Kepentingan Indonesia Dalam Konvensi Asean Tentang Pemberantasan Terorisme (Asean Convention On Counter Terrorism)

(1)

KEPENTINGAN INDONESIA DALAM KONVENSI ASEAN TENTANG PEMBERANTASAN TERORISME

(ASEAN CONVENTION ON COUNTER TERRORISM)

Disusun Oleh:

VASPERTON SINAMBELA 080906032

Dosen Pembimbing : Dr. Heri Kusmanto, MA

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh

Nama : Vasperton Sinambela

NIM : 080906032

Departemen : Ilmu Politik

Judul :Kepentingan Indonesia dalam Konvensi ASEAN tentang

Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention on Counter

Terrorism)

Medan, September 2014

Menyetujui:

Ketua Departemen Ilmu Politik, Dosen Pembimbing

(Dra. T. Irmayani, M. Si) (

NIP. 196806301994032001 NIP. 196410061998031002

Dr. Heri Kusmanto, MA)

Dekan FISIP USU

NIP. 196805251992031002 (Prof. Dr. Badaruddin, M. Si)


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

VASPERTON SINAMBELA (080906032)

KEPENTINGAN INDONESIA DALAM KONVENSI ASEAN TENTANG

PEMBERANTASAN TERORISME (ASEAN CONVENTION ON COUNTER

TERRORISM).

Rincian isi skripsi xiv, 160 halaman, 3 tabel, 5 gambar, 1 diagram, 1 grafik, 27 buku,15 jurnal, 1 makalah, 1 tesis, 4 laporan penelitian, 5 undang-undang dan peraturan, 1 konvensi, 1 majalah, 6 situs internet dengan berbagai berita, laporan dan artikel, 1 notulensi rapat (Kisaran buku dari tahun 1980-2013)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menjelaskan kebijakan pemerintah Indonesia untuk memberantas terorisme di dalam negeri dengan menandatangani serta meratifikasi

Konvensi ASEAN Tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention on

Counter Terrorism) menjadi undang-undang dalam negeri terkait pemberantasan terorisme yaitu Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 2012. ASEAN Convention on Counter Terrorism merupakan kerangka kerja sama antara negara-negara ASEAN untuk memberantas terorisme di Asia Tenggara. Terorisme merupakan salah satu kejahatan lintas batas yang mengganggu stabilitas keamanan sebuah negara dan kawasan. Asia Tenggara disebut sebagai daerah kedua dalam perang melawan terorisme, oleh karena itu negara-negara di Asia Tenggara harus membentuk kerja sama keamanan dalam memberantas terorisme. Indonesia merupakan pencetus utama dibentuknya konvensi ASEAN tentang pemberantasan terorisme. Kebijakan pemerintah Indonesia untuk meratifikasi konvensi tersebut berdasarkan adanya kepentingan nasional Indonesia yang akan terpenuhi melalui kerja sama keamanan tersebut. Sehingga penelitian ini mencoba menjelaskan bagaimana kepentingan Indonesia dalam konvensi ASEAN tentang pemberantasan terorisme?

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori kepentingan nasional Paul Seabury dan Donald E. Nuechterlin. Teori komunitas keamanan Karl W Deutsch, dan juga tentang pengertian terorisme. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan dengan menggunkan metode penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu buku-buku, perundang-undangan,artikel, jurnal, laporan penelitian ataupun majalah yang berkaitan dengan penelitian ini kemudian ditelaah dengan teknik analisa kualitatif.


(4)

Setelah dilakukan analisis, kebijakan pemerintah Indonesia dalam Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme memuat beberapa kepentingan. Kepentingan-kepentingan nasional Indonesia tersebut sejalan dengan kepentingan nasional negara-negara yang tergabung dalam ASEAN. Mengingat banyaknya aksi terorisme dan jaringan teroris di kawasan Asia Tenggara yang menjadikan Indonesia sebagai daerah target operasi maka hal ini menjadi alasan utama Indonesia sebagai pencetus terbentuknya konvensi ASEAN tentang pemberantasan terorisme, saat ini konvensi ASEAN tentang pemberantasan terorisme telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 2012, ratifikasi konvensi ini sejalan dengan Undang-Undang pemberantasan terorisme lainnya yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia. Kata Kunci :


(5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

VASPERTON SINAMBELA (080906032)

INDONESIA’S INTEREST IN ASEAN CONVENTION ON COUNTER TERRORISM

Content: xiv, 160 pages, 3 tables, 5 images, 1 diagram, 1 chart, 27 books, 15 journals, 1 paper, 1 thesis, graphics, 25 books, 4 research reports, 5 regulation legislation, 1 convention, 1 magazine, 6 websites with variety news and, report, and articles. 1 minutes of meetings. (publication from 1980-2013).

ABSTRACT

This research tries to explain the Indonesian government’s policy to combat terrorism in the country by signing and ratifying The ASEAN Convention on Counter Terrorism become domestic legislation namely Act No. 5 of 2012. The ASEAN Convention on Counter Terrorism is the framework of the cooperation among the ASEAN countries to fight terrorism in Southeast Asia. Terrorism is a transnational crime destabilizing the security of a country and region. Southeast Asia is referred to as the second front to fight against terrorism, therefore the counties in Southeast Asia should establish security cooperation on combating terrorism. Indonesia was the main originator to establishment ASEAN Convention on Counter Terrorism. The policy of the Indonesian government to ratify the convention based on the presence of the Indonesia national interests will be met through the security cooperation. Therefore, this research tries to explain how the interest of Indonesia in ASEAN Convention on Counter Terrorism?

The theories which are used to explain the problems are taken from “The Theory of National Interest by Paul Seadbury and Donald E. Nuechterlin, Security Community by Karl W. Deutsch, and also use definition of terrorism. This research was a literature kind model of research which is use descriptions mtehods. Data collecting technique in this study used secondary data such as books, legislation, articles, journals, magazines or research report related to this study, and then analyzed with qualitative analisys techniques.

After analyzed, the Indonesian government’s policies in ASEAN Convention on Counter Terrorism contain some interests. Indonesia national interest are in line with the national interests of another countries that are members of ASEAN. Given the large number of terrorism acts and the terrorist network in Southeast Asia which made Indonesia as the main operation target,


(6)

because Indonesia as the main target of he terrorist, that is become the main reason why Indonesia become the main originator to build ASEAN Convention on Counter Terrorism, that had been ratified by Indonesian government as Act No. 5 of 2012. The ratification of this convention is in line with the other legislation on counter terrorism that has been made by Indonesian government. Key word: Indonesian national interest, security cooperation, convention, terrorism


(7)

Karya ini dipersembahkan untuk Ibunda Tercinta dan Ayahanda Tercinta


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan hikmat, kekuatan, dan kemampuan dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dengan keyakinan iman, tiada daya dan upaya untuk menggapai cita-cita tanpa penyertaan dan berkat dari Tuhan. Ada banyak tantangan yang dihadapi peneliti dalam proses penyelesaian skripsi ini, akan tetapi Tuhan tetap menyertai dan memampukan untuk menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul “Kepentingan Indonesia dalam Konvensi ASEAN

tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention on Counter Terrorism)”.

Skripsi ini menjelaskan tentang adanya kepentingan nasional dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam hubungan internasional, seperti halnya kebijakan pemerintah Indonesia untuk menandatangani serta meratifikasi konvensi ASEAN tentang pemberantasan terorisme adalah untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia yang terganggu akibat isu terorisme yang berkembang di dalam negeri dan kawasan regional di Asia Tenggara. Konvensi ini dijadikan sebagai kerangka kerja sama keamanan kawasan bagi negara-negara anggota ASEAN, kerja sama keamanan tersebut juga sebagai wujud nyata dari keinginan negara-negara anggota ASEAN sebagai Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community).

Proses penyelesaian skripsi ini dapat terlaksana dengan baik karena banyak pihak yang turut mendukung. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin. M. Si, sebagai Dekan FISIP USU. Kepada Ibu Dra. T. Irmayani, M. Si sebagai Ketua Departemen Ilmu Politik yang sudah mendukung dan memberikan kesempatan bagi peneliti dalam meneliti persoalan dalam skripsi ini.

Peneliti juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Heri Kusmanto, MA selaku Dosen Pembimbing yang senantiasa memberikan waktu, arahan, dan nasehat serta membantu penulis dalam menambah referensi penulisan skripsi ini. Peneliti tidak lupa juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dra. Evi Novida Ginting, M. Sp selaku Dosen Penasihat Akademik penulis yang selama ini membimbing penulis dalam proses perkuliahan dari awal masuk sebagai mahasiswa departemen ilmu politik sampai menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi ini. Selanjutnya peneliti mengucapkan terimakasih kepada seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Politik, FISIP USU yang selama ini telah


(9)

menjadi pengampu ilmu bagi penulis. Semoga seluruh ilmu yang telah penulis peroleh melalui perkuliahan tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat, negara, dan kemanusiaan.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis juga selalu didukung oleh orang tua

penulis, Sahat Sinambela, S.Pd dan Pianna Lumban Gaol, keduanya menjadi motivasi bagi penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan dan menggapai

cita-cita. Nenek(Opung Boru), Kak Ani dan Lae Doan (Mak/Pak Citra), Kak Vivi,

Kak Itto, dan Bang Ara serta keponakan-keponakan saya (Citra, Dian, Eka) saya ucapkan terimakasih buat doa dan dukungannya selama ini. Skripsi ini saya persembahkan untuk kalian.

Terakhir saya ucapkan terimakasih kepada sahabat saya Zulfan Harapanta Sembiring, Stefanus, Benny Hasugian dan sahabat-sahabat lainnya serta rekan-rekan mahasiswa Departemen Ilmu Politik, terkhusus Mahasiswa Ilmu Politik Stambuk 2008, dan rekan-rekan lainnya yang telah berinteraksi dengan saya dan berbagi pengalaman serta berbagi ilmu dengan penulis.

