20
sehingga mereka tetap bisa mengetahui kerbau gembalaan mereka. Rumput liar yang tumbuh subur di perbukitan menjadi santapan kerbau yang diternakkan di sana.
Daerah pengembalaan kerbau tersebut lama-kelamaan terbentuk kubangan yang berisi genangan air serta terlihat seperti lapangan, sehingga Desa Banua Rea yang merupakan desa
tetangga Simaninggir ikut menjadikan perbukitan ini sebagai lahan pengembalaan ternak mereka. Berbeda hal nya dengan pengembala Simaninggir, para pengembala kerbau dari
Desa Banua Rea memberikan tanda dengan mengikat setiap tanduk kerbau tersebut dan juga ada yang mengecat dengan warna hitam di punggung kerbau.
Mengandalkan kekayaan alam menjadi ciri khas masyarakat Simaninggir untuk mempertahankan keberlangsungan hidup mereka. Terutama dalam pemenuhan kebutuhan
pokok yaitu sandang, pangan, dan papan maka akan mengambilnya dari hutan di sekitar pemukiman mereka. Kegiatan mencari rotan untuk kemudian dijual di pasar pada akhir
pekan yang merupakan waktu untuk melakukan transaksi jual-beli dengan penduduk dari desa lain yang akan datang ke pasar, yang pada saat itu ada di Desa Pusuk 1.
2.2 Latar Belakang Historis Desa Simaninggir
Perang di tanah Batak berlangsung kurang lebih 29 tahun, dimulai dari tahun 1878 sampai dengan tahun 1907. Peperangan ini disebut juga dengan Perang Batak atau Perang
Sisingamangaraja, di bawah pimpinan Si Singamangaraja XII, yaitu “raja” terakhir dari tanah batak. Perlawanan ditujukan untuk menentang kekuasaan pemerintah Hindia Belanda yang
akan menguasai daerah Tanah Batak pada abad ke-19. Perang berlangsung selama tujuh tahun di daerah Tapanuli Utara, seperti di Bahal Batu, Siborong-borong, Dolok
Sanggul, Balige Laguboti dan Lumban Julu. Pada tahun 1894, Belanda melancarkan
Universitas Sumatera Utara
21
serangan untuk menguasai Bakkara pusat kedudukan dan pemerintahan Sisingamangaraja. Akibat penyerangan ini, Sisingamangaraja XII terpaksa pindah ke Dairi Pakpak.
Ketika pasukan Belanda berhasil menduduk i Daerah Dolok Sanggul, kepala-kepala kampung di sini dipaksa membayar denda. Pasukan Belanda terus bergerak ke kampung-
kampung dan membakar beberapa kampung yang dilewatinya, sehingga selalu menimbulkan perlawanan dari pejuang-pejuang Batak Toba setempat. Dengan meluasnya daerah yang
tunduk kepada Pemerintah Belanda, maka daerah gerak Sisingamangaraja semakin sempit dan pengikutnya semakin berkurang. Sekarang pasukannya bertahan di sebelah Barat Daerah
Danau Toba, yaitu daerah Pak-pak dan Dairi.
20
Pada tahun 1907, Pasukan Marsose di bawah pimpinan Kapten Hans Christoffel berhasil menangkap Boru Sagala, istri Sisingamangaraja XII serta dua orang anaknya,
sementara itu Sisingamangaraja XII dan para pengikutnya berhasil melarikan diri ke Hutan Simsim.
Sampai dengan akhir abad ke-19 Sisingamangaraja XII masih giat melakukan perlawanan-perlawanan. Akan tetapi
perlawanan yang dilakukannya tidak lagi bersifat menyerang lawan, melainkan lebih bersifat mempertahankan diri dari serangan lawan.
21
20
Ibid., hal. 266.
