DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA INCEST (Studi Putusan No.24/Pid.B/2012/PN.KLD)

fitriyanto

ABSTRAK
DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN
PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA INCEST
(Studi Putusan No.24/Pid.B/2012/PN.KLD)
Oleh
FITRIYANTO

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menjunjung
tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersama
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum
dan pemerintah tersebut tanpa ada kecuali. Seiring perkembangan teknologi,
orang dengan mudah mendapat berita kriminal juga informasi dan pengalaman
pornografi melalui banyak jenis media, dan akses internet. Akibatnya menjadi
model bagi mereka yang tidak dapat menahan nafsu seksualnya sehingga memicu
tindak pidana pemerkosaan antara lain tindak pidana Incest yang dilakukan oleh
Salim bin Natam (Putusan No. 24/Pid.B/2012/PN.Kld.). pada skripsi ini,
permasalahan yang diteliti oleh penulis adalah apa yang menjadi dasar hakim
dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana incest dan faktor-faktor
apa saja yang menjadi penghambat hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap

pelaku tindak pidana incest.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan
pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif merupakan pendektan
yang dilakukan dengan cara memperoleh teori-teori dan konsep-konsep yang
berhubungan dengan masalah dan pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan
yang mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa sikap, penilaian, perilaku
pendapat yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa,
dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak
pidana incest ada dua macam, yaitu : pertama Pertimbangan Yuridis yaitu : a.
Formil: dimana dalam persidangan telah diperoleh alat-alat bukti dan keterangan
saksi-saksi yang dapat meyakinkan hakim untuk menjatuhkan putusan
pemidanaan kepada terdakwa, b. Materiil: dimana unsur-unsur dalam Pasal 81
ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Jo Pasar 64 ayat (1) KUHP telah terpenuhi sebagaimana
dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum telah terpenuhi. Kedua Pertimbangan Non
Yuridis yaitu :1.Latar belakang perbuatan terdakwa yaitu rendahnya tingkat
perekonomian pelaku sehingga istri terdakwa harus bekerja yang dimanfaatkan

fitriyanto


terdakwa untuk melakukan tindak kejahatan, 2.Akibat perbuatan pelaku yaitu
menimbulkan luka psikis dan trauma, 3.Kondisi diri terdakwa yaitu Berdasarkan
hasil pemeriksaan pada persidangan terdakwa merupakan seseorang yang sehat
jasmani dan rohaninya, 4. Faktor sosial ekonomi terdakwa yaitu pelaku tidak
sempat mengenyam bangku sekolah, 5.Faktor agama terdakwa yaitu rendahnya
tingkat keimanan/ketakwaan dalam melaksanakan ajaran agamanya. Faktor
Penghambat Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana
incest yaitu Faktor Masyarakat, masyarakat anarkis atau main hakim sendiri jika
ada kasus pidana incest dan Faktor Kebudayaan, ketakutan akan perpecahan
keluarga memungkinkan keluarga untuk memilih diam dan memmilih untuk
menyimpan aib.
Saran yang dapat diberikan Penulis dalam penelitian ini adalah Pemerintah
melalui aparat hukumnya memberikan pemahaman hukum agar masyarakat
mengerti hukum dan ke depannya tidak ada lagi tindakan anarkis dan masyarakat
menjadi aktif dalam artian akan melaporkan segala kejahatan yang terjadi
khususnya tindak pidana incest, dan memberikan pelayanan sosial atau
pendampingan kepada korban pasca trauma tindak pidana incest oleh ahli-ahli di
bidang nya seperti pakar psikologis.
Kata Kunci


: Incest. Tindak Pidana, Pertimbangan Hakim

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
ABSTRAK
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN
RIWAYAT HIDUP
PERSEMBAHAN
MOTO
SANWACANA
DAFTAR ISI

Halaman
I.

II.


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …. ...........................................................................

1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ..................................................

7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ......................................................

8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual.....................................................

10

E. Sistematika Penulisan .......................................................................

14


TINJAUAN PUSTAKA
A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. ........

16

1. Kekuasaan Kehakiman. ..............................................................

16

2. Hakim dan Kewajibannya. ..........................................................

16

B. Dasar Pertimbangan Hakim ..............................................................

18

C. Pengertian Tindak Pidana .................................................................


21

D. Pengertian Tindak Pidana Incest. ......................................................

23

E. Pertanggungjawaban Pidana. ............................................................

25

III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah ..........................................................................

28

B. Sumber dan Jenis Data .....................................................................

28

C. Penentuan Populasi dan Sampel........................................................


30

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ..................................

31

E. Analisis Data .....................................................................................

33

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden. ..................................................................
B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan
Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Incest
(Studi Putusan No. 24/Pid. B/ 2012/PN.Kld). ..................................
C. Faktor-Faktor yang Menjadi Penghambat
Hakim dalam Menjatuhkan Pidana terhadap
Pelaku Tindak Pidana Incest
(Studi Putusan No. 24/Pid. B/ 2012/PN.Kld).....................................


