Orientasi Politik Etnis Tionghoa di Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu

(1)

ORIENTASI POLITIK ETNIS TIONGHOA DI BATURAJA

Oleh :

ACHMAD AKMALUDDIN

(Tesis)

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2014


(2)

ABSTRAK

Orientasi Politik Etnis Tionghoa di Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu

ACHMAD AKMALUDDIN 1026021001

Dari masa ke masa etnis Tionghoa merupakan kaum minoritas dan marginal sehingga membawa dampak terhadap sikap dan perilaku politik masyrakat etnis Tionghoa. Terbukanya ruang demokrasi menjadi arena menguatnya kembali orientasi politik etnis Tionghoa di Baturaja.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui orientasi politik Etnis Tionghoa di Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif.

Hasil penelitian menunjukan orientasi politik etnis Tionghoa di Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu adalah Orientasi kognitif yang berupa pemahaman tentang pemahaman Pancasila dan sistem pemerintahan (kenegaraan) yang digunakan untuk membentuk asmilasi dan akulturasi. Orientasi afektif politik etnis Tionghoa Baturaja merasakan bangga menjadi warga Negara Indonesia karena hal ini sesuai dengan pemahaman leluhur mereka dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga orientasi evaluative masyarakat etnis Tionghoa di Baturaja berpartisipasi dalam memberikan dukungan dalam pelaksanaan pemilukada dan mendirikan organisasi kemasyarakatan etnis Tionghoa di Baturaja sebagai ikatan priomdiliasme. Orientasi Politik etnis Tionghoa Baturaja pada masa transisi orde baru ke reformasi adalah merupakan perubahan orientasi individu dalam memfokuskan solidaritas internal, perjuangan identitas kultural, penyadaran publik di berbagai area serta pluralisme. Factor-faktor orientasi politik politik etnis tionghoa memiliki kaitan erat dengan ideology, pengakuan akan etnis Tionghoa dalam hak politik serta kenyamanan dalam menjalankan bisnis dan kesejahteraan etnis Tionghoa di Baturaja.


(3)

ABSTRACT

Orientation Tionghoa Ethnic of Political in Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu

ACHMAD AKMALUDDIN 1026021001

Throughout the ages the ethnic Chinese is minorities and marginalized so the implicates the political attitudes and behaviors ethnic society Tionghoa. The openness democratic space became the arena of politics the orientation return the strengthening ethnic Chinese in Baturaja.

This research to know politics orientation of the Ethnic Tionghoa in Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu. The method is qualitative research.

The research is stated the political orientation of ethnic Chinese in Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu. Cognitive orientation in the form of understanding Pancasila and the system of government (state) used to for asmiliasi and aculturations. Chinese ethnic political of affective orientation Balfour to feel is proud to be Indonesian citizens as It is appropriate with understanding of they are ancestor in livers of nation and state. These three of evaluative orientation ethnic Chinese community in Balfour participated in providing support to in the implementation regional election and the ethnic Chinese civil society organizations establish in Baturaja as bonding priomdiliasme. The Political the orientation Chinese ethnicity Baturaja in the transition period to new order of reform is a change orientation of individuals in focus internal the solidarity, struggle of cultural identity, of public awareness on variety of area of as well as the pluralismpolitics orientation of The factors is closely related to the Chinese ethnic the ideology, the ethnic Chinese in confession of political the rights and convenience of running a business and the the welfare of the ethnic Chinese in the Baturaja.


(4)

(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Abstrak ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Halaman Persembahan ... iv

Daftar Riwayat Hidup ... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi ... viii

Daftar Gambar ... xi

BAB I Pendahuluan ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Kegunaan Penelitian ... 9

BAB II Tinjauan Pustaka ... 10

1.1. Transisi Politik ... 10

1.2. Teori Demokrasi ... 13

1.2.1.Demokrasi dari Zaman Yunani Kuno hingga Zaman Renaisance ... 18

1.2.2.Demokrasi Modern ... 20

1.2.3.Hubungan Transisi Politik dan Demokrasi ... 21

1.2.4.Budaya Politik ... 24


(8)

BAB III METODE PENELITIAN... 31

3.1. Tipe Penelitian ... 31

3.2. Fokus Penelitian ... 32

3.3. Penentuan Informan ... 32

3.3.1. Profil Informan ... 32

a. Abun (Candra Agus) ... 32

b. Parwanto ... 33

c. Akun (Herwin Kuncoro) ... 34

d. Acan (Hasanudin) ... 34

3.3.2. Deskripsi Etnis Tionghoa di Baturaja ... 40

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 41

3.5. Teknik Analisis Data ... 41

3.6. Keabsahan Data ... 43

BAB IV ORIENTASI POLITIK ETNIS TIONGHOA ... 45

4.1. Orientasi Politik Etnis Tionghoa Pada Bidang Politik ... 46

4.1.1. Pola Orientasi Kognitif ... 46

4.1.2. Pola Orientasi Afektif ... 50

4.1.3. Pola Orientasi Evaluatif ... 52

4.2. Orientasi Politik Etnis Tionghoa Pada Bidang Sosial Budaya ... 56

4.2.1. Pola Orientasi Kognitif ... 56

4.2.2. Pola Orientasi Afektif ... 60

4.2.3. Pola Orientasi Evaluatif ... 63

4.3. Orientasi Politik Etnis Tionghoa Pada Bidang Ekonomi ... 64

4.3.1. Pola Orientasi Kognitif ... 64

4.3.2. Pola Orientasi Afektif ... 66

4.3.3. Pola Orientasi Evaluatif ... 68

4.4. Transisi Politik Etnis ... 78

4.4.1. Identitas Etnis Tionghoa di Baturaja ... 78

4.4.2. Identitas Lokal ... 80


(9)

4.4.4. Kesadaran Berbangsa dan Bernegara Etnis Tionghoa ... 89

4.4.5. Sikap Toleransi Warga Tionghoa ... 91

4.4.6. Partisipasi Politik Etnis Tionghoa ... 94

4.5. Pembahasan ... 107

BAB V PENUTUP ... 113

5.1. Kesimpulan ... 113

5.2. Saran ... 114


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Etnis Tionghoa merupakan kaum minoritas dan marginal sehingga keberadaan etnis Tionghoa selalu diwarnai berbagai macam peristiwa yang menarik untuk diamati di ranah politik di Indonesia dan tiap orde pemerintahan Indonesia. Dalam hal ini membawa dampak pada sikap dan perilaku elit politik etnis Tionghoa dari masa ke masa, baik dari masa kolonial, orde lama, orde baru hingga pada masa reformasi.

Menurut Pandangan Ong Hok Ham1 salah satu sejarawan terkemuka di

Indonesia menyatakan bahwa, “masyarakat Tionghoa bukanlah kelompok yang homogen; mereka begitu beragam hampir seperti kepulauan Indonesia.” Pandangan umum terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia yang notabene adalah keturunan Tionghoa, memiliki pandangan yang beragam di masyarakat Indonesia sendiri. Hal ini dapat dilihat dari sisi stereotipe yang melekat dalam etnis Tionghoa yang identik dengan penguasaan sumber ekonomi, individualis, in-group feeling yang kuat dan rendahnya perhatian terhadap politik ataupun alienasi terhadap hal- hal yang berkaitan dengan politik praktis.

1

Suhardinata, Dr. Ir Justian.2009. WNI Keturunan Tionghoa dalam stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia pustaka Utama hal. 9


(11)

2 Keterlibatan orang Tionghoa Indonesia di ajang politik bukan merupakan fenomena baru, tetapi bagaimana hal ini bangkit atau jatuh tergantung pada kebijakan masing-masing rezim terhadap orang Tionghoa Indonesia.2 Hal ini

terlihat dari faktor sejarah migrasi pada masa kolonialisme dan derajat penetrasi etnis Tionghoa dengan kebudayaan lokal juga memberikan pengaruh yang besar bagi ketersinggungan etnis ini dengan dunia politik. Jika pada masa kolonial orientasi politik etnis ini terbagi dalam tiga corak, maka setelah Indonesia merdeka sikap mereka terpecah dalam beberapa kelompok, yakni integrasionis, asimilasionis dan cukong. Masing-masing kelompok ini menempuh cara politik yang berbeda-beda dalam mencapai tujuannya.

Perubahan ini terlihat dari rezim Soeharto ke rezim reformasi, terjadinya transisi demokrasi, yaitu periode yang merupakan rentangan waktu dari runtuhnya pemerintahan non demokratik sampai terbentuknya pemerintahan demokratik.3

Iklim demokrasi di Indonesia secara nasional membawa harapan besar bahwa bangsa Indonesia akan segera menemui cahaya baru setelah 32 tahun lebih dalam kekuasaan otoritarian.

Hal ini juga membuka ruang bagi warga keturunan Tionghoa untuk berpartisipasi di bidang politik. Corak aktivisme politik etnis Tionghoa pada era reformasi ini diarahkan untuk memperoleh hak sipil, hak politik dan hak sosial secara penuh. Interaksi politik di antara kelompok suku, termasuk kalangan Tionghoa Indonesia, menjadi lebih terbuka untuk melakukan negosiasi yang akan

2

Juliastutik: Perilaku Elit Politik Etnis Tionghoa Pasca Reformasi. HUMANITY, Volume 6, Nomor 1, September 2010.hal : 45-58

3

Larry Diamond. Dan Marc. F.Platner.1998. Konsolidasi Demokrasi di Pasifik Asia, dalam Aleksius Jemadu, HI Kawasan di Asia Pasifik, Pascasarjana Unpar Bandung.hal:56


(12)

3 memberikan keuntungan bagi proses demokratisasi di Indonesia. Dua cara yang dipakai oleh etnis Tionghoa adalah gerakan tuntutan untuk mendapatkan hak-hak konstitusional dan keterlibatan4 dalam berbagai kandidasi-kandisasi pemilu.

Pendapat tersebut diperkuat oleh pendapat Revli5 yang menyatakan bahwa

setelah tahun 1999, iklim politik bagi etnis Tionghoa dalam politik lebih kondusif, berlanjut pada pemilu 2004 yang mana ketika pemilu Legislatif, setidaknya lebih dari 100 calon legislatif etnis Tionghoa tersebar di beberapa partai politik. Keterlibatan etnis Tionghoa di panggung politik lokal merupakan interaksi politik antara politik etnis Tionghoa dan pribumi. Meski demikian, ketersinggungan dengan dunia politik juga dipengaruhi persoalan orientasi politik yang muncul dari internal etnis ini.Faktor sejarah migrasi pada masa kolonialisme dan derajat penetrasi etnis Tionghoa dengan kebudayaan lokal juga memberikan pengaruh yang besar bagi ketersinggungan etnis ini dengan dunia politik.

