Kajian Pola Distribusi Mineral Liat pada Tiga Jenis Tanah Berdasarkan Tingkat Perkembangan Tanah di Lahan Kampus Pertanian USU Baru Kwala Bekala

(1)

KAJIAN POLA DISTRIBUSI MINERAL LIAT PADA TIGA JENIS TANAH BERDASARKAN TINGKAT PERKEMBANGAN TANAH

DI LAHAN KAMPUS PERTANIAN USU BARU KWALA BEKALA

SKRIPSI

Oleh :

Ribka Vania Regina Kuhon 050303027

Ilmu Tanah

DEPARTEMEN ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

KAJIAN POLA DISTRIBUSI MINERAL LIAT PADA TIGA JENIS TANAH BERDASARKAN TINGKAT PERKEMBANGAN TANAH

DI LAHAN KAMPUS PERTANIAN USU BARU KWALA BEKALA

SKRIPSI

Oleh :

Ribka Vania Regina Kuhon 050303027

Ilmu Tanah

Skripsi Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Di Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan

DEPARTEMEN ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(3)

Judul Skripsi : Kajian Pola Distribusi Mineral Liat pada Tiga Jenis Tanah Berdasarkan Tingkat Perkembangan Tanah di Lahan Kampus Pertanian USU Baru Kwala Bekala Nama : Ribka Vania Regina Kuhon

NIM : 050303027 Departemen : Ilmu Tanah

Progam Studi : Klasifikasi dan Evaluasi Lahan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

(Ir. P. Marpaung, SU) (Ir. Posma Marbun, MP) Ketua Anggota

Mengetahui

(Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP) Ketua Departemen Ilmu Tanah

NIP. 131 653 982

DEPARTEMEN ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(4)

ABSTRACT

The research was conducted in agriculture area North Sumatera University, Kwala Bekala, Research and Technology Laboratory, Agriculture Faculty, North Sumatera University, Medan and Industry Chemist Technology Education Laboratory, Medan, from December 2008 to April 2009. The objective of this study was to determine the design of clay minerals distribution and to compare the distribution of clay minerals in three soils based on soil development. The research used devide the Differential Thermal Analysis (DTA) for three representative soil profiles based on soil development there are Alluvial (Entisol), Brown Yellowish Podzolic (Inceptisol) , and Brown Reddish Podzolic (Ultisol). In conclusion, the first profile (the horizons are Ap. IIC, Bt, IC, Bw) in Alluvial (Entisol) with young development and the second profile (the horizons are Ap, Bw1, Bw2, Bw3) in Brown Yellowish Podzolic (Inceptisol) with transition stage of development have imogolit and allophan-A minerals with design of clay minerals distribution are indeterminate and the third profile in Brown Reddish Podzolic (Ultisol) with old development have imogolit and allophan-A minerals with design of clay minerals distribution are decreasing and maximum.

Key words : clay minerals, design of clay minerals distribution, soil development, DTA (Differential Thermal Analysis)


(5)

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan di lahan kampus pertanian USU Baru, Kwala Bekala, Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan dan Laboratorium Pendidikan Teknologi Kimia Industri, Medan yang . dilakukan pada bulan Desember 2008 sampai April 2009. Penelitian ini menggunakan alat Differential Thermal Analysis (DTA) pada 3 profil pewakil berdasarkan perkembangan tanah dengan profil 1 Entisol, profil 2 Inceptisol, profil 3 Ultisol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profil 1 (horizon Ap, IIC, Bt, IC, Bw) adalah tanah dengan tingkat perkembangan tanah muda memiliki jenis mineral liat alofan-A dan imogolit dengan pola distribusi mineral liatnya tidak tentu. Profil 2 (horizonnya Ap, Bw1, Bw2, Bw3) dengan tingkat perkembangan tanah sedang memiliki jenis mineral liat alofan-A dan imogolit dan pola distribusi mineral liatnya tidak tentu. Profil 3 (horizonnya Ap, Bt, Bw) dengan tingkat perkembangan tanah lanjut memiliki jenis mineral liat alofan-A dan imogolit dan pola distribusi mineral liatnya masing-masing maksimum dan berkurang.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Ribka Vania Regina Kuhon, lahir di Yogyakarta 27 Desember 1987,

putri pertama dari pasangan Ayahanda Daniel R. Kuhon dan Ibunda Lina br. Tobing merupakan putri pertama dari dua bersaudara.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah : - SD Negeri 13 Prabumulih lulus pada tahun 1999

- SMP Negeri 1 Prabumulih lulus pada tahun 2003 - SMA Negeri 1 Prabumulih lulus pada tahun 2005

- Masuk USU pada tahun 2005 melalui jalur PMP di Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu Tanah dengan minat studi Klasifikasi dan Evaluasi Lahan

Adapun kegiatan yang pernah diikuti oleh penulis selama masa perkuliahan adalah :

- Anggota Ikatan Mahasiswa Ilmu Tanah (IMILTA) Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

- Asisten Genesis dan Morfologi Tanah pada tahun 2007-2008. - Asisten Klasifikasi dan Taksonomi Tanah tahun 2008-2009.

- Peserta Program Kreativitas Mahasiswa Artikel Ilmiah (PKM-AI) Tingkat Nasional tahun 2009.

- Penulis melakukan penelitian di Kampus Pertanian USU Baru di Kwala Bekala Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang

- Melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) pada bulan Juli 2008 di PTP. Nusantara II (Persero) Kebun Tandem Hilir, Deli Serdang


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNyalah penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik.

Adapun judul dari penelitian ini adalah ” Kajian Pola Distribusi Mineral Liat Pada Tiga Jenis Tanah Berdasarkan Tingkat Perkembangan Tanah di Lahan Kampus Pertanian USU Baru Kwala Bekala” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Purba Marpaung, SU; sebagai ketua komisi pembimbing dan Ir. Posma Marbun, MP; sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah membimbing dan menuntun penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Dan tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah turut membantu penulis dalam penyelesaian penelitian ini.

Penulis menyadari dalam penulisan ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih, semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua

Medan, April 2009


(8)

DAFTAR TABEL

No. Hal

1. Kapasitas Tukar Kation dari Beberapa Mineral Liat Utama ...8

2. Kriteria Penilaian KTK Tanah ...20

3. Kriteria Penilaian pH Tanah ...21

4. Kriteria Penilaian Bahan Organik Tanah...21

5. Puncak Endotermik dan Eksotermik dari Beberapa Mineral Liat Utama ...22

6. Morfologi Profil 1 di Arboretum USU Kwala Bekala, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang ...25

7. Morfologi Profil 2 di Arboretum USU Kwala Bekala, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang ...26

8. Morfologi Profil 3 di Arboretum USU Kwala Bekala, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang ...27

9. Hasil Kuantitatif Mineral Alofan dan Imogolit di Arboretum USU Kwala Bekala, kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang ...34

10. Puncak Termogram Pada Profil 1, 2 dan 3 ...37

11. Sifat Fisika Tanah Arboretum USU Kwala Bekala, kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang ...41

12. Sifat Kimia Tanah Arboretum USU Kwala Bekala, kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang ...44


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal

1. Kurva-Kurva Penciri Differential Thermal Analysis (DTA)

Beberapa Mineral Liat... ..11

2. Bentuk Pola Distribusi Mineral Liat ...12

3. Sekuen Daerah Penelitian di Arboretum USU Kwala Bekala, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang ...23

4. Puncak Termogram Profil 1 ...31

5. Puncak Termogram Profil 2 ...32

6. Puncak Termogram Profil 3 ...33

7. Pola Distribusi Mineral Liat Pada Profil 1 ...38

8. Pola Distribusi Mineral Liat Pada Profil 2 ...39


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No.

1. Deskripsi Profil Tanah

2. Puncak Termogram Profil 1,2, dan 3 3. Hasil Analisis Laboratorium

4. Puncak Endotermik dan Eksotermik Pada Profil 1,2 dan 3 5. Prosedur Pemakaian DTA

6. Peta Lokasi Penelitian

7. Peta Ketinggian Tempat Lokasi Penelitian 8. Peta Geologi Lokasi Penelitian

9. Peta Jenis Tanah Lokasi Penelitian


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ...i

ABSTRAK ...ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...iii

KATA PENGANTAR ...iv

DAFTAR TABEL ...v

DAFTAR GAMBAR ...vi

DAFTAR LAMPIRAN...vii

DAFTAR ISI...viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ...1

Tujuan Penelitian ...3

Kegunaan Penelitian ...3

TINJAUAN PUSTAKA Mineral Liat...4

Analysis Differential Thermal (DTA) ...9

Pola Distribusi Mineral Liat ...11

Tingkat Perkembangan Tanah ...12

Jenis Tanah Berdasarkan Tingkat Perkembangan Tanah ...14

Entisol ...14

Inceptisol ...16

Ultisol ...17

BAHAN DAN METODA Lokasi dan Waktu Pelaksanaan ...18

Bahan dan Alat ...18

Bahan ...18

Alat ...19

Metode Penelitian ...19

Prosedur Penelitian ...19

Persiapan ...19

Kegiatan di Lapangan ...20

Analisis Laboratorium ...20

Analisis Data ...21


(12)

HASIL DAN PEMABAHASAN

Deskripsi Profil Tanah ...24

Mineral Liat...30

Penentuan Secara Kualitatif ...30

Penentuan Secara Kuantitatif ...33

Pola Distrribusi Mineral Liat ...39

Analisis Laboratorium ...42

Analisa Sifat Fisika Tanah ...42

Analisa Sifat Kimia Tanah ...45

Tingkat Perkembangan Tanah...50

Klasifikasi Tanah ...53

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ...55

Saran ...55 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(13)

ABSTRACT

The research was conducted in agriculture area North Sumatera University, Kwala Bekala, Research and Technology Laboratory, Agriculture Faculty, North Sumatera University, Medan and Industry Chemist Technology Education Laboratory, Medan, from December 2008 to April 2009. The objective of this study was to determine the design of clay minerals distribution and to compare the distribution of clay minerals in three soils based on soil development. The research used devide the Differential Thermal Analysis (DTA) for three representative soil profiles based on soil development there are Alluvial (Entisol), Brown Yellowish Podzolic (Inceptisol) , and Brown Reddish Podzolic (Ultisol). In conclusion, the first profile (the horizons are Ap. IIC, Bt, IC, Bw) in Alluvial (Entisol) with young development and the second profile (the horizons are Ap, Bw1, Bw2, Bw3) in Brown Yellowish Podzolic (Inceptisol) with transition stage of development have imogolit and allophan-A minerals with design of clay minerals distribution are indeterminate and the third profile in Brown Reddish Podzolic (Ultisol) with old development have imogolit and allophan-A minerals with design of clay minerals distribution are decreasing and maximum.

Key words : clay minerals, design of clay minerals distribution, soil development, DTA (Differential Thermal Analysis)


(14)

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan di lahan kampus pertanian USU Baru, Kwala Bekala, Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan dan Laboratorium Pendidikan Teknologi Kimia Industri, Medan yang . dilakukan pada bulan Desember 2008 sampai April 2009. Penelitian ini menggunakan alat Differential Thermal Analysis (DTA) pada 3 profil pewakil berdasarkan perkembangan tanah dengan profil 1 Entisol, profil 2 Inceptisol, profil 3 Ultisol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profil 1 (horizon Ap, IIC, Bt, IC, Bw) adalah tanah dengan tingkat perkembangan tanah muda memiliki jenis mineral liat alofan-A dan imogolit dengan pola distribusi mineral liatnya tidak tentu. Profil 2 (horizonnya Ap, Bw1, Bw2, Bw3) dengan tingkat perkembangan tanah sedang memiliki jenis mineral liat alofan-A dan imogolit dan pola distribusi mineral liatnya tidak tentu. Profil 3 (horizonnya Ap, Bt, Bw) dengan tingkat perkembangan tanah lanjut memiliki jenis mineral liat alofan-A dan imogolit dan pola distribusi mineral liatnya masing-masing maksimum dan berkurang.


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mineral liat dapat didefinisikan sebagai bahan alam anorganik yang disusun oleh aluminosilikat dengan unsur Si dan Al sebagai unsur utama mineral liat, yang secara umum terbentuk akibat rekristalin dan perubahan struktur (transformasi bentuk).