21
Keturunan dari ajudan Sisingamangaraja yakni marga Nainggolan yang menjadi raja huta Simaninggir memperkirakan bahwa Hutan Simsim yang dimaksud adalah daerah tempat mereka bersembunyi
yang pasca perang menjadi pemukiman mereka dan akhirnya Hutan Simsim tersebut mereka beri nama menjadi Desa Simaninggir. Wawancara dengan Martua Mahulae, Kantor Kepala Desa Pusuk II Simaninggir, 24 April
2013.
Ia menolak tawaran untuk menyerah, dan dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907, Sisingamangaraja XII gugur bersama dengan putrinya Lopian dan dua orang putranya
Sutan Nagari dan Patuan Anggi. Gugurnya Sisingamangaraja XII menandai berakhirnya
Universitas Sumatera Utara
22
Perang Tapanuli.
22
Kondisi tersebut tidak memungkinkan lagi untuk bertahan dan meneruskan perjuangannya, sehingga beliau hijrah ke Dairi hingga akhirnya tewas. Marga Nainggolan
yang merupakan panglima Sisingamangaraja tersebut, memilih untuk tetap diam di sekitar gua tersebut, agar terlindung dari penjajahan Belanda. Tersebar ke mana-mana keganasan
pasukan Belanda serta penghancuran dan pembakaran pertahanan Sisingamangaraja. Rakyat pun telah menjadi korban keganasan pasukan Belanda, serta rumah-rumah dan kampung-
kampung rakyat dibakar. Rakyat mengungsi selama pertempuran berkecamuk. Mereka berbondong-bondong untuk menyelamatkan diri dari malapetaka pertempuran. Dengan
berjalan kaki mereka pergi menuju kampung saudaranya yang aman dari pertempuran. Dengan gugurnya Sisingamangaraja XII, maka seluruh daerah Batak Toba
jatuh ke tangan Belanda. Sejak itu rodi, penarikan pajak yang berat, serta berbagai peraturan pemerintahan kolonial yang merugikan rakyat masuk ke daerah ini. Struktur kehidupan
tradisional dari masyarakat Batak Toba pun menjadi runtuh. Awal terbentuknya Desa Simaninggir ini terjadi pasca Perang Sisingamangaraja yang
berkecamuk pada tahun 1907 sebelum akhirnya Sisingamangaraja gugur di Dairi pada tanggal 17 Juni 1907 di Ambalo Sienem Koden yang ditembak atas perintah komandan
Batalion Marsuse Belanda, Kapten Christofel. Pada saat itu Raja Sisingamangaraja dikawal oleh ajudannya yang bermarga Nainggolan dari Samosir, menemukan tempat persembunyian
di dalam gua yang berada di Desa Simaninggir ini. Kemudian Sisingamangaraja beserta panglimanya selanjutnya melakukan gerilya sampai ke Dairi, karena wilayah Bakkara dan
wilayah Toba pada umumnya telah dibakar habis dan dikuasai oleh Belanda.
22
Napitupulu, O.L. Perang Batak, Perang Sisingamangaradja. 1972. Jakarta: Yayasan Pahlawan Nasional Sisingamangaradja, hal. 269-273.
Universitas Sumatera Utara
23
Di antara mereka ada juga yang tak tentu arah tujuannya ke mana. Keluarga-keluarga yang hari demi hari terus berjalan menuju jarak yang jauh, sampai ke kampung-kampung
Humbang, dan akhirnya bertemu dengan mantan ajudan Sisingamangaja yang bermarga Nainggolan tersebut. Beliau mengajak mereka untuk bersembunyi sementara waktu di sekitar
gua Simaninggir tempat Sisingamangaraja dulu bersembunyi. Marga yang awalnya menduduki Simaninggir yaitu Nainggolan.
Marga yang lain kemudian ada karena proses pernikahan dan akhirnya tinggal menetap di Simaninggir tersebut.
