Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani Sayuran di Kec. Cibungbulang, Kab. Bogor dalam Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman.

(1)

SAYURAN DI KEC. CIBUNGBULANG, KAB. BOGOR

DALAM MENGENDALIKAN HAMA DAN PENYAKIT

TANAMAN

Adiyat Yori Rambe

A34060358

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

SAYURAN DI KEC. CIBUNGBULANG, KAB. BOGOT DALAM

MENGENDALIKAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN

Adiyat Yori Rambe

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(3)

Judul Skripsi : Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani Sayuran di Kec. Cibungbulang, Kab. Bogor dalam Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman.

Nama Mahasiswa : Adiyat Yori Rambe

NRP : A34060358

Disetujui Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Pudjianto, M.Si. NIP 19580825 198503 1 002

Diketahui

Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Dr. Ir. Abjad Asih Nawangsih, MSc. NIP 19650621 198910 2 001


(4)

ADIYAT YORI RAMBE. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani Sayuran di Kec. Cibungbulang, Kab. Bogor dalam Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman. Dibimbing oleh PUDJIANTO.

Tanaman sayuran merupakan jenis komoditas tanaman yang sangat penting, karena diperlukan bagi kehidupan manusia sebagai sumber makanan. Kendala utama dalam usaha tani sayuran adalah kesulitan memproduksi secara konstan dan berkesinambungan. Serangan hama dan penyakit tanaman merupakan salah satu faktor pembatas produksi tanaman yang paling penting. Untuk mengatasi masalah hama dan penyakit tersebut, sebagian besar petani menggunakan pestisida sebagai pilihan utama pemakaiannya cenderung berlebihan. Untuk menjaga kelangsungan usaha tani yang menguntungkan maka diperlukan suatu sistem pengelolaan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang memperhatikan keadaan ekosistem secara keseluruhan. Sistem yang sesuai adalah pengendalian hama terpadu (PHT). Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi dan analisis tentang pengetahuan, sikap, dan tindakan petani responden dalam pengelolaan hama dan penyakit tanaman sayuran di Desa Ciaruteun Hilir, Desa Cijujung, dan Desa Ciaruteun Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan di Desa Cijujung, Desa Ciaruteun Hilir, dan Desa Ciaruteun Udik Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan wawancara langsung kepada petani dan pengamatan langsung ke lahan pertanaman. Hama yang ditemukan di lahan pertanaman adalah ulat grayak, penggerek batang/buah terong, kumbang daun, dan ulat daun . Penyakit yang lazim ditemukan pada tanaman kangkung adalah karat putih. Masih banyak petani sayuran (di Kec. Cibungbulang 49.65% di Desa Cijujung, 48.67% di Desa Ciaruteun Hilir, dan 42.67% di Desa Ciaruteun Udik) yang belum menerapkan PHT dalam pengendalian hama dan penyakit sayuran. Karakteristik petani seperti usia, pengalaman bertani, status kepemilikan lahan, jenjang pendidikan, dan keikutsertaan petani dalam SLPHT berhubungan dengan keputusan petani dalam melakukan tindakan pengendalian.

Kata kunci: Sayuran, Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), Pengendalian Hama Terpadu (PHT).


(5)

Penulis dilahirkan di Kendari pada tanggal 22 Juli 1991 sebagai putra kedua dari empat bersaudara pasangan Husni Rizal Rambe, ST dan Farida Isfandiari Bc.Kn. Pada tahun 1996 penulis memulai sekolah di SD Negeri Kuncup Pertiwi dan lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan ke pendidikan menengah di SLTP Negeri 1 Kendari dan lulus pada tahun 2004, kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Kendari dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2006 juga, penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan tahun 2007 diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.

Semasa kuliah, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan dan berbagai kepanitiaan, diantaranya pada tahun 2008-2009 menjabat sebagai staf Divisi Minat dan Bakat Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman IPB. Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Pemanfaatan & Pengelolaan Pestisida dan Pengendalian Hayati & Pengelolaan Habitat.


(6)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat kehadirat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani Sayuran dalam Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman di Wilayah Bogor” yang bertujuan memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Pudjianto, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan pengetahuan, pengarahan, dukungan, dan bimbingan sejak awal hingga akhir penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Dr. Ir. Giyanto M.Sc selaku dosen penguji skripsi saya yang telah memberikan dukungan atas penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Yayi Munara Kusumah, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan sejak awal penulis masuk Departemen Proteksi Tanaman IPB. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar dan laboran Departemen Proteksi Tanaman.

Terima kasih untuk Ibunda Farida Isfandiari Bc.Kn dan Ayahanda Husni Rizal Rambe, ST tercinta serta ketiga saudara kandung yang penulis sayangi, Dr. Dirga Sakti Rambe, Anantaria Okawati Rambe, dan Dinda Besiari Rambe. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada sahabat-sahabat baik di dalam, maupun di luar lingkungan Institut Pertanian Bogor. Sahabat-sahabat di dalam lingkungan Departemen Proteksi Tanaman IPB (Moh. Eldiary Akbar, Yona Shylena Siregar, Meike Isna Rahmawati, Atrie Yuni Sonia, Veronica T. Simanjuntak, Agus F. Tambun, Sunarti Tambunan, Wahyu Fitriningtyas, Reka Pradana, Rizky Irawan, Sari Nurulita, Vani Nur Oktaviany, Susi Sutardi, Elyta Sariani, dan Syarifah Yahtoum Latuconsina).

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada sahabat-sahabat di dalam lingkungan Institut Pertanian Bogor (Rio Ardian, Febriana A. Rangkuti, Sofyan Zuhri, Asmawati Ahmad, Kukuh Iman Nur Setiawan, Yuki Indah Pertiwi, Charista Lovapinka, Wahid Nurwahyudin, Rekha Mahendraswari, Yustisia Annisa, Yaneu Nur Wulan Sari, dan Achmad Farouq). Sahabat-sahabat di komunitas ”Sekolah Bersama Yuk”. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabat di ”Indonesian Youth Conference” (Feby Budi Dayono, Nidya Febriani, Nadia Tuscany, Afianka Maunaza, Dey Ainiswari, Fiqho Falderiko, Agrita Widiasari, Alanda Kariza, Citra Natasya, Valentina Sokoastri, Agung Ruswandi, Shena Malsiana, Adam Hulaimie, dan lain-lain.)

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi penulisan yang lebih baik. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan pengetahuan bagi siapa saja yang membacanya.

Bogor, Februari 2012

Penulis


(7)

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUANPUSTAKA ... 4

Sayuran ... 4

Ekologi Sayuran ……….. ... 4

Komoditas Sayuran… ... 4

Jenis Tanaman Sayuran….. ... 5

Hama dan Penyakit Sayuran…… ... 7

Hama….. ... 8

Penyakit…. ... 9

Penggunaan Pestisida… ... 10

Pengendalian Hama Terpadu….. ... 11

Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan…. ... 13

BAHAN DAN METODE ... 14

Tempat dan Waktu Penelitian ... 14

Bahan dan Alat ... 14

Metode . ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

Keadaan Umum Lokasi ... 15

Karakteristik Petani……. ... 15

Umur….. ... 15

Pengalaman Bertani…………. ... 16

Status Kepemilikan Lahan……….. ... 17

Pendidikan……… ... 17

SLPHT……… ... 18

GAPOKTAN……. ... 19

Karakteristik Usaha Tani……… ... 20

Pengetahuan Petani tentang Hama Penyakit……… ... 22


(8)

DAFTAR PUSTAKA ... 32 LAMPIRAN ... 35


(9)

Halaman 1. Karakteristik usaha tani petani sayuran ... 21 2. Pengetahuan petani tentang hama dan penyakit ... 24 3. Petani sayuran yang menerapkan PHT ... 38


(10)

Halaman

1. Distribusi umur petani sayuran ... 16

2. Distribusi pengalaman bertani petani sayuran ... 16

3. Distribusi status kepemilikan lahan petani sayuran ... 17

4. Distribusi pendidikan petani sayuran... ... 18

5. Distribusi keikutsertaan SLPHT petani sayuran... ... 19

6. Distribusi dalam keanggotaan Gapoktan petani sayuran... ... 19


(11)

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan pertanian subsektor hortikultura di Indonesia pada kenyataannya merupakan simpul pembangunan dari kelompok komoditas buah, sayuran, dan tanaman hias yang sangat potensial sebagai salah satu sumber pertumbuhan masa depan. Hal ini sangat beralasan mengingat bahwa potensi yang dimiliki oleh ketiga kelompok komoditas tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas lainnya. Potensi tersebut meliputi nilai ekonomi yang dimiliki oleh komoditas, kemampuan menyerap tenaga kerja relatif banyak, kandungan nutrisi yang diperlukan oleh manusia relatif lebih tersedia dan dapat digunakan sebagai unsur pendukung konservasi lahan serta menambah nilai estetika dimensi ruang (Duriat, 1996).

Tanaman sayuran merupakan jenis komoditas tanaman yang sangat penting. Tanaman ini merupakan komoditas yang diperlukan bagi kehidupan manusia sebagai sumber makanan. Selain bahan makanan, nilai atau kandungan gizi yang terdapat di dalamnya yang berupa karbohidrat, vitamin, mineral, dan sebagainya sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan manusia.

Kendala utama dalam usaha tani sayuran adalah kesulitan memproduksi secara konstan dan berkesinambungan. Produksi komoditas tersebut berfluktuasi dari satu musim tanam ke musim tanam berikutnya. Fluktuasi tersebut disebabkan oleh pengaruh musim dan hama dan penyakit tanaman. Serangan hama dan penyakit tanaman merupakan salah satu faktor pembatas produksi tanaman yang paling penting. Untuk mengatasi masalah hama dan penyakit tersebut, sebagian besar petani menggunakan pestisida sebagai pilihan utama pemakaiannya cenderung berlebihan. Pengunaan pestisida yang berlebihan, selain mahal juga dapat menimbulkan banyak dampak negatif seperti timbulnya resistensi hama, resurgensi, munculnya hama sekunder, dan bahaya residu pestisida terhadap lingkungan. Sementara itu, di lain pihak, petani dituntut untuk menghasilkan produk yang bebas pestisida.


(12)

 

Sejak perang dunia ke II, konsep pengendalian hama dan penyakit beralih ke penggunaan pestisida, setelah ditemukan dan digunakannya insektisida sintetik diklorodifeniltrikloretana (DDT). Penggunaan pestisida ini menunjukkan hasil yang mengagumkan dalam keefektivan dan keefesienan pengendalian, sehingga dalam pembangunan pertanian menimbulkan pandangan bahwa peningkatan produksi pertanian tidak dapat dilepaskan dari jasa pestisida (Untung 1996).

Pestisida digunakan secara terjadwal atas dasar daur hidup hama dan penyakit, sebelum diperkenalkan konsep ambang ekonomi. Serangan hama dan penyakit dipengaruhi oleh aplikasi pestisida dan menghasilkan hubungan yang searah antara serangan hama dan penyakit dengan pestisida. Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana dapat menimbulkan masalah baru dalam pembangunan pertanian, seperti merugikan kesehatan manusia dan hewan lain, mencemari lingkungan, populasi serangga sasaran menjadi resisten terhadap insektisida, serta banyaknya organisme yang bukan sasaran menjadi mati seperti predator, parasitoid, agens antagonis, dan penyerbuk (Untung 2007).

Untuk menjaga kelangsungan usaha tani yang menguntungkan maka diperlukan suatu sistem pengelolaan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang memperhatikan keadaan ekosistem secara keseluruhan. Sistem yang sesuai dengan kriteria tersebut dan sekarang ditetapkan sebagai landasan program perlindungan tanaman di Indonesia adalah pengendalian hama terpadu (PHT). Menurut Rauf (1994), pengendalian hama terpadu menuntut cara bercocok tanam yang tepat dan penggunaan musuh alami sebagai tindakan awal dalam pengelolaan agroekosistem.

