Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Mahkota Dewa Terhadap Gambaran Histopatologi Paru Tikus Putih yang Diinduksi 7,12-Dimethylbenz[α]anthracene (DMBA)

(1)

(2)

ABSTRACT

The Effect of Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl. Fruit Against 7,12-Dimethylbenz[α]anthracene (DMBA)-Induced on Lung Histopathology

Appearance in Rat

By:

MONICA LAURETTA

Phaleria macrocarpa fruit has been studied that it contains of high concentrate of flavonoids as natural antioxidants that inhibit the formation of free radicals. The aim of this research is to determine the influence of giving ethanol extract of Phaleria macrocarpa fruits against 7,12-Dimethylbenz[α]anthracene (DMBA)-induced lung histopathology appearance in rat. In this study, 25 female rats were divided randomly into 5 groups then adapted for 7 days and given treatment for 15 days. K1 (normal control was only given aquadest), K2 (positive control was only given DMBA 30 mg/kgBW), K3 (given DMBA 30 mg/kgBW and extract of Phaleria macrocarpa fruits 120 mg/kgBW), K4 (given DMBA 30 mg/kgBW and extract of Phaleria macrocarpa fruits 240 mg/kgBW) and K5 (given DMBA 30 mg/kgBW and extract of Phaleria macrocarpa fruits 480 mg/kgBB). Results showed that the total average of pulmonary alveolar inflammatory cell infiltration in K1: 6,60±1,140; K2: 13,80±0,837; K3: 12,20±0,837; K4: 10,80±0,837; and K5: 9,40±1,140 (decreasing in comparison with K2).The conclusion of this research is that extract of Phaleria macrocarpa fruits can decrease total of pulmonary alveolar inflammatory cell infiltration on DMBA-induced lung in rat.

Keywords: DMBA, inflammatory cell, lung histopathology appearance, Phaleria


(3)

ABSTRAK

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Mahkota Dewa Terhadap Gambaran Histopatologi Paru Tikus Putih yang Diinduksi

7,12-Dimethylbenz[α]anthracene (DMBA)

Oleh:

MONICA LAURETTA

Mahkota dewa telah diteliti memiliki kandungan flavonoid yang tinggi sebagai antioksidan alami yang menghambat pembentukan radikal bebas. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol buah mahkota dewa terhadap gambaran histopatologi paru tikus putih yang diinduksi 7,12-Dimethylbenz[α]anthracene (DMBA). Pada penelitian ini 25 tikus betina dibagi dalam 5 kelompok dan diadaptasi selama 7 hari kemudian diberi perlakuan selama 15 hari. K1, kontrol normal yang hanya diberi aquades; K2, kontrol positif yang hanya diberi DMBA 30 mg/kgBB; K3, diberi DMBA 30 mg/kgBB dan ekstrak buah mahkota dewa 120 mg/kgBB; K4, diberi DMBA 30 mg/kgBB dan ekstrak mahkota dewa 240 mg/kgBB; dan K5, diberi DMBA 30 mg/kgBB dan ekstrak mahkota dewa 480 mg/kgBB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah infiltrasi sel radang alveolus paru K1: 6,60±1,140; K2: 13,80±0,837; K3: 12,20±0,837; K4: 10,80±0,837; dan K5: 9,40±1,140. K3, K4, dan K5 mengalami penurunan signifikan jika dibandingkan dengan K2. Simpulan, ekstrak buah mahkota dewa dapat menurunkankan jumlah infiltrasi sel radang alveolus paru tikus putih yang diinduksi oleh DMBA.


(4)

(5)

(6)

v DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian... 6

E. Kerangka Penelitian ... 7

1. Kerangka teori ... 7

2. Kerangka konsep ... 10

F. Hipotesis ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Mahkota Dewa ... 12

1. Taksonomi ... 12

2. Morfologi ... 13

3. Kandungan mahkota dewa ... 15

4. Efek kandungan mahkota dewa... 15


(7)

vi

3. Histologi ... 22

D. Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague dawley ... 27

1. Klasifikasi... 27

2. Jenis ... 27

3. Biologi tikus putih ... 28

III. METODE PENELITIAN ... 29

A. Desain Penelitian ... 29

B. Tempat dan Waktu ... 29

C. Populasi dan Sampel ... 30

D. Bahan dan Alat Penelitian ... 31

1. Bahan penelitian ... 31

2. Bahan kimia ... 32

3. Alat penelitian ... 32

4. Alat pembuat preparat histologi ... 32

E. Prosedur Penelitian ... 33

1. Prosedur pembuatan ekstrak mahkota dewa ... 33

2. Prosedur pemberian dosis ekstrak buah mahkota dewa ... 33

3. Posedur pemberian dosis DMBA ... 34

3. Prosedur penelitian ... 35

F. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ... 40

1. Identifikasi variabel ... 40

2. Definisi operasional variabel... 41

G. Analisis Data ... 42

H. Etika Penelitian ... 42

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Hasil Penelitian ... 45


(8)

vii B.Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64 LAMPIRAN ... 69


(9)

ix DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka teori ... 9

2. Kerangka konsep ... 10

3. Buah mahkota dewa ... 14

4. Jalur metabolisme DMBA ... 18

5. Anatomi paru ... 20

6. Histologi paru ... 26

7. Diagram alur penelitian ... 39

8. Grafik rata-rata infiltrasi sel radang alveolus paru tikus putih ... 48

9. Histopatologi paru tikus kelompok I dengan pewarnaan H.E. (pembesaran 400 kali) ... 52

10. Histopatologi paru tikus kelompok II dengan pewarnaan H.E. (pembesaran 400 kali) ... 52

11. Histopatologi paru tikus kelompok III dengan pewarnaan H.E. (pembesaran 400 kali) ... 53

12. Histopatologi paru tikus kelompok IV dengan pewarnaan H.E. (pembesaran 400 kali) ... 54

13. Histopatologi paru tikus kelompok V dengan pewarnaan H.E. (pembesaran 400 kali) ... 54

14. Gambaran histopatologi paru kelompok I ... 73


(10)

x

18. Gambaran histopatologi paru kelompok V ... 75

19. Kandang ... 76

20. Ekstrak buah mahkota dewa... 76

21. Timbangan... 76

22. Perlakuan tikus ... 76

23. Pembedahan tikus... 76

24. Hepar tikus ... 76

25. Wadah organ paru ... 76


(11)

xi DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

A. Hasil Analisis Statistik Histopatologi Paru Tikus ... 69

B. Foto-Foto Gambaran Histopatologi Paru Tikus ... 73

C. Foto-Foto Penelitian ... 76


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Insiden penyakit kanker di dunia mencapai 12 juta penduduk dengan PMR 13%. Diperkirakan angka kematian akibat kanker adalah sekitar 7,6 juta pada tahun 2008. Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, kematian akibat kanker menduduki peringkat kedua setelah penyakit kardiovaskuler. Salah satu penyakit kanker yang menyebabkan kematian tertinggi di dunia adalah kanker paru. Kanker paru merupakan salah satu jenis kanker yang mempunyai tingkat insidensi yang tinggi di dunia, sebanyak 17% insidensi terjadi pada pria (peringkat kedua setelah kanker prostat) dan 19% pada wanita (peringkat ketiga setelah kanker payudara dan kanker kolorektal) (Ancuceanu and Victoria, 2004).

Faktor- faktor risiko kanker paru yaitu merokok, terpapar asbestos, riwayat adanya penyakit paru interstisial, terpapar zat beracun, terpapar uranium atau radon. Dari semua faktor risiko diatas, merokok adalah penyebab utama terjadinya kanker paru pada 80-90% kasus kanker paru (Kopper & Timar, 2005).


(13)

Asap rokok yang terhisap dalam tubuh mengandung radikal bebas dan merupakan beban oksidan yang berlebihan ini akan menyebabkan timbulnya stres oksidatif (Kirkham et al., 2005). Stres oksidatif adalah kondisi ketidakseimbangan antara radikal bebas dan sistem pertahanan antioksidan. Partikel, zat kimia dan gas bersifat reaktif beserta radikal bebas yang terdapat dalam rokok tersebut akan menyebabkan beban oksidan yang sangat berlebihan terhadap paru (Stevenson et al., 2005).

Pada metabolisme yang normal, tubuh menghasilkan partikel berenergi tinggi dalam jumlah kecil yang dikenal sebagai radikal bebas. Radikal bebas dan sejenisnya diproduksi dalam sistem biologis pertahanan anti mikroba, melalui aksi monooksigenase yang berfungsi ganda oleh berbagai enzim oksidatif seperti xanthine oxidase. Radikal bebas juga banyak dijumpai pada lingkungan, asap rokok, polusi udara, obat, bahan beracun, makanan dalam kemasan, bahan aditif dan masih banyak lagi. Salah satu contoh senyawa yang merupakan radikal bebas yang sangat reaktif adalah senyawa 7,12-dimetilbenz(a)antrace (Droge, 2002).

