Tentang Peredaran narkotika di Gunungsitoli

BAB II FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PEREDARAN NARKOTIKA DI

KOTA GUNUNGSITOLI

A. Tentang Peredaran narkotika di Gunungsitoli

Seorang yang ada tanda – tanda menjadi pecandu narkoba, sebaiknya cepat – cepat dilakukan usaha- usaha yang maksimal, dengan kata lain deteksi dini sangatlah berguna. Makin cepat seseorang pecandu berobat, tentu makin cepat waktu pemulihannya. Kendalanya justru dekteksi dini. Ketika baru berkenalan dengan narkoba dan pasokannya cukup, gejala – gejala khasnya belum terlihat. Gejala- gejala tersebut baru kelihatan jika pemakai sudah lama menggunakan belum terjadi apa yang di sebut putus obat atau tersedatnya pasokan narkoba. Maka tak heran jika lingkugan keluarga baru mengetahui korbanpemakai narkoba sudah memakainya narkoba selama dua tahun. Deteksi dini untuk menolong pemakai narkoba untuk tidak sampai tahap yang lebih lanjut, yaitu tahap ketergantugan. Dari perubahan perilaku pemakai narkoba bisa dipakai sebagai alat deteksi secara dini. Misalnya prestasi belajar menurun, pola tidur berubah yakni pagi sulit dibangunkan, malam suka tidur malam secara malam, selera makan rendah, enggan kontak mata atau menghindari dari pertemuan dengan anggota keluarga lainnya sering bersikap kasar, suka berbohong, suka membantah, berani mencuri, berbicara pelokelat dan jalanya sempoyongan. Selain itu ada perubahan kebiasaan yang biasanya penuh perhatian terhadap orang tua atau orang dekatnya menjadi acuh tak acuh. Anak suka berlama – lama di WC atau kamar mandi. Karena pemakai narkoba membutuhkan tempat-tempat tersembuyi. Gejala spesifik baru kelihatan jika kelihatan jika mereka putus obat. Badanya akan terasa sakit, gelisah, kedinginan, menceret atau mual. Jika pasokan narkoba berjalan lancar, Universitas Sumatera Utara keanehan baru terlihat selama dua tahun. Efek setiap narkoba berbeda-beda. Seorang yang sudah terlanjur menjadi pecandu narkoba, akibat yang harus di tanggung olehnya sangat komplek. Penyembuhan terhadap dirinya tidak hanya sekedar menghentikan ketergantugan terhadap narkoba. Disamping meliputi terapi komplikasi medik, juga perlu dilakukan rehabilitasi sosial, mental dan emosional, endukasional, spiritual, intelektual dan survival skill yang dimiliki pecandu. Pendek kata untuk merehabilitasi seseorang yang terlajur menjadi pecandu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Tahap ini merupakan pembinaan khusus setelah pemakai narkoba keluar dari panti rehabilitasi perawatan. Hal ini perlu kerja sama antara orang tua, perkerja sosial dan lingkugan dimana pemakai narkoba tinggal. Terapi terhadap kasus penyalagunaan narkoba, dalm kejahatan di bidang psikotropika ada persoalan siapa yang menjadi korban dari kejahatan tersebut. Masalah korban kejahatan dapat menjadi penting dalam suatu perkara pidana, karena korban dapat menjadi saksi didepan persidangan pengadilan, untuk memberi keterangan apa saja yang dialami sendiri, korban kejahatan adalah orang yang mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, karena ia yang memperoleh akibat langsung dari peristiwa tersebut berupa penderitaan fisik atau kerugiaan harta benda. Oleh karena itu pasal 160 ayat 1 huruf KUHAP menetapkan, yang pertama didengar keterangannya di persidagan adalah korban yang menjadi saksi. Meskipun demikian tidak semua korban melihat kejadiannya, ada kemungkinan pada waktu kejadian berlangsung korban berada di tempat lain, seperti dalam peristiwa pencurian pada waktu kejadian teryata korban tidak ada dirumahnya karena sedang pergi ke luar kota. Bagaimana halnya dengan korban kejahatan di bidang psikotropika ada sementara orang yang mengatakan korban kejahatan ini tidak ada. Apakah benar pendapat ini, karena masih perlu dicari adakah orang yang menderita atau pihak yang merasa dirugikan akibat kejahatan tersebut. Universitas Sumatera Utara Untuk itu kiranya perlu diperhatikan kembali dari pembahasan yang lalu, bahwa di bidang psikotropika teerdapat kejahatan yang menyangkut produksi , peredaraan , ekspor dan impor, transito. Kejahatan – kejahatan seperti itu jelas ada pihak yang dirugikan, dalam hal ini adalah negara karena tidak membayar pajak, otomatis mengurangi pemasuakan keungan negara. Kemudian masih ada kejahatan di bidang psikotropika yang menyangkut label dan kemasan, pengobatan dan rehabilitasi, disini yang menjadi korban adalah pasien adapun kejahatan yang berbentuk penyalgunaan atau pemakain psikotropika adalah pelakunya sendiri. Pelaku sekaligus menjadi korban kejahatan. Oleh karena dalam pekara psikotropika yang kasusnya menyangkut persoalan pemilikan maupun penggunaan psikotropika, yang didengar keterangannya sebagai saksi pertama di persindangan buku korban, pada umumnya petugas yang melakukan penangkapan, karena korban adalah yang menjadi terdakwa. Salah satu perbuatan dalm tindak pidana di bidang psikotropika adalah kejahatan dilakukan secara terorganisasi. Hal