Globalisasi dan Kebangkitan Khilafah Islamiyah Dalam Perspektif Pemikiran Hizbut Tahrir

(1)

GLOBALISASI DAN KEBANGKITAN KHILAFAH ISLAMIYAH DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN

HIZBUT TAHRIR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Rosi Selly

NIM: 103033227826

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FISAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1429 H./ 2008 M.


(2)

GLOBALISASI DAN KEBANGKITAN KHILAFAH ISLAMIYAH DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN

HIZBUT TAHRIR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Rosi Selly

NIM: 103033227826

Di Bawah Bimbingan

Ahmad Bakir Ihsan NIP: 150 326 915

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FISAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1429 H./ 2008 M.


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Globalisasi dan Kebangkitan Khilafah Islamiyah dalam Perspektif Pemikiran Hizbut Tahrir” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 16 Januari 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial Program Strata Satu (S1) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 16 Januari 2008

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag.

NIP: 150262447 NIP: 150270808

Penguji I, Penguji II,

Dra. Haniah Hanafie, M.Si. Idris Thaha, M.Si.

NIP: 150299932 NIP: 150317723

Pembimbing

Ahmad Bakir Ihsan, M.Si. NIP: 150326915


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya memberikan potensi keilmuan dan wawasan kepada penulis. Salawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan, panutan, nabi akhir zaman Muhammad SAW. Alhamdulillah penulis telah menyelesaikan skripsi yang berjudul “Globalisasi dan Kebangkitan Khilafah Islamiyah dalam Perspektif Pemikiran Hizbut Tahrir”. Skripsi ini disusun untuk untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (SI) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selanjutnya pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu memperlancar proses penyusunan skripsi ini, antara lain:

1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA. selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs. Agus Darmadji, M.Fils. dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Ahmad Bakir Ihsan, M.Si. selaku dosen pembimbing atas kesabaran, kritik, dan saran-saran yang diberikan kepada penulis selama menyusun skripsi ini.


(5)

5. Seluruh dosen dan staf pengajar pada program studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas segala ilmu pengetahuan yang diberikan selama proses belajar.

6. Keluarga tercinta. Papa (Drs. M. Abduh Sandiah) dan Mama (Rosyani) atas segala motivasi, dukungan moril, materil, serta doa restu yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Bang Ui, Poni, dan ‘dede’ Fina tersayang yang selalu mengingatkan untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

7. Kawan-kawan prodi Pemikiran Politik Islam, khususnya angkatan 2003, sahabat-sahabat di Laboratorium Politik Islam (LPI) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Shahibah Yuliani, Bawono Kumoro, Ahmad Alfajri, Arya Fernandes, Muamar Lutfi Harun, Subairi, Hafiz, dan Siti Suraidah. Serta para sahabat yang berjasa dalam memberikan referensi yang penulis butuhkan: Abdul Rahman, Selly Elviana (HTI), Bahtera Alam Wijaksono, Endi Ubaedillah, dan Irvan Ali Fauzi.

8. Muhammad Ismail Yusanto, selaku Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia atas kesediaannya memberikan informasi serta data yang penulis butuhkan.

9. Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Utama Universitas Indonesia, Perpustakaan DKI, dan Perpustakaan CSIS Jakarta. Terima kasih banyak atas pinjaman bukunya.


(6)

Skripsi ini tentu bukanlah sebuah karya yang sempurna dan bebas dari kesalahan. Karena itu, kritik dan saran dari para pembaca untuk perbaikan di masa mendatang sangat penulis nantikan.

Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja, khususnya bagi para pegiat kajian pemikiran politik Islam.

Ciputat, 01 Januari 2008


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………... i

DAFTAR ISI ……… iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ……….... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ………... 8

C. Tujuan Penelitian ………... 8

D. Metode Penelitian ……….. 9

E. Sistematika Penulisan ………... 11

BAB II GAMBARAN UMUM TEORI GLOBALISASI DAN SEPUTAR TEORI KHILAFAH ISLAMIYAH A. Gambaran Umum Teori Globalisasi 1. Definisi Globalisasi …………..………. 11

2. Globalisasi Dalam Lintasan Sejarah ..………... 16

3. Ciri-Ciri Globalisasi ……..……….... 20

4. Bidang-Bidang Globalisasi ..………. 22 B. Seputar Teori Khilafah Islamiyah

1. Definisi Khilafah Islamiyah 2. Sejarah Khilafah Islamiyah


(8)

BAB III PROFIL HIZBUT TAHRIR

A. Latar Belakang Berdirinya ……….. 46

B. Konsepsi Politik Hizbut Tahrir ………... 53

C. Gerakan Politik Hizbut Tahrir ………. 58

BAB IV GLOBALISASI DAN KEBANGKITAN KHILAFAH ISLAMIYAH DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN HIZBUT TAHRIR A. Makna Globalisasi bagi Hizbut Tahrir ……… 75

1. Bentuk Imperialisme Paling Mutakhir ……….. 77

2. Wujud Kapitalisme Modern ……….. 79

3. Hegemoni Politik Tunggal Amerika Serikat ………. 81

B. Relasi Globalisasi dan Kebangkitan Khilafah Islamiyah ... 91

1. Globalisasi Sebagai Indikator Kebangkitan Khilafah Islamiyah……… 91

2. Khilafah Islamiyah sebagai Solusi Alternatif bagi Kemelut Globalisasi ……… 115

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ..…….……… 128

B. Saran ...………... 140

DAFTAR PUSTAKA ... 141


(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dunia kini sedang dihadapkan pada upaya transformasi menuju globalisasi. Baik individu, kelompok, maupun sebuah kesatuan negara yang berdaulat, tidak satu pun yang dapat mengelak dari proyek besar bertaraf internasional ini. Segala macam aspek kehidupan seperti ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya bahkan peradaban pun terkena dampak yang cukup nyata dari proyek globalisasi ini. Sebagian masyarakat menganggap sistem yang berasal dari dunia Barat ini sebagai prospek, dan sebagian masyarakat lain merasa cemas karenanya, dan mungkin sebagian masyarakat lainnya bersifat acuh tak acuh terhadap tema besar ini, meskipun pada kenyataannya, baik secara langsung maupun tak langsung mereka telah merasakan dampaknya.

Bagaimana pun globalisasi adalah sebuah bentuk orientasi baru yang lahir atas respon dari teori dan praktik modernisasi. Globalisasi merupakan sebuah konsep yang berasal dari perkembangan sistem di Barat, maka ide-ide di luar dunia Barat tidak punya pilihan kecuali menyesuaikan dengan ide Barat ini. Kemunculannya berbarengan dengan kemunculan paham Neo-Liberalisme di Amerika Serikat, tepatnya pada pertengahan 1980-an. Globalisasi yang menekankan pada privatisasi, anti intervensi negara dalam


(10)

ekonomi, dan kepercayaan absolut pada mekanisme pasar ini, diimplementasikan lewat badan-badan dunia seperti World Trade Organization (WTO), International Monetery Fund ( IMF), dan World Bank atau Bank Dunia.

Globalisasi yang menandakan bahwa tidak ada kejadian di planet kita yang terbatas hanya pada situasi lokal satu negara, bahwa semua temuan, kemenangan, dan bencana mempengaruhi seluruh dunia, mungkin merupakan sisi positif dari globalisasi. Namun, proyek besar bertaraf internasional ini, ternyata telah membuat cemas banyak negara. Kecemasan yang paling besar telah menghinggapi kawasan negara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Banyak negara yang berdaulat kini layaknya macan ompong (baca: tidak berdaya) menghadapi proyek globalisasi ini. Kebanyakan dari mereka tidak bisa mengelak darinya kerena globalisasi membawa kekuatan besar seperti legitimasi internasional, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang informasi, komunikasi, dan transportasi, dan lain sebagainya. Namun demikian sebagian masyarakat dunia yang merasa cemas terhadap sistem globalisasi ini, tetap melakukan protes-protes berupa demonstrasi massal khususnya ketika terdapat event pertemuan tingkat tinggi organisasi global seperti WTO atau IMF.

Kecemasan mereka bukannya tak beralasan. Paling tidak ada dua hal dominan yang menjadi kegelisahan utama mereka. Yang pertama yaitu karena globalisasi menerapkan sistem ekonomi kapitalis, dan yang kedua karena melihat ideologi neo-liberal yang menopangnya. Kedua hal tersebut menjadi ancaman bagi eksistensi negara-negara miskin dan berkembang yang


(11)

terkelompokkan ke dalam negara Dunia Ketiga.

Yang pertama merujuk pada konsep kapitalisme yang berorientasi pada bagaimana memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dan meminimalisir kerugian, serta mengakumulasi modal. Ketika orientasi tersebut telah tercapai, maka pemilik modal akan dengan sendirinya memiliki otoritas politik dan kekuasaan. Hal tersebut tentu sangat membuat resah sebagian besar negara-negara di Dunia Ketiga. Asumsinya adalah ketika modal yang sudah jelas kepemilikannya didominasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang sebagian besar berpusat di wilayah negara-negara maju, sebut saja Amerika Serikat, tentu melalui mekanisme globalisasi pendapatan mereka akan semakin meningkat, mereka menjadi semakin kaya, dan leluasa menghegemoni kehidupan negara lain, guna merealisasikan kepentingan mereka. Sedangkan negara-negara miskin dan berkembang akan tetap pada kategori dan berstatus sebagai negara dengan ”tangan di bawah” dan bergantung pada kebijakan negara-negara Adi Daya. Pada tahun-tahun awal bergulirnya program globalisasi, negara-negara industri yang jumlah penduduknya hanya 26 % dari penduduk dunia ternyata menguasai lebih dari 78 % produksi, menguasai 81 % perdagangan dunia, 70 % pupuk, dan 87 % persenjataan dunia. Sementara 74 % penduduk di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang dimasukkan ke dalam Dunia Ketiga, hanya menikmati sisanya, yakni seperlima produksi dan kekayaan dunia.1

Untuk alasan yang kedua, menyangkut ideologi neo-liberal yang menopang globalisasi, masyarakat dunia ketiga melihatnya sebagai ancaman

1

Arief Budiman, Pembangunan dalam Krisis: Teori Pembangunan Dunia Ketiga


(12)

lebih luas pada peradaban mereka. Ideologi ini secara umum dipahami sebagai ide yang membawa nilai hak dan kebebasan individual melalui mekanisme pasar bebas, menjunjung tinggi rasionalitas, dan mendistorsi peran agama dalam masyarakat dan politik. Dengan adanya globalisasi, maka gerbang bagi penyebarluasan paham ini di berbagai penjuru dunia semakin terbuka lebar. Padahal tiap negara yang berdaulat memiliki batasan nilai dan landasan moral tersendiri, yang tidak bisa begitu saja menerima nilai-nilai baru.

Kedua faktor utama tersebutlah yang secara umum mengusik ketenangan negara-negara Dunia Ketiga. Hizbut Tahrir meneropong proyek globalisasi ini sebagai salah satu bentuk neo-imperialisme. Hizbut Tahrir menyebutnya sebagai bentuk penjajahan baru negara-negara Adi Daya terhadap negara-negara Dunia Ketiga, dan lebih spesifiknya lagi penjajahan terhadap negara-negara berbasis Islam.

