Pengembangan Desa Siaga Pembahasan

menunjukkan bahwa 100 responden yang diteliti juga berpraktek swasta, sehingga selain peran sebagai pendamping, bidan juga berperan sebagai penyedia layanan kesehatan KIA di Polindes dan BPS. Bertumpuknya peran ini mengakibatkan peran bidan dalam melakukan pendampingan desa siaga menjadi tidak maksimal. Bila dilihat dari segi usia bidan sebenarnya sebagian besar bidan berada dalam usia produktif yaitu antara 31- 40 tahun sebanyak 62,96, hal ini menunjukkan bahwa peran bidan dalam pengembangan desa siaga masih dpat ditingkatkan lagi. Salah satu cara untuk meningkatkan peran tersebut adalah dengan memberikan insentif pendamping seperti halnya dalam program pemberdayaan masyarakat dalam bidang yang lain, dengan begitu maka dalam melaksanakan perannya sebagai pendamping desa siaga, bidan dapat berperan secara lebih profesional. Sesuai dengan kondisi diatas, menurut Usman 2008, pengembangan desa siaga akan menjadi lebih baik jika tenaga pendamping yang dimiliki oleh sebuah desa siaga dilakukan oleh para pendamping yang profesional.

2. Pengembangan Desa Siaga

Dalam pengembangan desa siaga, ditemukan 2 hal, yang perlu dicermati yaitu sebagian besar desa yang diteliti masih memiliki status tumbuh yaitu 50,84 dari seluruh desa yang diteliti dan masyarakat banyak melakukan lompatan dalam tahapan pengembangan desa siaga. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Azhar 2007 menunjukkan bahwa pengembangan desa siaga pada daerah penelitiannya menunjukkan perkembangan yang cukup baik, dimana indikator-indikator pengembangan desa siaga dapat tercapai. Menurut Azhar 2007, hal tercapai karena adanya kerjasama yang baik antara pemerintah, tenaga pendamping dan masyarakat. Berbeda dengan penelitian diatas, pengembangan desa siaga di Kabupaten Blitar menurut hasil penelitian ini masih kurang baik, hal ini ditunjukkan oleh masih banyaknya desa siaga yang diteliti masih memiliki status bina yang mencapai 25,42. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, banyak faktor yang mempengaruhi kondisi ini diantaranya adalah kesiapan masyarakat, kemampuan tenaga pendamping dalam melakukan fasilitasi, motivasi maupun katalisasi yang masih lemah maupun kesiapan pemerintah daerah dalam menyediakan sarana pendukung. Kesiapan masyarakat menurut pengamatan yang dilakukan masih kurang yaitu nampak dari dilakukannya lompatan tahap pengembangan desa siaga yang dianggap sulit, sebagai contoh yang sering dilompatu adalah pembentukan sistem surveilans. Sedangan kemampuan tenaga pendamping yang masih lemah dalam melakukan fasilitasi, motivasi dan katalisasi disebabkan karena tingkat pendidikan kebidanan yang dimiliki oleh sebagian besar bidan masih merupakan pendidikan kebidanan dasar P2B sehingga masih lemah dalam memberikan asuhan kebidanan komunitasnya. Kurang siapnya pemerintah daerah dalam mendukung pelaksanaan desa siaga ditunjukkan oleh masih minimnya Puskesmas PONED yang dapat dijadikan sebagai pembina desa siaga. Pengembangan desa siaga yang terkesan berjalan di tempat juga ditemukan oleh Soepramanto dkk 2007 yang melakukan studi pada 3 propinsi yang telah mengembangkan desa siaga pada tahap awal yang menunjukkan bahwa rata-rata pengembangan desa siaga dalam propinsi yang diteliti seperti tidak berjalan atau perkembangannya sangat lambat.

3. Pengaruh Peran Bidan dalam Pengembangan Desa Siaga