Pengetahuan, sikap, dan tindakan petani dalam pengelolaan hama dan penyakit pepaya di Kecamatan Rancabungur, Bogor.

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN PETANI
DALAM PENGELOLAAN HAMA DAN PENYAKIT PEPAYA
DI KECAMATAN RANCABUNGUR, BOGOR

LIA NAZIRAH

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

ABSTRAK

LIA NAZIRAH. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani dalam Pengelolaan
Hama dan Penyakit Pepaya di Kecamatan Rancabungur, Bogor. Dibimbing oleh
KIKIN HAMZAH MUTAQIN dan SURYO WIYONO.
Pepaya merupakan salah satu tanaman buah yang banyak ditanam dan
dikonsumsi di Indonesia. Bogor merupakan salah satu daerah sentra produksi
tanaman pepaya di Indonesia. Serangan hama dan penyakit merupakan masalah
terpenting yang dapat menghambat produksi dari tanaman pepaya.

Penelitian ini bertujuan memperoleh informasi dan analisis tentang
pengetahuan, sikap, dan tindakan petani responden dalam pengelolaan hama dan
penyakit tanaman pepaya di Kecamatan Rancabungur, Bogor. Penelitian
dilaksanakan di beberapa desa di Kecamatan Rancabungur yaitu Rancabungur,
Bantar Sari, Bantar Jaya, dan Mekar Sari. Penelitian berlangsung dari Mei hingga
Agustus 2010. Data diperoleh melalui wawancara dengan 40 petani menggunakan
kuesioner tentang karakteristik petani, karakteristik usaha tani, budidaya tanaman,
dan pengelolaan hama dan penyakit. Data yang diperoleh disajikan secara
deskriptif dan dianalisis dengan menggunakan uji χ2 (chi-square) untuk melihat
hubungan antara umur, pendidikan, pengalaman usaha tani, keanggotaan
kelompok tani (gapoktan), dan keikutsertaan petani dalam Sekolah Lapangan
Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) terhadap pengetahuan, sikap, dan tindakan
petani dalam budidaya tanaman mereka.
Petani responden umumnya memperoleh pengetahuan usaha tani dari
berbagi pengalaman dengan petani lain atau pengetahuan yang turun-temurun.
Petani respondan melakukan pemupukan tanaman dengan pupuk kandang, pupuk
buatan, dan pupuk cair. Sebagian besar petani melakukan pemupukan berdasarkan
pengalaman dan kebiasaan mereka, dengan tidak terlalu memperhatikan dosis
anjuran dan cara aplikasi. Petani responden umumnya telah mengetahui bahwa
kutu putih dan penyakit antraknosa merupakan hama dan penyakit paling

merugikan dalam budidaya pepaya
Hasil penelitian menunjukkan bahwa budidaya tanaman, tindakan
pengendalian, dan penggunaan pestisida terhadap pengetahuan dan tindakan
petani sesuai dengan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Namun sikap
petani kurang sesuai dengan konsep PHT. Hubungan antara usia, pendidikan,
pengalaman usaha tani, keanggotaan gapoktan, dan keikutsertaan petani dalam
SLPHT, menunjukkan bahwa pengetahuan petani berasosiasi dengan tingkat
pendidikan dan keikutsertaan petani dalam SLPHT. Sikap petani berasosiasi
dengan tingkat pendidikan, keanggotaan gapoktan, dan keikutsertaan petani dalam
SLPHT. Sedangkan tindakan petani hanya berasosiasi dengan tingkat pengalaman
usaha tani.

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN PETANI
DALAM PENGELOLAAN HAMA DAN PENYAKIT PEPAYA
DI KECAMATAN RANCABUNGUR, BOGOR,

LIA NAZIRAH

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Judul

: PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN PETANI DALAM
PENGELOLAAN

HAMA

DAN

PENYAKIT


PEPAYA

DI

KECAMATAN RANCABUNGUR, BOGOR
Nama

: Lia Nazirah

NRP

: A34062490

Disetujui

Dosen Pembimbing

Pembimbing I


Pembimbing II

Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, MSi.

Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc.Agr.

NIP. 19680602 199302 1 003

NIP. 19690212 199203 1 003

Diketahui
Ketua Departemen Proteksi Tanaman
Fakultas Pertanian IPB

Dr. Ir. Dadang, MSc.
NIP. 19640204 199002 1 002
Tanggal Pengesahan: 

RIWAYAT HIDUP


Penulis dilahirkan di Sigli, Aceh, pada tanggal 17 Februari 1988. Penulis
merupakan anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Mansur dan Ibu
Hayati.
Pada tahun 1994 penulis memulai sekolah di SD No. 2 Teupin Raya,
Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh dan lulus tahun 2000. Penulis melanjutkan
pendidikan menengah di MTsN Glumpang Minyuek, Kabupaten Pidie, Provinsi
Aceh dan lulus tahun 2003, kemudian melanjutkan di MA Jeumala Amal,
Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh dan lulus tahun 2006. Pada tahun 2006,
penulis lulus seleksi beasiswa Kementerian Agama RI dan diterima sebagai
mahasiswa di Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai
mahasiswa di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB.
Semasa kuliah penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan. Pada
tahun 2007-2009 penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman
(HIMASITA) dan Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong (IMTR). Penulis pernah
mengikuti kegiatan magang di Laboratorium Taksonomi Serangga, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB, pada bulan Juni-Agustus 2008.
 

KATA PENGANTAR


Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang
telah memberi kekuatan dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Skripsi ini berjudul “Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani dalam Pengelolaan
Hama dan Penyakit Pepaya di Kecamatan Rancabungur, Bogor”.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuan, arahan, dan bimbingan baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam menyelesaikan tugas akhir penelitian dan skripsi ini.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, MSi.
dan Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc.Agr. selaku pembimbing skripsi yang telah
memberikan inspirasi, bimbingan, arahan, dan motivasi bagi penulis. Dr. Ir.
Purnama Hidayat, MSc. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan
bimbingan, dan semangat bagi penulis. Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, MSi selaku
dosen penguji tamu yang telah memberikan bimbingan dan arahan bagi penulis.
Terima kasih kepada para petani pepaya di Kecamatan Rancabungur atas
waktunya untuk wawancara dan izin menggunakan lahan untuk pengamatan.
Terima kasih kepada Didah, Himmah, Sulis, Vani, Amel, Ita C, Meike,
dan Atrie, atas bantuannya dalam penelitian dan penulisan skripsi. Kepada temanteman Departemen Proteksi Tanaman angkatan 43 dan Ikatan Mahasiswa Tanah
Rencong (IMTR) atas kebersamaan dan kenangannya selama ini.
Terima kasih kepada Kementerian Agama RI atas beasiswa, bimbingan,
dan bantuannya yang telah diberikan selama penulis melaksanakan studi.

