Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini penulis memberikan kesimpulan menyangkut pembahasan seputar globalisasi dan kebangkitan khilafah Islamiyah dalam perspektif pemikiran Hizbut Tahrir. 1. Hizbut Tahrir HT memahami globalisasi secara dikotomis. Artinya di satu sisi HT menerima globalisasi sebagai sebuah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan datang seiring dengan kemajuan, maka dari itu globalisasi adalah sebuah keniscayaan yang natural. Namun disisi lain HT menolak secara ekstrim terhadap ide globalisasi yang berasal dari Barat, atau bisa disebut “globalisasi ala Barat”. Globalisasi ”ala Barat” adalah globalisasi sebagai suatu proses perubahan sosial yang berusaha mengubah masyarakat tradisonal menjadi masyarakat modern dengan mengambil model masyarakat Barat yang sekular. Padahal menurut Douglas Kellner globalisasi tidak terbatas pada satu penekanan saja, meskipun ekonomi kapitalis penting untuk memahami globalisasi, namun tekno-sains lah yang memberikan infrastrukturnya. Namun pemahaman HT tentang globalisasi itu terkesan terpisah dan tidak dalam satu kerangka definisi globalisasi yang homogen. Jika globalisasi ditinjau sebagai sebuah perspektif perkembangan, dan kemajuan sains dan teknologi, maka HT mengaku pro terhadapnya. Segala macam sains seperti kedokteran, teknik, matematika, astronomi, fisika, kimia, pertanian, industri, transportasi, komunikasi, ilmu kelautan, geografi, dan sebagainya pada dasarnya adalah boleh, bahkan harus dikuasai bila kemanfaatannya sangat diperlukan demi kemajuan material umat manusia. Sains semacam itu bersifat universal dan tidak terkait nilai value free, sehingga boleh diambil dan diterapkan oleh umat Islam selama tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam. Labih lanjut Hizbut Tahrir memahami globalisasi merupakan upaya uniformitas yang mencakup fear, fun, food, fashion, and faith. Oleh karena itu globalisasi akan membuat dunia seragam baik dalam sistem budaya, ekonomi maupun politik, dan membentuk sebuah kampung global global vilage. Namun jika globalisasi dinilai sebagai sebuah nilai dan sistem yang berasal dari Barat, maka Hizbut Tahrir dengan lantang menolak globalisasi tersebut. Penolakan Hizbut Tahrir terhadap globalisasi ala Barat ini karena partai ini memahaminya sebagai bentuk imperialisme yang paling mutakhir, sebagai wujud dari kapitalisme modern, dan sebagai bentuk hegemoni politik tunggal Amerka Serikat. Globalisasi pada prakteknya hanya merupakan usaha negara-negara Barat untuk terus mengukuhkan dominasinya atas negara-negara bekas jajahan pasca Perang Dunia II. Bahkan lebih ekstrim Hizbut Tahrir menganggap globalisasi hanyalah istilah kosong yang tidak memberi kontribusi apa pun bagi dunia, khususnya dunia Islam, kecuali hanya memberi jalan bagi imperialisme itu sendiri untuk terus mencengkeram dan mengeksploitasi dunia demi nafsu serakahnya yang tidak pernah kenyang. Globalisasi juga proses penyeragaman dunia ke dalam ideologi tunggal yaitu kapitalisme. Kapitalisme global menerapkan prinsip-prinsip neo liberalisme oleh badan-badan dunia seperti IMF, WTO dan Bank Dunia yang sengaja dibentuk untuk melancarkan semua usaha dominasi dan eksploitasi bangsa-bangsa yang lemah. Tujuan dari itu semua adalah agar seluruh dunia memeluk ideologi ini sebagai satu- satunya ideologi yang diklaim absah menjadi pemenang sejarah, khususnya setelah kehancuran Komunisme tahun 1991. Hizbut Tahrir pun percaya bahwa motor penggerak utama globalisasi adalah Amerika Serikat. Amerika lah yang mengendalikan organisasi-organisasi keuangan internasional tersebut, malihat perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional sebagian besar berkantor pusat di negeri Paman Sam tersebut. 