Analisis Pengaruh Nilai Tukar Rupiah, Inflasi, SBI, Dan Indeks Dow Jones Terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Di Bursa Efek Indonesia (BEI)

(1)

ANALISIS PENGARUH NILAI TUKAR RUPIAH, INFLASI, SBI,

DAN INDEKS DOW JONES TERHADAP PERGERAKAN

INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN (IHSG)

DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI)

TESIS

Oleh

DEDY PRATIKNO

077018030/EP

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

Dedy Pratikno : Analisis Pengaruh Nilai Tukar Rupiah, Inflasi, SBI, Dan Indeks Dow Jones Terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Di Bursa Efek Indonesia (BEI), 2009


(2)

ANALISIS PENGARUH NILAI TUKAR RUPIAH, INFLASI, SBI,

DAN INDEKS DOW JONES TERHADAP PERGERAKAN

INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN (IHSG)

DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Studi Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DEDY PRATIKNO

077018030/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : ANALISIS PENGARUH NILAI TUKAR RUPIAH, INFLASI, SBI, DAN INDEKS DOW JONES TERHADAP PERGERAKAN INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN (IHSG) DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI)

Nama Mahasiswa : Dedy Pratikno

Nomor Pokok : 077018030

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Dede Ruslan, M.Si) (Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur,

(Dr. Murni Daulay, M.Si) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 09 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Dede Ruslan, MSi

Anggota : 1. Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec 2. Dr. Murni Daulay, M.Si

3. Dr. Jonni Manurung, MS 4. Drs. Rahmad Sumanjaya, M.Si


(5)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh nilai tukar, SBI, inflasi dan indeks Dow Jones terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia. Data yang dipakai adalah data sekunder yaitu data SBI, Kurs, Inflasi, Indeks Dow Jones dan IHSG bulan Januari 2004 sampai dengan Februari 2009 (62 observasi). Penentuan jumlah observasi didasarkan atas kondisi fluktuasi yang terjadi dalam waktu penelitian yaitu Januari 2004 sampai dengan Februari 2009. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika dengan metode Ordinary Least Square.

Hasil analisa data diketahui model yang digunakan dalam mengestimasi faktor yang mempengaruhi IHSG sudah baik, karena model terbebas dari pelanggaran asumsi klasik, juga karena variasi kemampuan variabel-variabel penjelas dalam menjelaskan IHSG tergolong tinggi. Dengan tingkat R2 = 0.768 dapat disimpulkan bahwa dari segi uji kesesuaian (Test of goodness of fit) cukup baik, dan hanya 0.232 persen dari determinan yang mempengaruhi IHSG dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian. Secara serempak (simultan) variabel-variabel eksplanatori yang digunakan sangat signifikan pada g = 5% terhadap IHSG. Dari koefisien masing-masing variabel, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pengaruh variabel kurs, SBI dan inflasi sangat signifikan mempengaruhi IHSG.


(6)

ABSTRACT

The purpose of the research is to analysis the stock of exchange rate. SBI, the inflation and indeks Dow Jones for the movement IHSG in BEI (Bursa Efek Indonesia).

The collection file has from the secuder file, they are SBI, Kurs, Inflation, Indeks Dow Jones and IHSG in January 2004 until February 2009 (62 observation). The appoinment value of observation base fluctuation event at the research. The model used in the research are econometrica model and multiple method regression.

The result of analysis file know that the model used to estimated factor influenced IHSG is good, because the model is free asumsi classic transregression, and also capacity varety of variable the explaner to explain IHSG high group. With the layer R2 =0.768, it can concluse of the Test of Goodness of fit enough high, only 0.232 percent of determined influeneed IHSG had explain by the other variable theren’t in observation model. The inflation IHSG had explain by the other variable theren’t in observation model. The inflation variable is a bigger variables influenced is lower and negative for IHSG with together (simultan) the explanatory variable used is very significance at g =5% for IHSG. Every coefisien variable, so we can concluse that the lavel kurs influence variable, SBI and inflation is very significance influenced IHSG.


(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan hikmat dan hidayah kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul

“Analisis Pengaruh Nilai Tukar Rupiah, Inflasi, SBI, dan Indeks Dow Jones terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI)” sebagai tugas akhir pada Program Magister Ekonomi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan bantuan selama proses penyelesaian tesis ini. Secara khusus, penulis haturkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dede Ruslan, M.Si, sebagai Pembimbing I, dan Wahyu Ario Pratomo, SE,

M.Ec sebagai Pembimbing II, yang banyak memberikan arahan, bimbingan dan dorongan pemikiran hingga tesis ini dapat selesai.

2. Dr. Ibu Murni Daulay, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang dengan arif dan bijaksana dapat mengarahkan kami sehingga mampu menyelesaikan pendidikan pada Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh staf pengajar dan pegawai, khususnya pada Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan pengajaran dan bimbingan selama proses perkuliahan hingga penulis mampu menyelesaikan studi ini.

4. Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara angkatan 13 yang telah sama-sama berjuang dengan penulis, dalam menyelesaikan studi dan telah memberikan banyak bantuan dan dukungan yang luar biasa.


(8)

5. Kedua orang tuaku Ayahanda Soerachman dan Ibunda Patoni, Istriku Sriani, SPd, anakku Dafi Ahza Fauzi, serta seluruh keluarga besarku yang ada di Tegal dan Palembang yang selama ini turut memberikan dorongan moril dan materil hingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar nantinya dapat menjadi lebih baik dan sempurna. Akhirnya penulis memohon agar Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dan semua pihak yang telah memberikan bantuannya selama ini.

Medan, September 2009 Penulis,

Dedy Pratikno NIM. 077018030


(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Dedy Pratikno

Tempat dan Tanggal Lahir : Tegal, Jateng, 07 September 1971

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Status Perkawinan : Menikah

Nama Orang Tua

Ayah : Soerachman

Ibu : Patoni

Alamat Rumah : Jl. Mustafa Gang. Mandor Perumahan Citra Pelangi No. B3 Glugur Darat Medan

Pendidikan

1. Tahun 1978-1984 : SDN No. 4 Margadana Tegal 2. Tahun 1984-1987 : SMP Plus I Tegal

3. Tahun 1987-1990 : SMAN I Tegal

4. Tahun 1991-1996 : STIE YKPN Yogyakarta, Jurusan Akuntansi 5. Tahun 2007-2009 : Sekolah Pascasarjana Program Studi Ekonomi


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 10

2.1. Indeks Harga Saham Gabungan ... 10

2.2. Perhitungan Indeks Harga Saham Gabungan... 11

2.3. Pergerakan Harga Saham (Volatilitas)... 12

2.4. Teori Pergerakan Harga Saham ... 16

2.4.1. Teori Random Walk... 16

2.4.2. Teori Elliott Wave... 16


(11)

2.6. Nilai Tukar ... 29

2.7. Inflasi ... 32

2.8. Arbitrage Pricing Theory (APT) ... 34

2.9. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ... 37

2.10. Indeks Dow Jones ... 39

2.11. Penelitian Terdahulu ... 40

2.13. Kerangka Pemikiran... 43

2.14. Hipotesis Penelitian... 43

BAB III METODE PENELITIAN ... 45

3.1. Objek Penelitian ... 45

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 45

3.3. Metode Analisis ... 45

3.4. Model Analisis ... 46

3.5. Uji Kesesuaian (Test Goodness of Fit)... 47

3.6. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 48

3.7. Definisi Operasional ... 50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 51

4.1. Deskripsi Variabel Penelitian... 51

4.1.1. Perkembangan Nilai Tukar... 51

4.1.2. Perkembangan SBI... 52

4.1.3. Perkembangan Inflasi... 54


(12)

4.1.5. Perkembangan IHSG... 57

4.2. Hasil Analisis Data dan Pembahasan... 59

4.2.1. Deskripsi Data... 59

4.2.2. Analisis Regresi... 60

4.3. Uji Statistik Hasil Estimasi Model Penelitian... 62

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

5.1. Kesimpulan ... 71

5.2. Saran... 72


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 42

4.1. Rangkuman Statistik Deskriptif ... 59

4.2. Hasil Uji Multikolinieritas. ... 61


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1. Pergerakan IHSG Januari 2007 s/d Januari 2009... 3

2.1. Kurva Permintaan dan Penawaran Saham ... 12

2.2. Pola Dasar Pergerakan Elliott Wave ... 17

2.3. Skema Kerangka Penelitian ... 43

4.1. Perkembangan Kurs Januari 2004 s/d Februari 2009 ... 51

4.2. Perkembangan SBI Januari 2004 s/d Februari 2009 ... 53

4.3. Perkembangan Inflasi Januari 2004 s/d Februari 2009 ... 55

4.4. Perkembangan Dow Jones Januari 2004 s/d Februari 2009... 56


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Tabulasi Data Variabel... 76

2. Lampiran Regresi Berganda ... 79

3. Uji Multikolinearitas ... 80

4. Uji Multikolinearitas ... 81

5. Uji Multikolinearitas ... 82

6. Uji Durbin-Watson... 83


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Pembiayaan dari sebuah perusahaan diperoleh dari dua sumber yaitu sumber dari dalam perusahaan (internal) berupa laba dan dari luar perusahaan (eksternal) berupa hutang dan penerbitan sekuritas oleh perusahaan. Jika hutang melebihi batas maksimum yang diindikasikan dengan tingginya debt to equity ratio (perbandingan antara hutang dan modal sendiri), maka biaya modal perusahaan tidak lagi minimum. Akibatnya hutang menjadi tidak efektif lagi sebagai sumber pembiayaan perusahaan. Alternatif lain yang dapat dilakukan perusahaan untuk mendapatkan sumber pembiayaan adalah menerbitkan sekuritas yang berupa surat tanda hutang (obligasi) dan surat tanda kepemilikan (saham) melalui pasar modal. Sumber pendanaan melalui saham dianggap paling murah sebagai sumber dana karena mempunyai risiko paling kecil dibandingkan sumber lainnya.

Pada periode sebelum 1990, pasar modal di Indonesia belum berkembang karena pada umumnya perusahaan menerima dana dari bank terutama bank pemerintah. Terbukti dari perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) sampai akhir tahun 1988 baru 24 perusahaan. Pasar modal di Indonesia baru berkembang setelah pemerintah mengeluarkan Pakto 1988 dan Pakdes 1988 yang berisi tentang kebijakan-kebijakan untuk mendorong perkembangan pasar modal.


(17)

Pada akhir 1989, sebanyak 56 perusahaan yang mencatatkan saham di BEI dan terus meningkat dari tahun ke tahun hingga menjadi 330 perusahaan pada akhir 2005 (Sa’adah dan Panjaitan, 2006).