23
Secara kepemilikan, Tanah Simaninggir merupakan daerah yang diklaim sebagai tempat persembunyian Sisingamangaraja bersama panglimanya yakni marga Nainggolan
tersebut. Dalam bahasa Batak Toba beliau disebut sebagai “Raja Ihutan sipukka huta ”, yakni orang yang pertama sekali menemukan dan menduduki pemukiman tersebut. Setelah
mendiami dan mendirikan rumah di daerah tersebut bersama dengan keluarganya, beliau menawarkan bantuan tempat persembunyian kepada saudara semarga yang lain yang beliau
jumpai di pasar dan di jalan yang membutuhkan tempat persembunyian sementara dari Dengan demikian, maka terjadilah migrasi spontan Batak
Toba Marserak dari beberapa daerah di Tapanuli Utara yang bergejolak pasca gugurnya Sisingamangaraja ke Desa Simaninggir. Simaninggir dengan isolasi wilayahnya, sangat
menjanjikan menjadi tempat yang nyaman dan aman dari jangkauan musuh, terutama Belanda. Daerah ini hanya dapat ditelusuri dengan mendaki, karena letaknya yang berada di
atas bukit, sehingga tidak dapat dijangkau oleh Belanda yang menggunakan kendaraan tempur untuk menduduki wilayah jajahannya pada masa itu.
23
Wawancara dengan Martua Mahulae, Kantor Kepala Desa Pusuk II, Minggu, 28 April 2013.
Universitas Sumatera Utara
24
peperangan. Maka, terbentuklah suatu pemukiman baru yang diberi nama Simaninggir. Awal mula perkembangan Simaninggir, penduduknya tentu tidak terlepas dari tradisi mereka
sebelumnya, yakni dari tempat asal mereka. Masing-masing penduduk masih mengamalkan tradisi budaya asal mereka. Dalam masyarakat Batak Toba, di daerah asal bona pasogit
hukum atas pemilikan tanah dan pendirian kampung didasarkan atas marga. Marga sebagai identitas yang cukup mendasar, membentuk norma-norma hubungan dalam tatanan
kehidupan. Marga yang pertama datang ke daerah yang belum ada pemiliknya akan menjadi raja huta di sana, dan merekalah kelak disebut sebagai marga tanah. Pemilikan atas tanah
disebut “golat” dan yang memilikinya disebut “pargolat”. Dengan demikian, dalam hal ini hak atas golat Desa Simaninggir adalah marga Nainggolan tersebut, yang membuka dan
memerintah di Desa Simaninggir. Tanah seperti ini dengan bebas dapat diberikan kepada anak-anaknya, dan diwariskan
jika dia meninggal kelak. Betapapun jauhnya beliau pergi dan bermukim di tempat lain, tanah itu tetap menjadi miliknya. Dalam hal ini marganya mengukuhkan hak nya, itu adalah
hak penguasaan tanah asli yang dipegang oleh marganya. Merekalah yang dapat menukarkan, meminjamkan tanahnya kepada orang lain yang datang ke daerah tersebut. Bagi
generasi selanjutnya pembagian lahan terutama terjadi atas dasar pemberian orang tua. Pemberian sebidang tanah dilakukan setelah anak menikah atau berumah tangga.
Keluarga muda berpisah dan berdiri sendiri dari lingkungan keluarga orang tua disebut manjae. Pemberian tanah kepada anak laki-laki yang sudah berkeluarga disebut
panjaean dan kepada anak perempuan disebut pauseang. Masih ada bentuk pemberian tanah oleh marga tanah kepada marga pendatang, yaitu kepada boru. Hal ini dapat terjadi apabila
marga boru tinggal sampai tiga generasi atau lebih di kampung marga tanah dengan
Universitas Sumatera Utara
25
mengawini anak perempuan marga tanah dan atau mempunyai jasa terhadap marga tanah. Mereka dapat mendirikan satu atau lebih kampung sendiri di tengah kampung hula-hulanya
atau di tanah pembagian harta pusaka yang diberikan kepadanya. Sekitar tahun 1958 juga pernah terjadi pergolakan politik antara PRRI dengan TRI
yang melibatkan Desa Simaninggir.