Mineral liat merupakan salah satu komponen tanah yang sangat penting, karena mineral liat dapat menentukan sifat fisik dan kimia tanah dan sebagai sentral dalam proses reaksi pertukaran ion di dalam tanah. Tanah dapat mengembang dan mengkerut, muatan tanah (KTK) dan konsistensi tanah disebabkan oleh jenis mineral liat yang dominan dalam tanah.

Menurut Marshall (1977) bahwa distribusi mineral liat di dalam tanah sangat erat kaitannya dengan tingkat perkembangan tanah. Pada Tanah muda yang berkembang dari debu volkan dengan fase perkembangan awal tersusun oleh mineral amorf, fase medium alofan dan kristalin kaolinit, dan fase terakhir tersusun oleh mineral alofan, kaolinit dan gibsit.

Berdasarkan toposekuen, maka sangat memungkinkan terjadi perbedaan perkembangan tanah di satu tempat yang lain. Keadaan ini diharapkan dapat terlihat dari hasil pengamatan sifat morfologi dan kandungan mineral liat di dalamnya.

Distribusi mineral liat tidak terlepas dari genesis tanah yang membenarkan bahwa terdapat warisan mineral pada masa lalu, sehingga walaupun sulit dideteksi dengan kajian morfologi tetapi dapat ditentukan berdasarkan susunan mineral liat


(16)

yaitu dengan sistem koordinat grafik nisbi hubungan mineral dengan kedalaman tanah (Marpaung, 1992).

Susunan mineral liat di dalam tanah dapat membentuk suatu pola penyebaran yang penentuannya dilakukan secara vertikal pada lapisan/horizon pada profil tanah. Pola distribusi mineral liat dapat menurun, meningkat, atau tidak tentu.

Dalam penentuan jenis mineral liat, metoda Differential Thermal Analysis (DTA) umum digunakan terutama untuk mengenal bahan amorf. Penerapan metoda DTA dengan mengukur perbedaan suhu yang berkembang antara contoh tanah yang akan diselidiki dan contoh tanah rujukan pada saat keduanya dipanaskan secara berdampingan yang dikendalikan suhu antara 00-10000C.

Mineral liat sangat penting untuk diketahui karena kandungan mineral liat dapat menentukan sifat fisik maupun kimia tanah. Dengan mengetahui jenis mineral liat dominan maka kita dapat menginterpretasikan lebih jauh tentang potensi sumber daya tanah baik tingkat kesuburan serta kemampuan lahannya.

Kampus Pertanian USU baru Kwala Bekala merupakan lokasi baru yang direncanakan akan ditempati Fakultas Pertanian, dalam waktu dekat ini. Daerah ini memiliki kondisi topografi berbukit yang diduga memiliki tingkat perkembangan yang berbeda dan jenis tanah yang berbeda pula. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti pola distribusi mineral liat pada tiga jenis tanah berdasarkan tingkat perkembangan tanah di lahan kampus Pertanian USU Baru Kwala Bekala.


(17)

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

- untuk mengetahui jenis dan pola distribusi mineral liat pada tiga jenis tanah berdasarkan tingkat perkembangan tanah di lahan kampus Pertanian USU Baru Kwala Bekala.

- untuk membandingkan pola distribusi mineral liat ketiga jenis tanah berdasarkan tingkat perkembangan tanah di lahan kampus Pertanian USU Baru Kwala Bekala.

Kegunaan Penelitian

- Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Mineral Liat

Mineral dapat didefenisikan sebagai bahan alam homogen dari senyawa anorganik asli, mempunyai susunan kimia tetap dan susunan molekul tertentu alam bentuk geometrik (Darmawijaya, 1990).

Berdasarkan perkembangannya, para ahli ilmu pengetahuan tanah membedakan dua urutan mineral (pelikan) yaitu mineral primer dan mineral sekunder. Yang dimaksud mineral primer adalah mineral asli yang terdapat dalam batuan. Pada umumnya mineral primer terdiri dari mineral silikat yaitu persenyawaan silikon dan oksigen (SiO2), kemudian variasinya terdiri dari

mineral feldsfar yang mengandung pesenyawaan alumunium, kalsium, natrium, besi, dan magnesium. Perubahan susunan kimia selama pelapukan batuan dekat permukaan bumi mengubah mineral primer yang terurai dan kemudian bersenyawa lagi membentuk mineral sekunder. Mineral sekunder adalah mineral penting (esensial) untuk perkembangan dan kesuburan tanah (Rafi’i 1990).

Mineral skeletal (mineral primer) terdiri dari; a) pasir dan debu yang masing-masing butir merupakan satu macam mineral primer; b) agregat mikro kristalin: abu volkan (campuran berbagai mineral primer), dan chart (silika mikrokristalin; c) fragmen: pecahan batuan, dalam ukuran pasir atau debu, terdiri dari berbagai macam mineral primer (Hardjowigeno, 1993).

Mineral sekunder terdiri dari; a) mineral liat aluminosilikat yang mempunyai arti lebih penting dalam tanah, menduduki hampir seluruh fraksi liat


(19)

tanah mineral; b) mineral liat Fe dan Al oksidahidrat (Mulyani dan Kartasapoetra, 2002).

Mineral liat adalah bahan anorganik filosilikat berbentuk kristal yang terjadi secara alami ditemukan dalam tanah-tanah dan deposit-deposit dipermukaan bumi lainnya. Tidak dibatasi oleh ukuran partikel (Lubis, 1988).

Mineral liat adalah mineral yang terdapat dalam tanah yang tersusun atas aluminasilikat bertekstur kristalin atau tanpa struktur (amorphous) dengan unsur silikon sebagai unsur utama. Mineral liat secara umum terbentuk melalui dua cara yaitu : rekristalin ion-ion hasil pelapukan dari mineral primer dan perubahan

struktur (transformasi) mineral primer secara langsung (Greenland and Hayes, 1978).

Mineral liat dibedakan atas bentuk kristalin dan amorf (non kristalin). Untuk mengidentifikasi mineral liat dapat dilakukan dengan cara analisis difraksi sinar–X, analisis difraksi termal (DTA), analisis gravimetris termal (TGA) dan scanning elektron mikroskop (SEM) (Munir, 1996).

Mineral liat kristalin dibedakan berdasarkan jumlah lapis kristal tetrahedron dan oktahedron, yaitu; a) tipe dua lapis (1:1) yang tersusun atas satu lapis silikat tetrahedron dan satu lapis aluminium oktahedron; b) tiga lapis (2:1) yang tersusun masing-masing dua lapis silikat dan aluminium tetrahedron dan satu lapis dioktahedron atau trioktahedron; c) tipe empat lapis (2:1:1) yang tersusun masing-masing dua lapis silikat dan aluminium tetrahedron dan oktahedron (Marpaung, 2005).

Kaolinit umumnya sebagai mineral liat 1:1 dan terbentuk dari daerah beriklim basah dan berdrainase baik dengan lingkungan asam (Arsyad dkk, 1975).


(20)

Penyelidikan terbaru membuktikan bahwa mineral kaolinit terdiri atas tiga mineral yang diberi nama kaolinit, nacrit, dan dickit, yang susunan kimianya identik ialah Al2O3, 2SiO2, 2H2O, tetapi berbeda asal, reaksi terhadap panas dan

sifat fisik lainnya. Kaolinit merupakan anggota terpenting sebagai hasil pelapukan sulfat atau mengandung karbonat pada temperatur yang sedang (Darmawijaya, 1990).

Mineral liat montmorillonit tercatat memiliki sifat liat dan kohesi tinggi, jelas berkerut jika dikeringkan, butirnya berkeping halus dan mudah didispersikan. Hablur montmorillonit memang begitu mudah didispersikan

sehingga tanah terolah baik mengandung bahan lempung (Buckman dan Brady, 1982).

Illit berasal dari mika dengan menghilangkan K. Proses pelapukan ini lambat sehingga sulit unuk memberi rumus umum. Ketebalan interlayer spacenya bervariasi sekitar 14Å (Amerijcrx, 1985).

Gibsit merupakan mineral utama pada tanah-tanah Ultisol dan Oksisol dengan pelapukan lanjut dikawasan tropik dan subtropik, pelapukan awal mika menghasilkan vermikulit kemudian menghasilkan smektit dan melalui proses pedogenik menghasilkan klorit lalu membentuk kaolinit. Pembentukan kaolinit kemungkinan menghasilkan gibsit. Pembentukan gibsit dapat terjadi dengan cepat pada saat proses pemisahan Si dan Al (Tan, 1991).

Mineral liat non Kristal alofan merupakan tanah umum pada bahan vulkanik. Alofan secara kolektif menyusun aluminium silikat berair dan imogolit suatu aluminosilikat pada kristal unik (khas). Mineral ini terbentuk dari penyusun tanah liat yang paling umum meliputi selang iklim yang luas. Alofan dan imogolit


(21)

mempengaruhi sifat fisik dan kimia suatu tanah dengan kuat, sering bertanggung jawab untuk produktifitas yang rendah dan mempengaruhi kesesuaian dan kualitas tanah sebagai bahan bangunan (Amerijcrx, 1985).

Alofan dan imogolit sebagaimana dengan mineral liat non kristalin lainnya mempunyai luas permukaan spesifik yang lebih besar dan reaksi kimia yang

tinggi. Bahan-bahan ini lebih banyak berpengaruh terhadap reaksi kimia (Sudo and Shimoda, 1978).

Imogolit mempunyai rasio Si dan Al 0.5 dan mempunyai sebuah struktur berbentuk tuba dengan diameter dalam 1 nm dan diameter liatnya 2 nm. Tuba imogolit lebih tampak jelas dibawah mikroskop elektron transmisi daripada unit partikel dari alofan. Imogolit mempunyai sebuah struktur nesosilikat. Imogolit terbentuk dari tanah abu vulkanik yang bercampur dengan alofan. Imogolit kurang reaktif dengan posfat daripada alofan (Henmi et al, 1982).

Mineral liat merupakan komponen penting dalam tanah, sehingga keberadaanya dapat menentukan sifat dan ciri tanah. Beberapa aspek penting yang berkaitan dengan sifat mineral liat adalah a) muatan (kapasitas tukar kation), b) difusi double layer, c) mengembang dan mengkerutnya tanah, dan d) konsistensi tanah (Munir, 1996).

Pada umumnya mineral liat bermuatan negatif sehingga mineral liat

mempunyai kemampuan menjerap dan mempertukarkan kation (Uehara and Gilman, 1981;in Sudo and Shimoda, 1978 ).

Kapasitas mineral liat menjerap dan mempertukarkan kation disebut Kapasitas Tukar Kation (KTK). KTK beberapa mineral liat yang diekstraksi dengan NH4OAc pH 7 (Grim, 1953).


(22)

Tabel 1. Kapasitas Tukar Kation dari Beberapa Mineral liat Utama No. Mineral Liat Kapasitas Tukar Kation (me/100g)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Liat Amorphus Vermikulit Montmorillonit Halloysit 4H2O

Illit Klorit Kaolinit Halloysit 2H2O

Sesquioksida

160 (pada pH 6.2) 100-150 60-100 40-50 20-40 10-40 2-16 5-10 0 Sumber : Mukhlis (2004)

Tanah muda biasanya mempunyai KTK rendah sesuai dengan tekstur bahan induk. KTK mula-mula akan meningkat dengan meningkatnya pelapukan, tetapi KTK akan menjadi rendah pada tanah dengan tingkat pelapukan lanjut. Hal ini akibat melapuknya mineral liat mudah lapuk (mineral liat 2:1, alofan) dan terbentuk mineral liat yang rendah KTK nya (kaolinit, oksida-oksida). Batas antara KTK rendah dan tinggi adalah 16 me/100g liat (Hardjowigeno, 1993).

Nilai KTK dapat menunjukkan beberapa hal dalam tanah yaitu sebagai petunjuk jenis-jenis mineral liat yang ditemukan dalam tanah, dan petunjuk tingkat pelapukan tanah (Hardjowigeno, 1993).

Dari berbagai pengamatan ciri tekstur tanah, ternyata KTK berbanding lurus dengan jumlah butir liat. Semakin tinggi jumlah liat suatu jenis tanah yang sama, maka KTK juga betambah besar. Makin halus tekstur tanah makin besar pula jumlah koloid liat dan koloid organiknya, sehingga KTK juga semakin besar. Sebaliknya tekstur kasar seperti pasir atau debu, jumlah koloid liat relatif kecil demikian pula koloid organiknya, sehingga KTK juga relatif lebih kecil daripada tanah bertekstur halus (Hakim dkk, 1986).