Pertambahan perusahaan yang mencatatkan saham (emiten) dan pertumbuhan ekonomi nasional sangat mendukung aktivitas di bursa saham. Pergerakan indeks saham dapat dilihat lewat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Pada tahun 1985, IHSG hanya mencapai 66,53 poin dan terus meningkat sampai dengan akhir tahun 1996 yang mencapai 637,43 poin. Bahkan pada tahun 1988, peningkatan IHSG mencapai 269,48 persen. Hal ini dapat terjadi karena pada tahun tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan penting untuk mendorong pertumbuhan pasar modal di Indonesia. Peningkatan kegiatan di bursa saham memberikan prospek yang positif terhadap perekonomian nasional sehingga IHSG dapat dijadikan salah satu indikator positif ekonomi yang penting di Indonesia. Sejalan dengan kejatuhan Dow Jones harga saham-saham di BEI juga berguguran sebagaimana terlihat dari penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). IHSG yang pada awal 2008 memasuki masa keemasan pada level 2.830, akibat kepanikan investor indeks juga turun ke level 1.174 pada 30 Oktober 2008 atau telah terkoreksi 59 persen.

Pada Gambar 1.1 diketahui pola pergerakan antara Indeks Hangseng, Indeks Dow Jones dan IHSG. Pola pergerakan ketiga indeks saham tersebut menggambarkan adanya integrasi pasar keuangan global.


(18)

2139 2348 2194 2359 2721 2165 1832

1256 1241 1255 1332 2349 2304 2444 2304 2447 2627 2745 2688 2643 2084 1999 1830 1740 1757 0 500 1000 1500 2000 2500 3000

Jan-07 Feb-07 Mar-07 Apr-07 May-07 Jun-07 Jul-07 Aug-07 Sep-07 Oct-07 Nov-07 Dec-07 Jan-08 Feb-08 Mar-08 Apr-08 May-08 Jun-08 Jul-08 Aug-08 Sep-08 Oct-08 Nov-08 Dec-08 Jan-09

Gambar 1.1. Pergerakan IHSG Januari 2007 s/d Januari 2009

Reaksi turunnya indeks Dow Jones Amerika akan menurunkan IHSG dari 2.745 poin pada Desember 2007 juga menurun menjadi 1.1332 poin pada Januari 2009 atau menurun sebesar 48 persen.

Jogiyanto (2000) menyatakan bahwa lemahnya fondasi perekonomian Indonesia yang menyebabkan krisis moneter di Indonesia berakibat lebih parah dan lebih lama dibandingkan dengan negara ASEAN. Ketidakseimbangan antara jumlah permintaan dan penawaran dolar Amerika dalam jumlah yang relatif besar menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika terus melemah. Hal ini diperparah lagi pada akhir tahun 1997 dengan adanya penutupan 38 bank yang tentunya mempengaruhi pasar modal. Chalimah (1996) menyatakan bahwa dampak dari penutupan bank ini adalah sangat besar karena bank sebagai sektor tersendiri dalam pasar modal dan proporsi nilai yang disumbangkan perbankan terhadap IHSG cukup besar.

Untuk meredam melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika pemerintah menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang pada bulan


(19)

Juli 1998 menyentuh angka 70,81 persen pertahun. Bahkan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) pada bulan Agustus 1998 sebesar 81,01 persen pertahun. Demikian juga bunga deposito berjangka menunjukkan peningkatan hingga pada akhir Juli 1998 mencapai 59,92 persen. Karena suku bunga terus meningkat maka ada kecenderungan investor akan mengalihkan modalnya ke deposito dan tentunya berakibat negatif terhadap pasar modal. Akibat lebih jauh lagi adalah harga saham di pasar modal mengalami penuruan yang sangat drastis. Keadaan ini diperburuk lagi bahwa 90 persen emiten secara teknis sudah bangkrut. Hal ini terlihat dari IHSG yang terus menurun dari tahun 1994 sampai tahun 1998.

Pada periode setelah krisis, IHSG kembali mulai mengalami peningkatan. Tahun 1999 IHSG mencapai 676,92 poin dan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Bahkan pada tahun 2005 IHSG dapat mencapai 1.029,61 poin. Hal ini dapat terjadi karena pada tahun 1999 Indonesia mulai membangun kembali perekonomian nasional yang terpuruk akibat krisis. Pemerintah berusaha memulihkan kondisi pasar modal dengan mengembalikan kepercayaan para investor baik domestik maupun asing agar mau menanamkan modalnya kembali.

Berbagai informasi yang masuk di pasar modal maupun kejadian-kejadian yang tidak berhubungan dengan pasar modal dapat mempengaruhi volatilitas atau naik turunnya harga saham. Pergerakan IHSG dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Pengaruh-pengaruh eksternal seperti pergerakan tingkat suku bunga begitu juga dengan pergerakan indeks saham luar negeri dipercaya telah menjadi faktor dominan yang mempengaruhi IHSG. Sedangkan faktor internal lebih


(20)

dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa dalam negeri seperti ekspektasi rasional investor serta pengaruh dari pergerakan variabel-variabel ekonomi makro lainnya seperti nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, tingkat inflasi, suku bunga (Deposite Rate), suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan jumlah uang beredar (money suply). Tingkat pertumbuhan ekonomi yang berlangsung cukup tinggi, tidaklah secara otomatis mengakibatkan membaiknya situasi pasar modal. Tidak mungkin atau mustahil untuk melihat sebuah persamaan di mana indeks harga saham menjadi fungsi dari pertumbuhan ekonomi, rendahnya tingkat suku bunga, tingkat inflasi dan posisi pembayaran. Karena itu dibutuhkan penjelasan yang tidak bersifat persamaan atau bersifat ekonometris, namun tetap mengandung nalar, dalam pengertian masih dapat dijelaskan hubungan-hubungan tersebut dalam konsep ilmu ekonomi. Pertanyaan-pertanyaan yang langsung timbul adalah menyangkut segi-segi yang sulit dikategorikan sebagai konsep ekonomi atau ilmu ekonomi. Maksudnya bagaimana menempatkan regulasi, perlindungan hukum dan pengaturan transaksi dalam kaitannya dengan perkembangan bursa. Jadi, bila IHSG merosot terus-menerus, sementara pertumbuhan ekonomi berlangsung cukup tinggi dan tingkat inflasi serta tingkat suku bunga deposito menurun, maka memerlukan faktor penjelas yang mungkin sekali berada di luar masalah ekonomi.

Seiring dengan kenaikan inflasi yang bergerak pada kisaran yang lebih tinggi dan juga adanya kecenderungan Bank Indonesia untuk menurunkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), maka dengan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tersebut akan mendorong pertumbuhan uang beredar,


(21)

hal itu diikuti pula dengan melemahnya nilai tukar rupiah, maka harga barang juga akan mengalami kenaikan, karena belum bisa lepas dari inflasi dan juga krisis ekonomi yang masih terjadi. Namun untuk perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung mengalami kenaikan, karena adanya minat dari investor untuk menanamkan modalnya di bursa efek. Bila suku bunga cukup tinggi (lebih tinggi dari capital gain dan deviden per tahun yang bisa diperoleh dari lantai bursa) orang akan memilih menyimpan uangnya di bank. Sebaliknya, bila suku bunga sudah melemah, maka orang akan beralih ke lantai bursa.

Bila suku bunga SBI cukup tinggi (lebih tinggi dari capital gain dan deviden

per tahun yang bisa diperoleh dari lantai bursa) orang akan memilih menyimpan uangnya di bank dan IHSG turun. Sebaliknya, bila suku bunga sudah melemah, maka orang akan beralih ke lantai bursa (Yuniarta, 2008).

Faktor domestik yang mempengaruhi IHSG berupa faktor fundamental yaitu inflasi, pendapatan nasional, jumlah uang yang beredar, suku bunga, maupun nilai tukar rupiah. Berbagai faktor fundamental tersebut dianggap dapat berpengaruh terhadap ekspektasi investor yang akhirnya berpengaruh pada pergerakan indeks (Pasaribu, Tobing, Manurung, 2008).

Kenaikan harga barang yang terjadi hanya sekali saja, meskipun dalam persentase yang cukup besar, bukanlah merupakan inflasi (Nopirin, 2000). Atau dapat dikatakan, kenaikan harga barang yang hanya sementara dan sporadis tidak dapat dikatakan akan menyebabkan inflasi.


(22)

Inflasi adalah keadaan di mana terjadi kelebihan permintaan (Excess Demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan. Inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus-menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat). Menurut definisi ini, kenaikan harga yang sporadis bukan dikatakan sebagai inflasi.

Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi serta produk nasional. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut dengan equity effect, sedangkan efek terhadap alokasi faktor produksi dan pendapatan nasional masing-masing disebut dengan efficiency dan output effects (Nopirin, 2000).

Bagaimana bursa merespon terhadap shock dari bursa lain, apabila terjadi

shock di Amerika Serikat maka bursa-bursa regional tidak akan terlalu meresponnya. Hanya di Singapura, Hong Kong, Jepang dan Taiwan dan New Zealand yang akan langsung merespon, dan respon pun tidak cukup besar. Sebaliknya jika shock di Singapura, Australia atau Hong Kong, secara cepat shock tersebut akan ditransmisikan ke hampir semua bursa saham di Asia Pasifik, termasuk BEI.

Berdasarkan penjelasan di atas penulis tertarik untuk membuat penelitian tentang faktor yang mempengaruhi pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia.


(23)

1.2. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang penelitian di atas maka dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan yang akan dilakukan pembahasan pada penelitian ini, yaitu:

1. Apakah nilai tukar berpengaruh terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia?

2. Apakah SBI berpengaruh terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia? 3. Apakah inflasi berpengaruh terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek

Indonesia?

4. Apakah Indeks Dow Jones berpengaruh terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah:

1. Untuk menganalisis pengaruh nilai tukar terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia.

2. Untuk menganalisis pengaruh SBI terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia.

3. Untuk menganalisis pengaruh inflasi terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia.

4. Untuk menganalisis pengaruh Indeks Dow Jones terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia.


(24)

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penyusunan tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang keadaan saham perusahaan publik terutama pengaruh signifikan tingkat suku bunga SBI, nilai tukar rupiah, inflasi, terhadap IHSG. Selain itu juga dapat memberikan informasi dan masukan yang dibutuhkan oleh pemegang saham, kreditur dan pihak-pihak terkait lainnya.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bahan studi atau tambahan khasanah ilmu pengetahuan dalam disiplin ilmu ekonomi. 3. Sebagai bahan tambahan dan informasi bagi masyarakat dan mahasiswa yang

ingin melakukan penelitian selanjutnya.

4. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dalam mengambil kebijakan mengenai kebijakan yang akan ditempuh sehubungan dengan pergerakan IHSG di BEI.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Indeks Harga Saham Gabungan

Indeks harga adalah suatu angka yang digunakan untuk melihat perubahan mengenai harga dalam waktu dan tempat yang sama ataupun berlainan. Indeks adalah ukuran statistik yang biasanya digunakan menyatakan perubahan-perubahan perbandingan nilai suatu variabel tunggal atau nilai sekelompok variabel. Menurut Jogiyanto (2000), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebenarnya merupakan angka indeks harga saham yang sudah disusun dan dihitung sehingga menghasilkan

trend, di mana angka indeks adalah angka yang diolah sedemikian rupa sehingga dapat digunakan membandingkan kejadian yang dapat berupa perubahan harga saham dari waktu ke waktu. Dalam perhitungan angka indeks ini digunakan waktu dasar (base period) dan waktu yang sedang berjalan (given/parent period).

Adapun jenis-jenis Indeks Harga Saham Gabungan adalah:

1. Seluruh saham, adalah suatu nilai yang digunakan untuk mengukur kinerja gabungan seluruh saham yang tercatat di suatu bursa efek.

2. Kelompok saham, adalah suatu nilai yang digunakan untuk mengukur kinerja kelompok saham yang tercatat di suatu bursa efek.

a. Indek LQ 45 adalah indeks atas 45 emiten yang tercatat di Bursa Efek Jakarta, dengan tolak ukur likuiditas dan nilai kapitalisasi pasar.


(26)

b. Indeks JII (Jakarta Islamic Index) indeks yang digunakan sebagai tolak ukur (bencmark) untuk mengukur kinerja suatu investasi pada saham dengan basis syariah.

3. Jenis usaha (sektoral) adalah suatu nilai untuk mengukur kinerja kelompok saham yang sudah diklasifikasikan ke dalam 9 sektor yaitu sektor pertanian, pertambangan, industri dasar dan kimia, industri barang konsumsi, properti dan real estate, transportasi dan infrastruktur, keuangan, perdagangan, jasa dan investasi.

2.2. Perhitungan Indeks Harga Saham Gabungan

Perhitungan harga saham gabungan dilakukan untuk mengetahui perkembangan rata-rata seluruh saham yang tercatat di bursa. Untuk menghitung indeks harga saham gabungan, digunakan formula sebagai berikut:

IHSG = 100

perdana Harga x tercatat saham Jumlah Dasar Nilai terakhir Harga x tercatat saham Jumlah Pasar Nilai Χ = = Keterangan:

IHSG = Indeks Harga Saham Gabungan hari ke-1

Nilai Pasar = Rata-rata tertimbang nilai pasar (jumlah lembar tercatat di bursa dikali dengan harga pasar per lembarnya) dari saham umum dan saham preferen pada hari ke-t

Nilai Dasar = Sama dengan nilai pasar tetapi dimulai dari tanggal 10 Agustus 1982.


(27)

Untuk mengeliminir pengaruh faktor-faktor yang bukan harga saham, nilai dasar selalu disesuaikan bila terjadi corporate action seperti split saham, dividen saham, saham bonus, penawaran terbatas dan sebagainya. Dengan demikian indeks akan benar-benar mencerminkan pergerakan saham saja.

2.3. Pergerakan Harga Saham (Volatilitas)

Penilaian kinerja saham perusahaan dari luar perusahaan dilakukan oleh pasar melalui pola perilaku pergerakan harga saham dari waktu ke waktu. Harga saham

(market price) merupakan nilai pasar (market value) dari setiap lembar saham perusahaan. Pergerakan harga saham ditentukan oleh dinamika penawaran (supply) dan permintaan (demand).

Harga Saham (P)

So

E1

P1

Po Eo D1

Do

Qo Kuantitas Saham (Q) Sumber: Satiningsih dkk, 2005 dalam Bodie, Kane dan Marcus, 2002


(28)

Gambar 2.1 menunjukkan ilustrasi pergerakan IHSG dengan menggunakan kurva permintaan dan penawaran saham. Pada suatu periode tertentu, penawaran suatu saham adalah tetap sehingga kurvanya vertikal seperti ditunjukkan oleh kurva So. Permintaan pasar (market demand) merupakan permintaan agregat dari seluruh investor, sehingga kurvanya relatif horizontal seperti ditunjukkan oleh kurva Do. Keseimbangan harga terjadi saat kurva penawaran dan permintaan agregat berpotongan yang terjadi pada titik Eo. Karena kurva penawaran bersifat tetap maka pergerakan harga saham diakibatkan oleh pergerakan (pergeseran) kurva permintaan. Ketika kurva permintaan naik dari Do menjadi D1, maka keseimbangan baru terjadi pada harga yang lebih tinggi (harga naik) yaitu P1. Jadi perilaku harga suatu saham merupakan cermin permintaan agregat dari para investor.

Oleh karena pergerakan harga saham disebabkan oleh pergerakan kurva

demand, maka faktor-faktor penggeser demand seperti harga saham-saham lainnya, pendapatan investor dan jumlah investor saham menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan harga saham.

Investor dalam membentuk portofolio aset-aset investasinya akan mempertimbangkan risiko dan tingkat keuntungan. Apabila seorang investor membentuk suatu portofolio maka investor akan mendapat keuntungan sebesar rata-rata terbobot dari masing-masing tingkat keuntungan aset, dengan risiko portofolio yang lebih kecil dari risiko terbobot dari masing-masing risiko aset. Besarnya tingkat keuntungan dan risiko portofolio tergantung dari jumlah aset yang membentuk portofolio tersebut. Risiko portofolio tergantung dari korelasi tingkat keuntungan


(29)

antar aset, sedangkan rata-rata tingkat keuntungan portofolio tidak tergantung dari korelasi tingkat keuntungan antar aset. Sifat portofolio ini menguntungkan bagi investor karena investor dapat melakukan diversifikasi untuk mengurangi risiko portofolionya (Bodie, Kane dan Marcus, 2002).

Secara umum pergerakan harga saham dipengaruhi oleh faktor internal (lingkungan mikro) dan faktor eksternal (lingkungan makro).

Lingkungan mikro yang mempengaruhi volatilitas harga saham antaralain:

a. Pengumuman tentang pemasaran, produksi, penjualan seperti pengiklanan, rincian kontrak, produk baru, perubahan harga, penarikan produk baru, laporan produksi, laporan keamanan produk, dan laporan penjualan.

b. Pengumuman pendanaan (financing announcement), seperti pengumuman yang berhubungan dengan ekuitas dan hutang, sekuritas yang hybrid, leasing, kesepakatan kredit, pemecahan saham, pembelian saham, joint venture, dan lainnya.

c. Pengumuman badan direksi manajemen (manajement-board of director announcement), seperti perubahan dan penggantian direktur, manajemen, dan stuktur organisasi.

d. Pengumuman penggabungan pengambilalihan diversifikasi, seperti laporan

merger, investasi ekuitas, laporan take over oleh pengakuisisi dan diakuisisi, laporan divestasi dan lainnya.

e. Pengumuman investasi (investment announcement), seperti melakukan ekspansi pabrik, pengembangan riset dan pengembangan, penutupan usaha dan lainnya.


(30)

f. Pengumuman ketenagakerjaan (labor announcement), seperti negosiasi baru, kontrak baru, pemogokan dan lainnya.

g. Pengumuman laporan keuangan perusahaan, seperti peramalan laba sebelum akhir tahun fiskal dan setelah akhir tahun fiskal, earning per share (EPS) dan dividen per share (DPS), price earnings ratio, book ratio, net profit margin, return on assets (ROA), ROE, dan lain-lain.

Lingkungan ekonomi makro yang mempengaruhi volatilitas harga saham antara lain: a. Pengumuman dari pemerintah, seperti perubahan suku bunga tabungan dan

deposito, kurs valuta asing, inflasi, serta berbagai regulasi dan deregulasi ekonomi yang dikeluarkan pemerintah.

b. Pengumuman hukum (legal announcements), seperti tuntutan karyawan terhadap perusahaan atau terhadap manajernya dan tuntutan perusahaan terhadap manajernya.

c. Pengumuman industri sekuritas (securities announcements), seperti laporan pertemuan tahunan, insider trading, volume/harga saham perdagangan, pembatasan/penundaan trading.

d. Gejolak sosial politik dalam negeri dan fluktuasi nilai tukar juga merupakan faktor yang berpengaruh signifikan pada terjadinya volatilitas harga saham di bursa efek suatu negara.

e. Berbagai issue baik dari dalam dan luar negeri, seperti issue lingkungan hidup, hak asasi manusia, kerusuhan massal, yang berpengaruh terhadap perilaku investor.


(31)

2.4. Teori Pergerakan Harga Saham

Teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan harga saham secara acak adalah teori random walk dan teori yang menjelaskan pola perubahan harga saham adalah teori Elliott wave.

2.4.1. Teori Random Walk

Istilah random walk merupakan istilah yang pertama kali muncul dalam koresponden di nature yang membahas mengenai bagaimana strategi optimal untuk mencari orang mabuk yang ditinggalkan di tengah lapangan. Caranya adalah dengan memulai mencari ditempat pertama kali orang mabuk itu ditempatkan sebab orang tersebut akan berjalan dengan arah yang tidak tertebak dan acak (Miller, 1998).

Teori ini menyatakan bahwa perubahan harga suatu saham atau keseluruhan pasar yang telah terjadi tidak dapat digunakan untuk memprediksi gerakan dimasa yang akan datang. Perubahan harga saham tidak tergantung satu sama lain dan mempunyai distribusi probabilitas yang sama (Miller, 1998).

Dengan kata lain teori ini menyatakan bahwa harga saham bergerak ke arah yang acak dan tidak dapat diperkirakan. Jadi, seorang investor tidak mungkin memperoleh return melebihi return pasar tanpa menanggung risiko lebih.

2.4.2. Teori Elliott Wave

The Wave Principle merupakan penelitian dari Elliott bahwa perilaku sosial atau massa mempunyai trend yang mengikuti pola-pola tertentu. Penelitiannya menemukan bahwa perubahan harga di bursa saham mempunyai suatu struktur tertentu. Elliott mengemukakan bahwa pergerakan harga saham mempunyai pola atau


(32)

gelombang yang bersifat repetitif. Hal yang perlu dicatat adalah walaupun bersifat repetitif tetapi pola tersebut belum tentu berulang dengan waktu dan ketinggian gelombang yang sama.

5

A 4 B

3 C

2 1

Sumber: Murphy, 1999 dalam Bodie, Kane dan Marcus, 2002

Gambar 2.2. Pola Dasar Pergerakan Elliott Wave

Pola-pola tersebut dapat diartikan sebagai berikut: 1. Gelombang 1

Harga saham mula-mula bergerak naik membuat beberapa investor merasa bahwa harga saham tersebut murah. Adanya pembelian saham tersebut membuat harga saham naik.