34

35

45

V. PENUTUP
A. Simpulan. ........................................................................................... 50
B. Saran. .................................................................................................. 52

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menjunjung
tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersama
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum

dan pemerintah tersebut tanpa ada kecuali. Hal ini dipertegas dalam Pasal 1 ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu sebagai berikut: ‘’ Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar’’
Perubahan sosial terjadi begitu cepatnya seiring dengan perkembangan teknologi.
Alat-alat komunikasi seperti internet, radio, televisi, telepon seluler atau
handphone, koran dan majalah telah masuk ke seluruh pelosok wilayah Indonesia.
Seiring itu, masuk pula budaya-budaya baru yang sebenarnya tidak cocok dengan
norma-norma yang dianut oleh bangsa Indonesia. Orang dengan mudah mendapat
berita kriminal seks melalui tayangan televisi maupun tulisan di koran dan
majalah. Juga informasi dan pengalaman pornografi melalui banyak jenis media,
apalagi dengan kemajuan teknologi sekarang yaitu dengan akses internet. Akibat
tayangan televisi, berita di koran dan media internet yang sering menampilkan
kegiatan seksual dapat menjadi contoh bagi mereka yang tidak dapat menahan

2

nafsu seksualnya sehingga memicu tindak pidana pemerkosaan antara lain tindak
pidana Incest.
Korban incest mendapatkan derita yang tidak sederhana, tekanan kekecewaan,
konflik dan kekhawatiran yang tidak teratasi, menimbulkan gejala neurosis:

seperti rasa takut yang berlebihan, panik, putus asa, perilaku yang tidak
terkendali, kecapaian psikis dan psichosis, seperti tidak mengacuhkan lingkungan
sekitar, selalu dibayang-banyangi oleh hal-hal yang seolah-olah mengancam
dirinya, timbul rasa depresi yang kuat1
Tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung (incest) di Indonesia diatur
dalam Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 81
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta
Pasl 8 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kasus Incest terjadi karena banyak faktor yang
memepengaruhinya, baik yang secara internal maupun eksternal2.

Salah satu contoh kasus yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan, yaitu
putusan No. 24/Pid.B/2012/PN.Kld. Saksi korbanTriana binti Salim yang tinggal
bersama dengan kedua orang tuanya yakni terdakwa Salim bin Natam sebagai
bapak kandung dan Sdr. Sumini sebagai ibu kandungnya yang beralamat di Dusun
Rowo Rejo, Desa Bumi Jaya, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lampung
Selatan yang pada suatu malam yang sudah tidak bisa diingat lagi sekira pukul
21.00 WIB tahun 2009, pertamakali terdakwa menyetubuhi anak kandungnya

1

2

www.hukumonline.com, Senin 05 Januari 2004.
www.hukumonline.com, Rabu, 7 Mei 2003.

3

sendiri yaitu Saksi Triana binti Salim secara paksa dengan pengancaman. Bahwa
oleh karena ditinggal oleh ibunya selama satu bulan ke Bengkulu, maka selama
satu bulan juga saksi korban Triana binti Salim tinggal berdua dengan terdakwa
dan selama satu bulan itu pula terdakwa menyetubuhi saksi korban Triana binti
Salim secara berulangkali dengan cara paksa hingga sebanyak 7 kali hingga
akhirnya saksi korban hamil dan melahirkan seorang anak perempuan yang diberi
nama Zahra. Pada saat itu saksi korban belum berumur 18 tahun jadi masih
dikategorikan anak. Terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum di tuntut dengan Pasal
81 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Jo Pasar 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Perbuatan amoral itu juga seakan membuka mata kita terhadap fenomena tindak
pidana incest yang belakangan banyak merebak di kalangan masyarakat.
Mirisnya, kita sangat kesulitan untuk mendapatkan data tentang korban kekerasan
seksual tindak pidana incest ini. Anggapan bahwa tindak pidana incest adalah aib
keluarga membuat banyak pihak korban tindak pidana incest yang enggan
melaporkan kejadian yang dialaminya kepada pihak kepolisian. Korban dari
perbuatan tersebut tentu saja lebih banyak didominasi perempuan khususnya
anak-anak.
Tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung (incest) adalah hubungan
seksual yang dilakukan oleh orang-orang yang masih memiliki hubungan darah
(keluarga) yang dilarang untuk dinikahi. Sedangkan Margaret Mead yang dikutip

4

majalah Intisari memaparkan Incest adalah sebagai pelanggaran atas perbuatan
seksual yang terlarang antar dua anggota keluarga inti, kecuali hubungan seksual
suami istri3.
Tindak pelecehan seksual atau pemerkosaan kepada anak merupakan masalah
yang memerlukan perhatian khusus pemerintah karena hal ini berkaitan dengan
moralitas pada generasi bangsa. Dalam hal ini pengadilan yang merupakan
instansi atau lembaga yang menangani masalah hukum perlu memberi perhatian
pada kasus yang berkaitan dengan anak-anak terutama pada kasus kejahatan
seksual. Untuk itu pengadilan perlu memberikan sanksi berat pada pelaku tindak
pidana incest.
Sebagaimana diketahui bahwa Hakim adalah salah satu aparat (alat) penegakan
hukum dalam setiap pemeriksaan melalui proses acara pidana, keputusan hakim
haruslah selalu didasarkan atas surat pelimpahan perkara yang memuat seluruh
dakwaan atas kesalahan terdakwa. Selain itu keputusan hakim juga harus tidak
boleh terlepas dari hasil pembuktian selama pemeriksaan dan hasil sidang
pengadilan. Memproses untuk menentukan bersalah tidaknya perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang, hal ini semata-mata dibawah kekuasaan kehakiman,
artinya hanya jajaran departemen inilah yang diberi wewenang untuk memeriksa
dan mengadili setiap perkara yang datang untuk diadili.
Hakim dalam menjalankan tugasnya dalam menyelesaikan suatu perkara,
khususnya perkara pidana tidak jarang kita temui bahwa untuk menyelesaikan

3

. Majalah Intisari edisi 12 Mei 1992, h. 60

5

satu perkara tersebut memerlukan waktu yang cukup panjang, bisa sampai
berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan dan mungkin bisa sampai satu
tahun lamanya baru bisa terselenggara atau selesainya satu perkara di pengadilan.