Senyawa 7,12-dimetilbenz(α)anthracene (DMBA) adalah zat kimia yang termasuk dalam polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) yang dikenal bersifat mutagenik, teratogenik, karsinogenik, sitotoksik, dan immunosupresif. Secara alami DMBA dapat ditemukan di alam sebagai hasil dari proses pembakaran yang tidak sempurna seperti pada pecahan


(14)

tar dari asap rokok, asap pembakaran kayu, asap pembakaran gas (Kim et al., 2010).

Secara alami, tubuh juga telah mempunyai antioksidan sebagai inhibitor yang bekerja menghambat oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas yang relatif stabil. Akan tetapi, bila terjadi paparan radikal bebas yang terlalu banyak maka antioksidan alami tersebut tidak mampu untuk mengatasinya. Dalam keadaan seperti ini tubuh memerlukan suplai antioksidan dari luar tubuh salah satunya adalah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa L.) dari suku Thymelaceae (Simanjuntak, 2008).

Berdasarkan penelitian sebelumnya tentang aktivitas antioksidan dan antibakteri produk kering, instan dan effervescent dari buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa), didapatkan hasil bahwa mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) memiliki aktifitas antioksidan yang tinggi terutama dalam bentuk effervescent (Dewanti dkk., 2004)

Dalam kulit buah mahkota dewa terkandung senyawa alkaloid, saponin, dan flavonoid. Dalam daun mahkota dewa terkandung alkaloid, saponin, serta polyfenol. Buah mahkota dewa berbentuk bulat dengan ukuran bervariasi mulai dari sebesar bola pingpong sampai sebesar buah apel, dengan ketebalan kulit antara 0,1–0,5 mm. Buah mahkota dewa ini biasanya digunakan untuk mengobati berbagai penyakit dari mulai flu,


(15)

rematik, paru-paru, sirosis hati sampai kanker. Bijinya dianggap beracun, sehingga hanya digunakan sebagai obat luar untuk mengobati penyakit kulit. Batang tanaman mahkota dewa yang bergetah digunakan untuk mengobati penyakit kanker tulang, sehingga mungkin hanya akar dan bunganya saja yang jarang dipergunakan sebagai obat (Soeksmanto, 2006).

Senyawa flavonoid dalam buah mahkota dewa merupakan kandungan yang tertinggi, disamping senyawa alkaloid, saponin, fenolik hidrokuinon, tanin, dan steroid. Senyawa flavonoid mempunyai khasiat sebagai antioksidan dengan menghambat berbagai reaksi oksidasi serta mampu bertindak sebagai pereduksi radikal hidroksil, superoksida, dan radikal peroksil (Satria, 2005). Semakin tinggi kadar flavonoid, maka potensi antioksidannya akan semakin tinggi (Soeksmanto dkk., 2007).

Untuk membuktikan hal ini maka akan dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap tikus putih betina (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley yang diinduksi DMBA. Organ yang dipilih adalah paru-paru, untuk melihat gambaran histopatologi paru-paru setelah diinduksi DMBA dan diberi ekstrak mahkota dewa.


(16)

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah ada pengaruh pemberian ekstrak etanol 70% buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap gambaran histopatologi paru tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley yang diinduksi DMBA?

2. Apakah ada pengaruh pemberian peningkatan dosis ekstrak etanol 70% buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap gambaran histopatologi paru tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley yang diinduksi DMBA?

C. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh pemberian ekstrak etanol 70% buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap gambaran histopatologi paru tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley yang diinduksi oleh DMBA.

2. Mengetahui apakah ada pengaruh pemberian peningkatan dosis ekstrak etanol 70% buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap gambaran histopatologi paru tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley yang diinduksi oleh DMBA.


(17)

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Penelitian ini sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu yang telah dipelajari sehingga dapat mengembangkan wawasan keilmuan peneliti.

2. Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai efek ekstrak mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap paru-paru.

3. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efek ekstrak buah mahkota dewa terhadap paru-paru. Penelitian ini juga dapat mendukung upaya pemeliharaan tanaman mahkota dewa sebagai salah satu tanaman berkhasiat obat.

4. Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Meningkatkan penelitian dibidang agromedicine sehingga dapat menunjang pencapaian visi FK Unila 2015 sebagai fakultas kedokteran sepuluh terbaik di Indonesia pada Tahun 2025 dengan kekhususan dalam agromedicine.


(18)

5. Bagi Peneliti Lain

a. Dapat dijadikan bahan acuan untuk dilakukannya penelitian yang serupa yang berkaitan dengan efek buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa)

b. Mencari khasiat senyawa lainnya yang terdapat dalam buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) sehingga dapat dipakai untuk penelitian selanjutnya.

E. Kerangka Teori

Senyawa 7,12-dimetilbenz(α)anthracene (DMBA) pada aktivasi metabolitnya memproduksi karsinogen pokok, yaitu dihydrodiol epoxide, yang dapat memediasi transformasi neoplastik dengan menginduksi kerusakan deoxyribonucleic acid (DNA) dan membentuk reactive oxygen species (ROS) berlebihan, serta memediasi proses inflamasi kronis (Manoharan et al., 2013).

Bila radikal bebas berada dalam jumlah yang sangat banyak tanpa bisa diimbangi oleh antioksidan tubuh maka akan membentuk keadaan yang disebut stres oksidatif. Keadaan stres oksidatif tersebut dapat menyebabkan dampak negatif pada jaringan yaitu terjadinya kerusakan jaringan, melalui mekanisme perusakan lipid, protein, dan DNA penyusun sel. Selanjutnya kerusakan ini dapat menyebabkan peradangan. Proses peradangan menstimulasi mediator-mediator diantaranya adalah


(19)

Interleukin-6, Interleukin-1β, dan tumor necrosis factor alpha (TNF-α) yang menstimulasi reaksi keradangan dan kemotaktis sel-sel radang. Selanjutnya sel radang di paru meningkat terus menerus di epitel jalan napas termasuk di septa alveoli sehingga menyebabkan peningkatkan jumlah sel radang (Robbins et al., 2007).

Kandungan senyawa aktif yang terdapat pada tanaman mahkota dewa adalah alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, dan polifenol. Senyawa kimia tersebut mempunyai efek antioksidan yang menghambat pembentukan radikal bebas (Harmanto, 2001).

Golongan senyawa dalam tanaman yang berkaitan dengan aktivitas antioksidan salah satunya adalah flavonoid. Flavonoid adalah suatu antioksidan alam dan mempunyai aktivitas biologis, antara lain sebagai antioksidan yang dapat menghambat berbagai reaksi oksidasi, serta mampu bertindak sebagai pereduksi radikal hidroksil, superoksida dan radikal peroksil (Soeksmanto, 2007).


(20)

Peroksidasi lemak Kerusakan protein Kerusakan DNA

Peradangan

Melepaskan sitokin proinflamasi: IL-6,

IL-1β, TNF-α.

Sel radang di paru meningkat

Gambar 1. Bagan Kerangka Teori

DMBA

Radikal Bebas

Stress oksidatif Antioksidan

Kandungan buah mahkota dewa: 1. Alkaloid

2. Saponin 3. Flavonoid 4. Polifenol 5. Tanin.

Keterangan :

: memacu : menghambat


(21)

F. Kerangka Konsep

Gambar 2. Bagan Kerangka Konsep Kelompok 1 Kontrol normal Kelompok 2 DMBA 30mg/kgBB intraperitoneal Kelompok 3 DMBA 30mg/kgBB intraperitoneal Kelompok 4 DMBA 30mg/kgBB intraperitoneal Kelompok 5 DMBA 30mg/kgBB intraperitoneal Gambaran histopatologi paru Gambaran histopatologi paru Gambaran histopatologi paru Gambaran histopatologi paru Gambaran histopatologi paru Ekstrak mahkota dewa 120 mg/kgBB Ekstrak mahkota dewa 240 mg/kgBB Ekstrak mahkota dewa 480 mg/kgBB Dianalisis


(22)

G. Hipotesis

Ada pengaruh pemberian ekstrak etanol 70% buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap gambaran histopatologi tikus putih betina (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley yang diinduksi DMBA.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.)

1. Taksonomi

Kedudukan tanaman mahkota dewa dalam taksonomi menurut Winarto (2003) dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan termasuk dalam :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dycotyledoneae Bangsa : Thymelaeaceae Suku : Thymelaeaceae Marga : Phaleria


(24)

2. Morfologi

a. Batang

Batang mahkota dewa terdiri atas kulit kayu. Kulit batangnya berwarna cokelat kehijauan, sementara kayunya berwarna putih. Batangnya bulat, permukaannya kasar, dan bergetah, percabangan simpodial. Diameter batang tanaman dewasa mencapai 15 cm (Harmanto, 2003).

b. Bunga

Bunga mahkota dewa mekar sepanjang tahun. Letaknya tersebar di batang atau ketiak daun, bentuk tabung, berukuran kecil, berwarna putih dan harum (Lisdawati, 2003).

c. Buah

Buah mahkota dewa berbentuk bulat, diameter 3-5 cm, permukaan licin, dan beralur. Ketika muda warnanya hijau dan merah setelah masak. Ukurannya bervariasi, dari sebesar bola pingpong hingga sebesar buah apel merah. Daging buah berwarna putih, berserat dan berair. Biji bulat, keras, dan berwarna cokelat (Lisdawati, 2003).

d. Akar

Berakar tunggang dan berwarna kuning kecokelatan. Perbanyakan dengan cangkok dan bijinya. Panjang akarnya bisa mencapai 100 cm (Harmanto, 2003).