Berdasarkan konsep alam, PHT memandang bahwa untuk mengendalikan serangan hama dan penyakit tidak perlu dengan jalan memusnahkannya tetapi cukup dengan menekan dan mengendalikan laju populasi hama dan penyakit di bawah ambang ekonomi. Hal ini berarti serangan hama dan penyakit tersebut tidak merugikan secara ekonomi (Rauf 1992). Pengendalian hama dan penyakit dalam konsep PHT berarti menggunakan seluruh cara yang ramah terhadap lingkungan dalam mengendalikan hama dan penyakit (Oka 1995). Salah satu cara misalnya dengan mengatur pola tanam, jarak tanam, menggunakan varietas tahan, pestisida nabati, dan sebagainya.


(13)

 

Sejauh ini informasi mengenai teknik pengendalian alternatif atau sistem pertanian yang ramah terhadap lingkungan masih belum sampai diterima oleh para petani. Hal ini disebabkan masih minimnya pengetahuan tentang hal tersebut dan masih belum ada kejelasan tentang efisiensi dan keefektifannya dalam mengendalikan OPT.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi dan analisis tentang pengetahuan, sikap, dan tindakan petani responden dalam pengelolaan hama dan penyakit tanaman sayuran di Desa Ciaruteun Hilir, Desa Cijujung, dan Desa Ciaruteun Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang teknik pengendalian hama dan penyakit tanaman oleh petani sayuran di Kec. Cibungbulang, Kab. Bogor.


(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Sayuran

Ekologi Sayuran

Tipe tanah, iklim, dan ketinggian tempat merupakan salah satu syarat penting untuk penanaman sayuran. Setiap jenis tanaman sayuran mempunyai lingkungan tumbuh yang berbeda-beda. Sayuran dapat dijumpai di daerah dingin, baik tropik maupun subtropik. Pada umumnya sayuran akan mencapai pertumbuhan optimum pada daerah yang bersuhu dingin (Arifin 1992). Secara geografis, pertumbuhan optimum tersebut akan dicapai pada daerah yang terletak pada 10o – 15o LU dan 10o – 15o LS. (Moentono 1996).

Komoditas Sayuran

Sayuran merupakan salah satu bahan makanan penting serta relatif murah dan cukup tersedia di Indonesia. Menurut Arifin (1992), berdasarkan kebiasaan tumbuhnya, sayuran dibedakan menjadi sayuran semusim dan sayuran tahunan. Sayuran semusim adalah sayuran yang hidupnya hanya dalam satu musim dan banyak menghasilkan biji, misalnya bawang daun, wortel, dan sawi. Sayuran yang bersifat tahunan adalah sayuran yang pertumbuhan dan produktivitasnya tidak terbatas, misalnya kangkung darat. Berdasarkan bentuk yang dikonsumsinya, sayuran dapat dibedakan menjadi sayuran daun, sayuran buah, sayuran bunga, sayuran umbi dan rebung. Kandungan vitamin dan mineral yang lengkap serta bervariasi menyebabkan tanaman ini dapat dijadikan sebagai bahan makanan bergizi yang dapat menunjang kesehatan.

Sayuran merupakan salah satu produk hortikultura, yang terdiri atas berbagai jenis dan dapat dibedakan berdasarkan tempat tumbuh, kebiasaan tumbuh, dan bentuk yang dikonsumsi. Berdasarkan tempat tumbuhnya, sayuran dapat dibedakan menjadi sayuran dataran rendah dan sayuran dataran tinggi atau sayuran yang dapat tumbuh pada kedua tempat tersebut, sebagai contoh yaitu tomat dan wortel (Rahadi et al. 2001)


(15)

 

Menurut Rahadi et al. (2001), sayuran juga memiliki sifat yang berbeda dengan komoditi yang lain yaitu mudah rusak. Sifat-sifat sayuran antara lain adalah Tidak tergantung musim. Pada dasarnya pembudidayaan sayuran dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja, asalkan syarat tumbuhnya terpenuhi. Selain itu juga memiliki resiko tinggi. Umumnya sayuran memiliki sifat mudah busuk sehingga umurnya pendek. Akibat dari sifat itu, tampilan fisik dari produk tersebut menjadi buruk dan akhirnya tidak memiliki nilai jual.

Jenis Tanaman Sayuran

Caisin (Brassica campestris L). Dikenal oleh petani dengan nama sawi hijau atau sawi bakso. Daunnya berwarna hijau, lebar dan berbentuk pipih, warna tangkai daun putih atau hijau muda. Caisin adalah sayuran yang sangat digemari oleh orang banyak.

Tanaman ini dapat tumbuh di daerah dataran rendah sampai dengan dataran tinggi. Syarat penting untuk tumbuhnya adalah tanah gembur dan subur dengan PH antara 6-7 (Rahadi et al. 2001). Waktu tanam yang baik adalah menjelang akhir musim hujan atau awal musim hujan. Selama pertumbuhannya caisin memerlukan banyak air, penanamannya dilakukan dengan menebar biji secara merata pada lahan yang telah disiapkan. Pemanenan dapat dilakukan setelah caisin berumur 40-50 hari setelah penanaman (Wisastri 2006).

Kangkung (Ipomoea reptans Poir). Dikenal sebagai kang kong merupakan tanaman yang tumbuh cepat yang memberikan hasil dalam waktu 4-6 minggu sejak dari benih. Di dataran rendah tropika sekitar khatulistiwa, dapat dipanen sesudah 25 hari dan dapat menghasilkan lebih dari 20 ton/ha daun segar. Pertanaman komersial menghasilkan sekitar 15 ton/ha sepanjang beberapa panenan berturut-turut. Di daerah pegunungan dan garis lintang lebih tinggi mungkin dibutuhkan 40 hari untuk satu panenan, sehingga kangkung dapat dimasukkan dalam pergiliran dengan pertanaman tiga bulanan dengan dua atau tiga penanaman setelah periode itu. Terdapat beberapa kultivar; satu adalah bentuk lahan kering yang ditanam dari biji dan dikenal dengan kangkung darat. Lainnya adalah varietas liar yang tumbuh secara alami di sawah dan saluran-saluran, tetapi sementara juga dibudidayakan. Tanaman ini hanya sedikit dikenal


(16)

 

di luar Asia tropika walaupun penanamannya sangat mudah, sangat bergizi, dan pantas dibudidayakan lebih luas. Benih dapat diperoleh dari pedagang-pedagang di Singapura, Hongkong, Taiwan, Bangkok, dan di manapun (Rahadi et al. 2001).

Wortel (Daucus carota L). Wortel merupakan famili Umbelliferae (Apiaceae) dan bukan tanaman asli Indonesia, melainkan berasal dari negeri yang beriklim sedang (subtropis) yaitu Asia Timur dan Asia Tengah. Di Indonesia budidaya wortel pada mulanya hanya terkonsentrasi di wilayah Jawa Barat, yaitu Lembang dan Cipanas, namun dalam perkembangannya menyebar luas ke daerah-daerah jawa dan luar jawa (Wisastri 2006). Wortel menyimpan cadangan makanannya dalam bentuk umbi. Memiliki batang pendek, berakar tunggang yang bentuk dan fungsinya berubah menjadi umbi bulat dan menanjang. Umbi berwarna kemerahan, berkulit tipis, dan jika dimakan mentah terasa renyah dan manis.

Sayuran ini sudah sangat dikenal masyarakat Indonesia dan popular sebagai sumber vitamin A. Selain itu, wortel juga mengandung vitamin B, vitamin C, dan sedikit vitamin G, serta zat-zat yang lain yang bermanfaat bagi kesehatan manusia (Wahyuni 2007).

Menurut Wahyuni (2007), wortel merupakan tanaman subtropis yang memerlukan suhu dingin, lembab, dan cukup cahaya matahari. Di Indonesia kondisi seperti itu biasanya terdapat di daerah dengan ketinggian antara 1200-1500 m dpl (diatas permukaan laut). Tanah yang kurang subur masih dapat ditanami wortel asalkan dilakukan pemupukan yang intensif. Kebanyakan tanah dataran tinggi di Indonesia memiliki ph rendah, dengan demikian tanah tersebut perlu dikapur dengan menggunakan kapur pertanian (dolomit).

Bawang Daun (Allium fistulosum L). Menurut Rahadi et al. (2001), bawang daun termasuk ke dalam famili Liliaceae. Tanaman ini bisa tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi. Dataran rendah yang terlalu dekat dengan pantai bukanlah lokasi yang tepat karena pertumbuhan bawang daun memerlukan ketinggian sekitar 250-1500 m dpl. Di daerah dataran rendah produksi anakan bawang daun relatif sedikit. Curah hujan yang tepat sekitar 1500-2000 mm/tahun dan juga memiliki suhu udara harian 18-25o C merupakan kondisi yang tepat untuk menanam bawang daun.


(17)

 

Terung (Solanum mengolena L). Terung termasuk ke dalam famili Solanaceae. Terung merupakan tanaman setahun berjenis perdu yang dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 60-90 cm. Daun tanaman ini lebar dan berbentuk telinga, bunganya berwarna ungu dan merupakan bunga yang sempurna, biasanya terpisah dan berbentuk dalam tandan bunga.

Terung sangat mudah dibudidayakan karena dapat hidup di dataran rendah hingga dataran tinggi sekitar 1200 m dpl. Namun demikian tanahnya harus memiliki cukup banyak kandungan bahan organik dan berdrainase baik. Selain itu ph tanah harus berkisar antara 5-6 agar pertumbuhannya optimal (Rahadi et al. 2001).

Oyong (Luffa acutangula L). Oyong adalah tanaman sayuran pasar yang banyak dikenal di bagian wilayah tropika. Bentuk-bentuk yang diusahakan kelihatannya semua sama. Benih biasanya diperoleh setempat atau dihasilkan sendiri. Bunga jantan dihasilkan pada pembungaan yang terpisah dan bunga betina menyendiri pada tangkai. Buahnya memiliki gigir yang menyudut. Tanamannya tegap dan toleran pada tanah yang kurang subur dan dengan kondisi pemeliharaan yang kurang baik. Di dataran rendah oyong akan mulai berproduksi kira-kira enam minggu dan memberikan hasil yang ekonomis kira-kira 14-16 minggu (Wahyuni 2007).

Hama dan Penyakit Sayuran

Berdasarkan laporan Arifin (1992) hama dan penyakit utama yang ditemukan di pertanaman sayuran di Kecamatan Pacet adalah kutu daun dan embun tepung yang menyerang tanaman wortel, Spodoptera exigua, dan Alternaria porri yang menyerang tanaman bawang daun, Phylotreta vittata dan A. brasicae menyerang tanaman caisin. Tingkat serangan hama dan penyakit di atas cukup tinggi. Luas dan intensitas serangan kutu daun pada wortel adalah 23.2% dan 1.9%. Luas serangan dan intensitas serangan embun tepung pada wortel adalah 24.0% dan 7.6%. Luas dan intensitas serangan S. exigua dan A. porri pada bawang daun adalah 35.5% dan 72.8% dan 5.4% dan 13.1%. Luas serangan P. vittata dan A. brasicae pada caisin masing-masing adalah 8.0% dan 18.2% serta intensitas serangannya masing-masing 9.4% dan 0.6% (Arifin 1992).


(18)

 

Hama

Ulat titik tumbuh (Crocidolomia pavonana F). Hama ini menyerang tanaman keluarga Cruciferae seperti kol, sawi, lobak, dan lainnya. Hama ini menyerang bagian yang terlindung daun hingga mencapai titik tumbuh. Jika serangan ini ditambah lagi dengan serangan penyakit, tanaman ini bisa mati karena bagian dalamnya membusuk (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993). Pengendalian dapat dilakukan dengan cara : (1) menggunakan musuh alami (Ordo : Hymenoptera), (2) melakukan penyemprotan dengan insektisida.

