Analisis Tingkat Pendapatan Petani Karet Rakyat Berdasarkan Skala Usaha Minimum (Studi Kasus : Desa Naman Jahe, Kec. Salapian, Kab. Langkat)

(1)

ANALISIS TINGKAT PENDAPATAN PETANI KARET

RAKYAT BERDASARKAN SKALA USAHA MINIMUM

(Studi Kasus : Desa Naman Jahe, Kec. Salapian, Kab. Langkat)

SKRIPSI

OLEH :

MURNI ARTHA CHRISTY TAMPUBOLON 090304128

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

ANALISIS TINGKAT PENDAPATAN PETANI KARET

RAKYAT BERDASARKAN SKALA USAHA MINIMUM

(Studi Kasus : Desa Naman Jahe, Kec. Salapian, Kab. Langkat)

SKRIPSI

OLEH :

MURNI ARTHA CHRISTY TAMPUBOLON 090304128

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara Medan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

(Dr. Ir. Tavi Supriana, MS)

NIP. 196411021989032001 NIP. 196510081992031001 (Ir. Luhut Sihombing,MP)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

MURNI ARTHA CHRISTY TAMPUBOLON (090304128) dengan

judul skripsi ANALISIS TINGKAT PENDAPATAN PETANI KARET

RAKYAT BERDASARKAN SKALA USAHA MINIMUM (Studi Kasus : Desa Naman Jahe, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat). Penelitian ini dibimbing oleh Ibu Dr. Ir. Tavi Supriana, MS dan Bapak Ir. Luhut Sihombing, MP.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui berapa produksi perkebunan karet rakyat per hektar di daerah penelitian, (2) Untuk menganalisis berapa pendapatan petani perkebunan karet rakyat per hektar di daerah penelitian, (3) Untuk menganalisis berapa skala usaha minimum untuk memenuhi skala efisien dan kebutuhan hidup petani perkebunan karet rakyat.

Penetuan daerah penelitian dilakukan secara purposive dengan jumlah sampel 50 petani yang dihitung menggunakan rumus slovin. Pengujian hipotesis menggunakan metode (1) metode deskriptif yaitu dengan menjelaskan bagaimana produksi karet di daerah penelitian, (2) besar pendapatan yang dicari dengan rumus pengurangan dari penerimaan dengan biaya total, (3) metode analisis skala ekonomi dengan menggunakan pendekatan analisis Minimum Efficient Scale (MES).

Dari hasil penelitian di peroleh proses produksi usahatani karet rakyat di daerah penelitian belum sesuai dengan teknologi budidaya anjuran, produksi perkebunan karet rakyat di desa Naman Jahe, Kec.Salapian, Kab.Langkat Sumatera Utara untuk 0.5 Ha 12.023 Kg/Tahun, 1 Ha 66.032 Kg/Tahun, 1.5 Ha 6.662 Kg/Tahun, dan 2 Ha 15.465 Kg/Tahun, sedangkan untuk pendapatan petani karet rakyat di desa Naman Jahe, Kec.Salapian, Kab.Langkat untuk 0.5 Ha pendapatan rata-rata Rp 6.177.758/Ha/Tahun, 1 Ha pendapatan rata-rata Rp 6.499.278/Ha/Tahun, untuk 1.5 Ha pendapatan rata-rata Rp 6.589.300/Ha/Tahun, untuk 2 Ha pendapatan rata-rata Rp 4.425.045/Ha/Tahun serta skala usaha minimum untuk perkebunana karet rakyat berada pada skala usaha 1 Ha, dimana petani akan mengeluarkan biaya rata-rata yang lebih efisien dengan hasil produksi yang lebih banyak dan memberikan pendapatan yang menguntungkan kepada petani.

Kata kunci : karet, produksi, analisis pendapatan, analisis Minimum Efficient Scale.


(4)

RIWAYAT HIDUP

MURNI ARTHA CHRISTY TAMPUBOLON lahir di Medan pada tanggal 14 Desember 1991, anak pertama dari tiga bersaudara, seorang putri dari Ayahanda Ir. E. Tampubolon dan Ibunda M. Simanjuntak S.pd.

Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis adalah sebagai berikut :

1. Pada tahun 2003 lulus dari Sekolah Dasar Swasta Budi Murni 6 Medan. 2. Pada tahun 2006 lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 17 Medan. 3. Pada tahun 2009 lulus dari Sekolah Menengah Atas Santo Thomas 2

Medan.

4. Pada tahun 2009 diterima di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Kegiatan yang pernah diikuti penulis adalah sebagai berikut:

1. Menjadi anngota Departemen Pengkaderan pada Ikatan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Paertanian, Universitas Sumataera Utara (IMASEP FP-USU) periode 2012-2013.

2. Menjadi bendahara PORSENI FP USU Tahun 2012.

3. Mengikuti organisasi kemahasiswaan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).

4. Bulan Juli-Agustus 2013, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Binjai, Kecematan Tebing Syahbandar, Kabupaten Serdang Bedagai.

5. Bulan Desember 2013 penulis melaksanakan penelitian skripsi di Desa Naman Jahe, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat

serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul

skripsi ini adalah “Analisis Tingkat Pendapatan Petani Karet Rakyat Berdasarkan Skala Usaha Minimum (Studi Kasus: Desa Naman Jahe, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat)”. Skripsi ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi sebagian dari syarat – syarat guna menyelesaikan strata satu dan

memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Program Studi Agribisnis Fakultas

Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan dukungan dari berbagai

pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Tavi Supriana, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Ir.

Luhut Sihombing, MP selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah

meluangkan waktunya untuk membimbing dan memotivasi penulis dalam

penyelesaian skripsi ini,

2. Ibu Dr. Ir. Salmiah, M. S selaku Ketua Program Studi Agribisnis FP- USU dan

Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M. Ec selaku Sekretaris Program Stuudi

Agribisnis FP-USU yang telah memberikan kemudahan dalam hal perkuliahan

dan kegiatan di kampus,

3. Seluruh dosen Program Studi Agribisnis FP-USU, yang telah membekali ilmu


(6)

4. Seluruh pegawai Program Studi Agribisnis FP-USU khususnya Kak Lisbet,

Kak Runi, Kak Yani dan Kak Nita yang telah membantu penulis dalam

administrasi kampus.

5. Penulis juga menyampaikan terima kasih secara khusus kepada Ayahanda Ir. E.

Tampubolon dan Ibunda M. Simanjuntak, Spd, adik-adik penulis Moses H.S

Tampubolon dan Rizky S.G Tampubolon serta keluarga besar penulis yang

telah memberi doa, dukungan, motivasi dan kasih sayang kepada penulis.

6. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabat Apriyani

Barus S.P, Michaela Glady Sinambela, Juara Sinaga, Maysalina S.P, Wellman

Simamora, Theodoric Sigalingging, Friska Panjaitan S.P, Rafael Pandiangan,

Satria Simamora, Nia Purba S.P, Firmansyah, Boyman dan Guruh Julioyang

telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, juga teman-teman stambuk

2009 di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara khususnya Agribisnis

yang tidak dapat disebut satu persatu yang telah banyak membantu dalam

pengerjaan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena

itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca

untuk perbaikan skripsi ini dikemudian hari. Akhir kata penulis mengucapkan

terima kasih dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2014


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Kegunaan Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 11

2.1 Tinjauan Pustaka ... 11

2.1.1 Tinjauan Aspek Agronomi Karet ... 11

2.1.2 Tinjauan Aspek Sosial-Ekonomi Karet ... 14

2.2 Landasan Teori ... 18

2.3 Kerangka Pemikiran ... 26

2.4 Hipotesis Penelitian ... 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 29

3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 29


(8)

3.3 Metode Pengumpulan Data... 30

3.4 Metode Analisis Data ... 29

3.5 Definisi dan Batasan Operasional ... 31

3.5.1 Definisi ... 32

3.5.2 Batasan Operasional ... 33

BAB IV DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN ... 34

4.1 Luas dan Topografi Desa ... 34

4.2 Keadaan Penduduk ... 34

4.3 Sarana dan Prasarana ... 37

4.4 Karakteristik Sampel ... 38

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

5.1 Produksi Perkebunan Karet Rakyat ... 40

5.2 Pendapatan Petani Perkebunan Karet Rakyat ... 45

5.3 Skala Usaha Minimum Perkebunan Karet Rakyat ... 59

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 63

6.1 Kesimpulan ... 63

6.2 Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1.

Produksi Perkebunan Karet Rakyat Menurut jenis Tanah di

Sumatera Utara 2

2.

Luas Areal dan Prodeuksi Perkebunan Rakyat Komoditi Karet Per

Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara 3

3.

LuasAreal dan Produksi Karet Rakyat di Kabupaten Langkat

Tahun 2011 4

4. Perkembangan Harga Rata-rata Lump Mangkok 6

5. Pendapatan Usahatani Karet Rakyat Per Ha di Kabupaten Langkat 8

6.

Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur di Desa Naman

Jahe Tahun 2011 35

7.

Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Naman

Jahe Tahun 2011 36

8. Distribusi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2011 36

9. Sarana dan Prasarana di Desa Naman Jahe 2011 37

10. Karakteristik Petani Karet Rakyat Sampel Desa Naman Jahe 38

11.

Jarak Tanam yang Digunakan Petani Sampel di Desa Naman Jahe

Tahun 2013 40

12.

Perlakuan Pupuk Dalam Usahatani Karet di Desa Naman Jahe

Tahun 2013 42

13.

Produksi dan Produktivitas Getah Karet Rakyat di Desa Naman

Jahe Tahun 2013 44

14.

Rata-Rata Penggunaan Sarana Produksi Pada Usahatani Karet

Rakyat di Desa Naman Jahe Tahun 2013 46

15.

Rata-Rata Biaya Sarana Produksi Pada Usahatani Karet Rakyat di


(10)

16.

Rata-Rata Biaya Tenaga Kerja pada Usahatani Karet Rakyat di

Desa Naman Jahe Tahun 2013, (Rp/Ha/Tahun) 52

17.

Rata-Rata Biaya Produksi Pada Usahatani Karet Rakyat di Desa

Naman Jahe Tahun 2013, (Rp/Ha/Tahun) 53

18.

Rata-Rata Produksi, Harga, Total Biaya dan Penerimaan Usahatani

Karet Rakyat di Desa Naman Jahe Tahun 2013 , (Rp/Ha/Tahun) 55

19.

Rata-Rata Pendapatan Petani Karet Rakyat di Desa Naman Jahe

Selama Satu Tahun, Tahun 2013 57

20.

Rata-rata Kebutuhan Hidup Petani Karet Rakyat di Desa Naman


(11)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1.

Proses Penurunan Biaya Rata-rata Melalui Peningkatan

Jumlah Produk 23

2.

Penurunan Kurva Amplop dari Biaya Rata-Rata Jangka

Panjang dan Jangka Pendek 24

3. Skema Kerangka Pemikiran 27

4. Kurva LRAC 32

5. Kurva Biaya Total 59

6.

