Tingkat Perkembangan Tanah Berdasarkan Pola Distribusi Mineral Liat di Kecamatan Lumbanjulu Kabupaten Toba Samosir

TINJAUAN PUSTAKA
Pembentukan dan Perkembangan Tanah
Konsep tentang proses pembentukan tanah mencakup kumpulan berbagai proses fisik, kimia
dan biologi beserta semua faktor pendukung terutama tanah. Setiap proses bersifat dinamis dan
irreversible, dan selalu dalam keadaan kesetimbangan. Pada dasarnya terdapat dua tahap yang saling
tumpang tindih dalam proses pembentukan tanah, yaitu akumulasi bahan induk dan diferensiasi
horizon. Tahap pertama terutama dikendalikan oleh pelapukan fisik yang kuat dengan pelapukan
biokimia yang lemah. Sedangkan tahap kedua diawali dengan proses pelapukan biokimia yang kuat.
Proses diferensiasi meliputiproses pergerakan bahan serta transfer bahan dan energi. Proses
pelapukan boiokimia itu nampaknya terus berperan aktif sepanjang proses diferensisasi horizon
(Simonson, 1959;Arifin, 1994).
Pada dasarnya proses pembentukan tanah meliputi kelompok, yaitu: (1) penambahan bahan
organik dan mineral ke dalam tanah baik dalam bentuk padat, cair, maupun gas, (2) kehilangan
benda-benda tersebut dari tanah, (3) pemindahan bahan-bahan dari tanah satu lapisan ke lapisan lain,
dan (4) perubahan bentuk bahan-bahan mineral atau bahan organik di dlaam tanah (Hordjowigeno,
1993). Proses pembentukan tanah tertentu dapat melibatkan lebih dari satu kelompok proses diatas,
misalnya melanisasi pada Andisol melibatkan penamabahan bahan oraganik dan pemnindahan fraksi
humus ke lapisan yang lebih bawah.
Proses pembentukan tanah secara garis besar dibedakan atas proses pelapukan dan
perkembangan tanah. Proses pelapukan merubah batuan induk menjadi bahan induk tanah lalu
berubah menjadi tanah, selanjutnya proses perkembangan tanah akan menghasilkan horizon-horizon

genetik ditubuh tanah tersebut, pada tanah yang sudah berkembang akan dijumpai horizon-horizon
A, B, C dan R (Foth, 1994).
Faktor pembentuk tanah merupakan faktor yang menentukan dalam pembentukan jenis-jenis
tanah. Faktor pembentuk tanah terdiri dari bahan induk dan faktor lingkungan yang mempengaruhi

Universitas Sumatera Utara

perubahan bahan induk menjadi tanah. Walaupun faktor pembentuk tanah tersebut sangat banyak
tetapi yang terpenting adalah iklim, organisme, bahan induk, dan waktu. Faktor-faktor lain misalnya;
gravitasi, gempa bumi dan lain-lain (Hardjowigeno, 1993).
Pembentukan tanah berlangsung dengan proses pelapukan, dekomposisi dan mineralisasi
lebih lanjut. Banyaknya waktu yang diperlukan untuk pembentukan tanah berbeda-beda. Tanah yang
berkembang dari batuan yang keras memerlukan waktu yang lebih lama untuk pembentukan tanah
dibandingkan dengan tanah yang berasal dari bahan induk lunak dan lepas. Proses pembentukan
tanah mula-mula berjalan agak cepat tetapi makin tua tanah proses tersebut berjalan sangat lambat
(Hardjowigeno, 1993).
Perkembangan tanah dapat dicirikan oleh distribusi dan komposisi mineral di dalam tanah.
Tanah yang mengalami perkembangan tanah lebih lanjut jika kandungan mineral primer yang mudah
lapuk lebih sedikit dibanding dengan mineral sukar lapuk. Sedangkan kandungan liat dalam tanah
cenderung meningkat dengan tingkat pelapukan yang lebih lanjut (Hardjowigeno, 1993).

Proses-proses perkembangan tanah yang menimbulkan ciri asasi terdiri atas: (1) proses
akumulasi bahan organik di permukaan bumi sambil membentuk horizon O, antara lain termasuk
proses yang menimbulkan ciri khas seperti pembentukan humus, gambut; (2) proses elluviasi sambil
membentuk horizon A, termasuk proses khas berupa antara lain pencucian basa, latosolisasi,
podzolisasi; (3) proses illuviasi sambil membentuk horizon B, terdiri atas proses khas seperti antara
lain akumulasi kapur, lempung (clay), besi, pembentukan ciri solonetz dan lain-lain; (4) proses
diferensiasi horizon yang teratur, sebagai akibat proses-proses (1), (2), dan (3) tersebut di atas
(Darmawidjaya, 1990).

Tingkat perkembangan tanah digunakan sebagai ukuran kualitatif terhadap jumlah
perubahan yang terjadi pada bahan induk. Tingkat perkembangan tanah bersifat relatif dan
didasarkan pada sifat-sifat tanah yang dapat diamati dan diukut, serta kelengkapan horizon
genetiknya. Selain itu warna dan kandungan liat dari horizon merupakan faktor penilaian yang

Universitas Sumatera Utara

lebih kualitatif. Begitu pula kedalaman solum, ketebalan horizon iluviasi, dan reaksi tanah
(Ismail, 1981).
Penilaian tingkat perkembangan tanah ditentukan berdasarkan sifat morfologis tanah dan
genesa tanah, dimana secara morfologi ditentukan berdasarkan kelengkapan horizon-horizon

genetis dan kedalaman solum, sedangkan secara genetis tanah ditetapkan berdasarkan tingkat
pelapukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif sebagai hasil evaluasi analisa fisika, kimia
dan mineralogi tanah. Perkembangan suatu tanah tergantung pula pada jenis bahan induk yang
menentukan sifat kimia dari tanah yang dihasilkan. pengaruh bahan induk ini sangat jelaspada
stadia awal pembentukan tanah(Hakim., dkk, 1986).
Topografi atau relief adalah sah satu unsur pembentukan tanah yang pasif. Lereng
merupakan unsur topografi yang mempengaruhi sifat-sifat tanah.Istilah lereng digunkan untuk
menunjukan sudut yang terbentuk pada permukaan bumi terhadap bidang yang dianggap datar.
Menurut Young (1972), dalam hubungannya dengan pembentukan dan perkembangan
tanah, lereng mencakup tiga aspek yang terdiri dari kemiringan, posisi, dan bentuk lereng.
kemiringan lereng menunjukan sudut yang terbentuk antara bidang datar dengan permukaan
lereng. Besarnya kemiringan berkisar dari datar hingga curam. Posisi lereng menunjukkan letak
suatu lereng pada transek lereng, berkisar dari kaki lereng hingga puncak lereng.Sedangkan
bentuk lereng adalah wujud permukaan lereng yang berbentuk cembung atau cekung.
Sejalan dengan waktu, pembentukan tanah dan pematangan terus berlangsung sehingga
pada suatu saat mencapai nisbi perkembangan atau derajat kematangan tertentu. Hubungan
pembentukan dan perkembangan tanah terhadap waktu dirumuskan dalam batasan umur tanah.
Umur tanah ini dapat diukur dari sifat bahan induk yang muncul. Jika waktu berjalan, tanah
secara bertahap mulai berubah atau mengalami degradasi. Setiap tanah mengalami proses evolusi
dan melewati tingkatan umur yaitu muda, matang dan lanjut (Rajamuddin, 2009).


Universitas Sumatera Utara

Batasan muda, matang dan lanjut adalah menunjukkan tingkatperkembangan profil tanah
dalam hubungannya dengan faktor-faktor pembentuk tanah. Jika suatu bahan induk terimbas
pengaruh faktor lain dari pembentukan tanah, maka tingkat pertumbuhan tanah akan segera
terlihat, yaitu diwujudkan melalui differensiasi horizon atau perkembangan profil (Rajamuddin,
2009).
Tanda-tanda yang dipakai untuk menyatakan tanah telah mencapai tingkat perkembangan
lebih lanjut ialah profil terbagi dalam horizon-horizon yang lebih banyak dan masing-msing
horizon lebih tebal serta lebih nyata terbentuk, tekstur tanah lebih halus, pH menurun atau
kemasaman lebih meningkat, kadar N dan bahan organik lebih banyak, warna tanah lebih cerah.
Tanda-tanda yang tercantum di atas tidak berarti harus semuanya bersamaan dalam sebuah profil
(Notohadiprawiro, 1995).
Mineral Liat
Mineral liat merupakan salah satu komponen tanah yang sangat penting, karena mineral
liat dapat menentukan sifat fisik dan kimia tanah serta sebagai sentral dalam proses reaksi
pertukaran ion di dalam tanah. Muatan tanah, konsistensi dan kemampuan tanah untuk dapat
mengembang dan mengkerutdipengaruhi oleh jenis mineral liat yang dominan dalam tanah
(Munir, 1996).

Terbentuknya jenis mineral lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan daripada bahan
asalnya yaitu jenis batuan. Pengaruh ini terlihat pada penyebaran jenis mineral tipe dua lapis
kaolinit yang umumnya terbentuk didaerah beriklim basah, sedangkan mineral tipe tiga lapis
montmoriloinit pada daerah semi kering (Marpaung, 1992)
Berdasarkan perkembangannya, para ahli ilmu pengetahuan tanah membedakan dua
urutan mineral yaitu mineral primer dan mineral sekunder. Mineral primer adalah mineral asli
yang terdapat dalam batuan. Pada umumnya mineral primer terdiri dari mineral silikat yaitu

Universitas Sumatera Utara

persenyawaan silikon dan oksigen (SiO2), kemudian variasinya terdiri dari mineral feldsfar yang
mengandung pesenyawaan alumunium, kalsium, natrium, besi, dan magnesium. Perubahan
susunan kimia selama pelapukan batuan dekat permukaan bumi mengubah mineral primer yang
terurai dan kemudian bersenyawa lagi membentuk mineral sekunder. Mineral sekunder adalah
mineral penting (esensial) untuk perkembangan dan kesuburan tanah (Rafi’I, 1990).
Gambaran lain tentang laju perkembangan tanah adalah pembentukan tanah liat silikat.
Tanah muda yang mempunyai kandungan tanah liat rendah dan kandungan mineral utama yang
tinggi mungkin dicirikan dengan laju pembentukan tanah liat yang tinggi. Pada tanah dewasa
atau tua yang kebanyakan mineral utamanya telah terkikis, bentukan tanah liat silikat seharusnya
rendah. Akan tetapi, kandungan tanah liat yang tinggi mendorong laju perombakan tanah liat

yang relatif tinggi. Jadi terlihat bahwa beberapa di antara proses itu lebih operatif pada tanah
muda sedangkan proses yang lain lebih operatif pada tanah tua (Foth, 1994).
Mineral skeletal (mineral primer) terdiri dari; a) pasir dan debu yang masing-masing butir
merupakan satu macam mineral primer; b) agregat mikro kristalin: abu volkan (campuran
berbagai mineral primer), dan chart (silika mikrokristalin; c) fragmen: pecahan batuan, dalam
ukuran pasir atau debu, terdiri dari berbagai macam mineral primer (Hardjowigeno, 1993).
Mineral liat non kristal alofan merupakan tanah umum pada bahan vulkanik. Alofan
secara kolektif menyusun aluminium silikat berair dan imogolit suatu aluminosilikat pada kristal
unik (khas). Mineral ini terbentuk dari penyusun tanah liat yang paling umum meliputi selang
iklim yang luas. Alofan dan imogolit mempengaruhi sifat fisik dan kimia suatu tanah dengan
kuat, sering bertanggung jawab untuk produktifitas yang rendah dan mempengaruhi kesesuaian
dan kualitas tanah sebagai bahan bangunan (Amerijcrx, 1985).
Tanah muda biasanya mempunyai KTK rendah sesuai dengan tekstur bahan induk. KTK
mula-mula akan meningkat dengan meningkatnya pelapukan, tetapi KTK akan menjadi rendah

Universitas Sumatera Utara

pada tanah dengan tingkat pelapukan lanjut. Hal ini akibat melapuknya mineral liat mudah lapuk
(mineral liat 2:1, alofan) dan terbentuk mineral liat yang rendah KTK nya (kaolinit, oksidaoksida). Batas antara KTK rendah dan tinggi adalah 16 me/100g liat. Nilai KTK dapat
menunjukkan beberapa hal dalam tanah yaitu sebagai petunjuk jenis-jenis mineral liat yang

ditemukan dalam tanah, dan petunjuk tingkat pelapukan tanah (Hardjowigeno, 1993).
Dari berbagai pengamatan ciri tekstur tanah, ternyata KTK berbanding lurus dengan
jumlah butir liat. Semakin tinggi jumlah liat suatu jenis tanah yang sama, maka KTK juga
betambah besar. Makin halus tekstur tanah makin besar pula jumlah koloid liat dan koloid
organiknya, sehingga KTK juga semakin besar. Sebaliknya tekstur kasar seperti pasir atau debu,
jumlah koloid liat relatif kecil demikian pula koloid organiknya, sehingga KTK juga relatif lebih
kecil daripada tanah bertekstur halus (Hakim., dkk, 1986).
Pada umumnya pertukaran kation (KTK) berubah dengan berubahnya pH tanah. Bila pH
rendah maka KTK rendah. Pada pH rendah, hanya muatan permanen dari liat dan sebagian
muatan koloid organik memegang ion yang dapat digantikan melalui pertukaran ion. Dengan
demikian KTK relative rendah. Hal inidisebabkan oleh kebanyakan tempat pertukaran kation
koloid organic dan beberapa fraksi liat, H dan mungkin hidrokdi-Al terikat kuat, sehingga sukar
dipertukarkan (Hasibuan, 2006).
Pola Distribusi Mineral Liat
Menurut Marshall (1977) bahwa distribusi mineral liat di dalam tanah sangat erat
kaitannya dengan tingkat perkembangan tanah. Pada tanah muda yang berkembang dari debu
vulkan dengan fase perkembangan awal tersusun olehmineral amorf, fase medium alofan dan
Kristal kaolinit, dan fase terakhir tersusun oleh mineral alofan, kaolinit dan gibsit.
Perbedaan jenis mineral tanah yang terbentuk dari bahan induk yang berbeda adalah
disebabkan tingkat stabilitas mineral penyusun batuan adalah berbeda pula yang selanjutnya


Universitas Sumatera Utara

perbedaan kondisi pembentukan tanah yaitu proanisotrop dan proisotrop yang masing-masing
memberi kenampakan horizonisasi dan haploidisasi pada profil tanah (Marpaung, 1992).
Distribusi mineral liat dalam tanah tidak terlepas dari genesis yang membenarkan bahwa
terdapat warisan mineral pada masa lalu, sehingga walaupun sulit dapat didekati dengan kajian
morfologi yaitu grafik nisbi hubungan jenis mineral dan kedalaman tanah (Marpaung, 1992).
Distribusi mineral liat pada horizon tanah dapat dipengaruhi oleh proses pedogen pokok
khusus misalnya pedoturbasi pada tanah vertisol dapat merubah pola distribusi mineral liat
walaupun tetap berada pada kondisi proanisotrop, namun oleh sifat mineral montmorilloinit
yang mengembang-mengerut tercadi pencampuran mineral liat pada horizon A dan B
(Marpaung, 1992).
Differential Thermal Analysis (DTA)
Differential Thermal Analysis (DTA) merupakan teknik yang digunakan secara luas dan
sangat bermanfaat terutama dalam mengidentifikasikan bahan amorf. DTA digunakan untuk
mengukur perbedaan suhu (0C) antara bahan sampel dan bahan pembanding atau standar yang
panasnya stabil, dengan menggunakan laju pemanasan yang dikendalikan dari suhu kamar sampai
dengan 10000C. Bahan pembanding (standar) yang digunakan kaolinit yang telah dipanaskan, (pada
suhu 10000C), Al2O3 yang telah dipanaskan, serta dapat juga digunakan α-Alumina. Untuk sampel

tanah terlebih dahulu digunakan H2O2 30% untuk menghilangkan bahan organik yang merekat pada
tanah. Perlakuan terhadap sampel tanah yaitu berupa: 1) penjenuhan HCl 5 N, 2) penjenuhan NaOH
5 N, 3) penjenuhan 0,1 N NaCl2, 4) penjenuhan CaCl2, serta penjenuhan AlCl3. Perlakuan tersebut
dapat mempengaruhi kurva yang dihasilkan oleh DTA, dimana kurva tersebut dapat menjadi penciri
dalam identifikasi mineral. Pemanasan harus terkendalikan dan seragam yaitu berkisar 0,10C hingga
10000C/menit (Goenadi dan Rajagukguk, 1992).
Identifikasi kuantitatif mineral dapat dilakukan dengan menggunakan kurva DTA sebagai
sidik jari dan membandingkannya atau mencocokkannya dengan kurva DTA dari mineral standar,

Universitas Sumatera Utara

atau dengan kurva dari mineral yang telah diketahui. Tiap mineral liat menampakkan ciri-ciri reaksi
termal yang spesifik. Kurva DTA kaolinit dicirikan puncak kurva endotermik kuat pada 450-6000C
dan boleh suatu kurva eksotermik kuat pada 900-10000C. Kurva Haloisit hampir sama dengan
kaolinit, tetapi sebagai tambahan terdapat puncak kurva endotermik pada temperatur tendah (1002000C) dengan intensitas sedang hingga kuat. Montmorillonit menampakkan suatu kurva DTA yang
dicirikan oleh suatu puncak endotermik antara 600-7000C, dan suatu cekungan kecil antara 8009000C yang diikuti oleh puncak kurva endotermik lemah antara 900-10000C. Gibsit dan geotit
biasanya dicirikan oleh suatu puncak kurva endotermik kuat hanya antara 2900C dan 3500C. Sering
kali geotit dan beberapa mineral besi mempunyai reaksi endotermik pada temperatur yang lebih
tinggi dari pada gibsit. Alofan menampakkan ciri-ciri DTA dengan puncak endotermik kuat pada
temperatur rendah (50-1500C) dan suatu puncak kurva eksotermik kuat pada 900-10000C. Reaksi

endotermal temperatur rendah dianggap diakibatkan oleh hilangnnya air yang terjerap, sedangkan
reaksi eksotermik utama disebabkan oleh pembentukan alumina γ (Tan, 1991).

Differential Thermal Analysis prinsip kerjanya berdasarkan kenyataan bahwa koordinasi
air hablur lempung dan air hidrasi ion dapat tukar merupakan suatu reaksi endotermik (menyerap
panas). Hal ini menyebabkan temperatur contoh lempung turun sampai dibawah atas temperatur
suatu bahan lembam kendali yang diperlakukan serupa, seperti alumunium kalsin. Bahan ini
mempunyai panas jenis dan konduktivitas panas setara lempung. Contoh lempung yang disidik
dan bahan lembam itu dipanasi bersamaan dengan takaran energi panas yang sama. Adanya
perbedaan panas antara lempung dan bahan lembam itu dicatat dan diplot melawan temperatur.
Ini akan menghasilkan kurva khas untuk setiap tipe lempung. Metode ini sangat teliti untuk
mengenali mineral sekunder (Poerwowidodo, 1991).
DTA mengukur perbedaan suhu yang timbul antara contoh tidak dikenal dab baku,
sebagai akibat pemanasan bersama pada pemanasan yang dikandalikan dari 0oC sampai 1000oC.
Bahan acuan baku disebut sebagai bahan standart adalah suatu bahan yang secara thermal berada

Universitas Sumatera Utara

pada kisaran suhu pemanasan yang digunakan. Sejumlah senyawa yang digunakan sebagai
contoh, misalnya AL2O4 dan kaolinit yang dipanaskan pada suhu 1000oC. Pemanasan harus

dikendalikan dengan laju yang serargam dan tetap selama berlangsungnya analisis. Laju
pemanasan dapat berkisar 0,1oC/menit yang berlangsung sampai 1000oC, selama proses
pemanasan contoh tanah tak dikenal mengalami reaksi thermal dan tranformasi. Jika suhu dari
bahan tak dikenal menjadi rendah dari bahan baku, bertanda negative dari suatu puncak
endotermik dihasilkan. Apabila suhu contoh tersebut menjadi lebih tinggi dari contoh baku
bertanda positif dari suatu enksotermik tersebut (Poerwowidodo, 1991).

Universitas Sumatera Utara