ini diatur dalam pasal 59 ayat 2 undang – undang psikotropika yang merupakan unsur terpenting untuk dapat mengenakan hukuman terhadap dan terbatas kepada perbuatan – perbuatan menggunakan, memproduksi mengedarkan, maupun tanpa hak memiliki, menyimpan atau membawa psikotropika golongan I tersebut. Meskipun demikian untuk mengatakan bahwa kejahatan itu dilakukan secara terorganisasi tampaknya memang tidak mudah. Karena yang disebut terorganisasi ternyata di dalam undang – undang psikotropika tidak ada pengertian, sehingga mempengaruhi penerapan pasal 59 ayat 2 undang – undang tersebut. Undang – undang narkotika ternyata telah memberikan batasan terorganisasi, sebagaimana disebutkan dalam penjelasan pasal 78 ayat 3 menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan dilakukan secara Universitas Sumatera Utara terorganisasi adalah Tindak Pidana Narkotika tersebut dilakukan oleh sekelompok orang, secara rapi, tertib, dan rahasia serta mempunyai jaringan nasional dan internasional. Pengertian terorganisasi sangat jelas dan mudah diterapkan dalam pelaksanaanya. Dengan adanya pengertian tersebut maka tidak akan kesulitan jika terjadi pelanggaran undang – undang narkotika untuk menentukan apakah tindak pidana itu dilakukan secara terorganisasi atau tidak, sehingga terdapat kepastian hukum. Undang – undang psikotropika lahirnya lebih dulu daripada undang – undang narkotika karena undang – undang psikotropika diundangkan pada tanggal 11 maret 1997 sedangkan undang – undang narkotika diundangkan pada tanggal 1 september 1997. Tetapi tampakanya para pembentuk undang – undang lupa memberi penjelasan tentang perbuatan terorganisasi dalam undang – undang psikotropika, padahal kedua undang – undang tersebut pembentuknya merupakan satu paket karena keduanya mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin menanggulangi penyalahgunaan segala bentuk obat – obatan yang akan merusak diri seeorang. Untuk dapat menerapakan pasal 59 ayat 2 undang – undang psikotropika memang perlu batasan yang jelas tentang perbuatan terorganisasi, supaya hakim tidak keliru menerapkan hukum adalah dalam menjalankan tugasnya ketika mengadili perkara kejahatan psikotropika. Perkara pidana pelanggaran undang – undang psikotropika yang pernah diadili di pengadilan negeri tangerang tahun 2003, antara lain perkara ang kim soei yang didakwa melakukan perbuatan memproduksi dan mengedarkan ekstasi secara terorganisasi. Perkara ini ternyata telah menggunakan batasan terorganisasi di dalam pertimbagan putusannya dengan meminjam batasan terorganisasi di dalam undang – undang narkotika, dengan alasan undang – undang psikotropika dan undang – undang narkotika mempunyai maksud dan tujuan yang sama. Universitas Sumatera Utara Sehingga tidak alasan untuk tidak menghukum walaupun undang – undang psikotropika tidak memberi penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan perbuatan terorganisasi. Dalam tingkat banding maupun tingkat kasasi, ternyata masalah pertimbangan tentang batasan terorganisasi tidak dipersoalkan oleh pengadilan tinggi dan mahkamah agung. Meskipun ini merupakan putusan pengadilan pengadilan, bukan berarti masalah batasan itu merupakan persoalan yang selesai begitu aja karena sudah ada didalam praktik. Hakim memang mempunyai kewenangan untuk mengisi kekosongan hukum apabila dalam undang – undang ketentuannya tidak jelas, tetapi putusan hakim hanya mengikat pihak yang diadili saja. Putusan hakim di negara kita tidak mengikat kepada hakim lain, karena walaupun kasusnya sama belum tentu mempunyai pertimbangan sama dengan putusan – putusan yang lebih dahulu dijatuhkan. Suatu saat, apabila undang – undang psikotropika ini mengalami perubahan atau diganti, kiranya pembentuk undang –undang dapat lebih teliti dalam memberikan pengertian terhadap istilah yang tergolong sangat penting dalam hubunganya dengan penjatuhan hukuman. Dalam KUHP penjatuhan dua hukuman pokok tidak dimungkinkan, sehingga tidak ada hukuman yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan pidana denda, atau pidana seumur hidup dan pidana penjara KUHP hanya menghendaki salah satu hukuman pokok saja. Berbeda dengan kejahatan – kejahatan di luar KUHP, sebagi tindak pidana khusus, hakim diperbolehkan untuk menghukum dua pidana pokok sekaligus, pada umumnya hukuman badan pidana denda. Hukuman badan berupa pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara. Tujuanya agar pemindanaan itu memberatkan pelakunya supaya kejahatan dapat ditanggulangi di masyarakat, karena tindak pidana di luar KUHP sifatnya sangat membahayakan kepentingan bangsa dan negara. Undang – undang psikotropika memang mengatur hukuman kumulatif, sehingga hakim berwenang menjatuhkan dua hukuman pokok yang berupa hukuman Universitas Sumatera Utara pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara dan pidana denda. Sebagaimana telah diketahui dalam bab 1 diatas, bahwa penyalagunaan psikotropika berakibat rusak