3 Pengumuman Putusan Hakim
Sebenearnya tiap-tiap putusan dengan pintu terbukan dan secara umum. Tetapi kadang-kadang pembentuk undang-undang merasa perlu
supaya sampai luas diketahui umum. Ini melihat kepada sifat dari pada perbuatan pidananya. Inilah kegunaan pidana tambahan yang disebut di
atas. Undang-undang menentukan pada perbuatan-perbuatan pidana
manakah dapat dijatuhkan pidan tambahan ini. Biasanya ini dilakukan dengan melakukan Ikhtisar dari pada putusan itu dalam Surat kabar. Biaya
untuk palaksanaan pengumuman ini ditanggung oleh si terhukum.
24
B. Teori Pemidanaan
Teori-teori penidanaan dalam banyak literatur hukum disebut dengan teori hukum pidanastrafrecht-theorien berhubungan langsung denga pengertian hukum
pidana subjektif tersebut. Teori-teori ini mencari dan menerangkan tentang dasar dari hak Negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidan tersebut. Pertanyaan
seperti mengapa, apa dasarnya dan untuk apa pidana yang telah diancamkan itu dijatuhkan dan dijalankan, atau apakah alasan bahwa Negara dalam menjalankan
fungsi menjaga dan melindungi kepentingan hukum dengan cara melanggar kepentingan hukum dan hak pribadi orang, adalah pertanyaan-pertanyaan yang
mendasar yang menjadi pokok pembahasan dalam teori-teori pemidanaan ini. pertanyaan yang mendasar tersebut timbul berhubung dengan kenyataan bahwa
24
A. Fuad Usfa, Tongat, Pengantar Hukum PIdana. UMM Press. 2004. hlm 123-144
Universitas Sumatera Utara
dalam pelaksanaan hukum pidana subjektif itu berakibat diserangnya hak dan kepentingan hukum pribadi manusia tadi, yang justru dilindungi oleh hukum
pidana itu sendiri. Misalanya pejabat yang dijatuhi pidana penjara atau kurungan dan dijalankan, artinya hak atau kemerdekaan bergeraknya dirampas, atau dijatuhi
pidana mati dan kemudian dijalankan, artinya denga engaja membunuhnya. oleh karena itulah, hukum pidana objektif dapat disebut sebagai hukum sanksi
istimewa. Jelas kiranya pidana yang diancam dalam pasal 10 KUHP itu apabila telah
diterapkan, justru menerang kepentingan hukum dan hak pribadi manusia yang sebenarnya dilindungi oleh hukum. Tentulah hak menjalankan hukum pidana
subjektif ini sangat besar sehingga hanya boleh dimiliki oleh Negara saja. Mengenai Negara yang seharusnya memiliki hak ini tidak ada perbedaan
pendapat. Negara merupakan organisasi social tertinggi, yang bertugas dan berkewajiban menyelenggarakan dan mempertahankan tata tertibketertiban
masyarakat. Dalam rangka melaksanakan kewajiban dan tugas itu, maka wajar jika Negara melalui alat-alatnya deberi hak dan kewenangan untuk menjatuhkan
dan menjalanakan pidana. Ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini, namun
yang banyak itu dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan besar, yaitu : 1.
teori absolut atau teori pembalasan vergeldings theorien; 2.
teori relative atau teori tujuan doel theorien; 3.
teori gabungan vernegings theorien. 1.
Teori Absolut
Universitas Sumatera Utara
Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan pinderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Negara berhak
menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan penkosaan pada hak dan kepentingan hukum pribadi, masyarakat atau Negara
yang telah dilindungi. Oleh karena itu, ia harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan berupa kejahatan yang dilakukannya. Penjatuhan pidana yang
pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain. Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus
diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, tidak dilihat akibat-akibat apa yang dapat timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak memerhatikan masa depan, baik terhadap
diri penjahat maupun masyarakat. Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai suatu yang praktis, tetapi bermasud satu-satunya penderitaan bagi
penjahat.
25
Teori pembalasan ini bisa terbagi atas dua macam, yaitu :
26
1 Teori pembalasan yang objektif, yang berorientasi pada pemenuhan
kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat. Dalam hal ini tindakan si pembuat kejahatan harus dibalas dengan pidana yang
merupakan suatu bencana atau kerugian yang seimbang dengan kesengsaraan yang diakibatkan oleh si pembuat kejahatan.
