Humanitarian Intervention dan Responsibilty to Protect R2P

55 humanitarian intervention ke dalam suatu negara dianggap perlu menilai kesiapan negara yang akan di intervensi, agar tidak menimbulkan masalah baru setelah intervensi dilakukan Dr.Ganewati 2011. Menurut Robertson 2002, h.429, konsep awal humanitarian intervention sudah diperkenalkan pada 1625, yaitu pada masa Grotious dalam De Jure Belli ac Paris atau Just War yang melegalkan hak untuk melakukan intervensi untuk mencegah perlakuan yang kejam dari negara terhadap warga negaranya. Pada 1904 Presiden Amerika Serikat Theodore Roosevelt mengeluarkan pernyataan yang sama dengan Grotius yaitu bahwa intervensi terhadap negara berdaulat bertujuan untuk menghentikan kekejaman dan penindasan dari para penguasa atau pemilik kekuatan. Namun, pernyataan Grotious dan Roosevelt ini masih dikategorikan sebagai bagian dari konsep intervensi yang kemudian menjadi dasar bagi konsep humanitarian intervention . Konsep humanitarian intervention dianggap sebagai new interventionism dalam hubungan internasional terutama sejak paska Perang Dingin. Notoprayitno 2002, h.50 mengutip Penelope C. Simons mengatakan bahwa perdebatan mengenai konsep humanitarian intervention sebagai new interventionism terdapat dalam beberapa teori dalam hubungan internasional. Misalnya, menurut teori realis negara dianggap sebagai satu-satunya lingkungan yang bermoral yang bertujuan untuk mendapatkan keamanan demi kepentingan bangsa saja. Sedangkan intervensi kemanusiaan humanitarian intervention dianggap kurang penting bagi keseimbangan kekuatan negara dan dianggap melanggar aturan internasional. Sementara itu, kaum liberalis atau pluralis memandang masyarakat internasional 56 sebagai masyarakat yang berdaulat dan memiliki kesatuan yang independen dan menerima keberadaan moral secara universal dan intervensi kemanusiaan merupakan kewajiban moral dari anggota masyarakat. Perbedaan cara pandang mengenai humanitarian intervention dalam hubungan internasional ini turut mempengaruhi keabsahan dari konsep humanitarian intervention itu sendiri. Beberapa negara berkembang Dunia Ketiga, misalnya, menganggap humanitarian intervention mengaburkan arti penting kedaulatan dan yuridiksi wilayah serta menolak pendapat negara-negara Barat yang menekankan pentingnya hak individu melalui doktrin hak asasi manusia Report of The International Commission on Intervention and State Sovereignty 2001, h.1-7. Perbedaan pendapat antara negara berkembang dan negara-negara Barat ini mulai menemui persamaan setelah Perang Dingin dengan munculnya konsep interdependensi. Konsep interdependensi menjelaskan bahwa setiap negara memiliki ketergantungan dengan negara lain terutama negara-negara berkembang karena masih membutuhkan negara maju seperti negara Barat untuk membantu kepentingan nasionalnya. Kenyataan yang terjadi paska Perang Dingin ini yang membuat humanitarian intervention menjadi pilihan politik dan moral untuk menjaga perdamaian dan stabilitas internasional Simons dalam Notopratiyno 2002, h.50-51. Namun, aturan mengenai humanitarian intervention dalam kerangka aturan internasional seperti piagam PBB belum menemukan kejelasan karena antara satu aturan dan aturan lain mengenai sahnya humanitarian intervention saling bertentangan seperti yang dijelaskan sebagai berikut: 57 Dalam piagam PBB dikutip dari United Nations Information Centres pasal 2 ayat 4 dijelaskan tentang prinsip non intervention: ‘All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purposes of the UN’ . Artinya seluruh anggota dalam hubungan internasional, menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara lain atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan PBB. Pasal 2 ayat 4 ini diperkuat oleh pasal 2 ayat 7 Piagam PBB : Nothing contained in the present Charter shall authorized the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any states or shall require the Member to