(25)

e. Daun

Daun mahkota dewa merupakan daun tunggal. Bentuknya sekilas lonjong langsing, memanjang dan berujung lancip. Letak daun berhadapan, bertangkai pendek, bentuknya lanset atau jorong, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan licin, warnya hijau tua, panjang 7-10 cm dan lebar 2-5 cm. Sekilas bentuknya mirip daun jambu air, tetapi lebih langsing. Teksturnya lebih liat daripada daun jambu air. Daun tua bewarna lebih gelap daripada daun muda. Permukaannya licin dan tidak berbulu. Bagian atas bewarna lebih tua daripada permukaan bagian bawah. Pertumbuhannya lebat dan panjangnya bisa mencapai 7-10 cm dan lebarnya 3-5 cm. Daun mahkota dewa termasuk bagian pohon yang paling sering dipakai untuk pengobatan. penyakit antara lain lemah syahwat, disentri, alergi dan tumor (Harmanto, 2003).


(26)

3. Kandungan Kimia Mahkota Dewa

Mahkota dewa kaya akan kandungan kimia, tetapi belum semuanya terungkap. Di dalam kulit buah mahkota dewa terkandung senyawa alkaloid, saponin, dan flavonoid. Bijinya dianggap beracun, sehingga hanya digunakan sebagai obat luar untuk mengobati penyakit kulit. Di dalam daun mahkota dewa terkandung alkaloid, saponin, serta polifenol (Harmanto, 2003).

Batang mahkota dewa tidak dianjurkan karena membahayakan. Oleh sebab itu, bagian tanaman ini yang digunakan untuk obat biasanya hanya daun dan buahnya baik dalam keadaan segar ataupun setelah dikeringkan. Karena termasuk tanaman obat yang keras dan beracun, lebih baik bagian yang digunakan tersebut adalah yang telah dikeringkan. Bila dimakan segar, getahnya panas dan melepuhkan kulit dalam mulut. Kandungan buah mahkota dewa terdiri dari golongan alkaloid, flavonoid, dan saponin (Rohyami, 2008).

4. Efek Kandungan Mahkota Dewa

Ekstrak etanol buah mahkota dewa memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi obat antikanker (Syukri, 2008). Ekstrak kloroform buah mahkota dewa mempunyai potensi sitotoksik yang cukup tinggi, kemampuan


(27)

menghambat proliferasi sel T47D yang cukup baik, dan dapat memacu terjadinya proses apoptosis pada sel T47D (Nurulita & Siswanto, 2007).

Pemberian rebusan buah mahkota dewa menurunkan hitung jumlah koloni kuman pada hepar mencit BALB/c yang diifeksi Salmonella typhimurium. Maratani (2006) juga mengatakan terdapat peningkatan produksi Reactive Oxygen Intermediate (ROI) makrofag, yaitu enzim pembunuh bakteri, pada mencit yang diinfeksi Salmonella typhimurium (Sanjaya, 2006).

Pengujian kandungan antioksidan mahkota dewa menggunakan metoda efek penangkapan radikal bebas DPPH (Diphenyl Picryl Hydrazil) yang prinsipnya adalah penangkapan hidrogen dari antioksidan oleh radikal bebas. Dalam hal ini DPPH menjadi sumber radikal bebas untuk mengetahui daya inhibisi diatas 50%. Didapatkan bahwa hanya bagian buah muda dan buah yang memiliki daya inhibisi diatas 50% (Soeksmanto, 2006).

Senyawa flavonoid mempunyai khasiat sebagai antioksidan dengan menghambat berbagai reaksi oksidasi serta mampu bertindak sebagai pereduksi radikal hidroksil, superoksida dan radikal peroksil. Semakin tinggi kadar flavonoid, maka potensi antioksidannya akan semakin tinggi (Satria, 2005)


(28)

B. 7,12-DIMETILBENZ(α)ANTHRACEN (DMBA)

Senyawa 7,12-dimetilbenz(α)anthracene (DMBA) adalah zat kimia yang termasuk dalam polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) yang dikenal bersifat mutagenik, teratogenik, karsinogenik, sitotoksik, dan immunosupresif. Senyawa ini ditemukan pada pecahan tar dari asap rokok, sebagaimana pada gas pembuangan mobil dan asap dari tungku perapian (Kim et al., 2010).

Menurut Division of Occupational Health and Safety National Institutes of Health, DMBA yang mempunyai 4 cincin benzene termasuk dalam tujuh PAH yang dapat menyebabkan kanker pada manusia (Al-Attar, 2004).

Polycyclic aromatic hydrocarbons merupakan kelompok polutan organik yang dilepaskan ke lingkungan dalam jumlah besar, terutama dari aktivitas manusia. Polycyclic aromatic hydrocarbons cukup diantisipasi menjadi karsinogen berdasarkan bukti karsinogenisitas yang cukup memadai pada hewan percobaan. Polycyclic aromatic hydrocarbons 7,12-dimetil-benz[a]anthracene (DMBA) berperan sebagai karsinogen poten dengan menghasikan berbagai metabolik intermediat reaktif yang diketahui dapat menginduksi kerusakan enzim-enzim yang terlibat dalam perbaikan DNA dan biasanya digunakan untuk menginduksi kanker hati pada hewan percobaan (Sharma et al., 2012).


(29)

Proses metabolisme DMBA menjadi senyawa yang lebih toksik yaitu DMBA dioksidasi oleh sitokrom P450 CYP1B1 (cytochrome P450, family 1, subfamily B, polypeptide 1) menjadi DMBA-3,4-epoksida, kemudian diikuti hidrolisis epoksida oleh enzim mEH (mikrosomal epoksid hidrolase) menjadi metabolit proximate carcinogen DMBA-3,4-diol. Metabolit ini kemudian dioksidasi oleh CYP1A1 (cytochrome P450, family 1, subfamily A, polypeptide 1) atau CYP1B1 menjadi metabolit ultimate carcinogen yaitu DMBA-3,4-diol-1,2-epoksida yang memiliki kemampuan membentuk DNA adducts. Cincin lain yang mengalami hidroksilasi dan hidroksilasi metil dari DMBA menghasilkan metabolit tidak aktif yang tidak dapat berikatan dengan DNA. Jalur metabolisme DMBA ditunjukan pada gambar 4 (Gao et al., 2007).


(30)

Karsinogen DMBA disamping sebagai stressor oksidatif yang bersifat genotoksik, juga imunosupresif. Stres oksidatif oleh karena radikal bebas atau prooksidan intrasel berlebihan bisa terjadi pada sel yang terpapar metabolit DMBA. Salah satu hasil metabolism DMBA oleh CYP1 adalah pembentukan metabolit kation radikal reaktif, sebagai salah satu sumber reaksi prooksidan. Telah dibuktikan bahwa metabolism DMBA menjadi metabolit aktif yang bersifat imunosupresan melibatkan enzim CY1P1B1 dan mychrosomal epoxide hidrolase (Gao et al, 2007).

DMBA terbukti dapat menginduksi produksi ROS yang mengakibatkan peroksidasi lipid, kerusakan DNA, dan deplesi dari sel sistem pertahanan antioksidan (Kasolo et al., 2010).

Perubahan-perubahan tersebut akan menyebabkan mutasi gen yang dapat menginisiasi sel-sel kanker. Mutasi gen dapat menyebabkan disfungsi pada tahap-tahap yang berbeda pada jalur sinyal TNF-related apoptosis-inducing ligand (TRAIL) dalam menginduksi apoptosis, diantaranya supresi dari ekspresi Death Receptor (DR) dan ekspresi berlebihan dari cellular FLICE inhibitory protein (c-FLIP) sehingga cysteine-aspartic acid protease-8 (caspase-8) tidak dapat teraktivasi dan sel-sel kanker tersebut dapat terhindar dari apoptosis (Zhang, 2005).


(31)

C. Paru-Paru

1. Anatomi Paru

Paru adalah organ berbentuk piramid seperti spons dan berisi udara yang terletak dirongga toraks. Paru merupakan jalinan atau susunan bronkus, bronkiolus, bronkiolus respiratori, alveoli, sirkulasi paru, saraf, dan sistem limfatik. Paru adalah alat pernapasan utama yang merupakan organ berbentuk kerucut dengan apeks di atas dan sedikit lebih tinggi dari klavikula didalam dasar leher (Sloane, 2003).


(32)

Paru dibagi menjadi beberapa lobus oleh fisura. Paru kanan dibagi menjadi 3 lobus oleh 2 fisura, sedangkan paru kiri terbagi 2 lobus oleh 1 fisura. Paru memiliki hilus paru yang dibentuk oleh a. pulmonalis, v. pulmonalis, bronkus, a. Bronkialis, v. bronkialis, pembuluh limfe, persarafan, dan kelenjar limfe (Moore, 2009).