(33)

2. Gelombang 2

Pada saat ini harga saham tersebut sudah dinilai terlalu tinggi sehingga investor mulai merealisasikan keuntungannya dengan menjual saham tersebut. Hal ini mengakibatkan tekanan terhadap harga saham sehingga turun. Namun penurunan harga saham ini tidak sampai membuat through gelombang 2 serendah through gelombang 1 karena investor menilai harga saham tersebut menjadi murah lagi. 3. Gelombang 3

Gelombang ini biasanya gelombang yang paling lama dan kuat sebab didorong oleh lebih banyak investor yang bergabung atau meningkatkan posisi yang mengambil keuntungan dari trend menanjak sehingga perdagangan menjadi ramai. Harga saham saat ini naik sampai melewati harga tertinggi pada gelombang 1.

4. Gelombang 4

Investor mulai merealisasikan keuntungannya sebab harga saham sudah terlalu tinggi. Koreksi berpola segitiga-segitiga umumnya dikenal dalam gelombang ini, di mana dalam pola koreksi ini volatilitas harga saham cenderung menurun. Namun gelombang ini lemah sebab masih banyak investor yang menginginkan saham tersebut.

5. Gelombang 5

Pada gelombang ini sebagian investor sudah memegang saham ini dan sebagian besar merupakan investor yang irasional. Akan tetapi tidak sekuat pada gelombang 3 sebab investor akan berpartisipasi hanya sebagian kecil saja jika


(34)

dibandingkan dengan gelombang 3. Investor yang mengetahui hal ini akan mulai mengadakan transaksi short-selling. Pada saat ini saham dapat bergerak kembali ke gelombang 1, atau mulai mengkoreksi diri.

6. Gelombang ABC

Saat ini saham akan mengkoreksi dengan melakukan gerakan turun, naik dan turun. Volatilitas pada periode ini biasanya berkurang dibandingkan dengan kelima gelombang sebelumnya, karena pasar sedang mengevaluasi ulang dan sedang dalam tahap istirahat.

Berdasarkan teori random walk dan teori Elliot Wave yang telah dijelaskan di atas maka diduga pergerakan IHSG sangat erat kaitannya dengan kedua teori tersebut. Pergerakan IHSG memang tidak bisa diprediksi secara tepat, namun secara umum pergerakan IHSG akan berfluktuasi mengikuti pola Elliot seperti yang telah dijelaskan pada Gambar 2.1.

2.5. Capital Asset Pricing Model (CAPM)

Financial Accounting Standar Board (FASB) mendefinisikan nilai tukar sebagai rasio antara satu unit mata uang dan jumlah mata uang lainnya yang dapat ditukar pada suatu waktu tertentu. Gain atau loss transaksi mata uang asing akan dimasukkan dalam laba bersih pada periode terjadinya transaksi nilai tukar. Dalam usaha untuk menentukan apakah kerugian dari nilai tukar berpengaruh terhadap reaksi pasar modal maka digunakan harga saham sebagai proxy.


(35)

Bodie et al. (2005) menjelaskan bahwa Capital Asset Pricing Model (CAPM) merupakan hasil utama dari ekonomi keuangan modern. Capital Asset Pricing Model

(CAPM) memberikan prediksi yang tepat antara hubungan risiko sebuah aset dan tingkat harapan pengembalian (expected return). Walaupun Capital Asset Pricing Model belum dapat dibuktikan secara empiris, Capital Asset Pricing Model sudah luas digunakan karena Capital Asset Pricing Model akurasi yang cukup pada aplikasi penting.

Capital Asset Pricing Model (CAPM) mencoba untuk menjelaskan hubungan antara risk dan return. Dalam penilaian mengenai risiko biasanya saham biasa digolongkan sebagai investasi yang berisiko. Risiko sendiri berarti kemungkinan penyimpangan perolehan aktual dari perolehan yang diharapkan (possibility), sedangkan derajat risiko (degree of risk) adalah jumlah dari kemungkinan fluktuasi

(amount of potential fluctuation).

Risiko ada dua macam, yaitu risiko sistematis dan risiko tidak sistematis. Risiko sistematis adalah risiko yang dialami oleh semua investasi tanpa terkecuali. Oleh karena itu risiko ini dinamakan juga risiko pasar (market risk). Namun demikian besar kecilnya risiko sistematis tiap investasi, termasuk juga saham, sangat berbeda. Sedang risiko tidak sistematis adalah risiko yang hanya dialami oleh investasi tersebut, yang bisa disebabkan oleh faktor manajemen, ciri khusus jenis industri, jenis persaingan usaha dan sebagainya.

Untuk mengatasi risiko ini maka biasanya investor mengkombinasikan investasinya dalam berbagai macam asset, yang dinamakan portofolio. Markowitz


(36)

dalam Bodie et al. (2005) mengembangkan suatu bentuk diversifikasi yang efisien, yang bisa menurunkan risiko tanpa menurunkan return portofolio. Markowitz menyarankan agar portofolio seharusnya adalah pengkombinasian asset-asset yang berkorelasi kurang dari positif sempurna agar dapat mengurangi risiko.

Sharpe dalam Bodie et al. (2005) menyempurnakan model portofolio Markowitz ditambah dengan asumsi: (1) adanya tingkat bebas risiko; (3) investasi bisa dipecah-pecah dalam bentuk yang sekecil mungkin; (3) adanya kebebasan short sales (4) semua aktiva bisa diperjualbelikan. Dengan demikian maka portofolio yang efisien suatu garis pasar modal (capital market line) yang intersepnya adalah tingkat bebas risiko (rf). Untuk mengambarkan trade-off antara risiko dan return untuk seluruh surat berharga, baik yang efisien maupun yang tidak, maka ukuran yang dipakai bukanlah varian, tetapi adalah risiko sistematisnya ( ). Hubungan antara risiko sistematis dengan return tersebut apabila digambarkan dalam suatu model akan membentuk Capital Asset Pricing Model (CAPM).

Model tersebut bisa dituliskan:

E(Ri) = Rf + [E(Rm)-Rf] i 2.1

Di mana:

E(Ri) = return yang diharapkan dari surat berharga i = fungsi dari risiko sistematis (tingkat bunga).

E(Rm)-Rf] dinamakan dengan harga risiko atau premi risiko, yaitu selisih antara return pasar saham yang diharapkan (E(Rm)) dengan tingkat bebas risiko (Rf) yang diukur dari SBI. Namun demikian dalam kenyataannya akan senantiasa terdapat


(37)

surat-surat berharga yang returnnya di luar yang diharapkan CAPM. Penyebabnya antara lain: (1) adanya biaya transaksi; (2) adanya pajak capital gain yang membuat para investor enggan menjual surat-surat berharga yang ternilai rendah oleh CAPM

(undervalued); (3) adanya ketidaksempurnaan informasi pasar. Oleh karena itulah dalam kenyataannya CAPM lebih merupakan sebuah band daripada sebuah garis. Demikian pula apabila unsur tingkat bebas risiko (Rf) dihilangkan dari model, karena dalam kenyataan tidak mungkin investor bisa meminjam dan meminjamkan pada tingkat yang sama, maka akan membentuk Zero Beta CAPM, dengan model sebagai berikut:

E(Ri) = E(Rz) + [E(Rm)-E(Rz)] i 2.2

Di mana:

Rz = asset yang tidak berkorelasi dengan portofolio pasar ini misalnya adalah obligasi pemerintah yang berjangka panjang, yang mempunyai return riil yang tetap (suku bunga Sertifikat Bank Indonesia), mudah diperjualbelikan, dan bisa dipecah-pecah dalam satuan yang kecil-kecil.

Saham berisiko dapat dikombinasi dalam sebuah portofolio menjadi investasi yang lebih rendah risiko daripada saham biasa tunggal. Diversifikasi akan mengurangi risiko sistematis (systematic risk), tetapi tidak dapat mengurangi risiko yang tidak sistematis (unsystematic risk).Unsystematic risk adalah bagian dari risiko yang tidak umum dalam sebuah perusahaan yang dapat dipisahkan. Systematic risksystematic risk. adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan yang berhubungan


(38)

dengan seluruh pergerakan pasar saham dan tidak dapat dihindari. Informasi keuangan mengenai sebuah perusahaan dapat membantu dalam menentukan jumlah.

Investor biasanya menghindari risiko, investor menginginkan perolehan tambahan (additional returns) untuk menanggung risiko tambahan (additional risks).

Oleh karena itu saham berisiko tinggi (High-risk securities) harus mempunyai harga yang menghasilkan perolehan lebih tinggi daripada perolehan yang diharapkan dari saham berisiko lebih rendah. Persamaan risiko dan perolehan (Equation Risk and Return) adalah:

Rs = Rf + Rp 2.3 Rs = Expected Return on a given risky security

Rf = Risk-free rate

Rp = Risk premium (nilai tukar)

Bila nilai = 1 artinya adanya hubungan yang sempurna dengan kinerja seluruh pasar seperti yang diukur indek pasar (market index), contohnya nilai yang diukur oleh Dow-Jones Industrials dan Standard and Poor’s 500-stock-index. Hubungan ini dapat digambarkan dalam contoh pada gambar. adalah ukuran dari hubungan paralel dari sebuah saham biasa dengan seluruh tren dalam pasar saham. Bila > 1.00 artinya saham cenderung naik dan turun lebih tinggi daripada pasar. < 1.00 artinya saham cenderung naik dan turun lebih rendah daripada indek pasar secara umum (general market index). Perubahan persamaan risiko dan perolehan


(39)

Rs = Rf + s (Rm – Rf) 2.4

Rs = Expected Return on a given risky security Rf = Risk-free rate

Rm = Expected return on the stock market as a whole s = Stock’s beta, yang dihitung berdasarkan waktu tertentu

CAPM bertahan bahwa harga saham tidak akan dipengaruhi oleh

unsystematic risk, dan saham yang menawarkan risiko yang relatif lebih tinggi (higher s) akan dihargai relatif lebih daripada saham yang menawarkan risiko lebih rendah (lower s). Riset empiris mendukung argumen mengenai s sebagai prediktor yang baik untuk memprediksi nilai saham di masa yang akan datang (future stock prices).