submit such matters to settlement under the present Charter: nut this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter VII’ . Artinya tidak ada satu ketentuan pun dalam Piagam ini yang memberikan kuasa kepada PBB untuk mencampuri urusan-urusan yang pada hakekatnya termasuk urusan dalam negeri suatu negara atau mewajibkan anggota-anggotanya untuk menyelesaikan urusan- urusan demikian menurut ketentuan-ketentuan Piagam ini; akan tetapi prinsip ini tidak mengurangi ketentuan mengenai penggunaan tindakan-tindakan pemaksaan seperti tercantum dalam Bab VII. Namun, aturan yang tercantum dalam Pasal 2 ayat 4 dan 7 ini bertentangan dengan beberapa pasal dan artikel yang juga tercantum dalam Piagam PBB seperti dalam Artikel 55. Tujuan dari Artikel 55 adalah menciptakan kondisi yang stabil dan kesejahteraan yang diperlukan dalam hubungan antar negara bangsa yang damai dan bersahabat berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri. Tujuan Artikel 55 ini semakin menegaskan pernyataan pada Pasal 1 ayat 3 piagam PBB yang menyebutkan ‘mengadakan kerjasama internasional guna memecahkan persoalan-persoalan internasional dibidang ekonomi, sosial, kebudayaan atau yang bersifat kemanusiaan, demikian pula dalam usaha-usaha memajukan dan mendorong penghormatan terhadap HAM dan kebebasan dasar bagi semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, dan agama’. Selanjutnya dalam artikel 56 dinyatakan ‘..semua anggota PBB berjanji untuk bertindak sendiri dan bersama-sama dalam rangka mencapai tujuan yang disebutkan dalam artikel 55’. 58 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasal 2 menjadi tidak mutlak jika bersinggungan dengan artikel-artikel tersebut. Pertentangan aturan dalam Piagam PBB mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh PBB khususnya Dewan Keamanan sebagai badan yang terkait dengan masalah intervensi. Secara eksplisit, pertentangan antara Pasal 2 ayat 4 dan 7 dengan artikel 55 Piagam PBB dikutip dari United Nations Information Centres hanya terletak pada masalah tindakan mencampuri urusan dalam negeri yang berarti melewati batas wilayah yurisdiksi negara yang berdaulat. Sebenarnya, pertentangan ini tidak menjadi suatu permasalahan jika lebih mencermati pasal-pasal dan artikel Piagam PBB tersebut. Dalam Pasal 2 ayat 4 dan 7 terutama bagian terakhir kalimat dapat digarisbawahi yaitu tampak bahwa PBB khususnya Dewan Keamanan PBB berpotensi memiliki hak melakukan intervensi dalam situasi tertentu di suatu negara sesuai prinsip dan tujuan PBB serta sesuai Bab VII pasal 41 dan 42 Piagam PBB dikutip dari United Nations Information Centres tentang enforcement paksaan yang berisi sebagai berikut : Pasal 41 : Dewan Keamanan dapat memutuskan tindakan-tindakan apa diluar penggunaan kekuatan senjata harus dilaksanakan agar keputusan- keputusannya dapat dijalankan, dan dapat meminta kepada anggota-anggota PBB untuk melaksanakan tindakan-tindakan itu. Termasuk tindakan-tindakan itu ialah pemutusan seluruhnya atau sebagian hubungan-hubungan ekonomi termasuk hubungan kereta api, laut, udara, pos, telegrap, radia dan alat komunikasi lainnya, serta pemutusan hubungan diplomatik. Pasal 42 : Apabila Dewan Keamanan menganggap bahwa tindakan-tindakan yang ditentukan dalam pasal 41 tidak mencukupi atau telah terbukti tidak mencukupi, maka Dewan dapat mengambil tindakan dengan mempergunakan angkatan udara, laut atau darat yang mungkin diperlukan untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional. Dalam tindakan itu termasuk pula demonstrasi-demonstrasi, blokade, dan tindakan-tindakan lain dengan mempergunakan angkatan udara, laut dan darat dari anggota- 59 anggota PBB Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional. Tindakan intervensi juga dapat dilakukan dalam rangka artikel 51 self defence dan artikel 55 Piagam PBB dengan mengesampingkan pasal 2 ayat 4 dan 7. Justifikasi mengenai intervensi ini juga berlaku dalam