2. Relasi globalisasi dan kebangkitan khilafah Islamiyah dalam perspektif pemikiran Hizbut Tahrir, dapat dipetakan menjadi dua asumsi. Pertama, globalisasi sebagai indikator kebangkitan khilafah Islamiyah. Kedua, khilafah Islamiyah sebagai solusi alternatif bagi kemelut globalisasi. Khusus pada asumsi yang pertama, paling tidak hal itu dapat dilihat dari dua hal. Pertama, kegagalan globalisasi itu sendiri sebagai sebuah sistem yang malah menyebabkan kemiskinan global. Kedua, pudarnya pesona nation state di era globaliasi yang kemudian malah membangkitkan organisasi-organisasi transnasional, dan bahkan negara transnasional. Sebenarnya tujuan awal proyek globalisasi ini idealis dan positif. Sebenarnya pasca PD II terdapat sebuah kesepakatan sosial, yang menyepakati penerapan sistem globalisasi atas dunia dengan persyaratan bahwa globalisasi akan tetap menjamin penyediaan jaminan sosial, seperti kompensasi, pengangguran, pesangon, dan bantuan hidup bagi warga dunia, serta menjamin jaring pengaman nasional bagi terciptanya perdamainan dunia. Selain itu para ekonom dan pembuat kebijakan di Barat selalu mempromosikan globalisasi sebagai sebuah sistem yang mampu membawa masyarakat dunia menuju satu kemakmuran. Para globalis seperti Thomas L Friedman selalu berusaha meyakinkan bahwa semakin negara membiarkan kekuatan pasar berkuasa dan semakin negara membuka perekonomiannya bagi perdagangan bebas dan kompetisi, maka perekonomian suatu negara akan semakin efisien dan berkembang pesat. Kemudain IMF dan World Bank sama-sama di bentuk pada 1944 di Breton Woods Conference, IMF bertanggung jawab memelihara stabilitas sistem keuangan global, sementara Bank Dunia bertanggung jawab membangun kembali perekonomian dunia yang hancur karena perang. Libelarisasi perdagangan yang dituju oleh IMF dan WB ini dilakukan dengan melakukan Program Penyesuaian Struktural. Program tersebut terdiri dari dua paket kebijakan. Pertama, paket kebijakan Struktural Adjustment Program Program penyesuaian struktural, terdiri dari komponen-komponen: a. Liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang yang bebas; c. Devaluasi; d. Kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk: pembatasan kredit, peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga public utilities, dan penekanan untuk tidak menaikkan upah gaji. Kedua: paket kebijakan deregulasi, yaitu: a. intervensi pemerintah harus dihilangkan atau diminimumkan karena dianggap telah mendistorsi pasar, b. privatisasi yang seluas-luasnya dalam bidang ekonomi sehigga mencakup bidang-bidang yang selama ini dikuasai negara; c. liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi termasuk penghapusan segala jenis proteksi; d. memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan longgar. Dengan dua paket kebijakan tersebut, serta asumsi-asumsi para globalis dan pembuat kebijakan ekonomi yang meyakinkan, maka dari 200-an negara yang ada di dunia ini, hanya sedikit sekali negara yang tidak ikut dalam proses globalisasi. UNDP pun mengeluarkan laporan tertulis bahwa globalisasi menimbulkan dampak terhadap demokratisasi di negara-negara dunia. Bahwa sejak tahun 1981, 81 negara telah meningkatkan kualitas demokrasi, dengan total 33 rezim militer telah tergantikan oleh rezim pemerintahan sipil. Namun dalam perkembangannya data yang dipublikasikan Khilafah Magazine mungkin dapat dijadikan indikator bahwa globalisasi belum dapat menciptakan stabilitas ekonomi bagi seluruh negara yang ada di dunia. Data tersebut menggambarkan tentang