Penurunan Kurva SRAC dan LRAC, Minimum Efficient


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul

1. Karakteristik Petani Sampel

2. Jarak, Kebutuhan Bibit, Harga Bibit dan Biaya Bibit Per Petani

3. Jarak, Kebutuhan Bibit, Harga Bibit dan Biaya Bibit Per Ha

4. Jumlah, Harga, Total Biaya Pupuk dan Herbisida Per Petani

5. Jumlah, Harga, Total Biaya Pupuk dan Herbisida Per Ha

6. Biaya Sarana Produksi Per Petani 7. Biaya Sarana Produksi Per Ha

8. Biaya Penyusutan Peralatan Usahatani Karet Per Petani dan Per Ha

9. Upah Tenaga Kerja Usahatani Karet Rakyat

10. Biaya Total Per Petani dan Per Ha

11. Produksi GetahKaret Selama Satu Tahun, Tahun 2013 12. Harga Jual Getah Karet Tahun 2013

13. Kebutuhan Hidup Petani

14.

Biaya Total, Total Produksi, Biaya Rata-rata, Penerimaan, Pendapatan Petani dan Per Ha

15. Rata-rata Biaya Total, Penerimaan dan Pendapatan Petani, Tahun 2013 16. Rata-rata Biaya Total, Penerimaan dan Pendapatan Per Ha, Tahun 2013


(13)

ABSTRAK

MURNI ARTHA CHRISTY TAMPUBOLON (090304128) dengan

judul skripsi ANALISIS TINGKAT PENDAPATAN PETANI KARET

RAKYAT BERDASARKAN SKALA USAHA MINIMUM (Studi Kasus : Desa Naman Jahe, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat). Penelitian ini dibimbing oleh Ibu Dr. Ir. Tavi Supriana, MS dan Bapak Ir. Luhut Sihombing, MP.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui berapa produksi perkebunan karet rakyat per hektar di daerah penelitian, (2) Untuk menganalisis berapa pendapatan petani perkebunan karet rakyat per hektar di daerah penelitian, (3) Untuk menganalisis berapa skala usaha minimum untuk memenuhi skala efisien dan kebutuhan hidup petani perkebunan karet rakyat.

Penetuan daerah penelitian dilakukan secara purposive dengan jumlah sampel 50 petani yang dihitung menggunakan rumus slovin. Pengujian hipotesis menggunakan metode (1) metode deskriptif yaitu dengan menjelaskan bagaimana produksi karet di daerah penelitian, (2) besar pendapatan yang dicari dengan rumus pengurangan dari penerimaan dengan biaya total, (3) metode analisis skala ekonomi dengan menggunakan pendekatan analisis Minimum Efficient Scale (MES).

Dari hasil penelitian di peroleh proses produksi usahatani karet rakyat di daerah penelitian belum sesuai dengan teknologi budidaya anjuran, produksi perkebunan karet rakyat di desa Naman Jahe, Kec.Salapian, Kab.Langkat Sumatera Utara untuk 0.5 Ha 12.023 Kg/Tahun, 1 Ha 66.032 Kg/Tahun, 1.5 Ha 6.662 Kg/Tahun, dan 2 Ha 15.465 Kg/Tahun, sedangkan untuk pendapatan petani karet rakyat di desa Naman Jahe, Kec.Salapian, Kab.Langkat untuk 0.5 Ha pendapatan rata-rata Rp 6.177.758/Ha/Tahun, 1 Ha pendapatan rata-rata Rp 6.499.278/Ha/Tahun, untuk 1.5 Ha pendapatan rata-rata Rp 6.589.300/Ha/Tahun, untuk 2 Ha pendapatan rata-rata Rp 4.425.045/Ha/Tahun serta skala usaha minimum untuk perkebunana karet rakyat berada pada skala usaha 1 Ha, dimana petani akan mengeluarkan biaya rata-rata yang lebih efisien dengan hasil produksi yang lebih banyak dan memberikan pendapatan yang menguntungkan kepada petani.

Kata kunci : karet, produksi, analisis pendapatan, analisis Minimum Efficient Scale.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting peranannya di dalam

perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. Hal

tersebut dapat dilihat dengan jelas dari peranan sektor pertanian di dalam

menampung penduduk serta memberikan kesempatan kerja kepada penduduk,

menciptakan pendapatan nasional dan menyumbangkan pada keseluruhan produk.

Berbagai data menunjukkan bahwa di beberapa negara yang sedang berkembang

lebih 75% dari penduduknya berada di sektor pertanian dan lebih 50% dari

pendapatan nasionalnya dihasilkan dari sektor pertanian serta hampir seluruh

ekspornya merupakan bahan pertanian (Todaro, 2000).

Karet merupakan salah satu komoditas perkebunan dengan nilai ekonomis tinggi.

Oleh karena itu, tidak salah jika banyak yang beranggapan bahwa tanaman karet

adalah salah satu kekayaan Indonesia. Karet yang diperoleh dari proses

penggumpalan getah tanaman karet (lateks) dapat diolah lebih lanjut untuk

menghasilkan lembaran karet (sheet), bongkahan (kotak), atau karet remah (crumb


(15)

Tabel 1. Produksi Perkebunan Rakyat Menurut Jenis Tanamannya di Sumatera Utara

No. Jenis Tanaman Produksi (Ton)

1. Karet 280.445,65

2. Kelapa Sawit 5.428.535,14

3. Kopi

- Arabika - Robusta

49.347,53 8.393,18

4. Kelapa 91.629,89

5. Kakao 37.683,48

6. Cengkeh 373,26

7. Kemenyan 4.978,48

8. Kulit manis 3.721,70

9. Kemiri 12.564,46

10. Pala 26,59

11. Lada 489,98

12. Kapuk 113,11

13. Gambir 1,888,72

14. The -

15. Aren 3.149,15

16. Pinang 3.166,89

17. Vanili 58,98

18. Jarak 9,76

19. Kapulaga 13,40

20. Jambu Mente -

21. Sereh Wangi -

Sumber: Dinas Perkebunan 2011

Dari Tabel 1 dapat dilihat jumlah produksi perkebunan karet rakyat sebesar

280.445,65 Ton dan merupakan hasil perkebunan rakyat kedua terbanyak setelah

kelapa sawit.

Untuk melihat produksi dan sentra perkebunan karet rakyat di Sumatera Utara


(16)

Tabel 2. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Rakyat Komoditi Karet per Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara

No Kabupaten/Kota Skala Usaha (Ha) Produksi (Ton)

1 Deli Serdang 6.925,20 5.441,52

2 Langkat 42.340,00 33.183,30

3 Simalungun 13.380,14 11.263,37

4 Karo 56,20 29,65

5 Dairi 249,70 117,49

6 Tapanuli Utara 8.551,09 4.710,41

7 Tapanuli Tengah 32.180,50 19.815,00

8 Tapanuli Selatan 25.101,50 7.791,90

9 Labuhan Batu 21.817,23 20.582,51

10 Labuhan Batu Utara 22.341,00 23.931,37

11 Labuhan Batu Selatan 26.229,00 26.226,26

12 Asahan 7.548,86 7.635,74

13 Mandailing Natal 71.880,28 61.292,02

14 Toba Samosir 433,00 315,00

15 Humbang Hasunduntan 4.063,20 2.079,90

16 Pak-pak Bharat 1.783,00 577,46

17 Samosir - -

18 Serdang Bedagai 11.552,20 9.461,65

19 Padang Lawas Utara 38.099,00 21.593,00

20 Batu Bara 386,00 190,54

21 Padang Lawas 11.728,65 3.623,80

22 Nias 3.276,00 1.836,82

23 Nias Utara 10.317,10 7.673,20

24 Nias Barat 5.819,25 2.778,56

25 Nias Selatan 8.147,50 5.879,60

Kota

26 Gunung Sitoli 4.104,35 2.415,58

Jumlah 378.309,95 280.445,65

Sumber: Dinas Perkebunan 2011

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa luas areal perkebunan karet rakyat di Kabupaten

Langkat pada tahun 2011 mencapai 42.430 Ha, dengan produksi 33.183,30 ton.

Data tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Langkat menempati posisi kedua

setelah Kabupaten Mandailing Natal dalam hal luas areal dan produksi karet


(17)

Tabel 3. Luas Areal dan Produksi Karet Rakyat di Kabupaten Langkat Tahun 201

No. Kecamatan Luas Areal (Ha) Produksi (Ton)

1. Bahorok 6.260,00 7.956,60

2. Serapit 2.364,00 3.245,00

3. Salapian 8.587,00 11.394,62

4. Kutambaru 3.070,00 4.255,00

5. Sei Bingei 2.368,00 3.329,55

6. Kuala 1.855,00 2.699,25

7. Selesai 1.432,00 2.061,80

8. Binjai 28,00 13,60

9. Stabat 36,00 44,48

10. Wampu 1.916,00 2.641,30

11. Batang Serangan 4.731,00 5.913,42

12. Sawit Seberang 1.212,00 1.631,70

13. Padang tualang 1.265,00 1.696,47

14. Hinai 65,00 54,54

15. Secanggang 5,00 7,37

16. Tanjung Pura 2,00 3,07

17. Gebang 110,00 118,95

18. Babalan 212,00 2.786,63

19. Sei Lepan 3.317,00 4.056,77

20. Brandan Barat 247,00 2.957,35

21. Besitang 2.730,00 3.426,38

22. Pangkalan Susu 148,00 148,57

23. Pematang Jaya 380,00 465,12

Sumber: Kabupaten Langkat Dalam Angka 2012

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa di Kabupaten Langkat, karet terdapat di semua

kecamatan. Kecamatan Salapian merupakan kecamatan dengan luas lahan dan

produksi terbesar di Kabupaten Langkat yaitu 8.587,00 Ha dengan hasil produksi

11.394,62 ton.

Pengelolaan yang kurang baik atau seadanya juga turut membuat produktivitas


(18)

diremajakan dengan klon baru. Bahkan, klon baru yang mampu menghasilkan

produksi lebih baik dari klon sebelumnya jarang dikenal oleh petani karet rakyat

tersebut. Pengetahuan tentang peralatan dan teknologi pengolahan yang masih

sangat sederhana juga berimbas pada mutu karet olahan yang dihasilkan. Mutu

yang tidak memenuhi standar menyebabkan harga jual karet olahan menjadi

rendah dan hanya dapat memasuki sebagian pasar saja (Anonimus, 2011).

Harga jual yang rendah menyebabkan penerimaan yang diterima petani

berkurang. Dimuat dalam situs http://www.bisnis-sumatra.com tanggal 25 Maret 2013 disebutkan bahwa sejak bulan Agustus 2012, harga jual karet terus melemah.

Bahkan di provinsi Sumatera Utara yang memiliki hasil komoditi perkebunan

yang melimpah, hal ini cukup mencemaskan petani yang mengusahakan komoditi

perkebunan mengingat harga kelapa sawit yang juga dalam beberapa waktu

terakhir mengalami penurunan dari sekitar Rp 1.000 per kilogram menjadi Rp 600

per kilogram. Harga karet pada akhir bulan Juli 2012 masih berada di kisaran Rp

18.000 per kilogram, namun pada bulan Maret 2013 masih tertahan pada harga

sekitar Rp 8.000-10.000 per kilogram. Bahkan, beberapa bulan sebelumnya di

beberapa daerah sempat tertahan pada harga Rp 5.000-6.000 per kilogram.