Paru dilapisi oleh pleura. Pleura terdiri dari pleura viseral yang melekat pada paru dan tidak dapat dipisahkan dan pleura parietal yang melapisi sternum, diafragma, dan mediastinum. Diantara kedua pleura tersebut terdapat rongga pleura yang berisi cairan pleura sehingga memungkinkan paru untuk berkembang dan berkontraksi tanpa gesekan (Moore, 2009).

2. Fisiologi Paru

Sistem pernapasan terdiri atas dua paru sebagai organ utama beserta sistem saluran yang menghubungkan jaringan paru dengan lingkungan luar. Sistem respirasi secara umum dibagi 2 bagian utama. Bagian konduksi adalah saluran napas solid baik di luar maupun di dalam paru yang menghantar udara ke dalam paru untuk respirasi, yang terdiri dari rongga hidung, nasofaring, laring, trakhea bronkus, bronkhiolus sampai bronkhiolus terminals dan bagian respiratorius adalah saluran napas di dalam paru tempat berlangsungnya respirasi atau pertukaran gas, di mulai dari bronkiolus respiratorius sampai alveoli. Udara


(33)

didistribusikan ke dalam paru-paru melalui trakea, bronkus, dan bronkiolus. Trakea disebut cabang pertama saluran nafas, dan kedua bronkus kiri dan kanan adalah cabang kedua, tiap-tiap bagian sesudah itu disebut cabang tambahan. Terdapat 20-25 cabang sebelum udara akhirnya mencapai alveoli (Guyton & Hall, 2006)

3. Histologi Paru

a. Struktur Paru

Unit fungsional dalam paru-paru disebut lobulus primerius yang meliputi semua struktur mulai bronchiolus terminalis, bronchiolus respiratorius, ductus alveolaris, atrium, saccus alveolaris, dan alveoli bersama-sama dengan pembuluh darah, limfe, serabut syaraf, dan jarinmgan pengikat. Lobulus di daerah perifer paru-paru berbentuk pyramidal atau kerucut didasar perifer, sedangkan untuk mengisi celah-celah diantaranya terdapat lobuli berbentuk tidak teratur dengan dasar menuju ke sentral. Cabang terakhir bronchiolus dalam lobulus biasanya disebut bronchiolus terminalis. Kesatuan paru-paru yang diurus oleh bronchiolus terminalis disebut acinus (Junqueira et al., 2007).


(34)

b. Bronchiolus Respiratorius

Memiliki diameter sekitar 0.5 mm. saluran ini mula-mula dibatasi oleh epitel silindris selapis bersilia tanpa sel piala, kemudian epitelnya berganti dengan epitel kuboid selapis tanpa silia. Di bawah sel epitel terdapat jaringan ikat kolagen yang berisi anyaman sel-sel otot polos dan serbut elastis. Dalam dindingnya sudah tidak terdapat lagi cartilago. Pada dinding bronkiolus respiratorius tidak ditemukan kelenjar. Terdapat penonjolan dinding sebagai alveolus dengan sebagian epitelnya melanjutkan diri. Karena adanya alveoli pada dinding bronkiolus inilah maka saluran tersebut dinamakan bronkiolus respiratorius (Junqueira et al., 2007).

c. Ductus Alveolaris

Bronchiolus respiratorius bercabang menjadi 2-11 saluran yang disebut ductus alveolaris. Saluran ini dikelilingi oleh alveoli sekitarnya. Saluran ini tampak seperti pipa kecil yang panjang dan bercabang-cabang dengan dinding yang terputus-putus karena penonjolan sepanjang dindingnya sebagai sakus alveolaris. Dinding duktus alveolaris diperkuat dengan adanya serabut kolagen elastis dan otot polos sehingga merupakan penebalan muara sakus alveolaris (Junqueira et al., 2007).


(35)

d. Saccus Alveolaris dan Alveolus

Ruangan yang berada diantara ductus alveolaris dan saccus alveolaris dinamakan atrium. Alveolus merupakan gelembung berbentuk polyhedral yang berdinding tipis. Dindingnya penuh dengan anyaman kapiler darah yang saling beranastomose. Kadang ditemukan lubang yang disebut porus alveolaris dan terdapat sinus pemisah (septa) antara 2 alveoli. Fungsi lubang tersebut belum jelas, namun dapat diduga untuk mengalirkan udara apabila terjadi sumbatan pada salah satu bronkus (Junqueira et al., 2007).

e. Pelapis Alveolaris

Epitel alveolus dengan endotil kapiler darah dipisahkan oleh lamina basalis. Pada dinding alveolus dibedakan atas 2 macam sel, yaitu sel epitel gepeng dan sel kuboid yang disebut sel septal atau alveolar besar atau pneumosit tipe II (Junqueira et al., 2007).

Sel alveolar kecil membatasi alveolus secara kontinu, kadang diselingi oleh alveolus yang besar. Inti sel alveolus kecil ini gepeng. Bentuk dan ketebalan sel alveolar kecil tergantung dari derajat perkembangan alveolus dan tegangan sekat antara alveoli. Sel alveolar besar ialah sel yang tampak sebagai dinding alveolus pada pengamatan dengan mikroskop cahaya. Sel ini terletak lebar ke dalam daripada pneumosit type I. Kompleks golginya sangat besar disertai granular endoplasma retikulum dengan ribosom


(36)

bebas. Kadang-kadang tampak bangunan ini terdapat dipermukaan sel seperti gambaran sekresi sel kelenjar. Diduga benda-benda ini merupakan cadangan zat yang berguna untuk menurunkan tegangan permukaan dan mempertahankan bentuk dan besar alveolus. Secret tersebut dinamakan surfaktan. Udara di dalam alveolus dan darah dalam kapiler dipisahkan oleh sitoplasma sel epitel alveolus, membrana basalis epitel alveolus, membrana basalis yang meliputi endotel kapiler darah, dan sitoplasma endotel kapiler darah (Junqueira et al., 2007).

f. Fagosit Alveolar, Sel Debu

Hampir pada setiap sediaan paru-paru ditemukan fagosit bebas. Karena mereka mengandung debu maka disebut sel debu. Pada beberapa penyakit jantung sel-sel tersebut mengandung butir-butir hemosiderin hasil fagositosis pigmen eritrosit (Junqueira et al., 2007).


(37)

Alveolus


(38)

D. Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague dawley

1. Klasifikasi

Klasifikasi tikus putih (R. norvegicus) menurut Myres & Armitage (2004) yaitu:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Subordo : Sciurognathi Familia : Muridae Genus : Rattus

Species : Rattus norvegicus

2. Jenis

Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan hewan pengerat dan sering digunakan sebagai hewan percobaan atau untuk penelitian, dikarenakan tikus merupakan hewan yang mewakili dari kelas mamalia, sehingga kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme biokimianya, sistem reproduksi, pernafasan, peredaran darah dan ekskresi menyerupai manusia (Isroi, 2010).


(39)

Tikus putih (Rattus norvegicus) memiliki beberapa sifat menguntungkan seperti berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, lebih tenang dan ukurannya lebih besar daripada mencit. Tikus putih juga memiliki ciri-ciri albino, kepala kecil dan ekor lebih panjang dibandingkan badannya, pertumbuhan cepat, tempramen baik, dan tahan terhadap perlakuan. Keuntungan utama tikus putih Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley adalah ketenangan dan kemudahan penanganannya (Kesenja, 2005).

3. Biologi Tikus Putih

Tikus putih (R. norvegicus) yang memiliki nama lain Norway rat, termasuk ke dalam hewan mamalia yang memiliki ekor panjang. Ciri-ciri galur ini yaitu bertubuh panjang dengan kepala lebih sempit. Telinga tikus ini tebal dan pendek dengan rambut halus. Mata tikus putih berwarna merah. Ciri yang paling terlihat adalah ekornya yang panjang. Bobot badan tikus jantan pada umur dua belas minggu mencapai 240 gram sedangkan betinanya mencapai 200 gram. Tikus memiliki lama hidup berkisar antara 4–5 tahun dengan berat badan umum tikus jantan berkisar antara 267–500 gram dan betina 225–325 gram (Sirois, 2005).


(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode acak terkontrol dengan pola post test-only control group design. Menggunakan 25 ekor tikus putih betina (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley berumur 5 minggu yang dipilih secara random yang dibagi menjadi 5 kelompok.

B. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di animal house FK Unila, sedangkan pembuatan preparat dan pengamatannya dilakukan di laboratorium Patologi Anatomi dan Histologi FK Unila. Penelitian dilaksanakan selama lima bulan, yaitu Agustus sampai Desember.


(41)

C. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini menggunakan tikus putih betina (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley berumur 5 minggu yang diperoleh dari laboratorium Balai Penelitian Veteriner (BALITVET) Bogor.