Ulat grayak (Spodoptera litura F). Hama ini sering menyerang tanaman bawang daun, bawang merah, jagung, cabai, dan kapri. Gejala yang ditimbulkan oleh hama ini, tanaman yang terserang terlihat ada bercak putih lalu tanaman akan layu. Lama siklus hidup S. litura adalah 27 hari (Kalshoven 1981). Pengendalian dapat dilakukan dengan cara: (1) menggunakan musuh alami (ordo: Diptera), (2) melakukan penyemprotan dengan insektisida, dan (3) rotasi tanaman.

Ngengat punggung berlian (Plutella xylostella L). Hama ini tersebar di seluruh dunia, yaitu di daerah tropis dan subtropis. Hama ini merupakan hama penting di pertanaman kubis di seluruh dunia (Kalshoven 1981). Hama ini juga merupakan salah satu hama yang sangat merugikan bagi tanaman keluarga Cruciferae, karena tanaman yang terserang hama ini bisa menimbulkan kerusakan yang sangat berat. Pengendalian dapat dilakukan dengan cara: (1) menggunakan musuh alami (ordo: Odonata), (2) melakukan penyemprotan dengan insektisida, (3) rotasi tanaman, (4) sanitasi lahan, dan (5) secara mekanis.

Kepik (Leptoglossus australis F). Hama ini termasuk ke dalam famili Coreidae yang merupakan keluarga besar Heteroptera (Kalshoven 1981). `Umumnya hama ini menyerang tanaman dan dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman. Hama ini menyerang tanaman dengan cara menusukkan bagian mulutnya yang berbentuk seperti tabung ke dalam buah. Tanaman yang terserang hama ini akan ditumbuhi cendawan dan akhirnya membusuk. Pengendalian dapat dilakukan dengan cara: (1) menggunakan musuh alami (famili: Reduviidae), (2) melakukan penyemprotan dengan menggunakan insektisida Azodrin, (3) rotasi tanaman, (4) sanitasi lahan, dan (5) secara mekanis.


(19)

 

Penyakit

Akar gada (Plasmodiophora brassicae Wor). Cendawan ini menyerang tanaman keluarga Cruciferae seperti kol, sawi, bunga kol, dan brokoli. Cendawan ini menyerang tanaman pada sistem perakaran. Gejala yang timbul yaitu akar-akarnya membesar dan menyatu, seperti gada sehingga sering disebut dengan akar gada atau setiap akar membentuk seperti jari kaki. Pengendalian dapat dilakukan dengan cara: (1) tanah yang asam dijadikan basa, yaitu dengan memberikan kapur tani sehingga ph tanah kurang lebih 7,2, (2) melakukan penyemprotan pada lahan dengan menggunakan senyawa mercuri klorida. (3) rotasi tanaman, (4) sanitasi lahan, (5) penanaman varietas tahan, dan (6) pembuatan drainase yang baik (Moentono 1996).

Bercak kering (Alternaria sp). Penyakit ini sering juga disebut dengan bercak alternaria. Penyakit ini tersebar di seluruh daerah kentang di dunia seperti Amerika, Kanada, Indonesia, dan Selandia Baru. Selain menyerang tanaman kentang, cendawan ini juga menyerang tomat, terung, dan cabai. Gejala yang disebabkan oleh cendawan ini, daun akan terlihat ada bercak-bercak tua sampai hitam. Bentuk bulat dengan lingkaran-lingkaran yang konsentris. Dalam keadaan tertentu, bercak itu kecil dan bersudut dan dibatasi beberapa tulang daun. Semakin lama bercak ini membesar dan bergabung menjadi satu. Pengendalian dapat dilakukan dengan cara: (1) melakukan penyemprotan dengan menggunakan senyawa kalsium arsenat, (2) rotasi tanaman, (3) sanitasi lahan, (4) penanaman varietas yang tahan, dan (5) pembuatan drainase yang baik (Semangun 1989).

Busuk hitam (Xanthomonas campestris pv. Campestris). Penyakit ini terdapat hampir di seluruh pertanaman kubis dan dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar. Gejala yang disebabkan oleh bakteri ini mula-mula di tepi daun terdapat daerah berwarna kuning atau pucat, kemudian meluas ke bagian tengah. Pada tingkatan yang lebih parah, penyakit ini menyerang bagian batang dan buah yang akan terlihat membusuk dan seperti ditutupi jelaga berwarna hitam. Pengendalian dapat dilakukan dengan cara: (1) rotasi tanaman, (2) sanitasi lahan, (3) penanaman varietas yang tahan, dan (4) pembuatan drainase yang baik (Semangun 1989).


(20)

 

Penggunaan Pestisida

Bidang pertanian merupakan bidang yang paling umum dalam penggunaan pestisida baik untuk pertanian dalam arti sempit yaitu pertanian pangan dan hortikultura yang meliputi tanaman sayuran, tanaman hias, dan buah-buahan, maupun pertanian dalam arti luas yang juga meliputi perkebunan, kehutanan, dan perikanan (Sastrosiswoyo 1995). Bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaan pestisida yang berlebih akan melibatkan semua pihak, diantaranya adalah lingkungan, manusia, hewan liar yang lain, ikan, dan lainnya (Djojosumarto et al 1996). Dalam pemilihan produk pestisida, pengguna akan mempertimbangkan banyak faktor. Faktor yang dapat mempengaruhi pengguna sehingga dapat memungkinkan terjadinya pergeseran atau pengalihan produk-produk pestisida yang digunakan adalah jenis tanaman yang dibudidayakan, jenis hama yang menyerang, faktor ekonomi atau harga, jenis pestisida, dan kemanan produk serta undang-undang dan persepsi masyarakat tentang hal tersebut (Oka 1995).

Menurut Kogan (1986), untuk mengaplikasi suatu pestisida agar tepat sasaran dan efektif harus memperhatikan beberapa hal, diantaranya adalah : (1) memiliki strategi pengendalian, (2) menggunakan pestisida yang tepat, (3) mengetahui habitat hama, dan (4) mengetahui tingkah laku hama.

Cara penggunaan pestisida yang tepat merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan pengendalian hama. Hal-hal yag perlu diperhatikan dalam pengunaan pestisida diantaranya adalah keadaan angin, suhu udara, kelembaban, dan curah hujan (Sastrosiswoyo 1995).


(21)

 

Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

Salah satu masalah penting yang dihadapi petani dalam budidaya tanaman yaitu serangan hama dan penyakit yang dapat menurunkan produksi tanaman baik secara kualitas maupun kuantitas. Berbagai strategi pengendalian telah dikenal mulai dengan penggunaan varietas tahan, musuh alami, cara fisik-mekanik, kultur teknik, hingga penggunaan senyawa kimia (pestisida). Di samping itu pemerintah telah membuat peraturan-peraturan dalam bidang perkarantinaan sebagai upaya mencegah masuk dan keluarnya hama dan pathogen tanaman (Dadang dan Prijono 2008)

Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana menimbulkan masalah baru seperti pencemaran lingkungan hidup, merugikan kesehatan manusia dan hewan lain, resistensi hama, serta organisme yang bukan sasaran menjadi mati (Untung 2007). Munculnya beberapa masalah ini, menggugah para ahli untuk mencetuskan konsep pengelolaan dan pengendalian hama terpadu (PHT) pada tahun 1950 (Sinaga 2006). Program pelatihan PHT untuk petani dikenal dengan Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang didahului dengan pelatihan terhadap petugas pemandu dan memandu para petani SLPHT (Untung 2007).

Konsep PHT merupakan perpaduan yang serasi dari berbagai macam metode pengendalian bertujuan untuk mengelola populasi hama dalam tingkat yang tidak merugikan secara ekonomi (Rauf 1992). Strategi PHT lebih menekankan pada penerapan teknik pengendalian non kimiawi.

Menurut Oka (1995), strategi atau langkah dari beberapa metode pengendalian yang dapat dilakukan yaitu: (1) penggunaan varietas resisten, (2) penggunaan kultur teknis dengan memanipulasi ekologi melalui pergiliran tanaman, sanitasi selektif, pengelolaan air, dan (3) penggunaan musuh-musuh alami.

Pemerintah telah menetapkan PHT sebagai kebijaksanaan dasar bagi setiap program perlindungan tanaman. Dasar hukum penerapan dan pengembangan PHT di Indonesia adalah Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 1986 tentang penanggulangan hama wereng dan undang-undang Nomor 12 tahun 1992 tentang sistem Budidaya Tanaman (Basyit 1994).


(22)

 

Pengembangan dan penerapan PHT memerlukan tiga komponen utama yaitu teknologi PHT, jalinan informasi, dan proses pengambilan keputusan. Teknologi PHT meliputi berbagai teknik yang diterapkan untuk mengelola agrosistem agar suasana PHT dapat tercapai. Proses pengambilan keputusan pengendalian hama harus dilakukan dengan menggunakan informasi yang cukup lengkap, monitoring, dan memperhatikan ambang pengendalian (Arifin 1992). Preferensi petani dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman merupakan bagian penting dalam keberhasilan pengendalian hama dan penyakit secara terpadu.

Pelatihan, penyuluhan, dan penerapan PHT melalui SLPHT dapat meningkatkan pengetahuan baru di kalangan petani. Pengetahuan ini merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian melahirkan sikap dan pada akhirnya melahirkan perbuatan atau tindakan. Dengan adanya pengetahuan atau wawasan baru di kalangan petani, akan mendorong terjadinya sikap yang akhirnya mendorong terjadinya perubahan perilaku. Sikap petani terhadap inovasi teknologi sangat tergantung dari pengetahuan dan pengalaman lapagan mereka (Suharyanto et al. 2006).

Sikap merupakan potensi pendorong yang ada pada individu untuk bereaksi terhadap lingkungan. Sikap tidak selamanya tetap dalam jangka waktu tertentu tetapi dapat berubah karena pengaruh orang lain melalui interaksi sosial. Sikap petani dalam penerapan inovasi baru dalam pertanian juga dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi di dalam diri individu. Sikap yang diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap tindakan berikutnya (Suharyanto et al. 2006)

Soekartawi (1998) mengatakan bahwa tindakan penerapan inovasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dari dalam diri petani, maupun faktor lingkungan. Faktor dari dalam diri meliputi umur, pendidikan, status sosial, pola hubungan sikap terhadap pembaharuan, keberanian mengambil resiko, fatalism, asprasi, dan dogmatis (sistem kepercayaan tertutup). Faktor lingkungan meliputi jarak sumber informasi, frekuensi mengikuti penyuluhan, keadaan prasarana dan sarana, serta proses memperoleh sarana produksi.


(23)

 

Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan

Pengetahuan merupakan informasi yang diketahui seseorang diperoleh melalui proses belajar atau pengalaman (Hutabarat, 1991). Proses belajar dan pengalaman ini dapat terjadi dimana saja, baik melalui jalur formal maupun informal dan dari kejadian yang dialami sehari-hari.

Sikap dedifinisikan sebagai perubahan-perubahan dalam pemikiran dan perasaan seseorang setelah menerima informasi atau pengetahuan. Sikap yang terbentuk pada diri seseorang adalah kecenderungan seseorang untuk bertindak dengan pola tertentu pada situasi tertentu (Rakhmat, 2001). Definisi lain dari sikap dikatakan oleh Hidayat (1993) sebagai berkenan atau tidaknya seseorang, percaya atau tidaknya seseorang terhadap suatu hal baru bagi dirinya. Ahmadi (1991) mengatakan bahwa sikap adalah sebuah perubahan dalam pemikiran dan perasaan seseorang setelah menerima informasi atau pengetahuan degan merespon secara positif atau negatif terhadap objeknya. Apabila individu memiliki sikap positif (konstruktif) terhadap objeknya, maka individu akan siap membantu, memperhatikan, atau berbuat sesuatu yang menguntungkan. Sebaliknya, apabila individu memiliki sikap negatif (dekstruktif), maka individu tersebut akan dapat merusak atau tidak mendukung objeknya. Sikap ditimbulkan karena adanya sebuah stimulasi atau rangsangan yang berasal dari dalam (internal stimulus) dan rangsangan luar (eksternal stimulus). Terbentuknya suatu sikap juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, sosial dan budaya yang ada di sekitarnya.