masyarakat, bangsa dan negara indonesia. Ketentuan yang menyangkut penjatuhan hukuman kumulatif tersebut terdapat pada pasal 59 ayat 2 undang – undang psikotropika dengan syarat kejahatan itu dilakukan secara terorganisasi pada perbuatan memproduksi, mengedarkan, menggunakan, mengimpor, maupun tanpa hak memiliki, menyimpan, membawa psikotropika golongan 1. Dalam pasal 59 ayat 2 tersebut telah ditentukan antara pidana badan dengan pidana denda terdapat kata dan sehingga bagi hakim tidak ada alasan untuk menjatuhkan salah satu hukuman saja, harus kedua – keduanya hakim terikat pada ketentuan tersebut untuk melasanakannya pada pekara yang ditanganinya. Permasalahnya apabila seorang terdakwa dalam perkara psikotropika dihukum dengan pidana mati, apakah masih mungkin dijatuhi pidana denda ada seorang jaksa penuntut umum pernah mempertanyakan, bagaimana eksekusi pidana denda kalau terdakwa telah di hukum mati. Dengan kata lain bagaimana mungkin terdakwa yang sudah mati harus ditagih untuk membayar denda untuk pemindanaanya tentu tidak ada masalah, berdasarkan pasal 59 ayat 2 tersebut hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana mati dan pidana denda. Sedangkan mengenai pelaksanaanya harus dipertimbangkan bahwa sebaiknya jangan dulu eksekusi pidana mati baru eksekusi pidana denda, akan tetapi eksekusi pidana denda kemudian eksekusi pidana mati, supaya pidana denda dapat dibayar oleh terpidana. Pada umunya pidana denda diberi alternatif oleh hakim sesuai KUHP, apabila pidana denda itu tidak dibayar oleh terpidana maka diganti dengan pidana kurungan paling lama enam bulan. Dalam prkatiknya hal tersebut ternyata berpengaruh, kejaksaan selaku pelaksana putusan Universitas Sumatera Utara hakim dalam mengeksekusi pidana denda hanya bertanya kepada terpidana tentang kesanggupan memenuhi keputusan. Apabila tidak sanggup membayar atau menolak membayar, tinggal mengganti dengan memasukan terpidana kurungan. Kebanyakan para terpidana lebih memiliki pidana kurungan daripada membayar denda. Dengan memilih masuk kurungan, menganggap denda yang wajib dibayar sudah lunas, padahal besarnya denda puluhan juta, ratusan juta atau bahkana miliaran rupiah. Apabila dikaji kembali, maksud dan tujuan penjatuhan pidana denda adalah untuk bukan sekedar untuk dinganti dengan kurungan. Seharusnya pihak eksekutor dalam melakukan eksekusi pidana denda bersikap gigih agar terpidana bersedia membayar. Kejaksaan perlu menyelidiki harta kekayaan yang dimiliki oleh terpidana, kalau terpidana memang mempunyai harta untuk dapat digunakan sebagai pembayaran pidana denda, mengapa dengan menolak membayar harus dikurung, bukankah terpidana disuruh menjual dulu harta kekayaannya. Pidana denda bila dibayar merupakan pemasukan negara. Apabila para terpidana yang dihukum pidana denda mau membayar, akan banyak pemasukan negara dari hukuman pidana tersebut. Dalam hukuman acara pidana KUHP memang terdapat kelemahan dalam mengeksekusi pidana denda karena apabila terpidana menolak membayar pidana denda, kejaksanaan tidak dapat berbuat apa – apa kecuali mengganti dengan pidana kurungan. Kelemahan KUHP terletak pada tidak dikenalnya sita eksekusi dalam perkara pidana. Kejaksanaan tidak memiliki wewenang untuk melakukan sita meskipun hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa untuk membayar sejumlah uang. Sita setelah adanya putusan hakim tidak ada. Sita hanya dikenal pada waktu tingkat penyidikan, yang tujuanya untuk memperoleh barang bukti saja. Sedangkan sita tidak pernah diperhitungkan. Sebagai undang- undang khusus, ternyata undang-undang psikotropika juga tidak mengenal sita eksekusi. Satu- Universitas Sumatera Utara satunya undang-undang tindak pidana korupsi yang baru. Hak oportunitas memang memiliki oleh jaksa agung, namun selama ini hanya untuk mendeponeer perkara saja karena adan hubungannya dengan kepetingan negera. Sebenarnya hak oportunitas tersebut di perluas bukan hanya deponeer perkara saja, melainkan wewenang pada saat selesai perkara atau setelah ada putusan hakim, misalnya hak oportunitas yang menyangkut pembayaran pidana denda. Karena undang-undang tidak mengatur sita eksekusi, berdasarkan hak oportunitas hemat kami jaksa agung dapat memerintah bawahanya untuk melakukan sita eksekusi guna pembayaran pidana denda. Tentu tindakan jaksa agung tersebut dapat dipertanggung jawabkan kepada hukum, karena untuk kepetingan negara. Kembali kepada masalah semula tentang hukuman kumulatif pidana mati dan pidana mati dan pidana denda. Dalam perkara pidana psikotropika dengan terdakwa hanya dijatuhi hukuman pidana mati saja tanpa pidana denda meskipun terbukti melakukan penggaran pasal 59 ayat 2 undang-undang psikotropika dengan pertimbagan karena sudah dipidana mati sehingga tidak perlu lagi ada hukuman denda. Di tingkat banding maupun tingkat kasasi terdakwa tersebut dihukum secara kumulatif, dengan pidana mati dan pidana denda sejalan dengan ketentuan pasal tersebut.