Sebagai sampel penelitian digunakan 25 ekor tikus betina yang dipilih secara acak dan dibagi dalam 5 kelompok dengan pengulangan sebanyak 5 kali. Untuk penelitian eksperimen dengan rancangan acak lengkap, acak kelompok atau faktorial, rumus penentuan sampelnya adalah:

(t-1)(r-1)> 15

Dimana t adalah jumlah kelompok percobaan dan r adalah jumlah pengulangan atau jumlah sampel tiap kelompok. Penelitian ini dibagi dalam 5 kelompok perlakuan sehingga perhitungan sampelnya:

(5-1)(r-1)>15

4n-4>15

4n>19

n>4,75

Jadi, dengan jumlah kelompok percobaan adalah 5 kelompok dan sampel yang digunakan dalam setiap kelompok percobaan andalah 5 ekor (n>4,75), penelitian ini memakai 25 ekor tikus putih betina.


(42)

Kriteria inklusi dan ekslusi: 1. Kriteria inklusi

a. Sehat

b. Memiliki berat badan 180-200 gram c. Jenis kelamin betina

d. Berusia 5 minggu

2. Kriteria ekslusi

a. Sakit (penampakan rambut kusam, rontok atau botak dan aktivitas kurang atau tidak aktif, keluarnya eksudat yang tidak normal dari mata, mulut, anus, genital).

b. Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi di laboratorium.

D. Alat dan Bahan

1. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan ada dua yaitu DMBA dengan dosis 30 mg/kgBB dan ekstrak mahkota dewa (Phaleria macrocarfa) dengan dosis 120 mg/kgBB, 240 mg/kgBB, dan 480 mg/kgBB.


(43)

2. Bahan Kimia

Bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat histologis dengan metode paraffin meliputi: formalin 10% untuk fiksasi, alkohol 70%, alkohol 96%, alkohol absolut, etanol, xylol, pewarna Hematoksilin dan Eosin, dan entelan.

3. Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Neraca analitik Metler Toledo dengan tingkat ketelitian 0,01 g, untuk menimbang berat tikus

b. Spuit oral 1 cc

c. Alat bedah minor untuk pembedahan tikus d. Kandang tikus

e. Botol minuman tikus f. Mikroskop cahaya

4. Alat Pembuat Preparat Histopatologi

Alat pembuat preparat histopatologi yang digunakan adalah object glass, deck glass, tissue cassette, rotarymicrotome, oven, water bath, platening table, autochnicom processor, staining jar, rak pewarnaan, kertas saring, histoplast, dan parafin dispenser.


(44)

E. Prosedur Penelitian

1. Metode Pembuatan Ekstrak Etanol 70% Buah Mahkota Dewa Cara pembuatan ekstrak buah mahkota dewa :

Proses pembuatan ekstrak buah mahkota dewa dalam penelitian ini menggunakan etanol sebagai pelarut.

Ekstraksi dimulai dari penimbangan daun mahkota dewa. Selanjutnya seluruh bagian tumbuhan dikeringkan dalam lemari pengering, dibuat serbuk dengan menggunakan blender atau mesin penyerbuk. Etanol dengan kadar 70% ditambahkan untuk melakukan ekstraksi dari serbuk ini selama kurang lebih 2 (dua) jam kemudian dilanjutkan maserasi selama 24 jam. Setelah masuk ke tahap filtrasi, akan diperoleh filtrat dan residu. Filtrat yang didapatkan akan diteruskan ke tahap evaporasi dengan Rotary evaporator pada suhu 40 0C sehingga akhirnya diperoleh ekstrak kering (Sulistianto dkk., 2004)

2. Prosedur Pemberian Dosis Ekstrak Etanol 70% Buah Mahkota Dewa Dosis ekstrak buah mahkota dewa pada ekperimen ini adalah 120 mg/kgBB yang didapat dari dosis mencit pada penelitian sebelumnya yang telah dikonversi ke dosis manusia terlebih dahulu (Rahmawati dkk., 2006).

Dosis tikus (200g) = 120 mg/kgBB /1000 = 0,12 mg/gBB x 200 = 24 mg/200gBB


(45)

Dosis untuk 200g tikus adalah 24 mg/200gBB. Dalam penelitian ini kelompok kontrol negatif dan kontrol positif tidak diberikan ekstrak etanol 70% buah mahkota dewa. Dosis awal ekstrak etanol 70% buah mahkota dewa diambil dari dosis normal tikus, sedangkan dosis kedua diambil dari hasil pengalian 2x dosis pertama dan dosis ketiga diambil dari hasil pengalian 4x dari dosis awal. Jadi, dosis yang digunakan untuk tiap tikus pada kelompok III adalah sebanyak 24 mg/200gBB, pada kelompok IV adalah 48 mg/200gBB, dan pada kelompok V adalah 96 mg/gBB.

Volume ekstrak etanol 70% buah mahkota dewa diberikan secara oral sebanyak 1 ml yang merupakan volume yang boleh diberikan berdasarkan pada volume normal lambung tikus yaitu 3–5 ml. Jika volume ekstrak melebihi volume lambung, dapat berakibat dilatasi lambung secara akut yang dapat menyebabkan robeknya saluran cerna (Ngatidjan, 2006).

3. Prosedur Pemberian Dosis DMBA

Dosis DMBA yang digunakan dalam penelitian ini adalah dosis tunggal 30mg/kgBB intraperitoneal. Dosis ini merupakan dosis karsinogenik pada tikus.


(46)

a. Tikus sebanyak 25 ekor, dikelompokkan dalam 5 kelompok. Kelompok I sebagai kontrol normal, hanya yang diberi aquades dan pakan protein 14% untuk riset. Kelompok II sebagai kontrol patologis, diberikan DMBA dengan dosis 30mg/kgBB. Kelompok III adalah kelompok perlakuan coba dengan pemberian ekstrak mahkota dewa dosis 120 mg/kgBB/tikus, kelompok IV dengan dosis mahkota dewa sebanyak 240 mg/kgBB/tikus, dan kelompok V dengan dosis mahkota dewa sebanyak 480 mg/kgBB/tikus. Masing-masing mahkota dewa diberikan secara peroral selama 15 hari.

b. Setelah 15 hari, perlakuan diberhentikan.

c. Selanjutnya tikus dinarkose dengan eter dan dilakukan pembedahan untuk mengambil organ paru-paru.

d. Dilakukan laparotomi, paru-paru tikus diambil untuk sediaan mikroskopis. Pembuatan sediaan mikroskopis dengan metode paraffin dan pewarnaa Hematoksilin Eosin.

e. Sampel paru difiksasi dengan formalin 10%. f. Teknik pembuatan preparat:

1) Fixation

a) Memfiksasi spesimen berupa potongan organ paru yang telah dipilih segera dengan larutan pengawet formalin 10%.

b) Mencuci dengan air mengalir.


(47)

a) Mengecilkan organ ±3 mm.

b) Memasukkan potongan organ paru tersebut ke dalam embedding cassette.

3) Dehidrasi

a) Menuntaskan air dengan meletakkan embedding cassette pada kertas tisu.

b) Berturut-turut melakukan perendaman organ paru dalam alkohol bertingkat 70%, 96%, alkohol absolut I, II, III masing-masing selama 1 jam.

c) Clearing

Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukan clearing dengan xilol I, II, III masing-masing selama 30 menit.

4) Impregnasi

Impregnasi dengan menggunakan paraffin I dan II masing-masing selama 1 jam di dalam inkubator dengan suhu 65,10C.

5) Embedding

a) Menuangkan paraffin cair dalam pan.

b) Memindahkan satu persatu dari embedding cassette ke dasar pan.

c) Melepaskan paraffin yang berisi potongan paru dari pan dengan memasukkan ke dalam suhu 4-60C beberapa saat. d) Memotong paraffin sesuai dengan letak jaringan yang ada


(48)

e) Meletakkan pada balok kayu, ratakan pinggirnya dan buat ujungnya sedikit meruncing.

f) Memblok paraffin siap dipotong dengan mikrotom. 6) Cutting

a) Sebelum memotong, mendinginkan blok terlebih dahulu. b) Melakukan pemotongan kasar, dilanjutkan dengan

pemotongan halus dengan ketebalan 4-5 mikron.

c) Memilih lembaran potongan yang paling baik, mengapungkan pada air dan menghilangkan kerutannya dengan cara menekan salah satu sisi lembaran jaringan tersebut dengan ujung jarum dan sisi yan lain ditarik menggunakan kuas runcing.

d) Memindahkan lembaran jaringan ke dalam water bath selama beberapa detik sampai mengembang sempurna.

e) Dengan gerakan menyendok mengambil lembaran jaringan tersebut dengan slide bersih dan menempatkan di tengah atau pada sepertiga atas atau bawah, mencegah jangan sampai ada gelembung udara di bawah jaringan.

f) Mengeringkan slide. Jika sudah kering, slide dipanaskan untuk merekatkan jaringan dan sisa paraffin mencair sebelum pewarnaan.


(49)

Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, memilih slide yang terbaik selanjutnya secara berurutan memasukkan ke dalam zat kimia di bawah ini dengan waktu sebagai berikut: Untuk pewarnaan, zat kimia yang pertama digunakan xylol I, II, III masing-masing selama 5 menit. Kedua, zat kimia yang digunakan alkohol absolut I, II, III masing-masing selama 5 menit. Zat kimia yang ketiga aquades selama 1 menit. Keempat, potongan organ di masukkan dalam zat warna Harris Hematoxylin selama 20 menit.