Tindakan adalah tahapan dimana pengetahuan/informasi mulai dilaksanakan oleh seseorang dalam suatu tingkah laku individu yang disesuaikan dengan kebutuhan dan motivasinya. Dorongan yang menggerakkan manusia untuk bertingkah akan dapat membentuk sebuah motivasi ( Ahmadi, 1991).


(24)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Desa Cijujung, Desa Ciaruteun Hilir, dan Desa Ciaruteun Udik Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Survey ini dilaksanakan sejak bulan Oktober hingga November 2011.

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam survey ini, yaitu kantong plastik, alat tulis, kamera digital, dan kuesioner.

Metode

Penelitian ini dilakukan dengan dua metode yaitu wawancara terstruktur menggunakan kuesioner dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur dilakukan dengan menanyakan beberapa pertanyaan yang telah tersedia kepada petani melalui kuesioner (Lampiran 1). Sedangkan wawancara secara tidak terstruktur dilakukan degan menanyakan hal-hal yang tidak tercantum dalam kuesioner.

Penentuan wilayah yang disurvey dilakukan berdasarkan keberadaan komoditas tanaman sayuran yang terdiri atas tanaman caisin, kol, pare, bawang daun, dan terung. Jumlah petani yang menjadi responden berjumlah 120 orang yang tersebar di Desa Cijujung (40), Ciaruteun Hilir (40), dan Ciaruteun Udik (40). Survey terhadap petani dilakukan secara langsung di lapangan atau di rumah. Selain terhadap petani, survey langsung ke pertanaman juga dilakukan. Pengambilan petani responden sayuran dilakukan secara terpilih, didasarkan atas ada atau tidaknya komditas tersebut di wilayah yang menjadi lokasi responden.

Pengamatan hama dan penyakit dilakukan dengan mengamati jenis-jenis hama dan penyakit dan serangan yang ditimbulkan. Pengamatan hama dan penyakit ini bertujuan untuk membandingkan informasi dari petani responden terhadap hama dan penyakit yang ada di lapangan.


(25)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi

Kecamatan Cibungbulang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Luas wilayah kecamatan ini adalah 3 266 158 Ha dengan ketinggian lebih kurang 350 m dpl, dengan intensitas curah hujan rata-rata antara 2000-3000 mm dan suhu maksimum 31o C – minimum 15o C.

Kecamatan Cibungbulang merupakan salah satu sentra produksi tanaman sayuran yang ada di Kabupaten Bogor. Komoditas tanaman yang diusahakan oleh para petani di Kecamatan Cibungbulang adalah kangkung, terong, caisin, bayam, pare, dan lain-lain.

Karakteristik Petani

Umur

Petani sayuran yang menjadi responden berumur antara 20 - 70 tahun. Hasil survey menunjukkan bahwa 82.5% petani di desa Cijujung, 82.5% di Desa Ciaruteun Hilir, dan 90% di Desa Ciaruteun Udik berusia di atas 40 tahun (Gambar 1). Beberapa petani responden beranggapan dan memandang bahwa bertani bukanlah pekerjaan yang menjanjikan, sehingga para pemuda umumnya memiliki pekerjaan selain petani dan lebih memilih untuk merantau dan meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan lain. Sebagian besar masyarakat dan petani yang telah berumur memilih untuk menjadi petani dan tetap bertahan di desa mereka masing-masing.


(26)

  Gambar 1 Pengalam Pe tahun den Ciaruteun adanya hu kegiatan mengikuti umum pe bertani le pengalama Gambar 2 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Jum lah Petani (%) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Jum lahPetani (%) Distribusi man Bertan engalaman b

ngan jumla Hilir, dan ubungan an bertani um i pengalama tani sayura ebih dari 1

an bertani k

Distribusi 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

< 31  tahun

< 5 tahun

umur petan

ni

bertani say ah persenta 90% di De ntara umur mumnya pad

an dan kegi an sekitar s 10 tahun d kurang dari

pengalama 31 ‐40 

tahun Umur P

5 ‐10  tahun Pengalama ni sayuran. yuran terban ase 87.5% esa Ciaruteu petani dan da usia 20 iatan dari o separuh leb dan tidak

5 tahun.

an bertani pe > 40  tahun Petani

> 10 tahun

an Bertani

nyak memi di Desa C un Udik (G n pengalama 0-30 tahun orang tua m bih dari me ditemukan

etani sayura

iliki rata-rat Cijujung, 7 Gambar 2). an bertani. dan beber mereka, yaitu ereka memi petani res an. Cijujung Ciaruten Ciaruten Cijuj Ciaru Ciaru

ta lebih da 77.5 % di . Terlihat b Petani mem rapa dianta u bertani. S iliki pengal sponden de n Hilir

n Udik

ung  uten Hilir uten Udik

ari 10 Desa bahwa mulai ranya Secara laman engan


(27)

  Status Ke Sta petani pen responden Ciaruteun penggarap lahannya b kepada pe petani pe responden Gambar 3 Pendidika Ka sebaran j menunjuk dan 72.5% Sekolah D pendidika Masyarak pendidika mengalam 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Jum ;ah Petani (%) epemilikan atus kepem nggarap, da n, diperoleh Hilir, dan p (Gambar bisa melalu emilik lahan enggarap ya n yang beke

Distribusi

an.

arakteristik jenjang pe kkan bahwa

% di Desa Dasar (Gamb n hingga k kat dan peta

n, termasu mi putus se

Petani  Pemilik

S

Lahan milikan lahan

an petani p h hasil bahw

n 87.5% d 3). Petani y ui sewa pint n setiap wak

ang lahann rja hanya se

status kepe

pendidikan endidikan

85% petani Ciaruteun bar 4). Tid ke Sekolah ani hingga s uk kepada ekolah dan

Petani  Penggarap

Status Kepem

n petani say pemilik dan wa 80% pet di Desa Cia

yang bekerj tasan, yaitu ktu panen. S nya berasal

ebagai petan

emilikan lah

n yang dim yang cuku i di Desa Ci

Udik adal dak ditemuk h Lanjutan saat ini cen anak dan lebih mem

Petani  Pemilik dan 

Penggarap milikan Lahan

yuran terba n penggarap

tani di Des aruteun Ud ja sebagai p petani akan Selain mela

dari tanah ni pemilik.

han petani s

miliki oleh up berane ijujung, 67. ah petani d kan petani re

Tingkat A nderung kur

cucu mere milih untuk

agi menjadi p. Dari kes sa Cijujung, dik bekerja petani peng

n membaya alui sewa pi

h gadai. T

ayuran.

h petani sa eka ragam. 5% di Desa dengan jenj esponden ya Atas dan Pe

rang meme eka. Beber langsung Cijuju Ciaru Ciaru

: petani pem seluruhan p , 82.5% di a sebagai p garap, pero ar sejumlah

ntasan, beb Tidak ditem

ayuran mem . Hasil su a Ciaruteun njang pendi ang menam erguruan Ti erhatikan je rapa dianta bekerja, ba ung

uten Hilir uten Udik

milik, petani Desa petani olehan uang berapa mukan miliki urvey Hilir, dikan matkan inggi. njang aranya ahkan


(28)

  merantau langsung lebih dari Gambar 4 Keikutser (SLPHT) Pe Pengendal Cijujung, mengikuti SLPHT, d masuk ke lapang se SLPHT, b saja. Mer SLPHT. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Jum lah Petani keluar da dengan ma 40 tahun. Distribusi rtaan Petan engalaman lian Hama

27.5% di D i (Gambar dan salah sa epada para eperti ini. B bahkan men

reka cende Sekolah 

Dasar

ari desa as ayoritas um

pendidikan

ni pada Sek

petani re Terpadu ( Desa Ciarute

5). Umum atu penyeba

petani seh Beberapa d nganggap k

rung tidak SLTP

Pendid

sal mereka. mur petani r

n petani sayu

kolah Lapa

esponden (SLPHT), d eun Hilir, da mnya petan abnya adala hingga peta diantara me kegiatan ters k memilih SLTA Perg T dikan Formal

. Jenjang p esponden y

uran.

ang Pengen

dalam me diperoleh h

an 25% di D ni responden ah kurangny ani tidak m ereka tidak sebut hanya untuk mel guruan  inggi Tid Tama pendidikan yaitu domin ndalian Ham

engikuti S asil 22.5% Desa Ciarut

n belum pe ya informas mengetahui

k peduli te a membuan luangkan w

ak  at SD

juga berk nan pada ki

ma Terpad

Sekolah La petani di teun Udik p

ernah meng si langsung adanya se rhadap keg ng waktu m waktu meng

Cijujung Ciaruten Hi Ciaruten Ud

kaitan isaran du apang Desa ernah gikuti yang kolah giatan mereka gikuti lir dik


(29)

 

Gambar 5

Keanggot Da di Desa C tergabung Beberapa keberadaa pengaruh anti untuk Gambar 6 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Jum lah Petani (%) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Jum lah Petani (%0 Distribusi taan Gabun ari total kes Cijujung, 35 g di dalam k

petani yan an dan ter yang berar k mengikuti Distribusi Ya Ke 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Angg Keanggo keikutserta ngan Kelom eluruhan pe % di Desa keanggotaan

g tidak terg rgabung di

rti bagi me kelompok s

keanggotaa eikutsertaan SL

gota B

otaan Gabunga

aan petani p

mpok Tani etani respon Ciaruteun H n gabungan gabung di d

dalam G ereka, bahka

seperti ini.

an petani da Tidak LPHT

ukan Anggota an Kelompok

pada SLPHT

(GAPOKT nden, dipero

Hilir, dan 30 n kelompok dalam kean GAPOKTAN an beberap alam GAPO Ci Ci Ci a Tani T. TAN) oleh hasil ba

0% di Desa tani setemp nggotaan, be N tidak te

a petani ter

OKTAN ijujung iaruten Hilir iaruten Udik

Cijujung Ciaruten Hili Ciaruten Udi

ahwa 20% p a Ciaruteun pat (Gamba erpendapat erlalu mem rlihat cende r ik petani Udik ar 6). bawa mbawa erung


(30)

 

Karakteristik Usaha Tani

Luas lahan yang dimiliki petani untuk budidaya tanaman sayuran umumnya kurang dari 2000 m2. Komoditas yang banyak ditanam berdasarkan hasil survey adalah tanaman kangkung, terong, dan caisin. Petani umumnya memilih menanam tanaman tersebut karena memiliki prospek dan nilai ekonomis yang baik. Selain itu, proses penanaman dan perawatannya yang cenderung simpel membuat petani lebih mudah dalam melakukan budidaya tanaman tersebut. Cukup banyak lahan yang beralih fungsi menjadi areal pertanaman kangkung, terong, ataupun caisin dan terlihat bahwa kangkung adalah tanaman yang dominan ditanam oleh petani responden (Tabel 1). Usaha tani sayuran di Kecamatan Cibungbulang ini masih tergolong usaha tani subsisten. Skala usaha taninya masih cenderung kecil dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan manajemen usaha taninya sederhana.

Kebanyakan petani lebih memilih mengolah dan menggarap lahan mereka sendiri. Petani beralasan bahwa dengan mengolah dan menggarap lahan mereka sendiri maka biaya tenaga kerja dapat ditekan dan petani merasa lebih puas terhadap hasil yang mereka peroleh. Dalam proses pengolahan dan penggarapan lahan, petani juga kerap berdiskusi dengan petani lainnya terkait dengan proses pembudidayaan tanaman mereka. Lahan sewa yang diperoleh petani diperoleh melalui sewa pintasan, yaitu petani membayar kepada pemilik lahan setiap kali panen. Menurut petani, metode seperti ini lebih menguntungkan mereka. Selain melalui lahan sewa, petani juga memperoleh melalui lahan gadai. Biaya untuk pembelian bibit umumnya dikeluarkan petani pada awal penanaman tanaman sayuran dan selanjutnya diperoleh petani dari hasil sebelumnya (Tabel 1).


