UPAYA PENANGGULANGAN TERHADAP NARAPIDANA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi pada Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa Bandar Lampung)

(1)

(2)

ABSTRAK

UPAYA PENANGGULANGAN TERHADAP NARAPIDANA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN

(Studi pada Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa Bandar Lampung)

Oleh

JAKA PERMANA

074201119

Setiap narapidana yang menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan seharusnya berupaya untuk memperbaiki kesalahan mereka melalui proses pembinaan yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemasyarakatan, sehingga apabila kelak mereka dibebaskan mereka akan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat dan tidak aklan mengulangi kesalahannya. Pada kenyataannya narapidana justru kembali mengulangi kesalahannya dengan melakukan tindak pidana narkotika meskipun mereka masih berstatus sebagai warga binaan Lembaga Pemasyarakatan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimanakah upaya penanggulangan pidana terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa Bandar Lampung? 2) Faktor-faktor apakah yang menghambat upaya penanggulangan pidana terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa Bandar Lampung? Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Responden penelitian terdiri dari anggota Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Upaya penanggulangan terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa dilaksanakan dengan: a) Upaya non penal, dilaksanakan dengan cara penyuluhan narkoba kepada narapidana, melakukan pemeriksaan terhadap pengunjung lapas, melakukan tes narkoba terhadap narapidana, melakukan pembinaan terhadap sipir agar mereka tidak ikut terlibat dalam peredaran narkotika di dalam lapas. b) Upaya penal, dilaksanakan dengan melakukan razia terhadap narapidana, yaitu penggeledahan terhadap narapidana untuk menemukan ada atau tidaknya narapidana yang terlibat di dalam kasus peredaran narkotika di dalam lapas, melakukan penyidikan terhadap narapidana yang diduga mengedarkan


(3)

narkotika diawali dengan menangkap narapidana yang terlibat penyalahgunaan narkoba dan memproses secara hukum sipir yang terlibat atau bekerjasama dengan narapidana dengan para narapidana. (2) Faktor-faktor penghambat upaya penanggulangan terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa adalah: a) Faktor penegak hukum yaitu adanya kesempatan bagi petugas Lapas untuk terlibat dalam peredaran narkoba di dalam Lapas. b)Faktor sarana dan prasarana yaitu masih minimnya teknologi yang dapat mendeteksi keberadaan narkoba di dalam Lapas. Polresta Bandar Lampung juga belum memiliki laboratorium forensik, sehingga apabila ditemukan barang bukti yang perlu diuji melalui laboratorium. c) Faktor masyarakat, yaitu kurangnya dukungan masyarakat terhadap upaya pemberantasan peredaran narkoba, yaitu menyelundupkan narkoba ke dalam lembaga pemasyarakatan atau menjadi agen narkoba bagi para narapidana. d)Faktor budaya, yaitu berkembangnya sikap individualism dalam kehidupan masyarakat, khususnya narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan, sehingga apabila mereka mengetahui ada narapidana lain yang menyalahgunakan narkoba maka mereka bersikap acuh atau membiarkan hal tersebut.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Upaya penanggulangan melalui upaya penal berupa razia terhadap narapidana hendaknya terus ditingkatkan dan berkelanjutan dalam rangka mencegah terjadinya peredaran narkotika di dalam Lapas di kemudian hari. Terhadap narapidana yang terbukti mengedarkan narkotika hendaknya penegakan hukum dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam rangka memberikan efek jera kepada narapidana tersebut (2) Petugas Lembaga Pemasyarakatan yang terbukti terlibat kasus peredaran narkoba di dalam lapas hendaknya diproses secara hukum dengan transparan, hal ini penting dilakukan sebagai percontohan bagi para petugas lain agar tidak terlibat dalam peredaran narkoba di masa mendatang.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 11