Medan, 17 Agustus 2014


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ... i

Halaman Persetujuan ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Abstrak ... iv

Abstract ... vi

Lembar Persembahan ... viii

Kata Pengantar ... ix

Daftar Isi ... xi

Daftar Diagram, Gambar, Grafik, dan Tabel ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ... ... 1

1.2Perumusan Masalah ... .... 13

1.3Pertanyaan Penelitian dan Pembatasan Masalah 1.3.1 Pertanyaan Penelitian ... .... 16

1.3.2 Pembatasan Masalah ... .... 16

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian ... .... 17

1.4.2 Manfaat Penelitian ... .... 17

1.5Kerangka Teori... .... 18

1.5.1 Teori Hubungan Internasional ... .... 18

1.5.2 Politik Luar Negeri ... .... 22

1.5.3 Kepentingan Nasional ... .... 25

1.5.4 Komunitas Keamanan ... .... 29

1.5.5 Terorisme ... .... 31

1.6Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian ... .... 35


(11)

1.6.3 Teknik Analisis Data ... .... 37

1.7Sistematika Penulisan ... .... 38

BAB II Perkembangan Terorisme di Asia Tenggara dan Terbentuknya Konvensi Asean Tentang Pemberantasan Terorisme 2.1. Perkembangan Terorisme di Asia Tenggara ... .... 40

2.1.1. Terorisme di Filipina ... .... 48

2.1.1.1. MILF (Moro Islamic Liberation Front) dan MNLF (Moro National Liberation Front) ... .... 50

2.1.1.2. Abu Sayyaf Group ... .... 55

2.1.1.3.The Philippine Communist Party (Partai Komunis Filipina) ... .... 58

2.1.2. Terorisme di Malaysia ... .... 61

2.1.3. Terorisme di Singapura ... .... 64

2.1.4. Terorisme di Thailand ... .... 68

2.1.5. Perkembangan Terorisme di Indonesia ... .... 72

2.2. Terbentuknya Konvensi ASEAN Tentang Pemberantasan Terorisme .. .... 83

BAB III Kepentingan Nasional Indonesia dalam Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention on Counter Terrorism) 3.1. Kepentingan Nasional Indonesia dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Pembukaan/Preambule UUD 1945) ... .... 90

3.2.Kebijakan Keamanan Indonesia dalam Pemberantasan Terorisme ... .... 94

3.2.1. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 ... .... 96

3.2.2. Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 ... .... 99

3.2.3. Undang-Undang No. 5 Tahun 2012 ... .. 100

3.2.4. Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 ... .. 103

3.2.5. BNPT dan Detasemen Khusus 88 sebagai Ujung Tombak Penanggulangan Terorisme di Indonesia ... .. 104

3.3. Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention On Counter Terrorism) 3.3.1. ASEAN sebagai Komunitas Keamanan ... .. 107

3.3.2. Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention on Counter Terrorism) sebagai wujud kerjasama Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community) .. .. 111

3.4.Kepentingan Nasional Indonesia dalam Konvensi ASEAN Tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention On Counter Terrorism) .. 121


(12)

3.4.1. Menjaga Keamanan Nasional dan Integritas Teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ... .. 125

3.4.2. Menunjukkan Indonesia Sebagai Negara Anti Terorime dalam Dunia

Internasional ... .. 129

3.4.3. Komitmen Indonesia dalam Menjunjung Tinggi HAM ... .. 137

3.4.4. Menjaga Kerukunan Antar Umat Beragama, Peradaban dan Etnis di

Indonesia dan Kawasan Regional ... .. 142

BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan ... .. 148 4.2. Saran ... .. 152

Daftar Pustaka ... .. 155 Daftar Lampiran:

Lampiran 1. Konvensi ASEAN Pemberantasan Terorisme (terjemahan ASEAN Convention on Counter Terrorisme dalam Bahasa Indonesia) Lampiran 2. Undang-Undang No. 5 Tahun 2012


(13)

DAFTAR DIAGRAM

Halaman

Diagram 2.1 Terorisme Pada saat Perang Dingin, Setelah Perang

Dingin dan Setelah Tragedi 11 September 2001 ... 45

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Peta Filipina ... 60

Gambar 2.2 Peta Malaysia dan Singapura ... 67

Gambar 2.3 Peta Thailand ... 72

Gambar 2.4 Struktur Regenerasi Terorisme di Indonesia ... 75

Gambar 2.5 Pembagian Wilayah Mantiqi JI ... 77

DAFTAR GRAFIK Halaman Grafik 3.1 Grafik Peningkatan Dan Penurunan Serangan Terorisme Dalam Data GTI ... 134

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 3.1 Daftar Peringkat Negara yang Terkena Dampak Serangan Terorisme ... 114

Tabel 3.2 10 Negara yang Paling Banyak Mengalami Kejahatan Terorisme 2011 ... 115

Tabel 3.3 Negara-negara yang Mengalami Pertambahan dan Pengurangan Serangan Terorisme dari 2002-2011 ... 134


(14)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

VASPERTON SINAMBELA (080906032)

KEPENTINGAN INDONESIA DALAM KONVENSI ASEAN TENTANG

PEMBERANTASAN TERORISME (ASEAN CONVENTION ON COUNTER

TERRORISM).

Rincian isi skripsi xiv, 160 halaman, 3 tabel, 5 gambar, 1 diagram, 1 grafik, 27 buku,15 jurnal, 1 makalah, 1 tesis, 4 laporan penelitian, 5 undang-undang dan peraturan, 1 konvensi, 1 majalah, 6 situs internet dengan berbagai berita, laporan dan artikel, 1 notulensi rapat (Kisaran buku dari tahun 1980-2013)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menjelaskan kebijakan pemerintah Indonesia untuk memberantas terorisme di dalam negeri dengan menandatangani serta meratifikasi

Konvensi ASEAN Tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention on

Counter Terrorism) menjadi undang-undang dalam negeri terkait pemberantasan terorisme yaitu Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 2012. ASEAN Convention on Counter Terrorism merupakan kerangka kerja sama antara negara-negara ASEAN untuk memberantas terorisme di Asia Tenggara. Terorisme merupakan salah satu kejahatan lintas batas yang mengganggu stabilitas keamanan sebuah negara dan kawasan. Asia Tenggara disebut sebagai daerah kedua dalam perang melawan terorisme, oleh karena itu negara-negara di Asia Tenggara harus membentuk kerja sama keamanan dalam memberantas terorisme. Indonesia merupakan pencetus utama dibentuknya konvensi ASEAN tentang pemberantasan terorisme. Kebijakan pemerintah Indonesia untuk meratifikasi konvensi tersebut berdasarkan adanya kepentingan nasional Indonesia yang akan terpenuhi melalui kerja sama keamanan tersebut. Sehingga penelitian ini mencoba menjelaskan bagaimana kepentingan Indonesia dalam konvensi ASEAN tentang pemberantasan terorisme?

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori kepentingan nasional Paul Seabury dan Donald E. Nuechterlin. Teori komunitas keamanan Karl W Deutsch, dan juga tentang pengertian terorisme. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan dengan menggunkan metode penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu buku-buku, perundang-undangan,artikel, jurnal, laporan penelitian ataupun majalah yang berkaitan dengan penelitian ini kemudian ditelaah dengan teknik analisa kualitatif.


(15)

Setelah dilakukan analisis, kebijakan pemerintah Indonesia dalam Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme memuat beberapa kepentingan. Kepentingan-kepentingan nasional Indonesia tersebut sejalan dengan kepentingan nasional negara-negara yang tergabung dalam ASEAN. Mengingat banyaknya aksi terorisme dan jaringan teroris di kawasan Asia Tenggara yang menjadikan Indonesia sebagai daerah target operasi maka hal ini menjadi alasan utama Indonesia sebagai pencetus terbentuknya konvensi ASEAN tentang pemberantasan terorisme, saat ini konvensi ASEAN tentang pemberantasan terorisme telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 2012, ratifikasi konvensi ini sejalan dengan Undang-Undang pemberantasan terorisme lainnya yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia. Kata Kunci :


(16)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

VASPERTON SINAMBELA (080906032)

INDONESIA’S INTEREST IN ASEAN CONVENTION ON COUNTER TERRORISM

Content: xiv, 160 pages, 3 tables, 5 images, 1 diagram, 1 chart, 27 books, 15 journals, 1 paper, 1 thesis, graphics, 25 books, 4 research reports, 5 regulation legislation, 1 convention, 1 magazine, 6 websites with variety news and, report, and articles. 1 minutes of meetings. (publication from 1980-2013).

ABSTRACT

This research tries to explain the Indonesian government’s policy to combat terrorism in the country by signing and ratifying The ASEAN Convention on Counter Terrorism become domestic legislation namely Act No. 5 of 2012. The ASEAN Convention on Counter Terrorism is the framework of the cooperation among the ASEAN countries to fight terrorism in Southeast Asia. Terrorism is a transnational crime destabilizing the security of a country and region. Southeast Asia is referred to as the second front to fight against terrorism, therefore the counties in Southeast Asia should establish security cooperation on combating terrorism. Indonesia was the main originator to establishment ASEAN Convention on Counter Terrorism. The policy of the Indonesian government to ratify the convention based on the presence of the Indonesia national interests will be met through the security cooperation. Therefore, this research tries to explain how the interest of Indonesia in ASEAN Convention on Counter Terrorism?

The theories which are used to explain the problems are taken from “The Theory of National Interest by Paul Seadbury and Donald E. Nuechterlin, Security Community by Karl W. Deutsch, and also use definition of terrorism. This research was a literature kind model of research which is use descriptions mtehods. Data collecting technique in this study used secondary data such as books, legislation, articles, journals, magazines or research report related to this study, and then analyzed with qualitative analisys techniques.

After analyzed, the Indonesian government’s policies in ASEAN Convention on Counter Terrorism contain some interests. Indonesia national interest are in line with the national interests of another countries that are members of ASEAN. Given the large number of terrorism acts and the terrorist network in Southeast Asia which made Indonesia as the main operation target,


(17)

because Indonesia as the main target of he terrorist, that is become the main reason why Indonesia become the main originator to build ASEAN Convention on Counter Terrorism, that had been ratified by Indonesian government as Act No. 5 of 2012. The ratification of this convention is in line with the other legislation on counter terrorism that has been made by Indonesian government. Key word: Indonesian national interest, security cooperation, convention, terrorism


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Isu terorisme menjadi sebuah isu yang menggemparkan keamanan dunia

internasional sejak tragedi runtuhnya gedung WTC (World Trade Centre) yang

terjadi pada tanggal 11 September 2001. Runtuhnya gedung World Trade Centre

di New York akibat serangan teroris, kini dilihat banyak pihak sebagai defining

moment yang mengakhiri era perang dingin.1

Aksi teror merupakan sebuah kata yang berarti upaya menciptakan ketakutan, kengerian atau kekejaman oleh seseorang, kelompok atau golongan.

Hal ini menunjukkan bahwa dunia internasional tidak lagi fokus dalam memperhatikan perang ideologi yaitu pertentangan antara Barat dan Timur (Liberalisme dan Komunisme) yang telah terjadi sejak berakhirnya Perang Dunia II tahun 1945, akan tetapi saat ini dunia internasional mulai fokus untuk melakukan perang terhadap terorisme yang mana tindakan terorisme ini dianggap sebagai salah satu pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM).

2

1

Rizal Sukma, Keamanan Internasional Pasca 11 September: Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional, makalah ini disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema: Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakimandan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar 14-18 Juli 2003.

2

Mardenis, Pemberantasan Terorisme:Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011, hal 119.