(31)

 

Tabel 1 Karakteristik usaha tani petani sayuran

``

No. Karateristik Usaha Tani Proporsi Petani (%) Rata-Rata (%)

Cijujujung Ciaruten Hilir Ciaruten Udik

1. Luas garapan (m2)

- 200-600 47.5 95 50 64.2

- 601-1000 42.5 5 35 27.5

- 1001-2000 10 0 15 8.3

2. Status kepemilikan lahan

- Lahan sendiri 20 17.5 12.5 16.7

- Lahan sewa 77.5 77.5 87.5 80.8

- Tanah Gadai 2.5 5 0 2.5

3. Komoditas yang ditanam

- Kangkung 82.5 82.5 77.5 80.8

- Terong 17.5 12.5 15 15.0

- Caisin 0 5 7.5 4.2

4. Asal bibit

- Membeli dari perusahaan pembibitan 22.5 45 27.5 31.7

- Membeli dari petani lain 7.5 5 2.5 5.0


(32)

 

Pengetahuan Petani tentang Hama dan Penyakit

Berdasarkan hasil wawancara langsung baik secara terstruktur maupun tidak, terlihat bahwa 37.5% petani di Desa Cijujung, 49.6 di Desa Ciaruten Hilir, dan 50.5% di Desa Ciaruten Udik belum begitu memahami hal-hal terkait dengan hama dan penyakit di lahan pertanaman mereka (Tabel 2). Terlihat dari beberapa pertanyaan yang diajukan bahwa petani responden cenderung kurang memerhatikan kondisi lahan mereka dari bahaya hama dan penyakit dan pengamatan yang sebaiknya dilakukan secara berkala.

Hama yang ditemukan menyerang tanaman kangkung adalah ulat grayak, Spodoptera litura (F.) (Lepidoptera: Noctuidae). Serangan ulat ini terjadi pada stadium larva. Larva yang masih muda merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Larva instar lanjut merusak tulang daun dan biasanya larva berada di permukaan bawah daun dan menyerang secara serentak dan berkelompok.

Pertumbuhan populasi ulat grayak sering dipicu oleh situasi dan kondisi lingkungan, contohnya cuaca yang panas. Pada kondisi kering dan suhu tinggi, metabolisme serangga hama meningkat sehingga memperpendek siklus hidup. Akibatnya, jumlah telur yang dihasilkan meningkat dan akhirnya mendorong peningkatan populasi. Penyebab lainnya adalah penanaman tidak serentak dalam satu areal yang luas. Penanaman tanaman yang tidak serentak menyebabkan tanaman berada pada fase pertumbuhan yang berbeda-beda sehingga makanan ulat grayak selalu tersedia di lapangan. Akibatnya, pertumbuhan populasi hama meningkat karena makanan yang tersedia sepanjang musim (Dibyantoro 1996).

Tanaman kangkung cenderung lebih tahan terhadap penyakit. Penyakit yang lazim menyerang tanaman kangkung adalah karat putih (Albugo ipomoea - panduratae). Bila benih diperlakukan dengan penyiraman dan higiene yang umumnya baik, penyakit ini tidak menjadi masalah. Masalah lain selain hama dan penyakit yang cukup berarti pada budidaya tanaman kangkung adalah fluktuasi harga.

Petani responden mengetahui bahwa ulat grayak adalah hama yang menyerang pertanaman mereka dan hama ulat grayak merupakan hama utama dalam budidaya tanaman kangkung. Serangan berat hama ini dapat menyebabkan


(33)

 

tanaman gundul karena daun dan buah habis dimakan ulat. Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau, dan menyebabkan defoliasi daun yang sangat berat.

Hama yang ditemukan pada pertanaman terong adalah penggerek batang/buah terong, Leucinodes orbonalis Guenee (Lepidoptera: Pyralidae). Biasanya serangan terjadi saat tanaman mulai berbunga dan menyebabkan bunga dan putik gugur. Serangan pada buah terjadi bila populasinya tinggi dan dapat menjadi hama yang cukup merugikan.

Selain penggerek batang/buah terong, hama lainnya pada tanaman terong adalah hama kumbang pemakan daun, Henosepilachna sparsa forma vigintioctopunctata (F.) (Coleoptera: Coccinellidae).

Gejala serangan hama ini berupa lubang-lubang pada daun yang terkadang tinggal kerangka atau tulang daunnya saja dan mengakibatkan tanaman menjadi kerdil. Kerusakan berat sering terjadi pada tanaman terong, baik yang ditanam maupun yang liar. Kadang-kadang populasinya tinggi, tetapi biasanya dapat dikendalikan oleh musuh alaminya. Pada awal musim hujan populasinya biasanya rendah karena jumlah inangnya berkurang.

Serangan hama-hama dalam budidaya tanaman terong, menurut petani responden sudah terjadi cukup lama. Serangan berat hama ini dapat menyebabkan penurunan hasil dan menimbulkan kerugian yang cukup besar di kalangan petani. Petani mengetahui keberadaan hama yang menyerang tanaman terong adalah merugikan bagi mereka dan petani pun kerap melakukan pengendalian hama dan penyakit bila terlihat adanya gejala serangan di areal pertanaman.

Hama yang ditemukan menyerang pertanaman caisin adalah hama ulat daun, Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Plutellidae). Pengendalian praktis yang dapat dilakukan oleh para petani adalah dengan cara mengambil ulat yang terdapat pada tanaman, kemudian dimatikan. Menurut petani, hama ini merupakan hama yang cukup penting di pertanaman caisin, karena apabila tidak dilakukan pengendalian, kerusakan oleh hama tersebut dapat meningkat dan hasil panen menurun baik jumlah maupun kualitasnya. Serangan yang timbul terkadang sangat berat sehingga mengakibatkan proses pemanenan menjadi gagal.


(34)

 

Tabel 2 Pengetahuan petani tentang hama dan penyakit

No. Pernyataan

Proporsi petani menjawab (%)

Tahu Tidak tahu

Cijujung Ciaruteun Hilir

Ciaruteun

Udik Cijujung

Ciaruteun Hilir

Ciaruteun Udik 1. Ulat Grayak (Spodoptera litura) adalah salah satu hama yang menyerang

pertanaman kangkung 47.5 5 42.5 52.5 77.5 57.5

2. Hama yang menyerang pertanaman kangkung hanya belalang dan ulat

saja. 42.5 50 77.5 57.5 50 22.5

3. Bila mulai terlihat gejala serangan hama dan penyakit, perlu segera

dilakukan tindakan pengendalian. 95 77.5 95 5 22.5 5

4. Pengamatan hama dan penyakit perlu dilakukan secara berkala. 95 95 50 5 5 50 5. Contoh penyakit yang bisa menyerang pertanaman terong adalah busuk

buah. 77.5 47.5 22.5 22.5 52.5 77.5

6. Pengedalian terhadap hama dan penyakit bisa dilakukan dengan

penggunaan pestisida sintetis saja 17.5 10 10 82.5 90 90


(35)

      Be responden responden penyakit terhadap p yang ada p Ga budidaya hama dan penurunan pengamata beberapa p responden hama dan Ha 48.67% d menerapk pertanama petani say oleh petan Gambar 7 Jum ;ah Petani (%) erdasarkan h n petani say n mengguna

tanaman d pengendalia

pada petani angguan ha

tanaman sa n penyakit k n produksi andan peng petani tidak n melakukan penyakit da asil survey di Desa Ci

an PHT da an sayuran yuran tidak ni tersebut. Penerapan penyakit 0 10 20 30 40 50 60 Mene Te hasil survey yuran yang akan berbag di areal p an OPT yan

.

ama dan ayuran, seh karena khaw i atau ke gendalian h k melakukan n pengamat an melihat g

menunjuk iaruten Hil alam meng (Gambar 7 terlepas da

n PHT oleh erapkan PHT

Penera

eknik Peng y yang dilak g tersebar k gai cara dala ertanaman ng ada di lap

penyakit m hingga peta watir tanam gagalan p hama dan n pengamata tan dengan gejala yang kkan bahwa

ir, dan 42 gendalikan h

7). Teknik p ari alasan p

petani sayu Tidak men PH apan PHT

endalian kukan terhad

ke dalam t am melakuk

mereka. P pangan, tida

dap seratus tiga desa, d kan pengen Perbedaan ak terlepas d

dua puluh o diperoleh b ndalian ham para respo dari karakte menjadi pe ani respond man budiday anen. Peta penyakit s an hama da mengamati

ditimbulka a 49.65% .67% di D hama dan pengendalia engambilan

uran dalam p nerapkan  T ermasalahan den melakuk ya mereka ani respon secara berk an penyakit ada atau ti an oleh seran

petani di Desa Ciarut

penyakit ta an yang dila n keputusan

pengendalia Cij Cia Cia

n utama d kan pengam akan meng nden melak kala, namun (Tabel 2). P daknya sera ngan tersebu

Desa Ciju ten Udik b anaman di akukan oleh n yang dilak

an hama dan jujung aruten Hilir

ruten Udik

orang bahwa ma dan onden eristik dalam matan alami kukan n ada Petani angan ut ujung, belum areal h para kukan n a


(36)

     

Pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan petani responden dilakukan se cara kimiawi dengan aplikasi pestisida ke areal pertanaman, contohnya dalam melakukan pengendalian ulat daun pada pertanaman caisin, petani menggunakan insektisida kimiawi dengan bahan aktif: sipermetrin 55 g/l + klorpirifos 530 g/l. Sastrosiswoyo (1995) melaporkan bahwa penggunaan insektisida untuk pengendalian hama sayur-sayuran ternyata telah dilakukan secara berlebihan, baik dari segi dosis maupun jumlah perlakuan. Pengendalian hama terpadu yang diaplikasikan petani secara praktis di lapangan adalah dengan metode kultur teknis. Petani berpendapat bahwa lebih baik untuk menanam caisin pada musim hujan, karena populasi hama tersebut dapat dihambat oleh curah hujan. Selain pada musim hujan, sebaiknya tidak melakukan penanaman berkali-kali pada areal sama, karena tanaman yang lebih tua dapat menjadi inokulum bagi tanaman baru.

Selain dengan metode kultur teknis, petani juga melakukan pengendalian secara fisik dan mekanis. Tanaman caisin di persemaian setiap hari harus diamati jangan sampai ada ulat. Jika ditemukan, walaupun hanya satu, harus segera dikendalikan, misalnya dengan cara dipijit hingga mati dan tidak disemprot, karena ulat akan makin kebal dan makin marajalela.

Petani melakukan teknik pengendalian pada ulat grayak di pertanaman kangkung dengan menggunakan cara mekanis. Caranya adalah telur yang ada diambil bersama dengan daun tempat menempelnya. Pengambilannya jangan sampai terlambat sebab ulat akan bersembunyi di dalam tanah jika telah besar. Pembuatan perangkap ulat grayak juga dapat dilakuakan dengan cara pembuatan parit sepanjang sisi kebun dengan lebar 60cm dan dalam 45cm. Ulat grayak yang masuk kedalam parit dimatikan dengan menggulung kayu bulat yang digerakkan maju mundur diatas ulat grayak. Cara lain adalah paritnya diisi dengan jerami atau bahan lainnya yang mudah terbakar, lalu dibakar hingga ulat grayaknya mati. Pembersihan gulma agar tidak menjadi tempat berkembang biak dan bersembunyi ngengat dan ulat. Hal ini menunjukkan bahwa petani sudah mulai paham dan mengerti teknik pengendalian hama terpadu.