II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana ... 13

B. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana ... 16

C. Pengertian Tindak Pidana Narkotika ... 19

D. Narapidana dan Lembaga Pemasyarakatan ... 20

E. Teori Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ... 22

III METODE PENELITIAN ... 25

A. Pendekatan Masalah ... 25

B. Sumber dan Jenis Data ... 25

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 27

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 27


(7)

A. Karakteristik Responden ... 30

B. Upaya Penanggulangan Terhadap Narapidana Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan ... 31

C. Faktor-Faktor Penghambat Penanggulangan Terhadap Narapidana Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan ... 50

V KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

A. Kesimpulan ... 57

B. Saran ... 59


(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah nasional, karena berdampak negatif yang dapat merusak serta mengancam berbagai aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara serta dapat menghambat proses pembangunan nasional. Penyalahgunaan narkotika tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, tapi sudah sampai ke kota-kota-kota-kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dampak yang ditimbulkan karena penyalahgunaan obat-obatan terlarang adalah merusak mental dan fisik individu yang bersangkutan dan dapat meningkat pada hancurnya kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Kejahatan dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan dan telah berada pada ambang mengkhawatirkan apabila tidak segera ditanggulangi melalui penegakan hukum yang tegas dan komprehensif. Menurut data Badan Narkotika Nasional, sampai dengan tahun 2012 terdapat sebanyak 3.865.378 pengguna narkotika di seluruh Indonesia1.

1


(9)

Fenomena peredaran gelap narkotika dalam hal ini merupakan permasalahan internasional, regional dan nasional. Sampai dengan saat ini, penyalahgunaan obat-obatan terlarang di seluruh dunia tidak pernah kunjung berkurang. Secara umum permasalahan obat-obatan terlarang dapat dibagi menjadi tiga bagian yang saling terkait, yakni adanya produksi narkoba secara gelap (illicit drug production), adanya perdagangan gelap narkoba (illicit trafficking) dan adanya penyalahgunaan narkotika (drug abuse). Ketiga hal itulah sesungguhnya menjadi target sasaran yang ingin diperangi oleh masyarakat internasional dengan Gerakan Anti Madat Sedunia2

Kecenderungan kejahatan atau penyalahgunaan narkotika mengalami peningkatan karena pengaruh kemajuan teknologi, globalisasi dan derasnya arus informasi. Selain itu adanya keinginan para pelaku untuk memperoleh keuntungan yang besar dalam jangka waktu cepat dalam situasi ekonomi yang memburuk seperti sekarang ini, akan mendorong munculnya pabrik-pabrik gelap baru dan penyalahgunaan narkotika akan semakin marak di masa mendatang. Kondisi ini tentunya menjadi keprihatinan dan perhatian semua pihak baik pemerintah, LSM dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mencari jalan penyelesaian yang paling baik guna mengatasi permasalahan Narkoba ini sehingga tidak sampai merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Menyadari bahwa penyalahgunaan narkotika ini sama halnya dengan penyakit masyarakat lainnya seperti perjudian, pelacuran, pencurian dan pembunuhan yang sulit diberantas atau bahkan dikatakan tidak bisa dihapuskan sama sekali dari


(10)

muka bumi, maka apa yang dapat dilakukan secara realistik hanyalah bagaimana cara menekan dan mengendalikan sampai seminimal mungkin angka penyalahgunaan narkotika serta bagaimana melakukan upaya untuk mengurangi bahaya yang diakibatkan oleh penyalahgunaan narkotika ini.

Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama. Kejahatan dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan dan telah berada pada ambang mengkhawatirkan apabila tidak segera ditanggulangi melalui penegakan hukum yang tegas dan komprehensif3.

Penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan masalah yang sangat kompleks, sehingga diperlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan konsisten.

Menurut Pertimbangan huruf (c) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa

3 Erwin Mappaseng. Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam Aspek Hukum dan Pelaksanaannya. Buana Ilmu. Surakarta. 2002. hlm.2


(11)

pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama. Selanjutnya menurut huruf (d), tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika merupakan bahan/zat/obat yang umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitikberatkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. napza sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.