Aksi teror yang dilakukan merupakan tindakan-tindakan yang mengancam keselamatan jiwa orang lain sehingga mengakibatkan timbulnya rasa takut dan


(19)

rasa tidak aman. Berbagai aksi teror yang telah terjadi menyebabkan isu terorisme merupakan salah satu ancaman bagi dunia internasional, dilakukan oleh orang, kelompok atau golongan tertentu. Salah satunya adalah aksi serangan teroris yang terjadi dalam tragedi WTC pada tanggal 11 September 2001, tentu saja aksi serangan teroris ini telah melecehkan nilai-nilai kemanusiaan, martabat bangsa, dan norma-norma agama.

Adanya tindakan teror ini sama halnya dengan hancurnya cita-cita manusia untuk hidup berdampingan secara damai dengan bangsa-bangsa lain. Aksi serangan teroris juga semakin meningkat di negara-negara eropa, asia, dan afrika sejak tragedi runtuhnya gedung WTC. Peningkatan aksi teror yang telah terjadi di berbagai negara telah banyak memberikan dampak negatif bagi perkembangan dan pembangunan sebuah negara. Sehingga dapat dikatakan bahwa aksi terorisme ini ikut ambil bagian dalam kehidupan berbangsa yang menunjukkan gambaran dari berbagai jenis kejahatan, khususnya kejahatan kekerasan, kejahatan terorganisasi, dan kejahatan yang tergolong luar biasa (extraordinary crime).

Amerika Serikat yang tampil sebagai negara adidaya satu-satunya (Unipolar, khususnya bidang militer/keamanan internasional), akhirnya mengakui

juga bahwa sekalipun Amerika Serikat sebagai negara super power, akan tetapi

mereka tidak mampu menghadapi serangan teroris tersebut sendirian. Ini dapat

dilihat pada sistem keamanan Amerika yang tidak mampu mendeteksi dini rencana aksi teror yang dilakukan oleh jaringan teroris Al-Qaeda terhadap gedung


(20)

WTC dan Pentagon. Aksi teror dilakukan dengan cara membajak dua pesawat sipil dan menabrakkan pesawat tersebut ke gedung WTC, tragedi serangan teroris

yang terjadi pada saat itu membunuh 3000 orang korban jiwa.3

Sejak serangan ke WTC dan Pentagon terjadi maka isu terorisme global mengemuka dan menjadi perhatian aktor-aktor politik dunia baik negara maupun

non-negara. Amerika Serikat yang merupakan korban dari aksi terorisme ini

memandang bahwa bahaya ancaman bukan saja berasal dari negara tertentu, tetapi

juga dari kekuatan non negara (non state actor) terutama dari kaum teroris.

4

Presiden Bush secara eksplisit mengundang warga Amerika serta dunia

internasional secara umum untuk bersama-sama melancarkan “War againts

Terrorism” sebagai bagian integral dari perjuangan untuk menegakkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi yang menjadi komitmen bersama menuju tata dunia baru pasca-Perang Dingin.

Jaringan teroris yang merupakan salah satu kekuatan aktor bukan negara (non

state actor) kini dianggap semakin meluas dan melewati batas-batas negara, bahkan melintasi antar benua sehingga benar-benar bersifat global.

5

...everytime we stand up for human rights and fundamental freedoms, we stand up against terrorism. Everytime we act to resolve political disputes, we act against terrorism. Everytime we make the rule of law stronger, we make terrorists weaker”.

Ada kutipan yang diungkapkan Koffi Annan yaitu

6

3

Frans Fikki Djalong, Reorientalising Islam: Terrorism and Discourse on Evil, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Vol 14, Nomor 2, November 2010, hal 252

4

Mardenis, Op. Cit, hal 5.

5

Gabriel Lele, Terorisme dan Demokrasi: Masalah Global, Solusi Lokal, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 9, No. 1, Juli 2005.

6

Anak Agung Abimanyu Perwita, Reformasi Sektor Keamanan Demi Demokrasi Penanganan Terorisme di Indonesia, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 9, No. 1, Juli 2005, hal 45-46.


(21)

Ungkapan yang disampaikan oleh Kofi Annan menunjukkan bahwa permasalahan terorisme merupakan sebuah permasalahan yang bersifat transnasional yang menjadikan setiap negara yang ada di dunia akan merasa terancam dengan adanya jaringan teroris ini, sehingga globalisasi teror serta ketakutan yang mengikutinya memaksa berbagai negara untuk memperkuat keamanan nasional negara masing-masing.

Terorisme sebagai salah satu jenis dari Activities of Transnational/

Criminal Organizations merupakan kejahatan yang ditakuti karena ancaman dan akibat yang ditimbulkan cukup luas. Ancaman tersebut meliputi ancaman terhadap kedaulatan negara, masyarakat, individu, stabilitas nasional, nilai-nilai demokratis dan lembaga-lembaga publik, ekonomi nasional, lembaga keuangan, demokratisasi, privatisasi, dan juga pembangunan. Akibat dampak yang ditimbulkan oleh aksi serangan terorisme ini, maka terorisme bukan lagi dianggap sebagai bentuk kejahatan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan

terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and

security of mankind).7

Akibat dipicu oleh serangan teroris terhadap Amerika Serikat dan juga aksi serangan teroris lainnya yang terjadi di berbagai wilayah belahan dunia termasuk yang terjadi di Indonesia, mengakibatkan respon terhadap terorisme ini

hadir dalam bentuk pembaharuan terhadap kebijakan keamanan (security policy)

masing-masing negara. Serangan-serangan yang dilakukan teroris dianggap

7

Mulyana W Kusumah, Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum. Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, Vol 2, No. III, Desember 2002, hal 22.


(22)

sebagai serangan terhadap kemerdekaan dan peradaban, pembaharuan terhadap

kebijakan keamanan (security policy) merupakan sebagai bagian dari meluasnya

dan mendalamnya konsep keamanan di seluruh dunia.

Sejak runtuhnya WTC dan Pentagon, Amerika Serikat memfokuskan diri untuk memerangi gerakan islam radikal dan teroris, mereka meyakini bahwa Al-Qaeda membentuk basis pergerakannya di Asia Tenggara, beberapa negara yang

dijadikan sel-sel pelatihan yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand.8

Banyaknya aktivitas terorisme yang merupakan mitra dari jaringan teroris Al-Qaeda yang telah menyerang Amerika Serikat, maka Asia Tenggara sempat

ditunjuk sebagai ‘front kedua’ oleh Amerika Serikat dalam Perang Global dalam

Melawan Teror setelah Afghanistan dan Timur Tengah, sebuah label yang dilekatkan oleh Amerika Serikat melihat keberadaan jaringan-jaringan teroris

Al-Qaeda yang aktif di wilayah Asia Tenggara.9

Negara-negara di kawasan Asia Tenggara sendiri mengakui bahwa ancaman dari terorisme ini merupakan hal yang serius bagai keamanan kawasan di Asia Tenggara. Asia Tenggara dianggap sebagai satu kawasan yang berpotensi menyimpan radikalisme dan terorisme. Salah satu yang menyebabkan pandangan tersebut adalah keberadaan jaringan kelompok radikal, Al-Qaeda yang telah memperkuat jaringan regionalnya di kawasan Asia Tenggara. Jaringan radikal ini memiliki tujuan dan ideologi transnasional dan anti baratnya, adapun tujuannya

8

Bruce Vaughn, Emma Chanlett-Avery, Ben Dolven, Mark E. Manyin, Michael F. Martin, Larry A. Niksch, 2009. Terrorism In Southeast Asia, Congressional Research Service, hal 5.

9


(23)

adalah untuk mendirikan kekhalifahan atau negara Islam di kawasan Asia Tenggara, meliputi wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, dan Filipina.

Implikasi yang lebih jauh lagi yang dirasakan Asia Tenggara adalah ketika PBB resmi menyatakan bahwa kelompok “Jamaah Islamiah” digolongkan sebagai Organisasi Teroris Internasional. Keputusan PBB tersebut mempengaruhi Asia Tenggara, di mana selama ini Amerika Serikat selalu menekankan bahwa Jamaah Islamiah merupakan perpanjangan tangan jaringan teroris Al-Qaeda.

Menurut Rohan Guraratna lebih banyak kelompok ekstrimis yang

dipandang lebih mendekati gerakan terorisme, diantaranya: MILF (Moro Islamic

Liberation Front), Abu Sayyaf Goup (ASG) di Filipina, Laskar Jundullah di Indonesia, Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM) di Malaysia, Jemmah

Salafiyah (JS) di Thailand, Arakan Rohingya Nationalist Organization (ARNO)

dan Rohingya Solidarity Organization (RSO) di Myanmar dan Bangladesh dan

Jemaah Islamiyah di Australia.10

Di wilayah Filipina kelompok yang dianggap radikal adalah Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan kelompok Abu Sayyaf, kedua kelompok ini bertujuan untuk mendirikan negara Islam independen terutama di propinsi-propinsi dengan mayoritas penduduknya menganut agama Islam yaitu di daerah Mindanao Selatan. Dalam konteks politik Al Qaeda dianggap telah memberikan Semua gerakan ekstremis tersebut aktif dan menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai daerah operasinya untuk melakukan aksi-aksi terornya.

10

Rohan Gunaratna, Terrorism in Southeast Asia : Threat and Response, Center for Eurasian policy occasional research paper series II, No,1 Hudson Institute, 2006, hal 1-2.


(24)

dukungan ideologis, finansial dan operasional terhadap jaringan kelompok radikal di wilayah Asia Tenggara, seperti Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan Abu Sayyaf Group (ASG) di Filipina, Jemaah Salafiyah (JS) di Thailand dan Laskar Jundullah di Indonesia, Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM) di Malaysia, Arakan Rohingya Nationalist Organization (ARNO) dan Rohingya Solidarity Organisation (RSO) di Myanmar dan Bangladesh.

Semua kelompok radikal yang berada di kawasan Asia Tenggara tersebut merupakan mitra yang berada di bawah pengawasan dan dukungan kelompok teroris jaringan Al Qaeda yang berada di Afghanistan. Bantuan finansial, dan operasional serta tujuan ideologis yang sama menunjukkan serangan teroris yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal ini tidak dibatasi oleh batas-batas

negara. Al Qaeda kemudian menyerukan pembentukan World Islamic Front for

Jihad against the Jews and The Crusaders pada bulan februari 1998, dan menjadikan front perlawanan ini sebagai jalur koordinasi utama bagi

kelompok-kelompok perlawanan Islam di seluruh dunia.11

Kelompok radikal di Asia Tenggara mengadaptasi taktik dan ideologi Al Qaeda, sehingga dengan banyaknya kelompok radikal dan militant yang memiliki ideologi dan tujuan yang sama maka kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan yang penuh dengan kelompok radikal yang aktif untuk melakukan operasi teror untuk melawan kekuatan barat di kawasan Asia Tenggara. Adapun aksi teror dari aktivitas kelompok radikal dan militant yang berada di kawasan Asia Tenggara

11


(25)

adalah kasus Bom Bali, dan Bom kedubes Australia di Indonesia, Rencana pengeboman bandara Changi di Singapura, konflik kekerasan di Filipina Selatan dan berbagai aksi teror yang berada di negara-negara lain yang berada di kawasan Asia Tenggara lainnya.