humanitarian intervention. Terlepas dari masih adanya pertentangan tentang sah atau tidaknya humanitarian intervention , ada beberapa kondisi yang menuntut diberlakukannya humanitarian intervention seperti yang diajukan Duke 1994, h.44 yaitu, : a. Terdapat bukti adanya tindak kejahatan berat terhadap hak asasi manusia b. Kejahatan meluas dan merupakan penyebaran ancaman bagi hak hidup manusia lain c. Saat semua tindakan penyelesaian yang termasuk kategori intervensi telah digunakan dan tidak membuahkan hasil d. Penggunaan kekuatan harus proporsional dan tidak memperburuk keadaan e. Dilaksanakan dalam waktu yang sesingkat mungkin f. Dilaksanakan oleh kelompok negara, untuk menghilangkan kecurigaan bahwa intervensi kemanusiaan ini ditujukan bagi kepentingan nasional negara tertentu g. Harus berdasarkan prosedur yang tercantum dalam bab VII Piagam PBB h. Negara-negara yang terlibat harus bergerak dalam koordinasi yang erat dengan PBB, dan menunjukkan kesiapan untuk mengembalikan masalah tersebut, jika mungkin kepada PBB 60 i. Intervensi harus, jika memungkinkan, melibatkan persetujuan dari negara yang diintervensi. Dengan melihat kondisi apa saja yang diperbolehkan untuk melakukan tindakan humanitarian intervention seperti yang dikemukakan di atas, tampak bahwa umumnya berupa kondisi yang berhubungan dengan konflik bukan kondisi bencana alam. Namun, untuk kasus Myanmar bantuan kemanusiaan yang diberikan PBB paska bencana Cyclone Nargis dapat dikategorikan sebagai intervensi kemanusiaan, seperti yang dikutip oleh Rebbeca Barber 2009 dari World Summit Outcome resolution The United Nations General Assembly yang menyatakan bahwa tidakan Junta Militer Myanmar menolak masuknya bantuan kemanusiaan termasuk ke dalam satu dari empat kategori kejahatan yaitu genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity yang memerlukan humanitarian intervention sebagai instrument penyelesaiannya. Hal ini misalnya, kerena menurut PBB pemerintah Junta Militer Myanmar melakukan pelanggaran hak asasi manusia dengan tidak mengizinkan bantuan kemanusiaan dari luar Myanmar masuk ke dalam Myanmar di saat warga Myanmar membutuhkan bantuan kemanusiaan dengan segera akibat bencana Cyclone Nargis Barber 2009, h.16-17. Catatan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah Junta Militer terhadap warga sipil di Myanmar tidak hanya terjadi ketika bencana Cyclone Nargis menyerang Myanmar, melainkan sudah menjadi catatan sejarah buruk bagi negara Myanmar. Menurut Loza dalam artikel Model United Nations Far West 1995 Myanmar merupakan negara pelanggar hak asasi manusia terberat terutama sejak masa pemerintahan Junta Militer dibawah SLORC yang dimulai pada 1988. Pelanggaran 61 hak asasi manusia tersebut antara lain berupa penggunaan kekerasan atau senjata dari pemerintah Junta Militer terhadap rakyat sipil, penghilangan hak-hak dasar politik warga, serta secara terang-terangan memanipulasi konvensi atau perjanjian nasional. Dalam laporan Amnesty International Oktober 1993 tercatat pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah Junta Militer Myanmar yaitu : Political and other extra judicial killings, disappearances; Torture and other cruel punishment; Arbitrary arrest, detention, or exile; Denial of fair trials; Arbitrary interference with privacy, family or home correspondence; No freedom of speech and press; No freedom of assembly or association; No respect for political rights. Pembunuhan tokoh politik, penghilangan; penyiksaan dan hukuman kejam bagi oposisi; penangkapan, penahanan dan pengasingan; penolakan terhadap keputusan pengadilan yang adil; campur tangan dalam urusan pribadi, keluarga atau rumah tangga secara sewenang- wenang; tidak ada kebebasan berbicara dan pers; tidak ada kebebasan berpolitik atau berasosiasi; tidak ada penghormatan terhadap hak politik warga negaranya Terjemahan Penulis. Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah Junta Militer Myanmar inilah yang juga menjadi alasan bagi PBB untuk dapat masuk atau melakukan intervensi kemanusian ke Myanmar. PBB sejak 1990-an sudah mengeluarkan beberapa resolusi terkait pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah Junta Militer Myanmar. Seperti pada 1991, 1992, 1993 Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi sekaligus peringatan kepada Junta Militer untuk menghentikan segala bentuk tindakan yang melanggar hak asasi manusia serta untuk segera membentuk sistem pemerintahan yang demokrasi. Pada 1993 PBB mengeluarkan resolusi ARes48150 agar pemerintah Junta Militer melepaskan Aung San Suu Kyi dan tahanan politik lainnya yang ditahan Junta Militer setelah pemilu tahun 1990 USDS, 1994, Burma Human Rights Practices. Namun resolusi- 62 resolusi yang dikeluarkan PBB ini tidak memberikan pengaruh bagi berkurangnya pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, masuknya PBB ke Myanmar paska bencana Cyclone Nargis tahun 2008 bukan hanya semata-mata memberikan bantuan kemanusiaan kepada korban bencana tapi juga membawa misi politik untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia lainnya serta melindungi warga Myanmar dari kejahatan pelanggaran hak asasi manusia dan mendorong demokrasi di Myanmar. Terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia serta keabsahan dari humanitarian intervention PBB di tahun 2001, PBB mengeluarkan laporan yang diberi judul Responsibility to Protect R2P. Responsibility to Protect ini merupakan respon PBB terkait dengan keabsahan dari konsep humanitarian intervention yang telah penulis jelaskan sebelumnya. Responsibility to Protect merupakan pendekatan baru yang dimunculkan PBB untuk menjembatani konsep humanitarian intervention yang dianggap oleh beberapa teori dalam hubungan internasional bertentangan dengan konsep kedaulatan negara serta non-intervention. Responsibility to Protect sendiri memiliki 2 prinsip dasar dikutip dari Report of The International Commission on Intervention and State Sovereignty 2001 : 1. State sovereignty implies responsibility, and the primary responsibility for the protection of its people lies with the state itself kedaulatan negara merujuk pada tanggungjawab, dan tanggungjawab utama untuk melindungi rakyatnya ada ditangan negara itu sendiri 2. Where a population is suffering serious harm, as a result of internal war, insurgency, repression or state failure, and the state in question is unwilling or unable to halt or avert it, the principle of non-intervention yields to the international responsibility to protect ketika penduduk mengalami penderitaan yang membahayakan, sebagai akibat dari perang, pemberontakan, 63 represi atau kegagalan negara, dan negara yang bersangkutan tidak mampu untuk menghentikan atau mencegah hal buruk tersebut, maka prinsip non intervensi berubah menjadi tanggung jawab dunia internasional Terjemahan Penulis. Selain prinsip dasar Responsibility to Protect R2P terdapat tiga spesifikasi dari tanggung jawab PBB terhadap situasi yang disebutkan di atas dikutip dari Report of The International Commission on Intervention and State Sovereignty , 2001. Pertama, the responsibility to prevent yaitu untuk mengatasi kedua penyebab yaitu akar penyebab dan penyebab langsung dari suatu peristiwa yang membahayakan keselamatan individu seperti konflik, pemberontakan atau bencana alam. Kedua, the responsibility to react yaitu merespon situasi yang membahayakan manusia dengan langkah tepat seperti memberi sanksi, penuntutan internasional atau tindakan yang lebih ekstrim adalah dunia internasional melakukan intervensi militer ke negara yang tidak mampu bertanggung jawab terhadap rakyatnya sendiri. Ketiga, the responsibility to rebuild yaitu menyediakan bantuan penuh terutama setelah terjadi intervensi militer mulai dari pemulihan, rekonstruksi dan rekonsiliasi. Menurut Evans 2006, h. 5 yang mengutip pernyataan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan bahwa pada dasarnya Responsibility to Protect dibuat untuk menjembatani dan menjadi solusi dari pertentangan antara konsep humanitarian intervention dengan konsep kedaulatan dan non intervention. Dalam Responsibility to Protect sendiri dilegalkan adanya intervensi militer yang di dalam konsep kedaulatan negara dan non-intervention tidak berlaku. Meski demikian berlakunya intervensi militer dalam Responsibility to Protect hanya berlaku pada kasus tertentu 64 dan hanya berlaku dalam keadaan yang genting saja. Inti dari Responsibility to Protect adalah tanggung jawab dunia internasional terhadap nasib individu dalam suatu negara yang mana negaranya tidak mampu memberi perlindungan terhadap rakyatnya. Responsibility to Protect sendiri dicetuskan pada tahun 2000 oleh Sekretaris Jenderal PBB ketika itu, Koffi Anan untuk merespon situasi konflik dan kegagalan negara-negara dunia ketiga seperti kasus Rwanda 1994, Bosnia 1995 serta Kosovo 1999, sama seperti perkembangan humanitarian intervention yang diikuti oleh terjadinya beragam konflik di dunia dikutip dari Report of The International Commission on Intervention and State Sovereignty, 2001. Meskipun kemunculan dan perkembangan konsep humanitarian intervention dan Responsibility to Protect selalu berkaitan dengan konflik bukan berarti tidak dapat diterapkan pada kasus bencana Cyclone Nargis di Myanmar. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Menteri Luar Negeri Inggris tahun 2008 yaitu David Miliband Barber 2009, h. 33 ‘that the responsibility to protect could be applied to situations of natural disaster, and went on to say that ‘… though, is that is a legal requirement, the responsibility to protect’ yang artinya bahwa Responsibility to Protect dapat diterapkan dalam situasi bencana alam, “… meskipun, terdapat persyaratan hukum, dalam melakukan the responsibility to protect” Terjemahan Penulis. Humanitarian intervention dan Responsibility to Protect yang diterapkan dalam kasus Cyclone Nargis Myanmar tidak menggunakan langkah yang bersifat militer, karena tindakan menggunakan militer masih dipertanyakan keabsahannya dan masih menjadi perdebatan Barber 2009, h. 31-32. 65 Meski ada yang menyatakan bahwa Responsibility to Protect ini dapat diterapkan dalam kasus bencana Cyclone Nargis, namun menurut Asia-Pasific Centre for the Responsibility to Protect 2008, h.9 dalam sidang yang diadakan DK PBB tentang penerapan Responsibility to Protect dalam kasus Cyclone Nargis, Cina, Indonesia dan Vietnam menganggap bahwa Responsibility to Protect bukan tindakan yang tepat. Alasannya adalah dengan memasukkan bencana ke dalam kategori hal yang memerlukan tindakan Responsibility to Protect hanya akan membuat semakin kaburnya prinsip dasar dari Responsibility to Protect itu sendiri yang malah akan menimbulkan kegagalan dalam memberikan perlindungan dan pencegahan terhadap hal yang menjadi fokus dari Responsibility to Protect yaitu genocide, kejahatan perang, serta kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh karena perbedaan inilah maka sangat sedikit yang menyebut tindakan yang dilakukan PBB dalam bencana Cyclone Nargis di Myanmar sebagai Responsibility to Protect. Namun menurut penulis, bencana Cyclone Nargis merupakan momentum bagi masuknya pengaruh asing ke Myanmar yaitu dengan diizinkannya PBB masuk ke Myanmar. Prinsip politik luar negeri Myanmar yang bersifat isolasionisme, pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi di Myanmar serta ketidakmampuan pemerintah mengatasi bencana Cyclone Nargis semakin memperburuk keadaan Myanmar. Kesemua hal ini yang mendorong dunia internasional untuk mengambil sikap dengan mengirim bantuan melalui PBB. Bantuan yang dikirim melalui PBB tidak hanya bantuan kemanusiaan bagi korban bencana, proses masuknya bantuan 66 kemanusiaan tersebut merupakan wujud dari penerapan humanitarian intervention dan wujud nyata dari Responsibility to Protect.