adanya ketimpangan pendapatan antara negara maju dan negara berkembang atau negara miskin. Selama arus globalisasi berlangsung, negara maju lah yang paling banyak mendapatkan profit dalam hal materi. Sedangkan negara-negara Dunia Ketiga semakin terpuruk dalam kemiskinannya. Hal tersebut kemudian berdampak pada instabilitas politik bagi negara-negara yang tidak dapat bertahan dalam persaingan global yang semakin represif. Pada perkembangannya globalisasi juga menibulkan efek superioritas, di mana terjadi hegemoni politik tunggal yang dalam hal ini di lakukan oleh Amerika Serikat. Maka esensi demokrasi pun dipertanyakan, khususnya ketika negara-negara Dunia Ketiga menjadi amat bergantung dengan kebijakan negara-negara industri maju khususnya Amerika Serikat. 3. Hizbut Tahrir memahami konsep nation state di era globalisasi telah usang. Dalam hal ini HT sebenarnya sepaham dengan kaum neo liberal atau para hiperglobalis seperti Kenichi Ohmae yang menyatakan bahwa manusia kini hidup di dalam dunia yang tanpa batas, di mana sebuah negara bangsa menjadi sebuah ’rekaan’ dan para politikus telah kehilangan semua kekuatan efektif mereka. Meski pun di satu sisi ia percaya bahwa masih ada kekuatan negara bangsa seperti Amerika Serikat yang justru mengendalikan proses globalisasi ini. Tetapi data yang ada menunjukkan Amerika semakin melemah dan menunjukkan kegagalan karena ternyata Amerika hanya melakukan hegemoni politik atas dunia dan memprioritaskan national interest. Justru yang logis untuk konteks sekarang adalah bahwa globalisasi memang dapat diartikan sebagai denasionalisasi dan berarti pula bangkitnya organisasi-organisasi transnasional dan mungkin negara transnasional. Menurut Hizbut Tahrir hal tersebut tentunya didasarkan pada fakta empirik bahwa negara bangsa tidak dapat menjawab tantangan global di mana kehidupan sekarang ini sudah mengarah pada uniformitas. Menurut HT, penyebab utama perpecahan umat Islam adalah nasionalisme. Maksudnya, 1,4 miliar umat Islam saat ini hidup terpecah di 57 negara bangsa yang berdiri atas dasar paham nasionalisme. 4. Hizbut Tahrir memandang sistem pemerintahan khilafah Islamiyah sebagai solusi alternatif bagi kemelut globalisasi. HT percaya bahwa hanya melalui kekuatan global, penjajahan global bisa dihadapi secara spadan. Justru globalisasi dengan perspektif perkembangan sains dan teknologinya, serta sifatnya yang universal dan transnasional harus dilihat sebagai sarana untuk membangkitkan kembali sistem Khilafah Islamiyah. Setali tiga uang, HT justru telah memanfaatkan globalisasi sebagai sarana untuk memperluas jaringannya kesegala penjuru dunia. Dalam hal ini dapat dikatakan ada hubungan simbiosis mutualisme antara globalisasi dengan gerakan dakwah atau politik Hizbut Tahrir untuk menyebarkan konsep pemikiran tentang khilafah Islamiyah. Setidaknya ada dua pendekatan yang dapat dijadikan alasan mengapa HT menganggap sifat transnasional globalisasi relevan dengan ide khilafah Islamiyah. Pertama, berdasarkan makna dan doktrin agama; Kedua berdasarkan tinjauan dan kajian sejarah. Khilafah Islamiyah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah dan jihad ke segenap penjuru dunia. Kata lain dari khilafah adalah imamah. Khilafah adalah kepemimpinan yang sempurna dan mencakup umum, yang berkait dengan perkara khusus maupun umum yang ada hubungannya dengan agama maupun dunia, didalamnya tercakup penjagaan negeri-negeri muslim, memelihara urusan masyarakat, menegakkan dakwah melalui hujjah dan pedang. Mengatasi kezhaliman dan kesewenang-wenangan sekaligus mengganjar pelakunya yang zhalim, serta memberikan hak-hak kepada