Hizbut Tahrir adalah partai politik Internasional yang berdiri sejak tahun 1953. Partai politik ini dipelopori dan dibangun berdasarkan paradigma pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani. Dahulu Hizbut Tahrir tampil sebagai kekuatan politik revolusioner yang menentang rezim Daulah Utsmaniyah yang dianggapnya lalim. Kini mereka tampil sebagai kekuatan politik reaksioner yang dihadapkan pada kemelut globalisasi. Di satu sisi mereka menilai globalisasi dan segala nilai-nilai yang dibawa oleh Barat telah gagal membawa kesejahteraan serta perdamaian pada masyarakat dunia. Namun di sisi lain mereka menilai dan mungkin meramalkan bahwa globalisasi merupakan salah satu indikator kebangkitan khilafah Islamiyah. Pandangan mereka setidaknya


(13)

telah dirumuskan oleh Beck yang menyatakan bahwa globalitas atau globalisasi berarti denasionalization dan berarti pula bangkitnya organisasi transnasional dan mungkin negara transnasional.2

Di mata kelompok Hizbut Tahrir, khilafah Islamiyah yang merupakan bentuk dari negara transnasonal adalah sistem yang khaffah atau sempurna. Khilafah Islamiyah adalah sistem pemerintahan Islam yang menegakkan hukum berdasarkan syariat Islam kepada rakyatnya, dan menjalani misi dakwah (dengan hujjah) dan jihad ke seluruh penduduk dunia.3 Sejarah Islam klasik mencatat bahwa sistem khilafah Islamiyah pernah tegak berdiri dan berkuasa selama kurang lebih 13 abad lamanya, yaitu sejak masa kekhilafahan Abu Bakar As-Shiddiq, yaitu pada 632 M, dan berakhir pada masa kekhilafahan Utsmani, yaitu pada tahun 1924.

Kini, tema kebangkitan khilafah Islamiyah yang menekankan pada bagaimana menegakkan serta menerapkan syariat Islam di seluruh penjuru dunia, menjadi tema sentral perjuangan kelompok Hizbut Tahrir. Dalam pandangan partai politik internasional yang membentuk kekuatan politik regional di Indonesia ini, khilafah Islamiyah menjadi sistem yang rasional untuk di terapkan, ketika melihat dampak globalisasi yang menyebabkan meningkatnya homogenitas. Mereka mengambil contoh, bagaimana dollar dijadikan mata uang internasional, atau bahasa Inggris dijadikan bahasa internasional, atau terbentuknya Uni Eropa yang menunjukkan integritas negara-negara Eropa. Lantas mengapa sistem khilafah Islamiyah yang

2

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern. Penerjemah Alimandan (Jakarta: Kencana, 2004), h.593.

3

Saefuddin Zuhri, ed., Menjemput Kembalinya Sang Khalifah (Jakarta: NizhamPress, 2007), h. 15-16.


(14)

mempunyai kekuasaan sentral mustahil terwujud? Apa lagi, menurut mereka, globalisasi juga berdampak pada terciptanya ketidakadilan terhadap Islam dalam berbagai bentuk, seperti subordinasi, marginalisasi, stereotype atau pelabelan, dan lain sebagainya. Sebagai contoh kasus bagaimana Amerika dan sekutunya telah melabelkan keidentikan gerakan fundamentalisme Islam dengan terrorisme. Hal tersebut, secara langsung maupun tidak langsung, semakin menyudutkan posisi Islam di mata internasional.

Mungkin benar jika dikatakan bahwa globalisasi dapat melanggengkan propaganda Amerika terhadap negara-negara Muslim. Asumsi itu didasarkan dengan melihat beberapa kasus yang menimpa negara-negara Muslim. Kebungkaman internasional terhadap serangan Amerika atas Irak tahun 2003 dengan alasan terdapat senjata pemusnah massal, yang ternyata belum terbukti keberadaannya, adalah salah satu buktinya. Sebelumnya pasca serangan di menara kembar World Trade Center (WTC), Amerika Serikat, pada 11 September 2001, Afganistan telah menjadi bulan-bulanan invasi negara yang dikenal dengan sebutan negeri Paman Sam ini, dengan alasan untuk mencari markas Al-Qaida yang mereka klaim sebagai jaringan terroris internasional. Kebijakan-kebijakan internasional Amerika terhadap negara-negara berbasis Islam, cenderung tidak adil, menekan, dan banyak mengintervensi serta menghegemoni segala aspek kehidupan bernegara. Sebagai contoh terdekat bagaimana mereka mengawasi secara ketat kurikulum beberapa pesantren di Indonesia.

Bagi para penentangnya, globalisasi dapat memperparah krisis nasional di negara-negara Dunia Ketiga. Di Indonesia, asumsi mereka


(15)

didasarkan pada fakta bahwa sejak sistem globalisasi resmi masuk pada tahun 1998 melalui LOI (Letter of Intent) yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto, dan Camdessus, mewakili IMF, krisis moneter mulai melanda Indonesia. Globalisasi telah mengawali krisis nasional yang berkepanjangan, dari mulai penghapusan subsidi pupuk dan BBM, hingga liberalisasi sektor migas yang dilakukan melalui Undang-Undang Migas tahun 2001 yang memuat pasal penghentian peran monopoli Pertamina mulai tahun 2005. Penghapusan subsidi itu ternyata berujung pada masuknya perusahaan asing di dalam bisnis migas di Indonesia.

Contoh lain dari dari makin merasuknya paham neo-liberal ke tubuh ekonomi Indonesia adalah Undang-Undang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). Undang-Undang itu dalam banyak pasal membuka peluang terjadinya privatisasi sektor air, sekaligus memungkinkan pengalihan fungsi air secara fundamental dari fungsi publik yang bersifat sosial menjadi fungsi komoditas yang bersifat komersial. Juga perlu dicatat kebijakan pemerintah Indonesia yang tetap memperpanjang kontrak dengan Exxon Mobil di ladang migas di Blok Cepu yang dikabarkan mempunyai cadangan sebanyak 1,2 miliar barel, yang semestinya kontrak itu berakhir.

Berdasarkan gambaran kemelut nasional yang dirasakan secara internasional oleh negara-negara Islam tersebut, maka menurut Hizbut Tahrir solusinya adalah kembali kepada sistem Islam yang benar. Sistem Islam yang mempu meng-counter segala kepentingan umat, dengan cara menegakkan syariat Islam di bawah kepemimpinan Khilafah Islamiyah. Dengan adanya perasaan senasib seperti itu, dan melihat makna homogenitas dari globalisasi,


(16)

maka Hizbut Tahrir menganggap tidaklah utopis bila Khilafah Islamiyah bangkit dan ditegakkan di muka bumi ini.

Berdasarkan pemikiran di atas, maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian dengan judul: ”Globalisasi dan Kebangkitan Khilafah Islamiyah dalam Perspektif Pemikiran Hizbut Tahrir.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Karena tema globalisasi adalah tema yang umum dan luas terutama ditekankan pada masalah ekonomi global, maka pada skripsi ini penulis lebih membatasi permasalahan pada globalisasi dalam perspektif politik. Globalisasi tampil sebagai sebuah sistem yang mampu menciptakan hegemoni politik tunggal. Selanjutnya menarik keterkaitan antara globalisasi dengan kebangkitan khilafah Islamiyah sebagai sebuah sistem pemerintahan transnasional.

Lebih jelasnya, penulis merumuskan beberapa pertanyaan untuk membatasi ruang pembahasan skripsi, yaitu antara lain:

1. Bagaimana konsep globalisasi menurut pemikiran Hizbut Tahrir ?

2. Bagaimana hubungan globalisasi dengan kebangkitan khilafah Islamiyah dalam perspektif pemikiran Hizbut Tahrir ?

C. Tujuan Penelitian

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk meneliti:


(17)

2. Hubungan globalisasi dengan kebangkitan khilafah Islamiyah dalam perspektif pemikiran Hizbut Tahrir.

D. Metode Penelitian

Untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan dan tujuan penelitian, maka penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Untuk memperoleh data-data yang mendukung objek penelitian, maka dilakukan teknik pengumpulan data antara lain dengan: penelitian kepustakaan, wawancara, dan observasi.

1. Penelitian kepustakaan, dilakukan dengan menelaah buku-buku, majalah-majalah, artikel-artikel, dan berbagai surat kabar dan data yang diperoleh dari internet yang penulis anggap relevan dengan pokok permasalahan.

2. Wawancara, dilakukan dengan mewawancarai narasumber yang berkompeten dan representatif untuk menjawab permasalahan dan tujuan dalam penelitian. Dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan H. M. Ismail Yusanto. Beliau adalah juru bicara Hizbut Tahrir di Indonesia.

3. Observasi, dilakukan dengan cara mengikuti secara langsung kegiatan, aktivitas, serta gerakan yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir di Indonesia, yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.

Metode pembahasan dalam skripsi ini adalah deskriptif analitis yaitu dengan mendeskripsikan data-data yang telah diperoleh. Kemudian menganalisisnya secara proporsional sehingga akan nampak jelas rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya,.


(18)

Untuk pedoman penulisan skripsi, penulis menggunakan buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)”, terbitan CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis, maka penulis menyusunnya ke dalam lima bab.

Bab I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bab ini dipaparkan secara umum permasalahan globalisasi serta mengapa penulis mengangkat Hizbut Tahrir dalam tema ini dan secara singkat terdapat gambaran umum tentang makna kebangkitan khilafah Islamiyah.

Bab II adalah gambaran umum teori globalisasi dan seputar teori khilafah Islamiyah. Pada gambaran umum teori globalisasi akan dijelaskan mengenai definisi, sejarah, ciri-ciri, serta bidang-bidang globalisasi. Pada pembahasan seputar teori khilafah Islamiyah, akan dijelaskan mengenai definisi serta lintasan sejarahnya.

Bab III merupakan profil Hizbut Tahrir yang mencakup latar belakang berdirinya, konsepsi politik Hizbut Tahrir, dan gerakan politik Hizbut Tahrir.

Bab IV terdapat globalisasi dan kebangkitan khilafah Islamiyah dalam perspektif pemikiran Hizbut Tahrir yang memaparkan makna globalisasi bagi Hizbut Tahrir, dan relasi globalisasi dan kebangkitan khilafah Islamiyah. Terdapat tiga makna globalisasi bagi Hizbut Tahrir, yaitu pertama sebagai


(19)

bentuk imperialisme paling mutakhir, wujud kapitalisme moderen, dan hegemoni politik tunggal Amerika Serikat. Sedang yang dimaksud relasi globalisasi dan kebangkitan khilafah Islamiyah dalam perspektif pemikiran Hizbut Tahrir adalah globalisasi sebagai indikator kebangkitan khilafah Islamiyah dan khilafah Islamiyah sebagai solusi alternatif bagi kemelut globalisasi.

Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Secara ringkas penulis menyimpulkan pandangan Hizbut Tahrir tentang relasi globalisasi dan kebangkitan Khilafah Islamiyah. Bahwa globalisasi sebagai indikator kebangkitan khilafah Islamiyah dan Khilafah Islamiyah sebagai solusi alternatif bagi kemelut globalisasi. Saran inovatif baik bagi tema maupun bagi Hizbut Tahrir pun mengiringi bab penutupan ini.


(20)

B. Seputar Teori Khilafah Islamiyah 1. Definisi Khilafah Islamiyah

Istilah khilafah Islamiyah memiliki beberapa pengertian yaitu perwakilan, pergantian, atau jabatan khalifah. Istilah ini sebenarnya berawal dari kata Arab “khalf” yang berarti wakil, pengganti, dan penguasa, dan ada yang mengemukakan bahwa kata “kh-l-f (فﻼ ) dalam berbagai bentuknya mengandung makna yang menyempit yaitu berselisih, menyalahi janji, yang kemudian melahirkan kata khilafah dan khalifah.4

Dalam sejarah Islam istilah khilafah pertama kali digunakan ketika Abu Bakar menjabat sebagai khalifah pertama setelah Nabi Muhammad Saw meninggal dunia. Dalam pidato pelantikannya Abu Bakar menyebut dirinya sebagai Khalifah Rasulillah dalam pengertian pengganti Rasulullah dalam mengurusi bidang kenegaraan.

Dalam perkembangannya, konsep khilafah menjadi ciri dari golongan Sunni. Rukun utama dalam pengangkatannya adalah ijma’ yaitu konsensus atau kesepakatan bersama dan bay’ah atau sumpah setia umat kepada khalifah agar berpegang teguh kepada syariah.