Prediksi nilai saham juga dipengaruhi oleh adanya inflasi. Dampak inflasi terhadap harga saham dapat dijelaskan dengan membedakan variabel riil dengan variabel nominal (Manurung, 2009). Hubungan variabel nominal dengan variabel riil dari penilaian saham dapat dirumuskan sebagai berikut:

1 ) 1 )( 1 ( + + −

= gR π

g 2.5

1 ) 1 )( 1 ( + + −

= kR π

k 1 ) 1 )( 1 ( + + −

= ROER π

ROE

R

D

D1 =(1+π) 2.6

1 ) 1 )( 1 ( 1 ) 1 )( 1 ( − + + + − + = ππ R R R ROE xROE b b


(40)

Di mana:

[...]R = nilai riil variabel

π = tingkat inflasi

Misalkan ekpektasi pertumbuhan pendapatan tanpa dampak inflasi [b] adalah 4 persen. Diketahui E1=Rp 1 per lembar, ROER= 10 persen, bR 0.01 dan kR=10

persen. Harga Saham [P0], ekspektasi hasil dividen riil [DIR/P0, dan tingkat apresiasi

modal riil [GR] masing-masing adalah Rp 10, 0.6 persen, dan 4 persen [

(1-0,4)/(1,10-0,04), (1-0,4)x1/10, dan 0,4 x10]. Jika penerimaan dan dividen tidak dipengaruhi inflasi dan ekspektasi inflasi 6 persen maka tingkat pertumbuhan dividen nominal [g], ekspektasi hasil dividen nominal [D1/P0], ekspektasi ROE dan tingkat laba ditahan

niminal [b] masing-masing adalah 10,24 persen,6,36 persen, 16,56 persen, dan 0,6169 [1,04,x1,06-1, 0,06x1,06,1,10 x 1,06-1,dan 0,1024/0,166].

Semua asumsi di atas mengimplikasikan bahwa semua investor akan memilih portofolio berisiko dengan cara duplikasi aset atau portofolio pasar (M) yang mencakup semua aset yang diperdagangkan. Tidak hanya portofolio pasar pada batas efisien tetapi juga alokasi modal efisien pada garis alokasi modal semua untuk investor. Akibatnya garis pasar modal (capital market line) merupakan garis di mana tingkat bunga bebas risiko melalui portofolio pasar (M). Premi risiko pada portofolio pasar proporsional terhadap risiko dan derajat keengganan terhadap risiko (degree of risk aversion), yaitu:


(41)

Di mana:

E(rM) =ekspektasi imbal hasil pasar sebagai ukuran tingkat diskonto

rf = tingkat bunga modal berisiko

A = rata-rata derajat keengganan terhadap risiko

0,01 = kontanta varians imbal hasil pasar 2

M

σ

Premi risiko dari aset individu proposional terhadap premi risiko pasar dan

koefisien risiko beta sekuritas terhadap portofolio pasar, yaitu : 2

)

,

(

M m i i

r

r

Cov

σ

β

=

Kemudian untuk premi risiko:

(

)

[

] [

f M i f M M m i f

i

E

r

r

E

r

r

r

r

Cov

r

r

E

(

)

=

2

,

(

)

=

β

(

σ

]

2.8

Premi risiko dibagi varians merupakan harga pasar risiko dari portofolio pasar persamaan di atas merupakan aset modal pasar, yaitu:

( )

r

i

r

f

[

E

r

M

r

f

]

E

i

+

=

β

(

)

2.9

Untuk menilai satu sekuritas digunakan koefisien αi, yaitu perbedaan

ekspektasi imbal hasil dengan nilai imbal hasil berdasarkan penetapan harga aset modal, yaitu:

[

f i M f

]

i

i =E(r)− r +β (E(r )−r

α 2.10

Nilai αi yang lebih besar menjelaskan saham lebih baik untuk dipegang. Jika


(42)

kombinasi aset, dan portofolio mempunyai bobot wk untuk saham k[1,2,...,n] maka

penetapan harga aset modal adalah:

[

M f

]

M f

M

r

E

r

r

r

E

(

)

=

+

β

(

)

2.11 1 ) , ( 2 2

2 = =

= M M M M M M r r Cov σ σ σ

β 2.12

Persamaan ini disebut garis sekuritas pasar, yaitu hubungan antara risiko β pasar dengan ekspektasi imbal hasil pasar.Misalkan saham A mempunyai ekspektasi imbal hasil 15 persen dan risiko βA adalah 1,20. Saham B mempunyai ekspektasi

imbal hasil 16 persen dan risiko βB adalah 1,50. Ekspektasi imbal hasil pasar 14

persen dan rf =7 persen. Menurut penetapan harga aset modal nilai αA adalah negatif

0,40 dan nilai αB adalah negatif 1,50 persen. Oleh sebab itu, memegang saham B.

Penetapan harga aset modal juga dapat digunakan untuk mengevaluasi satu proyek perusahaan, yaitu membandingkan nilai penetapan harga aset modal dengan IRR.

Misalkan proyek perusahaan B mempunyai IRR sebesar 17,00 persen. Menurut penetapan harga aset modal, proyek investasi perusahaan B memerlukan imbal hasil 17,50 persen.Dengan kata lain nilai penetapan harga aset modal lebih tinggi dari IRR sehingga proyek investasi perusahaan B ditolak. Nilai penetapan harga aset modal merupakan tingkat diskonto (k) yang digunakan pada model pertumbuhan, yaitu: 17,50 persen Pada tingkat k = 17,50 persen nilai sekarang dari proyek investasi perusahaan B adalah negatif. Jika tingkat diskonto yang digunakan


(43)

17 persen maka nilai sekarang dari proyek investasi perusahaan B adalah nol, artinya jika k = IRR maka nilai sekarang dari suatu proyek investasi sama dengan nol.

CAPM dikritik sebagai penyebab masalah kompetisi di Amerika Serikat. Manajer di sebuah perusahaan di Amerika Serikat yang menggunakan CAPM terpaksa membuat investasi yang aman dalam jangka pendek dan perolehannya dapat diprediksi dalam jangka pendek daripada investasi yang aman dan perolehan dalam jangka panjang. Para peneliti telah menggunakan CAPM untuk menguji hipotesa yang berhubungan dengan hipotesa pasar efisien.

Markowitz dalam Bodie et al. (2005) mengusulkan sebuah model untuk menjelaskan korelasi di antara return sekuritas. Model ini mengasumsikan bahwa

return dari sekuritas ke-i tergantung pada sebuah faktor yang mendasari, nilai yang diwakili oleh indeks, dalam notasi matematika dinyatakan sebagai:

ri = ai + Bi.F + ui 2.13

ri = return sekuritas i (IHSG) Bi = Beta dari sekuritas i

F = indeks (belum tentu indeks pasar) ui = error term

(walaupun selanjutnya markowitz mengusulkan bahwa persamaan itu seharusnya tidak linier, karena ada faktor lain yang mendasarinya) lalu pada tahun 1963, William Sharpe menguji persamaan tersebut sebagai penjelasan bagaimana return sekuritas cenderung naik dan turun seiring dengan naik turunnya indeks umum pasar, secara spesifik Sharpe menggunakan persamaan sebagai berikut:


(44)

rit = ai + Bi.rmt + uit 2.14

rit = return dari aset i pada periode t

rmt = return dari indeks pasar pada periode t ai = komponen non-pasar dari return aset i

Bi = rasio kovarian dari return aset i dan return indeks pasar terhadap varians return indeks pasar

uit = zero mean random error term

Model ini disebut model pasar indeks tunggal (single index market model)

atau sering disebut market model. Dilihat di sini pada model markowitz, indeksnya belum tentu indeks pasar, tetapi pada market model digunakan indeks pasar.

2.6. Nilai Tukar

Nilai tukar Rupiah atau disebut juga kurs Rupiah adalah perbandingan nilai atau harga mata uang Rupiah dengan mata uang lain. Perdagangan antar negara di mana masing-masing negara mempunyai alat tukarnya sendiri mengharuskan adanya angka perbandingan nilai suatu mata uang dengan mata uang lainnya, yang disebut kurs valuta asing atau kurs (Salvatore, 2008).

Nilai tukar terbagi atas nilai tukar nominal dan nlai tukar riil. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah nilai yang digunakan seseorang saat menukar mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain. Sedangkan nilai riil

(real exchange rate) adalah nilai yang digunakan seseorang saat menukar barang dan jasa dari suatu negara dengan barang dan jasa dari negara lain (Mankiw, 2006).


(45)

Nilai tukar yang melonjak-lonjak secara drastis tak terkendali akan menyebabkan kesulitan pada dunia usaha dalam merencanakan usahanya terutama bagi mereka yang mendatangkan bahan baku dari luar negeri atau menjual barangnya ke pasar ekspor oleh karena itu pengelolaan nilai mata uang yang relatif stabil menjadi salah satu faktor moneter yang mendukung perekonomian secara makro (Pohan, 2008).

Menurut Sukirno (2002) besarnya jumlah mata uang tertentu yang diperlukan untuk memperoleh satu unit valuta asing disebut dengan kurs mata uang asing. Nilai tukar adalah nilai mata uang suatu negara diukur dari nilai satu unit mata mata uang terhadap mata uang negara lain. Apabila kondisi ekonomi suatu negara mengalami perubahan, maka biasanya diikuti oleh perubahan nilai tukar secara substansional. Masalah mata uang muncul saat suatu negara mengadakan transaksi dengan negara lain, di mana masing-masing negara menggunakan mata uang yang berbeda. Jadi nilai tukar merupakan harga yang harus dibayar oleh mata uang suatu negara untuk memperoleh mata uang negara lain.

Nilai tukar dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat suku bunga dalam negeri, tingkat inflasi, dan intervensi bank central terhadap pasar uang. Nilai tukar yang lazim disebut kurs, mempunyai peran penting dalam rangka stabilitas moneter dan dalam mendukung kegiatan ekonomi. Nilai tukar yang stabil diperlukan untuk tercapainya iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan dunia usaha. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, bank central pada waktu-waktu tertentu melakukan intervensi di pasar-pasar valuta asing, khususnya pada saat terjadi gejolak yang berlebihan. Para


(46)

ekonom membedakan kurs menjadi dua yaitu kurs nominal dan kurs riil. Kurs nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Sebagai contoh, jika antara dolar Amerika Serikat dan yen Jepang adalah 120 yen per dolar, maka orang Amerika Serikat bisa menukar 1 dolar untuk 120 yen di pasar uang. Sebaliknya orang Jepang yang ingin memiliki dolar akan membayar 120 yen untuk setiap dolar yang dibeli. Ketika orang-orang mengacu pada “kurs” di antara kedua negara, mereka biasanya mengartikan kurs nominal (Mankiw, 2006).

Kurs riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang-barang di antara dua negara. Kurs riil menyatakan tingkat di mana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Nilai Tukar

(exchange rate) atau kurs adalah harga satu mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara (Mankiw, 2006). Nilai tukar riil adalah nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi dengan harga relatif yaitu harga-harga di dalam negeri dibandingkan dengan harga-harga di luar negeri. Nilai tukar dapat dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini:

*

P P S

Q = (2.15)

di mana Q dalah nilai tukar riil, S adalah nilai tukar nominal, P adalah tingkat harga domestik dan P* adalah tingkat harga di luar negeri.