Selain menggunakan cara mekanis, petani juga masih mengandalkan insektisida kimiawi sebagai langkah pengendalian utama dalam mengendalikan


(37)

     

ulat grayak di areal pertanaman mereka. Petani menggunakan insektisida dengan bahan aktif: Deltamethrin 25 g/l yang meruoakan insektisida non sistemik, yang bekerja pada serangga dengan cara kontak dan pencernaan. Penggunnaan insektisida ini harus dilakukan secara bijak dan hati-hati.

Pengendalian yang petani responden lakukan untuk mengatasi kumbang pemakan daun pada tanaman terong adalah dengan cara fisik dan mekanis, yaitu dengan mengumpulkan dan memusnahkan kumbang yang ada di areal pertanaman. Hama yang ditemukan juga bisa dimasukkan ke dalam kantung plastik dan dimatikan. Namun untuk areal luas perlu pertimbangan tenaga dan waktu. Petani juga menggunakan insektisida Pestona (bahan aktif: Azadirachtin) sebagai bentuk pencegahan dari serangan kumbang pemakan daun ini. Insektisida ini terbuat dari bahan alami, sehingga mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan, relatif aman bagi manusia, hewan piaraan, serta musuh alami hama tanaman, dan tanaman aman untuk dikonsumsi

Penerapan pengendalian hama terpadu ini akan mendatangkan keuntungan bagi para petani, diantaranya: (1) menjada aspek stabilitas produksi. Tanaman sayuran merupakan komoditas utama ketiga desa tersebut. Pendekatan PHT menawarkan pengelolaan agroekosistem yang menunjang stabilitas produksi. (2) aspek ekonomi. Penggunaan sistem PHT pada umumnya dapat mengurangi penggunaan pestisida pada tanaman sayuran jika dibandingkan dengan pertanian konvensional. Bila PHT dilaksanakan sepenuhnya, pengeluaran negara untuk subsidi pestisida setiap tahunnya dapat dihemat 50-100 juta dollar (Departemen Pertanian, 1998). (3) aspek kesehatan. Pestisida yang lengket pada tanaman biasanya meninggalkan residu yang cukup besar, apalagi bila mengingat intensitas penyemprotan yang bisa mencapai 20-30 kali tiap musim tanam di daerah sentra produksi. Pada dosis tertentu, penumpukan pestisida di dalam tubuh amat berbahaya bagi kesehatan, sebab bahan kimia penyusun pestisida adalah racun yang keras. Cara terbaik mengurangi dampak pestisida adalah dengan mengurangi kontak. Pemerintah telah mengeluarkan anjuran pengurangan penggunaan pestisida melalui Inpres No. 3/86 yang intinya menekankan penggunaan pestisida seminimal mugkin kecuali pada saat yang benar-benar dibutuhkan. (4) aspek lingkungan. Penggunaan pestisida untuk membunuh hama dan penyakit sering


(38)

     

membunuh organisme lain di dalam ekosistem. Bila organisme yang mati adalah organism yang menguntungkan bagi pengendalian hama, maka bisa terjadi serangan yang lebih besar. Keadaan ini dapat terjadi karena terganggunya keseimbangan ekosistem yang ada. Sayangnya, penumpukan pestisida dalam ekosistem menimbulkan pencemaran lingkungan yang tidak dapat dilihat dan dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

Tabel 3 Petani sayuran yang menerapkan PHT

No Karakteristik Petani

Proporsi petani melaksanakan PHT (%)

Rata-rata (%) Cijujung Ciaruten

Hilir

Ciaruten Udik 1 Umur

- < 31 tahun 83.3 80 80 81.1

- 31 – 40 tahun 50 60 60 56.7

- > 40 tahun

35 40 20 31.7

2 Pengalaman Bertani

- 5 – 10 tahun 50 60 60 56.7

- > 10 tahun

33 20 20 24.3

3 Status Kepemilikan Lahan

- Petani Penggarap 32 15 15 20.7

- Petani Pemilik

dan Penggarap 72 72 80 74.7

4 Penddikan

- Tidak tamat SD 29 35 22 28.7

- SD 39 15 38 30.7

- SLTP

83.3 75 50 69.4

5 Keikutsertaan SLPHT

- Pernah Mengikuti 57 82 50 63

- Belum/ Tidak

Pernah 33.3 30 17 26.7

Petani sayuran dengan umur lebih dari 40 tahun terlihat masih belum melaksanakan teknik pengendalian hama terpadu. Berdasarkan hasil wawancara, hal ini karena pada usia tersebut petani lebih melihat dari segi praktis, efisiensi waktu, dan tenaga karena untuk melakukan alternatif pengendalian yang dirasa


(39)

     

tidak cukup memungkinkan karena faktor usia. Hal ini mulai menunjukkan bahwa umur cukup berpengaruh terhadap keputusan pengendalian yang mereka lakukan. Petani dengan umur 31-40 tahun mulai berpikir untuk mencoba menggunakan teknik pengendalian secara terpadu. Petani tidak semerta-merta menggunakan pestisida sintetis sebagai satu-satunya metode pengendalian jika lahan mereka mulai terserang oleh hama dan penyakit. Petani mulai membuka diri dan menerima banyak informasi yang masuk, terkait dengan proses pembudidayaan tanaman mereka. Dari ketiga desa tersebut, memang jarang sekali ditemukan petani yang berumur kurang dari 31 tahun. Sama halnya dengan petani sayuran dengan umur 31-40 tahun, petani mulai menerima informasi terkait dengan pengendalian yang baik mereka lakukan. Petani mulai menggunakan teknik pengendalian hama terpadu sebagai metode pengendalian yang mereka lakukan, walaupun jumlah petani pada usia ini cukup jarang ditemukan.

Selain umur, karakteristik petani yang memperngaruhi petani dalam mengambil keputusan untuk melakukan pengendalian adalah pengalaman bertani dengan Petani dengan pengalaman lebih dari 10 tahun masih mengikuti tradisi turun temurun yang dilakukan, sehingga membuat segala informasi yang masuk mengenai teknik pengendalian alternatif agak susah diterima. Umumnya mereka masih belum bisa mengaplikasikan teknik pengendalian alternatif lainnya. Petani belum begitu menguasai dan memahami kondisi lahan mereka sendiri dan cenderung mengikuti pola petani-petani sebelumnya. Terlihat juga bahwa tidak terlalu berbeda antara petani dengan pengalaman bertani 5-10 tahun dan lebih dari 10 tahun. Keduanya nampak belum mengaplikasikan teknik pengendalian hama terpadu ketika menemukan gejala serangan hama atau penyakit di areal pertanaman, walaupun jumlah petani responden yang ditemukan pada usia 5-10 tahun lebih sedikit.

Petani responden yang bekerja sebagai petani penggarap terlihat belum tidak mengaplikasikan teknik pengendalian hama terpadu. Hal ini dikarenakan pada lahan sewaan dirasa akan lebih banya resiko dan batasan dari segi kepemilikan lahan yang harus dipertimbangkan diantaranya yaitu sewaktu-waktu lahan bisa diambil oleh pemilik sebenarnya, lain halnya dengan lahan milik sendiri yang dapat diupayakan semaksimal mungkin. Petani tidak terlalu


(40)

     

merasakan adanya resiko ketika mereka mencoba untuk melakukan alternatif pengendalian lain, karena lahan yang mereka garap adalah lahan mereka sendiri. Petani cenderung lebih terbuka dan mempertimbangkan hal-hal yang baru terkait dengan proses budidaya tanaman. Hasil survey juga menunjukkan bahwa tidak ditemukan petani yang bekerja hanya sebagai petani pemilik.

Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap keputusan pengendalian para petani adalah jenjang pendidikan. Petani dengan jenjang pendidikan tidak menamatkan sekolah dasar agak susah mencari dan menerima informasi tentang alternatif pengendalian yang saat ini sedang dianjurkan untuk digunakan. Petani juga acuh dan lebih memilih cara yang praktis dan sudah terbiasa mereka lakukan. Petani dengan jenjang pendidikan ini merupakan petani-petani tua yang sudah tidak begitu produktif dalam kesehariaannya. Lebih fokus hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Petani sayuran yang memiliki pendidikan tidak lebih dari SLTP umumnya memilih untuk tidak melaksanakan teknik pengendalian hama terpadu, karena pengetahuan tentang pengendalian alternatif yang masih kurang dan belum bisa diaplikasikan oleh petani. Tingkat pendidikan formal merupakan faktor penting untuk mengetahui tingkat sumberdaya manusia. Makin tinggi tingkat pendidikan formal petani akan semakin rasional pola berpikirnya dan daya nalarnya. Pendidikan merupakan sarana belajar untuk meningkatkan pengetahuan, yang selanjutnya akan menanamkan pengertian sikap dan mempengaruhi kemampuan petani untuk dapat bertindak yang lebih rasional sehingga semakintinggi penerimaannya terhadap suatu inovasi. Semakin terlihat di jenjang pendidikan ini, bahwa petani mulai menemukan cara untuk melakukan pengendalian OPT di areal pertanamannya. Ini merupakan sikap positif yang ditunjukkan oleh petani dan akan berkorelasi baik dalam praktek pengendaliannya. Bagi sebagian mereka pendidikan masih dirasa kurang penting karena ada alasan bahwa tidak perlu sekolah tinggi hanya dengan bisa mencangkul dan tahu cara menanam sayuran sudah dapat menjadi sumber penghidupan, selain itu biaya pendidikan yang semakin mahal.

Berbagai dampak positif secara ekonomi, ekologi, dan sosial budaya telah dirasakan oleh masyarakat petani yang telah memperoleh kesempatan mengikuti SLPHT, termasuk alternatif di dalam melakukan teknik pengendalian. Namun


(41)

     

untuk terjadinya perubahan nyata perilaku dan kebiasaan petani dari yang konvensional menjadi perilaku PHT, tidak dapat dilakukan hanya dengan mengikuti SLPHT yang berlansung selama satu musim tanam. Petani dengan kelompoknya masih memerlukan pendampingan dalam meningkatkan profesionalisme mereka sebagai petani PHT, yang mampu memproduksikan hasil pertanian yang berdaya saing tinggi. Data diatas menunjukkan bahwa pengalaman petani mengikuti SLPHT berpengaruh pada keputusan dalam melakukan pengendalian. Petani perlu diberi kesempatan dan kepercayaan untuk mengembangkan kepercayaan diri, kemandirian, serta kemampuan profesional mereka dalam mengambil keputusan yang terbaik bagi diri mereka.


(42)

     

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Banyak petani sayuran di Kec. Cibungbulang yang telah mengetahui masalah hama dan penyakit tanaman dan pengendaliannya, mencapau 54.1% petani sayuran di Kec. Cibungbulang (49.65% di Desa Cijujung, 48.67% di Desa Ciaruten Hilir, dan 42.67% di Desa Ciaruten Udik) belum menerapkan PHT dalam pengendalian hama dan penyakit sayuran. Karakteristik petani seperti usia, pengalaman bertani, status kepemilikan lahan, jenjang pendidikan, dan keikutsertaan petani dalam SLPHT berhubungan dengan keputusan petani dalam melakukan tindakan pengendalian.

Hama dan penyakit merupakan masalah utama dalam budidaya sayuran. Hama yang menyerang tanaman kangkung adalah ulat grayak (Spodoptera litura), di tanaman terong adalah penggerek batang/buah terong, Leucinodes orbonalis (Lepidoptera: Pyralidae) dan hama kumbang pemakan daun (Henosepilachna sparsa), sedangkan yang ditemukan menyerang pertanaman caisin adalah adalah hama ulat daun (Plutella xylostella). Penyakit utama dan yang menyerang tanaman kangkung adalah karat putih (Albugo ipomoea - panduratae).

Saran

Untuk meningkatkan produksi serta keberhasilan dalam pengendalian hama dan penyakit dalam budidaya tanaman sayuran, perlu dikaji hal-hal yang menyebabkan tindakan pengendalian petani sayuran tidak sesuai dengan PHT.