B. Teori-teori penyebab terjadinya Kejahatan

Dokumen yang terkait

Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anak Di Bawah Umur Dan Penerapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan No:770/Pid.Su

1 85 157

Analisis Pembatasan Kriminologi Tentang Pembatasan Tindak Pidana Narkotika Yang Di Lakukan Oleh Mahasiswa Oleh Kepolsiaan Di Kota Gunung Sitoli

0 58 69

Disparitas Penjatuhan Pidana Oleh Hakim Terhadap Kasus-Kasus Narkotika Di Pengadilan Negeri Medan Disparity of Sentences by Judge Over the Narcotic Cases at Civil Court Medan

0 13 213

Analisis Yuridis Tndak Pidana Narkotika Yang dilakukan oleh Anak

19 195 122

TINJAUAN ETIOLOGI KRIMINAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH MAHASISWA DI KABUPATEN SLEMAN

1 59 115

TINJAUAN ETIOLOGI KRIMINAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH MAHASISWA DI KABUPATEN SLEMAN

2 21 101

SKRIPSI Penegakan Hukum Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anggota Kepolisian (Study Kasus di Wilayah Hukum Boyolali).

0 2 13

PENDAHULUAN Penegakan Hukum Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anggota Kepolisian (Study Kasus di Wilayah Hukum Boyolali).

0 4 17

PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA KEPOLISIAN Penegakan Hukum Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anggota Kepolisian (Study Kasus di Wilayah Hukum Boyolali).

0 2 22

TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI KOTA MAKASSAR

1 6 104