Masalah yang melatarbelakangi penelitian ini adalah adanya penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang oleh para pelaku yang berstatus sebagai narapidana atau warga binaan Lembaga Pemasyarakatan, sehingga diperlukan adanya upaya penanggulangan pidana terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan. Data BNN Pusat menunjukkan


(12)

bahwa sampai dengan dengan tahun 2011 terdapat sebanyak 412 bandar narkotika berstatus sebagai wagra binaan lembaga pemasyarakatan4.

Salah satu contohnya adalah kasus yang dilakukan oleh Terdakwa Ridwan warga jalan Imam Bonjol kelurahan gedong Air kecamatan Tanjungkarang Barat (TkB) Bandarlampung, Teddy Sanjaya warga jalan Selagai kecamatan Metro Timur Kota Metro, Sardi alias Bewok warga desa Karya Tunggal Babatan Kecamatan Ketibung Lampung Selatan, akan lebih lama mendekam dipenjara, pasalnya JPU dalam tuntutannya meminta agar Majelis hakim menghukum terdakwa Ridwan dan Teddy Sanjaya selama enam tahun, enam bulan penjara, sedangkan Sardi selama enam tahun penjara, denda Rp1 milyar subsider tiga bulan kurungan. Karena terbukti terlibat dalam penyalagunaan peredaran narkoba jenis ganja didalam lapas Rajabasa5.

Hal-hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa merugikan masa depan bangsa dan tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan Narkoba, sedangkan yang meringankannya, sopan dalam persidangan. Fakta persidangan ketiga terdakwa yang merupakan narapidana penghuni lapas Rajabasa dan masih menjalani hukuman, terlibat dalam peredaran ganja seberat 18 gram di Lapas Rajabasa. Atas tuntutan tersebut ketiga terdakwa itu akhirnya pledoi secara lisan, ia meminta agar majelis hakim memberikan keringanan, mengingat ketiganya memiliki tanggungungan keluarga, dan menyesali perbuatannya. Setelah JPU

4

http:// www.bnn.go.id. Diakses Senin, 9 April 2012 5


(13)

membacakan tuntutan tersebut, akhirnya Majelis hakim menutup sidang dan dilanjutkan pecan mendatang dengan agenda putusan6.

Sesuai dengan adanya narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di lembaga pemasyarakatan maka dilakukan upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika oleh narapidana. Hal ini relevan dengan pendapat bahwa penanggulangan pidana merupakan upaya menanggulangi kejahatan yaitu suatu reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana (penal) maupun non hukum pidana (nonpenal), yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya.7

Berdasarkan uraian di atas penulis akan melakukan penelitian mengenai upaya penanggulangan pidana terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di lembaga pemasyarakatan. Penelitian ini dilaksanakan pada Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa Bandar Lampung.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah upaya penanggulangan terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa Bandar Lampung?

6

Ibid 7


(14)

b. Faktor-faktor apakah yang menghambat upaya penanggulangan terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa Bandar Lampung?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang penelitian ini terdiri dari ruang lingkup ilmu, sub ilmu dan wilayah penelitian sebagai berikut:

a. Ruang lingkup ilmu adalah bidang hukum pidana

b. Ruang lingkup sub ilmu adalah kajian mengenai upaya penanggulangan terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika dan faktor-faktor yang menghambat upaya penanggulangan terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika

c. Ruang lingkup wilayah penelitian adalah di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa Bandar Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui upaya penanggulangan terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa Bandar Lampung

c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat upaya penanggulangan terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa Bandar Lampung


(15)

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut:

1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya khazanah ilmu hukum pada umumnya dan kajian ilmu hukum pidana pada khususnya yang berhubungan dengan upaya penanggulangan pidana terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan.