La Ode dalam penelitian Politik Etnis China Pontianak dan Singkawan di Era Reformasi 1998-2008 menyatakan bahwa perubahan sistem politik era Orba ke era Reformasi menjadi faktor penyebab utama keterlibatan Etnis China Indonesia (ECI) dalam politik. Kedua, membawa dampak signifikan atas perubahan politik internal ECI dari titik nol kekuasaan di era Orba, mencapai puncak kekuasaan politik di era Reformasi. Akibatnya etnis Melayu dan etnis

4

Baca kompas tajuk Rencana Kompas, Selasa, 24 Januari 2012, “Kini saatnya pula masyarakat Tionghoa di negara ini membuktikan dirinya benar-benar merupakan aset berharga bagi negaranya dengan memberikan sumbangsih-sumbangsih melalui prestasinya di segala bidang. Pembuktian-pembuktian itu itu diperlukan agar menjadi bukti pula bahwa ketika mereka mendapat hak-haknya itu kembali sehingga setara dengan WNI lainnya. Maka mereka akan dapat jauh lebih berperan dalam ikut bersam,a-sama membangun bangsa dan negara ini”.

5

Revli Mandagie. 2009. Budaya Tionghoa : Etnis Tionghoa dalam Perjalanan Perpolitikan di Indonesia, Media Indonesia. Hal.24


(13)

4 Dayak terganggu kemapanan politiknya. Ketiga, respons beragam dari etnis Melayu, etnis Dayak, dan pejabat pemerintah daerah setempat yakni sebagai pulihnya hak politik ECI; dulu menguasai ekonomi sekarang menguasai politik juga; hati-hati terhadap ECI; menolak; mendukung; moderat; waspada atas keterlibatan ECI dalam politik.

Orientasi politik etnis Tionghoa di Baturaja memungkinkan terjadinya persaingan politik dan sirkulasi elit politik menjadi kian terbuka. Dengan adanya terbukanya ruang demokrasi menjadi arena menguatnya kembali politik identitas yang berbasis pada simbolitas keluarga, klan, kebangsawan dan kelompok etnis. Munculnya etnis paguyuban dan kekeluargaan dalam politik lokal di Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu merupakan kombinasi tekanan politik sentriugal (terpusat) pada masa orde baru dan tekanan politik sentripetal (desentralisasi) pasca orde baru. Meski di awal-awal pelembagaan desentralisasi pola ini belum terlihat, akan tetapi, memasuki dekade ke dua pasca reformasi, kecenderungan pada semakin oligharkisnya kekuatan partai politik ditambah kecenderungan politik partai yang semakin bergerak ke arah yang lebih pragmatis6.

Selama ini aktivitas warga etnis Tionghoa di Baturaja fokus pada kegiatan perdagangan (ekonomi). Hampir semua sektor perdagangan di Kabupaten Ogan Komering Ulu, khususnya di Baturaja boleh dikatakan dikuasai oleh warga etnis Tionghoa. Sejak pemilu Tahun 2002 dan 2009 ini, kesadaran

6

Bagi warga etnis Tionghoa, perubahan atmosfir politik dari otoritarian ke demokrasi memberikan kebebasan kepada warga negara untuk mengekspresikan gagasan, hak, dan kepentingan politik melalui kebijakan yang bersifat otoritatif yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008. Untuk itu perlu ada benteng yang kuat untuk berpartisipasi aktif dalam bidang politik dan pemerintahan.


(14)

5 warga etnis Tionghoa dalam kegiatan politik semakin meningkat, pada tahun 2002 masukya Parwanto (Wawa) dan Yahudin ( Aliong) menjadi anggota partai politik Demokrat dan terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten OKU, kemudian aktifnya Yugo7 menjadi salah satu pemenangan tim kampanye pemilihan kepala

daerah Kabupaten Ogan Komering Ulu pada tahun 2004. Melalui paguyuban Etnis Tionghoa yang ada di Baturaja mereka membentuk paguyuban dalam ranah yang menuju kegiatan politik untuk menunjukan cara ekssistensi mereka sebagai warga negara Indonesia.

Kemudian pada pemilihan umum Tahun 2009 dijadikan suatu yang momentum bagi Etnis Tionghoa dlaam menunjukkan peran dan keberadaannya sebagai bagian integral dalam kehidupan warga kota Baturaja khususnya, kembali terpilih menjadi anggota DPRD dan menjadi ketua Partai Amanat Nasional di Kabupaten Ogan Komering Ulu. Hal ini terjadi karena dengan dihapuskannya kebijakan tentang status kewarganegaraan. Sebagai warga Etnis Tionghoa yang berada dalam masyarakat transisi, civil societynya penuh dengan dinamika.

Ecara emosional masyawarakat Etnis Tionghoa di Baturaja terlibat secara emosional dengan persoalan-persoalan publik. Namun, Civil Society ini memiliki dua karakter yaitu karakter demokratis dan karakter sekterian-parokial dan primordial. Seperti yang dinyatakan oleh Etnis Tionghoa menyatakan bahwa, “Saya secara pribadi adalah warga negara Indonesia karena saya lahir dan dibesarkan di Baturaja, saya sudah menetap di Baturaja sejak saya lahir hingga

7

Etnis Tionghoa yang berhasil dalam perdagangan di Kabupaten Ogan Komering Ulu bahkan usahanya dapat membuka peluang pekerjaan bagi masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ulu, secara momentum menguasai sektor perdagangan di Kabupaten Ogan Komering Ulu, sumber OKU Ekspress, 2 September 2008.


(15)

6 sekarang. Karena itu saya ingin memperoleh hak yang sama dengan warga negara lainnya, dan saya juga ingin diakui”.8

Dilema warga Tionghoa Indonesia di Baturaja yang selalu mereka hadapi dari masa ke masa adalah keragu-raguan tentang ’nasionalisme orang Tionghoa’ selalu muncul, tidak saja di kalangan warga non-Tionghoa9, melainkan juga di kalangan warga Tionghoa sendiri. Dilema tersebut tercermin pula dari belum tuntasnya perdebatan tentang konsep asimilasi versus integrasi sebagai „solusi politik’ agar etnis Tionghoa diterima sebagai bagian yang integral dari bangsa Indonesia. Perdebatan tentang kedua pendekatan tersebut telah terjadi sejak masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, akan tetapi sampai hari ini „pertarungan pemikiran’ di antara kedua kubu, yang mendukung asimilasi dan yang mendukung integrasi, masih berlangsung; walau dengan intensitas yang tinggi.

Studi transisi adalah titik awal atau interval antara rezim otoritarian dengan rezim demokratis, terlihat dalam karya suntingan O’Donnel dan Philipe Schmitter (1986), Larry Diamod, Juan Linz dan Lipset (1990). Fokus studi ini adalah sebagai berikut.

1. Aktor (kontingensi elite) a carfting dan pertarungan elite menentukan proses transisi (replacement; transplecemet; transformasi) jalur negoisasi (transaksi) elite jalur paling mulus.

8

Hasil Wawancara dengan Herwin Kuncoro (Akun) di Baturaja pada tanggal 30 April 2013

9


(16)

7 2. Struktural (faktor-faktor yang mendorong dan menghambat

demokrasi.10

Studi konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen seluruh elemen masyarakat dalam aturan demokrasi. Legimitasi demokrasi sebuah proses panjang mengurangi kemungkinan pembalikan demokratisasi, erosi demokrasi. Demokrasi konsolidasi apabila aktor-aktor politik, partai kelompok kepentingan dalam masyarakat menganggap tindakan demokratis sebagai alternatife utama dalam meraih kekuasaan dan tidak ada actor atau kelompok yang mempunyai klaim veto dalam tindakan pembuatan keputusan.11

Studi transisi politik di Indonesia pasca Orde Baru dan Reformasi adalah perubahan (transisi) politik pasca kejatuhan Soeharto sebagai akibat bekerjanya dua arus perubahan demokratisasi dan desentralisasi. Berdasarkan hasil riset Demos12 (2005) membuktikan bahwa kebebasan sipil dan politik- termasuk

kebebasan membentuk partai; kebebasan untuk berpartisipasi dalam asosiasi sosial dan politik indepensen; kebebasan beragama dan berkeyakinan; serta kebebasan media- sudah dianggap lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Empat problema transisi demokratisasi di Indonesia yaitu deficit demokratisasi, representasi yag bermasalah, demokrasi oligarkis, demokrasi mengambang.

10

Suryadinata, Leo. 2005. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002. Jakarta Pustaka LP3ES Indonesia.

11

Taher, Tarmizi (1997). Masyarakat Cina: Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa Indonesia.Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat.hal:24.

12

Peck, Twang Yang (2005). Elit Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950. Jakarta: Diadit Media. Hal;23


(17)

8 Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang orientasi etnis Tionghoa sebagai akibat arus reformasi yang membawa dampak perubahan perubahan politik pada masyarakat Etnis Tionghoa di Baturaja, sehingga mereka memiliki yang kuat dengan identitas mereka baik sebagai kelompok budaya, kelompok sosial dan individu untuk berpartisipasi dan pengakuan hak-hak identitas mereka dalam kehidupan sebagai warga negara yang berbangsa dan bernegara, maka fokus penelitian ini adalah Orientasi Politik Etnis Tionghoa di Baturaja.

2. Rumusan Masalah

Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah adalah bagaimana orientasi politik etnis Tionghoa di Baturaja?

3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui orientasi politik etnis Tionghoa dalam kesadarannya berbangsa dan bernegara di Kabupaten Ogan Komering Ulu.

2. Untuk mengetahui faktor apa yang mendorong dan meluasnya tingkat orientasi politik etnis Tionghoa di Kabupaten Ogan Komering Ulu dalam penguatan komitmen kebangsaan.


(18)

9

4. Kegunaan Penelitian a. Secara Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian dan kajian ini diharapkan menjadi khazanah sekaligus memperkaya kajian di bidang ilmu politik dalam memecahkan masalah demokrasi pada kalangan elite politik lokal di Kabupaten Ogan Komering Ulu.

b. Secara Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini akan memberikan pemahaman mengenai bagaimana identitas etnik di Baturaja dapat dikelola sehingga membentuk kompetensi kehidupan demokrasi dalam menjalankan kehidupan sosial baik dalam kehidupan politik lokal maupun kehidupan sosial sebagai warga yang berbangsa dan bernegara.