Terima kasih kepada kedua orang tua, Abang Fadli, Dekda, Dekkar,
Dekfan, Kakjah, dan seluruh keluarga atas do’a, dukungan, dan kebersamaannya
selama ini.
Penulis menyadari akan keterbatasan pengetahuan dalam menyusun skripsi
ini. Penulis mengharapkan penelitian ini dapat berguna bagi semua pihak.
Bogor, Maret 2011

Penulis  

 
 
 

vii

DAFTAR ISI

Halaman
RIWAYAT HIDUP .........................................................................................


iv

KATA PENGANTAR .....................................................................................

v

DAFTAR ISI ....................................................................................................

vi

DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................

x

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................

xi

PENDAHULUAN ...........................................................................................


1

Latar belakang ......................................................................................

1

Tujuan Penelitian .................................................................................

3

TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................

4

Asal-usul pepaya ..................................................................................

4

Taksonomi pepaya ...............................................................................


4

Syarat-syarat tumbuh pepaya ...............................................................

4

Hama dan penyakit penting pepaya .....................................................

5

Pengendalian hama terpadu .................................................................

7

BAHAN DAN METODE ................................................................................

9

Tempat dan waktu ................................................................................

9

Bahan dan alat ......................................................................................

9

Metode .................................................................................................

9

Analisis data .........................................................................................

10

HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................

12

Keadaan umum lokasi ..........................................................................

12

Karakteristik petani ..............................................................................

12

Karakteristik usaha tani........................................................................

14

Permasalahan dalam usaha tani pepaya ...............................................

15

Pengetahuan petani dalam budidaya pepaya........................................

19

 
 
 

vii
Sikap petani dalam budidaya pepaya ...................................................

21

Tindakan petani dalam budidaya pepaya .............................................

24

Varietas pepaya yang ditanam ..................................................

24

Pengolahan tanah ......................................................................

25

Tumpang sari ............................................................................

26

Rotasi tanaman .........................................................................

26

Pemupukan ..............................................................................

27

Pengendalian gulma .................................................................

28

Pengendalian hama dan penyakit .........................................................

28

Pengamatan hama dan penyakit ...............................................

28

Pengendalian hama dan penyakit .............................................

29

Pengamatan musuh alami .........................................................

30

Aplikasi pestisida .................................................................................

30

Pestisida yang digunakan petani pepaya di rancabungur .........

30

Frekuensi penggunaan pestisida ...............................................

31

Pencampuran pestisida .............................................................

31

Hubungan antara usia, pendidikan, pengalaman usaha tani,
keanggotaan gapoktan , dan keikutsertaan petani dalam SLPHT
dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan petani dalam budidaya
tanaman dan pengelolaan hama dan penyakit ......................................

33

KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................

36

Kesimpulan ..........................................................................................

36

Saran ....................................................................................................

36

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

37

LAMPIRAN .....................................................................................................

39

x

DAFTAR TABEL

Halaman
1. Karakteristik petani pepaya di Kecamatan Rancabungur ..........................

13

2. Karakteristik usaha tani petani pepaya.......................................................

14

3. Permasalahan utama yang dihadapi petani pepaya di Rancabungur..........

15

4. Permasalah hama dan penyakit penting yang dihadapi petani dalam
budidaya pepaya .........................................................................................

16

5. Persepsi petani terhadap efektivitas pengendalian .....................................

16

6. Pendapat petani tentang serangan kutu putih dan penyakit antaknosa
dalam budidaya pepaya ..............................................................................

17

7. Pengetahuan petani tentang budidaya tanaman..........................................

19

8. Pengetahuan petani tentang pestisida dan penyemprotan ..........................

20

9. Pengetahuan petani tentang musuh alami ..................................................

20

10. Sikap kerasionalan petani dalam penggunaan pestisida.............................

21

11. Sikap kecenderungan petani untuk mencampur pestisida ..........................

21

12. Sikap kepedulian petani terhadap dampak panggunaan pestisida….

22

13. Sikap petani terhadap pengendalian non-kimiawi .....................................

23

14. Petani yang melakukan tumpang sari dan rotasi tanaman .........................

26

15. Pengamatan hama dan penyakit dalam selang waktu tertentu yang
dilakukan oleh petani ................................................................................

29

16. Jenis pestisida yang banyak digunakan petani pepaya di kecamatan
Rancabungur berdasarkan bahan aktif .......................................................

30

17. Frekuensi penggunaan pestisida yang digunakan petani ...........................

31

18. Tindakan petani dalam melakukan pencampuran pestisida .......................

32

19. Tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan petani dalam budidaya
tanaman dan pengelolaan hama dan penyakit ...........................................

32

20. Hubungan antara usia, pendidikan, pengalaman usaha tani, keanggotaan
gapoktan, dan keikutsertaan petani dalam SLPHT dengan pengetahuan
dalam budidaya tanaman dan pengelolaan hama dan penyakit .................

33

x
21. Hubungan antara usia, pendidikan, pengalaman usaha tani, keanggotaan
gapoktan, dan keikutsertaan petani dalam SLPHT dengan sikap dalam
budidaya tanaman dan pengelolaan hama dan penyakit ............................

34

22. Hubungan antara usia, pendidikan, pengalaman usaha tani, keanggotaan
gapoktan, dan keikutsertaan petani dalam SLPHT dengan tindakan
dalam budidaya tanaman dan pengelolaan hama dan penyakit .................

35

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Serangan kutu putih pada batang (A), serangan kutu putih pada buah (B)

18

2. Gejala serangan Ntraknosa (A), serangan antraknosa di lahan (B) ...........

18

3. Tanaman pepaya varietas California (A), Tanaman pepaya varietas
Bangkok (B) ...............................................................................................

25

 

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Tindakan petani dalam pengolahan tanah ................................................

40

2. Dosis pemupukan dalam budidaya pepaya (pertanaman) ...........................

41

3. Dosis pemupukan dalam budidaya pepaya (pertanaman), menurut RISTEK
2007.............................................................................................................

43

4. Penggunaan pupuk cair oleh petani responden dalam budidaya
tanaman pepaya ..........................................................................................