Hambatan atau kesulitan yang ditemui hakim untuk menjatuhkan putusan
bersumber dari beberapa faktor penyebab, seperti pembela yang selalu
menyembunyikan suatu perkara, keterangan saksi yang terlalu berbelit-belit atau
dibuat-buat, serta adanya pertentangan keterangan antara saksi yang satu dengan
saksi lain serta tidak lengkapnya bukti materil yang diperlukan sebagai alat bukti
dalam persidangan.

Berbicara tentang masalah tujuan putusan hakim di dalam sistem peradilan
pemeriksaan perkara pidana, hal ini tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri
sebagai alat yang dipakai untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu
perkara. Sehingga bilamana suatu hukum atau undang-undang tidak mempunyai
tujuan, tentunya acara penegakan hukum dan hak-hak asasi manusiapun akan
berjalan dengan suatu ketidakpastian. Oleh sebab itulah di dalam mencapai suatu
tujuan tersebut kuncinya terletak pada aparat hukum itu sendiri.

Sejalan dengan tugas hakim seperti dijelaskan diatas yakni kemampuan untuk
menumbuhkan putusan-putusan atau yang dapat diterima masyarakat. Apalagi
terhadap penjatuhan putusan dalam tindak pidana incest khususnya yang memang
banyak memerlukan argumentasi konkrit dan pasti, maka status hakim
sebagaimana ditentukan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara

6

yang merdeka untuk menyelenggarakan negara hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum dan keadilan berdasarkan hukum
Indonesia.

Banyaknya kasus incest yang tidak dilaporkan karena masih banyak yang
menganggap masalah ini merupakan masalah keluarga semata yang tidak perlu
diketahui dan dicampuri oleh orang lain sehingga kasus ini seperti sesuatu hal
yang tidak terlalu nyata keberadaannya tetapi sebenarnya sudah cukup banyak
yang menjadi korbannya.

Fenomena tindak pidana incest merupakan fenomena gunung es. Sebab tindak
pidana incest masih merupakan tindak kekerasan yang belum begitu terkuak
dalam masyarakat. Bahkan masyakat banyak yang tidak menyadari bahwa ada
peristiwa tindak pidana incest disekitar mereka. Untuk itulah, pemerintah melalui
aparat hukum harus memberikan perhatian lebih pada kasus-kasus tindak pidana
pemerkosaan khususnya tindak pidana incest karena korban biasanya adalah anakanak yang masih dibawah umur. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pada
anak-anak inilah nasib bangsa ditentukan4.

Peranan hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses peradilan tidak
lain adalah putusannya itu sendiri. Maksudnya ada tidaknya kebenaran itu
ditentukan atau diterapkan lewat putusan. Dan didalam hubungan tersebut jelaslah
apa yang ditegaskan bahwa untuk menemukan kepastian, kebenaran dan keadilan
antara lain akan tampak dalam apa yang diperankan oleh hakim dalam

4

m.hukumonline.com/tindak pidana incest masih menonjol/Senin 05 Januari 2004.

7

persidangan, sejak pemeriksaan sampai pada putusan pengadilan bahkan sampai
eksekusinya.

Kaitannya dengan tindak pidana incest, hakim harus jeli dan adil dalam
menjatuhkan vonis. Sebagaimana kita ketahui tidak mudah bagi korban yang
masih keluarga dari si pelaku untuk mengungkapkan aib nya, walaupun untuk
kasus asusila sidang diadakan tertutup untuk umum. Untuk itu, korban harus
mendapatkan bantuan sosial. psikologikal, medikal, dan materi yang diperlukan
baik melalui bantuan pemerintah maupun bantuan sukarela.

Hukum harus ditegakkan, itu merupakan sarana dalam pencapaian keadilan sosial.
Memahami pentingnya penegakan hukum kepada para pelaku tindak pidana incest
dapat ditegakkan sebagaimana mestinya dan seadil-adilnya, maka berdasarkan
latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul
:‘’Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak
pidana Incest (Studi Putusan Nomor 24/PID.B/2012/PN.KLD)’’
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap
pelaku tindak pidana incest (studi putusan Nomor 24/PID.B/2012/PN.KLD)?

8

b. Faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat hakim dalam menjatuhkan
pidana terhadap pelaku tindak pidana incest (studi putusan Nomor
24/PID.B/2012/PN.KLD)?
2.

Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup penelitian ini terbatas pada kajian hukum pidana,
khususnya yang menjadi permasalahan di atas adalah dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana incest dan faktor-faktor
apakah yang menjadi penghambat hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana
terhadap pelaku tindak pidana incest dengan lokasi penelitian dilakukan di
wilayah hukum Pengadilan Negeri Kalianda dan Dosen Fakultas Hukum di
Universitas Lampung tahun 2013.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap

pelaku

tindak

pidana

incest

(studi

putusan

Nomor

24/PID.B/2012/PN.KLD)
b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat hakim dalam menjatuhkan
pidana terhadap pelaku tindak pidana incest (studi putusan Nomor
24/PID.B/2012/PN.KLD)

9

2.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis maupun praktis,
adapun kegunaan teoritis dan praktis itu adalah :
a. Kegunaan Teoritis
1) Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan pemikiran dalam
rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan hukum
pidana dan khususnya mengenai dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana incest.
2) Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan pemikiran kepada
pembuat Undang-Undang dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut
sebagai upaya untuk memberikan pertanggungjawaban pidana yang sesuai
dengan perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana
incest.
b. Kegunaan Praktis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada penegak
hukum dan lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman,
dan lembaga-lembaga lainnya dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan
dengan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku
tindak pidana incest dan faktor-faktor penghambat hakim dalam menjatuhkan
hukuman pidana terhadap pelaku tindak pidana incest yang sesuai dengan undangundang yang berlaku.

10

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan
identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti5.