(19)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Reformasi menjadi tanda kembalinya kebebasan politik di Indonesia, berbagai pembatasan atas partisipasi dan aktivisme politik yang berlaku selama 32 tahun di cabut, sehingga membuka keran lahirnya banyak partai politik, kelompok aksi dan organisasi pemerintahan. Konsepsi pada penelitian ini menggunakan konsepsi teori demokrasi dan teori transisi politik sangat dibutuhkan untuk membantu peneliti sebagai landasan teoritis dalam penelitian.

2.1. Transisi Politik

Transisi bermakna peralihan, perubahan dari keadaan tertentu menuju keadaan lain yang dicita-citakan atau diharapkan.1 Demokrasi, sejatinya adalah

terwujudnya pemerintahan negara yang kedaulatannya dipegang oleh rakyat.2

Transisi demokrasi berarti adanya suatu peralihan dalam upaya menciptakan kondisi negara yang tadinya tidak menjunjung demokrasi menjadi negara yang memegang prinsip-prinsip demokrasi,3 dimana setiap orang berhak memperoleh

kekuasaan melalui mekanisme yang sah berdasarkan hukum.

1

Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gitamedia Press, .hlm. 768

2

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta: 1982, hlm. 50 3

Negara Hukum dan Transisi Menuju Demokrasi, Opini dalam www. .kompasiana.com tanggal 13 Mei 2011


(20)

11

Dengan kata lain transisi adalah interval (selang waktu) antara suatu rezim politik dengan rezim yang lain. 4 Sedangkan transisi politik dapat di

defeniskan sebaga masa peralihan antara sebuah rezim kekuasaan yang sebelumnya ke rezim kekuasaan yang sesudahnya. Transisi politik biasanya menjelaskan bagaimana perubahan politik terjadi pada masa pergantian rezim kekuasaan. Transisi politik pada umumnya terjadi pada masa pemerintahan yang sudah lama berkuasa. Sehingga untuk menuju masa pemerintahan yang selanjutnya dibutuhkan sebuah masa/keadaan untuk beralih dari masa pemerintahan yang telah berlangsung lama sebelumnya.

Pada sebuah masa transisi tidak dapat dipastikan apakah masa sesudah transisi selalu menjadi lebih baik dari masa sebelum transisi. Jadi keadaan yang akan terjadi setelah transisi berlangsung adalah sesuatu ketidakpastian. Transisi politik bisa saja menghasilkan sebuah pencerahan bagi demokrasi dengan berakhirnya sebuah rezim otoriter yang sudah berlangsung sangat lama. Transisi juga dapat berkembang menjadi konfrontasi sengit dan meluas, yang membuka jalan bagi rezim-rezim revolusioner yang ingin memperkenalkan perubahan drastis dari kenyataan politik yang ada5. Artinya masa transisi merupakan masa

yang sulit untuk diprediksikan. Pada masa transisi keadaan politik suatu negara dalam keadaan yang tidak stabil, sehingga segala kemungkinannya bisa saja terjadi.

4

Larry diamond.2003.developing democracy toward consolidation. Institite For Research and Empowermwnt (IRE) Yogyakarta. Hal:xviii

5Guillermo O’ Donnell & Philippe C. Schmitter,

Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan ketidakpastian, Jakarta: LP3ES. 1993, Hal. 1.


(21)

12

Transisi dibatasi, di satu sisi, oleh dimulainya proses perpecahan sebuah rezim otoritarian, dan disisi lain, oleh pengesahan beberapa bentuk demokrasi, kembalinya beberapa bentuk pemerintahan otoriter, atau kemunculan suatu alternatif revolusioner.6 Dengan demikian dalam sebuah proses transisi, aturan

main politik menjadi tidak menentu karena instabilitas yang terjadi. Hal ini disebabkan karena setiap kelompok kepentingan (etnis Tionghoa) akan bertarung untuk menentukan aturan main politik agar dapat menetapkan peraturan ataupun prosedur-prosedur yang mendukung kelompok kepentingan tersebut. Dengan demikian dapat membuka jalan bagi mereka untuk menggapai kekuasaan pada masa pemerintahan selanjutnya.

Namun proses penetapan aturan ataupun prosedur-prosedur politik tersebut akan mengalami proses tarik ulur yang sangat ketat. Ini disebabkan karena banyaknya kelompok kepentingan (etnis Tionghoa) yang akan memperjuangkan kepentingan kelompok kepentingannya masing-masing pada masa transisi yang sangat rawan terhadap perubahan. Diperlukan sebuah kesepakatan politik diaantara kelompok kepentingan yang beramin dalam menentukan prosedur politik tersebut. Namun jika kesepakatan tersebut tidak terwujud, maka pertikaian diantara kelompok kepentingan akan terus terjadi, dan bukan tidak mungkin rezim yang lama akan berkuasa kembali. Sebuah hal yang menandai dimulainya masa transisi adalah ketika penguasa otoriter mulai memodifikasi peraturannya sebagai jaminan yang lebih kuat bagi kelangsungan kekuasaannya.

6


(22)

13

Teori konsepsi transisi politik merupakan salah satu teori yang sangat diperlukan dalam penelitian ini. Ini disebabkan karena masa peralihan antara masa pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi merupakan sebuah masa transisi politik. Sangat banyak peristiwa-peristiwa politik yang terjadi pada masa transisi tersebut, sehingga dibutuhkan kerangka teori yang kuat mengenai transisi politik untuk menguraikan masalah yang timbul pada masa transisi tersebut. Teori ini diharapkan mampu memberi pijakan berpikir bagi peneliti dalam melihat permasalahan yang timbul dalam masa transisi etnis Tionghoa dari orde baru ke era reformasi.

2.2. Teori Demokrasi

2.2.1. Demokrasi: Dari Zaman Yunani Kuno Hingga Zaman Renaissance Istilah demokrasi terdiri dari dua kata yang berasal dari yunani yaitu, demos yang artinya rakyat, dan kratein/kratos yang artinya pemerintahan. Dengan demikian demokrasi dapat diartikan sebagai sebuah bentuk pemerintahan yang dikendalikan oleh rakyat dalam suatu masyarakat tertentu. Demokrasi merupakan sebuah bentuk antitesis dari sistem monarki/kerajaan. Hal ini disebabkan karena demokrasi bermaksud memberikan kekuasaan tersebut bersumber pada seluruh rakyat sedangkan monarki menyerahkan kekuasaan negara pada seorang raja yang berperan memimpin negara. Namun dalam prakteknya konsepsi demokrasi sangat sulit diterapkan, karena sangat tidak mungkin bagi setiap rakyat untuk memerintah sehingga dengan demikian rakyat


(23)

14

memilih orang-orang kepercayaannya untuk dijadikan wakil dalam pemerintahan.7

Yunani merupakan negara yang mula-mula mempraktekan corak pemerintahan demokrasi tersebut pada abad ke empat belas sebelum masehi. Dianatara negara-negara kota (polis) yang ada di yunani, athena merupakan negara tempat tinggal para pemikir-pemikir politik seperti Socrates, Plato, ataupun Aristoteles. Mereka memberikan sumbangsi pemikiran bagi konsep demokrasi yaitu sebuah corak yang mengutamakan rakyat kecil/atau jelata, bukan raja yang selama ini sudah berlangsung. Bahkan akibat dari pemikirannya ini Socrates sampai harus dihukum mati dalam peradilan yunani karena pemikirannya dianggap dapat menyesatkan generasi penerus untuk melawan kekuasaan penguasa pada saat itu.

Salah satu murid Socrateas, Plato terus mengembangkan pemikiran tentang demokrasi tersebut. Menurut Plato tidak perlu adanya kekayaan dan kemiskian yang terlalu berlebihan. Karena jika itu terjadi, maka kekuasaan akan menjadi milik kaum hartawan. Hal ini akan membuat kaum miskin melakukan perlawanan karena penindasan yang dilakukan kaum hartawan. Hal ini lah yang dapat membuat pertikaian dalam masyarakat. Namun dari sinilah akan terwujud demokrasi tersebut dimana rakyat yang miskinlan yang akan menguasai negara. Namun banyak kalangan yang meragukan pemikiran plato tersebut. Bagaimana mungkin orang miskin dapat mengelola negara tanpa dibekali pengetahuan yang cukup.

7

G.H. Sabine, Teori-Teori politik: Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Bandung: Dhiwantara.1963, Hal. 7.


(24)

15

Seperti juga Plato, maka Aristoteles beranggapan bahwa negara itu dimaksudkan untuk kepentingan warga negaranya, supaya mereka dapat hidup baik dan bahagia.8 Hal ini diperuntukan menciptakan keadilan bagi rakyat miskin.

Namun dalam pemikiran Aristoteles sekalipun negara harus menjamin kesejahteraan rakyatnya, namun tidak serta merta rakyat lah yang harus memerintah secara langsung. Menurut Aristoteles sangat sulit rasanya jika rakyat memerintah secara langsung karena rakyat tidak mempunyai pengetahuan yang baik dalam mengelola negara.9 Sehingga jabatan pemerintahan harus diberikan

kepada pemikir-pemikir/cendikiawan dan tetap menempatkan kedaulatan tertinggi kepada rakyat.

Sisitem pemerintahan yang bercorak demokrasi tidak mendapat sambutan hangat untuk seterusnya. Sistem ini bagi pemikir zaman pertengahan yang menganggap demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang acap kali mengakibatkan instabilitas. Pemikir abad pertengan menganggap bahwa sangat tidak mungkin memberikan kekuasaan pada rakyat, karena itu akan menciptakan kekacauan karena setiap rakyat akan berupaya untuk menjadi pemerintah. Hal ini akan menciptakan suasana yang tidak kondusif. Bagi pemikir pada zaman ini raja adalah wakil Tuhan di dunia, sehingga raja dan keturunannya lah yang berhak memerintah di dunia. Sehingga pda zaman itu banyak negara yang menganut corak monarki.

Setelah corak pemerintahan monarki bertahan lama, maka lahirlah pemikir-pemikir renaissance yang memperkenalkan corak pemerintahan

8

J. J. Von Schmid, Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Jakarta: Pusataka Sarjana. 1965, Hal. 31.

9


(25)

16

demokrasi yang di modifikasi dari corak demokrasi di yunani sebelumnya. Pemikir-pemikir pada zaman ini memakai konsepsi teori perjanjian masyarakat (kontrak sosial). Kontrak sosial adalah sebuah perjanjian dimana rakyat memberikan mandatnya kepada sebagain orang untuk memerintah yang disebut sebagai dewan, dan dewan tersebut bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya. Perkembangan sistem demokrasi juga didukung oleh penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh raja sehingga rakyat menuntut supaya kekuasaan tersebut tidak lagi diberikan kepada keturunan raja demi kehidupan yang lebih baik. Seperti itulah perjalanan konsepsi teori demokrasi dari zaman yunani kuno hingga zaman pencerahan (renaissance).