Setidaknya ada tiga teori mengenai dasar-dasar pembentukan khilafah yaitu: pertama, khilafah wajib hukumnya berdasarkan syariah atau berdasarkan atas wahyu, pendapat ini didukung leh Abu Hasan al-Asyari. Kedua, mendirikan khilafah hukumnya fardu kifayah atau wajib kolektif

4

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) Cet. Keempat, h. 361-363. Dalam kamus tersebut makna kata yang berasal dari kata kh-lf (فﻼ )sebagai berikut. Berselisih ( ﻹا) Menyalahi janji ( ا ) dan


(21)

berdasarkan ijma dan konsensus, pendapat ini didukung oleh al-Maududi. Dan ketiga, mendirikan kekhilafahan kewajibannya harus disandarkan pada pertimbangan akal sebagaimana yang dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah.5

Dasar untuk melegitimasi sistem pemerintahan Islam yang disebut Khilafah Islamiyah, termaktub dalam ayat-ayat al-Quran. Ayat-ayat tersebut oleh sebagian tokoh agama, alim ulama, atau para fuqaha diinterpretasikan atau ditafsirkan sebagai ayat yang bersifat politis. Ayat al-Quran yang dimaksud antara lain:

1. al-Quran surah al-Baqarah/2:30

ْ أ

اﻮ ﺎ

ضْرﺄْا

إ

ﺔﻜ ﺎ ْ

ﻚ ر

لﺎ

ْذإو

سﺪ و

كﺪْ

ْ و

ءﺎ ﺪ ا

ﻚ ْ و

ﺎﻬ

ﺪ ْ

ْ

ﺎﻬ

ْ أ

إ

لﺎ

( )

نﻮ ْ

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat:sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi “. Mereka berkata: “mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

2. al-Quran Surah al-An’am/6:165

تﺎ رد

ﺾْ

قْﻮ

ْ ﻜﻀْ

رو

ضْرﺄْا

ْ ﻜ

يﺬ ا

ﻮهو

ْ آﻮ ْ

( )

ر

رﻮ

إو

بﺎ

ْا

ﻚ ر

نإ

ْ آﺎ اء

Artinya: “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa

5

Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis,


(22)

derajat, untuk menguji mu tentang apa yang diberikan-Nya kepada mu.Sesungguhnya Tuhan mu amat cepat siksanya, dan sesungguhnya Dia maha pengampun lagi maha penyayang”.

3. al-Quran Surah an-Nur/24: 55

ضْرﺄْا

ْ ﻬ ْ ْ

تﺎ ﺎﺼ ا

اﻮ و

ْ ﻜْ

اﻮ اء

ﺬ ا

ا

ﺪ و

ْ ﻬ

ﻰﻀ ْرا

يﺬ ا

ﻬ د

ْ ﻬ

ﻜ و

ْ ﻬ ْ

ْ

ﺬ ا

ْ ْ ا

ﺎ آ

ْ أ

ْ ﻬ ْﻮ

ﺪْ

ْ

ْ ﻬ ﺪ و

ﺮ آ

ْ و

ﺎ ْ

نﻮآﺮْ

وﺪ ْ

ﻚ ذ

ﺪْ

ه

ﻚ وﺄ

( )

نﻮ ﺎ ْا

Artinya: “ Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh diantara kamu bahwa Dia akan menganugrahkan kepada mereka khalifah di bumi, sebagaimana dianugrahkan-Nya kepada orang-orang yang sebelum mereka.

4. al-Quran Surah Fathir/35:39

ﺪ ﺰ

ﺎ و

ﺮْآ

ْ

ﺮ آ

ْ

ضْرﺄْا

ْ ﻜ

يﺬ ا

ﻮه

ﺮ ﺎﻜْا

( ٩)

ﺎ إ

ْ هﺮْآ

ﺮ ﺎﻜْا

ﺪ ﺰ

ﺎ و

ﺎ ْ

ﺎ إ

ْ ﻬ

ر

ﺪْ

ْ هﺮْآ

ارﺎ

Artinya: “ Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi barang siapa yang kafir maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri dan kekafiran orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya…”

Ayat-ayat di atas ditafsirkan sebagai ayat politik yang kemudian dijadikan dalil mengenai wajibnya kekhilafahan karena di dalamnya mengandung kata “khalf” ( ) dalam berbagai bentuknya.


(23)

Menurut Dawam Raharjo, khalifah (ﺔ ) yakni kepala negara dalam pemerintahan islam, memang merupakan istilah Quran. Tetapi dalam al-Quran kata ini memiliki banyak arti atau interpretasi. Oleh karenanya ayat-ayat yang mengandung pengertian khalifah tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum mengenai wajibnya mendirikan suatu khalifah atau kekuasaan politik. Menurut Dawam, Allah telah mengisyaratkan satu konsep tentang manusia, yaitu sebagai khalifah. Khalifah adalah sebuah fungsi yang diemban manusia berdasarkan amanat yang diterimanya dari Allah Swt. Amanat ini pada intinya adalah tugas mengelola bumi secara bertangung jawab, dengan menggunakan akal yang telah dianugrahkan Allah kepadanya.6

Sementara itu Quraish Shihab seorang ulama Tafsir Quran Indonesia, dalam memahami kata khalifah dalam Q.S al-Baqarah /2:30 mengemukakan unsur-unsur kekhalifahan yang dimaksud adalah:

1. Bumi atau wilayah

2. Khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris)

3. Hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah dan hubungan dengan pemberi kekuasaan.7

Sementara itu At-Tabarri dalam menafsirkan kata khalifah sebagai suatu kaum yang anggota-anggotanya mengganti para pendahulunya.

Abu A’-la Al-Mududi yang menggagas teori teodemokrasi dalam Islam memandang kekhalifahan menuntut adanya ketaatan antara yang diberi (manusia) dengan yang memberi (Tuhan).

Maududi juga menekankan bahwa kekhalifahan harus berisi

6

M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci ,(Jakarta: Paramadina, 1996), h.363-364.

7


(24)

kepatuhan, dan kepatuhan itu tidak lain adalah kepada sang pencipta dan sistem pemerintahan yang memalingkan diri dari Allah Swt menjadi sistem yang lepas dan bebas memerintah dengan dan untuk dirinya sendiri adalah pemberontakan atau kudeta melawan sang Pencipta.8

Sementara Muhammad Rasyid Ridha seorang ulama dan politikus kenamaan mendefinisikan Khilafah, Imamah, dan Imarah sebagai tiga kalimat yang bermakna satu, yaitu kepemimpinan negara Islam yang meliputi kemaslahatan dunia dan agama.9

Taqiyuddin an-Nabhani memaknai khalifah sebagai seseorang yang diserahi tugas untuk memimpin umat lebih lanjut ia menegaskan:

Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan, serta dalam menetapkan hukum-hukum syara, karena Islam telah menjadikan pemerintahan dan kekuasaan tersebut menjadi milik umat khalifah hanyalah orang yang diangkat oleh kaum Muslimin karena itu, faktanya adalah bahwa khalifah merupakan wakil umat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan serta dalam menetapkan hukum syara, oleh karena itu tidak ada seorang khalifah pun kecuali setelah bai’at umat.10

2. Khilafah Islamiyah dalam Lintasan Sejarah

Sejarah kekhilafahan dimulai sejak Nabi Muhammad Saw wafat. Setelah Rasulullah wafat dan lama setelahnya istilah-istilah yang dimunculkan untuk sebutan kepada pemimpin Umat Islam adalah: Khalifah, Imam, Amirul

8

Abdul A’la al-Maududi, Al-Khilafah wa-al Mulk, (Terj.) Khilafah dan Kerajaan,

(Bandung: Mizan,1996), h. 58.

9

Al-Hasjmy, Dimana Letaknya Negara Islam, (Bina Ilmu, 1984) h.153.

10

Taqiyuddin an-Nabhani, Nidhamul hukumi Fil Islam (Terj.) Sitem Pemerintahan Islam: Doktrin Sejarah Empirik, (Bangil Jatim: Al-Izzah, 1997) h.65.


(25)

mukminin, Hakkimul mukminin (penguasa orang-orang mukmin), Raisul mukminin (pemimpin kaum muslimin), Sultanul Muslimin (penguasa kaum muslimin),11 dan ada juga yang menggunakan sebutan Amir, sementara yang lain menggunakan kata Syah sebagaimana yang terjadi di Iran.

Praktek kekhalifahan selama enam abad pertama Islam dapat di bagi ke dalam tiga periode utama: (1) Khulafa ar-Rasyidun di Madinah (632-661 M); (2)kekhalifahan Bani Umayyah (661-750M) di Damaskus; dan (3) kekhalifahan Bani Abbasiyyah (750-1258 M) di Baghdad.12 Sedangkan sisanya adalah zaman Utsmaniyyah Turki di Istambul (1299-1924M).

Dalam sejarah Islam tercatat yang pertama mengguanakan kata khalifah secara resmi adalah Abu Bakar as-Shiddiq (632-634 M), tugas yang diembannya adalah penguasa temporal (dunia) dan penguasa religius (akhirat) tugas yang sama juga dilakukan kepada Umar bin Khattab (634-644 M), Usman bin Affan (644-656 M), dan Ali bin Abi Thalib (656-661 M) yang selanjutnya dikenal sebagai al-Khulafa al-Rasyiddin. Dimana pemilihan khalifah bisa dikatakan sangat demokratis untuk ukuran saat itu. Sepanjang sejarah peradaban Islam, masa kekhalifahan adalah masa kemajuan Islam. Pada masa itu tidak ada sistem politik Islam yang baku. Kekhilafahan di jalankan sesuai dengan konteks situasi kondisi politik pada zaman kekhilafahan masing-masing. Hal itu dapat digambarkan dari perjalanan politik masing-masing khalifah.

Selama 2 tahun kekuasaan yang dijalankan khalifah Abu Bakar, sebagaimana masa Rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif

11

Ibid., h. 106.

12

John L.Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, Alih bahasa: Alwiyyah Abdurrahman, (Bandung: Mizan, 1996), h.41.


(26)

dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Meskipun demikian, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah. Sedangkan Umar ibn Khathab yang memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin (komandan orang-orang beriman) menjalankan roda pemerintahan dengan memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga ekselutif. Untuk itu ia membentuk lembaga peradilan. Selama 10 tahun Umar melakukan ekspansi kekuasaan di sekitar jazirah Arab, Palestina, Syiria, dan sebagian besar wilayah Persia dan Mesir. Banyak kebijakan baru yang di jalankan seperti pengaturan administrasi yang mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban , jawatan kepolisian di bentuk , demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal , menempa mata uang dan menciptakan tahun Hijrah.13

Pada masa Usman yang terkenal lemah lembut, jasanya tampak dalam membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dengan mengatur pembagian air kekota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan , jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas mesjid Nabi di Madinah. Namun selama 12 tahun berkuasa, banyak rakyat kecewa terutama pada kebijakan sang Khalifah yang mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi dalam pemerintahan.

Pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi politik sedang tidak stabil. Namun beliau tetap menjalankan roda pemerintahan secara demokratis. Selama 6 tahun masa pemerintahannya Ali menghadapi banyak pergolakan poltik. Setelah menduduki jabatan khalifah Ali memecat para gubernur yang

13


(27)

diangkat oleh Usman. Beliau juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.

Kekhilafahan selanjutnya mengalami pergeseran makna pada masa dinasti Umayyah (651-750 M). Pergeseran tersebut paling tidak bisa di lihat dari dua hal; pertama pemilihan khalifah tidak lagi melalui cara yang ”demokratis” dalam arti melibatkan suara rakyat, tetapi melalui wilayatul ahdi, pengangkatan putra mahkota yang ditentukan sebelumnya oleh khalifah yang berkuasa. Kedua , khalifah lebih terfokus pada masalah politik, sementara masalah agama diserahkan kepada ulama yang menguasai masalah-masalah agama . Berbeda dengan khalifah sebelumnya yang merupakan ahli agama yang menetapkan hukum keagamanan berdasarkan ijtihad mereka baik sendiri maupun bersama-sama. Namun demikian khilafah bani Umayyah mampu melakukan ekspansi besar-besaran baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazitah Arabia, Irak, sebagian Asia kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.14

Sistem monarki dalam pemerintahan islam dimulai pada khalifah Muawiyah yang mengangkat putranya Yazid bin Muawiyah dengan jalan kekerasan sebagai waliyul’ahdi (putra mahkota).