2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan dan kontribusi positif bagi institusi penegak hukum, khususnya Petugas Lembaga Pemasyaraatan dan Kepolisian dalam rangka penegakan hukum terhadap narapidana yang menjadi pelaku tindak pidana narkotika.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis merupakan abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya penelitian hukum.8

Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Teori Penanggulangan kejahatan

8


(16)

Penanggulangan kejahatan merupakan upaya menanggulangi kejahatan yaitu suatu reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana (penal) maupun non hukum pidana (nonpenal), yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang9

Penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan suatu gejala dan bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya dengan kata lain sanksi hukum pidana bukanlah merupakan pengobatan kausatif tetapi hanya sekedar pengobatan simptomatik. Upaya menanggulangi kejahatan (politik kriminal) dapat menggunakan dua sarana:

a. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal

Sarana penal adalah penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar.

b. Kebijakan Pidana dengan Sarana Non Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan10

2. Teori Tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang menghambat yaitu sebagai berikut:

9

Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung. 1986. hlm. 7 10


(17)

a. Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum) b. Faktor penegak hukum

c. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung d. Faktor masyarakat

e. Faktor Kebudayaan11

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian. 12Berdasarkan definisi tersebut maka peneliti akan melakukan analisis pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini dan memberikan batasan pengertian yang berhubungan dengan penelitian. Batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penanggulangan pidana adalah upaya menanggulangi kejahatan sebagai reaksi

yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana (penal) maupun non hukum pidana (nonpenal), yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang13.

2. Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh pelaku,

11

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.8-11

12

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.32

13


(18)

dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum14

3. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika)

4. Narapidana adalah adalah Warga Binaan Pemasyarakatan, Anak Didik Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan (Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan)

5. Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan (Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan Skripsi ini adalah sebagai berikut: I PENDAHULUAN

Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan. II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan pustaka yang digunakan dalam skripsi, meliputi pengertian penanggulangan pidana, tindak pidana, narkotika, narapidana,

14

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 16.


(19)

lembaga pemasyarakatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum.

III METODE PENELITIAN

Bab ini berisi metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi berisi penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dari hasil penelitian, terdiri dari upaya penanggulangan pidana terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika dan faktor-faktor yang menghambat upaya penanggulangan pidana terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa Bandar Lampung

V PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian, demi perbaikan di masa yang akan datang


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana

Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal policy, atau strafrechtspolitiek adalah suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.1

Pelaksanaan dari politik hukum pidana harus melalui beberapa tahapan yaitu: a. Tahap Formulasi

Yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat Undang-Undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil Perundang-undangan yang

1


(21)

paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif.

b. Tahap Aplikasi

Yaitu tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat dapat disebut sebagai tahap yudikatif.

c. Tahap Eksekusi

Yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat-aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang melalui Penerapan Pidana yang telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam Putusan Pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada Peraturan Perundang-undangan Pidana yang dibuat oleh pembuat Undang-Undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna. 2

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

Upaya dalam rangka menanggulangi kejahatan merupakan suatu sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana (penal) maupun non hukum pidana (nonpenal), yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.

2


(22)

Penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan suatu gejala dan bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya.

Selain itu kebijakan kriminal juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare policy) dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat (social defence policy). Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal

ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan”. Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik kriminal) menggunakan dua sarana, yaitu:

a. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal

Sarana penal adalah penggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu :

a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.

b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar. b. Kebijakan Pidana dengan Sarana Non Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan 3

Pada hakikatnya, pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach) karena ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai terhadap sejumlah

3

Badra Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. 2002. hlm. 77-78


(23)

perbuatan asusila dilakukan dengan mengadopsi perbuatan yang tidak pantas/ tercela di masyarakat dan berasal dari ajaran-ajaran agama dengan sanksi berupa pidana.

Semula suatu perbuatan dianggap tidak tercela, akan tetapi akhirnya masyarakat menilai bahwa perbuatan itu adalah tercela, sehingga terhadap perbuatan itu diancamkan dengan suatu sanksi pidana. Memang tidak mungkin semua perbuatan yang tercela dan sebagainya itu dijadikan tindak pidana. Empat kriteria yang perlu diperhatikan sebelum memberi ancaman pidana (mengkriminalisasi), yaitu tujuan hukum pidana; penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki; perbandingan antara sarana dan hasil; dan kemampuan badan penegak hukum.

B. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. 4

4

P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 7.


(24)

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan5

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 6

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, antara lain sebagai berikut:

a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam

Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu

bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.

5

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 22

6

P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti.Bandung. 1996. hlm. 16.


(25)

c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal7 Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif.

Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut: a. Kelakuan dan akibat (perbuatan )

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subyektif. 8

7

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 25-27

8


(26)

C. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyatakan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Narkotika merupakan bahan/zat/obat yang umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitikberatkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. napza sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran. Narkotika sebagai bahan/zat/obat yang bila masuk ke dalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosial karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi). Narkotika dibedakan ke dalam golongan-golongan:

1) Narkotika Golongan I

Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, (Contoh: heroin/putauw, kokain, ganja).

2) Narkotika Golongan II

Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi mengakibatkan ketergantungan (Contoh: morfin, petidin).


(27)

3) Narkotika Golongan III

Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan (Contoh: kodein).

Peredaran adalah setiap atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan [Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika]. Perdagangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka pembelian dan/atau penjualan, termasuk penawaran untuk menjual narkotika, dan kegiatan lain berkenaan dengan pemindahtanganan narkotika dengan memperoleh imbalan. [Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika].

D. Narapidana dan Lembaga Pemasyarakatan

1. Pengertian Narapidana

Pengertian narapidana adalah orang-orang hukuman, yaitu merupakan orang yang sedang menjalani hukuman penjara atau hukuman dalam rumah penjara. Narapidana meruapakan orang hukuman yang sedang menjalani masa hukuman penjara atau di lembaga pemasyarakatan atas dasar surat untuk dibina agar menjadi manusia yang sadar atau tidak melanggar hukum lagi setelah bebas dari lembaga pemasyarakatan. 9

9

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 22


(28)

Sistem pemasyarakatan mempunyai arti penting untuk merubah manusia narapidana agar kembali ke jalan yang dibenarkan hukum, dan merubah masyarakat pidana penjara berdasarkan atas asas kemanusiaan. Narapidana juga adalah seorang anggota masyarakat yang selama waktu tertentu diproses di lingkungan tempat tertentu dengan tujuan, metode, dan sistematika dan pada suatu saat terpidana itu akan kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat kepada hukum. Oleh karena itu dapat dikatakan narapidana juga seorang individu yang patut dihargai dan dihormati sebagai makhluk Tuhan dan anggota masyarakat. 10

2. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

Menurut Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang disebut dengan Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.

Lembaga Pemasyarakatan adalah suatu tempat di mana seseorang yang dituduh melakukan tindakan kejahatan yang telah terbukti kesalahannya, dan hakim telah menetapkan hukuman berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka orang tersebut diwajibkan untuk menjalani masa hukumannya di dalam Lembaga Pemasyarakatan.

10

P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti.Bandung. 1996. hlm. 16.


(29)

Lembaga Pemasyarakatan juga dapat diartikan sebagai tempat dikumpulkannya manusia yang melanggar aturan dan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Sementara azas yang dianut LP adalah memposisikan tahanan sebagai subyek yang dipandang sebagai pribadi, warga negara biasa, dan sebagai makhluk Tuhan. Oleh karena itu di dalam lembaga pemasyarakatan narapidana mendapat bimbingan dan pembinaan dengan harapan setelah selesai menjalani hukuman, narapidana dapat bersosialisasi dengan masyarakat serta dapat meningkatkan keterampilan agar mampu hidup mandiri di masyarakat. 11

E. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut: 1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.

2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan

11

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23


(30)

hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.

3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.