2.2.2. Demokrasi Modern

Demokrasi modern terjadi pada abad kesembilan belas dan abad kedua puluhan. Demokrasi dianggap sebagai fenomena politik modern karena hampir setiap negara menerapkannya sebagai sistem pemerintahan. Demokrasi pada hari ini ditafsirkan oleh Dahl sebagai satu sistem politik yang memberi peluang kepada rakyat jelata untuk membuat keputusan-keputusan secara umum.10 Artinya

persoalan negara tidak hanya menjadi persoalan bagi orang orang kaya saja melainkan menjadi persoalan bagi setiap rakyatnya. Dengan demikian setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk ikut ambil bagian dalam permasalahan negara.

Mac Iver dalam bukunya Negara Modern bahwa dalam sebuah negara demokrasi, rakyat tidak memerintah secara langsung, melainkan mengawal

10


(26)

17

pemerintah dengan cara turut aktif mengawasi pemerintahan. Sementara itu. Garner berpendapat bahwa demokrasi berarti pemerintahan yang mirip perwakilan. Pegawai-pegawai serta agen-agen dipilih oleh rakyat secara langsung. Mereka yang dipilih juga bertanggungjawab untuk melakukan sesuai apa yang dikehendaki oleh mereka yang memilih.

Demokrasi menurut Raymond Grttel haruslah memenuhi sayarat-sayarat sebagai berikut:

1. Bentuk pemerintahan harus didukung oleh persetujuan umum.

2. Peraturan-peraturan serta dasar-dasar awam dicipta oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum

3. Kepala negara dan kepala kerajaan dipilih secara langsung atau tidak langsung melalui pemilihan umum.

4. Hak memilih secara langsung diberikan kepada rakyat jelata atas dasar kesadaran

Jabatan-jabatan serta tugas-tugas pemerintahan dipegang oleh pegawai yang dilantik berdasarkan kelayakan daripada semua golongan rakyat.11

Dari penjelasan diatas dapat dilihat beberapa ciri dari corak pemerintahan demokrasi. Demokrasi mementingkan kehendak, pendapat serta pandangan rakyat itu sendiri. Demokrasi juga memeliki nilai-nilai yang bersifat fundamental antara lain hak asasi, kebebasan asasi, keadilan, persamaan, dan keterbukaan.

11


(27)

18

Demokrasi modern juga menuntut adanya lembaga-lembaga politik yang dapat menjamin keberlangsungan demokrasi dalam suatu negara. Sebuah negara dapat dikatakan demokratis apabila memiliki pemerintahan yang bertanggung jawab, dewan perwakilan rakyat yang mewakili semua golongan yang dipilih secara bebas dan adil, organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik, lembaga pers yang bebas dan sistem peradilan yang bebas dan mandiri.

2.2.3. Praktek Demokrasi

Mayoritas negara di dunia ini menerapkan demokrasi sebagai sistem pemerintahan dalam negaranya. Untuk mengetahui apakah suatu negara menganut paham demokrasi adalah dengan cara melihat adanya pemerintahan yang berdaulat pada negara tersebut, adanya pemisahan kekuasaan pada lembaga negara yang saling mengawasi, adanya kebebasan pers dan diselenggarakannya pemilihan umum secara berkala untuk melakukan pergantian pada jabatan-jabatan politik.12

Sekalipun demokrasi telah memiliki nilai-nilai yang mengatur didalamnya, namun tetap saja ada masalah yang timbul dalam setiap proses demokratisasi di suatu negara. Hal ini memancing para pemikir politik untuk memikirkan bagaimana sebenarnya konsep demokrasi yang ideal. Menurut Dahl, proses demokrasi yang ideal akan memenuhi lima kriteria:

1. Persamaan hak pilih: dalam keputusan kolektif yang mengikat, setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama dalam memberikan keputusannya.

12


(28)

19

2. Partisipasi efektif: Setiap warganegara mempunyai peran yang berimbang dalam menentukan agenda kerja dalam menentukan kesimpulan terakhir.

3. Pembeberan kebenaran: setiap warga negara harus mempunyai peluang yang sama dan memadai untuk melakukan penilaian yang logis demi mencapai hasil yang diinginkan

4. Kontrol terakhir terhadap agenda

5. Pencakupan: Masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum, kecuali pendatang sementara

Praktek demokrasi pertama kali diterapkan di negara kota (polis) di Yunani. Negara kota dianggap ideal sebagai sebuah negara karena keefisien negara dalam mengatur rakyatnya sangat tinggi. Negara kota mayoritas tidak memiliki wilayah yang terlalu lebar dan masyarakatnya/warga negaranya relatif sedikit. Hal ini memungkinkan untuk setiap golongan ataupun wilayah yang terdapat pada negara tersebut dapat terwakili dengan berimabang ditingkat pusat. Sehingga mandat/kepentingan yang ada dalam setiap elemen masyarakat dapat tersalurkan secara efektif.

Namun praktek demokrasi yang terjadi belakangan ini sangat jauh berbeda dari apa yang terjadi pertama kali di negara kota tersebut. Negara pada zaman sekarang ini memiliki wilayah yang lebih luas, dan warganegara yang sangat banyak. Belum lagi tipe warga negara yang bersifat heterogen seperti Indonesia yang jelas akan menjadi persoalan tersendiri bagi proses demokratisasi pada setiap negara. Roberth Dahl menilai bahwa sangat sulit untuk menciptakan iklim


(29)

20

demokrasi dalam negara dengan masyarakat yang pluralis. Hal ini disebabkan karena sanagt tidak mungkin setiap golongan/suku bangsa yang ada dalam negera tersebut dapat terwakili secara seimbang. Namun jika permasalah tersebut tidak dapat diatasi, maka kekacau juga akan terjadi karena adanya kecemburuan sosial antara golongan/kelompok yang satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, menurut Dahl dalam sebuah negara yang masyarakatnya pluralis, demokrasi merupakan sesuatu yang sifatnya dilematis.

2.2.4. Transisi Menuju Demokrasi

Transisi menuju demokrasi tidak bisa terbentuk begitu saja, melainkan mempunyai pola-pola yang terjadi sebelumnya. Transisi menuju demokrasi yang terjadi disuatu negara belum tentu sama dengan yang terjadi di negara lainnya. Pola-pola tersebutlah yang dapat membedakan transisi yang bagaimana yang terjadi pada suatu negara. Menurut Rod Hague ada emapat pola transisi menuju demokrasi. Pola pertama dari transisi tersebut adalah pola transformasi, dimana pemimpin negara mempunyai inisiatif untuk memimpin upaya demokratisasi di negaranya. Kasus seperti ini terjadi di Spanyol dan Brazil.

Pola keedua dari tansisi tersebut adalah replacement, dimana kelompok oposisi memimpin perjuangan menuju demokrasi dengan cara menggulingkan kekuasaan yang sebelumnya memerintah. Kasus seperti terjadi di Argentina dan Portugal. Pola yang ketiga adalah tranplacement, diaman demokratisasi berlangsung sebagai akibat negosiasi dan bergaining antara pemerintah dan kelompok oposisi. Ini terjadi di Nikaragua, Polandia dan Bolivia. Pola yang keempat adalah intervensi, yaitu lembaga-lembaga demokratis dibentuk dan


(30)

21

dipaksakan berlakunya oleh aktor dari luar seperti di granada dan panama. Namun pola ini memang jarang terjadi.

Teori transisi menuju demokrasi sangat diperlukan dalam penelitian ini untuk dapat melihat, pola orientasi seperti apakah yang sebenarnya terjadi dalam masa transsi dari Orde Baru ke Era Reformasi. Sehingga dapat memudahkan bagi peneliti untuk menganalisis pola orientasi transisi etnis Tionghoa.

2.2.5. Hubungan Transisi Politik dan Demokrasi

Transisi merupakan tahapan awal yang terpenting dan sangat menentukan dalam proses demokrasi. Fokus kajian transisi menuju demokrasi telah terjadi liberalisasi yang mungkin akan diakhiri dengan instalasi demokrasi. Dalam tahapan transisi yang terjadi disetiap negara melalui tahapan atau rute yang berbeda. Menurut Huntington (1991) menyatakan bahwa ada empat jalur transisi demokrasi yaitu pertama transformasi yang diprakarsai dari rezim seperti Taiwan, Mexico, India, chile, Turki, Brazil, Peru, Ekuador, Guetamala, norwegia, Pakistan dam Sudan. Kedua, transisi lewat transplecenient atau negosiasi antara rezim yang berkuasa dengan oposisi seperti Nepal, Nikarague, Mongolia, Brazilia, Salvador, korea selatan, Afrika Selatan. Ketiga, replacement atau pergantian atau tekanan oposisi dari bawah yang meliputi philipina, argentina dan keempat, Interfensi dari luar yang meliputi Grenada dan Panama.

Selanjutnya Donald Share (1987:19) menyatakan ada empat jalur proses transisi demokrasi menurut kecepatan serta keterlibatan pimpinan rezim, yaitu (1) demokrasi secara bertahap, melibatkan rezim secara konsensual, (2) transaksi


(31)

22

secara cepat, melibatkan rezim secara konsensual, (3) transisi lewat perjuangan revolusioner gradual nonkonseksual dan (4) transisi lewat perpecahan (revolusi, kudeta, keruntuhan, ektriksi yang berlangsung cepat tanpa melibatkan konsensual.

Menurut M.Akil Mochtar dalam rangka membangun demokrasi di Indonesia maka perlu adanya faktor pendukung yaitu13

1. Keterbukaan sistem politik

2. Budaya politik partisipatif egalitarian

3. Kepemimpinan politik yang berorientasi kerakyatan 4. Rakyat yang terdidik, cerdas dan peduli

5. Partai politik yang tumbuh dari bawah 6. Penghargaan terhadap hukum

7. Masyarakat Madani yang tanggap dan bertanggung jawab

8. Dukungan dari pihak asing dan pernikahan pada golongan mayoritas Bertolak dari kenyataan tersebut di atas, maka saat ini strategi yang harus dimainkan oleh warga Tionghoa adalah menempatkan diri sesuai dengan kenyataan yang ada, sebagai ‘outsider within’ dan ‘insider without’, dalam arti berhati-hati menyikapi power relations atau hubungan kekuasaan. Persoalan posisi warga Tionghoa di dalam negara-bangsa Indonesia dalam kaitannya dengan Tiongkok secara politis selalu menjadi „duri dalam daging’, karena sebagaimana dikatakan oleh Leo Suryadinata di atas, konsep ‘indigenism’ atau „kepribumian’ akan selalu menempatkan orang Tionghoa sebagai orang asing yang harus diragukan loyalitasnya karena sifat keasingannya itu.