ASEAN sebagai institusi regional yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama antara negara-negara yang berada kawasan di Asia Tenggara melihat bahwa aksi teror yang telah terjadi di kawasan Asia Tenggara merupakan hal yang harus disikapi dengan serius. Oleh karena hal tersebut maka negara-negara di kawasan Asia Tenggara segera memperhatikan kebijakan keamanannya baik

dalam bentuk kerja sama keamanan kawasan melalui ASEAN Political Security

Community yang telah disepakati bersama oleh sesama anggota ASEAN.

Masing-masing negara anggota ASEAN memandang bahwa terorisme merupakan salah satu ancaman yang dapat mengganggu kestabilan kawasan dan

mengganggu dalam mewujudkan visi ASEAN Community 2015. Hal ini dapat

dilihat dari tindakan yang diambil ASEAN untuk ikut mendukung sikap Amerika Serikat yang mendeklarasikan perang terhadap Terorisme Global, yakni dengan melakukan Deklarasi Tindakan Bersama Untuk Kontra-Terorisme yang dibuat setelah KTT ASEAN di Brunei, November 2001.

Sebagian negara anggota ASEAN pada awalnya melihat peristiwa terorisme yang terjadi pada 11 Sepetember 2001 sebagai masalah Amerika bukan masalah Asia. Aksi terorisme pada peristiwa Bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 dan dilanjutkan dengan aksi teror Bom JW Marriot pada tahun 2003,


(26)

membuat negara-negara di Asia memiliki pandangan yang sama dalam melihat

terorisme sebagai masalah keamanan dalam negeri yang sangat serius.12

Pada KTT ke-12 ASEAN yang berlangsung di Cebu, Filipina

masing-masing negara anggota ASEAN semakin kuat untuk mewujudkan ASEAN Vision

2020 yang kemudian dipercepat menjadi ASEAN Community 2015 dengan

menandatangani “Cebu Declaration on the Acceleration of the Establishment of

an ASEAN Community by 2015”, yaitu ingin menciptakan kawasan Asia Tenggara yang memiliki keamanan, stabilitas, dan perdamaian khususnya sesama negara anggota ASEAN dan umumnya perdamaian di dunia.

Kejahatan terorisme yang merupakan kejahatan transnasional, yang

artinya bahwa aksi yang dilakukan terorisme ini sudah tidak dibatasi oleh negara, melainkan aksi ini sudah bersifat antar negara yang memberikan dampak negatif tidak hanya bagi keamanan suatu negara melainkan keamanan daerah kawasan juga ikut terkena dampak dari aksi-aksi terorisme ini. Sehinggga dalam penanggulangannya diperlukan kerja sama yang baik diantara negara-negara kawasan dalam menyikapi isu terorisme yang mengganggu stabilitas kawasan.

13

Untuk menanggulangi masalah terorisme selama ini PBB telah mengeluarkan banyak konvensi sebagai panduan bagi negara-negara untuk

Dalam hal ini terorisme menjadi musuh bersama negara-negara anggota ASEAN dalam mencapai cita-cita bersama tersebut yaitu mewujudkan keamanan kawasan di Asia Tenggara.

12

Victor Silaen, AS, Indonesia, dan Koalisi Global: Memerangi Jaringan Teroris Internasional, Jurnal kriminologi Indonesia Vol 4, No. I September 2005, hal 39.

13

Dian Triansyah Djani, et.al., ASEAN Selayang Pandang, Jakarta: Direktoral Jenderal Kerja sama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2008, hal 3.


(27)

membentuk konsep keamanan nasional masing-masing negara anggota PBB, adapun beberapa konvensi internasional yang mengatur terorisme antara lain:

• Acts committed on-board air craft (Tokyo 1963);

• Unlawful seizure of aircraft (The Hague 1970);

• Acts against the safety of civil aviation (Montreal 1971);

• Crime against internationally protected persons (New York 1973);

• Taking of hostages (New York 1979);

• Nuclear materials (Vienna 1980);

• Acts against the safety of fixed platforms on the continental shelf (Rome

1988);

• Maritime navigation (Rome 1988);

• Plastic explosives identification (Montreal 1991);

• Terrorist bombings (New York 1997);

• Terrorist Financing (New York 1999);

• Nuclear terrorism (New York 2005).14

Konvensi-konvensi internasional yang disebut di atas merupakan sebagai landasan bagi negara-negara untuk membentuk kebijakan keamanan nasional masing-masing negara untuk melawan terorisme yang menggangu keamanan dan kedamaian di suatu negara, ataupun untuk membentuk kebijakan bagi keamanan

kawasan (regional).

Selain konvensi internasional tersebut juga terdapat 4 (empat) resolusi Dewan Keamanan PBB, yaitu: Resolusi DK PBB Nomor 1333 Tahun 2000 tanggal 19 Desember 2000 yang ditujukan secara khusus untuk pencegahan suplai

14


(28)

senjata atau kapal terbang atau kelengkapan militer ke daerah Afghanistan dan seruan kepada seluruh negara anggota PBB untuk membekukan aset-aset Osama bin Laden; Resolusi DK PBB Nomor 1368 Tahun 2000 tanggal 12 September 2001 tentang pernyataan simpati PBB terhadap korban tragedi 11 September 2001, dan seruan kepada seluruh negara anggota PBB untuk melakukan langkah-langkah untuk merespon serangan teroris tersebut; Resolusi DK PBB Nomor 1373 Tahun 2001; dan Resolusi DK PBB Nomor 1438 tanggal 15 Oktober 2002 yang menyatakan belasungkawa dan simpati PBB kepada pemerintah dan rakyat Indonesia, terhadap korban dan keluarganya dan menegaskan kembali langkah-langkah untuk memberantas terorisme serta menyerukan kepada seluruh bangsa-bangsa untuk bekerja sama membantu Indonesia dalam menemukan dan

membawa pelakunya ke pengadilan.15

Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan terhadap serangan teroris, hal ini dapat dilihat dari frekuensi serangan teroris sejak tahun 2000 semakin meningkat yaitu serangan bom yang terjadi di Bursa Efek Jakarta (BEJ), dan kemudian pada tahun 2002 diikuti dengan terjadinya peristiwa Bom Bali I. Peristiwa dan upaya peledakan bom di Indonesia masih terjadi, Bali kembali menjadi target sasaran ledakan Bom pada tahun 2005 (Bom Bali II). Kemudian peristiwa Bom Kuningan, Bom Marriot tahun 2003, Bom JW Marriot dan Ritz

Carlton pada tahun 2009.16

15

Mardenis, Op. Cit., hal 82-83.

Pelaku dari serangan tersebut merupakan jaringan

16

tanggal 3 Maret 2014.


(29)

teroris yang sama yaitu Jemaah Islamiyah (JI) yang bermitra dengan jaringan Al-Qaeda dan juga jaringan teroris yang aktif di kawasan Asia Tenggara.

Serangan-serangan yang dilakukan oleh jaringan terorisme yang aktif di Asia Tenggara tentu saja mengganggu stabilitas keamanan setiap negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, juga mengganggu dalam menjaga dan mencapai visi serta kepentingan nasional masing-masing negara anggota ASEAN. Tindakan terorisme tersebut menimbulkan dampak negatif yaitu merusak perdamaian, dan bahaya yang ditimbulkan akibat aksi terorisme tidak pandang bulu sehingga manusia yang tidak bersalah juga menjadi korban, seperti halnya bom bunuh diri yang mengakibatkan tewasnya orang-orang yang tidak besalah, kerusakan infrastruktur, mengganggu stabilitas kawasan dan negara, serta mengganggu pembangunan ekonomi.

Imbas dari aksi terorisme ini berdampak terhadap kerja sama kawasan

Asia Tenggara (ASEAN) yang ingin mewujudkan visi ASEAN Community 2015,

adanya masalah terorisme mengakibatkan keamanan kawasan Asia Tenggara terganggu. Tentu saja hal ini menjadi faktor penghambat dalam mencapai visi ASEAN tersebut. Dalam piagam ASEAN yang menjadi salah satu tujuan dan prinsip ASEAN adalah memelihara dan meningkatkan perdamaian, keamanan, dan stabilitas serta lebih memperkuat nilai-nilai yang berorientasi pada

perdamaian di kawasan.17

17

ASEAN Selayang Pandang, Direktorat Jenderal Kerja sama ASEAN, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2008, hal 7.

Melihat dari isi piagam ASEAN tersebut maka merupakan kewajiban bagi masing-masing negara anggota ASEAN untuk


(30)

menciptakan dan mewujudkan nilai-nilai perdamaian tersebut di kawasan Asia Tenggara.

Ancaman keamanan yang dilakukan oleh jaringan terorisme inilah, yang menjadi alasan pentingnya kerja sama di kawasan Asia Tenggara untuk memberantas terorisme yang merupakan musuh bersama dari setiap negara-negara anggota ASEAN bahkan oleh dunia internasional. ASEAN merupakan salah satu bentuk kerja sama kawasan di Asia Tenggara yang memiliki cita-cita untuk menjadi sebuah “komunitas keamanan”, dan terorisme merupakan salah satu penghambat dalam mencapai cita-cita tersebut. Sehingga salah satu langkah yang diambil ASEAN sendiri untuk menanggulangi isu keamanan ini adalah dengan menyepakati adanya sebuah konvensi ASEAN yang fokus dalam memberantas

terorisme di kawasan ASEAN, yaitu ASEAN Convention on Counter Terrorism.

Indonesia sendiri merupakan salah satu pencetus utama untuk terbentuknya pilar

utama dalam ASEAN yaitu ASEAN Security Community (Masyarakat Keamanan

ASEAN) tentu saja melalui kerja sama ini akan membantu setiap negara anggota ASEAN untuk mencapai kepentingan nasionalnya masing-masing.

1.2Perumusan Masalah

Terorisme yang merupakan non-state actor dalam dunia internasional

telah berkembang menjadi ancaman bagi keamanan negara-negara di dunia internasional sejak tragedi WTC di Amerika Serikat. Perkembangan teroris tersebut juga merupakan dampak dari globalisasi yang berkembang saat ini, sehingga perkembangan teroris tidak hanya berada dalam satu wilayah negara


(31)

tetapi juga berkembang di daerah lain, sehingga hal ini lah yang menjadikan

terorisme merupakan kejahatan transnasional. Amerika Serikat yang merupakan

garda terdepan dalam melakukan perang terhadap terorisme menghimbau dunia internasional untuk bekerja sama dalam melakukan perang terhadap terorisme ini.