43

5. Kuesioner penelitian ...................................................................................

44



PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pepaya (Carica papaya L.) merupakan salah satu tanaman buah yang
memiliki berbagai fungsi dan manfaat. Sebagai buah segar, pepaya banyak dipilih
konsumen karena memiliki kandungan nutrisi yang baik selain harganya yang
relatif terjangkau dibandingkan buah lainnya. Sebagai bahan baku industri, pepaya
adalah penghasil papain, dimana permintaan papain cukup tinggi untuk dalam
negeri maupun untuk ekspor.
Semula tanaman pepaya hanya diusahakan sebagai tanaman perkarangan
untuk memenuhi keperluan sendiri dan menjadi tanaman hias. Namun, ketika
permintaan akan buah pepaya mulai meningkat, tanaman pepaya mulai ditanam
dalam skala luas.
Serangan hama dan patogen merupakan masalah terpenting yang dapat
menghambat produksi dari tanaman pepaya. Penyakit-penyakit penting pada
tanaman pepaya antara lain penyakit busuk akar dan pangkal batang, bercak daun
corynespora, bercak daun cercospora, penyakit tepung, penyakit bakteri, bercak
cincin, mosaik, antraknosa, dan busuk rhizopus (Semangun 2000). Sedangkan
hama utama yang menyerang tanaman pepaya yaitu kutu putih Paracoccus
marginatus Williams and Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae), yang
berasal dari Amerika Tengah. Kutu putih merupakan hama baru yang menjadi
masalah penting pada pertanaman pepaya di Indonesia, yang diketahui
keberadaannya pertama kali pada bulan Mei 2008 pada tanaman pepaya di Kebun
Raya Bogor, Jawa Barat (Miller & Miller 2002). Hama lainnya yaitu tungau
Tetranychus cinnabarinus (Acarina: Tetranychidae) (Evayani 1990).
Permasalahan hama dan penyakit tanaman merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari budidaya tanaman. Sejak Perang Dunia II, konsep
pengendalian hama dan penyakit beralih ke penggunaan pestisida, setelah
ditemukan dan digunakannya insektisida sintetik diklorodifeniltrikloretana
(DDT). Penggunaan pestisida ini menunjukkan hasil yang mengagumkan dalam
keefektivan dan keefisienan pengendalian, sehingga dalam pembangunan



pertanian menimbulkan pandangan bahwa peningkatan produksi pertanian tidak
dapat dilepaskan dari jasa pestisida (Untung 1996).
Pestisida digunakan secara terjadwal atas dasar daur hidup hama dan
penyakit, sebelum diperkenalkan konsep ambang ekonomi. Serangan hama dan
penyakit dipengaruhi oleh aplikasi pestisida dan menghasilkan hubungan yang
searah antara serangan hama dan penyakit dengan pestisida. Tetapi setelah
diperkenalkan konsep ambang ekonomi dalam strategi pengendalian hama dan
penyakit, hubungan antara aplikasi pestisida dan serangan hama dan penyakit
adalah bolak-balik, yaitu serangan hama dan penyakit dipengaruhi oleh aplikasi
pestisida, dan sebaliknya aplikasi pestisida dipengaruhi oleh serangan hama dan
penyakit (Mariyono 2002). Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana dapat
menimbulkan masalah baru dalam pembangunan pertanian. Seperti pencemaran
lingkungan, merugikan kesehatan manusia dan hewan lain, populasi serangga
sasaran menjadi resisten terhadap insektisida yang digunakan secara terusmenerus, terjadinya resurgensi setelah perlakuan insektisida, serta banyaknya
organisme yang bukan sasaran menjadi mati seperti predator, parasitoid, agens
antagonis, dan penyerbuk (Untung 2007).
Munculnya masalah-masalah baru dalam pembangunan pertanian ini,
menggugah para ahli untuk mencetuskan konsep Pengelolaan dan Pengendalian
Hama Terpadu (PHT) pada tahun 1950. Prinsip PHT adalah meminimalkan
penggunaan pestisida dengan mengintegrasikan berbagai cara pengendalian yang
kompatibel dengan tetap memperbaiki keberlanjutan lingkungan hidup. Hal ini
dapat berlangsung dengan mengutamakan pengendalian hayati, cara budidaya
tanaman sehat termasuk penggunaan tanaman tahan, serta penggunaan pestisida
dengan selalu mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan hidup. Dengan
demikian, dalam budidaya tanaman seharusnya ada populasi tertentu dari
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang ditoleransi bila populasi tersebut
tidak merugikan (Sinaga 2006).
PHT sebagai pendekatan dan teknologi pengendalian OPT yang
berwawasan ekonomi dan ekologi telah menjadi kebijakan dasar perlindungan
tanaman. Pada kenyataannya di lapangan, PHT belum begitu melembaga di



kalangan pemerintah, pejabat, dan petani. Ketergantungan petani kepada
pemerintah dalam penyampaian informasi teknologi pertanian merupakan salah
satu kelemahan dalam penerapan PHT. Meskipun sudah terbentuk struktur
kelembagaan di kalangan petani, petani masih pasif, kurang mandiri, dan hanya
menunggu perintah dan bantuan dari pemerintah. Hanya sedikit kelompok tani
yang benar-benar berani mengambil keputusan sendiri, sehingga metode
penyuluhan

dari

pemerintah

tidak

memberdayakan

petani

tetapi

lebih

meningkatkan ketergantungan mereka (Untung 2007).
Kajian dasar tentang pengetahuan, sikap, dan tindakan petani dalam
pengelolaan OPT pepaya belum tersedia di Kecamatan Rancabungur. Sehingga
perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh informasi tersebut, yang nantinya
dapat digunakan untuk pengembangan PHT pepaya.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan memperoleh informasi dan analisis tentang
pengetahuan, sikap, dan tindakan petani responden dalam pengelolaan hama dan
penyakit tanaman pepaya di Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor.



TINJAUAN PUSTAKA

Pepaya (Carica papaya L.)
Asal-usul Pepaya
Pepaya merupakan tanaman buah berupa herba yang diduga berasal dari
Amerika Tropis, diantaranya Meksiko dan Nikaragua. Penyebaran tanaman
pepaya bersamaan dengan pelayaran bangsa Portugis di abad ke-16 ke berbagai
benua dan negara, termasuk Benua Afrika dan Asia. Sekitar abad ke-17, tanaman
ini disebarkan di daerah tropis termasuk Indonesia (Kalie 2010).

Taksonomi Pepaya
Pepaya termasuk kelas Dicotyledonae, ordo Caricales, famili Caricae,
genus Carica dan termasuk tumbuhan herba besar dengan biji berkeping dua.
Tanaman pepaya dapat mencapai tinggi antara 2-10 m dengan batang bulat dan
mempunyai rongga yang berdiameter 10-20 cm dengan jaringan lunak. Daun
berselang-seling, tersusun seperti spiral melingkari batang, tunggal, dan menjari.
Permukaan daun bagian atas licin dan berwarna hijau tua, sedangkan permukaan
bawah daun berwarna agak pucat dan kasar. Tanaman pepaya mempunyai bunga
yang khas dengan bentuk bermacam-macam dan dikenal dengan bunga betina,
bunga jantan, dan bunga sempurna yang akan menghasilkan bentuk buah yang
berbeda (Soegondo 1990).