Pada masa dinasti Abbasiyah, kebijakan-kebijakan yang diterapkan lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari

14


(28)

pada perluasan wilayah yang pada masa khilafah Bani Umayyah gencar dilakukan. Namun dalam memaknai khalifah, Dinasti Abbasiyah tidak jauh berbeda dengan dinasti sebelumnya , peranan khalifah semakin mengalami penurunan disamping meneruskan ciri monarki absolut dan diperparah dengan penambahan kata yang dimaksud untuk ”meninggikan” derajat seorang khilafah.

Pada masa khalifah al-Mansur (754-775 M) kata ”khalifah” sudah mengalami perubahan makna yang cukup mendasar, khalifah sudah berkonotasi Khalifatullah yang berarti pengganti atau wakil Allah di muka bumi, dan menamakan dirinya sebagai Sultanullah fi al-Ardh (penguasa Tuhan di muka bumi.). Pada konteks ini kita bisa melihat makna khalifah menjadi simbol atau legitimasi religius dalam aktivitas perpolitikan. Dengan demikian karisma khalifah semakin bertambah dimasyarakat, karena dirinya sebagai wakil atau pengejawantahan Tuhan di bumi yang harus ditaati sepenuhnya oleh masyarakat dan pejabat-pejabat dibawahnya , dalam hal ini jelas bahwa dinasti Abbasiyyah di pengaruhi oleh kebudayaan Persia yang menganggap raja sebagai titisan suci dari Tuhan (Devide right of King). Namun di tengah kemunduran makna khalifah tersebut, pada masa Al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan disektor pertanian, dan pertambangan. Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan ptranya Al-Ma’mun (813-833 M) yang membawa umat Islam pada tingkat kemakmuran yang tertinggi.

Peranan khalifah lebih menurun drastis lagi pada masa sultan Buwaihi (945-1055 M) , Saljuk (1063-1194 M), Khawarizme (1199-1258 M) atas


(29)

Dinasti Abbasiyah. Pada masa itu, peranan khalifah lebih bersifat boneka atau simbol saja karena kekuatan dan kekuasaan sultan dapat memaksakan segala kehendaknya kepada khalifah.

Setelah Abbasiyah hancur , muncullah kerajaan Usmani yang kemudian di kenal dengan Khilafah Usmaniyyah. Pendiri dinasti ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz, ketika kerajaan Usmani sudah mencapai puncak kemajuannya, kerajaan Syafawi baru berdiri di Persia, yang dalam perkembagannya sering mengalami bentrok dengan kerajaan Turki Usmani dan salah satunya dilatarbelakangi oleh kerajaan Syafawi yang menyatakan Syiah sebagai mazhab negara. Setelah seperempat abad berdirinya kerajaan Syafawi berdiri pula kerajaan Mughal di India.

Jadi setelah runtuhnya dinasti Abbasiyah, kekhilafahan Islam semakin ”terkoyak” meninggalkan bentuk aslinya sebagaimana dilakukan Nabi dan pengganti setelahnya yang dikenal dengan sebutan al-Kulafa al-Rasyidun.

Dinasti Usmaniyah yang pernah berkuasa kurang lebih enam abad dan pernah di segani Eropa akhirnya mendapatkan pukulan yang mematikan dari Kemal Attaturk dengan mendirikan Republik Turki pada tahun 1923 M dan menghapus jabatan khalifah pada tanggal 3 Maret 1924 M dengan demikian gelar kekhalifahan dalam arti politik hilang dari percaturan internasional.

Di samping itu, runtuhnya kekhalifahan di Turki juga disebut-sebut karena sifat munafik kaum muslimin itu sendiri. kekhalifahan dianggap harus ditaati oleh semua kaum Muslimin , tetapi pada kenyataannya hanya orang-orang Turki sajalah yang setia kepadanya, dalam hal ini Mustafa Kemal mengemukakan beberapa saat sebelum dihapuskan kekhalifahan:


(30)

Kita telah menjunjung tinggi khalifah sesuai dengan tradisi yang kita hormati. Kita menghormati khalifah, kita penuhi kebutuhan-kebutuhannya. Saya tambahkan bahwa di seluruh dunia Muslim hanya bangsa Turki-lah satu-satunya bangsa yang secara efektif menjamin kepenghidupan khalifah, mereka yang mengemukakan gagasan khalifah universal sebegitu jauh telah menolak untuk menerima sumbangan apapun , jadi apa sebenarnya yang mereka inginkan? Apakah mereka menghendaki agar hanya orang Turki yang memilkul beban lembaga ini.15

Kejengkelan Mustafa Kemal inilah salah satunya yang menjadi penyebab pada langkah berikutnya yaitu dihapuskannya kekhalifahan.

Demikianlah masa-masa kejayaan Islam di bawah pemerintahan Islam yang berbentuk Khilafah Islamiyah telah runtuh oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Namun banyak kalangan yang masih mengenang romantisme kejayaan Islam dimasa lalu itu , dan berusaha untuk mewujudkan kembali sistem tersebut dengan berbagai cara. Perwujudan keinginan yang sebatas pada tataran konseptual, kemudian terimplementasikan oleh sebagian kelompok islam kedalam bentuk berbagai pergerakan-pergerakan baik yang bersifat politik, sosial, kultur, maupun ekonomi. Namun tak jarang gerakan-gerakan kebangkitan ini mendapat tantangan, ancaman, bahkan intimidasi dari kekuasaan politik yang ingin memasung segala gerak langkah politik islam. Tantangan yang nyata tampak pada diri umat islam sendiri, maupun pihak Barat yang kini menguasai perpolitikan dunia.

15

Hamid Enayat, Modern Islamic Thought: The Respon of thr Syi’I and Sunni Muslim to the Twentieth Century (terj.)nAsep Hikmah, (Bandung: Pustaka, 1998), h. 82-83.


(31)

BAB III

PROFIL HIZBUT TAHRIR

A. Latar Belakang Berdirinya Hizbut Tahrir

Menurut John L. Esposito pada pertengahan abad ke-20, sejarah Islam didominasi oleh dua tema: (1) imperialisme Eropa; dan (2) perjuangan untuk mencari kemerdekaan dari penjajah.16 Merdekanya negeri-negeri muslim dari dunia Barat pada akhirnya melahirkan kecenderungan-kecenderungan ideologis yang dapat digolongkan ke dalam empat jenis. Pertama, tradisional Islami, yang diwakili oleh ulama-ulama konservatif dan pembela status quo. Kedua, sekuler nasionalis, yang diwakili oleh pegawai-pegawai negeri tingkat tinggi, tokoh-tokoh militer dan kaum minoritas muslim yang telah mengalami westernisasi. Ketiga, reformis radikal Islami, yang mencerminkan pandangan sementara kelas menengah maupun kelas menengah ke bawah yang sedikit-banyaknya juga mengalami modernisasi. Keempat, komunis, yang didukung oleh kebanyakan kelas bawah, tetapi pada umumnya kemudian kehilangan daya tarik di dalam masyarakat muslim.17

Kecenderungan-kecenderungan ideologis tersebut pada intinya menentang penjajahan yang berlaku atas negara-negara mereka oleh imperialisme Barat. Kecenderungan ideologis tersebut kemudian melahirkan

16

John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?. Penerjemah Alwiyah Abdurrahman dan MISSI (Bandung: Mizan,1996), h. 59.

17

M. Amien Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta (Bandung: Mizan,1999), h. 137.


(32)

gerakan-gerakan sosial politik yang berjuang menentang penjajahan. Di antara gerakan sosial-politik Islam lahir di awal abad ke-20 adalah Ikhwanul Muslimun pada 1928 yang dipelopori Sayyid Hasan al-Bana di Mesir, kemudian menyusul Jama’at Islami pada 21 Agustus 1941 yang didirikan oleh Sayyid Abul `Ala al-Maududi. Keduanya lahir dengan motif yang sama yaitu. menentang segala bentuk penjajahan dan mengembalikan kehidupan bangsa Arab ke jalan yang Islami.18

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1953, Hizbut Tahrir didirikan di al-Quds, Jerussalem.19 Pendirinya adalah Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani (1909-1979). Tokoh yang bernama lengkap Syekh Muhammad Taqiyyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf An-Nabhani ini, dilahirkan di daerah Ijzim tahun 1909. Ayahnya adalah seorang pengajar ilmu-ilmu syariah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibunya juga menguasai beberapa cabang ilmu syariah. Dalam suasana keagamaan yang kental seperti itu, tentu berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan pandangan hidupnya. Terbukti, Syekh Taqiyyuddin telah hafal Al-quran dalam usia amat muda, yaitu 13 tahun. Pengaruh dari sang kakek, Syekh Yusuf An-Nabhani, seorang hakim terkemuka, juga tak kalah besar. Syekh Taqiyyuddin makin mengerti masalah politik, di mana kakeknya pernah punya hubungan erat dengan para penguasa Daulah Utsmaniyah saat itu. Dia pun banyak belajar dari majelis-majelis dan diskusi-diskusi fikih yang diselenggarakan oleh sang

18

Lebih jelas lihat Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-Islami (Pakistan)

(Jakarta:Paramadina,l999), h. 86.

19

Secara etimologis Hizbut Tahrir bermakna partai (بﺰ ) pembebasan (ﺮ ﺮ ). Lihat kamus Arab Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) Cet. Keempat, h. 351-353.


(33)

kakek. Kecerdasan dan kecerdikan Syekh Taqiyyuddin yang nampak saat mengikuti majelis-majelis ilmu tersebut telah menarik perhatian kakeknya. Oleh karenanya, kakeknya itu memandang perlu mengirim Syekh Taqiyyuddin ke Al-Azhar untuk melanjutkan pendidikan ilmu syariah. Hingga kemudian sebelum menamatkan sekolah menengahnya di Akka, dia berangkat ke Kairo meneruskan pendidikan di Al-Azhar.

Syekh Taqiyyuddin masuk kelas Tsanawiyah Al-Azhar pada tahun 1928 dan tak lama meraih ijazah dengan predikat sangat memuaskan. Lalu dia melanjutkan studi di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang Al-Azhar. Kuliahnya di Darul Ulum tuntas tahun 1932. Pada tahun yang sama dia menamatkan kuliahnya di Al-Azhar Asy Syarif, di mana para mahasiswanya dapat memilih beberapa syaikh Al-Azhar dan menghadiri halaqah-halaqah mereka mengenai bahasa Arab, dan ilmu-ilmu syari’ah seperti fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid (ilmu kalam), dan sejenisnya.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani kembali ke Palestina dan bekerja di Kementerian Pendidikan Palestina sebagai guru di sebuah sekolah menengah atas di Haifa. Di samping itu juga mengajar di Madrasah Islamiyah di Haifa.

Di sinilah lambat laun dia menyaksikan kuatnya pengaruh imperialis Barat dalam bidang pendidikan, yang ternyata lebih besar dari pada bidang peradilan, terutama peradilan syariah. Oleh sebab itu dia memutuskan untuk menjauhi bidang pengajaran dan mulai mencari pekerjaan lain yang pengaruh peradaban Barat-nya relatif lebih sedikit. Dia lantas mendapat pekerjaan di Mahkamah Syariah yang dipandangnya merupakan lembaga yang menerapkan


(34)

hukum-hukum syara’. Ternyata banyak kawannya yang pernah sama-sama belajar di Al-Azhar bekerja di sana. Dengan bantuan mereka, Syekh Taqiyyuddin diangkat sebagai sekretaris di Mahkamah Syariah Beisan, lalu dipindah ke Thabriya.