B. Humanitarian Intervention dan Responsibilty to Protect R2P PBB

di Myanmar dalam Penanggulangan Bencana Cyclone Nargis Setelah membahas konsep humanitarian intervention dan Responsibility to Protect R2P secara umum, penulis akan memaparkan penerapan humanitarian intervention dan Responsibility to Protect yang dilakukan PBB terhadap Myanmar dalam menanggulangi bencana Cyclone Nargis. Seperti yang telah disebutkan pada bab di atas, setelah bencana Cyclone Nargis menyerang Myanmar dengan segera pemerintah Junta Militer Myanmar menyatakan bahwa pemerintah mampu menanggulangi bencana Cyclone Nargis tersebut dan menolak bantuan asing yang berusaha masuk ke Myanmar, karena pemerintah akan memberikan US 5 juta untuk bantuan bagi korban bencana Humanitarian Appeal, 9 Mei 2008. Namun, kenyataan yang terjadi tidak sesuai. Pemerintah tidak memberikan dana bantuan yang dijanjikan, distribusi bantuan tidak merata dan bantuan asing dibiarkan membusuk . Dunia internasional melakukan respon langsung terhadap bencana Cyclone Nargis ini dengan mengirim bantuan, seperti yang dilakukan PBB dan beberapa negara lain yaitu Amerika Serikat, India, Cina, Rusia, Thailand, dan lainnya. PBB melalui perwakilan United Nations Information Centre UNIC yaitu Aye Win di Rangoon Yangoon Myanmar pada 6 Mei 2008, empat hari setelah Cyclone Nargis menyerang mengatakan We are facing enormous difficulties right now in getting out there and unless there is an assessment ... the first thing you need is an assessment and then you can gauge your response on that yang artinya kita 67 dunia internasional menghadapi situasi sulit untuk keluar dan melakukan penilaian … hal pertama yang dibutuhkan adalah penilaian dan kita dapat memberikan respon terhadap penilaian itu relief web, 6 Mei 2008. Pernyataan ini dikeluarkan oleh UNIC setelah PBB dan beberapa negara di dunia mengirim bantuan kemanusiaan berupa makanan, obat-obatan, air bersih dan sebagainya namun ditolak pemerintah Junta Militer. Paska penolakan bantuan dan korban akibat bencana bertambah dari total korban pada 7 Mei sekitar 62.000 orang korban meninggal dan hilang menjadi total 150.000 orang South 2008, h. 224 membuat PBB kemudian melakukan tindakan dengan mengumpulkan bantuan kemanusiaan baik dari PBB maupun negara-negara lain di Bangkok, Thailand. Pengumpulan bantuan ini dikirimkan ke Myanmar melalui perwakilan badan-badan PBB yang memang telah ada di Myanmar sejak lama yaitu sejak tahun 1950an Saing 1990, h. 248 seperti United Nations Childern’s Fund UNICEF, the World Health Organization WHO, United Nations Development Programme UNDP. PBB bisa masuk ke Myanmar hanya melalui perwakilan yang telah ada namun dengan akses yang sangat terbatas dan sebelumnya harus mendapatkan visa atau izin resmi dari pemerintah Junta Militer. Padahal pemerintah junta tidak mengeluarkan visa bagi para penolong tersebut. Hal ini yang kemudian mendorong Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon terjun langsung melobi pemerintah Junta Militer Myanmar. Satu minggu paska bencana Cyclone Nargis, Junta Militer masih menutup akses bagi bantuan asing Barber 2009, h.21 Ban Ki Moon kemudian melakukan kontak dengan Jenderal Than Shwe yang merupakan pemimpin tertinggi Junta Militer ketika itu tahun 1988- 68 2010 agar bersedia membuka akses bagi masuknya bantuan. Namun usaha