(23)

Differential Thermal Analysis (DTA)

Differential Thermal Analysis (DTA) merupakan teknik yang digunakan secara luas dan sangat bermanfaat terutama dalam mengidentifikasikan bahan amorf. DTA digunakan untuk mengukur perbedaan suhu (0C) antara bahan sampel dan bahan pembanding atau standar yang panasnya stabil, dengan menggunakan laju pemanasan yang dikendalikan dari suhu kamar sampai dengan 10000C. Bahan pembanding (standar) yang digunakan kaolinit yang telah dikalsinkan, (dipanaskan pada suhu 10000C), Al2O3 yang telah dikalsinkan, serta dapat juga

digunakan α-Alumina. Untuk sampel tanah terlebih dahulu digunakan H2O2 30%

untuk menghilangkan bahan organik yang merekat pada tanah. Perlakuan terhadap sampel tanah yaitu berupa: 1) penjenuhan HCl 5 N, 2) penjenuhan NaOH 5 N, 3) penjenuhan 0,1 N NaCl2, 4) penjenuhan CaCl2, serta penjenuhan AlCl3.

Perlakuan tersebut dapat mempengaruhi kurva yang dihasilkan oleh DTA, dimana kurva tersebut dapat menjadi penciri dalam identifikasi mineral. Pemanasan harus terkendalikan dan seragam yaitu berkisar 0,10C hingga 10000C/menit (Goenadi dan Rajagukguk, 1992 dalam Warman, 1994).

Differential Thermal Analysis prinsip kerjanya berdasarkan kenyataan bahwa koordinasi air hablur lempung dan air hidrasi ion dapat tukar merupakan suatu reaksi endotermik (menyerap panas). Hal ini menyebabkan temperatur contoh lempung turun sampai dibawah atas temperatur suatu bahan lembam kendali yang diperlakukan serupa, seperti alumunium kalsin. Bahan ini mempunyai panas jenis dan konduktivitas panas setara lempung. Contoh lempung yang disidik dan bahan lembam itu dipanasi bersamaan dengan takaran energi panas yang sama. Adanya perbedaan panas antara lempung dan bahan lembam itu


(24)

dicatat dan diplot melawan temperatur. Ini akan menghasilkan kurva khas untuk setiap tipe lempung. Metode ini sangat teliti untuk mengenali mineral sekunder (Poerwowidodo, 1991).

Identifikasi kuantitatif mineral dapat dilakukan dengan menggunakan kurva DTA sebagai sidik jari dan membandingkannya atau mencocokkannya dengan kurva DTA dari mineral standar, atau dengan kurva dari mineral yang telah diketahui. Tiap mineral liat menampakkan ciri-ciri reaksi termal yang spesifik. Kurva DTA kaolinit dicirikan puncak kurva endotermik kuat pada 450-6000C dan boleh suatu kurva eksotermik kuat pada 900-10000C. Kurva Haloisit hampir sama dengan kaolinit, tetapi sebagai tambahan terdapat puncak kurva endotermik pada temperatur tendah (100-2000C) dengan intensitas sedang hingga kuat. Montmorillonit menampakkan suatu kurva DTA yang dicirikan oleh suatu puncak endotermik antara 600-7000C,dan suatu cekungan kecil antara 800-9000C yang diikuti oleh puncak kurva endotermik lemah antara 9000-10000C. Gibsit dan geotit biasanya dicirikan oleh suatu puncak kurva endotermik kuat hanya antara 2900C dan 3500C. Sering kali geotit dan beberapa mineral besi mempunyai reaksi endotermik pada temperatur yang lebih tinggi dari pada gibsit. Alofan menampakkan ciri-ciri DTA dengan puncak endotermik kuat pada temperatur rendah (500-1500C) dan suatu puncak kurva eksotermik kuat pada 9000-10000C. Reaksi endotermal temperatur rendah dianggap diakibatkan oleh hilangnnya air yang terjerap, sedangkan reaksi eksotermik utama disebabkan oleh pembentukan alumina γ. Puncak kurva endotermik dan eksotermik yang khas dari beberapa mineral-mineral lempung disajikan pada gambar 1 (Tan, 1991).


(25)

Gambar 1. Kurva-Kurva Penciri Diferensial Termal Analisis (DTA) Beberapa Mineral Liat

Pola Distribusi Mineral liat

Tiap sifat tanah mempunyai pola agihan (mineral) acak sendiri-sendiri, terbawa dari sejarah pemunculan yang berbeda-beda, sekalipun dalam satu individu tubuh tanah yang sama. Maka tidak mudah menamakan morfologi tanah. Penamaan biasanya menggunakan gabungan pola agihan acak beberapa sifat tanah


(26)

terpilih yang dinilai terpenting sebagai ciri diagnostik. Dengan penggabungan tersebut dapat digarisbatasi horizon-horizon induk. Dari ribuan pola acak dapat disimpulkan menjadi enam pola pokok, yaitu :

a b c d e f

Gambar 2. Bentuk Pola Distribusi Mineral Liat a. berkurang

b. meningkat

c. dengan makimum d. dengan minimum e. tidak tentu

f. tetap

(Notohadiprawiro, 1998).

Tingkat Perkembangan Tanah

Perkembangan tanah adalah proses pembentukan tanah lanjut setelah terbentuknya horizon C. Banyak cara untuk menentukan perkembangan tanah salah satunya berdasarkan mineral liat yaitu dengan menentukan jenis dan jumlah mineral liat penyusun tanah. Tingkat perkembangan tanah ditentukan berdasarkan susunan mineral liat yaitu tanah dengan mineral gypsit > kaolonit > montmorillonit > alofan (Marpaung, 2005).

Perkembangan tanah dapat dicirikan oleh distribusi dan komposisi mineral di dalam tanah. Tanah yang mengalami perkembangan tanah lebih lanjut jika kandungan mineral primer yang mudah lapuk lebih sedikit dibanding dengan mineral sukar lapuk. Sedangkan kandungan liat dalam tanah cenderung meningkat dengan tingkat pelapukan yang lebih lanjut (Hardjowigeno, 1993).


(27)

Karena proses pembentukan tanah yang terus menerus berjalan maka, maka bahan induk tanah berubah berturut-turut menjadi tanah muda, tanah dewasa, tanah tua. Ciri dari masing-masing tingkatan perkembangan tanah adalah sebagai berikut :

1. Tanah muda (perkembangan awal). Terjadi proses pembentukan tanah terutama proses pelapukan bahan organik dan bahan mineral di permukaan tanah dan pembentukan struktur tanah karena pengaruh dari bahan organik tersebut (sebagai perekat). Hasilnya adalah pembentukan horizon A dan C. 2. Tanah dewasa (perkembangan sedang). Dengan proses lebih lanjut

terbentuk horizon B akibat penimbunan liat (iluviasi) dari lapisan atas ke lapisan bawah atau perubahan warna yang menjadi lebih merah dari pada horizon C dibawahnya. Pada tingkat ini tanah mempunyai kemampuan berproduksi tinggi karena unsur hara dalam tanah cukup tersedia sebagai hasil pelapukan mineral, sedangkan pencucian unsur hara belum lanjut. 3. Tanah tua (perkembangan lanjut). Dengan meningkatnya unsur hara, maka

proses pembentukan profil tanah berjalan lebih lanjut sehingga terjadi perubahan yang lebih nyata pada horizon A dan B, tanah menjadi sangat masam, sangat mudah lapuk, dan kandungan bahan organik lebih rendah dari tanah dewasa. Akumulasi liat atau sesquioksida di horizon B lebih nyata sehingga membentuk horizon argilik (Bt). Apabila tidak terjadi penimbunan liat maka horizon E tidak terbentuk, sedangkan di horizon B tidak terbentuk sesquioksida. Tetapi proses pelapukan akan terus berjalan dan terbentuklah banyak oksida-oksida besi dan alumunium


(28)

Penilaian tingkat perkembangan tanah ditentukan berdasarkan sifat morfologis tanah dan genesa tanah, dimana secara morfologi ditentukan berdasarkan kelengkapan horizon-horizon genetis dan kedalaman solum, sedangkan secara genetis tanah ditetapkan berdasarkan tingkat pelapukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif sebagai hasil evaluasi analisa fisika, kimia dan mineralogi tanah (Hakim dkk, 1986).

Tingkat perkembangan tanah dapat juga diketahui dengan menentukan

bulk densitynya. Makin tinggi tinggi bulk density makin berkembang tingkat

perkembangan tanah. Jika bulk density turun dari 2.65 menjadi kurang dari 2 maka pelapukan batuan akan meningkat karena terbentuknya pori-pori tanah (Hardjowigeno, 1993).

Jenis-Jenis Tanah Berdasarkan Tingkat Perkembangan Tanah Entisol

Entisol merupakan tanah yang baru berkembang. Walaupun demikian tanah ini tidak hanya berupa bahan asal atau bahan induk tanah saja tetapi harus sudah terjadi proses pembetukan tanah (Hardjowigeno, 1993).

Entisol adalah tanah yang cenderung untuk berasal baru. Tanah ini ditandai dengan kemudaannya dan tidak ada horizon genesis alami atau hanya mempunyai permulaan horizon. Konsep pusat Entisol adalah tanah di dalam regolit yang dalam atau bumi tanpa horizon kecuali barangkali suatu lapis bajak. Akan tetapi beberapa Entisol mempunyai horizon plagen, Agrik, A2, dan beberapa

batu keras yang dekat dengan permukaan (Foth, 1994).

Seperti aluvial dari daerah-daerah aluvium masih memperlihatkan penampang asli (belum berubah). Keadaan tekstur tanah tergantung pada proses


(29)

transportasi dan akumulasinya. Dekat-jauhnya bahan itu diangkut dari sumber dan faktor waktu. Pada umumnya besar tekstur tanah yang demikian memperlihatkan tekstur kasar jika berdekatan dengan sungai, dan bertekstur halus jika berjauhan dari sungai atau di luar jalur dataran banjir. Sedangkan penyebaran golongan Entisol tergantung pada keadaan fisiografik yang sangat berbeda-beda (iklim, morfologi, dan geologi) (Rafi’i, 1990).

Nilai reaksi tanah sangat beragam mulai dari pH 2.5 sampai 8.5, kadar bahan organik tergolong rendah dan biasanya kurang dari 1%, kejenuhan basa sedang hingga tinggi dengan KTK sangat beragam, karena sangat bergantung pada jenis mineral liat yang mendominasinya, kadar hara tergantung bahan induk, permeabilitas lambat, dan peka erosi (Munir, 1996).

Tingkat perkembangan yang sangat lemah pada Entisol disebabkan adanya beberapa faktor berikut :

1. Iklim yang sangat ekstrim basah atau kering, sehingga perombakan bahan induk terhambat

2. Bahan induk yang sangat resisten terhadap pelapukan, misalnya kwarsa 3. Adanya faktor erosi yang selalu mengerus epipedon, sehingga tidak pernah

tebentuk horizon iluviasi (Munir, 1996).

Inceptisol

Inceptisol adalah tanah yang belum matang (Immature) dengan perkembangan profil yang lebih lemah dibanding dengan tanah matang, dan masih banyak menyerupai sifat bahan induknya. Beberapa Inceptisol terdapat dalam


(30)

keseimbangan dengan lingkungan dan tidak akan matang bila lingkungan tidak berubah (Hardjowigeno, 1993).

Inceptisol dapat berkembang dari bahan induk batuan beku, sedimen dan metamorf. Biasanya memiliki tekstur yang beragam dari kasar hingga halus, dalam hal ini tergantung tingkat pelapukan bahan induknya. Bentuk wilayahnya beragam dari berombak hingga bergunung, kesuburan tanahnya rendah, kedalaman efektifnya beragam dari dangkal hingga dalam. Di dataran rendah pada umumnya dijumpai solum yang tebal, sedangkan pada daerah lereng curam solumnya tipis (Munir, 1996).

Inceptisol mempunyai karakteristik dari kombinasi sifat tersedianya air untuk tanaman lebih dari setengah tahun atau lebih dari tiga bulan berturut-turut dalam musim kemarau. Kisaran C-Organik dan KTK dalan Inceptisol sangat lebar, demikian juga kejenuhan basa. Inceptisol dapat terbentuk disemua tempat, kecuali daerah kering, mulai dari kutub sampai tropika (Darmawijaya, 1990).

Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan Inceptisol adalah :

1. Bahan induk yang resisten

2. Posisi dalam landskap yang ekstrim yaitu daerah curam atau lembah

3. Pembentukan geomorfologi yang muda, sehingga pembentukan tanah belum lanjut

Tidak ada proses pedogenik yang dominan kecuali leaching, meskipun proses pedogenik adalah aktif. Ditempat dengan bahan induk yang resisten, proses pembentukan liat terhambat (Hardjowigeno, 1993).


(31)

Ultisol

Fenomena sifat fisik Ultisol menurut Mohr and Van Baren (1959) dapat dicirikan sebagai berikut yaitu, 1) kedalaman solum sedang (moderat 1-2 m), 2) berwarna merah-kuning yaitu chroma meningkat dengan bertambahnya kedalaman, 3) teksturnya halus pada horizon Bt, karena mengandung liat yang maksimal pada horizon ini, 4) strukturnya pada horizon Bt terbentuk gumpal, 5) konsistensinya teguh, cutan liat terjadi pathite banyak ditemukan konkresi besi, 6) permeabilitasnya lambat sampai baik, 7) erodibilitasnya tinggi. Sedangkan sifat kimia Ultisol adalah, 1) kemasaman kurang dari 5,5; 2) bahan organik rendah

sampai sedang, 3) kejenuhan basa kurang dari 35 %, 4) KTK kurang dari 24 ml/100 g liat.

Pencucian ekstensif terhadap basa-basa merupakan prasyarat untuk terbentuknya Ultisol. Pencucian sangat lanjut sehingga tanah bereaksi masam (Hardjowigeno, 1993)


(32)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di lahan Kampus Pertanian USU Baru Kwala Bekala dengan ketinggian tempat 60 m di atas permukaan laut pada koordinat 3028’41.9”LU - 3028’44.22”LU dan 98038’11.0”BT - 98038’18.5”BT, yang berjarak 17 km dari kota Medan. Penelitian ini juga dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan, dan Laboratorium Pendidikan Teknologi Kimia Industri (PTKI) Medan, yang dilaksanakan pada bulan Desember 2008 sampai dengan April 2009.

Bahan dan Alat Bahan

Adapun bahan yang digunakan yaitu peta lokasi penelitian skala 1 : 50.000 untuk mengetahui lokasi pelaksanaan penelitian, peta jenis tanah

kecamatan Pancur Batu skala 1 : 50.000 untuk mengetahui jenis tanah di daerah yang akan diteliti tanah pada tiga profil pewakil berdasarkan tingkat perkembangan tanah, peta geologi kecamatan Pancur Batu 1 : 50.000 untuk mengetahui jenis bahan induk tanah di daerah yang akan diteliti tanah pada tiga profil pewakil berdasarkan tingkat perkembangan tanah, peta elevasi kecamatan Pancur Batu 1 : 50.000 untuk mengetahui ketinggian tempat lokasi penelitian, formulir isian profil tanah, aquades untuk melarutkan tanah, termograf sebagai kertas gambar termogram, dan bahan lain untuk analisa tanah di lapangan dan di laboratorium.


(33)

Alat

Adapun alat yang digunakan adalah DTA untuk mengidentifikasi mineral liat, GPS (Global Position System) untuk mengetahui koordinat tempat yang akan diteliti, cangkul untuk menggali profil tanah, altimeter untuk mengukur ketinggian tempat, abney level untuk mengukur kemiringan lereng, kompas untuk menentukan arah mata angin, meteran untuk mengukur profil tanah, kamera untuk mendokumentasi profil tanah, ring sampel untuk mengambil contoh tanah tidak terganggu, ayakan 270 mesh (52 µ)untuk menyaring tanah, kantong plastik untuk tempat sampel tanah, Munsell Soil Color Chart untuk menentukan warna tanah, label nama sebagai penanda sampel tanah, pisau pandu untuk menentukan horizon dan batas horizon, kertas milimeter untuk menghitung analisis kuntitatif dari DTA, alat tulis, dan alat lain yang mendukung dalam penelitian ini.

Metode Penelitian

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Differential Thermal Analysis, Distribusi mineral liat digambar pada koordinat dengan fungsi kedalaman tanah.

Prosedur Penelitian 1. Persiapan

Sebelum penelitian ini dilakukan, terlebih dahulu diadakan rencana penelitian, konsultasi dengan dosen pembimbing, telaah pustaka, penyusunan usulan penelitian, pengadaan peta-peta yang dibutuhkan, mengadakan pra survey ke lapangan dan persiapan bahan dan alat yang akan digunakan dalam penelitian ini.


(34)

2. Pengamatan Lapangan

Kegiatan lapangan dilakukan dengan penentuan lubang profil tanah dan pengambilan sampel tanah.

Pendeskripsian profil tanah dilakukan berdasarkan pedoman pengamatan tanah di lapang, kemudian dilakukan penentuan horizon dan batas horizon dengan menggunakan pisau pandu, mengukur tebalnya horizon, mengukur kedalaman efektif dan melakukan penyifatan tanah di lapang dan pencatatan data lingkungan.

Kemudian diambil sampel tanah terganggu dari setiap horizon untuk dianalisis di laboratorium dan sampel tanah tidak terganggu dengan menggunakan ring sampel untuk penentuan bulk density.

3. Analisa Laboratorium

Analisa laboratorium yang diamati adalah :

- Analisa mineral liat dengan Analysis Differential Thermal (DTA) - Tekstur tanah dengan metode by feeling

- Analisa Bulk Density (BD) dengan metode ring sampel

- Analisa Kapasitas Tukar Kation (KTK) dengan metode ekstraksi NH4OAc pH 7 untuk menentukan tingkat perkembangan tanah,

dimana KTK akan menjadi rendah pada tingkat pelapukan lanjut, dengan kriteria pada tabel 2:

Tabel 2. Kriteria Penilaian KTK Tanah

Simbol KTK nyata (me/100g) Kelas Rating

k1 k2 k3

<13 15-30

>30

Rendah Sedang tinggi

80 90 100 Sumber : Mangoensoekarjo (2007).


(35)

- Analisa pH (H2O), pH (NaF), pH (KCl) dengan metode elektometri

untuk mengetahui intensitas kemasaman tanah dengan kriteria pada tabel 3.

Tabel 3. Kriteria Penilaian pH Tanah

Kriteria pH H2O pH KCl

Sangat Masam Masam Agak Masam Netral Agak Alkalis Alkalis < 4.5 4.5-5.5 5.6-6.5 6.6-7.5 7.6-8.5 > 8.5 < 2.5 2.5-4.0 - 4.1-6.0 6.1-6.5 > 6.5

- Analisa C-Organik tanah dengan metode Walkley and Black untuk mengetahui % karbon (C) dalam tanah dengan kriteria pada tabel 4. Tabel 4. Kriteria Penilaian Bahan Organik Tanah

Kandungan C (Karbon) dalam % Kriteria < 1.00 1.00-2.00 2.01-3.00 3.01-5.00 > 5.00 Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Sumber : 1. Staf Pusat Penelitian Tanah, 1983.

2. BPP Medan, 1982.

4. Analisa Data

Analisa data dilakukan dengan :

- Menentukan tingkat perkembangan tanah berdasarkan mineral liat yang paling dominan

-

Penentuan pola distribusi mineral liat dilakukan secara vertikal pada lapisan/horizon dari berbagai tingkat perkembangan tanah dengan sistem koordinat dimana data dalam fungsi kedalaman tanah


(36)

- Analisa dapat dilakukan dengan mengimput data hasil analisa termogram (kualitatif) dan analisa kuantitatif yaitu dengan menghitung luas dari kurva endotermik hasil dari analisa termogram dengan menggunakan millimeter, kalkir, dan dihitung jumlah mineral dengan rumus :

Luas = Luas kurva endotermik dari sampel tanah (30 mg)

Luas kurva endotermik dari tanah standar

Tabel 5. Puncak Endotermik dan Eksotermik dari Beberapa Mineral Liat Utama

Mineral Liat Puncak Endotermik (0C) Puncak Eksotermik (0C) Kaolinit Montmorilonit Haloisit Gibsit Geotit Alofan Imogolit

500 - 600 100 - 250 500 - 600 100 - 200 250 - 350 300 - 400 50 - 150 390 - 420

900 - 1000 900 - 1000 900 – 1000 800 – 900 800 - 900 800 - 900 900 – 1000 Sumber : Tan (1991).

- Membandingkan pola kurva fungsi kedalaman dari berbagai tingkat kedalaman tanah

Pola hubungan distribusi mineral sekunder (liat) dengan kedalaman tanah berdasarkan kemiringan lereng yang berbeda yang diharapkan mempunyai satu atau lebih bentuk berikut:

Mineral Sekunder Mineral Sekunder

0 cm 0 cm

150 cm 150 cm


(37)

Mineral Sekunder Mineral Sekunder

0 cm 0 cm

150 cm 150 cm

Kedalaman Dengan Maksimun Kedalaman Dengan Minimum

Mineral Sekunder 0 cm

150 cm

Kedalaman Tidak Tentu

5. Klasifikasi Tanah

Sistem klasifikasi tanah dengan menggunakan sistem Dudal-Soepraptohardjo (1961) yaitu dengan mengklasifikasikan tubuh tanah dan menyetarakan nama tanah setara dengan Taksonomi USDA 2006.

Ultisol 80 m

Inceptisol

60 Entisol 50

Gambar 3. Sekuen Daerah Penelitian di Arboretum USU Kwala Bekala, kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang


(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Profil Tanah

Sifat tanah yang diteliti secara langsung dilapangan meliputi penentuan batas horizon, warna tanah dengan menggunakan buku Munsell Soil Color Chart, tekstur tanah dengan menggunakan metode “by feeling”, struktur tanah, konsistensi tanah, batuan singkapan, kedalaman efektif, dan corak lain yang terdapat dalam profil. Deskripsi profil tanah di lokasi penelitian adalah :

Profil 1

Jenis Tanah : Aluvial (Entisol)

Lokasi : Arboretum USU Kwala Bekala, kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang

Kode : Profil 1

Koordinat : 3028’41,9” LU - 98038’18,5” BT Bahan Induk : Aluvium

Kemiringan Lereng : 3% Topografi : Datar Drainase : buruk Arah Hadap Lereng : Timur Laut

Altitude : 50 m di atas permukaan laut Kedalaman air tanah : 72 cm

Kedalaman Efektif : 18 cm

Vegetasi : Jagung (Zea mays), rumput-rumputan (Graminae), pisang (Musa paradisiaca)


(39)

Tabel 6. Morfologi Profil 1 di Arboretum USU Kwala Bekala, kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang

Horizon Kedalaman (cm) Uraian

Ap

IIC

Bt

IC

Bw

0 – 17/20

17/20- 24/31

24/31 – 33/38

33/38 – 43/50

43/50 - +54

Coklat (7,5 YR 5/4 ), berpasir , sedang, remah, sangat gembur, tak lekat, lepas, tidak terdapat batuan, perakaran banyak, beralih nyata berombak ke…

Coklat gelap (7,5 YR 4/2), berpasir, sedang, gumpal, gembur, agak lekat, lunak, tidak

terdapat batuan, perakaran sedikit, beralih nyata berombak ke …

Coklat gelap kemerahan (5 YR 3/4), berdebu, agak halus, prisma, gembur, agak lekat, lunak, tidak terdapat batuan, tidak ada perakaran, terdapat karatan, beralih nyata ke…

Coklat gelap (7,5 YR 4/4), berpasir, sedang, gumpal, gembur, agak lekat, lunak, tidak terdapat batuan, tidak ada perakaran, beralih nyata berombak ke…

Coklat kemerahan (5 YR 5/4), berdebu, agak halus, pejal, gembur, agak lekat, lunak, tidak ada batuan, tidak ada perakaran, terdapat karatan.

Profil 2

Jenis Tanah : Podsolik Coklat Kekuningan (Inceptisol)

Lokasi : Arboretum USU Kwala Bekala, kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang

Kode : Profil 2

Kordinat : 3028’44,22” LU - 98038’12,5” BT

Bahan Induk : Satuan Singkut (andesit, dasit, mikrodiorit, tufa) Kemiringan Lereng : 10%

Topografi : bergelombang Drainase : baik


(40)

Arah Hadap Lereng : Utara

Elevasi : 60 m di atas permukaan laut Kedalaman Efektif : 16 cm

Vegetasi : Kemiri (Aleurites moluccana), lamtoro

(leucaena leucocepala), rumput-rumputan (Graminae) Kedalaman air tanah : -

Tabel 7. Morfologi Profil 2 di Arboretum USU Kwala Bekala, kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang

Horizon Kedalaman (cm) Uraian

Ap

Bw 1

Bw 2

Bw 3

0 – 2/4

2/4 – 9/16

9/16 - 62/72

62/72 - + 72

Abu-abu gelap kemerahan (5 YR 4/2), berdebu, halus, prisma, gembur, lekat, lunak, perakaran banyak, tidak ada batuan, beralih nyata berombak ke…

Coklat kekuningan (10 YR 5/6), berdebu, sedang, gumpal, gembur, agak lekat, lunak, perakaran banyak, terdapat batuan, beralih nyata berombak ke…

Kuning (10 YR 6/6), berdebu, sedang, gumpal, gembur, agak lekat, agak keras, perakaran sedikit, terdapat batuan, beralih nyata berombak ke…

Coklat gelap kekuningan (10 YR 4/6), berdebu, agak halus, gumpal, gembur, lekat, agak keras, tidak ada perakaran, terdapat batuan

Profil 3

Jenis Tanah : Podsolik Coklat Kemerahan (Ultisol)

Lokasi : Arboretum USU Kwala Bekala, kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang

Kode : Profil 3

Kordinat : 3028’44,22” LU - 98038’11,0” BT


(41)

Kemiringan Lereng : 3% Topografi : datar Drainase : baik

Arah Hadap Lereng : Timur Laut

Elevasi : 70 m di atas permukaan laut Kedalaman Efektif : 36 cm

Vegetasi : Jambu (Psidium guajava L.), rumput-rumputan (Graminae), sirsak (Anona muricata L.), lamtoro

(leucaena leucocepala), jati (Tectona grandis). Kedalaman air tanah : -

Tabel 8. Morfologi Profil 3 di Arboretum USU Kwala Bekala, kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang

Horizon Kedalaman (cm) Uraian

Ap

Bt

Bw

0 – 10/17

10/17 - 89/98

89/98 - + 98

Merah kehitaman (2,5 YR 3/2), berliat, halus, gumpal, teguh, agak lekat, agak keras,

perakaran banyak, tidak terdapat batuan, beralih nyata berombak ke…

Coklat kemerahan ( 2,5 YR 4/4), berliat, halus, gumpal, teguh, lekat, keras, sedikit perakaran, tidak ada batuan, beralih nyata berombak ke… Merah ( 2,5 YR 4/8), berliat, halus, prisma, teguh, lekat, keras, tidak ada perakaran, terdapat batuan

Pada pengamatan profil 1 diperoleh horizon Ap, IIC, Bt, IC, dan Bw yang memiliki warna, tekstur, struktur, dan konsistensi yang berbeda. Pada profil 1 didominasi tanah berwarna coklat gelap dan coklat kemerahan. Warna coklat gelap pada tanah disebabkan adanya kandungan bahan organik yang cukup banyak. Makin stabil bahan organiknya makin tua atau makin gelap warnanya, sedangkan makin segar bahan organiknya makin cerah warna tanahnya. Warna


(42)

coklat kemerahan pada profil 1 disebabkan ditemukan karatan berwarna kuning kemerahan (horizon Bt dan Bw) karena tercampurnya oksida besi dengan bahan organik (Darmawijaya, 1990).

Tekstur tanah pada profil 1 teksturnya berpasir dan berdebu. Hal ini disebabkan pada profil ini terjadi erosi terus menerus akibat curah hujan yang tinggi (2000-2500 mm/tahun) (Rauf, 2009), yang menyebabkan fraksi halus senantiasa terbawa oleh arus sungai karena profil 1 terletak dipinggiran aliran sungai. Rafi’i (1990) berpendapat bahwa tanah Entisol mempunyai keadaan tekstur tanah tergantung pada proses transportasi dan akumulasinya. Dekatjauhnya bahan itu diangkut dari sumber dan faktor waktu. Pada umumnya besar tekstur tanah yang demikian memperlihatkan tekstur kasar jika berdekatan dengan sungai, dan bertekstur halus jika berjauhan dari sungai atau di luar jalur dataran banjir.

Pada profil 2 memiliki warna yang beragam dari abu-abu gelap kemerahan coklat kekuningan sampai kuning. Ini menunjukkan bahwa pada profil 2 mengandung bahan organik walaupun kandungan bahan organik tersebut rendah. Perbedaan warna dapat disebabkan oleh proses leaching yang terjadi pada bagian horizon A karena koloid-koloid berpindah ke horizon B. Tubuh tanah yang mengandung mineral sekunder berwarna pucat dapat menjadi kelabu apabila terdapat bahan organik antara 0.2% dan 5% dan warna kuning dapat menjadi coklat atau kelabu tua apabila terdapat bahan organik 2% dan 4% (Rafi’i. 1990).

Pencampuran warna pada tanah menunjukkan adanya pencampuran antara bahan organik, oksida besi, dan mineral anorganik (Rafi’i. 1990). Sutanto (1995), menyatakan bahwa adanya bahan organik yang berikatan dengan Fe menyebabkan


(43)

warna tanah kecoklatan. Warna kuning yang ada adalah akibat adanya oksidasi besi dan tingkat hidrasi yang tinggi (Notohadiprawiro, 1998). Sedangkan warna kekelabuan disebabkan karena adanya proses reduksi besi.

Tekstur tanah pada profil 2 teksturnya berdebu. Hal ini disebabkan adanya pengikisisan oleh air hujan, dimana pedon 2 ini terletak pada kemiringan lereng 10 % (bergelombang). Menurut Hardjowigeno (1993) Inceptisol yang terletak pada posisi landskap yang ekstrim yaitu pada daerah yang curam dan lembah memiliki pembentukan liat yang terhambat dan proses pembentukan tanah yang belum lanjut. Selain itu tidak ada proses pedogenik yang yang dominan selain

leaching (pencucian).

Pada profil 3 tanah didominasi berwarna merah. Warna merah ini menunjukkan tanah pada profil 3 mengalami perkembangan yang lebih lanjut dan terdapat akumulasi oksida besi yang bebas. Selain itu pada profil 3 terdapat horizon Bt yang teksturnya berliat dan berstruktur gumpal. Fenomena sifat fisik Ultisol menurut Mohr and Van Baren (1959) dapat dirinci sebagai berikut yaitu, 1) kedalaman solum sedang (moderat 1-2 m), 2) berwarna merah-kuning yaitu

chroma meningkat dengan bertambahnya kedalaman, 3) teksturnya halus pada

horizon Bt, karena mengandung liat yang maksimal pada horizon ini, 4) strukturnya pada horizon Bt terbentuk gumpal, 5) konsistensinya teguh, cutan liat terjadi pathite banyak ditemukan konkresi besi. Warna tanah yang semakin merah menurut fungsi kedalaman tanah disebabkan oleh Si yang tertahan dan Al yang tercuci kebawah akibat pencucian yang menyebabkan warna tanah pada profil 3 semakin terang.


(44)

Tekstur tanah pada profil 3 adalah berliat. Pada tanah Ultisol tekstur tanahnya halus karena terdapat liat dan tebu dengan komposisi yang hampir sama dikarenakan telah mengalami pelapukan yang lebih lanjut dari pasir menjadi debu menjadi liat. Menurut Foth (1994) tanah Ultisol adalah tanah yang sudah mengalami perkembangan tanah dengan tingkat pelapukan yang sangat lanjut (mature) dan memperlihatkan pencucian yang sangat intensif. Ini terlihat dengan terbentuknya horison Bt dan Bw.

Mineral Liat

Penentuan Secara Kualitatif

Hasil interpretasi DTA pada profil 1, 2 dan 3 pada gambar 4, 5 dan 6 berikut.

Horizon : Ap Berat Sampel : 30 mg Bahan Pembanding : Al2O3

Temperatur : 26-9500C Thermocouple/mV : PR/15Mv DTA Range : ± 100 µV Heating Speed : 100C Chart Speed : 2.5 mm/mnt

Horizon : IIC Berat Sampel : 30 mg Bahan Pembanding : Al2O3

Temperatur : 26-9500C Thermocouple/mV : PR/15Mv DTA Range : ± 100 µV Heating Speed : 100C Chart Speed : 2.5 mm/mnt


(45)

Horizon : Bt Berat Sampel : 30 mg Bahan Pembanding : Al2O3

Temperatur : 26-9500C Thermocouple/mV : PR/15Mv DTA Range : ± 100 µV Heating Speed : 100C

Chart Speed : 2.5 mm/mnt

Horizon : IC Berat Sampel : 30 mg Bahan Pembanding : Al2O3

Temperatur : 26-9500C Thermocouple/mV : PR/15Mv DTA Range : ± 100 µV Heating Speed : 100C Chart Speed : 2.5 mm/mnt

Horizon : Bw Berat Sampel : 30 mg Bahan Pembanding : Al2O3

Temperatur : 26-9500C

Thermocouple/mV : PR/15Mv DTA Range : ± 100 µV Heating Speed : 100C Chart Speed : 2.5 mm/mnt

Gambar 4. Puncak Termogram Profil 1

Horizon : Ap Berat Sampel : 30 mg Bahan Pembanding : Al2O3

Temperatur : 26-9500C Thermocouple/mV : PR/15Mv DTA Range : ± 100 µV Heating Speed : 100C Chart Speed : 2.5 mm/mnt


(46)

Horizon : Bw1 Berat Sampel : 30 mg Bahan Pembanding : Al2O3

Temperatur : 26-9500C Thermocouple/mV : PR/15Mv DTA Range : ± 100 µV Heating Speed : 100C Chart Speed : 2.5 mm/mnt

Horizon : Bw2 Berat Sampel : 30 mg Bahan Pembanding : Al2O3

Temperatur : 26-9500C Thermocouple/mV : PR/15Mv DTA Range : ± 100 µV Heating Speed : 100C Chart Speed : 2.5 mm/mnt

Horizon : Bw3 Berat Sampel : 30 mg Bahan Pembanding : Al2O3

Temperatur : 26-9500C Thermocouple/mV : PR/15Mv DTA Range : ± 100 µV Heating Speed : 100C Chart Speed : 2.5 mm/mnt

Gambar 5. Puncak Termogram Profil 2

Horizon : Ap Berat Sampel : 30 mg Bahan Pembanding : Al2O3

Temperatur : 26-9500C Thermocouple/mV : PR/15Mv DTA Range : ± 100 µV Heating Speed : 100C Chart Speed : 2.5 mm/mnt


(47)

Horizon : Bt Berat Sampel : 30 mg Bahan Pembanding : Al2O3

Temperatur : 26-9500C Thermocouple/mV : PR/15Mv DTA Range : ± 100 µV Heating Speed : 100C Chart Speed : 2.5 mm/mnt

Horizon : Bw Berat Sampel : 30 mg Bahan Pembanding : Al2O3

Temperatur : 26-9500C Thermocouple/mV : PR/15Mv DTA Range : ± 100 µV Heating Speed : 100C Chart Speed : 2.5 mm/mnt

Gambar 6. Puncak Termogram Profil 3

Penentuan Secara Kuantitatif

Kurva Standar : Luas = 2506.5 mm2 Berat Sampel = 233.8 mg Maka 1 mg = 2506.5 mm2

233.8 mg = 10.72 mm2/mg Pedon 1

Mineral Alofan-A

Horizon Ap : Luas = 97 mm2 Berat Sampel = 30 mg


(48)

Maka 1 mg = 97 mm2 30 mg = 3.2 mm2/mg

Jumlah alofan dari endotermik = Luas kurva horizon Ap/mg sampel x 1mg

Luas kurva standar alofan/mg

= 3.2 mm2/mg x 1mg 10.72 mm2/mg

= 0.31 mg Mineral Imogolit

Horizon Ap : Luas = 56 mm2 Berat Sampel = 30 mg Maka 1 mg = 56 mm2

30 mg

= 1.86 mm2/mg

Jumlah alofan dari endotermik = Luas kurva horizon Ap/mg sampel x 1mg

Luas kurva standar alofan/mg

= 1.86 mm2/mg x 1 mg 10.72 mm2/mg

= 0.18 mg

Berikut hasil rekapitulasi kuantitatif mineral alofan dan imogolit disajikan pada tabel 9.