4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik. 5) Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan


(31)

kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya. Apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum.12

12

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.8-11


(32)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif merupakan upaya memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris merupakan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada. 1

B. Sumber dan Jenis Data

Data merupakan sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian yang berasal dari berbagai sumber. Data terdiri dari data langsung yang diperoleh dari lapangan dan data tidak langsung yang diperoleh dari studi pustaka. Jenis data meliputi data primer dan data sekunder. Adapun penjelasan mengenai data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan dengan cara melakukan wawancara dengan para responden penelitian untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan pembahasan.

1


(33)

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai bahan hukum yang berhubungan dengan penelitian ini, yang terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini bersumber dari:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan 4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan-bahan hukum yang dapat membantu pemahaman dalam menganalisa serta memahami permasalahan. Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1971 Tentag Badan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Narkotika, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2002 Tentang Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2002 Tentang Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dalam penelitian ini bersumber dari literatur atau buku-buku hukum, sumber internet dan lain-lain.


(34)

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti. 2 Berdasarkan pengertian di atas maka

yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Anggota Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung, Petugas LP Rajabasa dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. 3 Berdasarkan pengertian di

atas maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah: a) Anggota Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung : 2 orang b) Staf KPLP Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa : 1 orang +

Jumlah : 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi lapangan sebagai berikut:

2

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.65

3Ibid.


(35)

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian. 4

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

4Ibid.


(36)

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data. 5

D. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. 6

.Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

5Ibid.

hlm.59

6Ibid


(37)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa meliputi:

1. Upaya penanggulangan melalui upaya non penal, dilaksanakan dengan cara: a. Penyuluhan Narkoba Kepada Narapidana, yaitu memberikan penyuluhan

dan pembinaan dalam rangka pemulihan dan pembekalan yang bersangkutan dikemudian hari agar tidak tersandung lagi pada penyalahgunaan narkoba, baik selama menjalani masa hukuman di dalam Lapas maupun setelah bebas dan kembali ke tengah-tengah masyarakat. b. Melakukan Pemeriksaan Terhadap Pengunjung Lapas, yaitu memeriksa

barang bawaan pengunjung secara teliti dalam rangka mengantisipasi terjadinya penyelundupan narkoba kepada para narapidana.

c. Melakukan Tes Narkoba Terhadap Narapidana, yaitu untuk melakukan

monitoring terhadap tingkat penggunaan narkoba đi dalam Lapas tetapi

juga sebagai upaya penjeraan bagi narapidana untuk tidak menggunakan narkoba.

d. Melakukan Pembinaan terhadap Sipir agar mereka tidak ikut terlibat dalam peredaran narkotika di dalam Lapas


(38)

a. Melakukan Razia Terhadap Narapidana, yaitu penggeledahan terhadap narapidana untuk menemukan ada atau tidaknya narapidana yang terlibat di dalam kasus peredaran narkotika di dalam lapas

b. Melakukan penyidikan terhadap narapidana yang diduga mengedarkan narkotika di dalam lapas

c. Memproses secara hukum narapidana yang mengedarkan narkotika diawali degan menangkap narapidana yang terlibat penyalahgunaan narkoba

d. Memproses secara hukum Sipir yang terlibat atau bekerjasama dengan narapidana dengan para narapidana.

2. Faktor-faktor penghambat upaya penanggulangan terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa meliputi:

a. Faktor penegak hukum yaitu adanya kesempatan bagi petugas Lapas untuk terlibat dalam peredaran narkoba di dalam Lapas.

b. Faktor sarana dan prasarana yaitu masih minimnya teknologi yang dapat mendeteksi keberadaan narkoba di dalam Lapas. Polresta Bandar Lampung juga belum memiliki laboratorium forensik, sehingga apabila ditemukan barang bukti yang perlu diuji melalui laboratorium.

c. Faktor masyarakat, yaitu kurangnya dukungan masyarakat terhadap upaya pemberantasan peredaran narkoba, yaitu menyelundupkan narkoba ke dalam lembaga pemasyarakatan atau menjadi agen narkoba bagi para narapidana.