Fluktuasi harga jual karet ini disebabkan oleh faktor cuaca yang tidak stabil

(ekstrem), krisis luar negeri, harga ekspor yang menurun, lemahnya harga minyak

dunia, dan faktor lainnya.

Sementara itu, data dari Dinas Perkebunan menunjukkan bahwa harga lump

mangkok (cup lump), yang juga merupakan bahan olahan karet (bokar) juga bervariasi naik turun. Lump mangkok adalah bekuan lateks yang menggumpal


(19)

secara alami di dalam mangkok pengumpul lateks setelah kurang lebih 3 jam

disadap. Perkembangan harga rata-rata lump mangkok dapat dilihat di Tabel 3

berikut.

Tabel 4. Perkembangan Harga Rata-Rata Lump Mangkok

No. Tahun Harga Rata-rata (Rp/kg)

Tingkat Kabupaten Tingkat Provinsi

1. 2008 13.218,80 21.135,42

2. 2009 7.136,42 14.878,08

3. 2010 19.331,00 26.240,00

4. 2011 18.765,00 33.644,00

Sumber: Dinas Perkebunan, 2012

Menurut Tohir (1991), tingkat kesejahteraan petani sering dikaitkan dengan

keadaan usahatani yang dicerminkan oleh tingkat pendapatan petani. Penerimaan

yang berkurang akan diikuti dengan semakin rendahnya pendapatan yang diterima

petani. Pendapatan yang rendah tentunya dapat menyurutkan semangat kerja

petani dalam mengusahakan usahatani karetnya, salah satunya misal petani eng

gan melakukan penyadapan. Jika karet tidak disadap, maka produksi ataupanen

akan menurun. Produksi yang menurun tentunya akan berimbas pula dengan

semakin menurunnya pendapatan yang diterima petani.

Total pendapatan petani dapat bersumber dari pendapatan petani dari usahataninya

dan pendapatan petani dari luar usahataninya. Menjelaskan bahwa pendapatan

petani dari usahataninya adalah sebagian dari pendapatan kotor yang karena

tenaga keluarga dan kecakapannya memimpin usahanya dan sebagaian bunga dari


(20)

dari keluarganya. Pendapatan petani dari usahataninya juga dapat diperhitungkan


(21)

Tabel 5. Pendapatan Usahatani Karet Rakyat Per Ha di Kabupaten Langkat

Sampel Luas Lahan

(Ha)

Pendapatan Per Ha (Rp)

1. 0,40 -3.143.750,00

2. 1,50 -2.740.000,00

3. 0,50 -2.579.000,00

4. 0,60 -3.645.000,00

5. 1,00 -2.763.000,00

6. 0,80 13.892.875,00

7. 1,50 16.983.000,00

8. 2,00 15.211.500,00

9. 2,00 15.290.500,00

10. 2,00 16.683.500,00

11. 0,80 19.184.187,50

12. 0,60 20.252.500,00

13. 2,00 17.589.000,00

14. 0,80 19.450.625,00

15. 2,00 19.298.250,00

16. 1,00 17.695.500,00

17. 2,00 17.262.500,00

18. 0,40 20.485.000,00

19. 2,00 18.020.000,00

20. 1,00 19.090.000,00

21. 1,00 18.481.000,00

22 2,00 18.346.000,00

23 1,00 17.533.500,00

24 1,50 16.772.666,67

25 1,00 16.297.000,00

26 0,50 19.157.000,00

27 0,80 16.989.375,00

28 3,00 15.331.000,00

29 0,80 15.763.500,00

30 1,00 14.392.000,00

Total 37,50 420.581.229,17

Rata-rata 1,25 14.019.374,31

Sumber: Affandi,Ulpan.2011

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa rata-rata pendapatan petani karet rakyat di

kabupaten Langkat Rp 14.019.374,31/ha/tahun dan dengan rata-rata luas lahan

1,25 Ha, sedangkan pendapatan pada suatu perusahaan perkebunan swasta yang


(22)

perkebunan rakyat ini dapat dikatakan masih dibawah dari pendapatan perkebunan

swasta. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian di daerah langkat untuk

meningkatan pendapatan petani tersebut.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan

penelitian, yaitu:

1) Berapa produksi perkebunan karet rakyat per hektar di daerah penelitian?

2) Berapa pendapatan petani perkebunan karet rakyat per hektar di daerah penelitian? 3) Berapa skala usaha minimum untuk memenuhi skala efisien dan kebutuhan hidup

petani perkebunan karet rakyat?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui berapa produksi perkebunan karet rakyat per hektar di

daerah penelitian

2) Untuk menganalisis berapa pendapatan petani perkebunan karet rakyat per hektar di daerah penelitian

3) Untuk menganalis berapa skala usaha minimum untuk memenuhi skala efisien dan kebutuhan hidup petani perkebunan karet rakyat.


(23)

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Sebagai bahan informasi bagi petani dalam mengelola dan mengembangakan

usaha taninya.

2) Sebagai informasi bagi pemda setempat dalam membuat kebijakan

3) Sebagai bahan informasi atau referensi untuk pengembangan ilmu bagi


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN

KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Tinjauan Aspek Agronomi Karet

Tanaman karet (Hevea brasiliensis) mulai dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Awalnya, tanaman karet ditanam di Kebun Raya Bogor

sebagai tanaman yang baru dikoleksi. Selanjutnya, karet dikembangkan sebagai

tanaman perkebunan dan tersebar di beberapa daerah di Indonesia

(Suwarto, 2010).

Tanaman karet, merupakan anggota famili phorbiaceae. Berbentuk pohon, tinggi 10-20 m, bercabang dan mengandung banyak getah susu. Tanaman karet

mengalami gugur daun sekali setahun pada musim kemarau, di Sumatera Utara

terjadi pada bulan Februari-Maret. Setelah gugur daun, terbentuk bunga bila

tanaman karet telah berumur 5-7 tahun, tergantung pada tinggi tempat diatas

permukaan laut. Masa produktif tanaman karet adalah 25-30 tahun

(Sianturi, 2001).

Sekarang sudah banyak ditemukan klon tanaman karet. Klon yang dianjurkan

untuk ditanam dalam skala besar diantaranya adalah klon AVROS, PBM 1, BPM

24, GT 1, LCB 1320, PR255, PR 261, PR 300, RRIM 600, dan RRIM 712. Untuk


(25)

rakyat, sebaiknya menggunakan klon AVROS 2037, BPM1, BPM 24, GT 1, PR

261, PR 300, dan PR 303 (Setiawan, 2000).

Sesuai dengan habitat aslinya di Amerika Selatan, karet merupakan tanaman yang

cocok ditanam di daerah tropis. Daerah tropis yang baik ditanami tanaman karet

mencakup luasan antara 15°LU-10° LS. Suhu harian yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangannya adalah 25-30°C. Tanaman karet dapat

tumbuh dengan baik pada ketinggian 1-600 m dpl. Curah hujan yang cukup antara

2.000-2.500 mm/tahun adalah salah satu kondisi yang disukai oleh tanaman karet.

Dalam sehari, tanaman karet membutuhkan sinar matahari dengan intensitas yang

cukup yaitu antara 5-7 jam per hari (Suwarto, 2010).

Perawatan pada tanaman belum menghasilkan (TBM) akan berpengaruh pada saat

penyadapan pertama. Perawatan yang intensif dapat mempercepat awal

penyadapan. Perawatan tanaman belum menghasilkan (TBM) meliputi kegiatan

penyulaman, penyiangan, pemupukan, seleksi dan penjarangan, pemeliharaan

tanaman penutup tanah, serta pengendalian hama dan penyakit. Kematian tanaman

karet setelah penanaman masih dapat ditolerir sebanyak 5%. Penyiapan bibit

untuk penyulaman dilakukan bersamaan dengan penyiapan bibit untuk penanaman

agar diperoleh keseragaman bibit yang tumbuh. Penyulaman dilakukan pada saat

tanaman berumur atau sampai dua tahun. Tahun ketiga tidak ada lagi penyulaman


(26)

Pemupukan pada TBM mempunyai tujuan untuk memperoleh tanaman yang

subur dan sehat, sehingga lebih cepat tercapainya matang sadap dan agar tanaman

cepat menutup sehingga dapat menekan pertumbuhan gulma. Pemberian pupuk

secara berkala dan dengan frekuensi yang tinggi dapat mengurangi kehilangan

hara disebabkan proses pencucian dan dosis pupuk tanaman dapat diserap akar

tanaman lebih efesien (Setiawan, 2000).

Tanaman karet disebut tanaman menghasilkan yaitu memasuki tahun kelima dari

siklus hidup karet. Pada tahun ini tanaman karet sudah mulai disadap. Namun

adakalnya dari sejumlah pohon karet yang berumur empat tahun itu ada pohon

yang belum bisa disadap. Menurut teori, tanaman karet yang bisa disadap pada

usia empat tahun itu belum 100%. Biasanya dari 476 pohon, yang benar-benar

matang sadap hanya sekitar 400 pohon (Tim Penulis, 2008).

Pada tanaman menghasilkan (TM) pemupukan mempunyai dua tujuan yaitu untuk

meningkatkan hasil dan mempertahankan serta memperbaiki kesehatan dan

kesuburan pertumbuhan tanaman pokok. Pemberian pupuk dilakukan 2 kali setiap

tahun. Pemupukan tanaman produktif yang dilakukan dengan dosis yang tepat dan

teratur dapat mempercepat pemulihan bidang sedapan, memberi kenaikan

produksi 10-20%, meningkatkan resistensi tanaman terhadap gangguan hama

penyakit dan tingkat produksi yang tinggi dapat dipertahankan dalam jangka


(27)

Pemungutan hasil tanaman karet disebut penyadapan karet. Penyadapan karet

(mendedes, menoreh, tapping) adalah mata rantai pertama dalam proses produksi

karet. Pada tanaman muda, penyadapan umumnya telah dimulai pada umur 5-6

tahun, tergantung pada kesuburan pertumbuhannya (Setyamidjaja, 1993).

Penyadapan dilakukan dengan memotong kulit pohon karet sampai batas

kambium dengan menggunakan pisau sadap. Bentuk irisan berupa saluran kecil,

melingkar batang arah miring ke bawah. Melalui saluran irisan akan mengalir

lateks selama 1-2 jam sesudah itu lateks akan mengental (Setiawan, 2000).

Dalam pelaksanaan penyadapan harus diperhatikan ketebalan irisan, kedalaman

irisan, waktu pelaksanaan dan pemulihan kulit bidang sadap. Tebal irisan yang

dianjurkan 1,5-2 mm, kedalaman irisan yang dianjurkan 1-5 mm dari lapisan

kambium. Penyadapan hendaknya dilakukan pada pagi hari antara pukul

05.00-06.00 pagi. Sedang pengumpulan lateksnya dilakukan antara pukul 08.00-10.00

pagi. Kulit pulihan bisa disadap kembali setelah 9 tahun untuk kulit pulihan

pertama dan dapat disadap kembali pada bidang yang sama setelah 8 tahun untuk

kulit pulihan kedua (Tim Penulis, 1999).