Kurs inilah sebagai salah satu indikator yang mempengaruhi aktivitas di pasar saham maupun pasar uang karena investor cenderung akan berhati-hati untuk


(47)

melakukan investasi. Menurunnya kurs Rupiah terhadap mata uang asing khususnya Dolar AS memiliki pengaruh negatif terhadap ekonomi dan pasar modal (Sitinjak dan Kurniasari, 2003). Turunnya kurs menurunkan kemampuan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing salah satu dampaknya terhadap impor.

2.7. Inflasi

Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus Sukirno (2002). Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain (Boediono, 2000). Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus dengan persentase yang sama.

Inflasi merupakan kenaikan harga secara terus-menerus dan kenaikan harga yang terjadi pada seluruh kelompok barang dan jasa (Pohan, 2008). Bahkan mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidak bersamaan. Yang penting kenaikan harga umum barang secara terus-menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan harga barang yang terjadi hanya sekali saja, meskipun dalam persentase yang cukup besar dan terus-menerus, bukanlah merupakan inflasi (Nopirin, 2000). Kenaikan sejumlah bentuk barang yang hanya sementara dan sporadis tidak dapat dikatakan akan menyebabkan inflasi.

Dari kutipan di atas diketahui bahwa inflasi adalah keadaan di mana terjadi kelebihan permintaan (Excess Demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan. Inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus-menerus dari


(48)

barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat). Menurut definisi ini, kenaikan harga yang sporadis bukan dikatakan sebagai inflasi.

Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi serta produk nasional. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut dengan equity effect, sedangkan efek terhadap alokasi faktor produksi dan pendapatan nasional masing-masing disebut dengan efficiency dan output effects (Nopirin, 2000).

1. Efek terhadap Pendapatan (Equity Effect). Efek terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang dirugikan tetapi ada pula yang diuntungkan dengan adanya inflasi. Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap akan dirugikan oleh adanya inflasi. Demikian juga orang yang menumpuk kekayaannya dalam bentuk uang kas akan menderita kerugian karena adanya inflasi. Sebaliknya, pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dengan adanya inflasi adalah mereka yang memperoleh kenaikan pendapatan dengan prosentase yang lebih besar dari laju inflasi, atau mereka yang mempunyai kekayaan bukan uang di mana nilainya naik dengan prosentase lebih besar dari pada laju inflasi. Dengan demikian inflasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan dalam pola pembagian pendapatan dan kekayaan masyarakat.

2. Efek terhadap Efisiensi (Efficiency Effects). Inflasi dapat pula mengubah pola alokasi faktor-faktor produksi. Perubahan ini dapat terjadi melalui kenaikan permintaan akan berbagai macam barang yang kemudian dapat mendorong terjadinya perubahan dalam produksi beberapa barang tertentu. Dengan adanya inflasi permintaan akan barang tertentu mengalami kenaikan yang lebih besar dari


(49)

barang lain, yang kemudian mendorong terjadinya kenaikan produksi barang tertentu.

3. Efek terhadap Output (Output Effects). Inflasi mungkin dapat menyebabkan terjadinya kenaikan produksi. Alasannya dalam keadaan inflasi biasanya kenaikan harga barang mendahului kenaikan upah sehingga keuntungan pengusaha naik. Kenaikan keuntungan ini akan mendorong kenaikan produksi. Namun apabila laju inflasi ini cukup tinggi (hyper inflation) dapat mempunyai akibat sebaliknya, yakni penurunan output. Dalam keadaan inflasi yang tinggi, nilai uang riil turun dengan drastis, masyarakat cenderung tidak mempunyai uang kas, transaksi mengarah ke barter, yang biasanya diikuti dengan turunnya produksi barang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara inflasi dan output. Inflasi bisa dibarengi dengan kenaikan output, tetapi bisa juga dibarengi dengan penurunan output.

2.8. Arbitrage Pricing Theory (APT)

Ross (1976) merumuskan model keseimbangan yang disebut Arbitrage Pricing Theory (APT), yang menyatakan bahwa dua kesempatan investasi yang mempunyai sifat yang identik sama tidak dapat dijual dengan harga yang berbeda. Dalam hal ini hukum yang dianut oleh APT adalah hukum satu harga (the law of one price). Suatu aktiva yang memiliki karakteristik sama (identik sama) jika dijual dengan harga yang berbeda, maka akan terdapat kesempatan untuk melakukan


(50)

menjualnya dengan harga yang lebih tinggi sehingga memperoleh laba tanpa risiko (Husnan, 2000).

Dalam perekonomian suatu negara terdapat empat pasar yang telah dikenal yaitu: pasar modal, pasar uang, pasar valuta asing maupun pasar barang. Dari keempat pasar tersebut yang saling terkait erat serta yang mencerminkan hukum satu harga (the law of one price) umumnya tiga pasar yaitu: pasar modal, pasar uang, dan pasar valuta asing. Ketiga pasar mempunyai keseimbangan dan identik sama sehingga tidak dapat dijual dengan harga yang berbeda. Jika tidak terjadi keseimbangan dari pasar-pasar tersebut, maka akan terjadi proses arbitrage dari pasar yang satu ke pasar yang lain sebagaimana diuraikan di atas.

Terkait dengan pasar modal, model APT dinyatakan bahwa tingkat keuntungan dari saham yang diperdagangkan di pasar modal terdiri dari dua komponen, yaitu: tingkat keuntungan normal atau tingkat keuntungan yang diharapkan dan tingkat keuntungan yang tidak pasti atau berisiko (Husnan, 2000). Tingkat keuntungan yang diharapkan merupakan bagian dari tingkat keuntungan sesungguhnya yang diharapkan oleh investor. Tingkat keuntungan ini sangat dipengaruhi oleh informasi yang dimiliki oleh investor. Sedangkan tingkat keuntungan yang tidak pasti atau berbagai tingkat keuntungan yang bersumber dari informasi yang bersifat tidak diharapkan. Investor dalam menjalankan aktivitasnya menghadapi dua macam risiko, yaitu: risiko sistematis dan risiko tidak sistematis. Kedua risiko tersebut mempengaruhi tingkat keuntungan yang diharapkan investor. Risiko tidak sistematis dari satu perusahaan tidak berkorelasi dengan perusahaan


(51)

lainnya. Sebaliknya, risiko sistematis akan berkorelasi terhadap setiap perusahaan (saham). Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang mempengaruhi risiko sistematis adalah sama, misalnya: tingkat inflasi, tingkat bunga dan variabel-variabel lainnya atau sering disebut dengan variabel makroekonomi. Oleh karena itu perubahan variabel makroekonomi akan berdampak pada seluruh perusahaan (saham). Namun demikian perlu diperhatikan bahwa kemungkinan terdapat perbedaan besar kecilnya perubahan variabel makroekonomi terhadap harga saham.

Model faktor mendasarkan diri pada anggapan bahwa adanya hubungan linear antara harga suatu saham dengan harga seluruh saham yang ada di bursa yang diwakili oleh indeks pasar. Atas dasar anggapan itu, maka tingkat keuntungan suatu saham akan berkorelasi dengan perubahan harga pasar (Bailey, 1999). Sebagai proses penghasil imbalan, model faktor berusaha untuk mencakup kekuatan-kekuatan perekonomian utama yang secara sistematis menggerakkan atau mempengaruhi harga semua saham. Secara implisit, dalam susunan model faktor terdapat asumsi bahwa imbalan antara dua saham akan berkorelasi, yaitu bergerak bersama-sama melalui reaksi yang sama terhadap satu atau lebih faktor yang ditentukan oleh model. Model faktor dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk menghitung imbalan harapan, varian, maupun kovarian dari setiap saham. Hasilnya, model faktor adalah alat yang bermanfaat untuk manajemen portofolio (Bailey, 1999).

Model multi faktor mengasumsikan bahwa proses penentuan harga saham melibatkan beberapa faktor. Artinya terdapat beberapa kemungkinan bahwa lebih dari satu faktor penyebab (pervasive factor) dalam perekonomian yang mempengaruhi


(52)

harga saham. Situasi ekonomi mempengaruhi hampir semua perusahaan. Jadi perubahan dari perekonomian yang diramalkan memiliki dampak yang besar terhadap harga sebagian besar saham.

Sebagai contoh ada dua sumber risiko ekonomi makro yaitu GDP dan tingkat bunga yang tidak dapat dipastikan kondisinya terhadap harga saham. Menurut Bodie, Kane dan Marcus (2006), secara sederhana model multi faktor persamaannya dapat dinyatakan sebagai berikut:

Ri = E(ri ) + βiGDPGDP + βiIRIR + ei (2.16)

Dua faktor pada sisi kanan persamaan atas faktor sistematis di dalam perekonomian. Sebagaimana model faktor tunggal, kedua faktor makro ini mempunyai nilai ekspektasi nol: menunjukkan perubahan pada variabel ini yang sebelumnya tidak diantisipasi. Koefisien pada setiap faktor pada persamaan di atas mengukur sensitivitas imbal hasil saham atas faktor tersebut. Untuk alasan ini, koefisien sering kali disebut sebagai sensitivitas faktor (factor sensitivity),

pembebanan faktor (factor loading), atau beta faktor (factor beta). Dan ei

mencerminkan pengaruh faktor spesifik perusahaan.

2.9. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)

Salah satu instrumen pasar uang yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk mengendalikan likuiditas perekonomian adalah Sertifikat Bank Indonesia atau SBI. SBI adalah instrumen keuangan jangka pendek yang dijadikan tolak ukur oleh


(53)

bank-bank pemerintah, swasta nasional dan swasta asing dalam menentukan tingkat suku bunga tabungan, deposito dan pinjaman kepada masing-masing nasabahnya.

Dalam kondisi normal fungsi utama SBI adalah menjaga uang yang beredar berada dalam jumlah yang optimal. Namun sejak krisis moneter melanda Indonesia tahun 1997, SBI juga digunakan oleh Bank Sentral untuk mencegah meningkatnya permintaan dana oleh masyarakat dan kalangan pengusaha swasta nasional untuk keperluan transaksi dan berjaga-jaga. Pada kondisi tersebut, meningkatnya permintaan uang oleh masyarakat dan kalangan pengusaha nasional tidak sepenuhnya digunakan untuk keperluan dimaksud, namun digunakan untuk berspekulasi membeli dollar guna memperoleh keuntungan yang spekulatif.

SBI pada dasarnya adalah merupakan instrumen jangka pendek yang bebas risiko. Karakteristik utama SBI adalah:

1. Pemberian Bunga

Bunga pada SBI dikenal sebagai tingkat diskonto, karena SBI dijual dengan harga diskon sebesar tingkat diskontonya, atau dengan kata lain bunga SBI diberikan di awal.