(32)

23

Liberalisasi politik dipandang sebagai padanan yang serasi dengan liberalisasi ekonomi. Inilah yang selalu dipromosikan oleh Amerika Serikat. Mereka yakin bahwa kombinasi pemerintahan demokratis, pasar bebas, sektor swasta yang dominan serta terbuka bagi perdagangan, adalah resep bagi kemakmuran dan pertumbuhan. Francis Fukuyama dalam The End of History,14 mengidentikkan keruntuhan tembok Berlin dengan berakhirnya suatu sistem ekonomi-politik yang sempat menguasai dunia ialah komunisme. Sebagai penggantinya adalah sistem persaingan, yaitu demokrasi liberal yang diiringi dengan ekonomi liberal atau yang kita kenal dalam sebutan ekonomi pasar bebas. Gabungan ekonomi pasar bebas dan demokrasi liberal, menurut Fukuyama, menghasilkan kemajuan dan kemakmuran tidak saja di negara maju tetapi juga di negara-negara berkembang.

Sedangkan Milton Friedman dalam Capitalism and Freedom,15 menghubungkan antara kebebasan politik (demokrasi) dan kebebasan ekonomi (kapitalisme). Ia mengaitkan dua jenis kebebasan, di satu pihak, kebebasan bergerak, kebebasan mengadakan tukar-menukar dan kebebasan atas hak miliki, dengan kebebasan bergerak, kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan untuk berserikat di lain pihak. Kalau cara pandangan ini ditempatkan dalam kerangka perjuangan kaum berjuis, maka penggabungan itu sangat masuk akal. Kaum berjuis dianggap memperjuangkan kebebasan ekonomi dan kebebasan politik sekaligus ketika mereka berhadapan dengan penguasa politik yang absolut, atau ketika mereka berhadapan dengan kebijakan merkantilis di abad ke 18 dan ke

14

Francis Fukuyama, The End of History and the Las Man, London: Penguin, 1989. 15

Milton Friedman, Capitalism and Freedom, Chicago: University of Chicago Press, 1965.


(33)

24

19. Pada waktu itu kaum berjuis sangat menentukan politik: No bourgeosie, no democracy. Begitu kaum berjuis berhasil melepaskan diri dari cengkeraman ekonomi negara, mereka juga bisa meloloskan diri dari cengkeraman politik negara. Dengan kata lain, kapitalisme mendorong demokrasi.16

2.2.6. Budaya Politik

Teori tentang budaya politik merupakan salah satu bentuk teori yang dikembangkan dalam sistem politik, yang mana teori tentang sistem politik ini diajukan oleh David Easton dan kemudian dikembangkan oleh Gabriel Almond. Hal ini sangat mewarnai kajian ilmu politik pada masa itu (1950-1970). Adapun pendapat Almond dan Verba menjelaskan bahwa budaya politik merupakan sikap individu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah sistem politik.17

Budaya politik tidak lain dari orientasi psikologis terhadap objek sosial, yang mana sistem politik kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat cognitif, afective, dan evaluative. Budaya politik yang demokratik sangat dipengaruhi oleh budaya politik yang partisipatif sehingga sangat mendorong untuk terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratik dan stabil. Budaya politik yang demokratik ini menyangkut “suatu

16

Bdk. pandangan Anthony Downs dalam An Economic Theory of Democracy (New York: Harper and Row, 1957) tentang paralelisme antara perusahaan dalam kapitalisme dengan partai politik dalam demokrasi. Keduanya memerlukan sistem kompetisi terbuka. Perusahaan bersaing untuk memperebutkan konsumen sedangkan partai politik memperebutkan pemilih. Baik perusahaan maupun partai politik bekerja dengan asumsi yang sama, yaitu kedaulatan konsumen atau pemilih.

17


(34)

25

kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi, dan sejenisnya, yang menopang terwujudnya partisipasi,”18

Budaya politik didefinisikan oleh Almond dan Verba sebagai suatu sikap orientasi yang khas suatu warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu.19

Pengertian budaya politik ini membawa pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu orientasi sistem dan orientasi individu.

Sementara itu, mengenai objek politik menurut Albert dan Verba mencakup tiga komponen; kognitif, afektif, dan evaluatif.20 Komponen kognitif

digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan seseorang mengenai jalannya sistem politik, tokoh-tokoh pemerintahan, kebijaksanaan yang mereka ambil, atau mengenai simbol-simbol yang dimiliki sistem politiknya secara keseluruhan. Komponen afektif berbicara tentang aspek perasaan seorang warga negara yang dapat membuatnya menerima atau menolak sistem politik tertentu. Sikap yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam keluarga atau lingkungan seseorang juga dapat mempengaruhi pembentukan perasaan tersebut. Konsep budaya politik pada hakikatnya berpusat pada imajinasi (pikiran dan perasaan) manusia yang merupakan dasar semua tindakan. Oleh karena itu, dalam menuju arah pembangunan dan modernisasi suatu masyarakat akan menempuh jalan yang berbeda antara satu masyarakat dengan yang lain dan itu terjadi karena peranan

18 Almond, Gabriel A. dan Sidney Verba. 1963. The Civic Culture. Princeton: Princeton University Press.hal:178

19

Ibid.hal.190 20

Freire, Paulo. 2002. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif F. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(35)

26

kebudayaan sebagai salah satu faktor. Budaya politik ini dalam suatu derajat yang sangat tinggi dapat membentuk aspirasi, harapan, preferensi, dan prioritas tertentu dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan sosial politik.

Wilayah politik, baik pada dataran praktis maupun teoretis adalah wilayah yang berkaitan dengan etika karena politik berkait erat dengan berpikir dan berperilaku dalam hubungannya dengan kekuasaan, baik untuk mendapatkan atau mengelolanya. Etika politik tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari etika kemanusiaan secara universal.21 Politik tidak hanya berurusan dengan

kepentingan-kepentingan kekuasaan, tetapi juga dengan asas-asas moral, dengan nilai-nilai kepentingan nasional, kesejahteraan umum, dan kehormatan nasional. Dapat dikatakan bahwa nilai-nilai moralitas menjadi asas penting dan niscaya dalam politik. Tanpa moral politik hanya akan menjadi salah satu bentuk penyengsaraan sekaligus penindasan bagi masyarakat. Dalam kehidupan politik seringkali muncul fenomena politik kekuasaan, bukan politik moral, yaitu tindakan politik yang semata-mata untuk merebut dan memperoleh kekuasaan karena dengan kekuasaan politik yang dimilikinya seseorang atau kelompok akan memperoleh keuntungan materi, popularitas, dan fasilitas yang membuat hidupnya serba berkecukupan dan memperoleh status sosial yang tinggi. Dalam format politik yang demikian dapat dipastikan, siapapun akan mengorbankan apa saja dan dengan cara bagaimanapun berusaha untuk mencapai tujuan politiknya. Dengan kata lain, kekuasaan adalah segala-galanya sehingga harus diperjuangkan dengan mati-matian.

21 H.A.R. Tilaar. 1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi


(36)

27

Sejak pembahasan pertama oleh dua filsuf Yunani klasik, Plato dan Aristoteles, mengenai hakikat kegiatan politik memang berkaitan dengan masalah moral. Politik didefenisikan sebagai keperihatinan pada isu-isu umum yang

mempengaruhi keseluruhan kegiatan komunitas. Mereka membedakan

kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Artinya, kepentingan umum dipandang sebagai hal yang lebih tinggi secara moral. Aristoteles menyatakan, “Manusia pada hakikatnya adalah makhluk politik; sudah menjadi pembawaannya hidup dalam suatu polis”. Hanya dalam polis manusia dapat mencapai nilai moralnya yang paling tinggi. Di luar polis, manusia dapat menjadi subhuman (binatang buas) atau superhuman (Tuhan).22

Berdasarkan konsepnya, keadilan terdiri atas kemerdekaan dan persamaan. Setiap orang harus memiliki hak yang sama terhadap kebebasan dasar menurut hukum, meliputi kebebasan mengemukakan gagasan, berbicara, berorganisasi, dan memberikan suara. Dengan demikian, kegiatan politik harus berusaha untuk mewujudkan kepentingan bersama sekaligus upaya penegakan unsur-unsur keadilan.

Dalam budaya politik, birokrasi pemerintahan Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga kini masih belum bergeser dari paradigma kekuatan, bukan pelayanan. Dalam paradigma kekuasaan terkandung hak-hak untuk mengatur, untuk itu mereka memperoleh sesuatu dari mereka yang diatur. Rakyat sebagai pihak yang dikuasai, bukan yang menguasai. Oleh karena itu, rakyat harus memberikan sesuatu kepada penguasa agar dapat melayaninya. (perlu

22

Aristotle. 1962. The Politics. Terj. J. A. Sinclair, Harmondsworth, Middlesex. England: Penguin Books


(37)

28

ditambahkan budaya politik dan perubahan orientasi politik tionghoa sebagai minoritas a politik)

Aktivitas politik orang Tionghoa di Baturaja Pasca Reformasi di artikan sebagai suatu kegiatan politisasi untuk mengembalikan hak-hak warga negara, baik secara terorganisasi maupun tidak, baik yang bersifat sementara maupun jangka panjang di Baturaja. Hak-hak warga negara yang dimaksudi adalah hak-hak sipil, hak-hak politik dan hak-hak sosial. Selama orde baru, orang Tionghoa di Baturaja hanya menikmati sebagian kecil sehingga terasa ada diskriminasi.

Aktivisme politik itu berbeda dari partisipasi politik dalam hal kemunculannya aktivisme politik muncul dalam situasi krisis, sementara partisipasi politik merupakan kegiatan rutin warga negara dalam situasi tidak krisis. Aktivisme politik etnis Tionghoa di Baturaja mengandung unsur-unsur urgensi yang berisi tuntutan akan hak-hak yang hilang.

Situasi reformasi Tahun 1998 merpakan situasi krisis yang dimanfaatkan oleh semua kelompok yang tertindak selama orde baru, termasuk orang Tionghoa untuk dalam memperjuangkan hak-hak kewarganegaraan mereka. Aktivisme politik orang Tionghoan di Baturaja terarah kepada hak untuk memperoleh kehidupan politik dan sosial secara penuh. Namun untuk sampai pada tujuan itu, beberapa diantara mereka terlebih dahulu menuntut pengakuan tempat dalam sejarah perjuangan bangsa. Perjuangan menuntut kembali hak-hak terjadi sesudah atau berbarengan dengan perjuangan mereka. Sebagai indikator terpenting adalah pengakuan akan hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia.