Putusan hakim atau putusan peradilan merupakan aspek penting dan diperlukan
untuk menyelesaikan perkara pidana. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh tentang kepastian
hukum (rechszekerheids) tentang statusnya dan sekaligus mempersiapkan
langkah-langkah berikutnyaterhadap putusan ataupun melakukan upaya hukum
verzet, banding atau kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. Sedangkan di lain
pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim
merupakan mahkota sekaligus puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran
hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni
dan fakta secara visualisasi etika, mentalitas dan moralitas dari hakim yang
bersangkutan6.
Aspek pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana yang
didakwakan merupakan konteks penting dalam putusan hakim, hakikatnya pada
pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur (bestandellen) dari
suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan

5
6

. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 1986) h. 124
Lilik Mulyadi. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Tekhnik
Penyusunan dan Permasalahannya, (Citra Adtya Bakti : Bandung. 2010) h. 129

11

sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa/penuntut umum. Dapat
dikatakan lebih jauh bahwasannya pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara
langsung akan berpengaruh terhadap amar/dictum putusan hakim7.
Tugas hakim sebagaimana diatur lebih lanjut dalam pasal 10 Undang-undang
Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah hakim bertugas
menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara pidana,
perdata maupun tata usaha negara. Hakim juga cenderung menggunakan teori
keseimbangan yaitu keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan undangundang dan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan kepentingan
masyarakat, kepentingan terdakwa, dan kepentingan korban.
Dasar pertimbangan hakim harus berdasarkan pada keterangan saksi-saksi, barang
bukti, keterangan terdakwa dan alat bukti surat dan fakta-fakta yang terungkap
dalam persidangan, serta unsur-unsur pasal tindak pidana yang disangkakan
kepada terdakwa. Karena putusan yang dibuktikan adalah sesuai dengan faktafakta yang diungkap dipersidangan yaitu melanggar Pasal 64 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 81 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta Pasl 8 huruf a UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.

7

Lilik Mulyadi. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Tekhnik
Penyusunan dan Permasalahannya, (Citra Adtya Bakti : Bandung. 2010) h. 219

12

Putusan hakim harus mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim juga dalam menjatuhkan
putusan cenderung lebih banyak menggunakan pertimbangan yang bersifat yuridis
dibandingkan nonyuridis.
1. Pertimbangan yang bersifat yuridis
a)
b)
c)
d)
e)

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Keterangan terdakwa
Keterangan saksi
Barang-barang bukti
Pasal-pasal peraturan hukum pidana

2. Pertimbangan yang bersifat nonyuridis
a)
b)
c)
d)
e)

Latar belakang perbuatan terdakwa
Akibat perbuatan terdakwa
Kondisi diri terdakwa
Kondisi sosial ekonomi terdakwa
Faktor agama terdakwa8.

Teori yang digunakan dalam membahas faktor-faktor penghambat hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana incest adalah teori yang
dikemukakan oleh Soerjono Soekanto mengenai faktor-faktor penghambat
penegakan hukum, yaitu :
a. Faktor hukumnya sendiri.
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku.

8

. Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo, 2006) h.125

13

e. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta, rasa yang didasarkan pada karsa
manusia didalam pergaulan hidup.9

2.

Konseptual

Konseptual menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang
merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diinginkan
dan diteliti10.
Adapun kerangka konsep pengertian-pengertian dari istilah yang digunakan dalam
penulisan skripsi ini adalah :
1) Pertimbangan adalah memikirkan baik-baik untuk menentukan (memutuskan,
dan sebagainya), memintakan pertimbangan kepada, menyerahkan sesuatu
supaya dipertimbangkan11.
2) Hakim adalah Pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang
undang untuk mengadili12.
3) Pelaku Tindak Pidana adalah orang yang telah membuat suatu tindak pidana
yang memenuhi rumusan tindak pidana yang memenuhi rumusan tindak
pidana13.

9

Soerjono Soekamto. Pengantar Penelitian Hukum (UI Press: Jakarta. 1986) h. 125
. Ibid. h. 32
11
Kamus Besar Bahasa Indonesia 1990:1052
12
. M. Karyadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan Penjelasan Resmi
dan Komentar. (Bogor: POLITTEIA, 1988) h. 4
13
. P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Sinar Baru, 1996) hal.
585
10

14

4) Tindak Pidana adalah kelakuan/Handeling yang diancam dengan pidana, yang
bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan berhungan
oleh orang yang mampu bertanggungjawab14.
5)

Incest, Incest atau inses adalah hubungan seksual antara orang-orang yang
bersaudara dekat yang dianggap melanggar adat, hukum, dan agama15.

6) Pemidanaan adalah penghukuman atau pemberian pidana terhadap orang
yang melakukan suatu tindak pidana16.
E. Sistematika Penulisan
Guna memudahkan pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka
disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN

Pada bab ini akan diuraikan latar belakang dari penulisan. Permasalahan dan
ruang lingkup untuk mencapai tujuan dan kegunaan penelitian selanjutnya
diuraikan mengenai kerangka teoritis dan konseptual yang diakhiri dengan
sistematika penulisan.

