Tinjauan Tentang Pekerja Anak Di Terminal Amplas (Studi Kasus Anak yang Bekerja Sebagai Penyapu Angkutan Umum di terminal Terpadu Amplas)

(1)

TINJAUAN TENTANG PEKERJA ANAK DI TERMINAL AMPLAS (Studi Kasus Anak yang Bekerja Sebagai Penyapu Angkutan Umum di terminal

Terpadu Amplas)

SKRIPSI

Diajukan Guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosial

jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial

OLEH :

FEBRINA ADRIYANI 050902068

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAK

Seperti halnya dengan kota-kota lain di Indonesia, Medan juga tidak terlepas dari fenomena pekerja anak yang dewasa ini menjadi problema sosial yang cukup kompleks. Dunia anak-anak yang seharusnya dinikmati dengan suasana yang menyenangkan yaitu bermain dan belajar, namun karena beberapa faktor menyebabkan anak-anak ini harus bekerja memikul beban ekonomi yang seharusnya merupakan tanggung jawab keluarganya dalam hal ini orang tua. Untuk itu anak-anak melakukan pekejaan apa saja yang bisa menghasilkan uang agar dapat memenuhi kebutuhannya yang semakin matrealistis di daerah perkotaan. Salah satu pekerjaan yang dilakukan anak-anak adalah sebagai penyapu angkutan. Kota Medan memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk melakoni pekerjaan tersebut, karena kota Medan memiliki terminal angkutan umum yaitu Terminal Terpadu Amplas yang sangat padat dengan aktivitas ekonomi, dimana terminal ini merupakan terminal terbesar dan tempat berbagai pengangkutan umum untuk melakukan transit baik angkutan yang berasal dari dalam kota, luar kota maupun luar provinsi.

Di terminal Terpadu Amplas selalu ramai oleh orang yang hilir mudik, diantara kelompok yang meramaikannya adalah anak penyapu angkutan umum. Addapun informan ddalam penelitian ini sebanyak 5 orang. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan mendapatkan gambaran mengenai masalah fenomena pekerja anak di Terminal Terpadu Amplas dan bagaimana dunia kerja yang dialaminya. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara bebas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa latar belakang keluarga yang kondisi sosialnya rendah merupakan salah satu faktor yang memotivasi anak untuk bekerja. Para pekerja anak berusia 7 sampai 16 tahun, mereka harus bekerja dari pagi sampai malam hari dengan penghasilan yang tidak memadai dibandingkan jam dengan kerjanya. Sebagian dari mereka tidak bersekolah lagi, berdasarkan wawancara yang dilakukan mereka putus sekolah karena tidak ada biaya. Adapun alasan mereka bekerja adalah untuk membantu biaya sekolah, meringankan beban ekonomi orangtua. Dalam beraktifitas mereka terkadang menerima hal-hal yang tidak simpatik, misalnya makian, bentakan dari para supir maupun orang yang berada di sekitar terminal bahkan dari sesama teman penyapu angkutan lainnya. Pekerjaan mereka sebenarnya penuh persaingan dan penuh resiko misalnya jatuh dari angkutan ynag sedang berjalan, dan hal yang pasti keberadaan pekerja anak sesungguhnya mmpunyai dampak negatif yaitu dari segi sosial emosi dan fisik.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmatNya, penelitian ini dapat penulis rangkumkan dengan baik, walaupun penulis sadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan mengingat pengetahuan, waktu dan kemampuan yang penulis miliki, maka dengan segala kerendahan hati, penulis mohon untuk adanya perbaikan dan penyempurnaan tulisan ini, yang tentunya mengharapkan koreksi dan saran dari segenap pembaca sekalian.

Penulisan skripsi ini berjudul ”Tinjauan Pekerja Anak di Terminal Terpadu Amplas (Studi Kasus Anak yang Bekerja sebagai Penyapu Angkutan Umum di Terminal Terminal Terpadu Amplas), yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi pada program strata satu (S-1), Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Sekaligus dengan segala keterbatasannya penulis berharap penelitian ini bermanfaat bagi penulis khususnya, perusahaan dan pembaca tentunya.

Pada kesempatan yang berbahagia ini pula, penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan bisa selesai tanpa bantuan, perhatian bahkan kasih sayang dari berbagai pihak yang bersifat moril maupun materil, maka dengan segala kerendahan hati terimakasih penulis haturkan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakkultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.


(4)

2. Bapak Drs. Matias Siagian, M.Si, selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

3. Ibu Tuti Atika, M.SP, selaku dosen Pembimbing yang telah banyak

membimbing, mengarahkan, dan memberikan saran dan masukan kepada penulis.

4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen dan Pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara untuk segala ilmu pengetahuan selama perkuliahan dan dengan segala jasa-jasanya.