24
Setelah TRI tiba di Simaninggir, mereka lalu mencari pasukan PRRI ke rumah-rumah penduduk dan bertanya apakah ada yang melihat pemberontak atau pasukan PRRI, tapi anak-
anak yang tinggal di rumah yang tidak ikut mengungsi dengan orang tua mereka menjawab tidak mengetahui keberadaan mereka. Mereka menjawab saat pemberontak datang mereka
Penduduk Simaninggir menyebutnya dengan “masa pemberontakan“. Kala itu musim perang antara pasukan PRRI dengan TRI. Kemudian
pasukan PRRI mundur dan lari ke hutan, saat mengetahui TRI telah tiba di Simaninggir. Saat PRRI masih ada di Simaninggir, para penduduk pergi ke hutan untuk bersembunyi, agar
tidak diajak oleh Pasukan PRRI dan anak-anak mereka ada yang bersembunyi di gua yang ada di Simaninggir saat mendengar ada suara tembakan dari luar.
24
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia biasa disingkat dengan PRRI merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat Jakarta. Gerakan ini dideklarasikan
pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel AhmadHusein di Padang, Sumatera Barat, Indonesia. Gerakan ini mendapat sambutan dari
wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, di mana pada tanggal 17 Februari 1958 kawasan tersebut menyatakan mendukung PRRI. Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan keinginan akan
adanya otonomi daerah yang lebih luas. Selain itu ultimatum yang dideklarasikan itu bukan tuntutan pembentukan negara baru maupun pemberontakan, tetapi lebih kepada konstitusi dijalankan.
Pada masa bersamaan kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca agresi Belanda. Hal ini juga
mempengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa. Sebelumnya bibit-bibit konflik tersebut dapat
dilihat dengan dikeluarkannya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom oleh provinsi Sumatera Tengah waktu itu yang mencakup wilayah provinsi Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau,
dan Jambi sekarang. Namun apa yang menjadi pertentangan ini, dianggap sebagai sebuah pemberontakan oleh pemerintah pusat yang menganggap ultimatum itu merupakan proklamasi pemerintahan tandingan dan
kemudian dipukul habis dengan pengerahan pasukan militer terbesar yang pernah tercatat di dalam sejarah militer. C.S.T. Kansil dan Julianto, Sejarah Perjuangan dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa, Jakarta: Erlangga, 1991, hal. 61.
Universitas Sumatera Utara
26
berada di ladang. Pasukan TRI menjadi marah dan memasak ubi dan mengambil beras milik penduduk dengan tetap mengarahkan senapan ke arah mereka. Kemudian karena tidak
mendapat hasil apa-apa pasukan TRI kembali ke Pusuk 1 yang merupakan markas mereka, dengan tetap menembaki semua arah Simaninggir.
Kejadian itu menorehkan ingatan traumatis bagi penduduk yang menyaksikan masa itu.
25
Masyarakat Simaninggir secara keseluruhan adalah bersuku Batak Toba. Setiap orang Batak Toba, memakai marganya di belakang namanya. Di mana pun mereka berada marga
itu selalu dipakai. Bagi orang Batak, marga Desa Simaninggir dijadikan sebagai tempat untuk persembunyian sementara dan juga
sebagai tempat bergerilya untuk melawan Tentara Rakyat Indonesia. Anggota PRRI tidak mengganggu dan mengancam penduduk Simaninggir bahkan para informan berkata
pemberontak adalah teman mereka. Kadang pemberontak mengajak anak-anak menari marsitumba dan memberikan mereka sebagian makanannya juga membagikan uang mereka
kepada anak-anak Simaninggir. Pasukan PRRI di antaranya ada yang bermarga Pardede, Panjaitan, Simanjuntak.
2.3. Komposisi Penduduk