Kemudian memasukkan potongan organ dalam Eosin selama 2 menit. Secara berurutan memasukkan potongan organ dalam alkohol 96% selama 2 menit, Alkohol 96%, alkohol absolut III dan IV masing-masing selama 3 menit. Terakhir, memasukkan dalam xylol IV dan V masing-masing 5 menit. 7) Mounting

Setelah pewarnaan selesai menempatkan slide diatas kertas tisu pada tempat datar, menetesi dengan bahan mounting yaitu kanada balsam dan tutup dengan cover glass cegah jangan sampai terbentuk gelembung udara.

8) Membaca slide dengan mikroskop

Slide diperiksa dibawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 40x dengan 10 lapangan pandang.


(50)

Timbang berat badan tikus

K1 K2 K3 K4 K5

Tikus diberi perlakuan

K1 K2 K3 K4 K5

Cekok Cekok Cekok` Cekok Cekok

Aquades DMBA 30 mg/kgBB DMBA 30 mg/kgBB DMBA 30 mg/kgBB DMBA 30 mg/kgBB

Timbang berat badan tikus

Adaptasi 7 hari Perlakuan 15 hari

K1 K2 K3 K4 K5

Aquades Aquades Ekstrak BMD 24 mg Ekstrak BMD 48 mg Ekstrak BMD 96 mg

1x sehari 1x sehari 1x sehari 1x sehari 1x sehari

Tikus dinarkosis dengan eter

Lakukan laparotomi lalu paru tikus diambil Sampel paru difiksasi dengan formalin 10%

Sample paru dikirim ke Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung untuk pembuatan sediaan histopatologi

Pengamatan sediaan histopatologi dengan mikroskop Interpretasi hasil pengamatan

Gambar 7. Diagram Alur Penelitian.


(51)

F. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel

1. Identifikasi Variabel

Terdapat dua variabel dalam penelitian ini, yaitu:

a. Variabel Independen

1) perlakuan coba: pemberian ekstrak etanol 70% buah mahkota dewa. 2) perlakuan kontrol negatif : pemberian DMBA tanpa pemberian ekstrak

etanol 70% buah mahkota dewa.

3) perlakuan kontrol normal : pemberian akuades

b. Variabel Dependen

Variabel dependen adalah gambaran histopatologi paru (kerusakan pada alveolus).


(52)

2. Definisi Operasional Variabel

Untuk memudahkan penelitian dan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas, maka dibuat definisi operasional seperti yang terlihat pada Tabel 1:

Tabel 1. Definisi Operasional.

Variabel Definisi Skala

Dosis ekstrak etanol 70% buah mahkota dewa

Dosis efektif tengah ektrak etanol 70% buah mahkota dewa adalah 24mg/200gBB.

Kelompok I (kontrol negatif ) = pemberian aquades Kelompok II (kontrol positif) = pemberian DMBA 30g/kgBB Kelompok III (perlakuan coba) = pemberian ekstrak etanol 70% buah mahkota dewa 24mg/200gBB + DMBA 30 mg/kgBB Kelompok IV (perlakuan coba) = pemberian ekstrak etanol 70% buah mahkota dewa 48mg/200gBB + DMBA 30 mg/kgBB Kelompok V (perlakuan coba) = pemberian ekstrak etanol 70% buah mahkota dewa 96mg/200gBB + DMBA 30 mg/kgBB.

Kategorik

Gambaran histopatologi paru-paru tikus

Gambaran histopatologi paru diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 400x. Kerusakan yang dinilai adalah jumlah infiltrasi sel radang. Skala kerusakan sel kemudian dihitung secara semikuantitatif dalam 5 lapang pandang berbeda. (Hansel & Barnes, 2004)

0= tidak ada perubahan struktur histologis

1= infiltrasi sel radang kurang dari sepertiga lapangan pandang 2=infiltasi sel radang pada sepertiga hingga duapertiga lapangan pandang

3= infiltasi sel radang lebih dari duapertiga lapangan pandang


(53)

G. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan histopatologi di bawah mikroskop diuji analisis statistik menggunakan software statistik. Hasil penelitian dianalisis apakah memiliki distribusi normal atau tidak secara statistik dengan uji normalitas Shapiro-Wilk karena jumlah sampai ≤50. Jika varians data berdistribusi normal dan homogen, dilanjutkan dengan metode uji parametrik One-way anova. Bila tidak memenuhi syarat uji parametrik, digunakan uji nonparametrik Kruskal-Wallis. Hipotesis dianggap bermakna bila p<0,050. Jika pada uji One-way anova menghasilkan nilai p<0,050, maka dilanjutkan dengan melakukan analisis Post-Hoc LSD atau jika pada uji Kruskal-Wallis bermakna dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney untuk melihat perbedaan antar kelompok perlakuan.

H. Etika Penelitian

Implikasi etik pada hewan, pengelolaan binatang pada penelitian ini mengikuti animal etics. Ilmuwan penelitian kesehatan yang menggunakan model hewan menyepakati bahwa hewan coba yang menderita dan mati untuk kepentingan manusia perlu dijamin kesejahteraannya dan diperlakukan secara manusiawi. Dalam penelitian kesehatan yang memanfaatkan hewan coba,


(54)

penulis menerapkan protokol penelitian, yaitu: replacement, reduction, dan refinement.

Replacement adalah keperluan memanfaatkan hewan percobaan pada penelitian ini dengan menggunakan tikus betina galur Sprague dawley sudah diperhitungkan secara seksama, baik dari pengalaman terdahulu maupun literatur untuk menjawab pertanyaan penelitian dan tidak dapat digantikan oleh mahluk hidup lain seperti sel atau biakan jaringan.

Reduction diartikan sebagai pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit mungkin, tetapi tetap mendapatkan hasil yang optimal. Dalam hal ini peneliti memakai rumus frederer, dimana rumus ini untuk mencari jumlah minimum yang dihitung menggunakan rumus Frederer yaitu (t-1)(r-1)>15, dimana t merupakan jumlah kelompok percobaan dan r merupakan jumlah pengulangan atau jumlah sampel tiap kelompok.

Refinement adalah memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi (humane), memelihara hewan dengan baik, tidak menyakiti hewan, serta meminimalisasi perlakuan yang menyakitkan sehingga menjamin kesejahteraan hewan coba sampai akhir penelitian. Pada dasarnya prinsip refinement berarti membebaskan hewan coba dari beberapa kondisi, dimana peneliti melakukan beberapa perlakuan pada hewan coba. Pertama, bebas dari rasa lapar dan haus, dengan memberikan akses makanan dan air minum yang


(55)

sesuai dengan jumlah yang memadai baik jumlah dan komposisi nutrisi untuk kesehatannya. Kedua, hewan percobaan bebas dari ketidaknyamanan, disajikan lingkungan yang bersih dan paling sesuai dengan biologi hewan percobaan yang dipilih, dengan perhatian terhadap: siklus cahaya, suhu, kelembaban lingkungan, dan fasilitas fisik seperti ukuran kandang untuk kebebasan bergerak, kebiasaan hewan untuk mengelompok atau menyendiri.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Attar HA, Telfah AD. 2004. Optical constants of polyaniline/poly (methylmethacrylate) blend. Optics Communications. 229: 263–70.

Ancuceanu RV, Victoria I. 2004. Pharmacologically active natural compounds for lung cancer. Altern Med Rev. 9(4): 402–19.

Andriyanti, R. 2009. Ekstraksi senyawa aktif antioksidan dari lintah laut (Discodoris sp.) asal perairan Kepulauan Belitung. Skripsi. Bogor: IPB. hlm. 1–70.

Dewanti TW, Wulan NS, Nur IC. 2004. Aktivitas antioksidan dan antibakteri produk kering, instan, dan effervescent dari buah mahkota dewa (phaleria macrocarpa). Malang: Jurnal Teknologi Pertanian Unibraw. hlm. 13. Droge W. 2002. Free radicals in the physiological control of cell function. Physiol

Rev. 82: 47–95.

Faiz O, Moffat D. 2011. Anatomy at a glance, 3rd edition. UK: Blackwell Science Ltd. pp.157.

Gao J, Lauer FT, Mitchell LA, Burchiel SW. 2007. Microsomal expoxide hydrolase is required for 7,12-Dimethylbenz[a]anthracene (DMBA)– induced immunotoxicity in mice. Toxicological Sciences. 98(1): 137–44. Guyton C, Hall E. 2006. Textbook of medical physiology, 11th edition.

Philadelphia, USA: Elsevier Saunders. pp. 495–7.

Hansel TT, Barnes PJ. 2009. New drugs for exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease. Lancet. 374: 744–55.

Harmanto N. 2001. Mahkota dewa: obat pusaka para dewa. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka. hlm. 13.

Harmanto N. 2003. Menaklukkan penyakit bersama mahkota dewa. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka. hlm. 17–9.

Harmanto N. 2002. Sehat dengan ramuan tradisional mahkota dewa. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka. hlm. 23.