5. Bapak Hendrik Ginting selaku Kepala Sub Unit Terminal Terpadu Amplas Medan yang telah memberi izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di perusahaan.

6. Bapak Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAID-Sumut), Bapak Mhd.

Zahrin Pilliang yang senantiasa selalu memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama menempah pengalaman di KPAID.

7. Seluruh Komisioner KPAID, Kakanda Elvi Hadriyani, Kakanda Muslim

harahap, SH yang selalu memberikan pengetahuan dan bimbingan, Kakanda Suhartini. S. Sos, Kakanda Nora Liza, Bapak Nisful Khoiri, Bapak Zulfikar El Ridho, Bapak Karliston H.Sitompul, SH

8. Spesial Penulis ucapkan beribu terimakasih kepada kedua orang tua tercinta, terutama untuk Ayah (Alm) Munawar dan Ibu Rahemi yang telah merawat dan membesarkan adinda dengan segenap cinta dan doa serta kasih sayang


(5)

yang teramat besar dan tulus, beserta dukungan dan motifasinya kepada adinda.

9. Buat Papa Drs. Harris H. Simamora , dan istri, terimakasih penulis ucapakan atas perhatian, doa, kasih sayang, bimbingan dan dukungannya yang selama ini tidak pernah henti-hentinya memberikan yang terbaik untuk penulis .

10.Buat Mami Jenny Situmorang dan Suami yang selalu memberikan kasih sayang, bimbingan, doa dan memberikan makna tentang kesabaran pada penulis.

11.Buat Ompung Situmorang dan Istri beserta tante Herda, tulang Aldo dan nantulang, Tulang Jeron dan adikku Edo, Aurel Titania beserta Keluarga besar Situmorang di Parlilitan. Terimakasih atas doa dan dukungannya.

12.Buat kakanda Dewi, Ema dan Suami, Sari dan Suami dan adik-adikku Boy Krisnaldo, Putri Adliyani, Indah Ayu Wiguna serta keponakannku Avrilla Rivanika Azhara, Shela. Terimakasih atas doa dan dukungannya

13.Buat Keluarga Besar Alm. Rasani dan Ali umar, terimakasih atas dukunganya kepada penulis.

14.Buat One Neli dan Suami, keponakannku Charly dan Nayla, terimakasih atas perhatiannya.

15.Buat keluarga besar Bapak Junaidi Saragih (Jhon Belanda) dan Ibu Nining beserta kakanda Norma yunita Saragih, adinda Suci Ramadhani dan Roza Prawira. Terimakasih Penulis ucapkan atas dukungan dan doanya.


(6)

16.Buat Deni Putra Saragih, Terimakasih atas waktu, dukungannya, doa yang telah diberikan kepada penulis hingga skripsi ini selesai.

17.Buat kakanda Mesrawati dan Suami serta keponakannku, cancan dan cut. Terimakasih atas perhatiannya kepada penulis.

18.Teman-temanku yang tak pernah lelah untuk memberikan semangat dan dukungan kepada penulis, Buat Tio, Ethie, Siti, Joni, Mele, Anchie, Selvi,

Ramot, aGung, Purta, Gita, Dewi, Liza, Samry, Rikie. Terimakasih atas doa

dan persahabatan yang paling menyenangkan di perkuliahan ini.

19.Buat teman-temanku Kesos 05, abang dan kakak senior, dan teman-teman junior terimah kasih atas bantuan dan dukungannya.

20.Buat teman-teman Deny, Anto, Heri, ucok, Yusuf. Terimakasih atas bantuannya kepada penulis.

21.Buat teman-temanku dan sahabat-sahabatku yang tidak mampu penulis sebutkan satu persatu, terimah kasih banyak atas segala-galanya.

Akhirnya penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang tidak mampu penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah SWT memberi perlindungan, kesehatan, taufik dan hidayah-Nya dan besar harapan penulis penelitian yang jauh dari sempurna ini dapat memberikan informasi dan manfaat bagi kita semua.


(7)

Penulis

(Febrina Adriyani)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

Kata Pengantar ...i

Daftra Isi ...v

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ...1

1.2.Perumusan Masalah ...9

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian ...10

1.3.1. Tujuan Penelitian ...10

1.3.2. Manfaat Penelitian...10

1.4.Sistematika Penulisan ...11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. Pengertian Anak ...12

2.1.Hak Anak ...13

2.2.Pekerja Anak ...15

2.3.Sebab-sebab Timbulnya Pekerja Anak ...19

2.4.Partisipasi anak dalam kegiatan ekonomi Rumah Tangga ...26

2.5.Kemiskinan ...26

2.5.1. Pengertian Kemiskinan ...27


(8)