(39)

d. Faktor budaya, yaitu berkembangnya sikap individualism dalam kehidupan masyarakat, khususnya narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan, sehingga apabila mereka mengetahui ada narapidana lain yang menyalahgunakan narkoba maka mereka bersikap acuh atau membiarkan hal tersebut.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Upaya penanggulangan melalui upaya penal berupa razia terhadap narapidana hendaknya terus ditingkatkan dan berkelanjutan dalam rangka mencegah terjadinya peredaran narkotika di dalam Lapas di kemudian hari. Terhadap narapidana yang terbukti mengedarkan narkotika hendaknya penegakan hukum dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam rangka memberikan efek jera kepada narapidana tersebut

2. Petugas Lembaga Pemasyarakatan yang terbukti terlibat kasus peredaran narkoba di dalam lapas hendaknya diproses secara hukum dengan transparan, hal ini penting dilakukan sebagai percontohan bagi para petugas lain agar tidak terlibat dalam peredaran narkoba di masa mendatang.


(40)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2001. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, 2001. Departemen Sosial RI, Klasifikasi Narkotika, Psikotropika dan Zat-Zat Adiktif Lainnya, Jakarta. Hamzah, Andi. 2001. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Adityta Bakti, Bandung.

Lastarya, Dharana. 2006. Narkoba, Perlukah Mengenalnya. Pakarkarya. Jakarta Mappaseng, Erwin, 2002. Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang

Dilakukan oleh Polri dalam Aspek Hukum dan Pelaksanaannya. Dirjen Binmas Polri. Jakarta.

Moeljatno, 1993. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Muladi dan Barda Nawawi Arif. 1984. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana Penerbit Alumni, Bandung.

Praja, Ahmad S. Seomadi dan Romli Atmasasmita. 1979. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung.

Rahardjo, Satjipto. 1982. Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Rajawali. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

________________. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.


(41)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1971 Tentag Badan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Narkotika

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2002 Tentang Badan Narkotika Nasional (BNN)

Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2002 Tentang Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba


(1)

29

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data. 5

D. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. 6

.Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

5Ibid.

hlm.59 6Ibid


(2)

57

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa meliputi:

1. Upaya penanggulangan melalui upaya non penal, dilaksanakan dengan cara: a. Penyuluhan Narkoba Kepada Narapidana, yaitu memberikan penyuluhan

dan pembinaan dalam rangka pemulihan dan pembekalan yang bersangkutan dikemudian hari agar tidak tersandung lagi pada penyalahgunaan narkoba, baik selama menjalani masa hukuman di dalam Lapas maupun setelah bebas dan kembali ke tengah-tengah masyarakat. b. Melakukan Pemeriksaan Terhadap Pengunjung Lapas, yaitu memeriksa

barang bawaan pengunjung secara teliti dalam rangka mengantisipasi terjadinya penyelundupan narkoba kepada para narapidana.

c. Melakukan Tes Narkoba Terhadap Narapidana, yaitu untuk melakukan

monitoring terhadap tingkat penggunaan narkoba đi dalam Lapas tetapi

juga sebagai upaya penjeraan bagi narapidana untuk tidak menggunakan narkoba.

d. Melakukan Pembinaan terhadap Sipir agar mereka tidak ikut terlibat dalam peredaran narkotika di dalam Lapas


(3)

58

a. Melakukan Razia Terhadap Narapidana, yaitu penggeledahan terhadap narapidana untuk menemukan ada atau tidaknya narapidana yang terlibat di dalam kasus peredaran narkotika di dalam lapas

b. Melakukan penyidikan terhadap narapidana yang diduga mengedarkan narkotika di dalam lapas

c. Memproses secara hukum narapidana yang mengedarkan narkotika diawali degan menangkap narapidana yang terlibat penyalahgunaan narkoba

d. Memproses secara hukum Sipir yang terlibat atau bekerjasama dengan narapidana dengan para narapidana.