2 Teori pembalasan yang subjektif, yang berorientasi pada penjahat.
Menurut teori ini kesalahan si pembuat kejahatanlah yang harus mendapat balasan. Apabila kerugian atau kesengsaraan yang besar
25
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum PIdana 1. Rajawali Pres. Jakarta. 2002. hlm. 157- 158
26
A. Fuad Usfa, Tongat,. Op Cit. hlm 145-148
Universitas Sumatera Utara
disebabkan oleh keslahan yang ringan, maka si pembuat kejahatan sudah seharusnya dijatuhi pidana yang ringan.
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan Doel Theorien
Oleh karena teori pembalasan kurang memuaskan, maka timbul teori relatif ini. Teori ini bertitik tolak pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk
menegakkan tata tertib dalam masyarakat. Yang menjadi tujuan adalah tata tertib masyarakat dan unutk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Menurut sifat
tujuannya teori ini dapat dibagi tiga macam, yaitu : 1
Bersifat menakut-nakuti afschrikking 2
Bersifat memperbaiki verbeteringreclasering 3
Bersifat membinasakan. Adapun menurut sifat pencegahannya ada dua macam yaitu :
a. Pencegahan umum generale preventie
b. Pencegahan khusus special prevetie
Teori relative atau teori tujuan yang tertua adalah teori pencegahan umum. Diantara teori pencegahan umum ini yang tertua adalah teori yang bersifat
menakut-nakuti. Menurut teori ini, bahwa untuk melindungi ketertiban umum masyarakat terhadap suatu tindak pidana maka pelaku yang tertangkap harus
dijadikan contoh dengan pidana yang sedemikian rupa sehingga semua orang menjadi taubat karenanya.
Sedangkan teori relative yang lebih modern dikenal dengan teori pencegahan khusus. Teori ini berpandangan bahwa tujuan dari pidana adalah
Universitas Sumatera Utara
untuk mencegah niat jahat dari si pelaku tindak pidana yang telah dijatuhi pidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi.
3. Teori Gabungan atau Teori Campuran
Apabila ada dua pendapat yang saling berhadapan biasanya ada suatu pendapat yang berada di tengah. Demikian juga dalam teori hukum pidana ini,
disamping adanya teori pembalasan dan teori tujuan ada pula teori ketiga yang disampingnya usur pembalasan vergelding juga mengakui unsure memperbaiki
pelaku. Teori ini dikenal dengan teori gabungan atau teori campuran atau vergeldings theorien.
4. Teori Pembinaan
Teori pembinaan lebih mengutamakan perhatiannya pada si pelaku tindak pidana, bukan pada tindak pidana yang telah dilakukan. pidana tidak didasarkan
pada berat ringannya tindak pidana yang dilakukan, melainkan harus didasarkan pada keperluan yang dibutuhkan untuk dapat memperbaiki si pelaku tindak
pidana. Menurut teori ini tujuan pidana untuk merubah tingkah laku dan
kepribadian sipelaku tindak pidana agar ia meninggalkan kebiasaan jelek yang bertentangan dengan norma hukum serta norma lainnya agar supaya ia lebih
cenderung untuk mengetahui norma yang berlaku. Dengan kata lain tujuan pidana adalah untuk memperbaiki pelaku tindak pidana.
Secara formal dalam Kitab undang-undang hukum pidana Indonesia tidak dijumpai aliran mana yang dianut, dalam hal ini aji mengemukakan, bahwa
Universitas Sumatera Utara
perundang-undangan sendiri dalam KUHP tidak memberikan suatu teori hukum pidana sebagai dasar pemidanaan, sehingga dapat dikatakan bahwa ia memberikan
kebebasan pada hakim teori manakah yang hendak digunakan dalam penetapan pidana. Ilmu hukum pun tidak memberikan peganang yang tetap, bahkan tidak
terdapat persesuaian padangan, teori manakah yang harus dijadikan landasan untuk menjatuhkan pidana untuk menetapkan straftoemetingnya, apakah
vergeldings, prevensi umum ataupun pengamanan dari masyarakat dapat dijadikan landasan bagi penjatuhan pidana.
5. Teori Restorative Justice
Saati ini ada Teori baru mengenai Pemidanaan anak dikenal dengan Teori Restorative Jastice. Teori ini memandang bahwa perlunya usaha yang tepat bagi
semua pihak yang terkait dan bersentuhan dengan tindak pidana yang terjadi untuk menanggulanginya. Proses penanggulangan anak pelaku tindak pidana
dilakukan secara penal dan non penal. Secara penal yaitu dengan penerapan sanksi pidana dan secara non penal dengan tindak diversi oleh aparat penegak hukum
dan peyelesaian di luar peradilan formal dengan Restorative Justice.