2.5.3. Faktor-faktor penyebab Kemiskinan ...27

2.6.Sosial Ekonomi ...28

2.7.Kegitan Ekonomi Kaum Miskin Perkotaan ...30

2.8.Kesejahteraan Sosial ...37

2.8.1. Pengertian Kesejahteraan Sosial ...37

2.8.2. Masalah-masalah Kesejahteraan Sosial ...38

2.8.3. Kesejahteraan Anak ...39

2.9.Faktor-faktor Anak Bekerja ...46

2.10.Masalah-masalah yang Dihadapi Pekerja Anak ...48

2.11.Defenisi Konsep ...52

2.12.Defenisi Operasional ...53

2.13.Kerangka Pemikiran ...54

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian ...56

3.2. Lokasi Penelitian ...57

3.3. Subjek Penelitian ...57

3.4. Teknik Pengumpulan Data ...58

3.5. Teknik Analisa Data ...59

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...60

4.2. Fasilitas yang Tersedia ...62

4.3. Kegiatan yang ada di Terminal Terpadu Amplas ...64

- Tabel I ...66

BAB V ANALISA DATA 5. Uraian Tahap Pengumpulan Data ...68

5.1. Studi Kepustakaan...68

5.2. Penjajakan Lokasi Penelitian ...69

5.3. Permohonan Izin Penelitian ...69


(9)

5.6. Penyajian Analisis Data...71

- Kasus Informan I ...72

- Analisa Kasus ...76

- Kasus Informan ...77

- Analisa Kasus ...78

- Kasus Informan III ...83

- Analisa Kasus ...89

- Kasus Informan IV ...90

- Analisa Kasus ...94

- Kasus Informan V ...95

- Anlisa Kasus ...99

BAB VI PENUTUP A. Saran ...100

B. Kesimpulan ...103

Daftar Pustaka Lampiran


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Anak merupakan potensi sumberdaya insani bagi pembangunan nasional, dimulai sedini mungkin untuk dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara. Upaya pengembangan dan peningkatan kualitas generasi bangsa tidak dapat dilepaskan dari upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan anak pada khususnya, yang diwarnai dengan upaya pendalaman dibidang pendidikan, kesehatan dan intelektual

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa masa kanak-kanak adalah masa yang dipergunakan untuk bermain dengan penuh kegembiraan,kesenangan dan sekolah guna menuntut ilmu yang akan menjadi bekal hidupnya kemudian, kesempatan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan teman-teman seusianya serta kesempatan memperoleh perlindungan dan belaian kasih oleh orangtuanya.


(11)

anak memiliki hak hidup yang sama dengan manusia lainnya. Bahkan seorang anak juga memiliki hak yang tidak dimiliki oleh orang dewasa, karena itu seharusnya semua elemen maupun keadaan harus berpihak kepada kepentingan anak. Seorang anak haruslah dipanadang sebagai mahluk yang harus dilindungi, dikembangkan, dijamin kelangsungan hidupnya seperti yang tercantum dalam UU No. 4 Tahun 1974 Tentang Kesejahteraan Anak, bukan sebaliknya memandang anak sebagai suatu komoditi yang siap dieksploitasi.

Sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap kepentingan anak pada Juni 1999, Indonesia ikut serta meratifikasi Konvensi ILO No 138 yang menetapkan batas usia kerja minimum bagi anak. Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi Indonesia bersama dengan 186 negara lainnya mencantumkan 4 dasar hak anak yaitu:

1. Kelangsungan hidup

2. Tumbuh dan berkembang

3. Perlindungan dari kegiatan yang secara potensial mengancam kelangsungan hidup dan kesehatan serta akan menghambat tumbuh kembang secara wajar 4. Partisipasi dalam pengambilan keputusan yang berkiatan dengan kepentingan

anak.

Selain ratifikasi Konvensi ILO tersebut, Indonnesia memiliki Undang-undang No.20 tahun 1999, Konvensi ILO No. 182 Tentang bentuk terburuk pekerja anak dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2000, Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23


(12)

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Kesejahteraan Anak No. 4 Tahun 1974 dan lain sebagainya.

Walaupun bagi manusia anak mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi penerus bangsa, namun realitas keadaan anak belum seindah ungkapan verbal yang kerap kali memposisikan anak bernilai penting, penerus masa depan bangsa dan simbolik lainnya, karena masih banyak anak yang yang seharusnya bersekolah, bermain dan menikmati masa kanak-kanak justru mereka terpaksa dan dipaksa untuk bekerja.

Data terakhir ILO menyebutkan ada 217,7 juta pekerja anak yang bekerja di seluruh dunia ini, sebanyak 122,3 juta pekerja anak berada di Asia dan 49,3 juta anak di Afrika dan sisanya berada di benua lain, para pekerja anak ini 69 % bekerja pada sektor pertanian, 22 % bekerja pada sektor jasa seperti penjual koran dan lain sebagainya serta 9 % bekerja pada sektor industri.