Syarat-syarat Tumbuh Pepaya
Tanaman pepaya memerlukan tanah ringan yang subur, gembur, banyak
mengandung bahan organik, aerasi dan drainase tanahnya baik dengan pH
mendekati netral (6-7). Tanaman pepaya membutuhkan iklim yang hangat dengan
penyinaran matahari penuh dan langsung setiap hari dan tidak tahan terhadap
naungan. Suhu optimal untuk pertumbuhan tanaman pepaya berkisar antara 22-26
o

C. Tanaman pepaya akan tumbuh baik pada daerah yang mempunyai curah hujan

merata sepanjang tahun. Curah hujan (CH) untuk pertanaman pepaya berkisar



antara 1000-2000 mm/tahun, dengan bulan kering (CH < 60 mm) 3-4 bulan, serta
beriklim basah (PKBT 2004).

Hama dan Penyakit Penting Pepaya
Serangan hama dan patogen merupakan masalah utama dalam budidaya
tanaman. Manusia mencoba untuk selalu mengendalikan hama dan penyakit yang
menyerang tanaman budidaya mereka dengan berbagai cara, yaitu cara fisik,
mekanik, kultur teknik, penggunaan pestisida, dan musuh alami. Berikut ini
adalah beberapa hama dan penyakit penting pada tanaman pepaya.
Kutu putih pepaya. Kutu putih pepaya Paracoccus marginatus Williams
and Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae) berasal dari Amerika
Tengah. Kutu putih merupakan hama baru yang menjadi masalah penting pada
pertanaman pepaya di Indonesia. Serangga ini diketahui keberadaannya pertama
kali pada bulan Mei 2008 pada tanaman pepaya di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat
(Muniappan et al. 2008).
Kutu putih pepaya ini merupakan serangga polifag dan menjadi hama pada
berbagai komoditas buah-buahan, sayur-sayuran, dan tanaman hias. Kisaran inang
dari kutu putih ini antara lain pepaya, jeruk, alpukat, terong, kembang sepatu, dan
acalypha. P. marginatus merupakan salah satu hama yang banyak menyerang
tanaman pepaya, dan menimbulkan kerugian yang besar (Miller dan Miller 2002).
Tungau Tetranychus sp.. Tungau ini pertama kali dilaporkan pada
tanaman ubi kayu di daerah Jawa dengan nama spesies Tetranychus cinnabarinus
(Acarina: Tetranychidae). Selain menyerang tanaman ubi kayu T. cinnabarinus
juga menyerang tanaman pepaya. Gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh tungau
berupa mengeringnya daun yang terserang. Pada daun yang terserang mula-mula
timbul bintik-bintik berwarna kuning pada pangkal daun dan sepanjang pangkal
daun. Bintik-bintik kemudian menyebar ke seluruh helai daun, daun menguning
seperti karat. Tungau tampak sebagai bintik-bintik merah pada permukaan bawah
daun (Kalshoven 1981).
Penyakit antraknosa. Penyakit antraknosa merupakan masalah penting
dalam usaha tani pepaya, yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum



gloeosporioides. Serangan penyakit ini terutama dijumpai di daerah pertanaman
pepaya yang mempunyai curah hujan yang relatif tinggi seperti Bogor, dan
sekitarnya serta beberapa daerah lain di Jawa Barat. Penyakit antraknosa ini
merupakan penyakit yang sudah lama ada dan dikenal di Indonesia, namun
ledakan dalam skala yang luas di lapangan baru terjadi akhir-akhir ini. Dari
berbagai literatur sebelumnya, antraknosa lebih dikenal sebagai penyakit pasca
panen atau penyakit gudang. Perkembangan terakhir berdasarkan pengamatan,
selain menyerang buah penyakit ini dapat menyerang batang, pucuk, daun, dan
pembibitan. Penyakit ini dapat menimbulkan kerugian besar bahkan terjadi gagal
panen (Wiyono dan Manuwoto 2009).
Penyakit Busuk akar dan pangkal batang. Penyakit Busuk akar dan
pangkal batang adalah penyakit yang cukup penting dan tersebar luas di
Indonesia, khususnya di daerah Jawa. Penyakit dapat timbul pada berbagai stadia
umur, serta menyerang akar, batang, dan buah. Mula-mula daun bawah layu,
menguning, dan menggantung di sekitar batang sebelum rontok. Seterusnya daundaun yang agak muda menunjukkan gejala yang sama sampai akhirnya tanaman
mati. Jika digali, tampak akar-akar lateral membusuk, menjadi massa berwarna
coklat tua, lunak, dan sering berbau tidak enak. Pada persemaian pepaya, penyakit
ini timbul sebagai ‘’penyakit semai’’ (damping off). Pangkal batang membusuk
dan tampak seperti selai. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Phytophthora
palmivora (Butl.) Butl. (Semangun 2000).
Penyakit bercak pada daun. Penyakit bercak pada daun yang
disebabkkan oleh Corynespora cassiicola (Berk. et Curt.) Wei. Penyakit ini
tersebar luas di daerah-daerah penanaman pepaya diseluruh dunia, meskipun pada
umumnya dianggap sebagai penyakit yang kurang merugikan. Gejala pada daundaun bawah terdapat bercak-bercak bulat dengan garis tengah, berwarna coklat
muda. dan meluas ke atas, kedaun-daun yang lebih muda. Pusat bercak sering
pecah sehingga bercak berlubang. Bercak-bercak pada tangkai daun berbentuk
jorong dan diliputi oleh miselium jamur yang berwarna coklat tua. Serangan pada
buah menyebabkan terjadinya bercak kecil, coklat tua, dan melekuk pada buah,
tetapi bercak tidak menyebabkan tejadinya pembusukan buah (Semangun 2000).



Pengendalian Hama Terpadu
Salah satu masalah penting yang dihadapi petani dalam budidaya tanaman
yaitu serangan hama dan penyakit yang dapat menurunkan produksi tanaman baik
secara kuantitas maupun kualitas. Berbagai strategi pengendalian telah dikenal
mulai dengan penggunaan varietas tahan, musuh alami, cara fisik mekanik, kultur
teknik, hingga penggunaan senyawa kimia (pestisida). Di samping itu pemerintah
telah membuat peraturan-peraturan dalam bidang perkarantinaan sebagai upaya
mencegah masuk dan keluarnya hama dan pathogen tanaman (Dadang dan Prijono
2008).
Penggunaan pestisida tidak bijaksana menimbulkan masalah baru seperti
pencemaran lingkungan hidup, merugikan kesehatan manusia dan hewan lain,
resistensi hama, serta organisme yang bukan sasaran menjadi mati (Untung
2007). Munculnya beberapa masalah ini, menggugah para ahli untuk mencetuskan
konsep pengelolaan dan pengendalian hama terpadu (PHT) pada tahun 1950
(Sinaga 2006). Program pelatihan PHT untuk petani dikenal dengan Sekolah
Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang didahului dengan pelatihan
terhadap petugas pemandu dan memandu para petani SLPHT (Untung 2007).
Pelatihan, penyuluhan dan penerapan PHT melalui SLPHT dapat
meningkatkan pengetahuan baru dikalangan petani. Pengetahuan ini merupakan
tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian melahirkan sikap dan pada
akhirnyanya melahirkan perbuatan atau tindakan. Dengan adanya pengetahuan
atau wawasan baru di kalangan petani, akan mendorong terjadinya sikap yang
akhirnya mendorong terjadinya perubahan perilaku. Sikap petani terhadap inovasi
teknologi sangat tergantung dari pengetahuan dan pengalaman lapangan mereka
(Suharyanto et al. 2006).
Sikap merupakan potensi pendorong yang ada pada individu untuk
bereaksi terhadap lingkungan. Sikap tidak selamanya tetap dalam jangka waktu
tertentu tetapi dapat berubah karena pengaruh orang lain melalui interaksi sosial.
Sikap petani dalam penerapan inovasi baru dalam pertanian juga dipengaruhi oleh
pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media masa,



institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi di dalam
diri individu. Sikap yang diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan
pengaruh langsung terhadap tindakan berikutnya (Suharyanto et al. 2006).
Soekartawi (1988) mengatakan bahwa tindakan penerapan inovasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dari dalam diri petani maupun faktor
lingkungan. Faktor dari dalam diri meliputi umur, pendidikan, status sosial, pola
hubungan sikap terhadap pembaharuan, keberanian mengambil resiko, fatalisme,
aspirasi, dan dogmatis (sistem kepercayaan tertutup). Faktor lingkungan meliputi
jarak sumber informasi, frekuensi mengikuti penyuluhan, keadaan prasarana dan
sarana serta proses memperoleh sarana produksi.



BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Rancabungur , Kabupaten Bogor
di beberapa desa, yaitu Rancabungur, Bantar Sari, Bantar Jaya, dan Mekar Sari.
Survei dilaksanakan dari Mei hingga Agustus 2010.
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam survei ini yaitu kantong plastik,
alkohol 70%, bahan peraga, alat tulis, kamera digital, dan kuesioner (Lampiran 5).
Bahan peraga yang digunakan berupa potongan daun yang terdapat imago kutu
putih, koleksi kering kumbang coccinellidae, dan laba-laba.

Metode
Penelitian ini dilakukan dengan dua metode yaitu wawancara terstruktur
menggunakan kuesioner dan wawancara secara tidak terstruktur. Wawancara
terstruktur dilakukan dengan menanyakan beberapa pertanyaan yang telah tersedia
kepada petani melalui kuesioner. Sedangkan wawancara secara tidak terstruktur
dilakukan dengan menanyakan hal-hal yang tidak tercantum dalam kuesioner
seperti sumber air untuk pertanaman, cara pembibitan, cara pengendalian hama
dan penyakit secara mekanik, dan sistem perdagangan komoditas pepaya.
Jumlah petani yang dijadikan sebagai responden sebanyak 40 petani.
Wawancara dilakukan di rumah penduduk, kantor gapoktan atau di lahan pepaya.
Pengamatan di lahan pertanaman pepaya dilakukan untuk melihat langsung cara
petani dalam budidaya pepaya, keadaan tanaman, keberadaan hama dan penyakit
tanaman, serta kondisi pertanaman yang ada di sekitar lahan pepaya.
Pengamatan hama dan penyakit dilakukan dengan mengamati jenis-jenis
hama dan penyakit dan serangan yang ditimbulkan. Pengamatan hama dan
penyakit ini bertujuan untuk membandingkan informasi dari petani responden
terhadap hama dan penyakit yang ada di lapangan. Hama dan Penyakit yang di
amati dilakukan pengambilan contoh dan foto kemudian di identifikasi di

10 

Laboratorium Taksonomi Serangga dan Laboratorium Mikologi Tumbuhan,
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
(IPB).
Analisis Data
Analisis data, hubungan antara umur, pendidikan, pengalaman usaha tani,
keanggotaan gapoktan, dan keikutsertaan petani dalam SLPHT terhadap
pengetahuan, sikap, dan tindakan petani menggunakan uji χ2 (chi-square) untuk
menentukan keterkaitan antar variabel tersebut pada taraf α=5%. Data diolah
dengan menggunakan program Microsoft Office Excel 2007.
Uji χ2 dihitung menggunakan rumus:

 

Frekuensi harapan di hitung dengan menggunakan rumus:
Frekuensi harapan =

total kolom x total baris
total pengamatan

Bila χ2 > χ2α dengan v = (r - 1) (c - 1) derajat bebas, tolak hipotesis nol bahwa
kedua penggolongan itu bebas pada taraf nyata α, bila selainnya, terima hipotesis
nol (Walpole 1993).
Dari data yang diperoleh dilakukan penggolongan pengetahuan, sikap, dan
tindakan dinilai dengan prinsip-prinsip PHT atas jawaban yang benar dari petani
responden. Penggolongan atas pengetahuan, sikap, dan tindakan tersebut adalah:
Pengetahuan:
Rendah: < 50%
Sedang: 50 ≤ x < 70%
Tinggi: ≥ 70%

11 

Sikap:
Kurang sesuai PHT: < 50%
Agak sesuai PHT: 50 ≤ x < 70%
Sesuai PHT: ≥ 70%
Tindakan:
Tidak sesuai PHT < 60%
Sesuai PHT: ≥ 60%.

12 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi
Kecamatan Rancabungur merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Bogor, Jawa Barat. Kecamatan Rancabungur berada pada ketinggian lebih kurang
200 m dpl, dengan intensitas curah hujan harian rata-rata 24,00 mm/hari (Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), 27 Juli 2010, komunikasi
pribadi).
Kecamatan Rancabungur merupakan salah satu sentra produksi tanaman
pepaya. Komoditas tanaman lain yang diusahakan oleh petani di Kecamatan
Rancabungur antara lain bengkuang, terong, ubi kayu, ubi jalar, jagung, kacangkacangan, dan pare.