(57)

Irawan D. 2006. Penentuan aktivitas antioksidan ekstrak mahkota dewa, temu putih, sambil loto, dan keladi tikus secara in vitro. Skripsi. Bogor: FMIPA, IPB. hlm. 1-55.

Isroi. 2010. Biologi Rat (Rattus norvegicus). http://isroi.wordpress.com. Diakses pada tanggal 25 September 2013, pukul 19.00 WIB.

Junqueira L, Carneiro J, Kelley O. 2007. Basic histology: text and atlas, 13th edition. Philadelphia: McDraw Hill. pp. 335–51.

Kasolo JN, Bimeya GS, Ojok L, Ochieng J, Okwal-okeng JW. 2010. Phytochemicals and uses of moringa oleifera leaves in ugandan rural communities. Journal of Medical Plant Research. 4(9): 753–7.

Kesenja R. 2005. Pemanfaatan tepung buah pare (Momordica charantia L.) untuk penurunan kadar glukosa darah pada tikus diabetes mellitus. Skripsi. Bogor: IPB. hlm. 1-60.

Kim JM, Lee EK, Kim DH, Yu BP, Chung HY. 2010. Kaempferol modulates pro-inflammatory NF-kappaB activation by suppressing advanced glycation endproduct-induced NADPH oxidase. The Official Journal of the American Aging Association. 32(2): 197–208.

Kirkham P, Rahman I. 2005. Oxidative stress in asthma and COPD: antioxidants as a theurapeutic strategy. Respiratory Diseases, Noviartis Institutes for Biochemical Research, Westham, North Sussex, UK. pp: 13.

Kopper L, Timar J. 2005. Pathology and oncology research. Official Journal of the Arányi Lajos Foundation. pp. 33.

Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. (2007). Robbins basic pathology, 7th edition. New York: Elsevier Inc. pp: 333-40.

Lisdawati V. 2003. Penelitian ilmiah berdasarkan penapisan dan identifikasi senyawa aktif mahkota dewa. Makalah seminar menguak posisi dan potensi mahkota dewa sebagai obat tradisional. Jakarta. hlm. 1–31.

Manoharan S, Wani SA, Vasudevan K, Manimaran A, Prabhakar MM, Karthikeyan S, Rajasekaran D. 2013. Saffron reduction of 7,12-dimethylbenz[a]anthracene-induced hamster buccal pouch carcinogenesis. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention. 2(14): 951–7.

Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. 2009. Clinically oriented anatomy. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. hlm. 45–7.


(58)

Myres P, Armitage D. 2004. Rattus novergicus animal diversiy. http://animaldiversity.umuz.umich.edu/site/accounts/information/Rattusn overgicus.html. Diakses tanggal 20 September 2013 pukul 19.00 WIB. Ngatidjan PS. 2006. Metode laboratorium dan toksikologi. Artikel Kesehatan.

Yogyakarta: FK UGM. hlm. 34.

Nurulita NA, Siswanto A. 2007. Efek sitotoksik dan antiproliferatif ekstrak kloroform buah mahkota dewa terhadap sel kanker payudara T47D. Jurnal Farmasi Indonesia. 3(4): 168–75.

Prasetyo B, Praseno, Astuti I. 2002. Pengaruh rebusan herbal meniran (Phyllanthus niruri L.) terhadap kadar alanin amino transferase mencit putih (Mus musculus) yang diinduksi karbon tatraklorida. Artikel penelitian. Yogyakarta. hlm. 15.

Price SA, Wilson LM. 2006. Pathophysiology: clinical concepts of disease processes, 6th edition. New York: McGraw Hill. pp. 820–1.

Rahmawati E, Dewoto RH, Wuyung EP. 2006. Anticancer activity study of ethanol extract of mahkota dewa fruit pulp (Phaleria macrocarpa) in C3H mouse mammary tumor induced by transplantation. Med J Indonesia. 15(4): 1–6.

Rohyami Y. 2008. Penentuan kandungan flavonoid dari ekstrak metanol daging buah mahkota dewa. Jurnal Logika. 5: 1–16.

Sahdiah H. 2013. Pengaruh pemberian ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap gambaran histopatologi hepar tikus putih yang diinduksi isoniazid. Lampung: Majority FK UNILA. 2(2): 7.

Salim. 2006. Penentuan Daya Inhibisi Ekstrak Air dan Etanol Daging Buah Mahkota Dewa terhadap Aktivita Enzim Tirosin Kinase secara In Vitro. Skripsi. Bogor: FMIPA IPB. hlm. 1-60.

Sanjaya A. 2006. Pengaruh pemberian rebusan buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap jumlah kuman pada hepar mencit Balb/c yang diinfeksi salmonella typhimurium. Artikel Ilmiah. Semarang: FK Universitas Diponegoro. hlm. 55–7.

Satria E. 2005. Potensi antioksidan dari daging buah muda dan daging buah tua mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.]. Skripsi. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB. hlm. 1–22.

Sharma V, Paliwal R, Janmeda P, Sharma S. 2012. Chemopreventive efficacy of moringa oleifera pods against 7,12-Dimethylbenz[a]anthracene induced hepatic carcinogenesis in mice. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention. 13: 2563–9.


(59)

Shekon SS. 2011. Efek pemberian vitamin E terhadap jumlah sel radang alveoli paru tikus galur wistar yang dipapar asap rokok kretek subakut. Skripsi. Malang: FK Universitas Brawijaya. hlm: 1–85.

Simanjuntak P. 2008. Identifikasi senyawa kimia dalam buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) thymelaceae. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. hlm. 23–8.

Sirois M. 2005. Laboratory animal medicine: principles and procedures. United States of America: Mosby, Inc. pp. 16–8.

Sloane E. 2003. Anatomy and physiology: an easy learner. Philadelphia: McDraw Hill. pp. 269.

Slomianka L. 2009. Blue histology respiratory system. http://www.lab.anhb.uwa.edu.au/mb140/CorePages/Respiratory/respir.htm. Diakses tanggal 22 Oktober 2013 pukul 19.00 WIB.

Soeksmanto A. 2006. Pemberian ekstreak butanol buah tua mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap jaringan ginjal mencit (Mus musculus). Biodiversitas. 7(3): 278–281.

Soeksmanto A, Hapsari Y, Simanjuntak P. 2007. Kandungan antioksidan pada beberapa bagian tanaman mahkota dewa. Jakarta: Jurnal Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. Hlm. 8–9.

Sofia D. 2005. Antioksidan dan radikal bebas. Majalah ACID FMIPA Universitas Lampung. 3(5): 17.

Stevenson CS, Koch LG, Britton SL. 2005. Aerobic capacity, oxidant stress, and chronic obstrctive pulmonary disease – a new take on an old hypotesis. Pharmacology & Theurapeutics. pp. 71–82.

Sulistianto DE, Harini M, Handajani NS. 2004. Pengaruh pemberian ekstrak buah mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl] terhadap struktur histopatologis hepar tikus (Rattus norvegicus L.) setelah perlakuan dengan karbon tetraklorida (CCl4) secara oral. Skripsi. Surakarta: FMIPA, Universitas Sebelas Maret. hlm. 1–55.

Syukri Y, Saepudin. 2008. Aktivitas antikarsinogenesis ekstrak etanol daging buah mahkota dewa pada mencit yang diinduksi 7,12-Dimetilbenz(a)antrasena. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 6(2): 63–7. Widiyanti R. 2009. Analisis kandungan senyawa fenol. Jakarta: Universitas


(60)

Winarsi H. 2005. Isoflavon: Berbagai sumber, sifat, dan manfaat pada penyakit degeneratif, ed.1. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. hlm. 9-10. Winarto WP. 2003. Mahkota dewa: budi daya dan pemanfaatan untuk obat.

Jakarta: Penebar Swadaya. hlm. 2–10.

Zhang L, Fang B. 2005. Mechanism of resistance to TRAIL-induces apoptosis in cancer. Cancer Gene Therapy. 12(3): 228–37.


(1)

sesuai dengan jumlah yang memadai baik jumlah dan komposisi nutrisi untuk kesehatannya. Kedua, hewan percobaan bebas dari ketidaknyamanan, disajikan lingkungan yang bersih dan paling sesuai dengan biologi hewan percobaan yang dipilih, dengan perhatian terhadap: siklus cahaya, suhu, kelembaban lingkungan, dan fasilitas fisik seperti ukuran kandang untuk kebebasan bergerak, kebiasaan hewan untuk mengelompok atau menyendiri.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Attar HA, Telfah AD. 2004. Optical constants of polyaniline/poly (methylmethacrylate) blend. Optics Communications. 229: 263–70.

Ancuceanu RV, Victoria I. 2004. Pharmacologically active natural compounds for lung cancer. Altern Med Rev. 9(4): 402–19.

Andriyanti, R. 2009. Ekstraksi senyawa aktif antioksidan dari lintah laut (Discodoris sp.) asal perairan Kepulauan Belitung. Skripsi. Bogor: IPB. hlm. 1–70.

Dewanti TW, Wulan NS, Nur IC. 2004. Aktivitas antioksidan dan antibakteri produk kering, instan, dan effervescent dari buah mahkota dewa (phaleria macrocarpa). Malang: Jurnal Teknologi Pertanian Unibraw. hlm. 13. Droge W. 2002. Free radicals in the physiological control of cell function. Physiol

Rev. 82: 47–95.