14
15

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 1986) h. 56
. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ctk. Pertama (Bandung: Widya Karya, 2005) h. 185

16

. Tri Andrisman, Delik Tertentu Dalam KUHP (Bandar Lampung : Universitas Lampung, 2011)
h. 81

15

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar pemahaman terhadap pengertian-pengertian umum
tentang pokok-pokok bahasan mengenai tugas dan wewenang hakim dalam proses
peradilan pidana, dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan,
Pengertian tindak pidana, pengertian tindak pidana.
III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini menguraikan mengenai metode penulisan, yaitu

pendekatan

masalah, sumber data, penentuan populasi dan pengolahan data, serta analisis
data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Merupakan bab yang menjelaskan tentang pokok masalah yang akan dibahas yaitu
dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak
pidana incest dan faktor penghambat hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap
pelaku tindak pidana incest.
V. PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan yang dapat diambil penulis dan saran-saran yang
berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana
1. Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan

kehakiman

adalah

kekuasaan

negara

yang

merdeka

untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselengaranya negara hukum Republik Indonesia (Pasal 24 UUD
1945 dan Pasal 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamh Agung dan
peradilan di bawahnya yaitu : (1) lingkungan peradilan umum; (2) lingkungan
peradilan agam; (3) lingkungan peradilan militer; (4) lingkungan peradilan tata usaha
negara, serta oleh Mahkamh Konstitusi (Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 2 UU Nomor 49
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Hakim dan Kewajibannya
a. Hakim

Istilah Hakim artinya orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau
Mahkamah; Hakim juga berarti Pengadilan. Berhakim artinya minta diadili

17

perkaranya; mengahikimi artinya berlaku sebagai hakim terhadap seseorang;
kehakiman artinya urusan hukum dan pengadilan, ada kalanya istilah hakim dipakai
oleh orang budiman, ahli dan orang bijaksana1. Dengan demikian fungsi seorang
hakim adalah seorang yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan
atau mengadili setiap perkara yang dilimpahkan kepada pengadilan, seperti yang
diatur dalam pokok-pokok kekuasaan kehakiman tercantum pada Pasal 1 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009, yang diserahkan kepada badan-badan peradilan dan
ditetapkan dengan Undang-Undang.

b. Kewajiban Hakim

Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara (Mengadili), mengadili adalah
serangkaian tindakan hakim, untuk menerima memeriksa dan memutus perkara
pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 ayat (9)
KUHAP), ia tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada aturan hukumnya
atau aturan hukumnya kurang jelas. Oleh karena hakim itu dianggap mengetahui
hukum Curialus Novit. Jika aturan hukum tidak ada ia harus menggalinya dengan
ilmu pengetahuan hukum., jika aturan hukum kurang jelas maka ia harus
menafsirkannya. Hakim sebagai pejabat negara dan penegak hukum wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat serta dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib

1

Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Tehnik Penyusunan dan
Permasalahannya. (Citra Adtya Bakti : Bandung 2010) h. 125

18

memeprtimbangkan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 UU No.
4/2004 Jo. UU No. 48/2009). Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semanda sampai derajat
ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah
seoarng hakim anggota, jaksa advokat, atau panitera (Pasal 30 ayat (1) UU No.
4/2004 Jo. UU No. 48/2009).

Hakim ketua dalam memeriksa perkara di sidang pengadilan harus menggunakan
bahasa Indonesia yang dimengerti oleh para penggugat dan tergugat atau terdakwa
dan saksi (Pasal 153 KUHAP). Di dalam praktek ada kalanya hakim menggunakan
bahasa daerah, jika yang bersangkutan masih kurang paham terhadap apa yang
diucapkan atau ditanyakan si hakim.

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 yang
menyatakan

bahwa:

dalam

sidang

pemusyawaratan,

setiap

hakim

wajib

menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang
diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan2.

B. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap pemeriksaan melalui proses acara pidana,
keputusan hakim haruslah selalu didasarkan atas surat pelimpahan perkara yang
memuat seluruh dakwaan atas kesalahan terdakwa. Selain itu keputusan hakim juga

2

Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Tehnik Penyusunan dan
Permasalahannya. (Citra Adtya Bakti : Bandung 2010) h. 55

19

harus tidak boleh terlepas dari hasil pembuktian selama pemeriksaan dan hasil sidang
pengadilan. Memproses untuk menentukan bersalah tidaknya perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang, hal ini semata-mata dibawah kekuasaan kehakiman, artinya
hanya jajaran departemen inilah yang diberi wewenang untuk memeriksa dan
mengadili setiap perkara yang datang untuk diadili.

Hakim dalam menjalankan tugasnya dalam menyelesaikan suatu perkara, khususnya
perkara pidana tidak jarang kita temui bahwa untuk menyelesaikan satu perkara
tersebut memerlukan waktu yang cukup panjang, bisa sampai berminggu-minggu
atau bahkan berbulan-bulan dan mungkin bisa sampai satu tahun lamanya baru bisa
terselenggara atau selesainya satu perkara di pengadilan.

Hambatan atau kesulitan yang ditemui hakim untuk menjatuhkan putusan bersumber
dari beberapa faktor penyebab, seperti pembela yang selalu menyembunyikan suatu
perkara, keterangan saksi yang terlalu berbelit-belit atau dibuat-buat, serta adanya
pertentangan keterangan antara saksi yang satu dengan saksi lain serta tidak
lengkapnya bukti materil yang diperlukan sebagai alat bukti dalam persidangan.

Berbicara tentang masalah tujuan putusan bebas didalam sistem peradilan
pemeriksaan perkara pidana, hal ini tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri
sebagai alat yang dipakai untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu
perkara. Sehingga bilamana suatu hukum atau Undang-undang tidak mempunyai
tujuan, tentunya acara pegakan hukum dan hak-hak asasi manusiapun akan berjalan

20

dengan suatu ketidakpastian. Oleh sebab itulah di dalam mencapai suatu tujuan
tersebut kuncinya terletak pada aparat hukum itu sendiri.
Sejalan dengan tugas hakim seperti dijelaskan diatas yakni kemampuan untuk
menumbuhkan putusan-putusan atau yang dapat diterima masyarakat. Apalagi
terhadap penjatuhan putusan bebas yang memang banyak memerlukan argumentasi
konkrit dan pasti, kiranya pantaslah status hakim sebagaimana ditentukan Pasal 1
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelanggarakan negara hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya negara hukum dan keadilan berdasarkan hukum Indonesia.