(38)

29

Baturaja merupakan Ibu Kota Kabupate Ogan Komering Ulu, merupakan masyarakat yang plural, terdiri dari masyarakat etnis Ogan, etnis komering, etnis Jawa, Etnis padang, etnis Ulu dan etnis Tionghoa. Untuk menghilangkan hal itu maka etnis Tionghoa berpartisipasi penuh terhadap pembangunan di Baturaja, mereka melakukan kegiatan pembangunan secara terbuka, untuk menghilangkan prasangka dan sikap eksklusif yang dapat menimbulkan stereotip negatif di masyarakat Baturaja.

Sebagai Etnis Tionghoa lokal yang merupakan peranakan cina, mereka berorientasi melanjutkan kehidupan untuk melebur menjadi satu dengan kehidupan warga negara, dan menginginkan pengakuan kebersamaan dalam kehidupan yang memenuhi pikiran mereka. Dengan segala permasalahan yang dihadapi oleh Etnis Tionghoa di Baturaja meleburkan diri dalam kehidupan warga masyarakat Baturaja, untuk memperoleh pengakuan hak politik dan sosial mereka.


(39)

30

2.3.Kerangka Pikir

Dari ketiga komponen tersebut di atas yang digunakan penulis untuk menentukan pola orientasi politik.

Skema Kerangka Pikir:

Pola orientasi

Politik tingkat

Masyarakat

1.

Orde Baru

2.

Era Reformasi

Teori

Transisi

Politik

Orientasi

Politik

Etnis

Tionghoa

Di

Baturaja

Pelaksanaan

DEMOKRASI


(40)

31

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Dalam penelitian kualitatif yang terpenting adalah bagaimana menentukan informan kunci (key informan) yang sarat informasi sesuai dengan fokus penelitian.1 Metode kualitatif dapat

digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu dibalik fenomena yang sedikitpun belum diketahui. Metode ini dapat juga digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru sedikit diketahui, serta dapat membantu peneliti memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif.2

3.2 Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus, pertama transisi sosial dan orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa di Baturaja, kedua, faktor-faktor yang mendorong dan meluasnya tingkat orientasi politik etnis Tionghoa di Kabupaten Ogan Komering Ulu dalam penguatan komitmen kebangsaan.

Dalam orientasi politik aspek-aspek yang akan dikemukakan adalah orientasi pada masyarakat dan orientasi pada individu. (fokus perlu dielaborasi

1

Tanjung. 2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Proposal, Skripsi, Tesis). Jakarta: Kencana Prenada. hlm. 63.

2

Straus, Anselm & Corbin. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 5.


(41)

32 aspek-aspek perubahan orientasi politik apa saja yang akan diteliti, sesuaikan dengan teori budaya dan orientasi politik..

3.3 Penentuan Informan 3.3.1 Profil Informan

Penelitian mengenai orientasi politik etnis Thionghoa di Baturaja memerlukan informan yang mempunyai pemahaman yang berhubungan dengan masalah penelitian guna memperoleh informasi yang lebih akurat. Informan dalam penelitian adalah mereka warga etnis Tionghoa yang aktif dalam kehidupan masyarakat di Kabupaten Ogan Komering Ulu. Informan tidak hanya menjalankan aktor sosialnya tetapi juga aktor politik, sebab beliau tidak hanya memberikan informasi tentang dirinya tetapi juga orang lain atau hal lain yang berkaitan dengan penelitian.

Penulis memperoleh data melalui observasi, rekaman dan hasil wawancara dengan informan. Wawancara dilakukan dengan tatap muka langsung, teknik wawancara dilakukan dengan depth interview. Penulis melakukan wawancara terhadap beberapa objek, subjek penelitian yang terpilih sebagai informan penelitian sebagai berikut.

a. Abun (Chandra Agus)

Abun adalah penduduk keturunan Cina yang lahir dan di besarkan di Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu. Ia di lahirkan di Baturaja pada tahun 1925 dalam kesehariannya adalah seorang Tabib, selain itu juga ia sebagai Ketua Bakom Etnis Thionghoa. Prestasinya di bidang kesehatan beliau pernah


(42)

33 memperoleh penghargaan dari Presiden RI dan Bupati Ogan Komering Ulu sebagai sukarelawan di bidang kesehatan pada Tahu 2007 di Aceh pada Bencana Alam Tsunami. Aktivitasya di Bakom Etnis Tionghoa sebagai ketua dan sekaligus sesepuh etnis Tionghoa di Baturaja.

Abun merupakan panutan bagi warga etnis Tionghoa di Baturaja, hal ini dikarenakan sebagai warga etnis Tionghoa yang paling lama tinggal di Baturaja. Dalam pengalaman kehidupan social etnis Tionghoa Abun memberikan banyak informasi mengenai etnis Tionghoa di Baturaja dan memberikan informasi kepada penulis untuk melakukan wawancara kepada informan lainnya.

b. Parwanto

Parwanto di lahirkan di Baturaja pada tanggal 17 Juni 1973, pendidikan S1 Ilmu Hukum , Parwanto mulai berkecimpung di dunia politik sejak tahun 2002. Pertama kali ia terjun kedunia politik pada Partai Demokrat. Jabatannya Waktu itu sebagai Ketua Demokrat. Parwanto mulai berkecimpung di dunia politik sejak tahun 2002. Pertama kali ia terjun kedunia politik pada Partai Demokrat.Pemilu Legislatif Tahun 2004 beliau terpilih menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 2004-2009, 2009-2014, karena terjadi perselisihan di Partai Demokrat Beliau keluar dari Anggota Partai Demokrat dan beralih ke PAN, sekarang Parwanto menjabat menjadi Ketua DPC PAN Kabupaten Ogan Komering Ulu.


(43)

34

c. Akun (Herwin Kuncoro) Ketua Indonesia Chinese Social Association DPC Kabupaten OKU

Erwin Kuncoro berusia 68 tahun yang sering di panggil Akun adalah Ketua Indonesia Chinese Social Association (ICSA) DPC Kabupaten OKU. Akun adalah keturunan dari Ahiau orang yang pertama kali dating ke baturaja. Keluarga Ahiau adalah suku cina yang sangat terpandang di Baturaja pada jaman itu.Motivasinya dalam organisasi tersebut karena dia menginginkan persamaan hak bagi kehidupan etnis Tionghoa di Baturaja. Dalam kesehariannya Akun aktif bergerak di bidang usaha bengkel mobil. Mempunyai karyawan sebanyak 13 orang.

d. Acan (Hasanudin) Tokoh Muda Masyarakat Etnis Thionghoa

Hasanudin yang seriing di panggil Acan adalah Anak dari Akun beliau di lahirkan di Baturaja pada tanggal 23 Februari 1964. Pendidikan terakhirnya adalah sarjana hokum dari Universitas Trisakti Jakarta. Aktvitas beliau sehari hari sebagai pengusaha terbesar di Baturaja. Orang tua Acan adalah seorang pengusaha terbesar di Baturaja. Selain itu Acan selaku tokoh muda etnis Tionghoa dia juga sebagai salah satu Pembina dan pelatih budaya barongsai Baturaja. Anak didiknya sebanyak 45 orang etnis Tionghoa.

3.3.2. Deskripsi Etnis Tionghoa di Baturaja

Baturaja merupakan Ibu Kota Kabupaten Ogan Komering Ulu, Nama Kabupaten Ogan Komering Ulu diambil dari nama dua sungai besar yang melintasi dan mengalir di sepanjang wilayah kabupaten OKU, yaitu sungai Ogan


(44)

35 dan Sungai Komering. Berdasarkan sejarah, sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Komering Ulu Nomor 9 Tahun 1997 tanggal 20 Januari 1997, Tahun 1878 ditetapkan sebagai tahun kelahiran nama Ogan Komering Ulu. Sedangkan berdasarkan peraturan perundang-undangan, Kabupaten Ogan Komering Ulu terbentuk dengan keluarnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembubaran Negara Bagian Sumatera Selatan dan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Sumatera Selatan menjadi Propinsi didalam Negara Republik Indonesia.

Secara geografis Kabupaten Ogan Komering Ulu (sebelum pemekaran) terletak diantara 103o40’ Bujur Timur sampai dengan 104o33’ Bujur Timur, dan 3o 45’ Lintang Selatan sampai dengan 4o 55’ Lintang Selatan, atau terletak pada jalur Lintas Tengah Trans Sumatera, yang menghubungkan Provinsi Lampung dengan Provinsi Bengkulu, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :


(45)

36

Gambar 2.1 Peta Kabupaten OKU Sumber : PEMDA OKU 20113

Sebelah Utara : Kecamatan Rambang dan Kecamatan Lubai Kabupaten Muara Enim dan Kecamatan Muara Kuang Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan;

Sebelah Selatan : Kecamatan Simpang, Kecamatan Muaradua, Kecamatan Buay Sandang Aji, Kecamatan Buay Runjung, Kecamatan Kisam Tinggi dan Kecamatan Muaradua Kisam Kabupaten OKU Selatan Provinsi Sumatera Selatan;

Sebelah Barat : Kecamatan Semendo Darat Ulu, Kecamatan Semendo Darat Laut, Kecamatan Tanjung Agung dan Kecamatan Lubai Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan;


(46)

37

Sebelah Timur : Kecamatan Cempaka, Kecamatan Madang Suku I,

Kecamatan Madang Suku II, Kecamatan Buay Pemuka Peliung dan Kecamatan Martapura Kabupaten OKU TIMUR Provinsi Sumatera Selatan.

97,06 KM2 atau 4,93% dari luas Provinsi Sumatera Selatan (97.257,72

KM2) yang terbagi dalam 12 Kecamatan, 139 Desa, dan 14 Kelurahan. Topografi

dan ketinggian diwilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu berkisar antara 100 – 1.000 meter lebih diatas permukaan laut, Bentuk wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu bervariasi dari datar sampai bergunung – gunung atau dari 0–2 % hingga diatas 40 %. Keadaan lereng 0-2 % (luas 61.781 ha) lereng 2-15 % (luas 142.968 ha), lereng 15-40 % (luas 71.564 ha).