(http//:www.binakesehatankerja.depkes.go.id/detail_berita h.php?id=13 Dr. Suseno,

pekerja anak dari aspek kesehatan kerja diakses, 30/10/2008)

Pembangunan ekonomi membuat masalah lain yang mengejutkan diantaranya adalah anak jalanan (children street), pekerja anak (child children

labour), eksploitasi seks anak (child prostitution), perdagangan anak (child

trafficking). Pada kelompok umur 10-14 tahun, pekerja anak sangat terlihat sekali

peningkatannya, pada tahun 1996 hingga tahun 1999. Pada tahun 1995 jumlahnya masih1,64 juta anak, pada tahun 1996 jumlahnya berkembang menjadi 1.768 juta anak, dan tahun 1997 menjadi 1.806 juta anak, memasuki era krisis 1998 terjadi


(13)

pembengkakan jumlah yang menembus angka 2.183 juta pekerja anak, dari angka ini1,3 juta anak bekerja dalam bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. (http//:www.

Menkokesra.go.id/conten/view/850/1,diakses31/10/2008)

Dalam masalah pekerja anak, misalnya perlakuan terhadap tenaga kerja anak-anak yang melakukan pekerjaan ini sangat dekat dengan eksploitasi anak. Dewasa ini eksploitasi anak sangat memperihatinkan karena berbagai bentuk kekerasan masih merupakan gejala yang sangat akrab dalam berbagai kehidupan anak, salah satu bentuk kekerasaan yang paling klasik adalah eksploitasi ekonomi terhadap anak.

Eksploitasi ini terjadi karena tekanan struktural yang dihadapi keluarga sehingga tanpa mempertimbangkan dampak terhadap anak. Sering kali anak-anak di bawah umur harus dapat terlibat dalam dunia pekerjaan bahkan dalam pekerjaan yang sangat berbahaya, salah satu penyebabnya adalah strategi pembangunan Indonesia pada masa orde baru yang mengejar pertumbuhan tanpa mempertimbangkan Social

Cost yang dikorbankan.

Strategi pembangunan dengan realitas mengorbankan Social Cost, kemudian dibiarkan oleh kultur yang di dalam bangunannya mengandung nilai-nilai anak secara ekonomis. Kedua hal ini semakin melanggengkan bentuk-bentuk pelibatan anak dalam pekerjaan yang berbahaya yang sangat mirip perbudakan. Dengan struktur sosial politik maupun ekonomi yang sangat toleran terhadap bentuk-bentuk eksploitasi mengakibatkan posisi anak menjadi sangat rentan. Rentannya posisi anak terhadap berbagai bentuk pelanggaran hak anak dikategorikan sebagai


(14)

kondisi yang sangat sulit, yang sangat membutuhkan perlindungan khusus sehingga hak-hak anak dapat dikembalikan menjadi hak-hak anak.

Populasi pekerja anak berusia 15-19 tahun adalah 7.532.910 dengan perincian 4.707.347 pekerja laki-laki dan 2.825.563 perempuan. (sumber: BPS/

Suskesmas Febuari 2008), sedangkan penduduk usia kerja menurut pendidikan dan

jenis kelamin tahun 2007 adalah <SD adalah 85.454.966 dengan perincian laki-laki 40.481.141, perempuan 44.973.775 dan SMP dengan jumlah 36.194.897 dengan perincian laki-laki 18.754.592 orang, perempuan 17.640.305. (sumber :

BPS/Suskemas Agustus 2007)

Hal lain yang mempengaruhi anak bekerja adalah dari keluarga, keluarga yang merupakan unit ekonomi atau konsumsi dalam usaha untuk mencukupi kebutuhan konsumsinya dipengaruhi oleh kondisi eksternal maupun internal termasuk dalam menentukan besarnya tenaga kerja yang dicurahkan untuk bekerja. Menurut Prijono keadaan internal keluarga (besarnya tanggungan, tenaga yang dimiliki, pendapatann kepala keluarga, kebutuhan konsumsi dan lainn-lain) , merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan anggota keluarga kedalam usaha mencari nafkah, dengan demikian masuknya angkatan kerja juga ditentukan oleh keadaan rumah tangganya (Prijono, 1992: 42)

Pada masyarakat keluarga yang kurang mampu/tidak mampu, anak dipaksa atau terpaksa untuk bekerja. Pada masyarakat marginal (pinggiran) keterdesakan ekonomi keluarga sering kali menyebabkan anak menjadi korban. Hal ini sering disebabkan ketidakfahaman orangtua terhadap tanggung jawab mereka untuk


(15)

memenuhi hak-hak anak untuk mendapatkan jaminan kesejahateraan anak. Anak terpaksa putus sekolah karena tidak mampu membayar unag sekolah yang semakin mahal, merekapun turut membanting tulang untuk mencari nafkah atau dipaksa bekerja sepulang sekolah. (Usman , 2004:79)

Jumlah pekerja anak dan putus sekolah terbesar terdapat di daerah pesedesaan dengan perincian 50,34% anak-anak perkotaan yang berusia 10-14 athun yang berada di bangku sekolah, sementara hanya 83,92% anak pedesaan bersekolah.

