Kewenangan Relatif dan Absolut Peradilan Agama

Kalau tentang harga, maka dapat tentang jumlah harga, dan dapat tentang jenisnya, ataupun tentang waktunya. Tapi jika tentang jumlah harga, seperti si penjual berkata “Saya jual ini dengan harga Rp. 2000,- sedang pihak pembeli mengatakan Rp. 1000,- maka jika barang yang diperselisihkan tentang harganya itu masih ada, hendaklah keduanya bersumpah, lalu barang itu dikembalikan kepada penjual. Dalam keadaan ini kedua-duanya menjadi mudda’i dan mudda’a ‘alaihi. Kalau sudah diserahkan diterimakan, maka pernyataan pembeli diterima dengan sumpahnya. 18

B. Kewenangan Relatif dan Absolut Peradilan Agama

Kata “kekuasaan” di sini sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang berasal dari bahasa Belanda “competentie”, yang kadang-kadang diterjemahkan juga dengan “wewenang”, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna. Berbicara tentang kekuasaan Peradilan dalam kaitannya dengan Hukum Acara Perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang “Kekuasaan Relatif” dan “Kekuasaan Absolut”, sekaligus dibicarakan pula didalamnya tentang tempat mengajukan gugatanpermohonan serta jenis perkara yang mejadi kekuasaan Pengadilan. 19 18 Ibid, h.117-118. 19 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, Ed. 2., Cet. 10., h.25. 1. Kompetensi Relatif Kekuasaan Relatif diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan. Misalnya, antara Pengadilan Negeri Bogor dengan Pengadilan Negeri Subang, Pengadilan Agama Muara Enim dan Pengadilan Agama Baturaja. 20 Pasal 4 ayat 1 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama berbunyi: “Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kota kabupatenkota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupatenkota”. Pada penjelasan Pasal 4 ayat 1 berbunyi: 21 “Pada dasarnya tempat kedudukan pengadilan agama berada di ibukota kabupaten dan kota, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau kota, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian”. Dengan berdasar atas pasal ini, tiap pengadilan agama mempunyai wilayah hukum tertentu, dalam hal ini meliputi satu kota madya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang, seperti dikabupaten Gresik dan kabupaten Sumenep 20 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di indonesia, h.138. 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama: Jakarta, 2006, h.28. kepulauan terdapat dua buah Pengadilan Agama, karena kondisi tarnsportasi. 22 Guna mengetahui yuridiksi relatif agar para pihak tidak salah mengajukan gugatan atau permohonan yakni ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan juga berhubungan dengan hak eksepsi tergugat. Menurut teori umum hukum acara perdata Peradilan Umum tentang tempat mengajukan gugatan, apabila tergugat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri mana saja, diperbolehkan dan pengadilan tersebut masing- masing boleh memeriksa perkaranya sepanjang tidak ada eksepsi keberatan dari pihak lawannya. Juga boleh saja orang penggugat dan tergugat memilih untuk berperkara di muka Pengadilan Negeri mana saja yang mereka sepakati. 23 Hal ini berlaku sepanjang tidak tegas-tegas dinyatakan lain. Pengadilan negeri dalam hal ini boleh menerima pendaftaran perkara tersebut di samping boleh pula menolaknya. Namun dalam praktik, Pengadilan Negeri sejak semula sudah tidak berkenan menerima gugatanpermohonan semacam itu, sekaligus memberikan saran ke Pengadilan Negeri mana seharusnya gugatan atau pemohonan itu diajukan. 24 22 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, Malang: UIN-Malang Press, 2008, h.196. 23 HIR Pasal 118 Ayat 4, yang berbunyi: “Bila dengan surat sah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan, maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugatan itu kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat kedudukan yang dipilih itu”. 24 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h.138-139. Ketentuan umum Peradilan Umum tersebut berlaku juga untuk Peradilan Agama sebagaimana ditunjuk oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Di masa lalu sebelum Peradilan Agama mempunyai kekuasaan absolut yang seragam di seluruh Indonesia sebelum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Peradilan Agama tidak dapat menerima ketentuan umum Peradilan Umum di atas, sebab suatu jenis perkara misalnya menjadi kekuasaan absolut Peradilan Agama di pulau Sumatera belum tentu menjadi kekuasaan absolut Peradilan Agama di pulau Jawa, seperti mengenai kewarisan. 