Peranan hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses peradilan tidak
lain adalah putusannya itu sendiri. Maksudnya ada tidaknya kebenaran itu ditentukan
atau ditetrapkan lewat putusan. Dan didalam hubungan tersebut jelaslah apa yang
ditegaskan bahwa untuk menemukan kepastian, kebenaran dan keadilan antara lain
akan tampak dalam apa yang diperankan oleh hakim dalam persidangan, sejak
pemeriksaan sampai pada putusan pengadilan bahkan sampai eksekusinya.

Dasar pertimbangan hakim harus berdasarkan pada keterangan saksi-saksi, barang
bukti, keterangan terdakawa, dan alat bukti surat dan fakta-fakta yang terungkap
dalam persidangan, serta unsur-unsur pasal tindak pidana yang disangkakan kepada
terdakwa. Karena putusan yang dibuktikan adalah sesuai dengan fakta-fakta yang
terungkap di persidangan. Selain itu juga dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan sanksi terhadap terdakwa harus berdasarkan keterangan ahli (surat

21

visum et repertum), barang bukti yang diperlihatkan di persidangan, pada saat
persidangan terdakwa berprilaku sopan, terdakwa belum pernah di hukum, terdakwa
mengakui semua perbuatannya dan apa yang diutarakan oleh terdakwa atau saksi
benar adanya tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.

Unsur-unsur pasal Pasal 284 ayat (1) KUHP, Pasal 285 KUHP, Pasal 286 KUHP,
Pasal 287 (1) KUHP, 289 KUHP, 290 KUHP, 294 (1) KUHP serta dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
terpenuhi. Jadi berdasarkan hal-hal di atas hakim bisa menjatuhkan hukuman yang
sebenar-benarnya dan seadil-adilnya tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.

C. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya,
yang dilakukan dengan suatu maksud, serta terhadap perbuatan itu harus dilakukan
oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Suatu perbuatan sudah memenuhi
unsur tindak pidana, akan tetapi jika dilakukan oleh orang yang tidak
bertanggungjawab atas perbuatannya itu, maka ia tidak dapat dipidana. Selanjutnya
untuk menguraikan pengertian tindak piadana ini dikemukakan pendapat para sarjana
atau para pakar hukum , antara lain:

1. Pompe, memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu:

22

a. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang
dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk
mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
b. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh peraturan
undang-undang yang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum3
2. Simons, memberikan pengertian bahwa tindak pidana adalah “kelakuan
(handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang
berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu
bertanggungjawab”4
3. Moeljatno, memberikan pengertian perbuatan pidana (tindak pidana) adalah
perbutan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan
tersebut”5
4. Wirjono Prodjodikoro, memberikan pengertian tindak pidana adalah “suatu
perbutan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana”6
Berdasarkan pengertian tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar hukum
diatas, dapat diketahui bahwa pada tataran teoritis tidak ada kesatuan pendapat dalam
memberikan definisi mengenai tindak pidana itu sendiri. Moeljatno merumuskan
merumuskan unsur-unsur perbutan pidana/tindak pidana sebagai berikut:

3

. Tri Andriman., Hukum Pidana, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia.
(Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2006) h. 53
4
Moeljatno. Azas-Azas Hukum Pidana (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987) h.5
5
Ibid., h. 54
6
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: Eresco, 1986) h. 54

23

1) perbuatan (manusia);
2) yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil);
dan
3) bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil)7

Syarat untuk memungkinkan adanya penjatuhan pidana adalah adanya perbuatan
(manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Ini merupakan
konsekuensi logis dari asas legalitas sebagai prinsip kepastian. Perumusan delik
dalam KUHP biasanya dimulai dengan kata “barangsiapa” kemudian diikuti
penggambaran perbuatan yang dilarang atau yang tidak dikehendaki atau yang
diperintahkan oleh undang-undang.

D. Pengertian Tindak Pidana Incest

Tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung (incest) adalah hubungan seksual
yang dilakukan oleh orang-orang yang masih memiliki hubungan darah (keluarga)
yang dilarang untuk dinikahi. Tindak pelecehan seksual atau pemerkosaan kepada
anak merupakan masalah yang memerlukan perhatian khusus pemerintah karena hal
ini berkaitan dengan moralitas pada generasi bangsa. Dalam hal ini pengadilan yang
merupakan instansi atau lembaga yang menangani masalah hukum perlu memberi
perhatian pada kasus yang berkaitan dengan anak-anak terutama pada kasus kejahatan

7

Sudarto. Hukum Pidana 1 (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990) h. 43

24

seksual. Untuk itu pengadilan perlu memberikan sanksi berat pada pelaku tindak
pidana perkosaan incest.

Di Indonesia tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung (incest) diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menggunakan pasal-pasal berisi
mengenai perkosaan, persetubuhan dan perzinahan, diantaranya pasal 284 (1) KUHP,
pasal 285 KUHP, Pasal 286 (1) KUHP, Pasal 287 (1) KUHP, 289 KUHP, 290
KUHP, 294 (1) KUHP serta dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Incest dapat terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhinya, baik yang secara
internal maupun eksternal. Banyaknya kasus incest yang tidak dilaporkan karena
masih banyak yang menganggap masalah ini merupakan masalah keluarga semata
yang tidak perlu diketahui dan dicampuri oleh orang lain sehingga kasus ini seperti
sesuatu hal yang tidak terlalu nyata keberadaannya tetapi sebenarnya sudah cukup
banyak yang menjadi korbannya.