(49)

Tabel 9. Hasil Kuantitatif Mineral Alofan dan Imogolit di Arboretum USU Kwala Bekala, kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang

Horizon Luas Kurva (mm2)

Jumlah Alofan dari Endotermik (mg)

% Kadar Liat Alofan dari Endotermik Profil 1 Ap IIC Bt IC Bw Profil 2 Ap Bw1 Bw2 Bw3 Profil 3 Ap Bt Bw 97 277 44 100 69 91 72 135 95 139 169 129 0.18 0.89 0.14 0.32 0.22 0.29 0.23 0.43 0.30 0.45 0.54 0.41 0.6 2.9 4.6 1.06 0.73 0.96 0.76 1.43 1.00 1.5 1.8 1.36

Horizon Luas Kurva (mm2)

Jumlah Imogolit dari Endotermik (mg)

% Kadar Liat Imogolit dari Endotermik Profil 1 Ap IIC Bt Bw Profil 2 Ap Bw1 Bw2 Bw3 Profil 3 Ap Bt Bw 56 111 39.5 32 48 46 108 28 115 92.5 42 0.18 0.36 0.12 0.10 0.15 0.14 0.35 0.09 0.37 0.3 0.13 0.6 1.2 0.4 0.33 0.5 0.46 1.16 0.3 1.23 1.00 0.43

Penentuan luas dari kurva endotermik hasil interpretasi termogram dilakukan dengan membagi luas kurva endotermik dari setiap horizon dengan


(50)

kurva endotermik dari mineral alofan dan mineral imogolit murni sehingga diperoleh luas yang menunjukkan bahwa pada kurva terdapat mineral liat alofan dan imogolit, sehingga penentuan mineral liat secara kualitatif dapat diperkuat dengan adanya penentuan mineral liat secara kuantitatif ini.

Pada gambar 4, 5 dan 6 diperoleh mineral yang terkandung adalah mineral alofan dan imogolit. Penentuan mineral ini disebut identifikasi kuantitatif berdasarkan puncak endotermik pada kurva yang dimiliki setiap horison dan membandingkannya atau mencocokkannya dengan kurva DTA dari mineral standar, atau dengan kurva dari mineral yang telah diketahui (Tan, 1991). Tiap mineral liat menampakkan ciri-ciri reaksi termal yang spesifik. Puncak kurva endotermik ini dapat dilihat pada tabel 10.


(51)

Tabel 10. Puncak Termogram Pada Profil 1, 2 dan 3

Horizon Puncak

Endotermik (0C)

Jenis Mineral Liat Profil 1 Ap C2 Bt C2 Bw Profil 2 Ap Bw1 Bw2 Bw3 Profil 3 Ap Bt Bw 75 475 65 470 70 260 480 62 260 478 60 65 480 78 340 70 485 60 480 80 270 475 80 280 475 60 480 Alofan-A Imogolit Alofan-A Imogolit Alofan-A Imogolit Imogolit Alofan-A Imogolit Imogolit Alofan-A Alofan-A Imogolit Alofan-A Imogolit Alofan-A Imogolit Alofan-A Imogolit Alofan-A Imogolit Imogolit Alofan-A Imogolit Imogolit Alofan-A Imogolit

Berdasarkan ketiga gambar diatas hanya dijumpai puncak yang mengarah kebawah yaitu puncak endotermik, dimana puncak ini akan terbentuk pada suhu tertentu yang merupakan penciri spesifik dalam mengidentifikasi mineral tanah.

Dalam penentuan jenis mineral yang digunakan hanya puncak endotermik, karena puncak endotermik disebabkan oleh proses dehidroksilasi (berkurangnya air yang terjerap akibat pemanasan suhu). Sedangkan puncak eksotermik pada


(52)

gambar tidak terbentuk, ini disebabkan karena yang mineral yang terkandung adalah mineral alofan-A dan imogolit yang tidak mempunyai puncak eksotermik, karena pada ketiga profil telah mengalami transisi prakristalin dimana telah terjadi dekomposisi biotik yaitu telah terjadi banjar (sekuen) bahan mineral alofan (allophan-B) menjadi alofan-A. Hal ini tidak menutup kemungkinan alofan-A pada perkembangan yang lebih lanjut akan menjadi mineral kaolinit, dan kaolinit

akan menjadi kwarsa dan gibsit (Marpaung, 2004). Fieldes (1955); in Sudo and Shimoda( 1978) menyatakan bahwa lanjutan

pelapukan abu vulkanik dari alofan-B menjadi alofan-A. Hal ini pun diperkuat dengan kandungan bahan organik yang rendah sampai sangat rendah dan pH NaF yang merupakan petunjuk bahwa tidaknya bahan andik (bahan andik < 9.4) (Mukhlis, 2007).

Pada ketiga profil ditemukan jenis mineral yang sama yaitu mineral liat alofan-A dan imogolit. Penentuan jenis mineral ini dilakukan dengan mencocokkan puncak endotermik dari sampel dengan jenis mineral yang terdapat pada tabel 5. Menurut Tan (1991) mineral alofan ditandai dengan puncak endotermik 50-1500C. Menurut Sudo and Shimoda (1978) mineral alofan terdiri dua bagian yaitu bagian pertama memiliki puncak eksotermik tinggi yaitu 800-10000C dan tidak mempunyai puncak endotermik (allophan-B), tetapi memiliki ciri tersendiri yaitu silica dan alumina, sedangkan bagian kedua memiliki puncak endotermik 100-2000C tetapi tidak mempunyai puncak eksotermik (allophan-A). Fieldes (1955); in Sudo and Shimoda( 1978) menyatakan bahwa ciri khas silica dan alumina ditunjukkan dalam pembentukan mineral alofan terakhir (allophan -A)


(53)

Pada hasil yang terdapat pada tabel 10 menunjukkan bahwa mineral imogolit terdapat pada puncak endotermik 260-4800C, sedangkan menurut Sudo and Shimoda (1978) mineral imogolit memiliki puncak endotermik 390-4200C. Ini menunjukkan bahwa pada ketiga profil mengalami transisi yang telah lanjut yaitu, pelapukan mineral dari mineral amorpus menuju mineral kristalin (prekristalin), karena Imogolit merupakan mineral prakristalin (Tan, 1991). Imogolit terbentuk melalui desilikasi alofan atau abu yang tidak

melapuk (unweathered ash) (Yoshinaga, 1970; Wada and Aomine, 1973:

in Sudo and Shimoda, 1978).

Pola Distribusi Mineral Liat

Tiap sifat tanah mempunyai pola agihan (mineral) acak sendiri-sendiri, terbawa dari sejarah pemunculan yang berbeda-beda, sekalipun dalam satu individu tubuh tanah yang sama (Notohadiprawiro, 1998). Oleh karena itu dengan interpretasi mineral secara kuantitatif dari hasil analisis dengan DTA yang tertera pada tabel 9 dikaji pola distribusi mineral liat dengan menggambar grafik nisbi hubungan kadar mineral liat dan kedalaman tanah.


(54)

Gambar 7. Pola Distribusi Mineral Liat Pada Profil 1

Pola distribusi mineral liat pada profil 1 yaitu ; mineral alofan-A dengan pola tidak tentu, mineral imogolit dengan pola tidak tentu.

Berdasarkan gambar diatas maka dapat dilihat bahwa mineral alofan-A dan imogolit tersebar tidak merata dengan jumlah yang beragam sesuai dengan fungsi kedalaman tanah. Menurut Soil Survey Staff (1975) menyebutkan bahwa variasi persentase liat mencerminkan tingkatan-tingkatan aluvium.


(55)

Pola distribusi mineral liat pada profil 2 yaitu ; mineral alofan-A dan pola imogolit dengan pola tidak tentu.

Berdasarkan gambar diatas maka dapat dilihat bahwa mineral alofan-A dan imogolit semakin meningkat pada kedalaman 0-65 cm dan semakin berkurang pada kedalaman > 65 cm. Ini menunjukkan bahwa kandungan mineral liat tersebut berasal pelapukan bahan induk namun karena telah mulai mengalami perkembangan tanah maka semakin kedalam profil tanah mineral liat semakin berkurang, dikarenakan tidak ada proses pedogenik yang dominan selain leaching (pencucian) (Hardjowigeno, 1993).

Gambar 9. Pola Distribusi Mineral Liat Pada Profil 3

Pola distribusi mineral liat pada profil 3 yaitu ; mineral alofan-A dengan pola maksimum, mineral imogolit dengan pola berkurang.

Berdasarkan gambar diatas mineral alofan semakin menaik kemudian menurun sesuai dengan fungsi kedalaman tanah dan mineral imogolit semakin

menurun dan menaik sesuai dengan fungsi kedalaman tanah (Soil Survey Staff, 1975). Ini menunjukkan bahwa mineral imogolit banyak


(56)

terjadi perkembangan mineral dari mineral amorpus menuju kristalin yang ditunjukkan dengan adanya bertambahnya jumlah mineral imogolit yang terbentuk dari pada mineral alofan-A (imogolit > alofan-A). Menurut Jenni (1941); dalam Poerwowidodo (1991) pembentukan dan perkembangan tanah dipengaruhi juga oleh iklim dan topografi, Iklim dan topografi dapat mempercepat pembentukan imogolit karena imogolit adalah mineral prekristalin. Imogolit mempunyai rasio Si : Al 0.5 dan mempunyai sebuah struktur berbentuk

tuba dengan diameter dalam satu nm dan diameter liatnya dua nm (Henmi et al, 1992). Sehingga semakin kedalam fungsi kedalaman tanah imogolit

semakin berkurang.

Distribusi mineral alofan-A dan imogolit berlawanan yaitu mineral alofan-A menaik dan mineral imogolit menurun hal ini sangat sesuai karena imogolit terbentuk dari mineral alofan-A (Sudo and Shimoda, 1978). Meningkatnya jumlah alofan-A sesuai dengan fungsi kedalaman dikarenakan alofan-A merupakan mineral yang mudah lapuk (Hardjowigeno, 1993).

Analisa Laboratorium

Analisa Sifat Fisika Tanah

Sifat fisika tanah yang diteliti adalah kerapatan isi tanah (Bulk Density) dalam satuan gr/cm3 dengan metode ring sampel dan tekstur tanah dengan metode “by feeling”. Sifat fisik tanah kerapatan isi tanah dan tekstur tanah tertera pada tabel 11.


(57)

Tabel 11. Sifat Fisika Tanah Arboretum USU Kwala Bekala, kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang

Horizon Kedalaman (cm) Tekstur Tanah BD (g/cm3) Profil 1 Ap IIC Bt IC Bw Profil 2 Ap Bw1 Bw2 Bw3 Profil 3 Ap Bt Bw

0 - 17/20 17/20 - 24/31 24/31 - 33/38 33/38 - 43/50 43/50 - +54

0 - 2/4 2/4 - 9/16 9/16 - 62/72

62/72 - + 72

0 - 10/17 10/17 - 89/98

89/98 - + 98

Berpasir Berpasir Berdebu Berpasir Berdebu Berdebu Berdebu Berdebu Berdebu Berliat Berliat Berliat 1.17 1.21 1.55 1.15 1.14 1.12 1.26 1.18 1.38 1.05 1.05 1.08

Berdasarkan tabel diatas pada profil 1 yang teksturnya berpasir dan berdebu mempunyai BD yang cukup tinggi. Ini disebabkan karena fraksi pasir mempunyai luas permukaan yang kecil dengan ukuran partikel pasir besar (Hakim dkk, 1986). Fraksi pasir akan menyebabkan sedikitnya terbentuk pori-pori makro sehingga luas permukaan yang disentuh bahan menjadi sangat sempit (Hanafiah, 2005). Sedangkan fraksi debu akan membentuk pori-pori meso sehingga luas permukaannya cukup luas (Hanafiah, 2005).

Nilai BD pada profil 1 menunjukkan semakin meningkat sesuai dengan fungsi kedalaman tanah, kecuali pada horizon IC dan Bw yang memiliki BD yang nilai menurun. Menurut Buckman dan Brady (1982) nilai BD akan semakin naik jika semakin masuk ke dalam profil tanah. Hal ini dikarenakan kandungan bahan organik yang rendah, kurangnya agregasi dan penembusan akar dan pemadatan yang disebabkan oleh berat lapisan diatasnya.