25 2. Kompetensi Absolut Kekuasaan absolut artinya kekuasaan Pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkat Pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan lainnya. Misalnya, Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Pengadilan Agama lah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung. 26 25 Ibid, h.139. 26 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, h.27. Berdasarkan uraian di atas dapat disebutkan bahwa kewenangan mutlak kompetensi absolut peradilan meliputi bidang-bidang perdata tertentu seperti tercantum dalam Pasal 49 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan berdasarkan atas asas personalitas keislaman yang telah diperluas. 27 Dalam bidang-bidang yang menyangkut hukum keluarga, menurut Prof. Bustanul Arifin, 28 Peradilan Agama dapat dikatakan sebagai peradilan keluarga bagi orang-orang yang beragama Islam, seperti terdapat di beberapa negara lain family court. Sebagai suatu peradilan keluarga, yaitu peradilan yang menangani perkara-perkara di bidang hukum keluarga, tentulah jangkauan tugasnya berbeda dengan peradilan umum. Oleh karena itu, segala syarat yang harus dipenuhi oleh para hakim, panitera, dan sekretaris harus disesuaikan dengan tugas-tugas yang diemban Peradilan Agama. Selanjutnya ditegaskan bahwa Peradilan Agama sebagai peradilan keluarga haruslah dimaksudkan tidak sebagai peradilan biasa. Maknanya, hanya melaksanakan kekuasaan kehakiman secara tradisional dan kaku dalam menyelesaikan sengketa keluarga yang diajukan kepadanya. Namun Peradilan Agama haruslah menempuh cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan rohani dan sosial bagi para keluarga yang menjadi pencari keadilan. 27 Ibid, h.27. 28 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, h.94. Disamping itu, Peradilan Agama harus pula diarahkan sebagai lembaga preventif bagi kemungkinan-kemungkinan timbulnya keretakan keluarga yang akan menjurus kepada sengketa-sengketa keluarga. Demikian pula pada saat pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, harus dijaga suasananya benar- benar manusiawi dan kekeluargaan 29 . Kompetensi absolut Peradilan Agama disebut dalam Pasal 49 dan 50 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi: 30 Pasal 49 “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infak; 29 Sulaikin Lubis, Dkk., Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008, h.111. 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, h.20. h. shadaqah; dan i. ekonomi syariah Sesuai dengan kompetensi absolut Pengadilan Agama yaitu perkara bidang Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infak, Sedekah dan Ekonomi Syariah. Dalam penjelasan Pasal I angka 37, mengenai perubahan bunyi Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, pada poin i disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah meliputi: 31 a. Bank syariah; b. Asuransi syariah; c. Reasuransi syariah; d. Reksa dana syariah; e. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; f. Sekuritas syariah; g. Pembiayaan syariah; h. Pegadaian syariah; i. Dana pensiun lembaga keuangan syariah; j. Bisnis syariah; dan k. Lembaga keuangan mikro syariah. 31 Sulaikin Lubis, Dkk., Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, h.118. Dari penjelasan di atas dapat kita lihat ada 11 macam perkara yang termasuk bidang ekonomi syariah ini. Dalam hal ini yang menarik adalah perluasan terhadap pengertian “orang-orang” yang meliputi juga lembaga ekonomi yang berupa bank ataupun perusahaan asuransi yang berbentuk badan hukum. Pada bagian awal dari penjelasan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, disebutkan bahwa lembaga keuangan bank sebagai badan hukum disini dimasukkan sebagai para pihak yang tunduk pada ketentuan hukum Islam. 32 Ekonomi syariah cakupannya sangat luas, tercakup dalam lembaga keuangan; baik lembaga keuangan bank maupun non bank yang mendasarkan pengelolaan operasionalnya menggunakan prinsip syariah. Prinsip syariah dalam hukum perbankan diartikan sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana, pembiayaan kegiatan usaha, dan kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah. 33

C. Sumber Hukum Peradilan Agama