Pada 1940, dia diangkat sebagai musyawir (asisten kadi) hingga 1945, yakni saat dia dipindah ke Ramallah menjadi qadly di Mahkamah Ramallah sampai tahun 1948. Namun setelah itu, dia keluar dari Ramallah menuju Syam sebagai akibat jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi. Pada tahun 1948 itu pula, sahabatnya Al-Ustadz Anwar Al-Khatib mengirim surat yang isinya memintanya kembali ke Palestina untuk diangkat sebagai kadi di Mahkamah Syariah Al-Quds. Syekh Taqiyyuddin mengabulkan permintaan itu dan kemudian diangkatlah dia sebagai kadi di Mahkamah Syariah Al-Quds tahun 1948. Kemudian, oleh Kepala Mahkamah Syariah dan Kepala Mahkamah Isti’naf saat itu, Al-Ustadz Abdul Hamid As Sa’ih, ia diangkat sebagai anggota Mahkamah Isti’naf, sampai tahun 1950.

Pada tahun 1951, Syekh Taqiyyuddin mendatangi kota Amman untuk menyampaikan ceramah-ceramahnya kepada para pelajar Madrasah Tsanawiyah di Kulliyah Ilmiyah Islamiyah. Hal ini terus berlangsung sampai awal tahun 1953, ketika dia mulai sibuk dalam Hizbut Tahrir, yang telah dirintisnya antara tahun 1949 hingga 1953.

Sejak remaja dia memang sudah memulai aktivitas politiknya karena pengaruh kakeknya, yang pernah terlibat diskusi-diskusi dengan tokoh-tokoh pembaharuan Islam, seperti Muhammad Abduh serta para pengikut ide pembaharuan lainnya yang mengusung dan menuntut perubahan terhadap


(35)

Daulah Utsmaniyah. Di samping itu, dia juga melakukan berbagai perdebatan dengan para ulama Al-Azhar mengenai apa yang harus dilakukan dengan serius untuk membangkitkan umat Islam. Ketika Syekh An-Nabhani menjalankan tugasnya di Kementerian Pendidikan Palestina, dia sudah memberikan kesadaran kepada para muridnya dan orang-orang yang ditemui, mengenai situasi yang ada saat itu. Dia membangkitkan perasaan geram dan benci terhadap penjajah Barat dalam jiwa mereka, di samping memperbaharui semangat mereka untuk berpegang teguh terhadap Islam. Ketika pindah pekerjaan ke bidang peradilan, dia pun mengadakan kontak dengan para ulama yang dia kenal dan ditemui di Mesir. Kepada mereka Syaikh An- Nabhani mengajukan ide untuk membentuk sebuah partai politik yang berasaskan Islam untuk membangkitkan kaum muslimin dan mengembalikan kemuliaan dan kejayaan mereka. Dia lalu menyodorkan kerangka organisasi partai dan pemikiran-pemikiran yang dapat digunakan sebagai bekal tsaqafah bagi partai tersebut. Pemikiran-pemikiran ini dapat diterima dan disetujui. Maka aktivitasnya pun menjadi semakin padat dengan terbentuknya Hizbut Tahrir.

Pembentukan partai ini secara resmi tahun 1953, pada saat Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani mengajukan permohonan kepada Departemen Dalam Negeri Yordania sesuai Undang-Undang Organisasi yang diterapkan saat itu. Dalam surat itu terdapat permohonan izin agar Hizbut Tahrir dibolehkan melakukan aktivitas politiknya.

Namun pemerintah justru melarang kegiatan organisasi ini. Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani tidak gentar dan tetap melanjutkan misinya


(36)

menyebarkan risalah Hizbut Tahrir. Dia sangat menaruh harapan untuk membangkitkan umat Islam pada Hizbut Tahrir, gerakan yang telah dia dirikan dan tetapkan falsafahnya dengan karakter tertentu yang digali dari nash-nash syarak dan sirah Nabi SAW. Syekh Taqiyyuddin menjalankan aktivitas secara rahasia dan segera membentuk Dewan Pimpinan (Qiyadah) yang baru bagi Hizbut Tahrir, di mana dia sendiri yang menjadi pimpinannya. Dewan Pimpinan ini dikenal dengan sebutan Lajnah Qiyadah. Setelah berkembang enam tahun di Jerussalem, Hizbut Tahrir kemudian mengembangkan sayapnya ke wilayah lain dan dimulai dengan mendirikan cabang di Libanon pada tanggal 19 oktober 1959.20 Syekh Taqiyyuddin terus memegang kepemimpinan Dewan Pimpinan Hizb ini sampai wafatnya beliau pada tanggal 25 Rajab 1398 H, bertepatan dengan tanggal 20 Juni 1977 M. Kemudian kepemimpinan Hizbut Tahrir dipegang oleh Syekh Abdul Qaditn Zullum. Pada tahun 2003, Syekh Abdul Qadim Zallum meninggal dunia dan digantikan oleh Syekh A. Abu Rostah.

Pergantian kepemimpinan dalam tubuh organisasi Hizbut Tahrir tidak membuat landasan serta konsepsi politik mereka berubah. Hizbut Tahrir tetap menyerukan bahwa mereka didirikan dalam rangka memenuhi seruan Allah SWT, yaitu:

.

نْﻮﻬْ و

فوﺮْ ْﺎ

نوﺮ ْﺄ و

ﺮْ ْا

ﻰ إ

نﻮ ْﺪ

ﺔ أ

ْ ﻜْ

ْ ﻜ ْو

نﻮ ْ ْا

ه

ﻚ وأو

ﺮﻜْ ْا

) (

20

Hussein bin Muhsin bin ali Jabir,Membentuk Jama’atul Muslimin. Penerjemah Abu Fahmi (Jakarta: Gema lnsani Press, 1991), h. 244.


(37)

"(Dan) hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah) yang menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu memeluk Islam), memerintahkan kepada yang ma'ruf dan melarang dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung." (QS Ali Imran: 104)

Berdasarkan pedoman dalam kutipan ayat al-Quran tersebut Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemelut multidimensional yang melandanya. Dengan itu, mereka ingin membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukum-hukum yang mereka anggap kufur, serta membebaskan masyarakat dari dominasi dan pengaruh negara-negara Barat yang disebutnya negara kafir. Hizbut Tahrir bermaksud juga membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum yang diturunkan Allah SWT dapat diberlakukan kembali.

Hizbut Tahrir bertujuan melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Dengan pemikiran serta cara yang mereka yakini kebenarannya, Hizbut Tahrir berusaha mengajak kaum muslimin kembali hidup secara Islami dalam Darul Islam dan masyarakat Islam, di mana seluruh kegiatan kehidupannya diatur sesuai dengan hukum-hukum syara'. Pandangan hidup yang akan menjadi pedoman adalah halal dan haram, di bawah naungan Daulah Islam, yaitu Daulah Khilafah, yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang diangkat dan dibai'at oleh kaum muslimin untuk didengar dan ditaati agar menjalankan pemerintahan


(38)

berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.21

Hizbut Tahrir berusaha untuk mengembalikan posisi umat ke masa kejayaan dan keemasannya seperti dulu, di mana umat akan mengambil alih kendali negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia ini, dan negara Khilafah akan kembali menjadi negara nomor satu di dunia—sebagaimana yang terjadi pada masa silam—serta memimpin dunia sesuai dengan hukum-hukum Islam.

B. Konsepsi Politik Hizbut Tahrir

Sejak awal berdirinya, Hizbut Tahrir menyatakan diri sebagai partai politik dengan Islam sebagai ideologinya. Dalam maindset pemikiran mereka, Islam ditafsirkan sebagai ideologi bagi kemaslahatan ummat, yang di dalam ajarannya terdapat pedoman untuk mengatur segala aspek kehidupan manusia baik politik, ekonomi,maupun sosial. Oleh karenanya Islam tidak bisa dilepaskan dari praktek kegiatan politik yang mereka anggap memiliki hukum fardu kifayah. Konsepsi partai tentang otoritas dan kepemimpinan diambil dari tradisi Islam. Referensi yang mereka jadikan panutan adalah dengan melakukan tinjauan historis kejayaan Islam di masa lalu yang ingin mereka representasikan ke dalam kehidupan moderen yang mereka nilai telah terkontaminasi oleh ide-ide serta praktek sistem Barat.

Hizbut Tahrir terkenal bukan hanya karena watak politiknya yang kentara, tetapi juga karena sistem pemikirannya yang konsisten dan program

21

Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir: Partai Politik Islam Ideologis (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), h. 19.


(39)

politiknya yang terpadu. Mereka menafsirkan Islam sebagai ideologi yang mengungguli sosialisme dan kapitalisme. Sistem yang mengatur segala aspek kehidupan muslim adalah syariat. Partai ini mendesak kaum muslim untuk berijtihad dalam mengelaborasi syariat secara terus-menerus. Partai ini menganggap implementasi syariat sangat penting bagi pemulihan cara hidup Islami dan negara merupakan syarat penting untuk mencapai tujuan ini. Hizbut Tahrir meniadakan semua bentuk konsensus (ijma) kecuali konsensus para sahabat Nabi, sebagai sumber yurisprudensi dan menolak dijadikannya alasan efektif rasional sebagai dasar dari deduksi analogis.22

Berbagai pengkajian, penelitian, dan studi terhadap permasalahan masyarakat dunia khususnya berbagai krisis yang menimpa ummat Islam, kemudian menggugah daya nalar Hizbut Tahrir untuk membandingkannya dengan kondisi yang ada pada masa Rasulullah SAW, masa Khulafa ar-Rasyidin, dan masa generasi Tabi’in. Pada konteks tersebut, partai politik internasional ini menggunakan analisis historis dengan merujuk kembali kepada sirah Rasulullah SAW, dan tata cara mengemban dakwah yang beliau lakukan sejak permulaan dakwahnya, hingga beliau berhasil mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah. Dipelajari juga perjalanan hidup beliau di Madinah. Setelah melakukan kajian secara menyeluruh itu, maka Hizbut Tahrir pun memilih dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum-hukum yang berkaitan dengan fikrah dan thariqah. Semua ide, pendapat dan hukum yang dipilih dan ditetapkan Hizbut Tahrir berasal dari ajaran Islam.

22

John L.Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Moderen (Jakarta: Mizan, 2001), hal.173.


(40)

Hizbut Tahrir menolak ide-ide di luar ajaran Islam, dan menyebut ide-ide di luar Islam sebagai ideologi kufur.

Menurut Hizbut Tahrir, Islam adalah prinsip ideologi yang terdiri dari aqidah dan syari’at. Aqidah merupakan fungsi untuk memecahkan persoalan manusia, menjelaskan bagaimana memecahkan persoalan tersebut, memelihara dan mengembangkan ideologi tersebut. Islam sebagai prinsip ideologi inilah yang kemudian menjadi pola hidup yang khas yang sangat berbeda dengan pola hidup lainnya, seperti kapitalisme, sosialisme dan isme-isme lainnya.23

Nilai kebenaran Islam adalah mutlak sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah SWT. Karena Itu, semua agama maupun ideologi selain Islam adalah kafir, sebab letak perbedaannya sangat mendasar, baik dari segi Aqidah (konsep dasar) maupun dan segi Nizham (sistem). Perbedaan yang dimaksud antara lain adalah: (1) Islam mengajarkan konsep spiritual (aqidah ruhiyah) dan konsep politik (aqidah siyasah) sekaligus; (2) Konsep tersebut menjadi satu bagian dari ajaran Islam. Sedang agama lain hanya mengajarkan konsep spiritual. Misalnya agama Yahudi dan Nasrani. Begitu pula dengan ideologi kapitalisme dan sosialisme, misalnya, yang hanya mengajarkan konsep politik; dan (3) dalam kedua aqidah tersebut, lslam mengajarkan sistem, baik yang berkenaan dengan ruhiyah maupun siyasah.24

23

Muhammad Hussain Abdullah, Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam. Penerjemah Zamroni (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah), h. 43.