Banyaknya kasus incest yang tidak dilaporkan karena masih banyak yang
menganggap masalah ini merupakan masalah keluarga semata yang tidak perlu
diketahui dan dicampuri oleh orang lain, sehingga kasus ini seperti sesuatu hal yang
tidak terlalu nyata keberadaannya tetapi sebenarnya sudah cukup banyak yang
menjadi korbannya.

25

E. Pertanggungjawaban Pidana

Pengertian pertanggungjawaban pidana adalah kewajiban segala sesuatunya, fungsi
menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak lain.
Sedangkan pertanggungjawaban pidana adalah perbuatan (hal dan sebagainya) yang
tercela di mata masyarakat yang merupakan perbuatan yang dipertanggungjawabkan.
Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana, sebagai
telah diancam, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan ini dia mempunyai
kesalahan, sebagai asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah „‟
tiada di pidana jika tiada kesalahan‟‟.
Arti kesalahan, kemampuan brtanggungjawab dengan singkat diterangkan sebagai
keadaan bhatin orang normal, yang sehat. Dalam KUHP kita, tidak ada ketentuan
tentang kemampuan bertanggungjawab. Menurut pasal 44 KUHP, „‟ Barang siapa
yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya,
karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit.

Mengenai masalah keadaan bathin seseorang yang melakukan perbuatan sebagai hal
yang kedua adalah apa yang dalam teori masalah kemampuan bertanggungjawab. Ini
adalah dasar penting untuk adanya kesalahan, sebab bagaimanapun juga keadaan jiwa
terdakwa harus sedemikian rupa hingga dapat dikatakan sehat normal. 8

8

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. (Rineka Cipta : Jakarta. 1986) h.160

26

Perbuatan pidana dapat dipertanggungjawabkan apabila mengandung unsur :
1. Unsur perbuatan melawan hukum
Suatu perbuatan itu dikatakan bersifat melawan hukum, apabila perbuatan itu masuk
dalam rumusan suatu tindak pidana sebagaimana telah disebutkan dalam undangundang. Pengertian perbuatan melawan hukum tidak terlepas dai pengertian tindak
pidana yang mengandung unsur :
b. perbuatan itu harus merupakan perbuatan manusia
c. perbuatan itu harus dilakukan dengan kemauan atau dengan maksud atau
kesadaran dan bukan perbuatan yang merupakan gerakan reflek.
d. Perbuatan itu harus merupakan perbuatan yang bertentangan atau melawan
hukum
e. Perbuatan harus dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan
f. Orang yang mempertanggungjawabkan perbuatan itu harus dihubungkan dengan
kesalahannya, artinya orang itu harus di persalahkan atas perbuatannya.

2. Unsur kemampuan bertanggungjawab

Unsur bertanggungjawab artinya keadaan jiwa harus normal dan tidak dalam
gangguan

kejiwaan.

Pada

dasarnya

sesorang

terdakwa

dianggap

mampu

bertanggungjawab. KUHP tidak memuat mengenai kemampuan bertanggungjawab
namun sebaliknya, dijelaskan pada pasal 44 KUHP.

3. Tidak adanya alasan yang menghapuskan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.

Alasan penghapusan pidana digolongkan menjadi dua, yaitu :

27

a) Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan yang terletak pada diri orang itu,
diatur dalam Pasal 44 KUHP.
b) Alasan tidak dipertanggungjawabkan yang terletak pada diri orang lain, yaitu
daya paksa dalam pasal 49 KUHP, melaksanakan Undang-undang dalam pasal 50
KUHP, melaksanakan perintah jabatan dalam pasal 51 KUHP.

4. Adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa
kesengajaan atau kealpaan

Kesalahan dalam arti seluas-luasnya adalah hubungan batin antara si pembuat
terhadap perbuatannya, yang dicelakan kepada si pembuat itu. Hubungan batin ini
bisa berupa kesengajaan atau alpa. KUHP tidak memberikan pengertian tentang
kesengajaaan, petunjuk tentang arti tentang kesengajaan dapat diketahui dari MvT
(Memorie van Toelichting), yangmemberikan arti kesengajaan sebagai : „‟
menghendaki dan menghendaki‟‟. Dengan demikian, sengaja dapat diartikan
„‟menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan „‟9

9

. Tri Andriman. Hukum Pidana, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia.
(Universitas Lampung : Bandar Lampung. 2006) h. 102

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Usaha pencarian data untuk pembahasan masalah maka dalam penelitian skripsi
ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis
empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan
cara mempelajari teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan
masalah.

Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang mempelajari hukum dalam
kenyataan baik berupa sikap, penilaian, perilaku, pendapat, yang berkaitan dengan
masalah, yang diteliti, dan pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan
penelitian di lapangan.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data dalam penelitian ini menggunakan dua sumber data yaitu
data sekunder dan data primer
a. Data Primer
Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari hasil penelitian di
lapangan, baik melalui pengamatan atau wawancara dengan para responden,
dalam hal ini adalah pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan masalah

29

penelitian. Data diperoleh dari responden-responden yang dalam hal ini adalah
Pengadilan Negeri Kalianda, Dosen Jurusan Hukum pidana.

b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang didapat secarah langsung, yang dalam hal ini
penulis peroleh dari studi kepustakaan dengan menelusuri literatur-literatur
maupun peraturan-peraturan dan norma-norma yang berhubungan dengan masalah
yang akan dibahas dalam penelitian. Jenis data sekunder dalam penelitian ini
terdiri dari bahan hukum primer yang diperoleh dalam studi dokumen, bahan
hokum sekunder, dan bahan hukum tersier, yang diperoleh melalui studi literatur.

a. Bahan Hukum Primer antara lain :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1946 Jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang KUHP.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.
4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
b. Bahan Hukum Sekunder
Data ini merupakan bahan yang memberikan penjelasan terhadap data primer
yang berupa Rancangan Undang-Undang KUHP, Putusan Hakim: Nomor
24/Pid.B/2012/PN.KLD.