(58)

Sedangkan pada horizon IC dan horizon Bw nilai BD semakin kebawah semakin menurun sesuai dengan fungsi kedalaman tanah. Ini disebabkan adanya kandungan bahan organik yang lebih banyak daripada horizon diatasnya. Ini menunjukkan bahwa dahulu horizon Bw ini merupakan solum, namun karena sering terjadi banjir dan penimbunan berulang-ulang sehingga horizon Bw tertimbun oleh lapisan diatasnya. Miskinnya bahan organik diatasnya disebabkan oleh pengikisan materi tanah dan lapisan atas tanah akibat terbawa banjir.

Hal serupa ditunjukkan pada profil 2 dimana semakin kebawah fungsi kedalaman tanah BD tanah semakin meningkat. Kecuali pada horizon Bw2 (BD = 1.18, yang menunjukkan nilai BD pada horizon Bw2 hampir mendekati niai BD horizon Ap yaitu 1.12 gr/cm3) yang cenderung menurun. Penurunan ini disebabkan adanya bahan organik yang lebih banyak. Hal ini dapat terjadi karena pedon ini terletak kemiringan lereng 10% dengan topografi bergelombang sehingga kemungkinan tertimbun oleh sedimen yang terbawa erosi yang miskin bahan organik sangat besar. Selain itu pada horizon Ap terjadi penggunaan lahan pertanian sehingga dapat menjadi sumber bahan organik pada lapisan top soil. Hal ini sesuai dengan literatur Buckman dan Brady (1982) yang menyatakan bahwa sumber asli bahan organik tanah ialah jaringan tumbuhan dalam keadaan alami dibagian atas tanah seperti akar pohon, semak-semak, rumput, dan tanaman tingkat rendah lainnya yang setiap tahun menyediakan sejumlah besar sisa-sisa organik.

Sedangkan pada profil 3 yang seluruh horizonnya (Ap, Bt, dan Bw) teksturnya berliat terjadi kenaikan nilai BD. Kenaikan BD tanah disebabkan oleh kandungan bahan organik (%C-Organik) yang semakin rendah sesuai dengan


(59)

fungsi kedalaman. Pada hasil diatas diketahui nilai BD pada pedon 3 berkisar antara 1.05 g/cm3-1.08 gr/cm3. Ini menunjukkan kandungan bahan organik yang rendah (BPPT Medan, 1982 dan Staf Pusat Penelitian tanah, 1983). Semakin kebawah bahan organik pun semakin rendah (Buckman dan Brady, 1982). Hal ini juga diperkuat dengan nilai pH NaF yang rendah pada ketiga profil.

Analisa Sifat Kimia Tanah

Sifat kimia tanah yang diteliti adalah pH tanah dengan metode elektrometri, KTK tanah dengan metode NH4OAc pH 7, dan kandungan bahan

organik tanah (% C) dengan metode Walkley and Black. Sifat kimia tanah pH H2O, pH KCl, pH NaF, KTK tanah, dan % karbon tertera pada tabel 12.

Tabel 12. Sifat Kimia Tanah Arboretum USU Kwala Bekala, kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang

Horizon Kedalaman (cm) pH Tanah KTK

(me/100g)

%C-Organik H2O KCl NaF

Profil 1 Ap IC Bt IIC Bw Profil 2 Ap Bw1 Bw2 Bw3 Profil 3 Ap Bt Bw

0 - 17/20 17/20 - 24/31 24/31 - 33/38 33/38 - 43/50 43/50 - +54

0 - 2/4 2/4 - 9/16 9/16 - 62/72

62/72 - + 72

0 - 10/17 10/17 - 89/98 89/98 - + 98

5.95++ 6.27++ 6.04++ 6.37++ 6.05++ 6.07++ 6.35++ 5.85++ 6.19++ 6.14++ 6.23++ 6.49++ 5.85+++ 4.82+++ 4.54+++ 4.93+++ 4.85+++ 5.98+++ 3.92+ 3.95+ 4.32+++ 4.96+++ 4.04+ 3.98+ 8.59 -8.65 -8.70 -8.59 -8.60 -8.57 -9.12 -9.16 -9.10 -8.98 -9.6 --9.67 --7.38** 7.00** 10.63** 5.13** 11.50** 15.25*** 9.00** 11.00** 11.25** 13.25*** 20.63*** 12.75** 0.41* 0.07* 0.41* 0.14* 0.34* 2.32*** 0.07* 0.48* 0.07* 2.12*** 0.20* 0.07*

Keterangan : +(masam) ++(agak masam) +++(netral) – (tidak ada bahan andik) -- (ada bahan andik) * (sangat rendah, ** (rendah). ***(sedang)

Berdasarkan hasil diatas dapat dilihat pH H2O pada ketiga profil berkisar


(60)

dengan pola penyebaran yang bervariasi menurut kedalaman tanah. Kemasaman tanah ini disebabkan karena lokasi penelitian yang memiliki curah hujan yang tinggi sehingga proses pencucian lebih intensif sehingga kation Al3+ yang merupakan sumber kemasaman potensial terjerap dalam kompleks lempung yang kemudian melepaskan H+ sebagai sumber kemasaman aktif. Tipe kemasaman inilah yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Tan, 1991).

Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa pH KCl ketiga profil lebih

rendah daripada pH H2O (Muklhis, 2004). Berdasarkan kriteria

BPP Medan (1992) tergolong masam sampai netral. pH KCl yang < 5.5 menunjukkan jumlah Al nyata dalam larutan tanah (Mukhlis, 2007).

Begitu juga dengan pH NaF pada profil 1 dan 2 yang memiliki nilai pH < 9.4 yang menunjukkan tidak ada bahan andik pada pedon kedua pedon. pH NaF merupakan suatu indikator adanya bahan andik (alofan) yang mendominasi kompleks pertukaran. Hal ini didasarkan kepada pertukaran ligan antara F- dengan OH- yang dipinggiran alofan sehingga OH- bebas dan akan cepat menggantikan pH larutan (Mukhlis, 2007). Hal ini diperkuat dengan kandungan C-Organik pada kedua profil yang sangat rendah. Kecuali pada profil 2 yaitu horison Ap yang memiliki kandungan C-Organiknya 2.32%. Adanya bahan organik pada horizon ini dikarenakan adanya asosiasi dari perakaran vegetasi diatasnya. Selain itu tidak adanya bahan andik ini dipertegas dengan adanya mineral liat alofan-A dan imogolit yang terkandung menunjukkan adanya transisi prakristalin dari mineral amorf menjadi mineral kristalin.

Sedangkan pada profil 3 nilai pH NaF-nya > 9.4 yaitu pada horizon Bt, pH NaF adalah 9.63 dan pada horizon Bw pH NaF-nya adalah 9.67, yang


(61)

menunjukkan adanya bahan andik. Walaupun demikian kandungan bahan andik belum dominan karena hanya beda 0.2 dari batas standar karena pH NaF > 9.4 merupakan indikator adanya bahan andik (Mukhlis, 2007). Hal ini menunjukkan adanya peralihan mineral dari alofan-B menjadi alofan-A. pH NaF digunakan untuk menguji ada tidaknya bahan andik (Mukhlis, 2004).

Kapasitas tukar kation (KTK) didefinisikan sebagai kapasitas tanah untuk mempertukarkan dan menjerap kation. KTK biasanya dinyatakan dalam me/100g tanah yang dihitung dengan rumus :

KTK = ∑ mEk kation dapat dipertukarkan per 100 g tanah (Tan,1991).

Menurut Bolt (1976) berpendapat bahwa suatu koreksi tertentu diperlukan terhadap prosedur tersebut.

KTK pada ketiga profil nilai KTK berdasarkan kriteria BPP Medan (1992) tergolong rendah sampai sedang (7.00-20.63 me/100 g tanah). KTK liat dapat dihitung berdasarkan rumus) yaitu :

KTK-liat (me/100 g liat) = KTK Tanah – KTK Bahan Organik

Sedangkan untuk KTK bahan organik menggunakan rumus yaitu: KTK-BO (me/100 g bahan organik) = %C x 200

100


(62)

Tabel 13. Kapasitas Tukar Kation dan Kapasitas Tukar Kation Liat Horizon Kedalaman

(cm)

% C-Organik

KTK (me/100 g tanah)

KTK (me/100 g liat) Profil 1 Ap C1 Bt C2 Bw Profil 2 Ap Bw1 Bw2 Bw3 Profil 3 Ap Bt Bw

0 - 17/20 17/20 - 24/31 24/31 - 33/38 33/38 - 43/50 43/50 - +54

0 - 2/4 2/4 - 9/16 9/16 - 62/72

62/72 - + 72

0 - 10/17 10/17 - 89/98

89/98 - + 98

0.41* 0.07* 0.41* 0.14* 0.34* 2.32*** 0.07* 0.48* 0.07* 2.12*** 0.20* 0.07* 7.38** 7.00** 10.63** 5.13** 11.50** 15.25*** 9.00** 11.00** 11.25** 13.25*** 20.63*** 12.75** 6,46 6.86 9.81 4.85 10.82 10.61 8.86 10.04 11.11 9.01 20.23 12.61

Keterangan : * (sangat rendah, ** (rendah). ***(sedang)

Berdasarkan hasil diatas dapat kita lihat bahwa KTK liat pada ketiga profil sangat bervariasi. Namun demikian tampak jelas bahwa KTK liat pada profil 3 > KTK liat pada profil 2 > KTK liat pada profil 1. Ini menunjukkan dari profil 1 KTK liat rendah kemudian mengalami kenaikan pada profil 2, dan seharusnya menurun pada profil 3. Tetapi dilapangan menunjukkan pada pedon 3 mengalami kenaikan nilai KTK liatnya. Rendahnya nilai KTK pada profil 1 menunjukkan bahwa profil 1 tergolong tanah yang masih muda, karena kandungan liat yang rendah. Tanah muda biasanya mempunyai KTK rendah sesuai dengan tekstur bahan induk, dikarena mineral alofan yang mudah lapuk (Hardjowigeno, 1993). Hal ini pun didukung dengan rendahnya %C-Organik tanah dan profil 1 teksturnya berpasir. Buckman and Brady (1982) mengungkapkan bahwa hubungan tekstur tanah dengan nilai KTK yaitu semakin halus tekstur suatu tanah maka semakin besar kapasitas pertukaran kation tanah.


(63)

Pada profil 2 nilai KTK mengalami peningkatan, walaupun terjadi penurunan pada horizon Bw1. Peningkatan nilai KTK ini menunjukkan bahwa adanya kandungan liat yang cukup pada profil 2. Hal ini dapat kita lihat pada tekstur tanahnya berdebu. Peningkatkan nilai KTK ini disebabkan oleh mineral alofan dan imogolit yang memiliki luas kurva yang besar, sehingga menyebabkan KTK liat meningkat.

Pada profil 3 nilai KTK menurun sejalan dengan kandungan %C-Organik tanahnya rendah, padahal profil 3 teksturnya berliat. Ini menunjukkan bahwa fraksi liat pada profil 3 beraktivitas rendah sehingga profil 3 tergolong tanah dengan tingkat pelapukan lanjut. KTK liat pada profil 3 tergolong rendah yaitu kurang dari 16 me/100 g liat. Kecuali pada horizon Bt kita menemukan nilai KTK liat > 16 me/100 g liat. Hal ini disebabkan karena besarnya luas kurva endotermik pada horizon Bt yaitu 196 mm2. Hakim dkk (1986) menyebutkan bahwa KTK berbanding lurus dengan jumlah butir liat. Semakin tinggi jumlah liat suatu jenis tanah yang sama, maka KTK juga betambah besar. Makin halus tekstur tanah makin besar pula jumlah koloid liat dan koloid organiknya, sehingga KTK juga semakin besar. Sebaliknya tekstur kasar seperti pasir atau debu, jumlah koloid liat relatif kecil demikian pula koloid organiknya, sehingga KTK juga relatif lebih kecil daripada tanah bertekstur halus.

Kadar C-Organik pada ketiga profil cenderung menurun ini dari permukaan ke horizon dibawahnya. Penurunan %C-Organik ini disebabkan semakin kebawah pengaruh mikroorganisme dalam tanah pun berkurang aktivitasnya. Selain itu jenis mineral liat alofan-A dan imogolit menyebabkan bahan organik pun berkurang. Karena alofan-A merupakan perkembangan lanjut


(64)

dari alofan-B yang kaya bahan andik, dan imogolit yang merupakan mineral transisi.