Karakteristik Petani
Petani pepaya yang menjadi responden berkisar antara umur 20 – 80 tahun,
dan semuanya adalah laki-laki. Umumnya, petani responden berusia diatas 40
tahun. Petani yang usianya kurang dari 40 tahun sebanyak 20%. Pendidikan
formal petani responden mulai dari yang tidak pernah sekolah sampai lulusan
perguruan tinggi. Pada umumnya, petani responden hanya lulusan sekolah dasar
(57,5%). Jumlah anggota keluarga untuk setiap kepala keluarga petani responden
berkisar antara 1 – 8 orang. Sebagian besar petani (55%) memiliki keluarga 4 – 6
orang (Tabel 1).
Sebagian besar petani responden menyatakan bahwa bertani merupakan
pekerjaan utama (70%), dan sebagian kecil lainnya mempunyai pekerjaan utama
sebagai pedagang, buruh, sopir, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selain bertani,
beberapa petani responden juga mempunyai pekerjaan sampingan untuk
menambah penghasilan mereka seperti berdagang dan buruh (Tabel 1).
Petani pepaya di Kecamatan Rancabungur sudah lama mengenal budidaya
tanaman pepaya. Pengetahuan budidaya pepaya ini diperoleh dari pengalaman
turun-temurun dari keluarganya dan dari petani-petani lain. Sebagian besar petani
responden (57,5%) tidak pernah mengikuti SLPHT, petani responden yang

13 

mengikuti kegiatan SLPHT hanya 42,5%. Petani yang mengikuti SLPHT ini,
umumnya adalah petani yang tergabung dalam anggota gapoktan (37,5%).

Tabel 1 Karakteristik petani pepaya di Kecamatan Rancabungur
No
1

2

3

4

5

6

7

8

Karakteristik Petani
Kisaran umur (tahun)
< 40
40 – 49
50 – 59
≥ 60

Jumlah Petani (n)

Proporsi Petani (%)

8
12
12
8

20
30
30
20

Pendidikan formal
Tidak sekolah
Sekolah Dasar
SLTP
SLTA
Perguruan Tinggi

2
23
7
5
3

5
57,5
17,5
12,5
7,5

Jumlah anggota keluarga (orang)
1–3
4–6
7–8

16
22
2

40
55
5

Pengalaman usaha tani pepaya (tahun)
< 10
10 – 19
≥ 20

17
10
13

42,5
25
32,5

Pekerjaan utama
Petani
Dagang
PNS
Sopir
Buruh

28
7
2
1
2

70
17,5
5,0
2,5
5,0

Pekerjaan Sampingan
Petani
Dagang
Buruh

13
5
2

32,5
12,5
5,0

Keanggotaan Gapoktan
Anggota
Bukan Anggota

15
25

37,5
62,5

Mengikuti SLPHT
Ya
Tidak

17
23

42,5
57,5

14 

Karakteristik Usaha Tani
Luas lahan yang dimiliki petani untuk budidaya pepaya berkisar antara
300–15.000 m2, pada umumnya adalah lahan kering. Status kepemilikan tanah
adalah pemilik penggarap (40%), penyewa penggarap (50%), dan pemaro (10%)
(Tabel 2). Usaha tani pepaya di Kecamatan Rancabungur ini masih tergolong
usaha tani subsisten. Skala usaha taninya masih kecil dan bertujuan memenuhi
kebutuhan keluarga dan manajemen usaha taninya sederhana.
Biaya yang banyak dikeluarkan petani selama proses produksi adalah
untuk pembelian pupuk, baik pupuk kandang, pupuk buatan, maupun pupuk cair
(67,5%) dan pestisida (27,5%). Kebanyakan petani lebih memilih mengolah lahan
sendiri untuk menghemat biaya tenaga kerja. Biaya untuk pembelian bibit pepaya,
umumnya dikeluarkan petani pada awal penanaman pepaya. Benih penanaman
selanjutnya diperoleh petani dari hasil panen sebelumnya (60%) (Tabel 2).

Tabel 2 Karakteristik usaha tani petani pepaya
No
1

2

3

4

5

Karakteristik Petani
Kepemilikan tanah
Pemiliki penggarap
Penyewa Penggarap
Pemaro

Jumlah Petani (n)

Proporsi Petani (%)

16
20
4

40
50
10

Luas garapan (m2)
< 2000
2000 ≤ x < 4000
4000 ≤ x < 6000
≥ 6000

14
15
6
5

35
37,5
15
12,5

Varietas yang ditanam
California
Bangkok

24
16

60
40

Asal benih yang ditanam
Hasil panen sebelumnya
Petani lain
Kios saprotan
IPB

24
4
9
3

60
10
22,5
7,5

Biaya yang paling banyak dikeluarkan
selama proses produksi
Pupuk
Pestisida
Tenaga kerja
Bibit

27
11
2
0

67,5
27,5
5
0

15 

Pemasaran hasil panen dilakukan petani dengan menjual kepada pedagang
pengumpul atau gapoktan dengan sistem ditimbang. Kisaran harga jual pepaya di
kalangan petani dari bulan Mei – Agustus 2010 yaitu varietas California rata-rata
Rp. 2500-3500/kg, sedangkan harga jual varietas Bangkok rata-rata Rp. 1500500/kg.
Permasalahan dalam Usaha Tani Pepaya
Permasalahan utama petani pepaya di Kecamatan Rancabungur adalah
gangguan hama dan penyakit. Hama utama pada tanaman pepaya adalah kutu
putih pepaya Paracoccus marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae). Penyakit
utama pada tanaman pepaya adalah penyakit antraknosa yang disebabkan oleh
cendawan Colletotrichum gloeosporioides. Hama dan penyakit ini dapat
menimbulkan kerugian besar dalam budidaya.
Kutu putih merupakan hama baru yang menjadi masalah penting pada
pertanaman pepaya di Indonesia. Serangan kutu putih ini dapat menyebabkan
penurunan hasil panen. Menurut petani responden, kutu putih umumnya muncul
ketika musim kemarau yang ditandai dengan terdapatnya koloni kutu putih pada
bagian pangkal buah dan daun. Pengendalian kutu putih umumnya dilakukan
petani secara kimiawi.
Menurut petani responden, penyakit antraknosa merupakan penyakit utama
dalam budidaya pepaya. Penyakit ini dapat menghancurkan tanaman dan
menggagalkan panen. Penyakit ini muncul pada musim hujan, ketika musim
kemarau penyakit ini jarang ditemukan di lahan pertanaman pepaya.
Tabel 3 Permasalahan utama yang dihadapi petani pepaya di Rancabungur
Permasalahan

Jumlah Petani (n)

Proporsi Petani (%)

Gangguan Hama dan Penyakit

36

90

Fluktuasi Harga

2

5

Banyaknya Gulma

2

5

Kecocokan Lahan

0

0

Pemasaran

0

0

16 

Tabel 4 Permasalahan hama dan penyakit penting yang dihadapi petani dalam
budidaya pepaya
Kutu Putih
Varietas

