memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya meminta keterangan seperlunya tentang hal itu.
e Pasal-pasal dalam Peraturan Hukum Pidana. Pasal-pasal ini terlihat
dan terungkap dalam surat dakwaan penuntut umum, yang diformulasikan sebagai ketentuan hukum pidana yang dilanggar oleh
terdakwa. Pasal-pasal tersebut kemudian dijadikan dasar pemidanaan oleh hakim. Berdasarkan Pasal 197 KUHAP, salah satu yang harus
dimuat di dalam surat putusan pemidanaan adalah pasal peraturan perundang-undangan
yang menjadi
dasar pemidanaan
atau tindakan
40
2.6.2 Pertimbangan Hakim Yang Bersifat Non Yuridis
Pertimbangan Hakim yang bersifat non yuridis adalah pertimbangan yang timbul dari dalam sidang yang berasal dari luar peraturan. Misalnya latar belakang
dilakukannya tindak pidana, akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana, kondisi diri Terdakwa, keadaan sosial, ekonomi serta lingkungan Terdakwa, selain itu dari
faktor agama, sebagaimana diuraikan sebagai berikut : a
Latar Belakang Perbuatan Terdakwa Yang dimaksud latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang
menimbulkan keinginan serta dorongan keras pada diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana. Keadaan ekonomi misalnya, merupakan contoh
yang sering menjadi latar belakang kejahatan. Kemiskinan, kekurangan atau kesengsaraan adalah suatu keadaan ekonomi yang sangat keras yang
mendorong terdakwa melakukan perbuatannya. Apabila putusan pengadilan yang ada selama ini cenderung mengabaikan latar belakang perbuatan
terdakwa. b
Akibat Perbuatan Terdakwa Perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa sudah pasti membawa korban
atau kerugian pada pihak lain c
Kondisi Diri Terdakwa Kondisi diri terdakwa adalah keadaan bentuk fisik ataupun psikis terdakwa
sebelum melakukan kejahatan, termasuk juga status sosial yang melekat pada dirinya. Keadaan fisik yang dimaksud adalah usia dan tingkat kedewasaan.
40
Rusli Muhammad, 2006, Potret Lembaga Peradilan Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 136-144.
Sementara keadaan psikis adalah berkaitan dengan perasaan misalnya marah, mempunyai perasaan dendam, mendapat ancaman atau tekanan dari orang
lain, dan pikiran dalam keadaan kacau atau tidak normal. Adapun yang dimaksud dengan status sosial adalah predikat yang dimiliki dalam
masyarakat, yakni apakah sebagai pejabat, tokoh masyarakat, ataukah sebagai gelandangan dan lain sebagainya.
d Keadaan Sosial Ekonomi Terdakwa
Di dalam KUHP maupun KUHAP tidak ada satu aturanpun yang dengan jelas memerintahkan
bahwa keadaan
sosial ekonomi
terdakwa harus
dipertimbangkan di dalam menjatuhkan putusan yang berupa pemidanaan. Hal yang harus dipertimbangkan hakim adalah keadaan sosial ekonomi pembuat,
misalnya tingkat pendapatan dan biaya hidupnya. Ketentuan ini memang belum mengikat pengadilan karena karena masih bersifat konsep. Akan tetapi,
kondisi sosial ekonomi tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam menjatuhkan putusan sepanjang hal tersebut merupakan fakta yang terungkap
di muka persidangan. e
Faktor Agama Terdakwa Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup jika hanya
meletakkan kata “Ketuhanan” pada kepala putusan, tetapi harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan, baik tindakan para hakim itu sendiri
maupun dan terutama tindakan para pembuat kejahatan. Jika demikian halnya, adalah wajar dan sepatutnya bahkan pula seharusnya ajaran agama menjadi
pertimbangan hakim dala menjatuhkan putusannya. Keseluruhan dari pertimbangan tersebut di atas, baik pertimbangan yuridis
maupun pertimbangan nonyuridis secara definitif tidak ditemukan di dalam berbagai peraturan hukum acara. KUHAP sekalipun menyebutkan adanya
pertimbangan, penyebutannya hanya garis besarnya. Sesuai Pasal 197 ayat 1 sub d yang berbunyi
: “Putusan pemidanaan memuat pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang
diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.”
39
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan
Oleh Anak dalam Putusan Nomor 84Pid.B2011PN-KBR dengan Fakta Yang Terungkap di Persidangan
Sebagaimana telah disebutkan bahwa tindak pidana yang melibatkan anak sebagai pelakunya, membawa fenomena tersendiri, demikian pula halnya dengan
pertanggungjawaban pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam sistem hukum di Indonesia. Mengingat anak adalah individu yang masih labil
emosi belum menjadi subyek hukum, maka penanganan kasus tindak pidana dengan pelaku anak perlu mendapat perhatian khusus, dimulai dari hukum acara
pidana yang berlaku terhadap anak. Hukum acara pidana anak mengatur secara khusus kewajiban dan hak yang diperoleh anak. Apabila seorang anak melakukan
tindak kejahatan, maka anak tersebut akan dikenakan rumusan ancaman pidana sebagaimana terdapat dalam KUHP, akan tetapi karena pelakunya adalah anak
maka sistem hukum Indonesia membuat pembedaan sehingga dirumuskanlah sidang anak, sebagaimana yang diatur oleh Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak. Penjatuhan pidana yang dilakukan seorang hakim sebagai perampasan
kemerdekaan terhadap anak nakal merupakan pilihan terakhir ultimum remedium dan pilihan ini tentu saja harus melalui pertimbangan yang sangat
matang dan melibatkan banyak pihak yang berkompeten dan itu juga harus diyakini bertujuan untuk memberikan dan demi kepentingan yang terbaik bagi
anak tersebut bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam saja atas perbuatan anak itu. Terkait dengan penjatuhan pidana dalam tindak pidana yang melibatkan
anak sebagai pelakunya penulis dalam hal ini mengkaji tindak pidana penganiayaan.
Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil
suatu keputusan
hukum dalam
suatu perkara
dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang ada. Pembuktian disini akan menjadi bahan