(http//www.lampungpost.com/cetak,php?id=200507008040923, daikses 30/10/2008),

sedangkan jumlah anak putus sekolah dan menjadi pekerja anak terbanyak di provinsi Jawa Timur sebanyak 347.297 anak, diurutan kedua Sumatera Utara dengan jumlah 333.117 anak. (http///www. Menkokesra.go.id/conten/view/3803/39, diakses

31/10/2008)

Memang dalam keluarga anak sangat sering dipandang sebagai komoditas sehingga dalam masyarakat kita, ekonomisasi anak masih merupakan gejala yang masih diterima secara ”lumrah”

”Banyak anak yang bekerja untuk membantu ekonomi rumah tangganya tidak lagi bersekolah alasan utamanya adalah karena faktor ekonomi khususnya masalah keuangan keluarga, hal ini tidak terdata, tetapi dengan masih adanya anak-anak putus sekolah, kemana lagi perginya kalau bukan bekerja membantu mencari nafkah untuk keluarga, karena hanya sedikit sekali yang putus sekolah karena alasan budaya, misalnya karena alasan lebih penting anak wanita yang tinggal di rumah dan anak laki-laki yang meneruskan sekolah, atau tidak pentingnya sekolah karena tanpa sekolahpun manusia bisa hidup”. (Fangidae, 1993:42)

Kebanyakan anak bekerja lebih dari 8 ajm/hari, bahkan sebahagian diantaranya lebih dari 11 jam/hari, di kota madya Medan 35% anak bekerja dengan


(16)

Data survei terbaru versi kesejahteraan nasional (susesnas) tahun 2003 menunjukkan 1.502.600 anak usia 10-14 tahun bekerja dan tidak bersekolah, 1.612.400 anak usia 10-14 tahun tidak bersekolah dan membantu di rumah atau melakukan hal-hal lain.

Tahun 2006 jumlah pekerja anak diberbagai sektor perekonomian di Indonesia mencapai 2.865.03 atau sekitar 2,8 juta orang, dari angka tersebut 55,6% anak bekerja disektor pertanian, sektor perdagangan dan jasa 17% berada di urutan kedua, disusul industri pengolahan dengan porsi 13,22%

(http//:www.prasetyabrawijaya.ac.id ok 07 html. Prof Pudjiharjo: Pekerja anak dan

kontribusinya terhadap ekonomi kelurga, diakses 30/10/2008)

Anak-anak yang bekerja sebagai penyapu angkutan umum, awalnya dilatarbelakangi berbagai macam penyebab, banyak anak-anak yang bekerja awalnya diminta oleh orangtua untuk membantu pekerjaan mereka dan sebagian dari mereka yang bekerja atas kemauan mereka sendri. Menurut penelitian yang dilakukan Bagong Suyanto (Hakiki,1992:21) mengemukakan bahwa lebih dari separuh orangtua menghendaki anaknya membantu pekerjaan orangtua dengan maksud sosial-edukatif walaupun pada kenyataannya hal ini tetap banyak mengakibatkan anak lebih tertarik menekuni pekerjaannya daripada bersekolah.

Menurut Joni Muhamad dan Tanamas Z (1999:112) ada beberapa latar belakang anak-anak masuk dalam sektor kerja, baik sektor formal maupun informal dan menjadi pekerja anak, antara lain, kemiskinan yang melanda rakyat Indonesia, pendidikan yang masih rendah yakni terdapat 12,7 rakyat Indonesia yang masih buta


(17)

huruf dan sekitar 70% tenaga kerja Indonesia berpendidikan SD, serta masih banyaknya orangtua yang belum menyadari akan pentingnya pendidikan untuk masa depan.

Kotamadya Medan seperti kota-kota lainnya yang ada di Indonesia tidak luput dari masalah persoalan anak, hal ini dapat dilihat dari seperti pasar-pasar persimpangan jalan maupun terminal-terminal.

Terminal merupakan contoh salah satu tempat yang pekerja anaknya sering kita jumpai, tak terkecuali di terminal terpadu Amplas, dimana terminal merupakan salah satu tempat aktivitas ekonomi masyarakat untuk mengkais rezeki, di terminal merupakan tempat berbagai pengangkutan umum beroperasi untuk menaikkan dan menurunkan penumpang baik dalam maupun luar kota, atau bahkan sekedar tempat

”nongkrong” para supir untuk melepas lelah. Banyak kegiatan selain pengangkutan

yang ada di terminal misalnay pedagang asongan, rumah makn, loket bus, bengkel, SPBU, bahkan di terminal Amplas juga merupakan tempat terjadinya transaksi jasa seperti panti pijat, doorsmer losmen dan lain-lain, hal-hal tersebut yang mungkin juga menyebabkan banyaknya anak-anak yang bekerja, karena semakin kompleksnya berbagai kegiatan ekonomi maka peluang untuk mendapatkan rezeki juga semakin besar.