24

Hafidz Abdurrahman, Islam: Politik dan Spiritual ( Singapura: Lisan al-Haq, 1998), h. 28-29.


(41)

Sebagai ajaran yang memiliki sistem, dalam Islam terdapat metode untuk menjaga dan memelihara syari'atnya (yang menjamin tegaknya ideologi tersebut). Metode yang berkenaan dengan penjagaan dan pemeliharaan syari’at adalah: (1) terwujudnya khilafah Islam, (2) Penerapan sistem hukuman, dan (3) jaminan revolusi dan kawalan ke atas Khilafah Islam. Ketiga motode tersebut telah disyari’atkan dalam Islam untuk diterapkan agar kebutuhan Islam sebagai agama dan ideologi dapat dipertahankan.25

Konsekwensi dari pandangan bahwa Islam agama yang benar, di mana kaum muslimin memiliki otoritas atau berada dalam posisi jauh lebih atas dari umat lain, melahirkan dikotomi darul Islam dan darul kufr. Berkenaan dengan keadaan setiap wilayah yang ada di negeri-negeri Islam sekarang ini, apakah termasuk darul Islam atau darul kufr, menurut Hizbut Tahrir, seluruhnya merupakan darul kufr, bukan darul Islam.26

Tuntunan secara kaffah merupakan suatu kemestian keimanan akan keberadaan Allah SWT, bahwasanya Al-Quran adalah kallamullah, dan Muhammad adalah Rasulullah SAW, konsekwensinya adalah meyakini dan menerima apa saja yang diinformasikan oleh Allah SWT kepada manusia melalui utusan-Nya yakni Nabi Muhammad SAW, baik yang terdapat dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.27 Karena itu, penegakan syari'at Islam dalam

25

Ibid., h. 219.

26

Darul Islam adalah suatu wilayah yang menerapkan hukum-hukum Islam dan keamanan wilayah tersebut berada di tangan Islam, yaitu di bawah kekuasaan pertahanan kaum muslim, sedang Darul Kufr adalah wilayah yang menerapkan hukum-hukum kufur atau keamanannya tidak berdasarkan pada Islam, yaitu tidak berada di tangan kekuasaan dan pertahanan kaum muslim, sekalipun mayoritas penduduknya adalah orang-orang Islam. Lebih jelas lihat dalam Hizbut Tahrir, Strategi Dakwah Hizbut Tahrir. Penerjemah Nurkhalis (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 1997), h. 7.

27


(42)

arti yang seluas-luasnya merupakan suatu keniscayaan. Penerimaan atas segala aturan Islam dapat dilakukan jika berpijak pada tiga asas: (1) rasa ketaqwaan yang tertanam dan terbina pada setiap individu di masyarakat; (2) sikap saling mengontrol pelaksanaan hukum Islam dan mengawasi serta mengkordinasi tingkah laku penguasa pada masyarakat; dan (3) keberadaan negara/ pemerintahan sebagai pelaksanaan hukum syara.28 Dengan demikian, kedudukan negara dalam Islam tidak lain adalah untuk memelihara masyarakat dan anggota-anggotanya serta bertindak selaku pemimpin yang mengatur dan mementingkan urusan rakyatnya.

Keberadaan terpenting sebuah negara bagi masyarakat Islam adalah untuk menerapkan hukum-hukum syara’ dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.29

Adapun bentuk negara dan pemerintahan yang dikehendaki Partai ini adalah model pemerintahan yang berbentuk kekhalifahan klasik. Model ini mereka anggap sebagai satu-satunya bentuk autentik pemerintahan Islam, yang diupayakannya untuk dihidupkan kembali bersama lembaga-lembaga tradisional yang menyertainya. Untuk mencapai tujuan ini, partai menyusun konstitusi yang memerinci sistem politik, ekomomi, dan sosial negara yang dimaksud. Hizbut Tahrir merinci dan menggambarkan sebuah sistem kekhilafahan yang sentralistik dalam arti sistem yang memberikan kekuasaan eksekutif dan legislatife kepada khalifah terpilih, yang pada dirinya sebagian besar fungsi negara terpusat. Warga negara didorong untuk menggunakan hak

28

Pusat Studi Khazanah Ilmu-ilmu Islam (PSKII), Materi Dasar Islam (Bogor: PSKII, 2001), h. 100-104.

29


(43)

mereka meminta tanggung jawab negara melalui oposisi politik yang didasarkan pada ideologi islam dan diekspresikan melalui sistem multipartai.

Tujuan Hizbut Tahrir mendirikan partai politik tidak lain adalah agar dunia kembali kepada cara hidup Islam. Mereka menjelma menjadi mediator bagi program kebangkitan bangsa-bangsa Islam untuk lepas dari sistem imperialisme dan juga membersihkan umat Islam dari sisa-sisa penjajahan. Untuk mencapai tujuan dan cita-citanya, maka sebuah pendirian institusi formal berbentuk negara Islam menjadi target utama dari kelompok ini. Hizbut Tahrir dibawah kepemimpinan Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani pun berusaha menggulingkan rezim pemerintahan yang ada. Meskipun tidak pernah memperoleh dukungan resmi, partai ini cukup berhasil di Yordania dan Tepi Barat sampai terjadinya penindasan terhadap kelompok oposisi pada 1957. Partai ini melakukan indoktrinasi terhadap anggotanya; menyebarkan gagasan-gagasannya melalui selebaran, kuliah, dan khutbah, dan aktif berpartisipasi dalam politik nasional dengan ikut serta dalam pemilihan parlemen.

C. Gerakan Politik Hizbut Tahrir

Hizbut Tahrir merupakan partai politik kebangkitan Islam. Simbol partai yang bertuliskan Laa illaha illa Allah Muhammad Rasulullah (tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah) merupakan dasar untuk mengidentifikasinya sebagai sebuah partai politik yang berideologi Islam. Hizbut Tahrir menolak gaya berfikir sekularisme yang memisahkan antara kehidupan beragama dengan aktivitas politik praktis. Sebaliknya ia


(44)

menjadikan Islam sebagai jiwa dari politik. Politik merupakan kegiatannya, dan Islam adalah ideologinya. Strategi politik Hizbut Tahrir bergerak pada tataran grassroot di tengah-tengah masyarakat, dan mencoba mempengaruhi dan menggerakkan masyarakat untuk menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, serta membimbing mereka untuk mendirikan kembali sistem Khilafah dan menegakkan hukum yang diturunkan Allah dalam realitas kehidupan. Setelah kesadaran masyarakat tumbuh untuk menegakkan kembali Khilafah, maka tampuk kekuasaan politik akan dapat diambil alih.

Hizbut Tahrir memperkenalkan diri sebagai organisasi politik, bukan organisasi kerohanian (seperti tarekat), bukan lembaga ilmiah (seperti lembaga studi agama atau badan penelitian), bukan lembaga pendidikan (akademis), dan bukan pula lembaga sosial (yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan).

Kegiatan Hizbut Tahrir 100 % bersifat politik. Ia menolak jika dikatakan sebagai sebuah organisasi yang bergerak di bidang pendidikan seperti madrasah atau hanya sekedar nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk. Akan tetapi kegiatannya bersifat politik, dengan cara mengemukakan ide-ide (konsep-konsep) Islam beserta hukum-hukumnya untuk dilaksanakan, diemban, dan diwujudkan dalam kenyataan hidup dan pemerintahan.

Hizbut Tahrir muncul dan berkembang, kemudian menyebarluaskan aktivitas dakwahnya di negeri-negeri Arab, sebagian besar negeri-negeri Islam lainnya maupun hingga ke negeri-negeri Barat dan Eropa. Kegiatan Hizbut Tahrir adalah mengemban dakwah Islam untuk mengubah situasi masyarakat


(45)

yang mereka anggap rusak menjadi masyarakat Islam. Hal ini dilakukan dengan mengubah ide-ide rusak itu menjadi ide-ide Islam, sehingga ide-ide ini menjadi opini umum di tengah masyarakat serta menjadi persepsi bagi mereka. Selanjutnya persepsi ini akan mendorong mereka untuk merealisasikan dan menerapkannya sesuai dengan tuntutan Islam. Juga dengan mengubah perasaan yang dimiliki anggota masyarakat menjadi perasaan Islam—yakni ridla terhadap apa yang diridlai Allah, marah dan benci terhadap apa yang dimurkai dan dibenci oleh Allah—serta mengubah hubungan/ interaksi yang ada dalam masyarakat menjadi hubungan/ interaksi yang Islami, yang berjalan sesuai dengan hukum-hukum Islam dan pemecahan-pemecahannya.30

Gerakan politik Hizbut Tahrir difokuskan pada bagaimana membangun kesadaran politik masyarakat untuk menerapkan hukum-hukum Allah yang berupa syariat Islam. Mereka menganggap syariat Islam sebagai solusi terbaik untuk mengatasi segala problem hidup masyarakat. Gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan Hizbut Tahrir dianggapnya bersinonim dengan gerakan politik. Karena politik adalah bidang yang mengatur kehidupan bermasyarakat.

Gerakan politik Hizbut Tahrir dari mulai tahun awal berdirinya hingga sekarang berusaha untuk memperjuangkan tegaknya sistem Khilafah Islamiyah untuk diwujudkan dalam sebuah struktur kenegaraan. Untuk mewujudkan sistem Khilafah Islamiyah mereka menggunakan perjuangan

30


(46)

politik kultural. Metode ini mereka anggap cukup efektif untuk merubah paradigma berfikir masyarakat secara temporal, dan berharap setelah itu mereka memiliki massa politik yang besar untuk mendukung aktivitas politik mereka, hingga kemudian kekuasaan politik secara struktural dapat dicapainya. Kegiatan-kegiatan yang bersifat politik ini tampak jelas dalam kegiatannya mendidik dan membina umat dengan tsaqafah (kebudayaan) Islam, meleburnya dengan Islam, berupaya membebaskan masyarakat dari aqidah-aqidah, pemikiran-pemikiran, serta persepsi-persepsi yang yang mereka anggap rusak, salah, dan keliru, sekaligus membebaskannya dari pengaruh ide-ide dan pandangan-pandangan yang mereka anggap kufur.

Mereka dengan lantang menentang ide-ide dan pemikiran yang lahir dari Barat yang bersifat sekulistik seperti kapitalisme, liberalisme, demokrasi, Hak Asasi Manusia, pluralisme agama, Feminisme, bahkan dialog antar agama. Mereka selalu lantang menyuarakan penentangannya terhadap ide-ide yang mereka anggap merupakan ide-ide, aqidah-aqidah, dan persepsi-persepsi yang salah dan keliru. Terhadap ide-ide tersebut, Hizbut Tahrir beraksi dengan cara menjelaskan kerusakannya, menampakkan kekeliruannya, dan menjelaskan ketentuan hukum Islam dalam masalah tersebut. Segala kajian yang berhubungan dengan permasalahan ummat serta solusi pemecahannya berhasil mereka rangkum dalam serangkayan buah karya baik berberntuk


(47)

selebaran, booklet, majalah, dan buku. Adapun karya-karya buku yang mereka publikasikan ke ranah publik antara lain:31

1. Nizhamul Islam (Peraturan Hidup dalam Islam)

2. Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan dalam Islam) 3. Nizhamul Iqtishadi fil Islam (Sistem Ekonomi dalam Islam) 4. Nizhamul Ijtima’iy fil Islam (Sistem Pergaulan dalam Islam) 5. At-Takattul al-Hizbiy (Pembentukan Partai Politik)

6. Mafahim Hizbut Tahrir (Pokok-pokok Pikiran Hizbut Tahrir) 7. Daulatul Islamiyah (Negara Islam)

8. Al-Khilafah (Sistem Khilafah)

9. Syakhshiyah Islamiyah – 3 jilid (Membentuk Kepribadian Islam)

10. Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir (Pokok-pokok Pikiran Politik Hizbut Tahrir)

11. Nadharat Siyasiyah li Hizbit Tahrir (Beberapa Pandangan Politik Hizbut Tahrir)

12. Kaifa Hudimatil Khilafah (Persekongkolan Meruntuhkan Khilafah) 13. Siyasatu al-Iqtishadiyah al-Mutsla (Politik Ekonomi yang Agung) 14. Al-Amwal fi Daulatil Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah) 15. Nizhamul ‘Uqubat fil Islam (Sistem Sanksi Peradilan dalam Islam)

16. Ahkamul Bayyinat (Hukum-hukum Pembuktian)

17. Muqaddimatu ad-Dustur (Pengantar Undang-undang Dasar Negara Islam)

31

Hizbut Tahrir, “Landasan Pemikiran Hizbut Tahrir,” artikel diakses pada 2 November 2007 dari


(48)

Dan banyak lagi buku-buku, booklet, maupun selebaran yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, baik yang menyangkut ide maupun politik.