Tingginya bahan organik pada permukaan ketiga profil disebabkan karena adanya pengaruh vegetasi yang berada diatasnya, dan penggunaan lahan sebagai lahan pertanian yang secara tidak langsung mendapatkan pengaruh pemupukan organik baik dari kotoran hewan maupun tanaman penutup lahan.

Tingkat Perkembangan Tanah

Berdasarkan tabel 11 maka diketahui bahwa profil 1 mempunyai horizon Ap, IIC, Bt, IC, dan Bw dengan kedalaman solum < 20 cm, dengan tekstur berpasir dan BD < 1.5 g/cm3. Berdasarkan morfologi tanah dan sifat fisika tanah maka profil 1 tergolong tanah yang masih muda. Tanah muda (perkembangan awal). Hardjowigeno (1993) menyebutkan bahwa ciri tanah muda adalah terjadi proses pembentukan tanah terutama proses pelapukan bahan organik dan bahan mineral di permukaan tanah dan pembentukan struktur tanah karena pengaruh dari bahan organik tersebut (sebagai perekat). Hasilnya adalah pembentukan horizon A dan C.

Profil 2 berdasarkan tabel 11 memiliki horizon Ap, Bw1, Bw2, dan Bw3 dengan tekstur berdebu dan BD < 1.3 g/cm3. Profil 2 tergolong tanah dewasa (berkembang) karena telah terbentuk horizon yang lengkap yaitu terbentuk horison eluviasi. Menurut Hardjowigeno (1993) tanah dewasa telah memgalami proses lebih lanjut dengan terbentuk horizon B akibat penimbunan liat (iluviasi) dari lapisan atas ke lapisan bawah atau perubahan warna yang menjadi lebih merah dari pada horizon C dibawahnya tetapi proses pedogenesisnya lambat


(65)

sampai sedang, karena bahan induknya tahan terhadap pelapukan. Inceptisol adalah tanah yang belum matang (Immature) dengan perkembangan profil yang lebih lemah dibanding dengan tanah matang, dan masih banyak menyerupai sifat bahan induknya. Beberapa Inceptisol terdapat dalam keseimbangan dengan lingkungan dan tidak akan matang bila lingkungan tidak berubah (Hardjowigeno, 1993).

Pada profil 3 memiliki horizon Ap, Bt, dan Bw, dengan tekstur tanah berliat dan BD < 1.08 g/cm3. Ini menunjukkan bahwa profil 3 telah mengalami perkembangan yang lebih lanjut. Ini juga ditunjukkan dengan pH tanah yang agak masam rendahnya, miskinnya bahan organik dan KTK yang rendah. Terdapat

mineral imogolit yang memiliki struktur nesosilikat (Si : Al = 0.5) (Henmi et al, 1982) sehingga menimbulkan kemasaman potensial. Terbentuknya

horison Bt yang merupakan petunjuk adanya horison argilik. Menurut Hardjowigeno (1993) tanah dengan perkembangan yang tua memiliki ciri-ciri perkembangan lanjut yaitu dengan meningkatnya unsur hara, maka proses pembentukan profil tanah berjalan lebih lanjut sehingga terjadi perubahan yang lebih nyata pada horizon A dan B, tanah menjadi sangat masam, sangat mudah lapuk, dan kandungan bahan organik lebih rendah dari tanah dewasa. Akumulasi liat atau sesquioksida di horizon B lebih nyata sehingga membentuk horizon argilik (Bt).

Penilaian tingkat perkembangan tanah ditentukan berdasarkan sifat morfologis tanah dan genesa tanah, dimana secara morfologi ditentukan

berdasarkan kelengkapan horizon-horizon genetis dan kedalaman solum (Hakim dkk, 1986).


(66)

Tingkat perkembangan tanah dapat juga diketahui dengan menentukan

bulk densitynya. Makin tinggi tinggi bulk density makin berkembang tingkat

perkembangan tanah (Hardjowigeno, 1993). Penilaian BD dilapangan tidak sesuai dengan Hardjowigeno (1993) dimana makin tinggi tinggi bulk density makin berkembang tingkat perkembangan tanah karena menghasilkan data yang kontradiktif dikarena pada ketiga pedon telah mengalami pengolahan tanah yaitu terdapat berbagai jenis tumbuhan yang telah dibudidayakan (terdapat 57 jenis pohon yang telah ditanam dalam upaya konservasi sumberdaya hayati ex-situ) (Rauf, 2009).

Akan tetapi penilaian terhadap tingkat perkembangan tanah berdasarkan kapasitas tukar kation (KTK) dengan mineral liat yang paling dominan tidak sesuai dengan Mukhlis (2004), dimana KTK mineral amorphous 160 me/100g liat (pada pH 6.2) karena menghasilkan data yang kontradiktif. Hal ini disebabkan karena kandungan bahan organik yang rendah dengan pH NaF yang rendah sehingga KTK kedua mineral rendah. Gambaran pola distribusi mineral liat pada ketiga telah menunjukkan bahwa mineral alofan pada ketiga pedon telah mengalami perkembangan dari mineral alofan-B menjadi mineral alofan-A, dimana mineral alofan-A berkorelasi negatif dengan bahan organik.

Berdasarkan hasil penelitian Marpaung (1992) tanah Ultisol (great group Palehumult) mengandung mineral illit, kaolinit, dan halloisit. Kaolinit ditemukan pada tanah-tanah yang mengalami pelapukan lanjut (Hardjowigeno, 1993). Sedangkan data yang diperoleh dilapangan tanah Podsolik Coklat Kemerahan (Ultisol) dengan tingkat perkembangan tanah yang tua mengandung mineral alofan-A dan imogolit tidak sesuai dengan Marpaung (1992) dan Hardjowigeno


(67)

(1993) dikarenakan masih terdapat bahan organik walaupun dalam jumlah yang sedikit yang dapat menghambat perkembangan tanah. Hal ini juga disebabkan karena pembentukan mineral yang tidak in situ. Diduga pembentukan tanah di lokasi penelitian akibat proses lithologic discontinuity.

Klasifikasi Tanah

Berdasarkan tabel 6 maka klasifikasi tanah menurut sistem Dudal- Supraptohardjo (1961) maka profil 1 termasuk tanah Alluvial, dengan determinasi tanpa diferensiasi horizon karena masih muda dan belum berkembang, dengan batuan induk yang kurang jelas karena berasal dari tempat lain, dan terdapat

lembaran eluviasi yang bukan horison. Menurut klasifikasi Dudal-Supraptohardjo (1961), tanah tersebut disetarakan berdasarkan Padanan

Nama Tanah Menurut Sistem Klasifikasi USDA (2006), maka tanah Alluvial tergolong tanah Entisol. Foth (1994) menyebutkan bahwa Entisol adalah tanah yang cenderung untuk berasal baru. Tanah ini ditandai dengan kemudaannya dan tidak ada horizon genesis alami atau hanya mempunyai permulaan horizon.

Pada profil 2 dalam klasifikasi Dudal-Supraptohardjo (1961) tergolong tanah Podsolik Coklat Kekuningan dengan determinasi; adanya diferensiasi horizon, tidak ada atau kurang jelas mencirikan gejala gley, susunan horizon profil tanah horison ABC, warna tanah umum yang tampak merah-coklat-kuning, hampir seluruh profil berwarna merah kuning coklat, struktur tanah pada umumnya beragregat dengan struktur remah, konsistensi gembur, ciri horison B2

dengan struktur remah, konsistensi gembur, warna merah kuning coklat, dan ciri


(1)

Lampiran 3. Hasil Analisis Laboratorium Sifat Fisika Tanah

Horizon Kedalaman (cm) Tekstur Tanah BD (g/cm3) Pedon 1 Ap IIC Bt IC Bw Pedon 2 Ap Bw1 Bw2 Bw3 Pedon 3 Ap Bt Bw

0 - 17/20 17/20 - 24/31 24/31 - 33/38 33/38 - 43/50 43/50 - +54

0 - 2/4 2/4 - 9/16 9/16 - 62/72

62/72 - + 72 0 - 10/17 10/17 - 89/98

89/98 - + 98

Berpasir Berpasir Berdebu Berpasir Berdebu Berdebu Berdebu Berdebu Berdebu Berliat Berliat Berliat 1.17 1.21 1.55 1.15 1.14 1.12 1.26 1.18 1.38 1.05 1.05 1.08

Sifat Kimia Tanah

Horizon Kedalaman (cm) pH Tanah KTK

(me/100g)

%C Organik H2O KCl NaF

Profil 1 Ap IIC Bt IC Bw Profil 2 Ap Bw1 Bw2 Bw3 Profil 3 Ap Bt Bw

0 - 17/20 17/20 - 24/31 24/31 - 33/38 33/38 - 43/50 43/50 - +54

0 - 2/4 2/4 - 9/16 9/16 - 62/72

62/72 - + 72 0 - 10/17 10/17 - 89/98 89/98 - + 98

5.95 6.27 6.04 6.37 6.05 6.07 6.35 5.85 6.19 6.14 6.23 6.49 5.85 4.82 4.54 4.93 4.85 5.98 3.92 3.95 4.32 4.96 4.04 3.98 8.59 8.65 8.70 8.59 8.60 8.57 9.12 9.16 9.10 8.98 9.63 9.67 7.38 7.00 10.63 5.13 11.50 15.25 9.00 11.00 11.25 13.25 20.63 12.75 0.41 0.07 0.41 0.14 0.34 2.32 0.07 0.48 0.07 2.12 0.20 0.07


(2)

Lampiran 4. Puncak Endotermik Pada Profil 1,2, dan 3

Horizon Puncak Endotermik (0C) Jenis Mineral Liat Profil 1 Ap IIC Bt IC Bw Profil 2 Ap Bw1 Bw2 Bw3 Profil 3 Ap Bt Bw 75 475 65 470 70 260 480 62 260 478 60 65 480 78 340 70 485 60 480 80 270 475 80 280 475 60 480 Alofan A Imogolit Alofan A Imogolit Alofan A Imogolit Imogolit Alofan A Imogolit Imogolit Alofan A Alofan A Imogolit Alofan A Imogolit Alofan A Imogolit Alofan A Imogolit Alofan A Imogolit Imogolit Alofan A Imogolit Imogolit Alofan A Imogolit


(3)

Lampiran 5. Prosedur Pemakaian DTA

 Unit control dan amplifier dihidupkan selama 30 menit sebelum analisa dimulai

 Timbang bahan pembanding (serbuk alumina) sebanyak 30 milligram dengan menggunakan mangkok platina sebagai tempat sampel

 Timbang bahan yang akan diuji (sampel) sebanyak 30 milligram dengan menggunakan mangkok platina sebagai tempat sampel

 Bahan pembanding dan sampel diletakkan ke dalam gagang sampel (bahan pembanding ditempatkan di sebelah kiri dan sampel di tempatkan di sebelah kanan)

 DETEKTOR, set pada DTG dan Thermocouple set PR

 PROGRAM MODE, set Up dan kecepatan pemanasan set 5 ºC sampai 20 ºC (biasanya set 10 ºC)

 TEMPERATUR, K, ºC, mV, set pada ºC

 LIMIT TEMPERATUR, set di bawah 1000 ºC

 Saklar amplifier DTA, switch ON dan RANGE ± 250 µV, set sesuai dengan yang diinginkan (± 100 µV). Selektor set TG

 RECORDER:

 Pen 1 (temperatur), POWER switch ON dan RANGE set “S”

 ZERO, set pen 1 pada titik 0 (nol)

 RANGE, seleksi sesuai dengan tempeeratur percobaan, thermocouple PR (biasanya set 15 mV)

 Pen 2, (DTA), POWER switch ON dan RENGE set “S”, dan set pen 2 pada titik awal DTA dan RANGE DTA set 20 mV (lihat perubahan pen 2). Jika pen DTA bergerak set kembali ke titik awal dengan memutar tombol ZERO pada amplifier DTA

 Unit control, ST-BY switch ON

 START TEMPERATUR, set 2 ºC sampai 3 ºC lebih kecil dari temperatur yang terbaca pada digital panel meter

 RECORDER, CHART SPEED, dipilih dari 1,25 sampai 40 mm/menit dan CHART SW, Switch ON


(4)

(5)

(6)