2.1.2 Tinjauan Aspek Sosial-Ekonomi Karet

Keadaan sosial ekonomi petani karet mempunyai hubungan dengan hasil produksi

karet rakyat. Ini berarti, usaha peningkatan produksi dan mutu karet rakyat secara


(28)

peningkatan produksi dan mutu hasil kebun menjadi tidak berarti, jika keadaan

sosial ekonominya tidak berubah. Untuk itu usaha yang sering dilakukan oleh

pemerintah untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi petani karet adalah

melalui peningkatan pendapatan (Sadikin dan Irwan, 2005).

1. Faktor Sosial Petani a. Umur

Pada petani yang lebih tua mempunyai kemampuan berusahatani yang lebih

berpengalaman dan keterampilannya lebih baik, tetapi biasanya lebih konservatif

dan lebih mudah lelah. Sedangkan petani muda mungkin lebih miskin dalam

pengalaman dan keterampilan tetapi biasanya sifatnya lebih progresif terhadap

inovasi baru dan relatif lebih kuat. Dalam hubungan dengan perilaku petani

terhadap resiko, maka faktor sikap yang lebih progresi terhadap inovasi baru

inilah yang lebih cenderung membentuk nilai perilaku petani usia muda untuk

lebih berani menangung resiko.

b. Tingkat Pendidikan

Model pendidikan yang digambarkan dalam pendidikan petani bukanlah

pendidikan formal yang acap kali mengasingkan petani dari realitas. Pendidikan

petani tidak hanya berorientasi kepada peningkatan produksi petanian semata,

tetapi juga menyangkut kehidupan sosial masyarakat petani. Masyarakat petani


(29)

optimis pada masa depan, lebih efetkif dan pada akhirnya membawa pada keadaan

yang lebih produktif.

Rendahnya tingkat petani dan keterbatasan teknologi modern merupakan dua

faktor penyebab utama yang menyebabkan kemiskinan di sektor pertanian di

Indonesia. Keterbatasan dua faktor produksi tersebut yang sifatnya komplementer

satu sama lain mengakibatkan rendahnya tingkat produktivitas yang pada akhirnya

membuat rendahnya tingkat pendapatan riil petani sesuai mekanisme pasar yang

sempurna.

c. Pengalaman Bertani

Belajar dengan mengamati pengalaman petani lain sangat penting, karena

merupakan cara yang lebih baik untuk mengambil keputusan dari pada dengan

cara mengolah sendiri informasi yang ada. Misalnya seorang petani dapat

mengamati dengan seksama dari petani lain yang lebih mencoba sebuah inovasi

baru dan ini menjadi proses belajar secara sadar. Mempelajari pola perilaku baru,

bisa juga tanpa disadari (Soekartawi, 2005).

2. Faktor Ekonomi

a. Luas Lahan

Luas lahan yang selalu digunakan dalam skala usaha pertanian tradisional karena

komunitas yang ditanam oleh petani tradisional selalu seragam yakni padi,

kacang-kacangan dan tanaman keras yang sejenisnya. Dengan demikian pedoman


(30)

Kebun kelapa sawit, Karet, Kopi misalnya juga bisa menggunakan acuan luas

lahan untuk menentukan skala usahanya.

Ketersediaan lahan garapan yang dimiliki petani yang jauh dibawa skala usaha

ekonomi menjadi salah satu penyebab yang membuat rendahnya pendapatan

petani di Indonesia. Baik didaerah perkotaan maupun daerah pedesaan, jumlah

petani miskin yang tidak memiliki lahan jauh lebih banyak dibandingkan dengan

petani miskin yang memiliki lahan.

b. Jumlah Tanggungan Keluarga

Ada hubungan yang nyata yang dapat dilihat melalui keengganan petani terhadap

resiko dengan jumlah anggota keluarga. Keadaan demikian sangat beralasan,

karena tuntutan kebutuhan uang tunai rumah tangga yang besar, sehingga petani

harus berhati-hati alam bertindak khususnya berkaitan dengan cara-cara baru yang

riskan terhadap risiko. Kegagalan petani dalam berusaha tani akan sangat

berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga. Jumlah anggota keluarga

yang besar seharusnya memberikan dorongan yang kuat untuk berusaha tani

secara intensif dengan menerapkan teknologi baru sehingga akan mendapatkan

pendapatan (Soekartawi, 2002).

c. Curahan Tenaga Kerja

Faktor utama masalah ketenagakerjaan adalah produktivitas. Semakin produktif

pekerja akan semakin besar pendapatan yang diperoleh. Jika seluruh tenaga kerja


(31)

menjadi produktif. Jika produktivitas itu disertai dengan efesien, maka unit

kegiatan tersebut akan memperoleh laba usaha yang sangat besar. (Rahardi, 2003).

Setiap usaha pertanian yang akan dilaksanakan pasti memerlukan tenaga kerja,

oleh karena itu dalam analisa ketenagakerjaan di bidang pertanian, penggunaan

tenaga kerja dinyatakan oleh besarnya curahan tenaga kerja. Curahan tenaga kerja

kerja yang dibutuhkan dan juga menentukan macam tenaga kerja yang bagaimana

yang dipakai adalah besarnya tenaga kerja efektif yang dipakai seperti yang telah

diketahui bahwa skala usaha akan mempengaruhi besar kecilnya berapa tenaga

yang diperlukan (Soekartawi, 2005).

2.2.Landasan Teori Teori Produksi

Produksi merupakan hasil dari suatu proses atau aktivitas ekonomi dengan

memanfaatkan beberapa masukan (input). Dengan demikian, kegiatan produksi

tersebut adalah dengan mengkombinasikan berbagai masukan berbagai masukan

untuk menghasilkan keluaran (Agung dkk.,2008).

Daniel (2002) dalam usahatani faktor produksi mencakup tanah, modal dan tenaga

kerja. Tanah merupakan faktor kunci dalam usaha pertanian. Tanpa tanah rasanya

mustahil usaha tani dapat dilakukan. Dalam tanah dan sekitar tanah banyak lagi

faktor yang harus diperhatikan, katakan luasnya, topografinya, kesuburannya,

keadaan fisisknya, lingkungannnya, lerengnya, dan lain sebagainya. Dengan

mengetahui keadaan semua mengenai tanah, usaha pertanian dapat dilakukan


(32)

Faktor produksi mempunyai peranan penting dalam melaksanakan usahatani. Pemilikan lahan yang semakin luas memberikan potensi yang besar dalam mengembangkan usahatani. Modal juga mempunyai peranan penting, digunakan untuk membeli sarana produksi seperti bibit, pupuk, obat-obatan dan lain-lain. Faktor produksi ini sangat mempengaruhi besar-kecilnya biaya yang dikelurakan dan produksi yang diperoleh. Dalam berbagai pengalaman menunujukkan bahwa faktor produksi lahan, tenaga kerja dan modal adalah faktor penting diantara faktor produksi lainnya (Soekartawi, 1995).

Tanah/lahan menurut Fauzi 2008, dalam arti sesungguhnya bukan termasuk

modal, karena tanah bukan buatan manusia atau hasil produksi. Orang awam

menganggap tanah sebagai modal utama atau satu-satunya modal bagi petani. Hal

ini karena tanah mempunyai fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Fungsi ekonomi

dari tanah adalah:

1) Dapat diperjual belikan

2) Dapat disewakan,

3) Dapat dijadikan jaminan kredit.

Teori Biaya Produksi

Produksi berlangsung dengan jalan mengolah atau mendayagunakan masukan

(input) menjadi keluaran (output). Pemenuhan masukan (input) merupakan pengorbanan biaya yang tidak dapat dihindarkan untuk melakukan

kegiatan produksi. Biaya produksi adalah sejumlah pengorbanan ekonomis yang

harus dikorbankan untuk memproduksi suatu barang.

Suatu model fungsi biaya (cost function) dapat digunakan untuk menilai tingkat pencapaian efisiensi usahatani. Asumsi dasar yang harus dipenuhi dalam melakukan


(33)

analisis fungsi biaya, yaitu: Pertama, aspek usahatani merupakan unit analisis biaya. Kedua, harga masukan (input) dan produksi (output) sebagai variabel faktor-faktor yang mempengaruhi biaya (Hartono, 2002).

Biaya rendah menurut teori ekonomi dapat diwujudkan melalui pencapaian skala usaha yang ekonomis (economies of scale) yang diilustrasikan/dicirikan dengan semakin menurunnya biaya per satuan produk (AC= long run average cost). Menurunnya AC disebabkan oleh jumlah biaya tetap (FC= fixed cost) yang dibebankan secara lebih menyebar terhadap jumlah produksi yang lebih banyak.

Menurut Setiawan, H.D. dan Andoko (2005) untuk mencapai tingkat efisiensi biaya yang optimal, diperlukan suatu skala ekonomi untuk luasan perkebunan karet yang akan dikelola. Dalam tingkat skala usaha yang optimal tersebut, seluruh komponen biaya tetap (fixed cost) akan berfungsi secara maksimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi skala usaha adalah sebagai berikut:

- Jangka waktu tanaman karet mulai menghasilkan lateks - Jangka waktu produktif tanaman karet

- Biaya investasi kebun untuk mencapai skala ekonomi

Soekartawi (1995) biaya merupakan penjumlahan antara biaya tetap dan biaya

variabel yang dikeluarkan selama satu tahun.

TC = FC + VC

dimana:

TC = Total Cost (Total biaya) FC = Fixed Cost (biaya Tetap) VC = Variable Cost (biaya variabel)


(34)

Biaya tetap tidak berubah walaupun adanya perubahan tingkat keluaran. Biaya ini

tetap harus dibayar meskipun tidak ada keluaran (produksi), dan hanya dapat

dihapus dengan sama sekali menutupnya. Sedangkan biaya variabel adalah biaya

yang jumlahnya bervariasi sesuai dengan variasi keluaran (produksi) yang

dihasilkan. Semakin besar keluaran yang dihasilkan, maka biaya variabel juga

semakin besar (Pindyck, R.S. dan Daniel, L.R.).

Biaya Rata-Rata dapat dihitung dengan membagikan biaya total (TC) dan produksi selama satu tahun.

AC = TC / Q dimana:

AC = Average Cost (Biaya Rata-Rata) TC = Total Cost (Total biaya)

Q = Ouput

Teori Pendapatan

Menurut Soekartawi (2002) penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual.

TR = Y . Py

Dimana :

TR = total penerimaan

Y = produksi yang diperoleh Py = harga Y

Pendapatan kotor usahatani (gross farm income) didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Pengeluaran total usahatani (total farm expense) didefenisikan sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi. Selisih


(35)

antara pendapatan kotor usahatani dan pengeluaran total usahatani disebut pendapatan bersih usahatani (Soekartawi, 1986).

Pendapatan merupakan selisih antara total penerimaan dengan total biaya. Pd = TR-TC

dimana:

Pd = pendapatan

TR = Total Revenue (total penerimaan) TC = Total Cost (total biaya)

Besarnya pendapatan yang diterima merupakan balas jasa atas tenaga kerja, modal

yang dipakai, dan pengelolaan yang dilakukan. Balas jasa yang diterima pemilik

faktor produksi dihitung untuk jangka waktu tertentu misalnya satu musim tanam

atau satu tahun. Pendapatan usaha yang diterima berbeda untuk setiap orang,

perbedaan pendapatan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor ini ada

yang masih dapat diubah dalam batas-batas kemampuan petani atau tidak dapat

diubah sama sekali. Faktor yang tidak dapat diubah adalah iklim dan jenis tanah.