Kabupaten OKU mempunyai iklim tropis dan basah dengan temperatur bervariasi antara 22oC – 31oC, dengan curah hujan terendah 3.038 mm dijumpai di Kecamatan Lengkiti dan curah hujan tertinggi di Kecamatan Pengandonan sebesar 4.881 mm, atau antara 260 mm – 448 mm setiap bulannya. Secara geologis wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu terbentuk pada zaman tersier dan kwarter oleh batuan granit, tufa andesit dan formasi andesit tua. Dari susunan batuan – batuan tersebut terkandung berbagai macam kekayaan alam yang potensial antara lain batubara, batu marmer, minyak bumi, batu kapur, emas, nikel, besi, intan, pasir, koral dan lain-lainnya. Sistem sungai-sungai yang ada diwilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu adalah Sistem Sungai Ogan, yang bermuara ke sungai ini antara lain Sungai Gerantong, Sungai Air Jawi- Jawi, Sungai Air Kuang Besar, Sungai Air Jernih, Sungai Air Kisam, Sungai Air Lekis, Sungai Kurup, Sungai Air


(47)

38 Laye, Sungai Laham, Sungai Air Lengkayap, Sungai Ari Saka, Sungai Air Tebangka, Sungai Air Selaur, Sungai Air Kungkilan, dan Air Kiti. Jika dilihat dari sistem sungai tersebut maka Kabupaten Ogan KOmering Ulu kebutuhan air baku diwilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu ini tersedia cukup besar, baik untuk keperluan rumah tangga, irigasi pertanian, maupun untuk pengembangan perikanan darat.

Kabupaten Ogan Komering Ulu dikenal juga dengan jalur perniagaan, karena posisinya berada di jalur barat Propinsi Sumatera selatan. Sungai merupakan lalu lintas perdagangan yang digunakan para saudagar sebagai jalur angkutan barang-barang niaga kebutuhan masyarakat di sini. Kebiasaan perdagangan dengan menggunakan lalulintas sungai telah mewarisi para saudagar kawasan ini yang berlangsung sejak zaman Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di kota Palembang.

Etnis Cina datang ke Baturaja yang secara historis telah melakukan hubungan dagang sejak awal abad Masehi tentunya juga mempunyai sejarah yang panjang tentang pemukimannya. Meskipun demikian, keterbatasan data tidak memungkinkan untuk merekonstruksi pola pemukimannya sejak awal kehadiran mereka di Baturaja. Pemukiman Etnis Cina di Baturaja sejak masa colonial.

Berdasarkan data sejarah dapat diketahui bahwa kelompok etnis Cina sudah mulai mengadakan kontak dagang sejak abad ke-7 Masehi, saat daerah ini masih dikuasai oleh Sriwijaya. Pada masa kemudian kedatangan orang-orang Cina yang menetap di Baturaja justru melahirkan kepemimpinan kelompok etnis Cina


(48)

39 di wilayah ini. Etnis Cina yang ada di Palembang berasal dari Canton, Chang-chou dan Ch’uan-chou.

Baturaja merupakan salah stau kota yang memiliki kawasaan pecinaan di Kabupaten Ogan Komering Ulu. Populasi etnik Tionghoa di kabupaten ini pun cukup signifikan jika dibandingkan dengan populasi etnik Tionghoa di kabupaten lain yang ada di Palembang. Terkhusus untuk etnik Tionghoa, hampir semuanya bermukim di kecamatan Baturaja Lama, khususnya di sekitar jalan Jendral Sudirman, Jalan Akmal, dan Jalan Dr. Sutomo yang merupakan kawasan perdagangan sekaligus daerah pecinaan (China town) yang dimiliki oleh Kabupaten Ogan Komering Ulu. Menurut Abun (Ketua BAKOM Etnis Tionghoa), seorang sesepuh masyarakat Tionghoa yang ada di Baturaja, bahwa kedatangan warga etnik Tionghoa di Baturaja sudah sejak lima sampai enam generasi yang lalu atau sekitar akhir abad 18 dan awal abad 17.

Keberadaan Warga di Tionghoa di Baturaja sangat berpengaruh dalam kehidupan keseharian masyarakat Baturaja. Masuknya warga Tionghoa di Baturaja dilakukan dengan perdagangan, untuk mencari penghidupan. Salah satu lokasi yang pernah ditempati oleh Etnis Tionghoa di daerah Bukit Dempo sekarang Jalan Ir Sutami dan Pasar Baturaja sekarang dikenal dengan daerah Pasar Atas.

Komunitas atau kelompok etnik Tionghoa yang ada di Kota Baturaja berjumlah 200 KK dan secara keseluruhan berjumlah 1500 jiwa, 3mereka

berasal dari berbagai kelompok masyarakat yang memiliki satu kesamaan baik itu

3


(49)

40 suku, agama, ideologi, kepentingan dan lain-lain. Umumnya mereka berprofesi sebagai pedagang, dan sebagian diantaranya berprofesi sebagai tenaga profesional seperti dokter, dokter gigi, notaris, dan lainnya.

Warga etnik Tionghoa di Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu umumnya telah berbaur dengan warga setempat bahkan tak jarang yang melakukan kawin-mawin dengan penduduk asli. Dalam rangka pembauran tersebut, maka komunitas Tionghoa di Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu mengorganisasikan diri dalam sebuah wadah yang bernama Bakom PKB (Badan Komunikasi Persatuan dan Kesatuan Bangsa) yang diketuai oleh notaris Abun (Agus Chandra) sekaligus menjadi sesepuh Etnis Tionghoa di Baturaja.

Dalam penelitian ini penulis telah melalukan penelitian tentang orientasi politik etnis Tionghoa di Kota Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu. Etnis Apabila dilihat dari pengertian luas kelompok etnik maka setiap orang bisa berada dalam beberapa komunitas etnik,. sehingga lingkungan itu akan memiliki pengaruh dalam perilaku politik seseorang.

Dalam ruang demokrasi yang terbuka seluas-luasnya memberikan kesempatan setiap masyarakat untuk berekspresi. Membuka kesadaran primordial bagi masyarakat tertentu untuk menunjuk seseorang dari kelompoknya untuk menjadi kepala daerah. Serta membuka ruang bagi para elit politik membangun isu primordial untuk memobilisasi pilihan masyarakat etnik tertentu kepadanya.


(50)

41

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik snowballing. Cara memperoleh informan dengan teknik ini yang pertama adalah menemukan gatekeeper yang paham tentang objek penelitian dan dapat membantu penulis selama penelitian ini sekaligus orang pertama yang diwawancarai, kemudian dapat menunjukkan informan lain yang lebih paham dan dapat diwawancarai untuk melengkapi informasi yang sudah didapat penulis.

Sebagaimana dalam penelitian kualitatif maka penulis menggunakan metode wawancara mendalam (in-depth interview) dengan informan yang memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan penelitian ini. Wawancara dilakukan dengan cara terbuka dimana informan mengetahui kehadiran penulis sebagai peneliti yang melakukan wawancara di lokasi penelitian, dan dalam melakukan wawancara dengan para informan penulis menggunakan alat rekam sebagai alat bantu.

3.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah proses kategori urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar, ia membedakannya dengan penafsiran yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola araian dan mencari hubungan diantara dimensi-dimensi uraian. Analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis seperti yang disaranakan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan tema dan


(51)

42 hipotesis tersebut, jika dikaji definisi atas lebih menitik beratkan pada pengorganisasian data sedangkan definisi tersebut dapat pengorganisasian data sedangkan definisi yang kedua lebih menekankan maksud dan tujuan analisis data, dan dari kedua definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan, analisis data, adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

Analisis data bermaksud atas nama mengorganisasikan data, data yang terkumpul banyak sekali dan terdiri dari catatan lapangan dan komentar peneliti, gambar, foto, dokumen, laporan, dan lain-lain, dan pekerjaan analisis data adalah mengatur, mengurutkan, mengelompokkan dan memberikan suatu kode tertentu dan mengkategorikannya, pengelolaan data tersebut bertujuan untuk menemukan tema dan hipotesis kerja yang akhirnya diangkat menjadi teori substantif4

Analisis data dilakukan dalam suatu proses, proses berarti pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data dan dilakukan secara intensif, yakni sesudah meninggalkan lapangan, pekerjaan menganalisis data memerlukan usaha pemusatan perhatian dan pengarahan tenaga fisik dan pikiran dari peneliti, dan selain menganalisis data peneliti juga perlu mendalami kepustakaan guna mengkonfirmasikan atau menjustifikasikan teori baru yang barangkali ditemukan.

4

Lexy J.Moleong, 2007. Metodologi penelitian kualitatif, Bandung :PT Remaja Rosdakarya. Hal:103.


(52)

43

3.6 Keabsahan Data

Pada dasarnya dalam penelitian kualitatif belum ada teknik yang baku dalam menganalisa data, atau dalam analisa data kualitatif, tekniknya sudah jelas dan pasti, sedangkan dalam analisa data kualitatif, teknik seperti itu belum tersedia, oleh sebab itu ketajaman melihat data oleh peneliti serta kekayaan pengalaman dan pengetahuan harus dimiliki oleh peneliti . Dalam menguji keabsahan data peneliti menggunakan teknik trianggulasi, yaitu pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut, dan teknik trianggulasi yang paling banyak digunakan adalah dengan pemeriksaan melalui sumber yang lainnya.

Menurut Moloeng, trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik trianggulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya.5 Denzin

membedakan empat macamtrianggulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori. Trianggulasi dilakukan melalui wawancara, observasi langsung dan observasi tidak langsung, observasi tidak langsung ini dimaksudkan dalam bentukpengamatan atas beberapa kelakukan dan kejadian yang kemudian dari hasil pengamatan tersebut diambil benang merah yang menghubungkan di antara keduannya.6

5

Ibid. 2007. hal:330

6


(53)

44 Teknik pengumpulan data yang digunakan akan melengkapi dalam memperoleh data primer dan skunder, observasi dan interview digunakan untuk menjaring data primer yang berkaitan orientasi politik etnis Thionghoa di Baturaja, sementara studi dokumentasi digunakan untuk menjaring data skunder yang dapat diangkat dari berbagai dokumentasi tentang politik etnis Thionghoa.


