4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
Pasal 22 jo. Pasal 35 5.
Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu Pasal 22 jo. Pasal 36
6. Saksi yang membuka identitas pelapor Pasal 24 jo. Pasal 31.
Pengaturan mengenai bentuk-bentuk perbuatan korupsi sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 bersifat lebih rinci
dibandingkan pengaturan yang ada dalam undang-undang sebelumnya, berdasarkan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 maka tindak pidana korupsi dikategorisasikan menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi
dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
B. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan
teorekenbaardheid
atau
criminal responsibility
yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.
Secara leksikal, kata “ Pertanggungjawaban” berasal dari bentuk kata majemuk “tanggungjawab” yang berarti keadaan wajub menanggung segala
sesuatu berupa penuntutan, diperkarakan dan dipersalahkan sebagai akibat sikap sendiri dan orang lain. Selain itu, kata “tanggungjawab” merupakan kata benda
abstrak yang bisa dipahami melalui sikap, tindakan dan prilaku. Setelah bentuk
dasar, kata “tanggungjawab” mendapat imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi “pertanggungjwaban” yang berarti perbuatan bertanggungjawab atau
suatu yang dipertanggungjawabkan.
29
Menurut Romli
Atmasasmita, pertanggungjawaban
pidana
criminalliability
diartikan sebagai suatu kewajiban hukum pidana untuk memberikan pembalasan yang akan diterima pelaku terkait karena orang lain yang
dirugikan. Sedangkan pertanggungjawaban pidana menurut Roeslan Saleh, menyangkut pengenaan pidana karena sesuatu perbuatan yang bertentangan
dengan hukum pidana. Pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan perbuatan pidana,
karena perbuatan pidana menentukan sejauh mana seseorang dapat dimintai pertanggungjawabanya. Menurut Moeljatno bahwa seseorang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan dijatuhkan pidana apabila kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Dengan demikian bahwa, pertanggungjawaban pidana
tergantung pada dilakukanya tindak pidana, dalam artian bahwa adanya unsur kesalahan seperti melakukan perbuatan pidana terlebih dahulu, baru seseorang itu
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
30
Menurut ajaran
dualistis antara
perbuatan pidana
dengan pertanggungjawaban pidana walaupun berkaitan erat haruslah dipisahkan karena
ajaran dualistis beranggapan bahwa unsur pembentuk pidana hanyalah perbuatan. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang
29
Hasan Alwi,
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta,Halaman 1139
30
Chairul Huda,
Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Pidana dan Pertanggung ja waban Pidana,
Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2006, hal.26
padanya dilekatkan sanksi pidana. Dengan demikian, dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana, sedangkan sifat-
sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.
31
Oleh karena itu berdasarkan ajaran dualistis tersebut maka antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban
pidana adalah berbeda namun berkaitan erat. Pemisahan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana
membawa konsekuaensi bahwa belum tentu jika seseorang telah terbukti melakukan perbuatan pidana, dapat dimintai pertanggungjawabanya karena bisa
saja orang yang melakukan perbuatan pidana tidak dapat dimintai pertanggung jawabannya misalnya karena orang tersebut gila, atau mungkin orang tersebut
dipaksa untuk melakukan perbuatan itu. Pertanggungjawaban pidana ini tidak hanya bagi orang, tetapi juga berlaku
bagi badan hukum. Karena badan hukum ini tidak berbuat secara langsung mempertanggung jawabkan perbuatannya, pertanggung jawaban dikenakan
kepada orang yang mewakilinya.
32
Seseorang dinyatakan bersalah dan kepadanya dapat dimintai pertanggung jawabnya apabila orang tersebut telah memenuhi 3 elemen, antara lain:
33
1. Kemampuan untuk bertanggungjawab; 2. Adanya sikap batin antara pelaku dan perbuatan pidana yang dilakukan, dimana
sikap batin ini melahirkan 2 bentuk kesalahan yaitu kesengajaan dan kealpaan.
31
Ibid.,
hal.26
32
Hakim, Rahmat.
Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah
. Bandung : CV. Pustaka Setia.2000. hal. 175-177
33
Ismu Gunadi Jonaedi Efendi,
Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2014, hal.88-89
Dimana syarat kesengajaan adalah
weten en wilen
mengetahui dan menghendaki, sedangkan syarat kealpaan adalah kurang adanya kehati-hatian;
3. Tidak adanya alasan penghapus pertanggungjawaban pidana yang secara garis besar dibagi menjadi alasan pembenar dan alasan pemaaf.
Pertanggungjawaban pidana juga merupakan pertanggungjawaban orang terhadap
tindak pidana
yang dilakukannya.
Tegasnya, yang
dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Maka, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk berekasi
terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu. Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan
dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana. Tetapi meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak pula selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat suatu
tindak pidana akan hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.
34
Pada tindak pidana korupsi sendiri, subjek yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Noor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi, yaitu sebagai berikut: 1. Korporasi
34
http:princemalekrove.blogspot.com201205pertanggungjawaban-pidana.html, diakses tanggal 15 Mei 2015
2. Pegawai Negeri, yang meliputi; a. Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang
Kepegawaian; b. Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau Daerah;
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau Daerah;
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
3. Setiap orang adalah perseorangan atau termasuk korporasi. Oleh karena itu, berdasarkan pasal tersebut maka dapat dilihat bahwa
pertanggungjawaban dalam tindak pidana korupsi itu dapat dibebankan kepada seseorang dan korporasi. Dimana jika seseorang yang melakukan tindak pidana
Korupsi maka pertanggungjawaban pidana dapat langsung dibebankan kepada orang tersebut, asal saja orang tersebut telah memenuhi 3 elemen untuk
menyatakan bahwa seseorang dapat dimintai pertanggung jawabanya. Namun jika Korporasi yang melakukan tindak pidana Korupsi maka berdasarkan Pasal 20
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pengurusnya saja, ataupun korporasinya saja, atau dapat juga
dibebankan kepada kedua-duanya, karena ketentuan Pasal 20 tersebut
memberikan peluang alternatif pilihan kepada penuntut umum untuk memberikan Dakwaan dan Tuntutan.
35
C. Sanksi dalam Tindak Pidana Korupsi