30

c. Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri dari :
1. Buku-buku Hukum
2. Literatur
3. dan karya ilmiah yang berkaitan dengan aspek-aspek tindak pidana
incest, meliputi Putusan Pengadilan Negeri.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1.

Penentuan Populasi

Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh gejalah atau
seluruh unit yang akan diteliti1, atau populasi adalah keseluruhan atau himpunan
objek dengan ciri yang sama, dapat berupa himpunan orang, benda, kejadian,
kasus-kasus, waktu dan tempat, dengan sifat atau ciri yang sama2. Objek dalam
penelitian ini adalah hakim yang menangani dan menjatuhkan putusan terhadap
pelaku tindak pidana incest. Dalam penulisan skripsi ini, populasi yang penulis
ambil yakni pada Pengadilan Negeri Kalianda, dan Dosen Fakultas Hukum
Univesitas Lampung.
2. Penentuan Sampel
Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi3. Penulis
menggunakan cara proposal purposive sampling yaitu memilih sampel

1

2

3

Ronny Hanitijo Soemitro. Metedologi Penelitian Hukum dan Jurimetri (Ghalia Indonesia:
Jakarta. 1998) h. 14
Bambang Sunggono. Metedologi Penelitian Hukum. (Raja Grafindo Persada: Jakarta.1997) h.
121
Bambang Sunggono. Metedologi Penelitian Hukum (Raja Grafindo Persada: Jakarta. 1997) h.
121

31

berdasarkan pertimbangan tertentu disesuaikan dengan kedudukan sampel yang
bersangkutan dari masing-masing populasi yang akan diteliti. permasalahan yang
ada dan dengan metode ini juga kemungkinan dapat mewakili dan menjawab
semua permasalahan.
Sampel dalam penelitian ini yang akan dijadikan responden sebagai berikut:
a. Hakim Pengadilan Negeri Kalianda

: 2 orang

b. Dosen Jurusan Hukum Pidana

: 1 orang
Jumlah

3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1.

Prosedur Pengumpulan Data

a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan (library research) dilakukan dengan maksud memperoleh data
sekunder, yaitu dengan serangkaian kegiatan studi dokumentasi dengan cara
membaca, mencatat, mengutip buku atau referensi dan menelaah peraturan
perundang-undangan, juga informasi lainnya yanga ada hubungannya dengan
penelitian.
b. Wawancara
Yaitu pengumpulan data terhadap data primer yang menunjang data sekunder
yang dilakukan secara lisan dengan mengajukan pertanyaan, agar tidak
menyimpang dari permasalahan dilakukan secara berpatokan yaitu pertanyaan
yang telah dipersiapkan terlebih dahuku.

32

2.

Pengolahan Data

Dalam pengolahan data penulis melakuan kegiatan terhadap data sekunder yang
diperoleh dari studi kepustakaan untuk dievaluasi dan kemudian dideskripsikan
dalam bentuk urai-uraian, sedangkan data primer yang diperoleh dari wawancara
dan daftar pertanyaan sebagai berikut :

a. Editing,
Data yang diperoleh diperiksa dan diteliti kembali mengenai kelengkapan,
kejelasan dan kebenarannya, sehingga terhindar dari kekurangan dan
kesalahan.
b. Sistematisasi
Data yang diperoleh dan telah diediting kemudian dilakukan penyusunan dan
penempatan data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis.
c. Klasifikasi data
Yaitu mengklasifikasikan jawaban para responden menurut jenisnya untuk
memudahkan dan menganalisa.
d. Seleksi Data
Yaitu memeriksa kembali kelengkapan data, kebenaran data, dan kejelsan data
yang telah didapat.

E. Analisis Data

Setelah dilakukan pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian diadakan
analisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yang dilakukan dengan cara
menguraikan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimat-

33

kalimat yang disusun secara sistematis, sehingga dapat diperoleh gambaran yang
jelas tentang masalah yang diteliti. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui
serta diperoleh kesimpulan secara induktif, yaitu suatu cara berfikir yang yang
didasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus yang kemudian diambil kesimpulan
secara umum, selanjutnya dengan beberapa kesimpulan tersebut dapat diajukan
saran sebagai rekomendasi.

V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap dasar pertimbangan hakimdalam
menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana incest adalah :
1. Bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku
tindak pidana incest ada dua macam yaitu pertimbangan yuridis yaitu terdiri
dari pertimbangan yuridis formil dan pertimbangan yuridis materiil, dimana
berdasarkan alat bukti dan fakta-fakta di persidangan telah terpenuhinya
unsur-unsur pada pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Sedangkan yang
kedua adalah pertimbangan non yuridis yaitu latar belakang perbuatan
terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, kondis

Dokumen yang terkait

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA INCEST (Studi Putusan No.24/Pid.B/2012/PN.KLD)

3 21 44

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Putusan PN Nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS)

0 7 61

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR: 30/PID/2013/PT.TK)

0 33 77

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR: 30/PID/2013/PT.TK)

0 16 59

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA WARGA NEGARA ASING (Studi Putusan MA Nomor:1599 K/Pid.Sus/2012)

1 28 64

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERBANKAN DALAM PERKARA NOMOR: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK

0 4 60

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENCABULAN TERHADAP ANAK (Studi Putusan Nomor: 66/Pid/2013/PT.TK)

0 0 12

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT (STUDI KASUS PUTUSAN NO.30/PID/2013/PT.TK)

0 2 11

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA PERCOBAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERZINAHAN (Studi Kasus Putusan No: 300/Pid.B/2017/PN.Tjk)

0 0 13

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (Studi Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk)

0 1 15