Sejak tahun 2002 Indonesia telah mengalami berbagai macam bentuk serangan teroris, dan serangan teroris yang paling besar yang pernah terjadi adalah peristiwa Bom Bali I. Kemudian diikuti dengan serangan Bom JW Marriot, dan Bom Kuningan, pada tahun 2009 serangan teroris juga terjadi di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton. Akibat serangan-serangan teroris ini tentu saja telah mengganggu stabilitas keamanan di Indonesia, dan mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Akibat serangan teroris tersebut Australia yang warga negaranya paling banyak melakukan kunjungan wisata ke Bali, menjadikan

Indonesia sebagai daerah yang berbahaya untuk dikunjungi(travel warning),

tindakan tersebut merupakan respon dari Pemerintahan Australia karena mayoritas korban tragedi Bom Bali I adalah warga negara Australia. Hal ini tentu saja mengganggu pertumbuhan ekonomi dalam sektor pariwisata bagi Indonesia juga menghambat negara lain untuk melakukan investasi di Indonesia.

Stabilitas kawasan dan keamanan nasional merupakan faktor penting bagi sebuah negara dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Kawasan Asia Tenggara

yang dianggap sebagai front kedua dalam pemberantasan terorisme menjadi

sebuah ancaman yang sangat serius dalam menjaga stabilitas tersebut. Serangan terorisme yang telah terjadi tidak hanya merugikan dalam sektor ekonomi tetapi


(32)

juga akan mengganggu Indonesia untuk mewujudkan cita-cita nasional (tujuan

nasional) Indonesia seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.18

Saat ini konvensi tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia menjadi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012. Ratifikasi Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme ini menginginkan adanya kerja sama keamanan dalam penanganan terorisme di ASEAN, kerja sama keamanan tersebut diperlukan untuk mewujudkan perdamaian dan stabilitas yang dinamis di kawasan, dan tetap mengedepankan kepentingan nasional Indonesia

yang akan turut menyokong terwujudnya ASEAN Community 2015, sesuai

dengan tiga pilar yang menopang ASEAN, yaitu Komunitas Politik Keamanan, Komunitas Ekonomi dan Komunitas Sosial Budaya. Dalam perumusan ACCT ini Serangan teroris yang terjadi di Indonesia dan juga di negara-negara yang berada di kawasan Asia Tenggara merupakan isu yang harus diselesaikan secara bersama oleh negara-negara anggota kawasan tersebut. Sehingga pada KTT ASEAN ke-12 yang berlangsung di Cebu, Filipina 13 Januari Tahun 2007. Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN lainnya menyepakati sebuah konvensi tentang pemberantasan terorisme. Konvensi tersebut adalah ASEAN Convention on Counter Terrorism (Konvensi ASEAN tentang pemberantasan Terorisme) atau disebut juga dengan ACCT, merupakan kerja sama antar negara-negara anggota ASEAN untuk memberantas Terorisme.

18

Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas), Kewiraan Untuk Mahasiswa, Jakarta: PT Gramedia, 1980, hal 4.


(33)

Indonesia merupakan Lead Sheppherd/Leads a part di bidang pemberantasan

terorisme yang telah mempelopori perumusan ACCT.19

1.3 Pertanyaan Penelitian dan Pembatasan Masalah

Sehingga judul penelitian dalam skripsi ini adalah “Kepentingan Indonesia

dalam Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention On Counter Terrorism)”.

1.3.1 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas tentu saja dalam konvensi ASEAN tersebut ada kepentingan nasional Indonesia yang ingin dicapai. Sehingga

pertanyaan penelitian dalam masalah ini adalah “Bagaimana Kepentingan

Nasional Indonesia dalam Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention On Counter Terrorism)?”.

1.3.2 Pembatasan Masalah

Sebagai upaya untuk membuat masalah penelitian dalam penelitian ini lebih sistemastis, maka perlu adanya batasan-batasan masalah agar masalah dalam penelitian yang akan diteliti menjadi jelas, terarah, serta konsisten. Pembatasan masalah ini berguna untuk mengidentifikasi perihal apa saja yang termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian yang dilakukan terbatas pada kerja sama yang dilakukan

oleh Indonesia dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya dalam

19


(34)

memberantas terorisme di kawasan Asia Tenggara berdasarkan

ASEAN Convention on Counter Terrorism.

2. Penelitian yang akan dilakukan fokus terhadap kepentingan nasional

Indonesia dalam usaha pemberantasan terorisme melalui Konvensi

ASEAN tentang pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention on

Counter Terrorism).

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan kerja sama Indonesia dan negara-negara anggota

ASEAN untuk memberantas terorisme, melalui Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention On Counter Terrorism).

2. Untuk mengetahui kepentingan nasional Indonesia dalam upaya

pemberantasan terorisme di Indonesia melalui Konvensi ASEAN

tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention on Counter

Terrorism).

1.4.2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara akademis penelitian ini hendak memperkaya referensi ilmu


(35)

kajian seputar Politik Luar Negeri yaitu kerja sama keamanan kawasan.

2. Secara praktis penelitian ini mendeskripsikan pentingnya kerja sama

keamanan kawasan ASEAN untuk mencapai visi ASEAN Community

2015 dan juga tercapainya kepentingan nasional Indonesia melalui Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme.

1.5Kerangka Teori

Untuk melakukan sebuah penelitian maka dibutuhkan kerangka teori yang dijadikan sebagai acuan dalam menganalisa fenomena yang terjadi dalam penelitian yang dilakukan. dan pisau analisa bagi peneliti dalam menjawab masalah penelitian. Teori digunakan sebagai awal menjawab pertanyaan penelitian, bahwa sesungguhnya pandangan deduktif menuntun penelitian dengan terlebih dahulu menggunakan teori sebagai alat ukuran, dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis secara tidak langsung menggunakan teori sebagai alat

analisis dalam melihat masalah penelitian.20

1.5.1 Teori Hubungan Internasional

Berbagai isu yang berkembang dalam dunia Internasional merupakan hal yang dapat mempengaruhi keadaan negara-negara di dunia, dan Hubungan Internasional yang akan menjelaskan apa yang terjadi di dunia internasional dan pengaruh-pengaruh yang diakibatkan, bisa berakibat baik dan juga bisa berakibat

20

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hal 26.


(36)

fatal. Hal ini mengesahkan perlunya studi hubungan internasional karena asumsi dari studi ini adalah bahwa potensi bahaya dapat dikurangi dan kemungkinan untuk menciptakan perdamaian bisa ditingkatkan, asalkan umat manusia mau

melakukan sesuatu demi tujuan itu.21

Hubungan internasional dibentuk oleh hubungan antar negara yang saling memiliki nilai-nilai berharga yang ingin diraih demi kehidupan warga negaranya, paling sedikit ada lima nilai dasar sosial yang diharapkan untuk dijaga oleh

negara: keamanan, kebebasan, ketertiban, keadilan dan kesejahteraan.22

Hubungan Internasional (HI) Kontemporer selain mengkaji hubungan politik, juga mencakup sekelompok kajian lainnya seperti tentang interdependensi perekonomian, kesenjangan Utara-Selatan, keterbelakangan, perusahaan transnasional, hak-hak asasi manusia, organisasi-organisasi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional, lingkungan hidup, gender dan lain sebagainya. Negara dipandang sebagai sistem yang mengatur kehidupan manusia, yaitu bagi kehidupan warga negaranya, tanpa negara kehidupan manusia menjadi dibatasi, tidak menyenangkan, terpencil, miskin serta tidak berperikemanusiaan. Melalui pendekatan hubungan internasional kita dapat memahami bagaimana sebuah fenomena yang terjadi dalam dunia internasional ditanggapi oleh negara, baik untuk dicari penyebab masalah, menyelidiki masalah, dan bagaimana menyelesaikan masalah atau isu dunia internasional yang sedang berkembang yang menjadi ancaman bagi negara.

21

Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi, Jakarta: LP3ES, 1990, hal 31.

22

Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal 3.


(37)

Hubungan Internasional mengkaji hal-hal atau aspek-aspek tersebut dari segi keterhubungan global, yang non-domestik, yang melintasi batas wilayah masing-masing entitas negara. Pola interaksi hubungan internasional tidak dapat dipisahkan dengan segala bentuk interaksi yang berlangsung dalam pergaulan

masyarakat internasional, baik oleh pelaku negara-negara (state actors) maupun

oleh pelaku-pelaku bukan negara (non-state actors). Pola hubungan atau interaksi

ini dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan

pertentangan (Conflict).23

Isu terorisme telah berkembang di Abad-21 ini, telah mengancam keamanan dunia internasional, dalam studi Hubungan Internasional terorisme telah digolongkan sebagai salah satu aktor yang mempengaruhi dunia

internasional. Terorisme adalah non-state actor baru dalam Hubungan

Internasional, yaitu aktor bukan negara yang mempengaruhi situasi dan keadaan pola hubungan internasional. Terminologi terorisme yang berkembang saat ini

telah melakukan tindakan kekerasan (use of violence) dengan melibatkan jaringan

yang luas yang melintasi batas-batas negara, sehingga terorisme merupakan salah satu kejahatan transnasional yang dapat menyerang negara-negara mana saja yang telah dijadikan target operasi terorisme tersebut. Dalam hal ini terorisme telah muncul sebagai aktor baru yang menjadi perhatian dunia internasional, sehingga dengan ancaman keamanan yang berasal dari terorisme merupakan sebuah isu yang harus diselesaikan bersama.

23

T. May Rudy, Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-masalah Global, Bandung: PT Refika Aditama, 2003, hal 1-2.


(38)

Hubungan Internasional berperan untuk membentuk kesadaran bersama bahwa terorisme bukan ancaman hanya untuk satu negara, tetapi ancaman bagi setiap negara di dunia internasional. Melalui kesadaran terhadap ancaman tersebutlah akan tercipta kerja sama antar negara, salah satunya adalah Indonesia yang meningkatkan kerja sama keamanannya dengan negara-negara ASEAN untuk memberantas terorisme yang ada di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.

Untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan yang merupakan nilai-nilai dasar yang harus ditegakkan sebuah negara, maka negara-negara memiliki kepentingan bersama dalam membangun dan memelihara ketertiban internasional sehingga dengan menjaga dan menegakkan nilai tersebut maka masing-masing negara dapat hidup berdampingan dan berinteraksi atas dasar stabilitas. Untuk mencapai tujuan itu negara-negara diharapkan menegakkan hukum internasional: untuk menjaga komitmen perjanjian, dan mematuhi aturan, konvensi, dan kebiasaan tatanan hukum internasional.