Seluruh kegiatan politik tersebut dilakukan tanpa menggunakan caca-cara kekerasan (fisik/senjata). Akan tetapi sebatas aktivitas menyampaikan ide-ide (konsep-konsep) dengan lisan atau tulisan, sesuai jejak dakwah yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Hizbut Tahrir mengemban dakwah Islam agar Islam dapat diterapkan dalam kehidupan dan agar Aqidah Islamiyah dapat menjadi dasar negara dan dasar konstitusi serta undang-undang.

Adapun metode yang ditempuh Hizbut Tahrir dalam mengemban dakwah adalah hukum-hukum syara', yang diambil dari thariqah (metode) dakwah Rasulullah SAW, sebab bagi mereka thariqah itu wajib diikuti. Landasan berfikir mereka itu sebagaimana firman Allah SWT:

مْﻮ ْاو

ا

ﻮ ْﺮ

نﺎآ

ْ

ةﻮْ أ

ا

لﻮ ر

ْ ﻜ

نﺎآ

ْﺪ

ﺂْا

ﺮآذو

( )

اﺮ ﺜآ

ا

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat Allah)." (QS Al Ahzab: 21)

او

ْ ﻜ ﻮ ذ

ْ ﻜ

ْﺮ ْ و

ا

ﻜْ ْ

ﻮ ﺎ

ا

نﻮ

ْ ْآ

ْنإ

ْ

رﻮ

( )

ر


(49)

"Katakanlah: 'Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian." (QS Ali Imran: 31)

Menurut Hizbut Tahrir kaum muslimin saat ini hidup di Darul Kufur— karena diterapkan atas mereka hukum-hukum kufur yang tidak diturunkan Allah SWT—maka keadaan negeri mereka serupa dengan Makkah ketika Rasulullah SAW diutus (menyampaikan risalah Islam). Untuk itu fase Makkah wajib dijadikan sebagai tempat berpijak dalam mengemban dakwah dan mensuriteladani Rasulullah SAW.

Berdasarkan sirah Rasulullah SAW, Hizbut Tahrir menetapkan metode perjalanan dakwahnya dalam 3 (tiga) tahapan.32 Pertama, tahapan pembinaan dan pengkaderan (Marhalah At-Tatsqif), yang dilaksanakan untuk membentuk kader-kader yang mempercayai pemikiran dan metode Hizbut Tahrir, dalam rangka pembentukan kerangka tubuh partai. Kedua, tahapan berinteraksi dengan umat (Marhalah Tafa'ul Ma'a Al Ummah), yang dilaksanakan agar umat turut memikul kewajiban dakwah Islam, hingga umat menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, agar umat berjuang untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan. Ketiga, tahapan pengambilalihan kekuasaan (Marhalah Istilaam Al Hukm), yang dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.

Metode dakwah tersebut merupakan strategi politik Hizbut Tahrir yang baku. Untuk saat ini, kegiatan politik Hizbut Tahrir baru memasuki tahapan pembinaan dan pengkaderan, serta berinteraksi dengan masyarakat.

32


(50)

Sedangkan pada tahapan pengambilalihan kekuasaan, Hizbut Tahrir masih melihatnya sebagai proses yang pada akhirnya akan terwujud.

Pada metode pertama dan kedua dapat dikatakan upaya sebuah partai untuk melakukan rekruitmen politik. Dalam kegiatan rekruitmen politik, Hizbut Tahrir menerima keanggotaan setiap orang Islam, baik laki-laki maupun wanita, tanpa memperhatikan lagi apakah mereka keturunan Arab atau bukan, berkulit putih ataupun hitam. Hizbut Tahrir menjadi wadah bagi aspirasi politik kaum muslimin dan menyeru mereka untuk mengemban dakwah Islam serta mengambil dan menetapkan seluruh aturan-aturan Islam, tanpa memandang lagi kebangsaan, warna kulit, maupun madzhab mereka. Hizbut Tahrir melihat semuanya dari pandangan Islam.

Cara mengikat individu-individu di dalam Hizbut Tahrir adalah dengan memeluk aqidah Islam, matang dalam tsaqafah Hizbut Tahrir, mengambil dan menetapkan ide-ide serta pendapat-pendapat Hizbut Tahrir. 33 Tiada pemaksaan bagi individu untuk menjadi anggota Hizbut Tahrir, individu itu sendiri yang mengajukan dirinya sebagai anggota Hizbut Tahrir, setelah sebelumnya terlibat dengan Hizbut Tahrir. Hal itu muncul ketika dakwah telah berinteraksi dengannya dan dia telah mengambil dan menetapkan ide-ide serta persepsi-persepsi Hizbut Tahrir. Jadi ikatan yang menjalin anggota Hizbut Tahrir adalah akidah Islam dan tsaqafah Hizbut Tahrir yang lahir dari aqidah tadi.

33


(51)

Dakwah secara kolektif menjadi cara utama untuk memperbanyak dukungan dan hal tersebut dikakukan oleh Hizbut Tahrir dengan melakukan aktivitas-aktivitas sebagai berikut: 34

(1) Tsaqafah Murakkazah, aktivitas ini dilakukan oleh Hizbut Tahrir melalui halaqah-halaqah yang dilakukan oleh individu (pengikut Hizbut Tahrir) dalam rangka membangun kerangka Hizbut Tahrir, memperbanyak pendukung, serta melahirkan kepribadian Islam di kalangan para pengikut dan anggota Hizbut Tahrir sehingga mereka mampu mengemban dakwah, mengarungi medan kehidupan dengan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik.

(2) Tsaqafah Jama’iyah, yang disampaikan kepada umat Islam secara umum, berupa ide-ide dan hukum-hukum Islam yang telah diadopsi oleh Hizbut Tahrir. Ini dilakukan melalui pengajian-pengajian umum di mesjid-mesjid atau di balai-balai pertemuan, gedung-gedung dan tempat umum, juga melalui media massa buku-buku dan selebaran-selebaran untuk mewujudkan kesadaran umat secara umum sekaligus berinteraksi dengan umat.

(3) Shira’al fikri (pergolakan pemikiran), untuk menentang kepercayaan/ ideologi, aturan dan pemikiran-pemikiran kufur. Menentang segala bentuk aqidah yang rusak, pemikiran yang keliru, persepsi yang salah dan sesat dengan cara mengungkapkan kepalsuan, kekeliruan, dan pertantangannya dengan Islam, juga membersihkan umat dari segala bentuk pengaruh dan implikasinya.

34


(52)

(4) Kifah as-Siyasi (perjuangan politik), aktivitas ini bisa berbentuk:

a. Berjuang menghadapi negara-negara kafir imperialis yang menguasai dan mendominasi Islam. Menghadapi segala bentuk penjajahan, baik itu berupa penjajahan pemikiran, politik, ekonomi, maupun militer, mengungkapkan akar dan membongkar persekongkolan negara-negara kafir sehingga umat bebas dari segala bentuk dominasi mereka.

b. Menentang para penguasa di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri Islam lainnya. Membongkar kejahatan mereka, menyampaikan nasihat dan kritik dan mencoba merubah tingkah laku mereka setiap kali mereka melahap hak-hak umat, atau pada saat mereka tidak melaksanakan kewajibannya terhadap umat, atau ketika mereka menyalahi hukum-hukum Islam. Dan melakukan aktivitas untuk menghapuskan kekuasaan mereka, kemudian menggantikannya dengan kekuasaan yang merujuk pada sistem hukum Islam.

(5). Mengadopsi kemaslahatan umat dan melayani seluruh urusannya sesuai dengan hukum-hukum syara’.

Pembinaan kader Hizbut Tahrir dipisahkan antara laki-laki dan perempuan. Yang memimpin para perempuan adalah para suami, muhrimnya atau para perempuan. Dengan dilakukannya aktivitas pembinaan dengan metode dakwah yang mengikuti Rasulullah SAW maka diharapkan terbentuk individu/kelompok yang Islami dan memahami konteks pentingnya Daulah


(53)

Khilafah dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang Islami.

Hubungan internal dibangun dan dilandasi dengan metode dakwah, sehingga tidak ada perbedaan kebijakan antara Hizbut Tahrir yang berpusat di Jerussalem dan Hizbut Tahrir-Hizbut Tahrir cabang yang tersebar diberbagai negara. Inti dari perjuangannya adalah menegakkan Daulah Khilafah, sehingga segala bentuk masalah yang mendera kaum muslim dikritisi dan diberikan solusi berupa penegakan Daulah Khilafah.

Dengan metode dakwah yang demikian kuat, tak heran apabila organisasi Hizbut Tahrir begitu kuat dan memiliki pendukung yang militan dalam memperjuangkan tujuan organisasinya. Militansi anggota Hizbut Tahrir bisa dilihat dalam aksi-aksi demonstrasinya. Dalam mengkritik atau menanggapi berbagai isu, baik itu isu negara tempat Hizbut Tahrir itu berada, maupun isu internasional.

Untuk mewadahi anggota-anggotanya tersebut sejak awal, partai ini sudah mendirikan cabang-cabang di Suriah, Lebanon, Kuwait, dan Irak. Meskipun meningkatnya pengaruh Nasser telah menghalangi upayanya untuk meraih dukungan massa, pada awal 1960-an rasa percaya diri partai ini semakin besar dan berpuncak pada dua upaya kudeta di Amman pada 1968 dan 1969. Kedua upaya kudeta ini dibarengi dengan langkah-langkah serentak di Damaskus dan Baghdad. Kospirasi serupa juga muncul di Baghdad (1972), Kairo (1974), dan Damaskus (1976).

Pada tahun-tahun terakhir, partai ini menafsirkan kebangkitan Islam sebagai bukti masyarakat menerima gagasannya. Sejak krisis teluk 1990-1991, optimismenya terus bertambah karena yakin bahwa ketidaktulusan gerakan


(54)

dan rezim politik dikawasan ini telah terungkap dan opini publik kini menghargai kebenaran pemahaman partai ini mengenai Islam dan pendekatan militan dan progressif terhadap perubahan.

Kepatuhan kakunya kepada ideologi membuat partai ini tidak mau bekerja sama dengan kelompok Islam lainnya, dan pendekatan kontrofersialnya menyebabkan ia dikutuk secara luas. Meskipun pengutukan itu diisolasi dan dipinggirkan, para anggotanya aktif di Yordania, Suriah, wilayah pendudukan, Irak, Lebanon, Afrika Utara, (terutama Tunisia), Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Sudan, Turki, Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan sebagian Eropa, seperti Inggris, Prancis, Jerman, Rumania, serta Yugoslavia. Di dunia muslim, kelompok ini memperoleh kebebasan yang lebih besar seperti di Yordania dan Kuwait.