Antraknosa

Petani responden (n)
n

%

N

%

California

24

21

87,5

23

95,8

Bangkok

16

12

75

8

50

Jumlah

40

Penyakit antraknosa merupakan penyakit penting yang menyerang tanaman
pepaya. Serangan penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan yang parah dan
menggagalkan panen. Penyakit ini dapat menyerang bagian batang, daun, dan
buah. Serangan berat dapat menimbulkan gejala mati pucuk sehingga dapat
menyebabkan tanaman mati. Gejala pada daun berupa bercak kecoklatan, terdapat
titik-titik oranye pada daun yang terserang, dan daun yang terserang berat bisa
gugur. Serangan pada daun tidak berperan besar dalam kehilangan hasil tetapi
lebih berperan dalam penyebaran patogen (Wiyono dan Manuwoto 2009).
Pengendalian penyakit antraknosa umumnya dilakukan petani responden
secara mekanik, dengan memotong batang tanaman sakit dan membuangnya. Sisa
potongan bagian tanaman di lahan, ditutup dengan menggunakan plastik supaya
patogen yang terdapat pada bagian potongan tersebut tidak menyebar ke tanaman
yang lain. Sedangkan buah yang terserang dikumpulkan oleh petani dan kemudian
dibuang. Penyakit antraknosa yang menyerang daun jarang diperhatikan oleh
petani karena daun pepaya jarang dimanfaatkan.
Tabel 5 Persepsi petani terhadap keefektivan pengendalian
Kutu Putih

Keefektivan

Antraknosa

Pengendalian

n

%

n

%

Efektif

31

77,5

18

45

Tidak Efektif

9

22,5

22

55

Menurut sebagian besar petani (77,5%), penggunaan pestisida untuk
pengendalian kutu putih memberikan dampak keefektivan pengendalian yang
baik. Sedangkan petani lainnya (22,5%) beranggapan, pengendalian kutu putih

17 

tidak memberikan dampak keefektivan pengendalian yang baik (Tabel 5). Pada
umumnya petani tidak memperhatikan kegunaan dari pestisida yang digunakan,
misalnya pestisida berbahan aktif mankozeb yang merupakan fungisida,
digunakan petani untuk mengendalikan serangan kutu putih. Pengendalian ini
tidak memberikan keefektivan terhadap pengendalian yang dilakukan oleh petani.
Namun ada juga sebagian petani yang jarang mengendalikan kutu putih karena
menurut petani tersebut, serangan kutu putih tidak memberikan dampak kerugian
yang besar seperti serangan penyakit antraknosa, sehingga pengendaliannya hanya
dilakukan ketika terjadi serangan berat dari kutu putih tersebut.
Menurut petani responden (55%), pengendalian penyakit antraknosa tidak
memberikan keefektivan pengendalian yang baik, karena setelah dilakukan
pengendalian penyakit ini dapat timbul lagi pada tanaman pepaya yang akan
ditanam selanjutnya.

Menurut

petani

responden,

pengendalian

penyakit

antraknosa secara kimiawi belum ada, sehingga petani kurang mengerti cara
efektif untuk pengendalian penyakit ini. Petani yang melakukan pengendalian
penyakit antraknosa secara kimiawi, menggunakan pestisida berbahan aktif
mankozeb. Namun, pengendalian secara kimiawi, tidak memberikan keefektivan
pengendalian yang baik dibandingkan pengendalian secara mekanik.
Tabel 6 Pendapat petani tentang serangan kutu putih dan penyakit antraknosa
dalam budidaya pepaya
Tahun
Kutu putih
Sebelum 2007
2007 – 2008
Setelah 2008
Antraknosa
Sebelum 2007
2007 – 2008
Setelah 2008

Serangan awal

Serangan berat
n
%

n

%

17
15
8

42,5
37,5
20

1
13
26

2,5
32,5
65

3
24
13

7,5
60
32,5

0
5
35

0
12,5
87,5

Serangan awal kutu putih di Kecamatan Rancabungur menurut petani
responden, dimulai sekitar akhir tahun 2006, namun serangan berat kutu putih
berawal sekitar tahun 2008 (Tabel 6). Pada awal terjadi serangan kutu putih,
petani jarang mengendalikan karena dianggap tidak terlalu merugikan. Ketika

18 

terjadi serangan berat sekitar tahun 2008, petani baru mengendalikan kutu putih
dikarenakan sudah menimbulkan kerugian yang besar.

A

B
Gambar 1
Serangan kutu putih pada batang (A), serangan kutu putih pada buah (B)
Serangan penyakit antraknosa dalam budidaya pepaya, menurut petani
responden berawal sekitar tahun 2006. Serangan berat penyakit ini dimulai sekitar
tahun 2008, yang menyebabkan budidaya tanaman pepaya banyak yang mati.
Serangan penyakit ini menimbulkan kerugian besar dikalangan petani, banyak
petani yang harus menebang tanaman pepaya karena serangan penyakit ini.
Serangan penyakit ini memusnahkan kurang lebih 80% dari tanaman pepaya yang
ada di Kecamatan Rancabungur (Anwar Musadat, 20 Juli 2010, Komunikasi
Pribadi).

A

B
Gambar 2
Gejala serangan antraknosa (A), serangan antraknosa di lahan (B)

19 

Pengetahuan Petani dalam Budidaya Pepaya
Petani responden sudah mengetahui bahwa biji untuk benih harus berasal
dari tanaman sehat (100%). Sebagian besar petani kurang mengetahui, pupuk urea
bila tidak ditutupi tanah sebagian akan menghilang karena menguap terbawa air
(Tabel 7). Namun sebagian petani beranggapan, pupuk urea perlu ditutupi tanah
supaya uap dari urea tersebut tidak merusak permukaan daun dan buah. Gulma
yang ada dipertanaman menurut sebagian besar petani tidak menjadi sumber
penyakit tetapi merupakan sumber pupuk organik yang bisa dimanfaatkan.
Tabel 7 Pengetahuan petani tentang budidaya tanaman
Pernyataan
1
2
3
4
5
6
7

Biji untuk benih sebaiknya berasal dari tanaman yang
sehat
Pupuk kandang perlu diberikan agar tanah menjadi
gembur
Pengendalian hama dan penyakit perlu dilakukan secara
berkala
Pupuk urea bila tidak ditutupi tanah sebagian akan
hilang karena menguap terbawa air
Pemupukan sebaiknya diberikan secara lengkap dengan
menggunakan campuran urea/ZA dengan TSP dan KCL
Gulma yang ada dipertanaman dapat menjadi sumber
penyakit
Sebagian penyakit tanaman dapat bertahan hidup di
dalam tanah

Proporsi petani menjawab (%)
Benar
Salah
Tidak tahu
100
0
0
80

0

20

95

0

5

32,5

25

42,5

75

15

10

12,5

60

27,5

70

2,5

27,5

Sebagian besar petani sudah mengetahui tentang cara penyemprotan yang
baik dan cara penggunaan pestisida. Dalam kehidupan sehari-hari petani tidak
menerapkan pengetahuan yang sudah dimiliknya, seperti petani sudah
mengetahui, tangki bekas semprot sebaiknya langsung dicuci setelah melakukan
penyemprotan (57,5%) (Tabel 8). Menurut petani, sisa penyemprotan dari tangki
dapat digunakan untuk penyemprotan selanjutnya, jika tangki dicuci maka sisa
penyemprotan sebelumnya akan hilang.
Pada waktu melakukan penyemprotan, sebagian besar petani sudah
mengetahui sebaiknya menggunakan penutup hidung dan mulut (87,5%), namun
hal ini jarang dilakukan. Petani beranggapan bahwa ketika melakukan
penyemprotan cukup berjalan sejalan dengan arah angin, sehingga pestisida yang
digunakan tidak akan terkena pada bagian mulut dan hidung. Penyemprotan untuk