Ancaman terorisme terhadap dunia internasional membuat negara-negara merapatkan barisan untuk membenahi kebijakan keamanan dalam memberantas terorisme. Seperti halnya negara-negara ASEAN yang telah sepakat untuk membuat Konvensi ASEAN Tentang Pemberantasan Terorisme merupakan langkah untuk menegakkan nilai-nilai dasar ketertiban dan keadilan yang dapat diberikan negara kepada warganya sehingga tercipta kestabilan di negara maupun kestabilan keamanan daerah kawasan.


(39)

1.5.2 Politik Luar Negeri

Menurut Coulumbis dan Wolfe, politik luar negeri merupakan sintesis dari tujuan atau kepentingan nasional dengan power dan kapabilitas, politik luar negeri dalam pelaksanaannya dilakukan oleh aparat pemerintah, Oleh karena itu pemerintah mempunyai pengaruh terhadap politik luar negeri. Disamping aparat

pemerintah, kekuatan sosial politik yang lebih dikenal dengan pressure groups

ikut berpengaruh dalam politik luar negeri.24

Politik Luar Negeri merupakan salah satu isu yang banyak memperoleh kajian dan sorotan. Meski banyak defenisi yang ditawarkan, dalam bukunya Understanding International Relations, Chris Brown memberikan pemahaman secara sederhana mengenai Politik Luar Negeri. Menurut Brown politik luar negeri dapat dipahami sebagai cara untuk mengartikulasikan dan memperjuangkan kepentingan nasional terhadap dunia luar. Dari defenisi ini tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa politik luar negeri sangat erat kaitannya dengan kepentingan nasional suatu negara.

25

Secara umum, bisa dikatakan bahwa politik luar negeri merupakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah suatu negara, atau komunitas politik lainnya dalam hubungan dengan negara dan aktor bukan negara di dunia

Kepentingan nasional merupakan keseluruhan nilai yang hendak diperjuangkan atau dipertahankan dalam forum internasional.

24

R. Suprapto, Hubungan Internasional, Sistem Interaksi, dan Perilaku, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997, hal 187-188.

25

Ganewati Wuryandari, Dhurorudin Mashad, Tri Nuke Pujiastuti, Athiqah Nur Alami, Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hal 14.


(40)

internasional.26 Melalui pengertian di atas maka politik luar negeri merupakan tindakan yang diambil pemerintah dalam dunia internasional baik dalam bentuk hubungan diplomatik, perjanjian internasional, membentuk kerja sama kawasan, membuat aliansi, dan mencanangkan tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Fokus utama kajian politik luar negeri adalah untuk memperhatikan intensi (maksud), pernyataan dan tindakan aktor yang diarahkan pada dunia eksternal dan

respon dari aktor-aktor lain terhadap intensi, pernyataan dan tindakan ini.27

Hal ini dapat dilihat dari tindakan politik luar negeri yang diambil oleh masing-masing negara anggota ASEAN untuk menyepakati adanya kerja sama keamanan untuk memberantas terorisme, yaitu melalui Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme. Jadi politik luar negeri suatu negara dipengaruhi oleh isu-isu yang menjadi ancaman dan mengganggu kepentingan nasional suatu

Politik luar negeri suatu negara cenderung untuk memperhatikan kepentingan nasionalnya dan memperjuangkannya dalam dunia internasional, maka negara tersebut harus menetapkan apa kepentingan nasionalnya. Sehingga dengan menetapkan kepentingan nasional, maka para aktor-aktor pemerintah dapat melakukan hubungan diplomatik, melakukan perjanjian, dan kerja sama dengan negara lain dengan menjadikan kepentingan nasional sebagai acuan. Kasus terorisme yang terjadi di kawasan Asia Tenggara merupakan sebuah ancaman bagi tercapainya kepentingan nasional masing-masing negara anggota ASEAN.

26

Abubakar Eby Hara, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri: Dari Realisme sampai Kontruktivisme, Bandung: Penerbit Nuansa, 2011, hal 13.

27


(41)

negara, sehingga tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam melakukan politik luar negeri terhadap dunia internasional dapat berubah-ubah sesuai dengan kepentingan nasional yang ingin dicapai oleh negara tersebut.

Politik luar negeri yang cenderung berubah-ubah menunjukkan bahwa politik luar negeri suatu negara adalah dinamis, ada beberapa faktor determinan atau indicator yang dapat dipakai untuk memahami perilaku politik luar negeri yang dinamis. Dalam hal ini, William D. Coplin mengidentifikasi ada empat

determinan politik luar negeri.28

28

Ganewati Wuryandari, et al., Op. Cit, 2008, hal 17-1.

Pertama, adalah konteks internasional. Artinya, situasi politik internasional yang sedang terjadi pada waktu tertentu dapat mempengaruhi bagaimana negara itu akan berperilaku. Dalam kaitan ini, Coplin lebih lanjut menyatakan bahwa ada tiga elemen penting dalam membahas dampak konteks internasionalterhadap politik luar negeri suatu negara, yaitu geografis, ekonomis, dan politis.

Faktor kedua yang menjadi determinan dalam politik luar negeri adalah

perilaku para pengambil keputusan. Dalam hal ini mencakup pihak eksekutif, kementerian,dan lembaga negaradi suatu pemerintahan. Perilaku pemerintah yang dipengaruhi oleh persepsi, pengalaman, pengetahuan, dan kepentingan individu-individu dalam pemerintahannya menjadi faktor penting dalam penentuan kebijakan luar negeri.


(42)

Determinan ketiga adalah kondisi ekonomi dan militer. Kemampuan ekonomi dan militer suatu negara dapat mempengaruhi negara tersebut dalam

interaksinya dengan negara lain. Keempat, determinan terakhir yang

mempengaruhi politik luar negeri adalah politik dalam negeri. Melalui perspektif ini yang ingin dilihat adalah sistem pemerintahan atau birokrasi yang dibangun dalam suatu pemerintahan serta pengaruhnya terhadap perpolitikan nasional. Situasi politik yang terjadi dalam negeri akan memberikan pengaruh dalam perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri.

1.5.3 Kepentingan Nasional

Kepentingan nasional diakui sebagai kunci dalam politik luar negeri. Sepanjang mengenai kepentingan nasional, orang bisa berorientasi kepada ideologi atau sistem nilai sebagai pedoman perilaku. Artinya keputusan dan tindakan politik luar negeri yang dilakukan oleh aktor-aktor politik dapat berdasarkan atas pertimbangan ideologis atau atas pertimbangan-pertimbangan kepentingan.

Kepentingan Nasional (National Interest) adalah tujuan-tujuan yang ingin

dicapai sehubungan dengan kebutuhan bangsa/negara atau sehubungan dengan hal yang dicita-citakan. Dalam hal ini kepentingan nasional yang relatif tetap dan sama di antara semua negara/bangsa adalah keamanan (mencakup kelangsungan hidup rakyatnya dan kebutuhan wilayah) serta kesejahteraan. Kedua hal pokok ini,


(43)

merupakan dasar dalam merumuskan atau menetapkan kepentingan nasional bagi

setiap negara.29

Dalam bukunya The National Interest (1970), Joseph Frankel membagi

konsep kepentingan nasional pada tingkatan aspirasional dalam tujuh sifat, yaitu kepentingan nasional itu berjangka panjang, berakar dalam sejarah dan ideologi, sumber kritik oposisi terhadap pemerintah, memberikan kesadaran akan tujuan atau harapan terhadap kebijaksanaan, tidak perlu diartikulasikan dan dikoordinasikan secara penuh serta bisa saling bertentangan, tidak memerlukan studi kelayakan dan lebih ditentukan oleh kehendak politik daripada oleh

kemampuan nyata.30

Hakikat kepentingan nasional menurut Frankel, sebagai keseluruhan nilai yang ditegakkan oleh suatu bangsa. Lebih lanjut Frankel mengatakan bahwa kepentingan nasional dapat melukiskan aspirasi negara, dan kepentingan nasional dapat dipakai secara operasional yang dapat dilihat dalam aplikasinya pada kebijaksanaan-kebijaksanaan yang aktual serta rencana-rencana yang dituju.

31

Paul Seabury mendefenisikan konsep kepentingan nasional secara normatif dan deskriptif. Secara normatif,konsep kepentingan nasional berkaitan Jadi dapat diartikan bahwa setiap kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh aparat pemerintah maupun rancangan yang dituju berorientasi kepada kepentingan nasional.

29

T. May Rudy, Studi Strategis Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin, Bandung: PT Refika Aditama, 2002, hal 116.

30

Ganewati Wuryandari, et al.,Op. Cit., 2008, hal 16.

31


(44)

dengan kumpulan cita-cita suatu bangsa yang berusaha dicapainya melalui hubungan dengan negara lain, sedangkan secara deskriptif, kepentingan nasional dianggap sebagai tujuan yang harus dicapai suatu bangsa secara tetap melalui kepemimpinan pemerintah. Donald E. Nuechterlin sedikitnya menyebutkan empat jenis kepentingan nasional:

1. Kepentingan pertahanan, diantaranya menyangkut kepentingan untuk

melindungi warga negaranya serta wilayah dan sistem politiknya dari ancaman negara lain;

2. Kepentingan ekonomi, yakni kepentingan pemerintah untuk meningkatkan

perekonomian negara melalui hubungan ekonomi negara lain;

3. Kepentingan tata internasional, yaitu kepentingan untuk mewujudkan atau

mempertahankan sistem politik dan ekonomi internasional yang menguntungkan bagi negaranya;

4. Kepentingan ideologi, yaitu kepentingan untuk mempertahankan dan

melindungi ideologi negaranya dari ancaman ideologi negara lain.32

Kepentingan nasional Indonesia dapat dilihat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Isu terorisme yang berkembang di dunia internasional, dan juga berbagai serangan yang telah dilakukan oleh Jaringan

32

Umar Suryadi Bakry, Pengantar Hubungan Internasional, Jakarta: Jayabaya University Press, 1999, hal. 61-62.


(45)

Teroris di Indonesia, seperti Bom Bali I dan II, pengeboman di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, dan serangan-serangan teroris lainnya telah mengancam kepentingan nasional Indonesia, yaitu kepentingan nasional Indonesia untuk melindungi keamanan Indonesia dan untuk menjaga ketertiban dunia.

Serangan yang dilakukan oleh jaringan teroris telah menciptakan ketakutan kepada seluruh masyarakat Indonesia, dan menjadi penghambat bagi Indonesia untuk mencapai tujuan nasionalnya, aksi teror yang terjadi memakan korban jiwa yang tidak bersalah, menyebabkan timbulnya rasa takut dan tidak aman, serangan teroris yang terjadi juga menimbulkan pengaruh yang tidak menguntungkan pada kehidupan sosial, ekonomi, dan politik Indonesia, hubungan Indonesia dengan dunia internasional. Juga menghambat pertumbuhan ekonomi

negara. Salah satu dampak yang terjadi akibat serangan teroris ini adalah travel

warning yang ditujukan kepada Indonesia oleh negara Australia pasca terjadinya Bom Bali I tahun 2002 lalu, merupakan salah satu hambatan bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, larangan yang diberikan pemerintah Australia kepada warga negaranya untuk melakukan perjalanan wisata ke Indonesia berimbas kepada menurunnya devisa negara melalui sektor pariwisata.

