E-Law Indonesia, 2002.

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Chilcote, Ronald, Teori Perbandingan Politik, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Culla, Adi Surya, Rekonstruksi Civil Society Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, Jakarta : LP3ES, 2006.

Faisal, Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, 2003.

Gaffar, Afan, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Hadari, Nawawi, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1987.

Hadi, Syamsul, Strategi Pembangunan Mahatir dan Soeharto ‘Politik Industrialisasi dan Modal Jepang di Malaysia dan Indonesia’, Jakarta: Japan Foundation, 2005.

Held, David, Demokrasi dan Tatanan Global Dari Negara Modern Hingga Pemerintahan Kosmopolitan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.


(5)

Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Malang: Averroes Press, 2005.

M.S, Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, Yogyakarta : Paradigma, 2005.

Maddick, Henry, Desentralisasi Dalam Praktek, Yogyakarta: Pustaka Kendi, 2003.

Manan, Bagir, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: PSH Fakultas Hukum UII,2004.

Manan, Munafrizal, Gerakan Rakyat Melawan Elite, Yogyakarta : Resist Book, 2005.

Markoff, John, Gelombang Demokrasi Dunia Gerakan Sosial dan Perubahan Politik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002.

Mas’oed, Mochtar, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1981.

Mas’oed, Mochtar, Ekonomi dan Struktur politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta : LP3ES, 1989.

Rahardjo, Dawam, H. Pendekatan Historis Struktural Merupakan Format Pembangunan, Jakarta : Prisma, 1998.

Rahman, Arifin, Sistem Politik Indonesia, Surabaya: SIC, 2002.

Ranadireksa, Hendarmin, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokus Media, 2007.

Robinson, Richard, Reorganising Power in Indonesia, The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, London and New York: Routledge Curzon, 2004. Rousseau ,Jean Jacques, Kontrak Sosial, Jakarta: Penerbit Erlangga,1986.

Sahdan, Gregorius, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Yogyakarta : Pondok Edukasi, 2004.

Sosialismanto, Duto, Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Pedesaan Jawa, Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama, 2001.

Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992.


(6)

Suseno, Franz, Pemikiran Karl Marx, Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Syafiie, Inu Kencana, Sistem Politik Indonesia, Bandung: PT.Refika Aditama, 2002.

Syaukari, dkk, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar : Yogyakarta, 2003.

Una, Sayuti, Pergeseran Kekuasaan Pemerintahan Daerah Menurut Konstitusi Indonesia, Yogyakarta : Ull Press, 2004.

Yudoyono, Bambang, Otonomi Daerah Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemerintah Daerah dan Anggota DPRD, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan : Jakarta, 2003.

Wirosardjono, Soetjipto, Celah-celah Pembangunan, Jakarta : Sinar Harapan, 1983.

Jurnal :

Politea, Jurnal Ilmu Politik, Militer dan Politik, Medan : Departemen Ilmu Politik Fisip-USU, 2006.

Internet :

http;//id.wikipedia,org/wik International Commission on Soeharto Inc. Buster, diakses 3 September 2007.