27
Konsep Restorative Jastice merupakan teori keadilan yang tumbuh dan berkembang dari pengalaman pelaksanaan pemidanaan di berbagai Negara dan
akar budaya masyarakat yang ada sebelumnya dalam menangani permasalahan criminal jauh lebih sebelum dilaksanakannya sistem peradilan pidana tradisional.
Konsep tersebut berkembang bersamaan dengan perkembangan zaman dari waktu ke waktu. Hal ini telah dikemukakan oleh orang-orang yang banyak membahas
27
Marlina. Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana. USU Press. Medan 2010. hlm 28
Universitas Sumatera Utara
permasalahan yang berhubungan dengan sistem peradilan pidana secara umum dan khusus meneliti masalah Restorative Jastice seperti Braithwaite Australia,
Elmar G.M. Weitekamp Belgia, Howard Zehr USA, Kathleen Daly Australia, Mark S. Umbreit USA, dan Robert Coates USA.
28
Praktek pelaksanaan victim offender mediation didapatkan perlakuan dan peran serta yang berbeda dengan peradilan tradisional. Perlakuan tersebut adalah
peran serta korban yang terlibat langsung dalam pembuatan kesepakatan hukuman, sehingga dapat menentukan hasil keputusan yang terjadi. Dalam proses
victim offender mediation bukan hanya korban yang terjadi focus peran, tapi pelaku juga dilibatkan secara langsung dan dapat berperan dalam perumusan
keputusan, sehingga terapresiasi secara nyata dan langsung. Para pengamat dan praktisi yang membahas tentang Restorative Jastice
menyimpulkan selama ini korban secara esensial tidak diikut setakan dalam proses peradilan pidana tradisional. Para korban hanya membutuhkan sebagai
saksi jika diperlukan, tapi dalam kebijakan pengambilan keputusan hanya dilakukan oleh hakim berdasarkan pemeriksaan selama proses pengadilan. Bagi
pelaku ketertiban meraka dalam persidangan selama proses pengadilan. Bagi pelaku ketertiban mereka dalam pengadilan hanya bersifat pasif saja, kebanyakan
peran dan pertisipasi mereka diwakili dan disuarakan oleh pihak pengacaranya.
29
28
Ibid. hlm 30
29
Ibid, hlm 31
Universitas Sumatera Utara
Berikut beberapa prinsip yang terkait dalam konsep Restorative Jastice yang timbul dalam draft Declaration of Basic Principle on The of Restorative
Jastice Programmer in Criminal Matters.
30
1 Program Restorative Jastice berarti beberapa program yang menggunakan
proses Restorative Jastice atau mempunyai maksud mencapai hasil Restorative Restorative outcome.
2 Restorative outcome adalah sebuah kesepakatan yang dicapai sebagai hasil
dari proses Restorative Jastice. Contoh : restitution, community sevice dan program yang bermaksud memperbaiki korban dan masyarakat dan
mengembalikan korban danatau pelaku. 3
Restorative process dalam hal ini adalah suatu proses dimana korban, pelaku dan masyarakat yang diakibatkan oleh kejahatan berpartisipasi aktif
bersama-sama dalam membuat penyelesaian masalah kejahatan dan di campuri oleh pihak ketiga. Contoh proses restorative mediation,
conferencing dan circles. 4
Parties dalam hal ini adalah korban, pelaku individu lain atau anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh kejahatan yang dilibatkan dalam
program Restorative Jastice. 5
Facilitator dalam hal ini adalah pihak ketiga yang menjalankan fungsi memfasilitasi partisipasi keikut sertaan korban, pelaku dalam pertemuan.
Menurut pandangan konsep Restorative Jastice penanganan kejahatan yang terjadi bukan hanya menjadi tanggung jawab Negara akan tetapi juga
30
Ibid, halm 37
Universitas Sumatera Utara
merupakan tanggung jawab masyarakata. Oleh karena itu konsep Restorative Jastice dibangaun berdasarkan pengertian bahwa kejahatan yang telah
menimbulkan kerugian harus dipulihkan kembali baik kerugian yang diderita oleh korban maupun kerugian yang ditanggung oleh masyarakat.
Terhadap pandangan konsep Restorative Jastice banyak para ahli menyebutkan sebagai paradigm baru dalam pola berfikir menanggapi tindak
pidana yang terjadi. Dalam pelaksanaannya konsep Restorative Jastice member banyak kesempatan kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam penyelesaian
masalah kriminal. Konsep Restorative Jastice menjadi suatu kerangka berfikir dalam upaya penyelesaian terhadap kasus tindak pidana yang terjadi. Alternatif
penyelesaian yang dilakukan sebagai sebuah upaya peyelesaian yang menciptakan keadilan yang berperikemanusiaan.
31
C. Sanksi Pidana Terhadap Anak Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak