Humanitarian Intervention dan Responsibilty to Protect R2P
55 humanitarian intervention
ke dalam suatu negara dianggap perlu menilai kesiapan negara yang akan di intervensi, agar tidak menimbulkan masalah baru setelah
intervensi dilakukan Dr.Ganewati 2011. Menurut Robertson 2002, h.429, konsep awal humanitarian intervention
sudah diperkenalkan pada 1625, yaitu pada masa Grotious dalam De Jure Belli ac Paris atau Just War yang melegalkan hak untuk melakukan intervensi untuk
mencegah perlakuan yang kejam dari negara terhadap warga negaranya. Pada 1904 Presiden Amerika Serikat Theodore Roosevelt mengeluarkan pernyataan yang sama
dengan Grotius yaitu bahwa intervensi terhadap negara berdaulat bertujuan untuk menghentikan kekejaman dan penindasan dari para penguasa atau pemilik kekuatan.
Namun, pernyataan Grotious dan Roosevelt ini masih dikategorikan sebagai bagian dari konsep intervensi yang kemudian menjadi dasar bagi konsep humanitarian
intervention .
Konsep humanitarian intervention dianggap sebagai new interventionism dalam hubungan internasional terutama sejak paska Perang Dingin. Notoprayitno
2002, h.50 mengutip Penelope C. Simons mengatakan bahwa perdebatan mengenai konsep humanitarian intervention sebagai new interventionism terdapat dalam
beberapa teori dalam hubungan internasional. Misalnya, menurut teori realis negara dianggap sebagai satu-satunya lingkungan yang bermoral yang bertujuan untuk
mendapatkan keamanan demi kepentingan bangsa saja. Sedangkan intervensi kemanusiaan humanitarian intervention dianggap kurang penting bagi
keseimbangan kekuatan negara dan dianggap melanggar aturan internasional. Sementara itu, kaum liberalis atau pluralis memandang masyarakat internasional
56 sebagai masyarakat yang berdaulat dan memiliki kesatuan yang independen dan
menerima keberadaan moral secara universal dan intervensi kemanusiaan merupakan kewajiban moral dari anggota masyarakat. Perbedaan cara pandang mengenai
humanitarian intervention dalam hubungan internasional ini turut mempengaruhi
keabsahan dari konsep humanitarian intervention itu sendiri. Beberapa negara berkembang Dunia Ketiga, misalnya, menganggap humanitarian intervention
mengaburkan arti penting kedaulatan dan yuridiksi wilayah serta menolak pendapat negara-negara Barat yang menekankan pentingnya hak individu melalui doktrin hak
asasi manusia Report of The International Commission on Intervention and State Sovereignty
2001, h.1-7. Perbedaan pendapat antara negara berkembang dan negara-negara Barat ini
mulai menemui persamaan setelah Perang Dingin dengan munculnya konsep interdependensi. Konsep interdependensi menjelaskan bahwa setiap negara memiliki
ketergantungan dengan negara lain terutama negara-negara berkembang karena masih membutuhkan negara maju seperti negara Barat untuk membantu kepentingan
nasionalnya. Kenyataan yang terjadi paska Perang Dingin ini yang membuat humanitarian intervention
menjadi pilihan politik dan moral untuk menjaga perdamaian dan stabilitas internasional Simons dalam Notopratiyno 2002, h.50-51.
Namun, aturan mengenai humanitarian intervention dalam kerangka aturan internasional seperti piagam PBB belum menemukan kejelasan karena antara satu
aturan dan aturan lain mengenai sahnya humanitarian intervention saling bertentangan seperti yang dijelaskan sebagai berikut:
57 Dalam piagam PBB dikutip dari United Nations Information Centres pasal 2 ayat
4 dijelaskan tentang prinsip non intervention: ‘All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity
or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purposes of the UN’
. Artinya seluruh anggota dalam hubungan internasional, menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap
integritas wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara lain atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan PBB. Pasal 2 ayat 4 ini diperkuat
oleh pasal 2 ayat 7 Piagam PBB : Nothing contained in the present Charter shall authorized the United Nations to intervene in matters which are essentially within the
domestic jurisdiction of any states or shall require the Member to submit such matters to settlement under the present Charter: nut this principle shall not prejudice
the application of enforcement measures under Chapter VII’
. Artinya tidak ada satu ketentuan pun dalam Piagam ini yang memberikan kuasa kepada PBB untuk
mencampuri urusan-urusan yang pada hakekatnya termasuk urusan dalam negeri suatu negara atau mewajibkan anggota-anggotanya untuk menyelesaikan urusan-
urusan demikian menurut ketentuan-ketentuan Piagam ini; akan tetapi prinsip ini tidak mengurangi ketentuan mengenai penggunaan tindakan-tindakan pemaksaan
seperti tercantum dalam Bab VII.
Namun, aturan yang tercantum dalam Pasal 2 ayat 4 dan 7 ini bertentangan dengan beberapa pasal dan artikel yang juga tercantum dalam Piagam PBB seperti
dalam Artikel 55. Tujuan dari Artikel 55 adalah menciptakan kondisi yang stabil dan kesejahteraan yang diperlukan dalam hubungan antar negara bangsa yang damai dan
bersahabat berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri. Tujuan Artikel 55 ini semakin menegaskan pernyataan pada Pasal 1
ayat 3 piagam PBB yang menyebutkan ‘mengadakan kerjasama internasional guna memecahkan persoalan-persoalan internasional dibidang ekonomi, sosial,
kebudayaan atau yang bersifat kemanusiaan, demikian pula dalam usaha-usaha memajukan dan mendorong penghormatan terhadap HAM dan kebebasan dasar bagi
semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, dan agama’. Selanjutnya dalam artikel 56 dinyatakan ‘..semua anggota PBB berjanji untuk bertindak sendiri dan
bersama-sama dalam rangka mencapai tujuan yang disebutkan dalam artikel 55’.
58 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasal 2 menjadi tidak mutlak jika
bersinggungan dengan artikel-artikel tersebut. Pertentangan aturan dalam Piagam PBB mempengaruhi keputusan yang akan
diambil oleh PBB khususnya Dewan Keamanan sebagai badan yang terkait dengan masalah intervensi. Secara eksplisit, pertentangan antara Pasal 2 ayat 4 dan 7
dengan artikel 55 Piagam PBB dikutip dari United Nations Information Centres hanya terletak pada masalah tindakan mencampuri urusan dalam negeri yang berarti
melewati batas wilayah yurisdiksi negara yang berdaulat. Sebenarnya, pertentangan ini tidak menjadi suatu permasalahan jika lebih mencermati pasal-pasal dan artikel
Piagam PBB tersebut. Dalam Pasal 2 ayat 4 dan 7 terutama bagian terakhir kalimat dapat digarisbawahi yaitu tampak bahwa PBB khususnya Dewan Keamanan
PBB berpotensi memiliki hak melakukan intervensi dalam situasi tertentu di suatu negara sesuai prinsip dan tujuan PBB serta sesuai Bab VII pasal 41 dan 42 Piagam
PBB dikutip dari United Nations Information Centres tentang enforcement paksaan yang berisi sebagai berikut :
Pasal 41 : Dewan Keamanan dapat memutuskan tindakan-tindakan apa diluar penggunaan kekuatan senjata harus dilaksanakan agar keputusan-
keputusannya dapat dijalankan, dan dapat meminta kepada anggota-anggota PBB untuk melaksanakan tindakan-tindakan itu. Termasuk tindakan-tindakan
itu ialah pemutusan seluruhnya atau sebagian hubungan-hubungan ekonomi termasuk hubungan kereta api, laut, udara, pos, telegrap, radia dan alat
komunikasi lainnya, serta pemutusan hubungan diplomatik. Pasal 42 : Apabila Dewan Keamanan menganggap bahwa tindakan-tindakan
yang ditentukan dalam pasal 41 tidak mencukupi atau telah terbukti tidak mencukupi, maka Dewan dapat mengambil tindakan dengan mempergunakan
angkatan udara, laut atau darat yang mungkin diperlukan untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional. Dalam tindakan
itu termasuk pula demonstrasi-demonstrasi, blokade, dan tindakan-tindakan lain dengan mempergunakan angkatan udara, laut dan darat dari anggota-
59 anggota PBB Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah
Internasional.