Terminal Amplas merupakan terminal terbesar yang ada di kota Medan, di terminal ini banyak kita jumpai berbagai jenis angkutan umum berbagai tujuan baik berupa bus maupun angkutan umum, di terminal Amplas juga merupakan tempat persinggahan banyak orang, karena setiap umum harus melewati terminal Amplas ini


(18)

setiap harinya, tidak terkecuali pedagang asongan, penjaja makanan, calo angkutan umum dan lain-lain. Banyak anak yang bekerja di Terminal Amplas seperti pengamen, penyemir sepatu, pemulung, karena terminal Amplas merupakan tempat pemberhentian angkutan umum maka, pekerja anak biasanya menggeluti pekerjaan pada bidang jasa penyapu angkutan umum, padahal pekerjaan ini merupakan salah satu bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, dimana pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang sangat beresiko terhadap keselamatan anak, misalnya anak-anak tersebut menaiki angkutan umum yang sedang berjalan, yang juga rawan terhadap polusi kebisingan, polusi udara dari knalpot kendaraan maipun polusi dari abu jalanan, rawan terhadap kekerasan fisik maupun psikis, pemerasan (pemalakan) yang dilakukan orang dewasa, aksi premanisme, ucapan-ucapan kotor, caci maki dan lain-lain, karena terminal Amplas setiap orang ingin ”Exist” dalam mencari rezeki, harus memakai hukum rimba, ”siapa yang kuat maka dia yang menang”, dan setiap orang yang berada disana merupakan individu yang tidak mempunyai ikatan dalam bentuk apapun.

Dengan melihat kenyataan kondisi pekerja anak yang ada di terminal terpadu Amplas yang sangat jauh berbeda dari hak-hak yang seharusnya mereka dapat, yang tidak sesuai dengan Undang –undang Perlindungan Anak dan Kesejahteraan Anak untuk itu penulis tertarik menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul ” Tinjuan Tentang Pekerja Anak di terminal Amplas (study kasus


(19)

1.2.Perumusan Masalah

Perumusan masalah adalah langkah yang paling penting untuk untuk membatasi masalah yang akan diteliti. Masalah adalah bagian pokok dari kegiatan penelitian. (Arikunto,2008:47)

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut : Bagaimana gambaran pekerja anak di terminal terpadu Amplas?

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran pekerja anak yang ada di terminal terpadu Amplas khususnya anak yang bekerja sebagai penyapu angkutan umum di terminal terpadu Amplas.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi dalam rangka pengembangan konsep-konsep, teori-teori terutama model pemecahan masalah pekerja anak terutama anak yang bekerja di terminal terpadu Amplas khususnya, dan dinas sosial sebagai lembaga yang menangani permasalahan


(20)

kesejahteraan sosial dan pekerja sosial yang berperan sebagai broker dan sosial

planer

1.4.Sistematika Penulisan BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan sistematika penulisan

BAB II : Tinjauan Pustaka

Bab ini berisikan tentang teori-teori yang berkaitan dengan penelitian, kerangka penelitian, defenisi konsep, dan defenisi operasional


(21)

Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian, subjek penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data

BAB IV : Deskripsi Lokasi Penelitian

Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian.

BAB V : Analisa Data

Bab ini menganalisa data yang diperoleh dari penelitian.

BAB VI : Penutup

Berisikan kesimpulan dan saran-saran dari penelitian.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. Pengertian Anak

Anak merupakan generasi penerus yang akan berperan dalam proses kelangsungan perkembangan bangsa dimasa yang akan datang, dipundak merekalah nasib bangsa dan negara dipertaruhkan. Untuk itu diperlukan genersi penerus yang berkualitas dan harus dibentuk pada saat ini agar dapat membawa kemajuan di masa


(22)

Terhadap anak itu sendiri terdapat berbagai pengertian dan pemahaman tentang anak, yang mana masing-masing dapat dilihat dari berbagai sudut pandang tertentu antara lain”

1. Pengertian menurut hukum

a. Menurut UU Perkawinan No. 1/1974 pasal 47 (1) dikatakan bahwa anak adalah” Seorang yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, ada dibawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

b. Dalam UU No. 4/1974 tentang kesejahteraan anak disebutkan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 athun dan belum pernah menikah. (Atika, Jurnal pemberdayaan komunitas ilmu kesejahteraan sosial vol.3)

c. Dalam UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (UUPA) dinyatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. (UNICEF,2003:23)

d. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa yang disebut anak adalah seseorang yang belum berusia 17 tahun.

e. Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak menyatakan bahwa yang dikatakan sebagai anak adalah individu yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun (pasal 1 (1) UU no. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak)

f. Konvensi ILO No. 182 Tentang Pelarangan dan tindakan segera untuk

penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menyatakan bahwa yang dikatakan sebagai anak adalah semua orang yang berusia dibawah 18 tahun


(23)

(Pasal 2 Konvensi ILO no. 182 tentang penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak)

g. Konvensi Hak Anak menyatakan bahwa yang dikatakan sebagai anak adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak tersebut yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal (Pasal 1 konvensi hak anak)

2. Pengertian menurut ilmu Psikologi

Secara ilmu Psikologi yang dikatakan sebagai anak adalah mereka yang berusia diantara 0-18 tahun yang terbagi pada tahap-tahap perkembangan yang menunjukkan adanya proses pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi dalam rentang usia tersebut.

.

2.1. Hak Anak

Dalam Keppres No. 36 tahun 1990 tentang hak-hak anak dinyatakan, anak-anak seperti juga halnya orang dewasa memiliki hak dasar sebagai manusia. Adapun hak-hak pokok anak antara lain :

a. Hak untuk hidup layak : Setiap anak memiliki hak untuk kehidupan dan penghidupan yang layak dan terpenuhnya kebutuhan-kebutuhan dasar mereka termasuk makanan, tempat tinggal dan perawatam kesehatan.


(24)

b. Hak untuk berkembang : Setiap anak berhak untuk berkembang secara wajar tanpa halangan. Mereka berhak mendapatkan pendidikan, bermain, bebas mengeluarkan pendapat, memilih agama, mempertahankan keyakinan dan semua hak ini memungkinkan mereka berkembang secara maksimal sesuai dengan potensinya.

c. Hak untuk dilindungi : Setiap anak berhak untuk dilindungi dari segala tindakan kekerasan.

d. Hak untuk berperan serta : Setiap anak berhak berperan aktif dalam masyarakat dan negaranya termasuk kebebasan untuk berekspresi, kebebasan untuk berinteraksi dengan orang lain dan menjadi anggota perkumpulan.

e. Hak untuk memperoleh pendidikan : Setiap anak berhak menerima pendidikan tingkat dasar, pendidikan tingkat lanjutan harus dianjurkan dan dimotivasi agar dapat diikuti oleh sebanyak mungkin anak. (Atika, Jurnal Pemberdayaan komunitas ilmu kesejahteraan sosial vol 3,2004:94)

f. Hak-hak ekonomi sosial dan budaya antara lain

1. Hak-hak atas menikmati standart kesehatan yang paling tinggi 2. Hak atas jaminan sosial

3. Hak atas suatu standart kehidupan yang memadai 4. Hak untuk beristirahat dan bersenang-senang


(25)

5. Hak untuk mendapatkan perawatan khusus dan harus menerima, menikmati kehidupan yang utuh dan layak dalam keadaan yang menjamin martabat, meningkatkan kepercayaan diri dan memberikan partisipasi aktif anak dalam masyarakat.

Disamping hak-hak tersebut terhadap anak terdapat 3 (tiga) prinsip yang harus diperhatikan keseimbangannya yaitu :

1. Prinsip kepentingan terbaik (The Best Interst Of the Child)

Adalah merupakan prinsip tyang mengutamakan anak-anak berhak mendapatkan perlindungan dari eksploitasi, penyalahgunaan dari hal-hal yang mempengaruhi mereka, diperhatikan atas dasar kepentingan-kepentingan terbaik trebaik anak yang menjadi pertimbangan utamanya.

2. Prinsip Partisipasi

Adalah merupakan prinsip yang mengutamakan anak-anak harus diberi kesempatan untuk di dengar dan diperhitungkan dalam semua masalah yang mempengaruhi anak tersebut yang mana pendapat anak tersebut di beri bobot yang sesuai dengan umur dan kematangan si anak

3. Prinsip bimbingan orang tua

Adalah merupakan prinsip yan mengutamakan anak-anak berhak untuk mendapatkan bimbingan dari orangtuanya atau wali hukumya dalam pelaksanaan hak-ahaknya dalam suatu cara yang sesuai dengan kemampuan anak yang


(26)

berkembang dan orangtua bertanggung jwab terhadap kedewasaan dan perkembangan si anak.

2.2. Pekerja Anak

Pekerja anak adalah sebuah fenomena yang cukup menarik. Perhatian terhadap pekerja anak sendiri sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1924, ketika nasib pekerja anak terutama anak-anak yang dijadikan budak mendapat perlakuan yang sangat buruk. Membicarakan masalah pekerja anak lebih dahulu berangkat dari defenisi pekerja anak atau konsep pekerja anak itu. Defenisi pekerja anak tidak sederhana dan bisa memperlihatkannya dengan terang begitu saja. Sebab konsep pekerja anak meliputi batasan yang sulit mengenai “anak”(child), “bekerja”(work) dan “pekerja”(ILO, dalam M. Joni, 1996).