Maka untuk menjaga kepentingan nasional inilah Indonesia harus merumuskan kembali kebijakan keamanannya agar kepentingan nasional yang telah ditetapkan dapat terwujud. Salah satu langkah yang telah diambil Indonesia adalah melalui kerja sama kawasan yaitu kerja sama negara-negara anggota


(46)

ASEAN dalam memberantas terorisme, karena terorisme telah dianggap sebagai musuh bersama ASEAN. Terorisme telah menjadi ancaman tidak hanya bagi keamanan nasional satu negara tetapi ancaman keamanan bagi kawasan Asia Tenggara.

1.5.4 Komunitas Keamanan

Karl W. Deutsch mendefenisikan komunitas keamanan sebagai kelompok negara yang telah terintegrasi sedemikian rupa sehingga bisa dikatakan bahwa hubungan damai antar negara di dalamnya telah terjalin dengan mapan dan dalam

waktu yang cukup lama.33

Bentuk komunitas keamanan yang sesuai dengan defenisi di atas sama

dengan konsep pembentukan ASEAN Security Community (Masyarakat

Keamanan ASEAN). Dalam pembentukan ASEAN Security Community juga

menginginkan adanya keinginan untuk membentuk adanya rasa kekitaan (we

feeling) sehingga dengan timbulnya rasa we feeling ini akan membentuk ASEAN bukan lagi sebagai organisasi internasional melainkan sebgai komunitas regional Komunitas keamanan memiliki sifat bahwa interaksi damai yang terjalin diantara negara yang bergabung dalam sebuah komunitas keamanan telah terjalin cukup lama, dengan demikian komunitas keamanan lebih cenderung untuk mengendalikan konflik yang ada ataupun timbul dalam komunitas tanpa menghilangkan perbedaan yang ada diantara negara-negara anggota komunitas.

33

M. Rajendran, ASEAN Foreign Relations The Shift to Collective Action, Kuala Lumpur: Arena Buku sdn.bhd, 1985, hal 5.


(47)

yang telah mengalami integrasi. Hal inilah yang ingin dibangun oleh setiap negara anggota ASEAN sehingga untuk mencapai integrasi tersebut maka ASEAN Vision 2020 dipercepat menjadi tahun 2015.

Mengikuti defenisi yang diperkenalkan oleh Karl Deutsch pada pertengahan tahun 1950-an, suatu komunitas keamanan diartikan sebagai kelompok rakyat yang terintegrasi pada satu titik di mana terdapat jaminan nyata bahwa para anggota komunitas tersebut tidak akan berperang satu sama lain secara fisik, melainkan akan menyelesaikan perselisihan di antara mereka dengan cara lain. Deutsch mengobservasi ada dua bentuk komunitas keamanan, yaitu Amalgamated Security Community dan Pluralistic Security Community (PSC).34

Amalgamated Security Community ada ketika terjadi penggabungan dua atau lebih unit-unit yang tadinya independen ke dalam satu unit yang lebih besar, dengan satu tipe pemerintahan bersama setelah terjadinya amalgamasi, misalnya

Amerika Serikat. Pluralistic Security Community (PSC) sebagai alternatif yang

tetap mempertahankan interdependensi hukum dari pemerintahan-pemerintahan yang terpisah. Negara-negara dalam PSC ini memiliki kesesuaian nilai-nilai inti yang didorong dari institusi-institusi bersama, dan tanggung jawab bersama untuk membangun identitas bersama dan loyalitas serta rasa “kekitaan” dan terintegrasi

pada satu titik di mana komunitas tersebut memiliki dependable expectations of

peaceful change.35

34

CPF Luhulima, et al., Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hal 73.

35


(48)

Konsep ASC (ASEAN Security Community) sebagai salah satu tonggak Komunitas ASEAN berupaya memuat prinsip-prinsip yang tidak saja dimaksudkan untuk membangun budaya hubungan damai tetapi juga untuk menciptakan di antara negara-negara ASEAN situasi yang damai dan stabil di

dalam negeri masing-masing. Sehingga dengan terbentuknya rasa kekitaan (we

feeling) yang akan mendorong terbentuknya integrasi regional akan menjadikan komunitas keamanan sebagai bentuk kerja sama yang saling membantu dalam menghadapi isu-isu keamanan baik yang berasal dari dalam negeri sesama anggota ASEAN maupun isu yang datang dari luar, seperti misalnya isu terorisme yang dihadapi kawasan Asia Tenggara menjadikan adanya kerja sama di antara negara-negara anggota ASEAN untuk memberantas terorisme melalui ASEAN Convention on Counter Terrorism.

1.5.6 Terorisme

Sejarah tentang terorisme berkembang sejak berabad lampau, ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan, dan ancaman yang memiliki tujuan untuk mencapai hal yang diinginkan. Perkembangan aksi terorisme bermula dari bentuk fanatisme aliran kepercayaan atau ideologi yang dianut, kemudian berubah menjadi pembunuhan baik secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang otoriter. Pengertian terorisme untuk

pertama kali dibahas dalam European Convention on the Supression of Terrorism

(ECST) di Eropa tahun 1977 terjadi perluasan paradigm dari Crime against State


(49)

pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan,

dan masyarakat umum ada dalam suasasan yang teror.36

Secara etimologi, perkataan “teror” berasal dari bahasa Latin “terrere

yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dalam perkataan “to fright”, yang dalam

bahasa Indonesia berarti “menakutkan” atau “mengerikan”.

37

Rumusan terorisme secara terminologis, sampai saat ini masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan dan dirumuskan di dalam peraturan

perundang-undangan. Kamus Webster’s New School and Office Dictionary oleh Noah

Webster, A Fawcett Crest Book, menyebutkan bahwa teror sebagai kata benda

berarti: Extreme afaer, ketakutan yang amat sangat One who excite extreme afaer,

atau seorang yang gelisah dalam ketakutan yang amat sangat. The ability to cause

such afaer, kemampuan menimbulkan ketakutan.38

36

Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Hak Asasi Manusia, dan Hukum, Bandung: PT. Refika Aditama, 2004, hal 23.

37

Mardenis, Op. Cit., hal 85.

38

Ibid., hal 85.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Terorisme merupakan sebuah tindakan seseorang ataupun kelompok orang yang menggunakan kekerasan, ancaman dan sejenisnya untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan/ akhir tujuan. Dengan rasa ketakutan yang disebarkan melalui aksi-aksi kejahatan terhadap kemanusiaan seperti, terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa maka kelompok tersebut dapat mencapai tujuannya. Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror (rasa takut/kengerian) terhadap sekelompok masyarakat.


(50)

Walaupun telah banyak defenisi terorisme yang dikemukakan oleh para

ahli kontra terorisme dan defenisi arti kata terorisme berdasarkan etimologis kata,

serta pemahaman aksi teror dilihat berdasarkan sejarahnya akan tetapi defenisi terorisme belum ada yang dapat diterima secara universal. Istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. Tidak ada negara yang ingin dituduh mendukung terorisme atau menjadi tempat perlindungan bagi kelompok terorisme.

Amerika Serikat sebagai negara yang pertama kali mendeklarasikan “war

on terrorism´ (perang melawan terorisme), dapat dilihat tidak konsisten dalam menyampaikan istilah teroris. Ketidakkonsistenan Amerika Serikat dalam menggunakan istilah terorisme dapat dilihat bahwa perang melawan terorisme oleh Amerika Serikat sesungguhnya merupakan perang untuk melawan pihak-pihak yang mengancam kepentingan mereka. Hal ini dapat dilihat melalui Undang-undang Anti Terorisme Amerika Serikat, terorisme berkaitan dengan

penggunaan kekuatan (force) dalam mencapai tujuan politik dalam politik

internasional. Menurut undang-undang tersebut, ada dua kelompok yang termasuk kategori teroris:

1. Bangsa atau kelompok yang menggunakan kekuatan.

2. Bangsa-bangsa yang membuat keputusan berdasarkan ideologi dan

berdasarkan ideologi itu mereka menggunakan kekuatan.39

39


(51)

Apabila pengertian terorisme tersebut digunakan secara konsisten, dapat kiat lihat bahwa Amerika Serikat lah yang merupakan salah satu negara yang menggunakan aksi teror. Karena Amerika Serikat cenderung menggunakan kekerasan apabila kepentingannya terancam. Amerika Serikat juga telah melakukan invasi ke negara yang berdaulat tanpa persetujuan dewan keamanan

PBB.40

Aksi terorisme merupakan aksi yang tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti pelaksanaan atau aksi teror yang dilakukan selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak sering kali merupakan warga sipil. Hal ini merupakan bentuk kekerasan yang dilakukan para teroris, pelakunya sering mempublikasikan dan mengatakan pertanggungjawaban terhadap aksi serangan yang telah dilakukan, di dalam publikasi pertanggung jawaban aksi yang telah dilakukan pemimpin jaringan teroris juga menyampaikan ancaman kepada negara dengan melakukan publikasi tersebut maka ketakutan yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang ingin dicapai pelaku teroris. Dengan menarik perhatian masyarakat luas maka teroris memanfaatkan media massa untuk menyuarakan Seperti yang terjadi di Irak, Amerika Serikat menginvasi Irak, karena Irak dianggap sebagai negara teroris yang telah memiliki senjata pemusnah massal, akan tetapi senjata pemusnah massal tersebut tidak ditemukan. Berdasarkan uraian yang diungkapkan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian dan klasifikasi terorisme masih sangat bias dengan kepentingan. Sehingga untuk membuat suatu pengertian terorisme yang universal masih sulit untuk dibuat.

40


(52)

pesan perjuangannya, hal tersebut merupakan metode yang sering digunakan teroris.

Indonesia yang telah mengalami banyak serangan teroris, dan telah dianggap sebagai sarang dari gembong teroris yang beroperasi di Asia Tenggara, menyatakan bahwa terorisme telah menjadi tantangan dan ancaman pada tingkat global dan regional yang telah mengganggu upaya pemerintah untuk melakukan pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk mengatasi ancaman tersebut dalam kerja sama keamanan kawasan ASEAN yang disepakati

dalam ASEAN Convention on Counter Terrorism, dalam konvensi tersebut

Indonesia dan negara anggota ASEAN lainnya menolak pengaitan terorisme dengan bangsa, etnis, dan budaya, serta agama tertentu. Untuk memberantas terorisme dalam kerja sama keamanan kawasan tersebut Indonesia lebih memilih

untuk menggunakan pendekatan soft approach yaitu melalui program

deradikalisasi dan rehabilitasi.