Tindakan intervensi juga dapat dilakukan dalam rangka artikel 51 self defence dan artikel 55 Piagam PBB dengan mengesampingkan pasal 2 ayat 4 dan 7. Justifikasi
mengenai intervensi ini juga berlaku dalam humanitarian intervention. Terlepas dari masih adanya pertentangan tentang sah atau tidaknya
humanitarian intervention , ada beberapa kondisi yang menuntut diberlakukannya
humanitarian intervention seperti yang diajukan Duke 1994, h.44 yaitu, :
a. Terdapat bukti adanya tindak kejahatan berat terhadap hak asasi manusia
b. Kejahatan meluas dan merupakan penyebaran ancaman bagi hak hidup
manusia lain c.
Saat semua tindakan penyelesaian yang termasuk kategori intervensi telah digunakan dan tidak membuahkan hasil
d. Penggunaan kekuatan harus proporsional dan tidak memperburuk keadaan
e. Dilaksanakan dalam waktu yang sesingkat mungkin
f. Dilaksanakan oleh kelompok negara, untuk menghilangkan kecurigaan
bahwa intervensi kemanusiaan ini ditujukan bagi kepentingan nasional negara tertentu
g. Harus berdasarkan prosedur yang tercantum dalam bab VII Piagam PBB
h. Negara-negara yang terlibat harus bergerak dalam koordinasi yang erat
dengan PBB, dan menunjukkan kesiapan untuk mengembalikan masalah tersebut, jika mungkin kepada PBB
60 i.
Intervensi harus, jika memungkinkan, melibatkan persetujuan dari negara yang diintervensi.
Dengan melihat kondisi apa saja yang diperbolehkan untuk melakukan tindakan humanitarian intervention
seperti yang dikemukakan di atas, tampak bahwa umumnya berupa kondisi yang berhubungan dengan konflik bukan kondisi bencana
alam. Namun, untuk kasus Myanmar bantuan kemanusiaan yang diberikan PBB paska bencana Cyclone Nargis dapat dikategorikan sebagai intervensi kemanusiaan,
seperti yang dikutip oleh Rebbeca Barber 2009 dari World Summit Outcome resolution
The United Nations General Assembly yang menyatakan bahwa tidakan Junta Militer Myanmar menolak masuknya bantuan kemanusiaan termasuk ke dalam
satu dari empat kategori kejahatan yaitu genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity
yang memerlukan humanitarian intervention sebagai instrument penyelesaiannya. Hal ini misalnya, kerena menurut PBB pemerintah Junta
Militer Myanmar melakukan pelanggaran hak asasi manusia dengan tidak mengizinkan bantuan kemanusiaan dari luar Myanmar masuk ke dalam Myanmar di
saat warga Myanmar membutuhkan bantuan kemanusiaan dengan segera akibat bencana Cyclone Nargis Barber 2009, h.16-17. Catatan pelanggaran hak asasi
manusia yang dilakukan pemerintah Junta Militer terhadap warga sipil di Myanmar tidak hanya terjadi ketika bencana Cyclone Nargis menyerang Myanmar, melainkan
sudah menjadi catatan sejarah buruk bagi negara Myanmar. Menurut Loza dalam artikel Model United Nations Far West 1995 Myanmar
merupakan negara pelanggar hak asasi manusia terberat terutama sejak masa pemerintahan Junta Militer dibawah SLORC yang dimulai pada 1988. Pelanggaran
61 hak asasi manusia tersebut antara lain berupa penggunaan kekerasan atau senjata dari
pemerintah Junta Militer terhadap rakyat sipil, penghilangan hak-hak dasar politik warga, serta secara terang-terangan memanipulasi konvensi atau perjanjian nasional.
Dalam laporan Amnesty International Oktober 1993 tercatat pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah Junta Militer Myanmar yaitu :
Political and other extra judicial killings, disappearances; Torture and other cruel punishment; Arbitrary arrest, detention, or exile; Denial of fair trials;
Arbitrary interference with privacy, family or home correspondence; No freedom of speech and press; No freedom of assembly or association; No
respect for political rights.
Pembunuhan tokoh politik, penghilangan; penyiksaan dan hukuman kejam bagi oposisi; penangkapan, penahanan dan
pengasingan; penolakan terhadap keputusan pengadilan yang adil; campur tangan dalam urusan pribadi, keluarga atau rumah tangga secara sewenang-
wenang; tidak ada kebebasan berbicara dan pers; tidak ada kebebasan berpolitik atau berasosiasi; tidak ada penghormatan terhadap hak politik
warga negaranya Terjemahan Penulis.
Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah Junta Militer Myanmar inilah yang juga menjadi alasan bagi PBB untuk dapat masuk atau
melakukan intervensi kemanusian ke Myanmar. PBB sejak 1990-an sudah mengeluarkan beberapa resolusi terkait pelanggaran hak asasi manusia oleh
pemerintah Junta Militer Myanmar. Seperti pada 1991, 1992, 1993 Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi sekaligus peringatan kepada Junta Militer untuk
menghentikan segala bentuk tindakan yang melanggar hak asasi manusia serta untuk segera membentuk sistem pemerintahan yang demokrasi. Pada 1993 PBB
mengeluarkan resolusi ARes48150 agar pemerintah Junta Militer melepaskan Aung San Suu Kyi dan tahanan politik lainnya yang ditahan Junta Militer setelah
pemilu tahun 1990 USDS, 1994, Burma Human Rights Practices. Namun resolusi-
62 resolusi yang dikeluarkan PBB ini tidak memberikan pengaruh bagi berkurangnya
pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, masuknya PBB ke Myanmar paska bencana Cyclone Nargis tahun 2008 bukan hanya semata-mata memberikan bantuan
kemanusiaan kepada korban bencana tapi juga membawa misi politik untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia lainnya serta melindungi warga
Myanmar dari kejahatan pelanggaran hak asasi manusia dan mendorong demokrasi di Myanmar.
Terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia serta keabsahan dari humanitarian intervention
PBB di tahun 2001, PBB mengeluarkan laporan yang diberi judul Responsibility to Protect R2P. Responsibility to Protect ini merupakan
respon PBB terkait dengan keabsahan dari konsep humanitarian intervention yang telah penulis jelaskan sebelumnya. Responsibility to Protect merupakan pendekatan
baru yang dimunculkan PBB untuk menjembatani konsep humanitarian intervention yang dianggap oleh beberapa teori dalam hubungan internasional bertentangan
dengan konsep kedaulatan negara serta non-intervention. Responsibility to Protect sendiri memiliki 2 prinsip dasar dikutip dari Report of The International Commission
on Intervention and State Sovereignty 2001 :
1. State sovereignty implies responsibility, and the primary responsibility for
the protection of its people lies with the state itself kedaulatan negara
merujuk pada tanggungjawab, dan tanggungjawab utama untuk melindungi rakyatnya ada ditangan negara itu sendiri
2. Where a population is suffering serious harm, as a result of internal war,
insurgency, repression or state failure, and the state in question is unwilling or unable to halt or avert it, the principle of non-intervention yields to the
international responsibility to protect ketika penduduk mengalami
penderitaan yang membahayakan, sebagai akibat dari perang, pemberontakan,
63 represi atau kegagalan negara, dan negara yang bersangkutan tidak mampu
untuk menghentikan atau mencegah hal buruk tersebut, maka prinsip non intervensi berubah menjadi tanggung jawab dunia internasional Terjemahan
Penulis.
Selain prinsip dasar Responsibility to Protect R2P terdapat tiga spesifikasi dari tanggung jawab PBB terhadap situasi yang disebutkan di atas dikutip dari
Report of The International Commission on Intervention and State Sovereignty ,
2001. Pertama, the responsibility to prevent yaitu untuk mengatasi kedua penyebab yaitu akar penyebab dan penyebab langsung dari suatu peristiwa yang
membahayakan keselamatan individu seperti konflik, pemberontakan atau bencana alam. Kedua, the responsibility to react yaitu merespon situasi yang membahayakan
manusia dengan langkah tepat seperti memberi sanksi, penuntutan internasional atau tindakan yang lebih ekstrim adalah dunia internasional melakukan intervensi militer
ke negara yang tidak mampu bertanggung jawab terhadap rakyatnya sendiri. Ketiga, the responsibility to rebuild
yaitu menyediakan bantuan penuh terutama setelah terjadi intervensi militer mulai dari pemulihan, rekonstruksi dan rekonsiliasi.