menghubungi Than Shwe gagal karena Than Shwe tidak menjawab kontak dari PBB tersebut. Padahal, korban bencana semakin bertambah dan bantuan harus segera disalurkan. Pada 12 Mei 2008 di kantor pusat PBB di New York, Ban Ki Moon memberikan pernyataan pers akan keprihatinannya terhadap korban Cyclone Nargis Myanmar dan peringatan kepada pemerintah Junta Militer Myanmar yang melakukan isolasi diri dan penutupan akses bagi bantuan dari komunitas internasional. ‘Immensely frustrated at the pace of aid delivery and relief to some 1.5 million victims of Cyclone Nargis ’ yang artinya Ban Ki Moon merasa sangat frustasi dengan proses pengiriman bantuan dan pertolongan bagi sekitar 1,5 juta korban bencana Cyclone Nargis CBC News, 12 Mei 2008. Kontak dari PBB serta himbauan bahkan kecaman dari komunitas internasional tidak juga mampu mengubah sikap Junta Militer. Beberapa pesawat pengangkut bantuan hanya sebagian kecil yang diizinkan mendarat, namun bantuan tersebut sangat tidak mencukupi untuk para korban. Juru bicara PBB Richard Horsey UN spokesman for Humanitarian Operations di Bangkok menyatakan bahwa pasokan air bersih, tempat penampungan bantuan medis serta makanan sangat kurang, pemerintah harus membuka diri terhadap upaya dan bantuan internasional, karena tidak hanya cukup dengan adanya perahu, truk serta helikopter yang jumlahnya sedikit untuk mencukupi kebutuhan bantuan dalam skala besar CBC News, 12 Mei 2008. Melihat kenyataan akan sulitnya mendapat akses masuk bagi bantuan kemanusiaan membuat Menteri Luat Negeri Prancis ketika itu Bernard Kouchner 69 mendesak Dewan Keamanan PBB untuk melakukan tindakan seperti humanitarian intervention atau Responsibility to Protect atau mengeluarkan resolusi tentang izin masuknya bantuan kemanusiaan yang bersifat paksaan terhadap pemerintah Junta Militer Myanmar Barber 2009, h.2. Wujud nyata dari tindakan humanitarian intervention dan Responsibility to Protect adalah kunjungan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon pada 23 Mei 2008. Maksud dari kunjungan Ban Ki Moon tersebut adalah melakukan negosiasi dengan pemimpin Junta Militer Myanmar ketika itu Than Shwe Martin dan Margesson 2008, h.11. Ban Ki Moon merupakan satu- satunya pemimpin asing yang masuk ke Myanmar setelah bencana Cyclone Nargis BBC News, 22 Mei 2008. Pertemuan Ban Ki Moon dan Than Shwe berlangsung selama dua jam, dan setelah melakukan negosiasi pemerintah Junta Militer bersedia menerima bantuan kemanusiaan dari komunitas internasional. Dalam wawancara dengan CNN 23 Mei 2008, Ban Ki Moon menyatakan ‘Myanmar’s rulling junta agreed Friday to “allow all aid workers regardless of nationalities” into the country to help cyclone survivors ’ yang artinya pemerintah Junta Militer Myanmar memperbolehkan semua relawan tanpa melihat asal kebangsaan mereka untuk masuk ke Myanmar dan membantu korban selamat dari bencana Cyclone Nargis. Kunjungan Ban Ki Moon ke Myanmar untuk melakukan negosiasi terjadi setelah ada perdebatan dalam General Assembly dalam High Level Panel yang kemudian mengeluarkan World Summit Outcome resolution tentang pemilihan tindakan humanitarian intervention dan Responsibility to Protect dalam kasus Cyclone Nargis di Myanmar Barber 2009, h. 12-13. Barber 2009, h. 12- 14 dalam artikelnya mengatakan bahwa Cyclone Nargis merupakan kasus yang dianggap ‘the