2. Penerbitan

SBI diterbitkan berdasarkan atas unjuk, yaitu yang terakhir membawa SBI pada saat jatuh tempo maka dialah yang berhak mencairkannya.

3. Suku bunga

Suku bunga SBI ditentukan berdasarkan lelang yang dilakukan setiap hari Rabu sore pukul 18.00. Penentuan suku bunga ini dilakukan berdasarkan lelang antara


(54)

money broker yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Money broker yang menawar pada tingkat suku bunga yang rendah akan diprioritaskan untuk mendapatkan SBI terlebih dahulu.

2.10. Indeks Dow Jones

Dow Jones Industrial Average (DJIA) adalah salah satu indek pasar saham yang didirikan oleh editor The Wall Street Journal dan pendiri Dow Jones & Company Charles Dow. Dow membuat indeks ini sebagai suatu cara untuk mengukur performa komponen industri di pasar saham Amerika. Saat ini DJIA merupakan indeks pasar AS tertua yang masih berjalan.

Sekarang, bursa saham ini terdiri dari 30 perusahaan terbesar di Amerika Serikat yang sudah secara luas go public. Untuk mengkompensasi efek pemecahan saham dan penyesuaian lainnya, sekarang ini menggunakan weighted average. bukan rata-rata aktual dari harga saham komponennya.

Adapun perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam indeks Dow Jones adalah: 3M (konglomerat, manufaktur), Alcoa (aluminium), Altria Group American International Group American Express, Boeing, Caterpillar, Citigroup, Coca-Cola, DuPont, Exxon Mobil, General Electric, General Motors, Hewlett-Packard, Home Depot, Honeywell International, Intel, International Business Machines, J.P. Morgan Chase, Johnson & Johnson, McDonald's, Merck & Co, Microsoft, Pfizer, Procter and Gamble, SBC Communications, United Technologies, Verizon, Wal-Mart, Walt Disney Company.


(55)

Indeks Dow Jones merupakan rata-rata indeks saham terbesar di dunia oleh karena itu pergerakan indeks Dow Jones dapat mempengaruhi hampir seluruh indeks saham dunia termasuk IHSG. Pengaruh indeks Dow Jones terhadap IHSG diperkirakan positif dalam arti kenaikan indeks Dow Jones akan mengakibatkan naiknya IHSG di Bursa Efek Indonesia hal ini disebabkan oleh adanya sentimen positif dari para investor terhadap kondisi ekonomi dunia.

2.11. Penelitian Terdahulu

Kajian yang berhubungan dengan Indeks Harga Saham sudah banyak diteliti oleh peneliti-peneliti terdahulu. Rahayu, telah membuat suatu analisis yang pengaruh nilai tukar dan suku bunga terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di BEI. Hasil yang didapati adalah secara bersama-sama variabel nilai tukar dan SBI berpengaruh signifikan terhadap IHSG.

Haryanto dan Riyatno (2007) telah melakukan kajian mengenai pengaruh suku bunga SBI dan nilai kurs terhadap risiko sistematik saham perusahaan di BEI. Hasilnya adalah SBI dan nilai kurs terbukti mempengaruhi risiko sistematis saham, namun tidak signifikan pada dua karakteristik industri yang berbeda.

Mansyur (2005) telah meneliti pengaruh indeks bursa global terhadap IHSG di BEI selama periode 2000-2000, hasil yang didapati adalah indeks-indeks bursa global secara bersama-sama memberi pengaruh yang signifikan terhadap IHSG di BEI.


(56)

Tandelilin (1997) juga telah melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi risiko sistemik beberapa saham di Indonesia dengan menggunakan variabel inflasi, suku bunga dan perubahan GDP. Hasil yang didapati adalah secara bersama-sama variabel-variabel tersebut tidak berpengaruh signifikan namun tingkat suku bunga secara parsial berpengaruh signifikan terhadap risiko saham.

Handayani, (2007). Pengaruh tingkat bunga SBI, nilai kurs dollar AS, dan tingkat inflasi terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) (studi di Bursa Efek Jakarta). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tingkat bunga SBI, nilai kurs dollar AS, dan tingkat inflasi terhadap naik turunnya indeks harga saham dan untuk mengetahui variabel yang dominan berpengaruh terhadap Indeks Harga Saham Gabungan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa Tingkat bunga SBI, nilai kurs Dollar AS dan Tingkat inflasi secara serempak berpengaruh tehadap Indeks Harga Saham Gabungan. Tingkat bunga SBI berpengaruh negatif terhadap Indeks Harga Saham Gabungan, sedangkan Nilai Kurs Dollar AS dan Tingkat Inflasi berpengaruh positif terhadap Indeks Harga Saham Gabungan. Dari ketiga variabel independen, variabel tingkat bunga SBI adalah Variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap Indeks Harga Saham Gabungan

Secara lebih jelas penelitian penelitian yang telah disebutkan di atas dapat dilihat pada tabel penelitian di bawah ini.


(57)

Tabel 2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian Terdahulu

No. Peneliti Judul Variabel

Dependen

Variabel

Independen Hasil/Temuan

1 Theresia Puji

Rahayu (2002)

Analisis Pengaruh Nilai Tukar dan Suku Bunga terhadap IHSG di BEI

IHSG Nilai Tukar,

SBI Variabel-variabel independen secara bersama-sama bepengaruh signifikan terhadap variabel dependen

2 M.Y. Dedy

Haryanto dan Riyatno (2007)

Pengaruh Suku Bunga SBI dan Nilai Kurs terhadap Risiko Sistematik Saham Perusahaan di BEI

Risiko Saham

SBI dan Kurs SBI dan Kurs terbukti

mempengaruhi risiko sistematis saham namun hasilnya tidak signifikan pada dua karakteristik yang berbeda 3 Moh. Mansyur (2005) Pengaruh Indek Bursa Global terhadap Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) Pada Bursa Efek Jakarta (BEI) Peiode Tahun 2000-2002

IHSG Indek Kospi,

Hang Seng, Nikkei, TAIEX, Dow Jones FTSE, ASX Ketujuh indek tersebut secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap IHSG di BEI

4 Tandelilin (1997)

Determinant of Systematic Risk: The Experience of Some Indonesia Common Stock Risiko Saham Tingkat inflasi, suku bunga, dan perubahan GDP Secara bersama-sama variabel-variabel tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap risiko sistematik namun tingkat suku bunga secara parsial terbukti berpengaruh signifikan terhadap risiko sistematis


(58)

2.12. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan landasan teoritis dan hasil penelitian terdahulu, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Nilai Tukar

Gambar 2.3. Skema Kerangka Penelitian

2.13. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan kajian empiris yang telah dilakukan sebelumnya, dapat ditarik hipotesis, yaitu:

1. Nilai tukar berpengaruh positif terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia, ceteris paribus.

2. SBI berpengaruh negatif terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia, ceteris paribus.

Indek Harga Saham Gabungan SBI

Inflasi


(59)

3. Inflasi berpengaruh positif terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia, ceteris paribus.

4. Indeks Dow Jones berpengaruh positif terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia, ceteris paribus.


(60)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Objek Penelitian

Objek penelitian ini difokuskan pada faktor-faktor yang diduga dapat mempengaruhi pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan, dan faktor-faktor tersebut yaitu nilai tukar rupiah, inflasi, suku bunga SBI, indeks Dow Jones. Jangka waktu penelitian yang digunakan selama 62 bulan, mulai bulan Januari 2004 sampai bulan Februari 2009.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan jenis data runtun waktu

(time series) selama kurun waktu 62 bulan dari Januari 2004 sampai bulan Februari 2009. Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari beberapa sumber antara lain: data nilai tukar rupiah, tingkat suku bunga SBI, indeks Dow Jones, bersumber dari Bank Indonesia (BI), data pergerakan IHSG dan inflasi bersumber dari Bursa Efek Indonesia (BEI).

3.3. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan Metode

Ordinary Least Square (OLS). Hal ini digunakan untuk melihat elastisitas Variabel Independen (nilai tukar, SBI, inflasi, indeks Dow Jones) terhadap Variabel Dependen


(61)

(indeks harga saham gabungan/IHSG). Dan sebagai alat analisis untuk mengolah data adalah dengan menggunakan program Eviews versi 5,1. Metode ini banyak digunakan karena:

1. Pengestimasian parameter dengan menggunakan metode ini akan menghasilkan parameter yang bersifat optimum.

2. Perhitungan dengan menggunakan metode ini cukup mudah jika dibandingkan dengan metode ekonometrika yang lain dan metode ini tidak membutuhkan banyak data.

3. Metode Kuadrat Terkecil ini banyak digunakan secara luas dalam hubungan ekonomi dan banyak menghasilkan keputusan ekonomi yang baik. Dengan demikian metode ini banyak digunakan pada waktu mengestimasi hubungan dalam metode Ekonometrika.

4. Teknik-teknik dalam metode kuadrat terkecil sangat mudah dipahami. 5. Metode Kuadrat Terkecil adalah komponen yang penting dalam

ekonometrika.

3.4. Model Analisis

Untuk melihat seberapa besar pengaruh nilai tukar rupiah, inflasi, tingkat suku bunga SBI, indeks Dow Jones terhadap pergerakan IHSG di BEI selama kurun waktu bulan Januari 2004 sampai bulan Februari 2009, dianalisa dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Untuk itu fungsi persamaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:


(62)

IHSG = f (KURS, Inflasi, Asing, SBI, Indeks Dow Jones)...3.1

Kemudian fungsi tersebut dispesifikasikan ke dalam model ekonometrika dalam bentuk linear, sebagai berikut:

IHSGt = g0+ b1KURS + b2INF + b3SBI + b4 DJ+ e ...3.2

Di mana:

IHSG = Indek Harga Saham Gabungan (basis point/bsp) KURS = Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar US (Rp/$) INF = Inflasi (persen)

SBI = Suku Bung Sertifikat Bank Indonesia 1 bulan (persen) DJ = Indek Dow Jones (basis point/bsp)

a = Konstanta

b1, b2, b3, b4 = Koefisien Regresi

e = Error Term

3.5. Uji Kesesuaian (Test Goodness of Fit)

Estimasi terhadap model dilakukan dengan menggunakan metode yang tersedia pada program statistik Eviews versi 5.1. Koefisien yang dihasilkan dapat dilihat pada out put regresi berdasarkan data yang dianalisis untuk kemudian diinterpretasikan serta dilihat siginifikansi tiap-tiap variabel yang diteliti.

a. R² (koefisien determinasi) bertujuan untuk mengetahui kekuatan variabel bebas (independent variable) menjelaskan variabel terikat (dependent variable).


(63)

b. Uji parsial (t-test), dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara parsial. Jika thit > ttabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima.

c. Uji serempak (F-test), dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara serempak. Jika Fhit > Ftabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima.