Menurut Evans 2006, h. 5 yang mengutip pernyataan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan bahwa pada dasarnya Responsibility to Protect dibuat untuk
menjembatani dan menjadi solusi dari pertentangan antara konsep humanitarian intervention dengan konsep kedaulatan dan non intervention. Dalam Responsibility
to Protect sendiri dilegalkan adanya intervensi militer yang di dalam konsep
kedaulatan negara dan non-intervention tidak berlaku. Meski demikian berlakunya intervensi militer dalam Responsibility to Protect hanya berlaku pada kasus tertentu
64 dan hanya berlaku dalam keadaan yang genting saja. Inti dari Responsibility to
Protect adalah tanggung jawab dunia internasional terhadap nasib individu dalam
suatu negara yang mana negaranya tidak mampu memberi perlindungan terhadap rakyatnya.
Responsibility to Protect sendiri dicetuskan pada tahun 2000 oleh Sekretaris
Jenderal PBB ketika itu, Koffi Anan untuk merespon situasi konflik dan kegagalan negara-negara dunia ketiga seperti kasus Rwanda 1994, Bosnia 1995 serta Kosovo
1999, sama seperti perkembangan humanitarian intervention yang diikuti oleh terjadinya beragam konflik di dunia dikutip dari Report of The International
Commission on Intervention and State Sovereignty, 2001. Meskipun kemunculan
dan perkembangan konsep humanitarian intervention dan Responsibility to Protect selalu berkaitan dengan konflik bukan berarti tidak dapat diterapkan pada kasus
bencana Cyclone Nargis di Myanmar. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Menteri Luar Negeri Inggris tahun 2008 yaitu David Miliband Barber 2009, h. 33 ‘that the
responsibility to protect could be applied to situations of natural disaster, and went on to say that ‘… though, is that is a legal requirement, the responsibility to protect’
yang artinya bahwa Responsibility to Protect dapat diterapkan dalam situasi bencana alam, “… meskipun, terdapat persyaratan hukum, dalam melakukan the responsibility
to protect” Terjemahan Penulis. Humanitarian intervention dan Responsibility to
Protect yang diterapkan dalam kasus Cyclone Nargis Myanmar tidak menggunakan
langkah yang bersifat militer, karena tindakan menggunakan militer masih dipertanyakan keabsahannya dan masih menjadi perdebatan Barber 2009, h. 31-32.
65 Meski ada yang menyatakan bahwa Responsibility to Protect ini dapat
diterapkan dalam kasus bencana Cyclone Nargis, namun menurut Asia-Pasific Centre for the Responsibility to Protect
2008, h.9 dalam sidang yang diadakan DK PBB tentang penerapan Responsibility to Protect dalam kasus Cyclone Nargis, Cina,
Indonesia dan Vietnam menganggap bahwa Responsibility to Protect bukan tindakan yang tepat. Alasannya adalah dengan memasukkan bencana ke dalam kategori hal
yang memerlukan tindakan Responsibility to Protect hanya akan membuat semakin kaburnya prinsip dasar dari Responsibility to Protect itu sendiri yang malah akan
menimbulkan kegagalan dalam memberikan perlindungan dan pencegahan terhadap hal yang menjadi fokus dari Responsibility to Protect yaitu genocide, kejahatan
perang, serta kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh karena perbedaan inilah maka sangat sedikit yang menyebut tindakan yang dilakukan PBB dalam bencana Cyclone
Nargis di Myanmar sebagai Responsibility to Protect.
Namun menurut penulis, bencana Cyclone Nargis merupakan momentum bagi masuknya pengaruh asing ke Myanmar yaitu dengan diizinkannya PBB masuk ke
Myanmar. Prinsip politik luar negeri Myanmar yang bersifat isolasionisme, pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi di Myanmar serta ketidakmampuan
pemerintah mengatasi bencana Cyclone Nargis semakin memperburuk keadaan Myanmar. Kesemua hal ini yang mendorong dunia internasional untuk mengambil
sikap dengan mengirim bantuan melalui PBB. Bantuan yang dikirim melalui PBB tidak hanya bantuan kemanusiaan bagi korban bencana, proses masuknya bantuan
66 kemanusiaan tersebut merupakan wujud dari penerapan humanitarian intervention
dan wujud nyata dari Responsibility to Protect.