1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ini merupakan jenis metode penelitian deskriptif, yaitu peneltian deskriptif menyajikan suatu gambaran yang

terperinci tentang satu situasi khusus, setting sosial, atau hubungan.41

41

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, Bandung: PT Refika Aditama, 2009, hal 27.

Penelitian deskriptif dilakukan dengan tujuan menggambarkan atau mendeskripsikan obyek


(53)

atau fenomena yang diteliti.42

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data

Tipe penelitian deskriptif digunakan jika ada pengetahuan atau informasi tentang gejala sosial yang akan diselidiki atau dipermasalahkan. Pengetahuan tersebut diperoleh dari survey literature, laporan hasil penelitian, atau dari hasil studi eksplorasi.

Penelitian ini melakukan beberapa teknik pengumpulan data. Dalam mengumpulkan data-data yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penelitian ini maka dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Teknik penelaahan terhadap dokumen tertulis atau disebut juga dengan

riset kepustakaan (library research).Dalam riset pustaka penelusuran

pustaka lebih dari pada sekedar melayani fungsi-fungsi untuk menyiapkan kerangka penelitian, tetapi sekaligus memanfaatkan sumber perpustakaan

untuk memperoleh data penelitian.43

2. Metode dokumenter adalah salah satu metode pengumpulan data yang

digunakan dalam metodologi penelitian sosial, melalui dokumen dapat ditemukan sejumlah besar fakta dan data sosial tersimpan dalam bahan

yang berbentuk dokumentasi.44

3. Metode Penelusuran Data Online, merupakan metode penelusuran data

online yaitu tata cara melakukan penelusuran data melalui media online seperti Internet dan media jaringan lainnya yang menyediakan fasilitas

42

Matias Siagian, Metode Penelitian Sosial: Pedoman Praktis Penelitian Bidang Ilmu-ilmu Sosial dan Kesehatan, Medan: Grasindo Monoratama, 2011, hal 52.

43

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004, hal 1

44


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Bakry, Umar Suryadi. 1999. Pengantar Hubungan Internasional, Jakarta: Jayabaya University Press.

Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Chadwick, Bruce A, dkk. 1991. Metode Penelitian Sosial. Diterjemahkan oleh:

Sulistia, ML, dkk. Semarang: IKIP Semarang Press.

Cipto, Bambang. 2007. Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap Dinamika, Realitas, dan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Crelinsten, Ronald. 2009. Counterterrorism. Cambridge: Polity Press.

Dam, Sjamsumar dan Riswandi. 1995. Kerjasama ASEAN: Latar Belakang, Perkembangan, dan Masa Depan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Damayanti, Angel, dkk. 2013. Perkembangan Terorisme di Indonesia. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Direktoral Jenderal Kerja sama ASEAN. 2008. ASEAN Selayang Pandang. Jakarta: Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.

Golose, Petrus Reinhard. 2009. Deradikalisasi terorisme: Humanis, Soul Approach, dan Menyentuh Akar Rumput, Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Kepolisian

Gunaratna, Rohan. 2002. Inside Al Qaeda. New York: Columbia University Press. Hara, Abubakar Eby. 2011. Pengantar Analisis Politik Luar Negeri: Dari

Realisme sampai Kontruktivisme. Bandung: Penerbit Nuansa.

Idrus, Muhammad. 2002. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Penerbit Erlangga. Imperial, Neal. 2005. Securitisation and the Challenge of ASEAN

Counter-terrorism Cooperation. Hong Kong : The University Of Hong Kong, Centre of Asian Studies.


(2)

Jackson, Robert dan Georg Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Diterjemahkan oleh: Dadan Suryadipura. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas). 1980. Kewiraan Untuk Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia.

Luhulima, CPF, dkk. 2008. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Mardenis. 2011. Pemberantasan Terorisme:Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Mar’iyah, Chusnul (ed.). 2004. Indonesia-Australia: Tantangan dan Kesempatan dalam Hubungan Politik Bilateral. Jakarta: Granit.

Mochtar Mas’oed. 1990. Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES.

Rajendran, M. 1985. ASEAN Foreign Relations The Shift to Collective Action,

Kuala Lumpur: Arena Buku sdn.bhd.

Rudy, T. May. 2002. Studi Strategis Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin. Bandung: PT Refika Aditama.

. 2003. Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-masalah Global. Bandung: PT Refika Aditama.

Siagian, Matias. 2011. Metode Penelitian Sosial: Pedoman Praktis Penelitian Bidang Ilmu-ilmu Sosial dan Kesehatan. Medan: Grasindo Monoratama. Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. Suprapto, R. 1997. Hubungan Internasional, Sistem Interaksi, dan Perilaku.

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Wahid, Abdul, dkk. 2004. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Hak Asasi Manusia, dan Hukum. Bandung: PT. Refika Aditama.

Wuryandari, Ganewati, dkk. 2008. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(3)

Jurnal, Tesis, Makalah dan Laporan:

Chow, Jonathan. 2005. “ASEAN Counterterrorism Cooperation Since 9/11”, Asian Survey Vol. 45, Issue 2, Pp. 302–321, (California : University Of California Press, 2005).

Djalong, Frans Fikki. 2010. “Reorientalising Islam: Terrorism and Discourse on Evi”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Vol 14, Nomor 2, November 2010.

Djelantik, Sukawarsani. 2006. ”Terrorism in Indonesia: The Emergence of West Javanese Terrorist.” International Graduate Student Conference Series, No. 22, (East-West Center, 2006).

Fellman, Zack. 2011. “Abu Sayyaf Group”. Washington: CSIS, Homeland Security and Counterterrorism Program Transnational Threats Projects. Gershman, John. 2002. “South East Asia: A Second Front?”. Foreign Affairs,

Vol. 81, No. 4(Jul-Aug), 2002.

Global Terrorism Index 2012 “Capturing the Impact of Terrorismfor the Last Decade”. Institute for Economics & Peace.

Gordon, David dan Samuel Lindo. 2011. “Jemaah Islamiyah.Homeland Security and Counter Terrorism Program Transnational Threats Project, Case Study Number 6, Washington DC: Center For Strategic International Studies, November 2011.

Gunaratna, Rohan. 2006. “Terrorism in Southeast Asia : Threat and Response”.

Center for Eurasian policy occasional research paper series II, No,1 Hudson Institute, 2006.

(ed.). 2012. “The Global Landscape of Terrorism 2012. CTTA: Counter Terrorist Trends and Analysis, Vol. 4 Issue 1, January 2012, Singapore: Nanyang Technological University.

. 2013. “A Face among the Crowd: Profiling the Man Behind the Foiled Plot to Attack Myanmar’s Embassy in Jakarta”. Counter Terrorist


(4)

Analysis, Vol 5, Issue 6, Singapore: S Rajaratnam School Of International Studies, June 2013, hal 1-6.

International Crisis Group Report. 2003. “Jemaah Islamiyah in South East Asia: Damaged but Still Dangerous”. 26 Agustus 2003.

J. Melvin, Neil. 2007. “Conflict in Southern Thailand, Islamism, Violence and the State in the Pattani Insurgency”. SIRPRI Policy Paper No. 20, Sweden: CM Gruppen, Bromma, September 2007.

Kusumah, Mulyana W. 2002. “Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum.

Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, Vol 2, No. III, Desember 2002. Lele, Gabriel. 2005. “Terorisme dan Demokrasi: Masalah Global, Solusi Lokal”.

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 9, No. 1, Juli 2005.

Lunnon, Rebecca dan Muh Taufiqurrohamn. 2013. “South East Asia Assesment: Indonesia”. Counter Terrorist Trend and Analysis, Vol 5, Iss. 1, Singapore: S Rajaratnam School of International Studies, 2013. (42-45).. Perwita, A. A Abimanyu. 2005. “Reformasi Sektor Keamanan Demi Demokrasi

Penanganan Terorisme di Indonesia”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 9, No. 1, Juli 2005.

Sari, Anggalia P. P. 2013. Penerapan Strategi Penggentaran Dalam Upaya Penanggulangan Terorisme di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia, Tesis Pasca Sarjana FISIP Universitas Indonesia, Depok.

Silaen, Victor. 2005. “AS, Indonesia, dan Koalisi Global: Memerangi Jaringan Teroris Internasional”. Jurnal kriminologi Indonesia Vol 4, No. I September 2005.

Sukma, Rizal. 2003. “Keamanan Internasional Pasca 11 September: Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional”, makalah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema: Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar.


(5)

Vaughn, Bruce et.al.,. 2005. “Terrorism in South East Asia”. CRS Report for Congress.

.

Konvensi, Undang-Undang,

2009. “Terrorism In Southeast Asia”. Congressional Research Service.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 6 Tahun 2006 Tentang ratifikasi

International Convention For The Supression of The Financing Terrorism 1999.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 5 Tahun 2012 Tentang Pengesahan

ASEAN Convention On Counter Terorrism (Konvensi Mengenai Pemberantasan Terorisme)

Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan TIndak Pidana Pendanaan Terorisme.

ASEAN Convention on Counter Terrorism (Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme)

Perpress No. 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

Majalah

STAF FORUM. 2014. “Melawan Terorisme: Menteri Pertahanan Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara memimpin Perlawanan Terhadap Ancaman Antarbangsa di kawasan ini”, Asia Pacific Defense Forum Vol. 39, Terbitan ke-2, 2014.

Notulensi Rapat

Suprihartini. 2012.Risalah Rapat Dengar Pendapat (RDP) acara mendapatkan masukan terhadap RUU tentang pengesahan ASEAN Convention on


(6)

Counter Terrorism (Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme) Komisi I DPR RI pada 5 Maret 2012.

Situs Internet:

BBC Indonesia, laporan khusus terorisme Indonesia dalam

BBC Indonesia, Penangkapan Kastari yang merupakan dalang dalam rencana penabrakan pesawat ke Bandara Changi, Kastari ditangkap di Malaysia

dan diserahkan ke Singapura dalam

Sejarah revolusi Iran, dalam

diakses pada tanggal 29 Mei 2014 pukul 21:33 WIB.

Garret Atkinson, “Abu Sayyaf: The Father of the Swordsman, A Review of the rise of Islamic insurgency in the southern Philippines” American Security Project: www.americansecurityproject.org, Maret 2012, hal 1. File ini diunduh pada 16 Juni 2014 pukul 19.31 WIB.

Aksi teror yang dilakukan oleh ASG, dalam

2014, pukul 20:31 WIB.

Charles Comer, “The Parting of The Sulawesi Sea: How U.S. Strategy in the Region is Slowly Transforming the Multinational Environment in Southeast Asia’s terrorist transit Triangle, 10 November 2012” dalam

diakses