3.6. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik

Setelah dilakukan pengujian regresi, maka dilakukan evaluasi. Evaluasi ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah penggunaan model regresi linier berganda dalam menganalisis telah memenuhi asumsi klasik yang dipersyaratkan.

Asumsi klasik yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

a. Uji Multikolinieritas

Multikolnieritas digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan linear di antara variabel-veriabel dalam model regresi. Interprestasi dari persamaan regresi linier secara emplisit bergantung bahwa variabel-variabel beda dalam persamaan tidak saling berkorelasi. Bila variabel-variabel bebas berkorelasi dengan sempurna, maka disebut multikolinieritas sempurna. Multikolinieritas dapat dideteksi dengan besaran-besaran regresi yang didapat yaitu:

1. Variasi besar (dari taksiran OLS).

2. Interval kepercayaan lebar (karena variasi besar, maka standar error besar sehingga interval kepercayaan lebar).


(1)

Lampiran 2

Lampiran Regresi Berganda

Dependent Variable: Y

Method: Least Squares Date: 06/08/09 Time: 10:43 Sample: 2004:01 2009:02 Included observations: 62

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 7513.365 948.5227 7.921122 0.0000 kurs 0.460469 0.072778 6.327051 0.0000

sbi -129.3500 42.87321 -3.017036 0.0038 inf 49.57957 19.97888 2.481599 0.0161

dj 0.483107 0.035563 13.58460 0.0000 R-squared 0.768543 Mean dependent var 1520.345

Adjusted R-squared 0.752300 S.D. dependent var 615.4464 S.E. of regression 306.3044 Akaike info criterion 14.36424 Sum squared resid 5347875. Schwarz criterion 14.53579 Log likelihood -440.2915 F-statistic 47.31642 Durbin-Watson stat 1.755466 Prob(F-statistic) 0.000000


(2)

Lampiran 3

Uji Multikolinearitas

Persamaan 1 : Y =

1+ 2lX1+ 3 X2+ 4X + µ

Output persamaan 1

Dependent Variable: Y Method: Least Squares Date: 06/08/09 Time: 10:43 Sample: 2004:01 2009:02 Included observations: 62

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 7513.365 948.5227 7.921122 0.0000 X1 0.460469 0.072778 6.327051 0.0000 X2 -129.3500 42.87321 -3.017036 0.0038 X3 49.57957 19.97888 2.481599 0.0161 X4 0.483107 0.035563 13.58460 0.0000 R-squared 0.768543 Mean dependent var 1520.345

Adjusted R-squared 0.752300 S.D. dependent var 615.4464 S.E. of regression 306.3044 Akaike info criterion 14.36424 Sum squared resid 5347875. Schwarz criterion 14.53579 Log likelihood -440.2915 F-statistic 47.31642 Durbin-Watson stat 1.755466 Prob(F-statistic) 0.000000

Persamaan 2 : X1 =

1 + 2X2 + 3 X3 + 4X4 + µ

Output persamaan 2

Dependent Variable: X1 Method: Least Squares Date: 06/08/09 Time: 10:47 Sample: 2004:01 2009:02 Included observations: 62

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 12015.32 662.9970 18.12274 0.0000 X2 -0.275474 77.35232 -0.003561 0.9972 X3 26.70378 35.87518 0.744353 0.4597 X4 -0.255155 0.054721 -4.662826 0.0000 R-squared 0.350115 Mean dependent var 9396.295

Adjusted R-squared 0.316501 S.D. dependent var 668.4541 S.E. of regression 552.6378 Akaike info criterion 15.52962 Sum squared resid 17713696 Schwarz criterion 15.66686 Log likelihood -477.4183 F-statistic 10.41554 Durbin-Watson stat 1.782201 Prob(F-statistic) 0.000014


(3)

Lampiran 4

Persamaan 3 : X2 =

1 + 2X1 + 3 X3 + 4X4 + µ

Output persamaan 3

Dependent Variable: X2

Method: Least Squares Date: 06/08/09 Time: 10:48 Sample: 2004:01 2009:02 Included observations: 62

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 2.540181 2.885799 0.880235 0.3824 X1 -7.94E-07 0.000223 -0.003561 0.9972 X3 0.398177 0.031789 12.52578 0.0000 X4 0.000256 0.000104 2.466796 0.0166 R-squared 0.737205 Mean dependent var 9.100323

Adjusted R-squared 0.723612 S.D. dependent var 1.784407 S.E. of regression 0.938109 Akaike info criterion 2.772439 Sum squared resid 51.04279 Schwarz criterion 2.909674 Log likelihood -81.94562 F-statistic 54.23483 Durbin-Watson stat 1.643219 Prob(F-statistic) 0.000000

Persamaan 4 : X3 =

1 + 2X1 + 3 X2 + 4X4 + µ

Output persamaan 4

Dependent Variable: X3

Method: Least Squares Date: 06/08/09 Time: 10:54 Sample: 2004:01 2009:02 Included observations: 62

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -4.859415 6.201199 -0.783625 0.4364 X1 0.000354 0.000476 0.744353 0.4597 X2 1.833607 0.146387 12.52578 0.0000 X4 -0.000523 0.000223 -2.339913 0.0228 R-squared 0.749862 Mean dependent var 9.287419

Adjusted R-squared 0.736924 S.D. dependent var 3.924891 S.E. of regression 2.013112 Akaike info criterion 4.299582 Sum squared resid 235.0521 Schwarz criterion 4.436816 Log likelihood -129.2870 F-statistic 57.95746 Durbin-Watson stat 1.610147 Prob(F-statistic) 0.000000


(4)

Lampiran 5

Persamaan 4 : X4 =

1 + 2X1 + 3 X2 + 4X3 + µ

Output persamaan 5

Dependent Variable: X4

Method: Least Squares Date: 06/08/09 Time: 10:55 Sample: 2004:01 2009:02 Included observations: 62

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 19419.07 2400.718 8.088858 0.0000 X1 -1.068581 0.229170 -4.662826 0.0000 X2 371.4872 150.5950 2.466796 0.0166 X3 -164.9955 70.51350 -2.339913 0.0228 R-squared 0.392941 Mean dependent var 11226.64

Adjusted R-squared 0.361541 S.D. dependent var 1415.389 S.E. of regression 1130.947 Akaike info criterion 16.96184 Sum squared resid 74184416 Schwarz criterion 17.09907 Log likelihood -521.8170 F-statistic 12.51418 Durbin-Watson stat 1.780621 Prob(F-statistic) 0.000002


(5)

Lampiran 6

Uji Durbin-Watson

Dependent Variable: Y

Method: Least Squares Date: 06/08/09 Time: 10:43 Sample: 2004:01 2009:02 Included observations: 62

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 7513.365 948.5227 7.921122 0.0000 kurs 0.460469 0.072778 6.327051 0.0000

sbi -129.3500 42.87321 -3.017036 0.0038 inf 49.57957 19.97888 2.481599 0.0161

dj 0.483107 0.035563 13.58460 0.0000 R-squared 0.768543 Mean dependent var 1520.345

Adjusted R-squared 0.752300 S.D. dependent var 615.4464 S.E. of regression 306.3044 Akaike info criterion 14.36424 Sum squared resid 5347875. Schwarz criterion 14.53579 Log likelihood -440.2915 F-statistic 47.31642


(6)

Lampiran 7

Persentase Titik Distribusi t (t-tabel)

N 0,40 0,25 0,10 0,05 0,025

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

40

62

120

125

1,000

0,816

0,765

0,741

0,727

0,718

0,711

0,706

0,703

0,700

0,697

0,695

0,694

0,692

0,691

0,690

0,689

0,688

0,688

0,687

0,686

0,686

0,685

0,685

0,684

0,684

0,684

0,683

0,683

0,683

0,681

0,679

0,677

0,674

3,078

1,886

1,638

1,533

1,476

1,440

1,415

1,397

1,383

1,372

1,363

1,356

1,350

1,345

1,341

1,337

1,330

1,328

1,325

1,323

1,321

1,319

1,318

1,316

1,315

1,314

1,313

1,311

1,310

1,296

1,289

1,282

1,280

1,275

6,314

2,920

2,353

2,132

2,015

1,943

1,895

1,860

1,833

1,812

1,796

1,782

1,771

1,761

1,753

1,746

1,740

1,734

1,729

1,725

1,721

1,717

1,714

1,711

1,708

1,706

1,703

1,701

1,699

1,679

1,684

1,671

1,658

1,645

12,706

4,303

3,182

2,776

2,571

2,447

2,365

2,306

2,262

2,228

2,201

2,179

2,160

2,145

2,132

2,120

2,110

2,101

2,093

2,086

2,080

2,074

2,069

2,064

2,060

2,056

2,052

2,048

2,045

2,042

2,021

2,000

1,980

1,960

31,821

6,965

4,541

3,747

3,365

3,143

2,998

2,896

2,821

2,764

2,718

2,681

2,650

2,624

2,602

2,583

2,567

2,552

2,539

2,528

2,518

2,508

2,500

2,492

2,485

2,479

2,473

2,467

2,462

2,457

2,423

2,390

2,358

2,326

Sumber : Sugiyono, 2003


Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Harga Minyak Dunia, Nilai Tukar, Inflasi, dan Suku Bunga SBI Terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia Periode 2009-2014

3 67 113

Analisis Pengaruh The Fed Rate, Indeks Dow Jones Dan Nikkei 225 Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Di Bursa Efek Indonesia Periode 2008-2013

9 83 85

Pengaruh Tingkat Bunga Sertifikat Bank Indonesia, Nilai Tukar Rupiah, Dan Tingkat Inflasi Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia

1 37 92

Analisis Pengaruh Inflasi, Nilai Tukar Rupiah Dan Indeks Dow Jones Terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Di Bursa Efek Indonesia (BEI)

2 18 83

Analisis Pengaruh Harga Minyak Dunia, Nilai Tukar, Inflasi dan Suku Bunga SBI terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode 2006-2009

2 39 90

PENGARUH INFLASI,SUKU BUNGA, DAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN (IHSG)DI BURSA EFEK INDONESIA

2 27 51

Analisis pengaruh harga emas dunia, variabel makro ekonomi dan indeks dow Jones terhadap indeks harga saham gabungan (IHSG) di bursa efek Indonesia ( BEI)

0 7 135

Pengaruh indeks Dow Jones dan kurs mata uang Rupiah terhadap perkembangan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI0

0 15 1

Analisis Pengaruh Inflasi, Kurs Rupiah dan Tingkat SBI terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Bursa Efek Indonesia (BEI).

0 0 1

ANALISIS PENGARUH TINGKAT INFLASI , TINGKAT SUKU BUNGA SBI DAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN (IHSG) DI BURSA EFEK INDONESIA

0 0 8