orang-orang yang terhalang hak-haknya. Selanjutnya Hizbut Tahrir menggunakan kajian historis berupa romantisme kejayaan Islam di masa lalu, mengenangnya dan mengharapkannya kembali tegak berdiri. Bahwa selama 13 abad lamanya, yaitu sejak masa kekhilafahan Abu Bakar As Shiddiq, yaitu pada 632 M, dan berakhir pada masa kekhilafahan Utsmani, yaitu pada tahun 1924, sistem khilafah Islamiyah sudah melakukan ekspansi kekuasaan dari mulai di sekitar Jazirah Arab, Timur Tengah, Afrika, Eropa, hingga Asia. Menurut partai politik internasional ini, berbeda dengan sistem globalisasi ’ala Barat’ yang telah banyak menimbulkan krisis global, dalam sejarahnya yang sangat panjang, sistem khilafah Islamiyah sesungguhnya tidak pernah terbukti menyengsarakan manusia. Hizbut Tahrir pun menawarkan solusi ekonomi Islam yang terdapat dalam sistem khilafah Islamiyah, antara lain: 1. ekonomi berbasis sektor real, 2. penerapan mata uang dinar dan dirham, 3. dalam ekonomi Islam tidak di perkenankan praktek ribawi dan mengharamkan utang, 4. Islam mengharamkan praktek privatisasi Sumber Daya Alam milik masyarakat luas, 5. adanya kewajiban negara untuk mengeluarkan kebijakan wajib zakat kepada masyarakat yang dianggap mampu untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat kurang mampu 8 golongan. Solusi untuk kembali kepada sistem pemerintahan khilafah Islamiyah tersebut sebenarnya dapat dikatakan sebagai upaya Hizbut Tahrir untuk melakukan globalisasi dalam bentuknya yang lain yaitu globalisasi Islam. 5. Melihat berbagai ketimpangan dari globalisasi yang dalam banyak hal telah mendeskreditkan negara-negara dunia ketiga, dan melihat sifat homogenitas dari globalisasi, maka dapat diramalkan bahwa bukan sesuatu yang utopia bila khilafah Islamiyah bangkit dan ditegakan di muka bumi ini. Namun kemudian gaung alternatif solisi yang berupa kebangkitan khilafah Islamiyah tersebut pun dihadapkan pada sebuah kondisi kontemporer yang memiliki permasalahan yang kompleks. Mungkin dalam ranah wacana, konsep khilafah Islamiyah ini dapat diterima sebagai solusi yang ideal untuk menjawab permasalahan globalisasi. Namun solusi untuk kembali kepada bangkitnya khilafah kemudian dipertanyakan. Bagaimanakah khilafah akan kembali tegak berdiri di tengah kekuasaan negara Adi Daya yang semakin luas dan besar, atau mungkin yang akan tegak berdiri terlebih dahulu adalah negara transnasional versi Barat. Dalam pemikiran Hizb pun didapati bahwa ia mengakui negara-negara Adidaya seperti Prancis, Inggris dan Jerman semakin menguatkan posisinya di Uni Eropa melawan hegemoni politik tunggal Amerika Serikat. Mereka mengakui ketiga poros kekuatan Uni Eropa ini adalah kekuatan yang dapat di perhitungkan. Meskipun terdapat pengecualian bahwa strategi negara-negara Adidaya tersebut akan berhasil, apabila negara-negara mereka tidak memeluk kapitalisme yang menjadikan ”manfaat individu” sebagai prioritas nilai, Hizbut Tahrir percaya niscaya mereka akan dapat mewujudkan sebuah Uni Eropa yang kuat dihadapan Amerika. Mungkin negara transnasional berupa khilafah Islamiyah tinggal harus menunggu fase sejarah berikutnya. Ramalan kebangkitan khilafah Islamiyah akan semakin rumit lagi jika kemudian dikaitkan pada permasalahan perpecahan internal umat Islam sendiri. Konflik saudara antara Sunni Syiah di negara-negara muslim di Timur Tengah, perbedaan berbagai Mahzab dan pandangan keagamaan atau perdebatan panjang seputar Islam dan politik, mungkin juga dapat dijadikan indikator ramalan bahwa kebangkitan khilafah Islamiyah membutuhkan waktu yang sedikit panjang, meski bukanlah suatu yang utopis sistem ini akan tegak berdiri.

B. Saran