Faiz O, Moffat D. 2011. Anatomy at a glance, 3rd edition. UK: Blackwell Science Ltd. pp.157.

Gao J, Lauer FT, Mitchell LA, Burchiel SW. 2007. Microsomal expoxide hydrolase is required for 7,12-Dimethylbenz[a]anthracene (DMBA)– induced immunotoxicity in mice. Toxicological Sciences. 98(1): 137–44. Guyton C, Hall E. 2006. Textbook of medical physiology, 11th edition.

Philadelphia, USA: Elsevier Saunders. pp. 495–7.

Hansel TT, Barnes PJ. 2009. New drugs for exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease. Lancet. 374: 744–55.

Harmanto N. 2001. Mahkota dewa: obat pusaka para dewa. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka. hlm. 13.

Harmanto N. 2003. Menaklukkan penyakit bersama mahkota dewa. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka. hlm. 17–9.

Harmanto N. 2002. Sehat dengan ramuan tradisional mahkota dewa. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka. hlm. 23.


(3)

Irawan D. 2006. Penentuan aktivitas antioksidan ekstrak mahkota dewa, temu putih, sambil loto, dan keladi tikus secara in vitro. Skripsi. Bogor: FMIPA, IPB. hlm. 1-55.

Isroi. 2010. Biologi Rat (Rattus norvegicus). http://isroi.wordpress.com. Diakses pada tanggal 25 September 2013, pukul 19.00 WIB.

Junqueira L, Carneiro J, Kelley O. 2007. Basic histology: text and atlas, 13th edition. Philadelphia: McDraw Hill. pp. 335–51.

Kasolo JN, Bimeya GS, Ojok L, Ochieng J, Okwal-okeng JW. 2010. Phytochemicals and uses of moringa oleifera leaves in ugandan rural communities. Journal of Medical Plant Research. 4(9): 753–7.

Kesenja R. 2005. Pemanfaatan tepung buah pare (Momordica charantia L.) untuk penurunan kadar glukosa darah pada tikus diabetes mellitus. Skripsi. Bogor: IPB. hlm. 1-60.

Kim JM, Lee EK, Kim DH, Yu BP, Chung HY. 2010. Kaempferol modulates pro-inflammatory NF-kappaB activation by suppressing advanced glycation endproduct-induced NADPH oxidase. The Official Journal of the American Aging Association. 32(2): 197–208.

Kirkham P, Rahman I. 2005. Oxidative stress in asthma and COPD: antioxidants as a theurapeutic strategy. Respiratory Diseases, Noviartis Institutes for Biochemical Research, Westham, North Sussex, UK. pp: 13.

Kopper L, Timar J. 2005. Pathology and oncology research. Official Journal of the Arányi Lajos Foundation. pp. 33.

Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. (2007). Robbins basic pathology, 7th edition. New York: Elsevier Inc. pp: 333-40.

Lisdawati V. 2003. Penelitian ilmiah berdasarkan penapisan dan identifikasi senyawa aktif mahkota dewa. Makalah seminar menguak posisi dan potensi mahkota dewa sebagai obat tradisional. Jakarta. hlm. 1–31.

Manoharan S, Wani SA, Vasudevan K, Manimaran A, Prabhakar MM, Karthikeyan S, Rajasekaran D. 2013. Saffron reduction of 7,12-dimethylbenz[a]anthracene-induced hamster buccal pouch carcinogenesis. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention. 2(14): 951–7.

Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. 2009. Clinically oriented anatomy. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. hlm. 45–7.


(4)

Myres P, Armitage D. 2004. Rattus novergicus animal diversiy. http://animaldiversity.umuz.umich.edu/site/accounts/information/Rattusn overgicus.html. Diakses tanggal 20 September 2013 pukul 19.00 WIB. Ngatidjan PS. 2006. Metode laboratorium dan toksikologi. Artikel Kesehatan.

Yogyakarta: FK UGM. hlm. 34.

Nurulita NA, Siswanto A. 2007. Efek sitotoksik dan antiproliferatif ekstrak kloroform buah mahkota dewa terhadap sel kanker payudara T47D. Jurnal Farmasi Indonesia. 3(4): 168–75.

Prasetyo B, Praseno, Astuti I. 2002. Pengaruh rebusan herbal meniran (Phyllanthus niruri L.) terhadap kadar alanin amino transferase mencit putih (Mus musculus) yang diinduksi karbon tatraklorida. Artikel penelitian. Yogyakarta. hlm. 15.

Price SA, Wilson LM. 2006. Pathophysiology: clinical concepts of disease processes, 6th edition. New York: McGraw Hill. pp. 820–1.

Rahmawati E, Dewoto RH, Wuyung EP. 2006. Anticancer activity study of ethanol extract of mahkota dewa fruit pulp (Phaleria macrocarpa) in C3H

mouse mammary tumor induced by transplantation. Med J Indonesia. 15(4): 1–6.

Rohyami Y. 2008. Penentuan kandungan flavonoid dari ekstrak metanol daging buah mahkota dewa. Jurnal Logika. 5: 1–16.

Sahdiah H. 2013. Pengaruh pemberian ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap gambaran histopatologi hepar tikus putih yang diinduksi isoniazid. Lampung: Majority FK UNILA. 2(2): 7.

Salim. 2006. Penentuan Daya Inhibisi Ekstrak Air dan Etanol Daging Buah Mahkota Dewa terhadap Aktivita Enzim Tirosin Kinase secara In Vitro. Skripsi. Bogor: FMIPA IPB. hlm. 1-60.

Sanjaya A. 2006. Pengaruh pemberian rebusan buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap jumlah kuman pada hepar mencit Balb/c yang diinfeksi salmonella typhimurium. Artikel Ilmiah. Semarang: FK Universitas Diponegoro. hlm. 55–7.

Satria E. 2005. Potensi antioksidan dari daging buah muda dan daging buah tua mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.]. Skripsi. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB. hlm. 1–22.

Sharma V, Paliwal R, Janmeda P, Sharma S. 2012. Chemopreventive efficacy of moringa oleifera pods against 7,12-Dimethylbenz[a]anthracene induced hepatic carcinogenesis in mice. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention. 13: 2563–9.


(5)

Shekon SS. 2011. Efek pemberian vitamin E terhadap jumlah sel radang alveoli paru tikus galur wistar yang dipapar asap rokok kretek subakut. Skripsi. Malang: FK Universitas Brawijaya. hlm: 1–85.

Simanjuntak P. 2008. Identifikasi senyawa kimia dalam buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) thymelaceae. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. hlm. 23–8.

Sirois M. 2005. Laboratory animal medicine: principles and procedures. United States of America: Mosby, Inc. pp. 16–8.

Sloane E. 2003. Anatomy and physiology: an easy learner. Philadelphia: McDraw Hill. pp. 269.

Slomianka L. 2009. Blue histology respiratory system. http://www.lab.anhb.uwa.edu.au/mb140/CorePages/Respiratory/respir.htm. Diakses tanggal 22 Oktober 2013 pukul 19.00 WIB.

Soeksmanto A. 2006. Pemberian ekstreak butanol buah tua mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap jaringan ginjal mencit (Mus musculus). Biodiversitas. 7(3): 278–281.

Soeksmanto A, Hapsari Y, Simanjuntak P. 2007. Kandungan antioksidan pada beberapa bagian tanaman mahkota dewa. Jakarta: Jurnal Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. Hlm. 8–9.

Sofia D. 2005. Antioksidan dan radikal bebas. MajalahACID FMIPA Universitas Lampung. 3(5): 17.

Stevenson CS, Koch LG, Britton SL. 2005. Aerobic capacity, oxidant stress, and chronic obstrctive pulmonary disease – a new take on an old hypotesis. Pharmacology & Theurapeutics. pp. 71–82.

Sulistianto DE, Harini M, Handajani NS. 2004. Pengaruh pemberian ekstrak buah mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl] terhadap struktur histopatologis hepar tikus (Rattus norvegicus L.) setelah perlakuan dengan karbon tetraklorida (CCl4) secara oral. Skripsi. Surakarta: FMIPA, Universitas Sebelas Maret. hlm. 1–55.

Syukri Y, Saepudin. 2008. Aktivitas antikarsinogenesis ekstrak etanol daging buah mahkota dewa pada mencit yang diinduksi 7,12-Dimetilbenz(a)antrasena. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 6(2): 63–7. Widiyanti R. 2009. Analisis kandungan senyawa fenol. Jakarta: Universitas


(6)

Winarsi H. 2005. Isoflavon: Berbagai sumber, sifat, dan manfaat pada penyakit degeneratif, ed.1. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. hlm. 9-10. Winarto WP. 2003. Mahkota dewa: budi daya dan pemanfaatan untuk obat.

Jakarta: Penebar Swadaya. hlm. 2–10.

Zhang L, Fang B. 2005. Mechanism of resistance to TRAIL-induces apoptosis in cancer. Cancer Gene Therapy. 12(3): 228–37.