Berbagai aktivitasnya dikoordinasikan dan diprioritaskan di seluruh wilayah Arab Islam, yang mencerminkan struktur partai yang memiliki sistem dan kinerja organisasi yang baik, berdisiplin tinggi dan tersentralisasi. Keanggotaan atau kader merupakan ciri khas dari sebuah partai politik moderen. Hizbut Tahrir yang giat menjaga homogenitas ideologinya, pun mengikuti arus politik moderen dengan mengadakan doktrinisasi ideologis, yang mengikat anggota, para pelajar sekolah menengah, mahasiswa, serta para sarjana baru.

Kini, setelah melalui perjuangan panjang selama kurang lebih 54 tahun lamanya, Hizbut Tahrir pada era di mana batas-batas negara semakin pudar, malah semakin terlihat mengaktualisasikan diri. Dalam era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan pengembangan demokrasi global,


(55)

maka profil Hizbut Tahrir ini dapat mudah diakses diberbagai media, baik internet, media cetak, televisi, maupun radio. Globalisasi dengan segala bentuk, ragam, serta dampaknya ternyata menjadi gerbang strategis bagi penyebaran pemikiran dan gagasan partai politik internasional ini.

Dapat dikatakan bahwa eksistensi Hizbut Tahrir dalam kancah perpolitikan di satu negara sangat tergantung kepada faktor situasi dan kondisi sistem pemerintahan lokal, kebijakan-kebijakan politik internasional, serta arus demokrasi. Misalnya saja Hizbut Tahrir sangat sulit berkembang di Arab Saudi, salah satu sebabnya karena pemerintahan Arab Saudi berada di bawah dominasi Wahabiyah-nya yang sangat kuat, sehingga dapat memasung segala gerakan yang kontra dengan pahamnya.. Atau betapa Hizbut Tahrir tak lepas dari perlakuan diskriminasi dan intimidasi di negara-negara Eropa ketika mencuatnya isu terrorisme misalnya. Dan terbukti setelah keran reformasi dibuka tahun 1998 di Indonesia Hizbut Tahrir dapat berkembang pesat khususnya ketika rezim otoritarian tumbang dan proses demokratisasi berlangsung. Eksistensi Hizbut Tahrir di Indonesia baru nampak jelas muncul kepermukaan pada era 1998 tersebut. Ini nampak pada berbagai aktivitas politik Hizbut Tahrir yang gencar dilakukan pasca reformasi tersebut.35

Adapun kegiatan Hizbut Tahrir terkait dengan wacana globalisasi dapat terlihat pada beberapa event seperti pada acara diiskusi yang membedah buku "Wajah Liberal Islam di Indonesia" yang diselenggarakan BEM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Aula Madya UIN, 30 September 2002. Pada event itu Ismail Yusanto sebagai Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia banyak

35

Lebih jelasnya lihat Hizbut Tahrir, Kaleidoskop Aktivitas Politik Dan Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI ), artikel diakses dari


(1)

Kita telah menjunjung tinggi khalifah sesuai dengan tradisi yang kita hormati. Kita menghormati khalifah, kita penuhi kebutuhan-kebutuhannya. Saya tambahkan bahwa di seluruh dunia Muslim hanya bangsa Turki-lah satu-satunya bangsa yang secara efektif menjamin kepenghidupan khalifah, mereka yang mengemukakan gagasan khalifah universal sebegitu jauh telah menolak untuk menerima sumbangan apapun , jadi apa sebenarnya yang mereka inginkan? Apakah mereka menghendaki agar hanya orang Turki yang memilkul beban lembaga ini.102

Kejengkelan Mustafa Kemal inilah salah satunya yang menjadi penyebab pada langkah berikutnya yaitu dihapuskannya kekhalifahan.

Demikianlah masa-masa kejayaan Islam di bawah pemerintahan Islam yang berbentuk Khilafah Islamiyah telah runtuh oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Namun banyak kalangan yang masih mengenang romantisme kejayaan Islam dimasa lalu itu , dan berusaha untuk mewujudkan kembali sistem tersebut dengan berbagai cara. Perwujudan keinginan yang sebatas pada tataran konseptual, kemudian terimplementasikan oleh sebagian kelompok islam kedalam bentuk berbagai pergerakan-pergerakan baik yang bersifat politik, sosial, kultur, maupun ekonomi. Namun tak jarang gerakan-gerakan kebangkitan ini mendapat tantangan, ancaman, bahkan intimidasi dari kekuasaan politik yang ingin memasung segala gerak langkah politik islam. Tantangan yang nyata tampak pada diri umat islam sendiri, maupun pihak Barat yang kini menguasai perpolitikan dunia.

102

Hamid Enayat, Modern Islamic Thought: The Respon of thr Syi’I and Sunni Muslim to the Twentieth Century (terj.)nAsep Hikmah, (Bandung: Pustaka, 1998), h. 82-83.


(2)

Lampiran 1

TRANSKRIP WAWANCARA

1. Apa makna globalisasi bagi Hizbut Tahrir?

Globalisasi dapat dimaknai sebagai sebuah perspektif perkembangan kehidupan masyarakat dunia yang berkembang tidak lepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam perspektif perkembangan itu, maka globalisasi adalah keniscayaan dan akan datang seiring dengan kemajuan.

2. Apakah Hizbut Tahrir adaptif dengan tema globalisasi ini?

Ya, Jika globalisasi dimaknai dalam perspektif perkembangan tadi. Sebenarnya Islam tidak pernah menutup diri dari kemajuan sains dan teknologi. Segala macam sains seperti kedokteran, teknik, matematika, astronomi, fisika, kimia, pertanian, industri, transportasi, komunikasi, ilmu kelautan, geografi, dan sebagainya pada dasarnya adalah boleh, bahkan harus dikuasai bila kemanfaatannya sangat diperlukan demi kemajuan material umat manusia. Sains semacam itu bersifat universal dan tidak terkait nilai (value free), sehingga boleh diambil dan diterapkan oleh umat Islam selama tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.

3. Jadi selain dimaknai sebagai sebuah perspektif perkembangan sains dan teknologi itu, adakah pemahaman yang lain?

Ya. Globalisasi merupakan upaya uniformitas yang mencakup fear, fun, food,

fashion, and faith. Ada upaya penyeragaman di segala bidang kehidupan

manusia. Dan hal itu sekarang yang sedang di lakoni negara-negara Adidaya-khususnya Amerika Serikat- terhadap negara-negara miskin di dunia,


(3)

khususnya negara-negara Islam. Dalam konteks tersebut Hizbut Tahrir menganggap globalisasi hanyalah istilah kosong yang tidak memberi kontribusi apa pun bagi dunia, khususnya dunia Islam, kecuali hanya memberi jalan bagi imperialisme itu sendiri untuk terus mencengkeram dan mengeksploitasi dunia demi nafsu serakahnya yang tidak pernah kenyang.

4. Apakah Hizbut Tahrir menentang globalisasi dalam konteks imperialisme tadi?

Ya jelas kami menolak dengan keras dan tegas.

5. Bagaimana wujud Imperialisme itu dalam globalisasi?

Sebenarnya globalisasi itu sendiri adalah alat untuk memperlancar imperialisme Barat terhadap Islam. Dalam agenda globalisasi yang dilakukan bukan hanya memaksakan sekularisme dalam kehidupan, Barat juga menjejalkan sekularisme dalam pemikiran. Dengan ganas, Barat menyebarkan pemikiran-pemikiran sekulistik destruktif ke tengah-tengah umat Islam seperti paham Pluralisme (Agama), Demokrasi, Pasar Bebas, Hak Asasi Manusia, Dialog Antar Agama, Feminisme, dan seterusnya. Kemudian karena Amerika mempunyai kekuatan ekonomi yang besar, mempunyai perusahaan multinasional dan transnasional yang paling banyak, Amerika pun memanfaatkan ’kedok’ peraturan yang dikeluarkan oleh WTO untuk kepentingan Amerika dalam rangka membuka pasar-pasar yang nyaris tertutup atau sulit diintegrasikan dalam perekonomian global terbuka seperti yang dikehendakinya. Penjajahan oleh IMF misalnya penjajahan dalam bentuk hutang.


(4)

6. Dalam pandangan Ulrich Beck, seorang sosiolog, globalisasi dapat berarti denasionalization, yang berarti bangkitnya organisasi-organisasi transnasional atau mungkin negara transnasional. Apakah globalisasi itu sendiri dapat dikatakan sebagai indikator kebangkitan khilafah islamiyah?

Pandangan Beck itu logis. Berkaca dari pengalaman empirik bahwa negara bangsa tidak dapat menjawab tantangan global. Ini lagi-lagi melihat fakta perkembangan itu. Hanya melalui kekuatan global, penjajahan global bisa dihadapi secara spadan. Itu lah realitas globalisasi. Selain itu pada perkembangannya globalisasi yang di usung Barat telah menunjukkan kegagalannya. Globalisasi malah menyebabkan kemiskinan global.

7. Apa dampak globalisasi ”Barat” itu bagi Umat Islam?

Krisis terbesar yang diderita oleh umat Islam akibat globalisasi tidak lain adalah krisis identitas umat Islam sebagai sebuah umat dimana mereka semestinya hidup di bawah naungan nilai-nilai Islam tapi kenyataannya tidak. Sekularisme yang dibawa serta oleh imperialisme itu telah memisahkan Islam dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara di mana umat Islam hidup di dalamnya. Umat Islam tidak lagi bisa melihat identitas terpenting mereka, yakni aqidah Islam, terwujud dalam kehidupan secara nyata. Aqidah Islam hanya bersemanyam dalam dada dan hanya sekali-kali saja muncul di permukaan kehidupan, misalnya saat kelahiran, kematian, pernikahan, atau saat melaksanakan ibadah shalat, haji, zakat atau saat peringatan hari besar Islam seperti Isra' Mir'aj, Maulid Nabi dan sebagainya. Semakin proses


(5)

sekularisasi itu berhasil, umat Islam semakin kehilangan identitasnya sebagai umat Islam, dan selanjutnya akan berganti identitas menjadi umat sekularis atau kapitalis. Seiring dengan itu, kemuliaan umat Islam sebagaimana disebut dalam al Qur'an pun hilang tak terwujud secara nyata.

8. Seperti apa gambaran kegagalan globalisasi itu?

Pemaparannya begini, globalisasi adalah agenda negara kapitalis yang telah terbukti tidak membawa kebaikan kepada dunia. Kegagalan ini wajar, karena semua agenda itu memang bukan bertujuan untuk memberikan kebaikan bagi dunia, melainkan bertujuan untuk menindas sesama manusia demi kepentingan bisnis pemilik modal. Maka, kapitalisme sesungguhnya telah gagal. Tapi, meski sisa-sisa kekuatannya mulai ’keropos’, ia masih cukup kuat untuk menindas dan menekan Dunia Islam, seperti nampak dalam tindakan Amerika Serikat pada apa yang mereka sebut perang melawan terorisme. Tapi dari hari ke hari dunia tidak semakin cinta kepada semua penindasan itu, sebaliknya semakin membenci dan muak.103

9. Jika demikian, bagaimana solusi yang ditawarkan Hizb untuk mengatasi kemelut globalisasi?

Seperti yang saya katakan, hanya melalui kekuatan global maka penjajahan global dapat diatasi secara spadan. Maka Khilafah Islamiyah adalah adalah satu-satunya solusi bagi kemelut globalisasi. Khilafah Islamiyah adalah sistem pemerintahan Islam yang paling sempurna, dan hukumnya memang wajib untuk diterapkan.

103


(6)

10. Khilafah Islamiyah adalah sistem pemerintahan Islam transnasional, apakah sama dengan organisasi-organisasi transnasional yang lain?

Tentu berbeda. Khilafah Islamiyah dasarnya adalah tauhid, tujuannya adalah demi kemaslahatan umat, dan menyebarkan dakwah Islam keseluruh dunia serta mengusung perdamaian umat vmanusia. Sedangkan organisasi-organisasi transnasional seperti transnasional corporation dasarnya adalah ideologi sekular. Kapitalisme, juga neo liberal, maka tujuannya adalah untuk mengeksploitasi, menyebarkan kerusakan dan perang.