Beberapa faktor yang mempengaruhi pendapatan dan dapat dilakukan perbaikan

untuk meningkatkan pendapatan adalah luas lahan usaha, efisiensi kerja, dan

efisiensi produksi.

Teori Skala Usaha Ekonomis

Koutsoyiannis (1975) menyatakan bahwa unsur skala ekonomis dan efisiensi di


(36)

fungsi produksi usahatani. Output dari suatu kegiatan produksi dapat ditingkatkan

melalui berbagai cara, antara lain dengan mengubah jumlah dan atau komposisi

dari input-inputnya. Dalam jangka pendek, pencapaian skala usaha ekonomis pada

masing-masing skala, dapat dijelaskan melalui gambar berikut:

Gambar 1. Proses Penurunan Biaya Rata-rata Melalui Peningkatan Jumlah Produk

Sistem produksi yang mula-mula menunjukkan increasing returns to scale,

kemudian constant returns to scale, dan kemudian diminishing returns to scale

akan menghasilkan kurva LRAC yang berbentuk U seperti ditunjukkan pada


(37)

Gambar 2. Penurunan Kurva Amplop dari Biaya Rata-Rata Jangka Panjang dan Jangka Pendek

Perhatikan bahwa dengan kurva LRAC yang berbentuk U, usahatani yang paling

effisien untuk setiap tingkat output biasanya tidak akan beroperasi pada SRAC

minimum, seperti yang bisa dilihat pada Gambar 2, kurva SRAC usahatani 3 lebih

rendah. Secara umum, pada saat increasing returns to scale terjadi, usahatani yang mempunyai biaya terkecil untuk menghasilkan suatu output akan beroperasi

lebih rendah dari kapasitas penuhnya.

Hanya untuk satu tingkat output dimana LRAC minimum, sebuah usahatani yang

optimal akan beroperasi pada titik minimum dari kurva SRAC-nya. Pada semua

tingkat output dalam kisaran dimana decreasing returns to scale terjadi, usahatani yang paling efisien akan beropersi pada suatu tingkat output yang sedikit lebih

besar dari pada kapasitasnya.

Bentuk kurva LRAC tidak hanya penting karena implikasinya bagi penentuan

skala usahatani, tetapi juga karena ia mempengaruhi tingkat persaingan potensial

yang akan tejadi dalam suatu industri, keadaan yang mula-mula increasing returns

to scale dan kemudian constant returns to scale sering dijumpai. Dalam

industri-industri seperti itu, kurva LRAC-nya berbentuk L. Biasanya, persaingan

cenderung akan lebih keras di dalam industri yang mempunyai kurva LRAC yang

berbentuk U dan pada yang berbentuk L atau kurva LRAC yang berslope


(38)

biaya minimum efficient scale (MES) dari sebuah usahatani. MES ini

didefinisikan sebagai tingkat output dimana LRAC adalah minimum. MES akan

terdapat pada titik minimum kurva LRAC yang berbentuk U .

Skala ekonomis berbentuk kurva long run average cost (LRAC) memiliki ekstrim minimum. Pada titik inilah usahatani beroperasi pada ongkos produksi per-unit

paling rendah atau minimum efficient of scale (MES) dan dari bawah kurva MC memotong kurva LRAC dititik minimum. Koefisien fungsi (function coefficient

atau FC) yang digunakan dalam analisis ekonomi, merupakan perbandingan

antara marginal cost dan average cost. Apabila FC = AC/MC > 1, berarti usahatani telah berproduksi pada skala economies of scale. Sementara jika FC=1, biaya yang paling minimum dikeluarkan untuk menghasilkan produk yang

diproduksi, tetapi jika FC<1, maka usahatani beroperasi pada diseconomies of scale.

2.3 Kerangka Pemikiran

Karet tidak hanya diusahakan oleh perkebunan-perkebunan besar milik negara

yang memiliki areal mencapai ratusan hektar, tetapi juga diusahakan oleh swasta


(39)

di dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Untuk itu sebagian besar petani

memilih karet sebagai sumber pendapatan bagi keluarganya.

Dalam meningkatkan produksi karet, petani memerlukan faktor-faktor produksi.

Faktor produksi ini sangat mempengaruhi besar-kecilnya biaya yang dikelurakan

dan produksi yang diperoleh. Dalam berbagai pengalaman menunujukkan bahwa

faktor produksi lahan, tenaga kerja dan modal adalah faktor penting diantara

faktor produksi lainnya.

Petani akan memperoleh penerimaan dari hasil penjualan produksi karet.

Penerimaan merupakan hasil perkalian antara produksi dengan harga jual pada

saat itu yang dinilai dengan rupiah setelah memperoleh penerimaan, untuk

mengetahui pendapatan bersih maka perlu diketahui biaya produksi. Pendapatan

bersih diperoleh setelah mengurangkan penerimaan dengan biaya produksi.

Harga jual dipengaruhi oleh harga jual produksi fisik. Produksi fisik dikali dengan

harga jual disebut total penerimaan. Penerimaan maupun pendapatan akan

mendorong petani untuk mengalokasikannya dalam berbagai kegunaan seperti

biaya produksi selanjutnya, tabungan dan pengeluaran lain untuk memenuhi

kebutuhan keluarga.

Petani karet memerlukan biaya untuk memperoleh produksi yang maksimal.

Semua pengeluaran yang digunakan dimasukkan kedalam biaya produksi. Adapun

biaya produksi ini meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Selisih antara total


(40)

Petani Karet

Biaya Produksi Penerimaa

Pendapatan Produksi

Biaya Rata-Rata

Perkebunan Karet Rakyat

Biaya Minimum Kerangka penelitian ini, digambarkan sebagai berikut:

n

Keterangan:

:Menyatakan Hubungan

Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran 2.4 Hipotesis Penelitian

Sesuai dengan landasan teori yang sudah disusun, maka diajukan hipotesis yang

akan diuji sebagai berikut :

SRAC

LRAC

Skala Efisien

Kebutuhan Hidup


(41)

1. Pendapatan petani karet rakyat tergolong rendah

2. Luas usahatani karet yang seharusnya dimiliki petani untuk dapat memenuhi

kebutuhan hidup petani dan keluarganya berada pada skala usaha di titik


(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Naman Jahe, Kecamatan Salapian, Kabupaten

Langkat, Propinsi Sumatera Utara. Daerah penelitian ditetapkan secara purposive

(Hartanto, 2004) dengan pertimbangan bahwa di desa tersebut terdapat potensi

karet yang diusahakan rakyat. Dari pra survei yang telah dilakukan, lokasi tersebut

sangat representatif dari segi akses dan peluang untuk mendapatkan data yang

diinginkan.

3.2 Metode Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah petani karet rakyat di desa Naman Jahe,

Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat. Sampel adalah bagian dari populasi yang

akan diteliti dan yang dianggap dapat menggambarkan populasi. Adapun besar

sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan metode Slovin. Menurut Slovin dalam

pengantar metode penelitian Sevilla (1993), besarnya sampel dapat diperoleh

dengan rumus:

� = �

1 +��2 Dimana :

n = Ukuran sampel

N = Ukuran populasi


(43)

Menurut ketua ppl desa Naman Jahe, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat

jumlah populasi petani karet rakyat di daerah penelitian adalah sebanyak 103 Orang.

Maka didapat besar sampel penelitian sebagai berikut :

N n =

N (d)2+ 1

103 n =

103 (0,1)2 + 1

= 50 Orang

3.3 Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh dari petani karet melalui wawancara dengan

berpedoman pada kuisioner, dimana sampel memberikan jawaban berdasarkan

pilihan yang tersedia atau mengisi langsung dalam kuisioner. Selain itu, peneliti

juga melakukan pengamatan langsung terhadap objek studi.

Data sekunder yang dikumpulkan antara lain gambaran lokasi umum lokasi

penelitian, data demografi, data luas areal, produksi, produktivitas, harga karet di

provinsi Sumatera Utara, dan data jumlah populasi petani karet. Data sekunder

diperolah dari instansi terkait, seperti Badan Pusat Statistik, Dinas Perkebunan,

Kantor Kepala Desa, buku literatur serta media internet yang sesuai dengan


(44)

3.4.Metode Analisis Data

Untuk masalah (1) dijelaskan secara deskriptif sesuai dengan keadaan yang ada di

daerah penelitian.

Untuk masalah (2) menurut Soekartawi (2002) mengenai besar pendapatan petani

karet rakyat digunakan rumus :

Pd = TR-TC dimana:

Pd = pendapatan

TR = Total Revenue (total penerimaan) TC = Total Cost (total biaya)

Untuk masalah (3) mengetahui skala usaha minimum perkebunan karet rakyat,

digunakan metode analisis skala ekonomi dengan menggunakan pendekatan

analisis Minimum Efficient Scale (MES), yaitu metode yang menentukan tingkat

output yang memberikan kemungkinan biaya rata-rata terendah melalui kurva

Long Run Average Cost (LRAC).

Dalam kurun waktu tertentu kurva SRACberubah sesuai dengan perubahan skala

unit usaha, maka kurva biaya jangka panjang (LRAC) dapat diturunkan dengan menggambar sebuah kurva amplop pada setiap kurva biaya rata-rata jangka pendek (SRAC).


(45)

Gambar 4. Kurva LRAC

Dengan interpretasi:

a. Jika kurva LRAC menurun, berarti skala usaha memperoleh economic of scale.

b. Jika kurva LRAC berada pada bagian terendah, berarti skala usaha mencapai

minimum efficient scale (MES).

c. Jika kurva LRAC mengalami kenaikan, berarti skala usaha mengalami

diseconomies of scale.

3.5 Defenisi dan Batasan Operasional

Untuk menjelaskan dan menghindari kesalahpahaman dalam penelitian, maka

dibuat definisi dan batasan operasional sebagai berikut :

3.5.1 Defenisi


(46)

2. Perkebunan Karet Rakyat adalah usahatani tanaman perkebunan karet yang

diusahakan oleh rumah tangga dan tidak berbentuk badan usaha/badan

hukum.

3. Produksi adalah hasil yang diperoleh dari karet dan siap untuk dijual

4. Biaya Produksi adalah biaya tetap dan biaya tidak tetap yang dikeluarkan

petani selama melakukan kegiatan usahatani.

5. Penerimaan adalah harga jual lateks dikali dengan jumlah produksi.

6. Pendapatanadalah penerimaan petani dikurang biaya produksi.

7. LRAC (Long Run Average Cost)adalah kurva yang menggambarkan kondisi usahatani perkebunan karet rakyat pada masing-masing skala usaha.

8. SRAC (Short Run Average Cost) adalah kurva yang menggambarkan kondisi biaya rata-rata produksi terhadap keluaran apabila tingkat modal usahatani

perkebunan karet rakyat tetap.

9. Skala usaha minimum adalah skala usaha terkecil yang mengeluarkan biaya

yang efisien dengan produksi yang lebih banyak.