(43)

     

DAFTAR PUSTAKA

Arifin Zaenal. 1992. Penerapan pengendalian hama terpadu petani sayuran di Kecamatan Pacet [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dahriadi Monang. 1994. Pengetahuan sikap dan tindakan petani dalam PHT pada tanaman kacang merah di Semarang Kabupaten Garut. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Duriat, A.S. 1996. Cabai merah: komoditas prospektif dan andalan, hal. 1-3. Dalam A.S. Duriat. A. Widjaja, W. Hadisoeganda, T.A. Soetiarso, L. Prabaningrum (Eds.). Teknologi Produksi Cabai Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang.

Djojosumarto Panut, R Sukayat dan Marjudin. 1996. Penggunaan pestisida yang benar, bijaksana dan aman sesuai dengan prinsip-prinsip pengendalian hama terpadu. BLLP,Lembang.

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru Van- Hoeve, Jakarta.

Kogan Marcos. 1986. Ecological Theory and Integrated Pest Management Practice. New York: Wiley Interscience.

Moentono MD. 1996. Sumber daya lingkungan tumbuh. Pusat Peneletian dan Pengembangan Tanaman Pangan dan Sayuran. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor.

Oka Ida Nyoman. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Impelementasinya di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Rahadi, FR Palungkun dan Budiarti A. 2001. Agribisnis Tanaman Sayuran. Jakarta: penebar Swadaya

Rauf Aunu. 1992. Strategi PHT penggerek padi putih di jalur Pantura. Bogor: Faperta IPB.

Sastrosiswojo S, Setiawati W. 1993. Hama-hama kubis dan pengendaliannya. Di dalam: Permadi AH, Sastrosiwojo S, editor. Kubis. Bandung: Balithor Lembang. hlm 39-50.

Sastrosiswojo Sudarwohadi. 1995. Penggunaan insketisida pada tanaman sayuran berdasarkan konsepsi pengendalian hama terpadu. Komisi Perlindungan Tanaman, Cipanas.

Semangun Haryono. 1989. Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.


(44)

     

Suharyanto, Suprapto dan Rubiyo. 2006. Analisis Pendapatan dan Distribusi Pendapatan Tanaman Perkebunan Berbasis Kelapa di Kabupaten Tabanan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 146 – 154.

Wahyuni TY. 2007. Analisis cabang usahatani sayuran organik di Mega Surya organik Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Wisastri B. 2006. Peramalan permintaan sayuran di wilayah Pacet Segar, Cianjur. [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.


(45)

 

LAMPIRAN

I. Karakteristik petani

1. Nama :

2. Jenis kelamin : 3. Alamat :

4. Umur : A. < 20 th B. 21-30 th C. 30 th ke atas 5. Pendidikan : A. SD

B. SMP C. SMA

D. PT

E. Tidak tamat SD

6. Pernah mengikuti SLPHT (Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu) : A. Ya B.Tidak

7. Dari mana Anda mendapatkan informasi tentang SLPHT : A. Buku

B. Pengalaman orang lain C. Majalah/Koran

D. Televisi/radio E. Lainnya…

8. Apakah Saat ini tergabung di dalam kelompok tani? A. Ya B. Tidak Nama kelompok tani:

9. Pengalaman bertani sayuran :

10. Bekerja sebagai petani : A. Pemilik B. Penggarap C. Pemilik dan Penggarap

11. Total kepemilikan lahan (luas) :

II. Keadaan Umum

A. Lahan

12. Lokasi lahan : 13. Komoditas : 14. Status kepemilikan lahan :

A. Lahan sendiri B. Lahan sewaan 15. Luas lahan :

16. Cara penanaman : 17. Pemeliharaan : a. Pemupukan : b. Penyiangan : 18. Umur tanaman : 19. Jarak tanam : 20. Pemakaian pestisida :

A. Ya B. Tidak YA:

- Nama pestisida yang digunakan : - Jenis pestisida (satu jenis atau campur) : - Cara perolehan pestisida :


(46)

 

- Dosis dan frekuensi :

21. Bagaimana mengatasai hama dan penyakit pada tanaman sayuran di lahan anda : A. Disemprot dengan pestisida

B. Langsung dibunuh C. Menggunakan perangkap D. Dibiarkan saja

E. Lainnya….

B. Produksi

22. Hasil panen/produksi (per 1 kali panen) :

23. Jumlah panen/tahun : 24. Penjualan hasil panen ( Harga jual dan tempat penjualan ) :

25. Sudah berapa kali melakukan pemanenan :

III. Permasalahan Hama dan Penyakit :

26. Hama dan penyakit yang pernah ditemukan : Hama:

Penyakit :

27. Masalah hama dan penyakit yang paling sering ditemukan, waktu kejadian, dan kerusakan yang ditimbulkan :

28. Kerugian yang ditimbulkan akibat hama dan penyakit tersebut :

IV. Sikap Petani Dalam Menggunakan Pestisida :

29. Pestisida efektif untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman? A. Tidak setuju C. Ragu-ragu

B. Kurang setuju D. Setuju E. Sangat setuju 30. Pestisida adalah barang yang membahayakan bagi lingkungan dan

pengguna/petani ?

A. Tidak setuju C. Ragu-ragu

B. Kurang setuju D. Setuju E. Sangat setuju 31. Apakah anda setuju bahwa penggunaan pestisida dapat menjadi solusi yang

efektif dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman? A. Tidak setuju C. Ragu-ragu

B. Kurang setuju D. Setuju E. Sangat setuju 32. Pestisida merupakan pilihan utama dalam pengendalian hama dan penyakit

tanaman ?

A. Tidak setuju C. Ragu-ragu

B. Kurang setuju D. Setuju E. Sangat setuju 33. Selain menggunakan pestisida, apakah Anda menggunakan cara lain?

A. Ya B. Tidak

V. Pengetahuan Tentang Pengendalian Hama Penyakit Terpadu dan


(47)

 

34. Apakah anda mengetahui pengertian pengendalian hama dan penyakit terpadu : A. Ya B. Tidak

35. Apakah anda mengetahui bentuk – bentuk / cara melakukan pengendalian hama dan penyakit terpadu

A. Ya B. Tidak B.

36. Bentuk pengendalian hama dan penyakit terpadu pada tanaman sayuran yang sering anda lakukan

37. Kegiatan/cara pengendalian hama dan penyakit terpadu selalu anda lakukan dalam mengatasi permasalahan hama dan penyakit di lahan anda :

A. Ya B. Tidak

38. Kegiatan pengendalian hama terpadu merupakan suatu cara yang baik dan efisien dalam mengatasi permasalahan hama dan penyakit :

A. Ya B. Tidak

YA : Aplikasi PHT untuk tanaman pepaya yang baik itu seperti apa? 39. Apakah anda mengetahui pengertian pengendalian hayati / musuh alami:

B. Ya B. Tidak YA :

- Parasitoid : - Predator : - Patogen :

40. Dari mana Anda mendapatkan informasi tentang pengendalian hama dan penyakit terpadu dan pengendalian hayati :

A. Buku

B. Pengalaman orang lain C. Majalah/Koran

D. Televisi/radio E. Lainnya…


(48)

ARIEF YUSUP RAMDHANI. Study Potentials of Canopy Trees in Bogor Botanical Garden to Absorb Carbondioxide Emissions from Vehicles. Under the Direction of INDUNG SITTI FATIMAH.

In 2000 the number of vehicles in Bogor City are 46.250 units, in 2005 are 111.939 units, in 2010 are 178.851 units and were estimated in 2040, this number will reach 576.654 units. Increasing numbers of vehicles will increase the concentration of carbondioxide (CO2) in the atmosphere. In 2010, carbondioxide (CO2) emitted by motor vehicles in Bogor City by 225.134,96 tons and were estimated in 2040 will reach 527.566,07 tons. Bogor Botanical Gardens was chosen as study site because it is one of urban forest in Bogor City with an important role in absorbing carbondioxide (CO2). Therefore to calculate carbondioxide (CO2) that was absorbed by canopy trees in Bogor Botanical Gardens used the software ArcView 3.2 and extensions CITYgreen 5.0. Based on the result of the analysis CITYgreen 5.0 obtained information stating that existing condition in Bogor Botanical Gardens has carbondioxide (CO2) sequestration potential by 134,61 tons/year and it is able to absorb carbondioxide (CO2) emissions only 0,06 % from 225.134,96 tons of carbondioxide (CO2) emitted by motor vehicles at this time. Scenarios were made to determine the character of the tree canopy coverage which is the most potential to absorb carbondioxide (CO2). Bogor Botanical Gardens with the first scenario could increase the carbondioxide (CO2) sequestration potential from existing condition by 117,06 % which is 134,61 tons/year to 292,18 tons/year. The first scenario is able to absorb carbondioxide (CO2) emissions by 0,055% from 527.566,07 tons of carbondioxide (CO2) emitted by motor vehicles in 2040. Then the second scenario was made to increase the carbondioxide (CO2) sequestration potential. The second scenario could increase the carbondioxide (CO2) sequestration potential from the existing condition in the Bogor Botanical Gardens by 267,88 % which is 134,61 tons/year to 495,20 tons/year. The second scenario is able to absorb carbondioxide (CO2) emissions by 0,094 % from 527.566,07 tons of carbondioxide (CO2) emitted by motor vehicles in 2040.

Keyword : Bogor Botanical Garden, carbondioxide (CO2) emission, carbondioxide (CO2) sequestration, CITYgreen 5.0


(1)

DAFTAR PUSTAKA

American Forests. 2002. CITYgreen 5.0 User Manual. Washington DC : American Forests PO BOX 2000.

Ellyanie. 2011. Pengaruh Penggunaan Three Way Catalys Converter Terhadap Emisi Gas Buang pada Kendaraan Toyota Kijang Innova. Seminar Nasional AVOER ke-3; Palembang, 26-27 Oktober. Palembang: UNSRI. 439-445. Garner, Matthew. Attwood, Angela. James, Alexandra. Sykes, Charlotte. Baldwin,

David. Munafo, Marcus. 2011. 7.5% Carbondioxide Inhalation Increases Threat Processing in Humans. University of Southampton: 1-3

Gorte, Ross. 2009. Carbon Sequestration in Forests [Catatan Penelitian]. Congressional Research Service : 1-23.

Gusnita, Dessi. Safiati, Iis. Hamdi, Saipul dan Sumaryati. 2010. Kajian Perbaikan Kualitas Udara Sebagai Dampak Penerapan Kebijakan Uji Emisi Laporan Akhir Kegiatan Program Intensif Dikti [Catatan Penelitian]. Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Deputi Bidang Sains Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional: 1-51.

Guttikunda, Sarath. 2008. Four Simple Equations for Vehicular Emissions Inventory. Simple Interactive Models for Better Air Quality 2: 1-13.

Hidayat, Atep Afia. 2007. Ilmu Lingkungan. Bandung: Pusat Pengembangan Bahan Ajar – UMB ITB.

Johnson, Ian dan Coburn, Rebecca. 2010. Trees For Carbon Sequestration [Catatan Penelitian]. Prime Fact 981: 1-6.

Kusuma, Wima Perdana. 2009. Studi Kontribusi Kegiatan Transportasi Terhadap Emisi Karbon di Surabaya Bagian Barat [Skripsi]. Surabaya: FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Kusumawardani, Deni. 2009. Emisi CO2 dari Penggunaan Energi di Indonesia:

Perbandingan Antar Sektor. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Fakultas Ekonomi, Universitas Airlangga, Surabaya 3 : 176-187.

Lukmaniah, Purwanti. 2011. Manfaat Kanopi Pohon dalam Upaya Penyimpanan dan Penyerapan Karbon di Kawasan Perumahan Kota Bogor [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.


(2)

43

Nugraha, Beni Setya. 2007. Aplikasi Tekonologi Injeksi Bahan Bakar Elektronik (EFI) untuk Mengurangi Emisi Gas Buang Sepeda Motor. Profesional, Jurnal Ilmiah Populer dan Teknologi Terapan 2 : 741-754.