2. Faktor-faktor penghambat upaya penanggulangan terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa meliputi:

a. Faktor penegak hukum yaitu adanya kesempatan bagi petugas Lapas untuk terlibat dalam peredaran narkoba di dalam Lapas.

b. Faktor sarana dan prasarana yaitu masih minimnya teknologi yang dapat mendeteksi keberadaan narkoba di dalam Lapas. Polresta Bandar Lampung juga belum memiliki laboratorium forensik, sehingga apabila ditemukan barang bukti yang perlu diuji melalui laboratorium.

c. Faktor masyarakat, yaitu kurangnya dukungan masyarakat terhadap upaya pemberantasan peredaran narkoba, yaitu menyelundupkan narkoba ke dalam lembaga pemasyarakatan atau menjadi agen narkoba bagi para narapidana.


(4)

59

d. Faktor budaya, yaitu berkembangnya sikap individualism dalam kehidupan masyarakat, khususnya narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan, sehingga apabila mereka mengetahui ada narapidana lain yang menyalahgunakan narkoba maka mereka bersikap acuh atau membiarkan hal tersebut.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Upaya penanggulangan melalui upaya penal berupa razia terhadap narapidana hendaknya terus ditingkatkan dan berkelanjutan dalam rangka mencegah terjadinya peredaran narkotika di dalam Lapas di kemudian hari. Terhadap narapidana yang terbukti mengedarkan narkotika hendaknya penegakan hukum dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam rangka memberikan efek jera kepada narapidana tersebut

2. Petugas Lembaga Pemasyarakatan yang terbukti terlibat kasus peredaran narkoba di dalam lapas hendaknya diproses secara hukum dengan transparan, hal ini penting dilakukan sebagai percontohan bagi para petugas lain agar tidak terlibat dalam peredaran narkoba di masa mendatang.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2001. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, 2001. Departemen Sosial RI, Klasifikasi Narkotika, Psikotropika dan Zat-Zat Adiktif Lainnya, Jakarta. Hamzah, Andi. 2001. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Adityta Bakti, Bandung.

Lastarya, Dharana. 2006. Narkoba, Perlukah Mengenalnya. Pakarkarya. Jakarta Mappaseng, Erwin, 2002. Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang

Dilakukan oleh Polri dalam Aspek Hukum dan Pelaksanaannya. Dirjen Binmas Polri. Jakarta.

Moeljatno, 1993. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Muladi dan Barda Nawawi Arif. 1984. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana Penerbit Alumni, Bandung.

Praja, Ahmad S. Seomadi dan Romli Atmasasmita. 1979. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung.

Rahardjo, Satjipto. 1982. Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Rajawali. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

________________. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.


(6)

Utrecht, E. dan M. Saleh Djinjang. 1982. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Pradya Paramitha. Jakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1971 Tentag Badan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Narkotika

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2002 Tentang Badan Narkotika Nasional (BNN)

Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2002 Tentang Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba


Dokumen yang terkait

Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Narapidana Narkotika Sebagai Bagian Pembinaan Di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangsiantar)

9 136 136

Kedudukan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Dan Psikotropika

1 53 162

UPAYA PENANGGULANGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi Kasus pada Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa Bandar Lampung)

0 10 48

KONFLIK ANTAR ANGGOTA NARAPIDANA SELAMA DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I, Rajabasa, Bandar Lampung)

2 21 78

PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM REHABILITASI TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Jakarta)

0 10 72

PEMBINAAN NARAPIDANA RESIDIVIS PELAKU TINDAK PIDANA PEREDARAN GELAP NARKOTIKA PADA LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIB PARIAMAN.

4 11 11

PELAKSANAAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Hui Bandar Lampung)

0 0 15

UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI TELEPON GENGGAM YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung)

0 0 19

PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Bandar Lampung) (Jurnal)

0 0 13

PEMBINAAN TERHADAP NARAPIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Kedungpane Semarang) - Unissula Repository

2 20 13