3.5.2 Batasan Operasional

1. Penelitian dilakukan di desa Naman Jahe, kecamatan Salapian, kabupaten

Langkat.

2. Sampel penelitian ini adalah petani karet.


(47)

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

4.1. Luas dan Topografi Desa

Desa Naman Jahe terletak di Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat, Propinsi

Sumatera Utara dengan luas wilayah 107.5 Ha dan mempunyai topografi

hamparan berada pada ketinggian 0-150 mdpl dengan suhu rata-rata 30℃ . Jumlah penduduk di Naman Jahe sebanyak 3.743 jiwa.

Desa Naman Jahe berjarak 3 km dari ibukota Kecamatan Salapian, 70 km dari

ibukota kabupaten / kota, lama jarak tempuh ke ibu kota kecamatan dengan

kendaraan bermotor 5 jam, dengan lama jarak tempuh ke ibu kota kabupaten 2

jam. Adapun batas-batas dari Desa Naman Jahe adalah sebagai berikut:

• Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Minta Kasih

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Langkat

• Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kuala

• Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bandar Telu

4.2 Keadaan Penduduk

Penduduk Desa Naman Jahe sampai tahun 2011 berjumlah 3.743 jiwa meliputi


(48)

jumlah rumah tangga sebanyak 1.057 KK. Distribusi penduduk menurut

kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur di Desa Naman Jahe Tahun 2011

No Umur (Tahun) Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1 0-6 419 11,2

2 7-12 462 12,34

3 13-19 373 9,96

4 20-64 1.880 50,22

5 > 65 609 16,27

Total 3.743 100

Sumber : Desa Naman Jahe Dalam Angka, 2011

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa jumlah penduduk terbesar berada di kelompok

usia produktif (20-64 tahun) dengan jumlah 1.880 jiwa atau 50,22%. Sementara

itu, kelompok usia non produktif (balita, anak-anak, dan remaja) yaitu usia 0-6

tahun sebanyak 419 jiwa atau 11,2% , usia 7-12 tahun sebanyak 462 atau 12,34%

dan usia 13-19 tahun sebanyak 373 jiwa atau 9,96 % . Untuk usia manula pada

kelompok umur > 65 adalah berjumlah 609 jiwa atau 16,27%.

Mata pencaharian penduduk di Desa Naman Jahe cukup beraneka ragam

walaupun sebahagian besarnya berprofesi sebagai petani dan buruh tani. Untuk


(49)

Tabel 7. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Naman Jahe Tahun 2011

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1 Petani 800 67,51

2 Buruh Tani 100 8,43

3 Pegawai Negeri Sipil 155 13,08

4 Pensiunan 65 5,48

5 Wiraswasta 25 2.1

6 Lainnya 40 3,37

Total 1.185 100

Sumber : Desa Naman Jahe Dalam Angka, 2011

Tabel 7 menunjukkan bahwa penduduk di daerah penelitian memiliki beragam

pekerjaan dan mayoritas mata pencaharian penduduk adalah sebagai petani yaitu

sebesar 800 jiwa (67,51%) dan sebagai buruh tani sebanyak 100 jiwa (8,43%),

sedangkan sebagai Pegawai Negeri Sipil sebanyak 155 jiwa (13,08%), Pensiunan

sebanyak 65 jiwa (6,48%), wiraswasta sebanyak 25 jiwa (2,1%) dan lainnya

sebanyak 40 jiwa (3,37%).

Dari tabel 8 dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan penduduk paling tinggi

adalah tamatan SMP sebesar 362 jiwa (49,65%), tamat SD 260 jiwa (35,66%),

tamat SMA 12 jiwa (1,64%), dan jumlah penduduk yang tamat perguruan tinggi


(50)

Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan dapat dilihat dari Tabel 8:

Tabel 8. Distribusi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2011 No Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1 Tamat SD 260 35,66

2 Tamat SMP 362 49,65

3 Tamat SMA 12 1,64

4 Tamat Perguruan Tinggi 95 13,03

Total 729 100

Sumber : Desa Naman Jahe Dalam Angka, 2011

4.3. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang terdapat di suatu daerah akan mempengaruhi

perkembangan dan kemajuan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.

Semakin baik sarana dan prasarananya, maka akan mempercepat laju

perkembangan daerah tersebut.

Tabel 9 menunjukkan bahwa sarana dan prasarana di Desa Naman Jahe yang

dibutuhkan oleh masyarakat sudah dapat terpenuhi baik dibidang pendidikan,

kesehatan, peribadatan, dan trasnsportasi. Sarana perekonomian seperti koperasi

unit desa, pasar tempat memasarkan produk hasil pertanian belum tersedia di desa

tersebut. Walaupun sebagian besar petani mengaku tidak terkendala dalam hal

pernmodalan namun bagaimanapun dengan adanya KUD atau lembaga

pembiayaan usahatani lainnya pasti memberikan kontirbusi dalam pengembangan


(51)

produksinya, petani telah memiliki agen-agen atau pedagang pengumpul yang

datang ke desa tersebut untuk melakukan pembelian langsung ke petani.

Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Naman Jahe dapat dilihat pada Tabel

9.

Tabel 9. Sarana dan Prasarana di Desa Naman Jahe 2011

No Sarana dan Prasarana Jumlah (unit)

1 Sarana Pendidikan:

- SD

- SMP

- SMU

5 1 1 2 Sarana Kesehatan:

- Poliklinik

- Balai Pengobatan Masyarakat

1 2 3 Sarana Peribadatan:

- Mesjid - Mushola

8 2 4 Sarana Transportasi:

- Jalan Aspal - Jalan Tanah

21 Km 13 Km

Sumber : Desa Naman Jahe Dalam Angka, 2011

4.4. Karakteristik Sampel

Tabel 10 menunjukkan umur rata-rata petani sample adalah 49 tahun dengan

rentang 25-72 tahun. Hal ini berarti bahwa secara umum petani berada pada usia

produktif dalam usahatani. Tingkat pendidikan yang ditempuh petani pada

umumnya adalah 9 tahun pendidikan formal dengan rentang 6-17 tahun. Hal ini

menunjukkan bahwa petani pada daerah penelitian ini masih memiliki tingkat


(52)

Pengalaman bertani petani Naman Jahe yaitu rata-rata 28 tahun dengan

rentang5-52 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman bertani petani sudah cukup

lama sehingga dianggap memiliki pengalaman panjang dalam bidang pertanian.

Jumlah tanggungan setiap petani pada daerah ini adalan 2 Jiwa dalam rentang 1-5

jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa petani memiliki jumlah tanggungan yang

sedang. Jumlah tanggungan keluarga akan berpengaruh terhadap pendapatan

keluarga dan ketersediaan lapangan kerja terutama terhadap anak usia produktif

15–60 tahun. Rata–rata luas lahan usahatani karet petani sampel adalah 0,784 Ha

dengan rentang 0,5-3,5 Ha. Hal ini menunjukkkan bahwa petani sampel termasuk

petani yang memiliki lahan cukup kecil untuk mengusahakan kebun karet.

Karakteristik sampel dalam penelitian ini meliputi luas lahan usahatani, tingkat

pendidikan, umur, jumlah tanggungan dan pengalaman bertani. Lebih jelasnya

dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Karakteristik Petani Karet Rakyat Sampel Desa Naman Jahe

No Uraian Satuan Rataan Rentang

1 Umur Tahun 48 25-72

2 Tingkat Pendidikan Tahun 9 6-12

3 Lama Bertani Tahun 28 5-52

4 Luas Lahan Ha 0,784 0,5-2

5 Umur Tanaman Tahun 24 11-37

6 Jumlah Tanggungan Jiwa 2 1-5

Sumber: Data diolah dari lampiran 1

Selain dari karakteristik tersebut, peneliti juga menemukan beberapa kondisi

petani karet yang ada di daerah penelitian, antara lain:

- Ada beberapa petani yang membeli lahan yang sudah ditanami karet ada

juga yang mulai dari pembibitan mengusahakan lahannya


(53)

- Ada petani yang tidak melakukuan pemupukan dalam satu tahun terakhir

karena mahalnya harga pupuk

- Ada beberapa petani yang juga menjadi agen karet di desa

- Ada beberapa petani yang tidak hanya mengusahakan karet tetapi juga


(54)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Produksi Perkebunan Karet Rakyat

Dalam penanaman karet dikenal dua istilah replanting dan newplanting.

Replanting merupakan penanaman ulang tanaman karet setelah tanaman yang

lama dianggap tidak ekonomis lagi. Sedangkan newplanting merupakan penanaman bukaan baru yang sebelumnya tidak ditanami karet. Di desa Naman

Jahe, umumnya areal tanaman karet berasal dari areal hutan. Pengolahan tanah

dimulai dari pembabatan pohon-pohon yang tumbuh. Pembabatan dilakukan

dengan cara manual dengan menggunakan alat-alat seperti cangkul, parang dan

babat. Proses pembukaan lahan diawali dengan membabat semak-semak dan

pohon-pohon kecil serta menebang pohon-pohon besar, kemudian dibakar

sehingga lahan bersih yang kemudian dilakukan pengolahan tanah dengan

menggunakan cangkul, lalu dilakukan pembuatan lubang tanam secara tunggal .

Bibit yang akan ditanam adalah bibit yang mempunyai 2-3 payung daun dengan

jarak tanam yang bervariasi. Jarak tanam yang digunakan petani sampel dapat

dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Jarak Tanam yang Digunakan Petani Sampel di Desa Naman Jahe Tahun 2013

No. Jarak tanam (m xm) Jumlah sampel

1 2.5 x 5 8

2 3 x 5 16

3 3 x 6 24

4 4 x 6 2

TOTAL 50


(55)

Untuk mendapatkan hasil yang baik diperlukan sistem penanaman yang sesuai.

Sistem tanam yang digunakan petani pada umumnya monokultur atau tanaman

karet sebagai tanaman utama dan tidak ada tanaman lain yang dibudidayakan

diantara tanaman karet. Hasil produksi tanaman karet tergantung pada jumlah

pokok batang karet, jumlah pokok karet berbeda-beda setiap usahatani yaitu

tergantung pada jarak tanam yang digunakan setiap petani. Jarak tanam juga tidak

bagus jika terlalu rapat, karena akan menghalang masuknnya penyinaran matahari.

Pemeliharaan tanaman karet di daerah penelitian sangat jarang dilakukan.

Umumnya petani membiarkan saja tanaman karet dan sangat jarang atau pun

sedikit sekali yang memberikan perawatan khusus umumnya dalam pengendalian

penyakit. Penyakit yang sering menyerang tanaman adalah disebabkan oleh jamur

yang bisa membuat tanaman mati atau ketika penanaman baru tanaman karet mati

muda dan menular/berjangkit sesama pohon lain dan menyebabkan pohon lain

juga terserang.