Nugroho, Muhammad Isrok. 2011. Valuasi Manfaat Ekologis Kanopi Pohon Perkotaan dan Ruang Terbuka Hijau Kota Malang dengan Menggunakan Teknik GIS [Thesis]. Bogor : Program Pascaarjana, Institut Pertanian Bogor. Pacala dan Socolow. 2004. Stabilization wedges-solving the climate problem for

the next 50 years with current technologies. Science 305 : 968-972.

Panie, Robert Leonard. 2009. Pendugaan Kebutuhan Luas Minimal Hutan Kota Di Kota Bekasi [Thesis]. Bogor: Program Pascaarjana, Institut Pertanian Bogor. 91 hal.

Prasetyo, Yudik. 2011. Adaptasi Sistem Pernapasan Terhadap Latihan. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Purwaningsih, Sri. 2007. Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Purwanto, Edi. 2007. Ruang Terbuka Hijau di Perumahan Graha Estetika Semarang. ENCLOSURE Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman 1: 49-58.

Rowntree, Rowan A. dan Nowak, David. 1991.Quantifying the Role of Urban Forests in Removing Atmospheric Carbon Dioxide. Journal of Arboriculture 10: 269-275.

Ruhiyat, Yayat. 2008. Studi Daya Dukung Biofisik Kawasan Rekreasi Kebun Raya Bogor [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sales, Renezita. Lasco, Rodel dan Banaticla, Regina. 2011. Carbon Storage and

Sequestration Potential on Smallholder Tree Farms on Leyte Island, The Philippines. ACIAR Smallholder Forestry Project : 129-141.

Sihotang, Samuel Ray. 2009. Pemetaan Distribusi Konsentrasi Karbondioksida (CO2) dari Kontribusi Kendaraan Bermotor [Makalah Skripsi]. Surabaya:

FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Sutiman. 2004. Upaya Pengendalian Pencemaran Udara Melalui Pengembangan Teknologi Motor Bensin dan EMS [Makalah Seminar]. Yogyakarta: Disampaikan pada seminar “ Wirausaha perbengkelan Otomotif sebagai Alternatif Usaha Bagi Calon Purna Karya” PT KPI-KEPURUN, 25-26 Mei.


(3)

Tagupa. Lopez. Caperida. Pamunag dan Luzada. 2010. Carbondioxide (CO2) Sequestration Capacity of Tampilisan Forest. E-International Scientific Research Journal 3 : 182-191.

[Bappeda] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Bogor. 2010. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor. Bogor: Bappeda Kota Bogor.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2000. Bogor Dalam Angka Tahun 2000. Bogor: BPS Kota Bogor.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2005. Bogor Dalam Angka Tahun 2005. Bogor: BPS Kota Bogor.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2010. Bogor Dalam Angka Tahun 2010. Bogor: BPS Kota Bogor.

[CIFOR] Center for International Forestry Research. 2010. REDD: Apakah itu? Pedoman CIFOR Tentang Hutan, Perubahan Iklim dan REDD. Bogor: CIFOR Bogor Indonesia.

[EIGA] European Industrial Gases Association. 2011. Carbondioxide Physiological Hazard “Not Just Asphyxiant!”. Safety Information : 1-3.

[Health and Safety Information].1989. Occupational Exposure Limits. The Health and Safety Executive Guidance Note EH40/89-Occupational Exposure Limits.1-4

[KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2009. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2009 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru. Jakarta: KLH.

[KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2006. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2006 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama. Jakarta: KLH.

[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2006. Pusat Konservasi Tanaman Kebun Raya Bogor. Bogor: Pemerintah Kota Bogor.

[Pemerintah RI] Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Peraturan Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Jakarta: Pemerintah RI.

[Pemerintah RI] Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang - undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Jakarta: Pemerintah RI.

[Pemkot] Pemerintah Kota Bogor. 2000. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 11 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Daerah (Propeda) Kota Bogor. Bogor: Pemkot Bogor.


(4)

45

[U.S. Greenhouse Gas Emissions and Sinks]. 2004. Unit Conversions, Emissions Factors and Other Reference Data. U.S. Greenhouse Gas Emissions and Sinks : 1-15.

[World Bank's Environment Department]. 1998. Greenhouse Gas Assessment Handbook A Practical Guidance Document for the Assessment of Project- level Greenhouse Gas Emissions. Global Environment Division 64: 1 – 81.  


(5)

Bogor dalam Menyerap Emisi Karbondioksida dari Kendaraan Bermotor. Dibimbing oleh INDUNG SITTI FATIMAH.

Jumlah kendaraan bermotor di Kota Bogor tahun 2000 hingga tahun 2010 setiap tahunnya cenderung meningkat. Tahun 2000 jumlah kendaraan di Kota Bogor sebanyak 46.250 unit, tahun 2005 sebanyak 111.939 unit dan tahun 2010 sebanyak 178.851 unit. Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor tersebut akan meningkatkan jumlah gas buang. Banyaknya gas buang yang dikeluarkan akan membantu meningkatkan konsentrasi karbondioksida (CO2) di atmosfir. Salah

satu bentuk pencegahan agar konsentrasi karbondioksida (CO2) di atmosfir tidak

bertambah adalah dengan adanya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Hutan kota sebagai bagian dari ruang terbuka hijau merupakan bentuk ruang terbuka hijau yang dapat digunakan untuk menyerap karbondioksida (CO2) dan mengurangi

tingkat polusi udara di daerah perkotaan. Kebun Raya Bogor dipilih sebagai lokasi penelitian karena Kebun Raya Bogor merupakan salah satu hutan kota di Kota Bogor yang dianggap mempunyai peranan penting dalam menyerap karbondioksida (CO2). Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui

kemampuan pohon di Kebun Raya Bogor dalam menyerap karbondioksida (CO2)

yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor di Kota Bogor. Sementara itu manfaat dari penelitian ini yaitu menjadi bahan masukan bagi pemerintah kota, masyarakat, dan pihak lain yang terkait dalam pembuatan kebijakan mengenai penggunaan lahan.

Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2011 sampai bulan Juli 2011. Data-data yang dibutuhkan pada penelitian ini yaitu data spasial dari citra quickbird, data penggunaan lahan Kota Bogor, jumlah penduduk Kota Bogor, dan jumlah kendaraan bermotor Kota Bogor. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Bogor pada tahun 2000 seluas 7.211,91 ha atau 60,86 % dari 11.850 ha luas Kota Bogor, tahun 2005 seluas 7.073,27 ha atau 59,69 %, tahun 2010 seluas 5.986,62 atau 50,52 %. Luas Kebun Raya Bogor sendiri sekitar 87 ha atau 0,73 % dari luas Kota Bogor. Kebun Raya Bogor memiliki koleksi 223 famili, 1.259 marga, 3.423 jenis, dan 13.563 spesimen berdasarkan registrasi tanaman periode tahun 2006. Jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2000 yaitu 714.712 jiwa, tahun 2005 sebanyak 885.085 jiwa dan tahun 2010 sebanyak 949.066 jiwa, sehingga setiap tahunnya terjadi pertambahan penduduk sebanyak 23.435 jiwa. Sementara itu, untuk jumlah kendaraan bermotor di Kota Bogor dari berbagai jenis kendaraan pada tahun 2000 sebanyak 46.250 unit, tahun 2005 sebanyak 111.939 unit dan tahun 2010 sebanyak 178.851 unit. Jika dirata-ratakan, maka jumlah kendaraan bermotor tersebut tiap tahunnya bertambah sebanyak 13.260 unit.

Karbondioksida (CO2) yang dikeluarkan dari kendaraan bermotor dihitung

menggunakan rumus dari Guttikunda (2008) yaitu dengan cara mengalikan jumlah kendaraan bermotor (unit) dengan jarak tempuh kendaraan (km/tahun), kemudian dikalikan dengan faktor emisi karbondioksida (CO2) (g/km) dari masing-masing

jenis kendaraan bermotor. Pada tahun 2010, emisi karbondioksida (CO2) yang

dihasilkan dari kendaraan bermotor di Kota Bogor sebesar 225.134,96 ton dan diperkirakan pada tahun 2040 akan mencapai 527.566,07 ton. Sementara itu untuk


(6)

mengetahui seberapa besar karbondioksida (CO2) yang diserap oleh kanopi pohon

di Kebun Raya Bogor digunakan perangkat lunak ArcView 3.2 beserta ekstensi CITYgreen 5.0. Berdasarkan hasil analisis dari CITYgreen 5.0 diperoleh informasi yang menyatakan bahwa keadaan eksisting Kebun Raya Bogor mempunyai potensi serapan karbondioksida(CO2) sebesar 134,61 ton/tahun dan hanya mampu

menyerap emisi karbondioksida (CO2) 0,06 % dari 225.134,96 ton emisi

karbondioksida (CO2) yang dikeluarkan kendaraan bermotor saat ini. Kemudian

dibuatlah skenario untuk mengetahui karakter tutupan kanopi pohon yang mana yang paling berpotensi untuk menyerap karbondioksida (CO2). Hasil dari skenario

ini akan digunakan sebagai bahan masukan untuk mengembangkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam menyerap karbondioksida (CO2). Skenario pertama

yaitu pohon-pohon di Kebun Raya Bogor saat ini diasumsikan pohon berumur muda. Luas tutupan kanopi pohon dengan skenario pertama ini sama dengan luas tutupan kanopi pohon pada kondisi eksisting Kebun Raya Bogor yakni seluas 44,43 ha. Kebun Raya Bogor dengan skenario pertama mampu meningkatkan potensi serapan karbondioksida (CO2) dari kondisi eksisting sebesar 117,06 %

yakni dari 134,61 ton/tahun menjadi 292,18 ton/tahun. Skenario pertama mampu menyerap emisi karbondioksida (CO2) sebesar 0,055 % dari 527.566,07 ton emisi

karbondioksida (CO2) yang dikeluarkan kendaraan bermotor pada tahun 2040.

Kemudian dibuat skenario kedua untuk meningkatkan potensi serapan karbondioksida (CO2). Skenario kedua ini yaitu skenario pertama ditambah

dengan ruang-ruang kosong yang berisi hamparan rumput yang diasumsikan telah ditanami pohon berumur muda seluas 31,05 ha, sehingga luas tutupan kanopi pohon dari skenario kedua ini lebih luas daripada skenario pertama. Skenario kedua ini mampu meningkatkan potensi serapan karbondioksida (CO2) dari

kondisi eksisting Kebun Raya Bogor sebesar 267,88 % yakni dari 134,61 ton/tahun menjadi 495,20 ton/tahun. Skenario kedua ini mampu menyerap emisi karbondioksida (CO2) sebesar 0,094 % dari 527.566,07 ton emisi karbondioksida

(CO2)yang dikeluarkan kendaraan bermotor pada tahun 2040.

Saran untuk pemerintah Kota Bogor yaitu dalam mengembangkan ruang terbuka hijau di daerah perkotaan dalam hal serapan karbondioksida (CO2), tidak

bisa dilihat dari luasan atau kuantitasnya saja, tetapi juga kualitas dari komponen ruang terbuka hijau (pohon) juga harus diperhatikan. Maka dari itu, agar emisi karbondioksida (CO2) yang diserap lebih besar, sebaiknya menggunakan pohon

berumur muda yang mempunyai tajuk yang rindang dan dari jenis yang memiliki intensitas fotosintesis yang tinggi serta jumlah stomata yang banyak, sehingga karbondioksida (CO2) yang diserap lebih banyak. Pemerintah Kota Bogor juga

perlu membuat atau menyediakan transportasi massal agar jumlah kendaraan bermotor di Kota Bogor berkurang, disamping adanya sosialisasi yang berisi ajakan terhadap pengguna kendaraan bermotor pribadi agar beralih untuk menggunakan kendaraan umum massal.

Kata kunci : CITYgreen 5.0, emisi karbondioksida (CO2), Kebun Raya Bogor,

serapan karbondioksida (CO2)