(54)

113

BAB V PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian bab terdahulu dapat disimpulkan bahwa focus masalah tentang orientasi politik etnis Tionghoa di Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu adalah sebagai berikut.

a. Orientasi Politik Etnis Tionghoa di Baturaja ditinjau dari orientasi kognitif yang berupa pemahaman tentang pemahaman Pancasila dan system pemerintahan (kenegaraan) yang digunakan untuk membentuk asmilasi dan akulturasi. Orientasi afektif politik etnis Tionghoa Baturaja merasakan bangga menjadi warga Negara Indonesia karena hal ini sesuai dengan pemahaman leluhur mereka dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga orientasi evaluative masyarakat etnis Tionghoa di Baturaja berpartisipasi dalam memberikan dukungan dalam pelaksanaan pemilukada dan mendirikan organisasi kemasyarakatan etnis Tionghoa di Baturaja sebagai ikatan priomdiliasme.

b. Orientasi Politik etnis Tionghoa Baturaja pada masa transisi orde baru ke reformasi adalah merupakan perubahan orientasi individu dalam memfokuskan solidaritas internal, perjuangan identitas kultural, penyadaran publik di berbagai area serta pluralisme. Factor-faktor orientasi politik politik etnis tionghoa memiliki kaitan erat dengan ideology, pengakuan akan etnis Tionghoa dalam hak


(55)

114

politik serta kenyamanan dalam menjalankan bisnis dan kesejahteraan etnis Tionghoa di Baturaja.

c. Berdasarkan hasil analisis orientasi politik etnis Thionghoa di Baturaja berorientasi terhadap kekuasaan dan kesejahteraan.

6.2. Saran

Saran yang penulis berikan dalam penulisan ini sebagai berikut,.

a. Elit politik etnis Tionghoa sejak reformasi ini masih diwarnai dari segi peningkatan kuantitas, namun minim dari segi kualitas. Hal ini lantaran adanya stigma buruk terhadap etnis Tionghoa untuk merangsek sebagai politisi di kota Baturaja. Seharusnya elit politik ini membangun kerjasama dengan stakeholder yang ada untuk mengembangkan minat dan kemampuannya dalam berpolitik dalam membentuk jaringan dan merawat jaringan yang ada.

b. Factor keterlibatan dari etnis tionghoa ini sendiri masih banyak di dominasi dari landasan sosiologis yaitu pimpinan, keluarga teman. Pelibatan actor politik (elit politik) etnis Tionghoa di kancah pergulatan sosial masih terbilang minim baik secara terbuka, elit tionghoa masih berkutat dalam sisi ekonomi dan kebudayaan. Seharusnya elit politik harus lebih memiliki jiwa sosial untuk membangun modal sosial dan modal politik untuk mampu membangun elit politik yang tangguh ke depan dan menghindarkan dari dugaan bahwasanya etnis Tionghoa Baturaja lebih cenderung pada ekonomi daripada sosial.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Aristotle. 1962. The Politics. Terj. J. A. Sinclair, Harmondsworth, Middlesex. England: Penguin BooksFrancis Fukuyama.1992. The End of History and the Last Man, The Free Press.

Almond, Gabriel A. dan Sidney Verba. 1963. The Civic Culture. Princeton: Princeton University Press.

Andrain, Charles F. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Guillermo O’ Donnell & Philippe C. Schmitter,Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan ketidakpastian, Jakarta: LP3ES. 1993, Hal. 1.

G.H. Sabine.1963. Teori-Teori politik: Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Bandung Dhiwantara.1963

Juliastutik: Perilaku Elit Politik Etnis Tionghoa Pasca Reformasi. HUMANITY, Volume 6, Nomor 1, September 2010.

J. J. Von Schmid.1965.Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Jakarta: Pusataka Sarjana. Hal. 31.

Lexy J.Moleong, 2007. Metodologi penelitian kualitatif, Bandung :PT Remaja Rosdakarya.

Larry Diamond.2001. Konsolidasi Demokrasi di Pasifik Asia, dalam Aleksius Jemadu, HI Kawasan di Asia Pasifik, Pascasarjana Unpar Bandung. ----.2003.developing democracy toward consolidation. Institite For Research and

Empowermwnt (IRE) Yogyakarta.

Revli Mandagie. 2009. Budaya Tionghoa : Etnis Tionghoa dalam Perjalanan Perpolitikan di Indonesia, Media Indonesia.

Mohammad Hatta. 1980. .Alam Pikiran Yunani, Indonesia: UI Press: K. Ramanhatan, 1988. Konsep Asas Politik, Pulau Pinang: ALMS Digitasl. Sulastomo, Demokrasi atau Democrazy, Jakarta: Rajawali Pers. 2001


(57)

Tanjung. 2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Proposal, Skripsi, Tesis). Jakarta: Kencana Prenada. hlm. 63.

Straus, Anselm & Corbin. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 5.

Buku.


(1)

43 3.6 Keabsahan Data

Pada dasarnya dalam penelitian kualitatif belum ada teknik yang baku dalam menganalisa data, atau dalam analisa data kualitatif, tekniknya sudah jelas dan pasti, sedangkan dalam analisa data kualitatif, teknik seperti itu belum tersedia, oleh sebab itu ketajaman melihat data oleh peneliti serta kekayaan pengalaman dan pengetahuan harus dimiliki oleh peneliti . Dalam menguji keabsahan data peneliti menggunakan teknik trianggulasi, yaitu pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut, dan teknik trianggulasi yang paling banyak digunakan adalah dengan pemeriksaan melalui sumber yang lainnya.

Menurut Moloeng, trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik trianggulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya.5 Denzin membedakan empat macamtrianggulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori. Trianggulasi dilakukan melalui wawancara, observasi langsung dan observasi tidak langsung, observasi tidak langsung ini dimaksudkan dalam bentukpengamatan atas beberapa kelakukan dan kejadian yang kemudian dari hasil pengamatan tersebut diambil benang merah yang menghubungkan di antara keduannya.6

5

Ibid. 2007. hal:330 6


(2)

44 Teknik pengumpulan data yang digunakan akan melengkapi dalam memperoleh data primer dan skunder, observasi dan interview digunakan untuk menjaring data primer yang berkaitan orientasi politik etnis Thionghoa di Baturaja, sementara studi dokumentasi digunakan untuk menjaring data skunder yang dapat diangkat dari berbagai dokumentasi tentang politik etnis Thionghoa.


(3)

113

BAB V PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian bab terdahulu dapat disimpulkan bahwa focus masalah tentang orientasi politik etnis Tionghoa di Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu adalah sebagai berikut.

a. Orientasi Politik Etnis Tionghoa di Baturaja ditinjau dari orientasi kognitif yang berupa pemahaman tentang pemahaman Pancasila dan system pemerintahan (kenegaraan) yang digunakan untuk membentuk asmilasi dan akulturasi. Orientasi afektif politik etnis Tionghoa Baturaja merasakan bangga menjadi warga Negara Indonesia karena hal ini sesuai dengan pemahaman leluhur mereka dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga orientasi evaluative

masyarakat etnis Tionghoa di Baturaja berpartisipasi dalam memberikan dukungan dalam pelaksanaan pemilukada dan mendirikan organisasi kemasyarakatan etnis Tionghoa di Baturaja sebagai ikatan priomdiliasme.

b. Orientasi Politik etnis Tionghoa Baturaja pada masa transisi orde baru ke reformasi adalah merupakan perubahan orientasi individu dalam memfokuskan solidaritas internal, perjuangan identitas kultural, penyadaran publik di berbagai area serta pluralisme. Factor-faktor orientasi politik politik etnis tionghoa memiliki kaitan erat dengan ideology, pengakuan akan etnis Tionghoa dalam hak


(4)

114

politik serta kenyamanan dalam menjalankan bisnis dan kesejahteraan etnis Tionghoa di Baturaja.

c. Berdasarkan hasil analisis orientasi politik etnis Thionghoa di Baturaja berorientasi terhadap kekuasaan dan kesejahteraan.

6.2. Saran

Saran yang penulis berikan dalam penulisan ini sebagai berikut,.

a. Elit politik etnis Tionghoa sejak reformasi ini masih diwarnai dari segi peningkatan kuantitas, namun minim dari segi kualitas. Hal ini lantaran adanya stigma buruk terhadap etnis Tionghoa untuk merangsek sebagai politisi di kota Baturaja. Seharusnya elit politik ini membangun kerjasama dengan stakeholder yang ada untuk mengembangkan minat dan kemampuannya dalam berpolitik dalam membentuk jaringan dan merawat jaringan yang ada.

b. Factor keterlibatan dari etnis tionghoa ini sendiri masih banyak di dominasi dari landasan sosiologis yaitu pimpinan, keluarga teman. Pelibatan actor politik (elit politik) etnis Tionghoa di kancah pergulatan sosial masih terbilang minim baik secara terbuka, elit tionghoa masih berkutat dalam sisi ekonomi dan kebudayaan. Seharusnya elit politik harus lebih memiliki jiwa sosial untuk membangun modal sosial dan modal politik untuk mampu membangun elit politik yang tangguh ke depan dan menghindarkan dari dugaan bahwasanya etnis Tionghoa Baturaja lebih cenderung pada ekonomi daripada sosial.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aristotle. 1962. The Politics. Terj. J. A. Sinclair, Harmondsworth, Middlesex. England: Penguin BooksFrancis Fukuyama.1992. The End of History and the Last Man, The Free Press.

Almond, Gabriel A. dan Sidney Verba. 1963. The Civic Culture. Princeton: Princeton University Press.

Andrain, Charles F. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Guillermo O’ Donnell & Philippe C. Schmitter,Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan ketidakpastian, Jakarta: LP3ES. 1993, Hal. 1.

G.H. Sabine.1963. Teori-Teori politik: Sejarah Pertumbuhan dan

Perkembangannya, Bandung Dhiwantara.1963

Juliastutik: Perilaku Elit Politik Etnis Tionghoa Pasca Reformasi. HUMANITY, Volume 6, Nomor 1, September 2010.

J. J. Von Schmid.1965.Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Jakarta: Pusataka Sarjana. Hal. 31.

Lexy J.Moleong, 2007. Metodologi penelitian kualitatif, Bandung :PT Remaja Rosdakarya.

Larry Diamond.2001. Konsolidasi Demokrasi di Pasifik Asia, dalam Aleksius Jemadu, HI Kawasan di Asia Pasifik, Pascasarjana Unpar Bandung. ----.2003.developing democracy toward consolidation. Institite For Research and

Empowermwnt (IRE) Yogyakarta.

Revli Mandagie. 2009. Budaya Tionghoa : Etnis Tionghoa dalam Perjalanan Perpolitikan di Indonesia, Media Indonesia.

Mohammad Hatta. 1980. .Alam Pikiran Yunani, Indonesia: UI Press: K. Ramanhatan, 1988. Konsep Asas Politik, Pulau Pinang: ALMS Digitasl. Sulastomo, Demokrasi atau Democrazy, Jakarta: Rajawali Pers. 2001


(6)

Tanjung. 2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Proposal, Skripsi, Tesis). Jakarta: Kencana Prenada. hlm. 63.

Straus, Anselm & Corbin. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 5.

Buku.