Pemeliharaan yang dilakukan petani yaitu penyiangan gulma. Penyiangan yang

dilakukan petani yaitu secara manual dan secara kimiawi. Penyiangan secara

manual yaitu pembersihan rumput dan lalang menggunakan parang babat untuk

disiangi disekeliling tanaman karet atau disepanjang barisan tanaman dengan cara

dibabat. Sedangkan secara kimiawi yaitu menggunakan obat-obatan. Jenis yang

digunkan adalah herbisida Round up dan gramoxone dengan menggunakan


(56)

Perawatan yang diberikan petani berupa pemberian pupuk dengan frekuensi 1-2

kali satahun dan ada juga yang tidak memberikan pupuk sama sekali dengan

membiarkan saja tanamannya. Umumnya petani menggunakan pupuk Urea,

SP-36, Ponska. Perbandingan antara petani yang menggunakan pupuk dan petani

yang tidak menggunakan pupuk dalam budidaya karet dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Perlakuan Pupuk Dalam Usahatani Karet di Desa Naman Jahe Tahun 2013

No Pemupukan Frekuensi / Tahun Jumlah sampel

1 Dilakukan 1-2 Kali 36

2 Tidak Dilakukan - 14

Jumlah 50

Sumber : Data Primer

Kekurangan unsur hara pada tanaman karet pada umumnya berhubungan erat

dengan kebutuhan unsur untuk pertumbuhan dan penyadapan. Tanda-tanda

kekurangan unsur hara bisa diperhatikan dari penampakan tanaman.

Pada daerah penelitian perlakuan pemupukan juga terdapat dijumpai, hal ini

disebabkan karena harga pupuk yang mahal serta karena umur tanman yang sudah

tua, yang menyebabkan petani merasa tidak perlu lagi dilakukan pemupukan.

Pemungutan hasil tanaman karet disebut penyadapan karet. Penyadapan karet

merupakan mata rantai pertama dalam proses produksi karet. Penyadapan

dilaksanakan di kebun produksi dengan menyayat atau mengiris kulit batang


(57)

batang yang disadap adalah modal utama untuk berproduksinya tanaman karet.

Kesalahan dalam penyadapan akan membawa akibat yang sangat merugikan baik

bagi pohon itu sendiri maupun bagi produksinya.

Pada tanaman muda, penyadapan umumnya telah dimulai pada umur 5-6 tahun,

tergantung pada kesuburan pertumbuhannya. Penyadapan yang dilakukan di

daerah penelitian adalah dengan sistem empat hari sadap dan satu hari untuk

mengumpulkan hasil. Jadi penyadapan dilkakukan empat hari dalam seminggu

pada hari normalnya. Tetapi ada juga yang tidak sampai dalam empat hari dalam

seminggu, bisa saja dua atau tiga hari penyadapan dalam seminggu, ini

disebabkan karena faktor cuaca misalnya musim penghujan atau hari kurang

cerah, sehingga petani tidak bisa atau sulit dalam mengadakan penyadapan.

Penyadapan dilakukan dengan mengiris kulit batang tanaman karet dengan dalam

irisan ± 2 mm. Penyadapan dilakukan empat hari dalam seminggu dan biasanya

petani menyadap pada pagi hari dengan waktu penyadapan sekitar 3-4 jam, dan

setelah 4 hari melakukan penyadapan dalam ukuran normalnya selanjutnya 1 hari

untuk pengumpulan hasil getah karet (cup lump). Pengumpulan hasil dilakukan dengan mangkuk penampung yang biasanya digunakan petani dari tempurung

kelapa dan getah dalam keadaan menggumpal. Biasanya mangkuk penampung

getah karet dapat menampung sebanyak 90 gr getah karet. Biasanya petani

mengumpulkan hasil produksi (getah karet) setiap hari kamis karena hari jumat

diadakannya pasar getah yang diadakan pada siang hari. Hasil produksi (getah

karet) akan dijual kepada pedagang pengumpul ataupun agen yang mana


(58)

pengolahan. Untuk mengetahui produksi perkebunan karet rakyat per hektar dapat

dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Produksi dan Produktivitas Getah Karet Rakyat di Desa Naman Jahe Tahun 2013

Skala usaha (ha)

Produksi (kg/tahun)

Produktivitas (kg/ha/tahun)

≤ 1 78.055 90.078

> 1 22.127 12.173

Sumber: Data Primer diolah dari Lampiran 11

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, produksi setiap tanaman karet yang

dimiliki petani berbeda-beda, hal ini dikarenakan jumlah pokok tanaman karet

setiap lahan berbeda yaitu jumlahnya dihitung berdasarkan jarak tanam yang

digunakan. Rendahnya hasil produksi pada perkebunan rakyat ini disebabkan

karena rata-rata umur tanaman karet di daerah penelitian tergolong sudah tua yang

mengakibatkan sedikitnya jumlah getah karet yang dihasilkan dari pokok batang

tanman karet serta kurangnya perhatian petani akan tanamannya untuk melakukan

pemupukan secara rutin.

Skala luas lahan yang lebih kecil lebih efisisen dari skala luas lahan yang lebih

besar (economic of scale). Hal ini disebabkan karena tanaman pada lahan yang tidak terlalu luas memberikan hasil yang lebih tinggi bila dibandingkan luas lahan

yang luas, yaitu untuk skala usaha lebih kecil sama dengan satu produktivitasnnya

sebesar 90.078 kg/ha/tahun, sedangkan untuk skala usaha besar dari satu sebesar

212.173 kg/ha/tahun. Luas pertanaman yang luas menuntut perawatan yang


(59)

memiliki cukup waktu, biaya, dan tenaga kerja untuk merawat dan

membudidayakan tanaman karet dengan baik.

5.2 Pendapatan Petani Perkebunan Karet Rakyat

Sarana Produksi

Di daerah penelitian umur tanaman karet pada umumnya berkisar antara 11

sampai 37 tahun. Hal ini berpengaruh pada pemakaian sarana produksi termasuk

pupuk serta penggunaan tenaga kerja yanag berbeda pada pada tanaman karet

yang lebih muda. Pemberian pupuk pada tanaman karet yang lebih tua, dosisnya

lebih rendah jika dibandingkan dengan tanaman yang masih muda sehingga

kebutuhan tenaga kerja yang digunakan lebih sedikit, selain itu tanaman yang

sudah tua juga membutuhkan perawatan yang lebih sedikit. Seperti yang telah

diketahui di daerah penelitian umur tanaman karet sejumlah besar sudah tergolong

tanaman tua.

Sarana produksi petani karet di Desa Naman Jahe terdiri dari jumlah pokok

(batang), atau jumlah bibit karet, pupuk, dan obat-obatan yang dapat dilihat pada


(60)

Tabel 14. Rata-Rata Penggunaan Sarana Produksi Pada Usahatani Karet Rakyat di Desa Naman Jahe Tahun 2013

No uraian per/ Petani/ tahun per/ha/tahun

1 Jumlah pokok /bibit (batang)

595 625

2 Urea (Kg) SP-36 (Kg) Ponska (Kg)

180 144 144 180 144 144

3 Round up (lt) Gramaxone (lt)

1.14 0.64

1.2067 0.6267

Sumber : Diolah dari Lampiran 2

Hasil produksi tanaman karet di daerah penelitian berupa getah karet, yaitu

diperoleh dari hasil sadapan batang atau pokok tanaman karet. Hasil produksi atau

getah karet bisa banyak dihasilkan tergantung dari jumlah batang atau pokok

tanaman karet yang ditanam petani. Semakin banyak pokok karet yang dimiliki

petani semakin banyak pula getah karet yang dihasilkan. Pada tanaman karet

menghasilkan mulai dari umur lima tahun. Untuk mendapatkan hasil yang banyak

terlebih dahulu diperhatikan jarak tanam serta kebutuhan bibit atau pokok karet

yang akan ditanam.

Kebutuhan bibit tanaman karet tiap hektar berbeda-beda pada setiap petani, hal ini

dipengaruhi oleh jarak tanam yang digunakan. Jarak tanam yang umum

digunakan yaitu 3 m x 7 m dimana dengan jarak tersebut dapat menghasilkan 460

bibit/batang karet. Disamping bibit yang di tanam langsung, disiapkan pula bibit

untuk sulaman sebanyak 5 % dari jumlah yang akan ditanam maka kebutuhan

bibit yang akan ditanam yaitu sebanyak 500 batang (Tim Penulis, 2008).

Sedangkan pada daerah penelitian jarak tanam terkecil yaitu 2.5 m x 5 m dengan


(61)

menghambat masuk penyinaran matahari. Kebutuhan pokok atau bibit tanaman

karet di daerah penelitian yaitu 595 batang/petani/tahun, hal ini diperoleh dari

penjumlahan tiap bibit yang digunakan sampel penelitian sebanyak 50 sampel

dibagi dengan jumlah sampel penelitian, dimana kebutuhan bibit setiap sampel

berbeda-beda karena jarak tanam yang digunakan juga berbeda-heda. Sedangkan

untuk kebutuhan pokok atau bibit per hektarnya sebesar 625 batang/ha/tahun, hal

ini diperoleh dari penjumlahan kebutuhan bibit yang dibutuhkan petani sampel

dibagi dengan luas lahan yang dimiliknya dibangi dengan besar sampel yaitu

sebanyak 50 sampel petani. Dengan demikian jelas berbeda kebutuhan bibit yang

dibutukan petani di daerah penelitian dengan kebutuhan bibit yang seharusnya

dibutukan tiap hektarnya, hal ini disebabkan oleh berbedanya jarak tanam yang

digunakan setiap petani maka berbeda pula kebutuhan bibit yang seharusnya

dibutuhkan.

Untuk meningkatkan produktivitas karet, pemupukan merupakan salah satu faktor

penentu keberhasilan. Dalam pemberian pupuk sebaiknya jangan dilakukan pada

musim penghujan karena pupuk akan cepat tercuci oleh air hujan. Pemberian

pupuk dilakukan pada saat pergantian musim, antara musim penghujan ke musim

kemarau. Untuk menghemat biaya, maka jumlah pohon sangat diperlukan untuk

penentuan banyaknya pupuk yang digunakan. Pohon-pohon yang baik untuk

disadap saja yang dipupuk dan dosis pemupukannya dihitung perpohon. Pada

umumnya waktu pemupukan tidak bisa dipastikan untuk tanaman karet karena

masing-masing daerah di Indonesia berlaianan sifat dan keadaan iklimnya,

sedangkan pengadaan pupuk harus disiapkan agar jangan sampai disimpan untuk


(62)

pupuk hanya dapat digunakan sekali saja. Pemberian pupuk dilakukan dua kali

setiap tahun dengan dosis berdasarkan jenis tanah. Tanaman karet di daerah

penelitian rata-rata sudah menghasilkan dan jenis tanah di daerah penelitian yaitu

jenis tanah latosol.

Di daerah penelitian jenis pupuk yang sering digunakan yaitu urea, sp-36 dan

ponska. Pupuk urea merupakan pupuk kimia yang mengandung nitrogen yang

berkadar tinggi, selain itu dapat membuat daun tanaman menjadi lebih hijau,

mempercepat pertumbuhan dan menambah kandungan protein tanaman khusunya

pada tanaman karet. Pupuk SP-36 merupakan sumberdaya posfor untuk tanaman

karet, serta mudah larut dalam larutan air, fungsi dari pupuk ini ialah

mempercepat pertumbuhan akar agar pohon karet tahan terhadap kekeringan di

musim kemarau, meningkatkan hasil produksi getah karet serta menambah

ketahanan terhadap hama dan penyakit tanaman karet. Pupuk ponska memiliki

manfaat yaitu menjadikan daun tanman menjadi lebih hijau dan segar,

mempercepat pertumbuhan tanaman, memacu pertumbuhan akar, menjadikan

batang lebih tegak, serta memperbesar jumlah buah atau biji tiap tangkai.