20 

tanaman pepaya yang sudah tinggi, dilakukan petani dengan menggunakan
penutup hidung dan mulut. Hal ini bertujuan, supaya cairan semprot tidak terkena
pada bagian hidung dan mulut petani tersebut. Penyemprotan untuk tanaman yang
sudah berbuah dilakukan petani setelah panen untuk menghindari terjadinya
keracunan terhadap buah yang akan dikonsumsi (95%) (Tabel 8).
Tabel 8 Pengetahuan petani tentang pestisida dan penyemprotan
Pernyataan
1 Pada saat penyemprotan, sprayer perlu dilonggarkan agar
pengendalian berhasil dengan baik
2 Semakin tua/besar tanaman, jumlah cairan semprot yang
dibutuhkan harus ditambah
3 Pada saat menyemprot, sebaiknya berjalan sejalan dengan
arah angin
4 Pada saat menyemprot, sebaiknya menggunakan penutup
mulut dan hidung
5 Sebaiknya tangki bekas semprot langsung dicuci setelah
melakukan penyemprotan
6 Mencuci tangki bekas semprot tidak boleh dilakukan didekat
kolam/kali/sumur
7 Untuk
menghindari
bahaya
keracunan
petisida,
penyemprotan tidak boleh dilakukan menjelang waktu panen
8 Pestisida sebaiknya disimpan ditempat tersendiri dan tidak
mudah terjangkau oleh anak-anak

Proporsi petani menjawab (%)
Benar
Salah Tidak tahu
50
17,5
32,5
95

5

0

85

5

10

87,5

5

7,5

57,5

20

22,5

50

27,5

22,5

95

2,5

2,5

100

0

0

Pengetahuan petani tentang musuh alami yang terdapat di pertanaman
masih kurang. Menurut sebagian besar petani responden, kumbang cocconellidae
dan laba-laba merupakan hama di pertanaman yang dapat menyebabkan
kerusakan bagi tanaman, sehingga perlu dikendalikan (Tabel 9). Hanya sebagian
kecil dari petani (di bawah 20%) yang mengetahui bahwa kumbang coccinellidae,
laba-laba, dan tabuhan adalah musuh alami yang ada di pertanaman dan perlu
dilestarikan (Tabel 9).
Tabel 9 Pengetahuan petani tentang musuh alami
Proporsi Petani Menjawab (%)
Pernyataan
Betul

Salah

Tidak Tahu

Kumbang Coccinellidae predator adalah musuh alami

20

45

35

Laba-laba adalah musuh alami hama

15

40

45

Tabuhan adalah musuh alami

5

25

70

21 

Sikap Petani dalam Budidaya Pepaya
Sebagian besar petani (70%) melakukan penyemprotan pestisida seawal
mungkin bila terdapat gejala serangan hama dan penyakit. Namun, untuk
menyelamatkan hasil panen dari serangan hama dan penyakit, petani responden
(92,5%) melakukan penyemprotan pestisida secara terjadwal 1 - 2 minggu sekali.
Tindakan petani melakukan penyemprotan, umumnya tidak dipengaruhi oleh
petani lain yang menyemprot (87,5%) (Tabel 10). Keputusan melakukan
penyemprotan dikalangan petani juga terkait dengan biaya yang dimiliki. Jika
biaya yang dimiliki rendah, penyemprotan hanya dilakukan ketika terjadi
serangan hama dan penyakit.
Tabel 10 Sikap kerasionalan petani dalam penggunaan pestisida
Pernyataan
1
2
3
4

5
6

Bila harga hasil panen meningkat, penyemprotan
perlu dilakukan lebih sering
Hanya dengan melakukan penyemprotan secara
berjadwal, kita dapat menyelamatkan hasil panen
Adanya tetangga yang menyemprot menunjukkan
bahwa kita perlu melakukan penyemprotan
Penyemprotan pestisida perlu dilakukan seawal
mungkin begitu terlihat gejala serangan hama dan
penyakit
Bila tersedia cukup uang untuk membeli pestisida,
penyemprotan sebaiknya dilakukan secara berjadwal
Bila setelah penyemprotan turun hujan, maka
keesokan harinya tanaman perlu disemprot lagi

Proporsi petani menjawab (%)
Setuju
Tidak
Ragu-ragu
setuju
12,5
85
2,5
92,5

2,5

5

2,5

87,5

10

70

20

10

87,5

7,5

5

5

92,5

2,5

Sebagian besar petani setuju (60%) bahwa semua pestisida dapat dicampur
(Tabel 11). Menurut petani responden, Pencampuran pestisida dapat menghemat
waktu, biaya, dan meningkatkan daya bunuh. Menurut petani, peningkatan daya
bunuh pestisida adalah pestisida yang dicampur dapat mengendalikan hama dan
penyakit sekaligus, sehingga daya bunuhnya lebih tinggi dibandingkan pestisida
tidak dicampur, hanya dapat mengendalikan hama atau penyakit tertentu saja.
Tindakan petani melakukan pencampuran pestisida disebabkan pertanaman
mereka diserang berbagai jenis hama dan penyakit secara bersamaan. Sebagian
petani (12,5%) tidak setuju jika semua pestisida dapat dicampur, karena zat yang

22 

terkandung dalam setiap pestisida berbeda, ketika pestisida dicampur dapat
menurunkan daya bunuhnya (Tabel 11).
Tabel 11 Sikap kecenderungan petani untuk mencampur pestisida
Pernyataan
1

Semua jenis pestisida dapat dicampur

2

Pencampuran pestisida dapat menghemat waktu
Pencampuran pestisida perlu dilakukan bila pertanaman
diserang berbagai jenis hama dan penyakit secara
bersamaan
Pencampuran pestisida mengurangi biaya penyemprotan
Kelemahan dari pestisida yang dicampurkan adalah daya
bunuhnya menurun
Dengan mencampur pestisida, beberapa jenis hama dan
penyakit dapat dikendalikan sekaligus

3

4
5
6

Proporsi petani menjawab (%)
Tidak
Ragu-ragu
Setuju
setuju
60
27,5
12,5
97,5

0

2,5

90

5

5

100

0

0

25

65

10

80

5

15

Sebagian besar petani melakukan penyemprotan tanaman sesudah panen.
Hal ini karena kesadaran petani akan bahaya