Di daerah penelitian dosis yang digunakan untuk pemakaian pupuk urea, SP-36

dan ponska yaitu 180, 144 dan 144 kg/petani/tahun begitu juga hasilnya sama

untuk setiap hektarnya, sedangkan menurut Tim Penulis (2008) dosis pupuk urea,

SP-36 dan ponska yang seharusnya digunakan untuk tanman karet yaitu 280, 219


(63)

Penggunaan tiap pupuk pada tanaman karet di daerah penelitian yaitu dari

penjumlahan kebutuhan pupuk yang digunakan setiap petani dibagi dengan

jumlah petani sampel. Jelas berbeda pemberian dosis pupuk pada petani didaerah

penelitian, hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan petani akan pemberian

pupuk pada tanaman karet, dimana petani hanya dapat menerka atau mengira

dosis yang akan diberikan kepada tanaman karet, tidak hanya itu minimnya modal

yang dimiliki petani untuk dapat membeli pupuk.

Kerusakan dan kematian tanaman merupakam masalah penting pada perkebunan

karet. Kerusakan dan kematian tanaman karet dapat disebabkan oleh gangguan

hama penyakit, gulma, atau gangguan fisik dan kimia. Usaha menanggulangi

masalah ini hendaknya dilaksanakan secara terpadu. Masalah gulma di

perkebuanan karet dianggap serius karena bisa mengakibatkan terjadinya

persaingan dalam penyerapan unsur hara, air, cahaya, dan ruang tempat tumbuh.

Disamping itu, ada beberapa jenis gulma yang bisa mengeluarkan zat penghambat

pertumbuhan sehingga pertumbuhan tanaman terhambat dan menjelang waktu

penyadapan produksinya rendah. Pengendalian gulma harus dilakukan sejak

tanaman masih di pembibitan. Hal ini dilakukan untuk menjaga pertumbuhan

tanaman agar tetap baik. Gulma berbahaya atau alang-alang merupakan salah satu

jenis gulma berbahaya. Pemberantasan alang-alang ini dapat dilakukan secara

manual yaitu dengan mencabut akar-akarnya dengan garpu dan dijemur di sinar

matahari. Selain secara manual, alang-alang bisa diberantas secara kimia,

terutama bagi yang tumbuh berkelompok. Herbisida yang digunakan bisa berupa

gramaxone dengan konsentrasi 1-2 % atau roundup dengan konsentrasi 0,6-0,8 %.


(1)

Lanjutan Lampiran 14. Biaya Total, Total Produksi, Biaya Rata-Rata, Penerimaan, Pendapatan Petani dan Per Ha

Lahan

Sampel

Biaya Total Biaya Total Total

Biaya

Rata-rata Biaya Rata-rata Total Total Total Total

(Ha)

(TC) Per

Petani (TC) Per Ha Produksi

(AC) Per

Petani (AC) Per Ha

Penerimaan Per Petani

Penerimaan Per Ha

Pendapatan Per Petani

Pendapatan Per Ha

(Rp) (Rp) (Q) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp)

1 47 7.707.500 7.707.500 1625 4743,07 4743,07 12.262.000 12.262.000 4.554.500 4.554.500 1 48 8.986.350 8.986.350 2292 3920,74 3920,74 17.439.700 17.439.700 8.453.350 8.453.350 1 49 10.467.350 10.467.350 2340 4473,22 4473,22 17.831.700 17.831.700 7.364.350 7.364.350 1 50 8.241.000 8.241.000 1760 4682,38 4682.38 13.347.000 13.347.000 5.106.000 5.106.000 1.5 11 15.694.650 10.463.100 3177 4940,08 3293,38 24.417.300 16.278.200 8.722.650 5.815.100 1.5 20 15.584.250 10.389.500 3485 4471,80 2981,20 26.656.500 17.771.000 11.072.250 7.381.500 2 5 18.219.000 9.109.500 3250 5605,84 2802,92 24.816.000 12.408.000 6.597.000 3.298.500 2 28 20.829.600 10.414.800 3952 5270,64 2635,32 30.071.200 15.035.600 9.241.600 4.620.800 2 34 22.442.350 11.221.175 4239 5294,25 2647,12 32.398.700 16.199.350 9.956.350 4.978.175 2 44 21.117.400 10.558.700 4024 5247,86 2623,93 30.722.800 15.361.400 9.605.400 4.802.700

Jumlah 461.936.400 463.780.425 100182 226327,85 265774,98 762.174.800 776.786.850 300.238.400 313.006.425

Rata-rata 9.238.728 9.275.608 2003.64 4526,55 5315,49 15.243.496 15.535.737 6.004.768 6.260.128


(2)

Lampiran 15. Rata-rata Biaya Total, Penerimaan dan Pendapatan Petani, Tahun 2013

Luas

Keterangan

Biaya Total, Penerimaan dan Pendapatan Petani di Bulan

Total

Lahan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

(ha) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp)

0,5

Biaya Total 470.100 418.444 393.652 344.819 274.319 290.594 317.223 353.936 405.569 395.831 401.036 398.919 4.464.442 Penerimaan 825.750 722.250 672.666 575.000 434.000 466.550 519.808 593.233 696.500 677.025 687.433 683.200 7.553.416 Pendapatan 355.650 303.806 279.014 230.018 159.681 175.956 202.585 239.297 290.931 281.194 286.397 284.281 3.088.810

1

Biaya Total 942.033 843.019 807.752 740.049 592.908 603.202 643.811 718.849 813.633 802.899 835.124 859.046 9.202.325 Penerimaan 1.658.812 1.460.784 1.390.250 1.254.843 960.562 981.150 1.062.369 1.212.443 1.402.013 1.380.543 1.444.993 14.928.37.5 15.701.603 Pendapatan 716.779 617.765 582.498 514.794 367.654 377.948 418.557 493.594 588.379 577.644 609.869 633.791 6.499.278

1,5

Biaya Total 1.526.250 1.391.475 1.343.250 1.255.500 1.047.750 935.200 1.173.900 1.286.350 1.434.150 1.395.525 1.415.950 1.434.150 15.639.450 Penerimaan 2.574.000 2.304.450 2.208.000 2.032.500 1.617.000 1.391.900 1.869.300 2.094.200 2.389.800 2.312.550 2.353.400 2.389.800 25.536.900 Pendapatan 1.047.750 912.975 864.750 777.000 569.250 456.700 695.400 807.850 955.650 917.025 937.450 955.650 9.897.450

2

Biaya Total 1.990.250 1.825.212 1.783.750 1.673.000 1.426.250 1.473.675 1.567.100 1.688.700 1.857.800 1.761.425 1.800.675 1.804.250 20.652.088 Penerimaan 2.997.000 2.666.925 2.584.000 2.362.500 1.869.000 1.963.850 2.150.700 2.393.900 2.732.100 2.539.350 2.617.850 2.625.000 29.502.175 Pendapatan 1.006.750 841.713 800.250 689.500 442.750 490.175 583.600 705.200 874.300 777.925 817.175 820.750 8.850.088


(3)

Lampiran 16. Rata-rata Biaya Total, Penerimaan dan Pendapatan Per Ha, Tahun 2013

Luas

Keterangan

Biaya Total, Penerimaan dan Pendapatan Per Ha di Bulan

Total

Lahan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

(ha) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp)

Biaya Total 940.388 836.888 787.305 689.638 548.638 581.188 634.447 707.872 811.138 791.663 802.072 797.838 8.929.075 0,5 Penerimaan 1.651.500 1.444.500 1.345.333 1.150.000 868.000 933.100 1.039.617 1.186.466 1.393.000 1.354.050 1.374.866 1.366.400 15.106.833 Pendapatan 711.112 607.612 558.028 460.362 319.362 351.912 405.169 478.594 581.862 562.387 572.794 568.562 6.177.758

1

Biaya Total 942.033 843.019 807.752 740.049 592.908 603.202 643.811 718.849 813.633 802.899 835.124 859.046 9.202.325 Penerimaan 1.658.812 1.460.784 1.390.250 1.254.843 960.562 981.150 1.062.369 1.212.443 1.402.013 1.380.543 1.444.993 149.283 15.701.603 Pendapatan 716.779 617.765 582.498 514.794 367.654 377.948 418.557 493.594 588.379 577.644 609.869 633.791 6.499.278

1,5

Biaya Total 1.017.500 927.650 895.500 837.000 698.500 623.466 782.600 857.566 956.100 930.350 943.966 956.100 10.426.300 Penerimaan 1.716.000 1.536.300 1.472.000 1.355.000 1.078.000 927.933 1.246.200 139.6133 1.593.200 1.541.700 1.568.933 1.593.200 17.024.600 Pendapatan 698.500 608.650 576.500 518.000 379.500 304.466 463.600 538.566 637.100 611.350 624.966 637.100 6.598.300

2

Biaya Total 995.125 912.606 891.875 836.500 713.125 736.837 783.550 844.350 928.900 880.712 900.337 902.125 10.326.043 Penerimaan 1.498.500 1.333.462 1.292.000 1.181.250 934.500 981.925 1.075.350 1.196.950 1.366.050 1.269.675 1.308.925 1.312.500 14.751.087 Pendapatan 503.375 420.856 400.125 344.750 221.375 245.088 291.800 352.600 437.150 388.962 408.588 410.375 4.425.045


(4)

Lampiran 17.

Scatterplot

Gambar 1.

Scatterplot

Total Biaya (Rp)

Gambar 2.

Scatterplot

Biaya Rata-Rata (kg) berdasarkan Luas Lahan

0 5000000 10000000 15000000 20000000 25000000

0 0,5 1 1,5 2 2,5

Total Biaya

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000

0 0,5 1 1,5 2 2,5


(5)

Gambar 3. Kurva Rata-rata Biaya Total Petani Selama Satu Tahun, Tahun

2013

Gambar 4. Kurva Rata-rata Penerimaan Petani Selama Satu Tahun, Tahun

2013

-500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 B iaya T ot al P e tan i 0.5 1 1.5 2 0 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 3.500.000 P en eri m a a n P et a n i 0.5 1 1.5 2 0 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 3.500.000 P e nda pa ta n P e ta ni 2 1.5 1 0.5


(6)

Gambar 5. Kurva Rata-rata Pendapatan Petani Selama Satu Tahun, Tahun

2013

Gambar 6. Kurva Rata-rata Biaya Total Per Ha, Tahun 2013

Gambar 7. Kurva Rata-rata Penerimaan Per Ha, Tahun 2013

Gambar 8. Kurva Rata-rata Pendapatan Per Ha, Tahun 2013

0 200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 1.200.000 B iaya T ot al P e r H a 0.5 1 1.5 2 0 200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 1.200.000 1.400.000 1.600.000 1.800.000 2.000.000 P en eri m a a n P er H a 0.5 1 1.5 2 0 100.000 200.000 300.000 400.000 500.000 600.000 700.000 800.000 P e nda pa ta n P e r H a 0.5 1 1.5 2