Dalam hal ini tidaklah mudah untuk memahami apa yang dikatakan sebagai Pekerja anak. Konsep yang ekstrim menyebutkan bahwa semua anak pada usia tertentu yang tidak bersekolah, tidak mempunyai waktu yang luang dapat dihitung sebagai pekerja anak. (All Non-Education, Non-Leisure Time Of Individuals Below Of

Certain Age can be Conted As Child Labour). Secara umum pekerja anak adalah

merupakan anak yang melakukan aktivitas ekonomi dalam curahan waktu yang panjang.

Menurut karakteristik pekerjaaan yang dilakukannya, pekerja anak adalah anak-anak yang kurang lebih seperti pekerja umumnya yang bertujuan untuk membiayai kehidupan ekonomi untuk dirinya dan keluarganya. T. Jandraningsih


(27)

memberi defenisi anak tanpa menyebut batas usia, tetapi adanya aktifitas yang dialukan anak-anak, dengan mencurahkan waktu ynag besar, banyak dan mendapatkan upah. Menurutnya pekerja anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaaan secara rutin untuk orangtuanya atau untuk orang lain yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan maupun tidak (Penelitian T. Jandraningsih 1995)

Bila merujuk pada undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun. Menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tentang penanggulangan pekerja anak pasal 1 dinyatakan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang melakukan semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehtan dan mengahambat proses belajar serta tumbuh kembang. Yang dimaksud tumbuh kembang anak adalah tumbuh dalam arti bertambahnya ukuran dan masa yaitu tinggi, berat badan, tulang dan panca indra tumbuh sesuai dengan usia kembang dalam arti bertambahnya kematangan fungsi tubuh yaitu pendengaran, penglihatan, kecerdasan dan tanggung jawab.

Dalam laporan UNICEF ”The State of The Worlds Children 1997” UNICEF berkeyakinan bahwa pekerja anak adalah eksploitas jika menyagkut :

1. Pekerjaan penuh waktu (ful time)

2. Terlalu abnyak waktu yang dihabiskan untuk bekerja

3. Pekerjaan menimbulkan tekanan fisik, sosial atau psikologis yang tidak patut terjadi


(28)

4. Bekerja dan hidup dijalanan dalam kondisi buruk 5. Upah yang tidak mencukupi

6. Tanggung jawab yang terlalu banyak

7. Pekerjaan yang menghambat akses pendidikan

8. Pekerjaan yang mengurangi harga diri dan martabat anak-anak, seperti perbudakan atau pekerjaan kontrak paksa dan eksploitasi seksual

Keadaan dan bentuk pekerjaan menurut kriteria yang disebutkan dalam laporan tahunan UNICEF tersebut, ditemukan dalam issu anak-anak yang bekerja sepanjang timur Sumatera. Pekerja anak tersebut, termasuk kedalam kelompok pekerja anak-anak yang bekerja di dalam tekanan yang sangat kuat. Kategorisasi prioritas pekerja anak yang dilakukan ILO –IPEC di Indonesia pada bobot resiko dan eksploitasi yang dialami anak yakni :

1. Anak-anak yang dalam bekerja telah dirampas hak-haknya sebagi pribadi. Ini dikenal sebagai Bunded Labour . Dalam kasus ini, anak sering tidak mendapatkan upah dan di pekerjakan seecara paksa

2. Anak-anak yang bekerja dibawah tekanan yang sangat kuat, walau upah masih diberikan. Tipe pekerjaan ini dapat ditemui dalam kasus-kasus anak yang bekerja pada Jermal-Jermal liar di Sumatera Utara atau anak-anak yang dilacurkan.

3. Anak-anak yang bekerja pada pekerjaan yang berbahaya, baik bagi keselamatan jiwa maupun kesehatan fisik dan mentalnya. Berbagai kasus anak yang bekerja diberbagai tempat pembuagan sampah telah menjadi prioritas IPEC Indonesia.


(29)

4. Anak-anak yang bekerja pada usia masih sangat muda, dibawah 12 tahun jumlah mereka tidak mudah untuk diperkirakan karena tidak tercantu dalam statitik angkatan kerja dan sering tidak di laporkan.

Sebab-sebab timbulnya Pekerja anak

Bila mana kita telaah lebih jauh terhadap pekerja anak tersebut, sebab yang paling utama mengapa anak masuk ke pasar kerja menjadi pekerja anak terkait dengan realitas kondisi ekonomi dan kemiskinan keluarga. Kemiskinan yang menjadi sebab utama mengapa anak masuk ke pasar kerja menjadi pekerja anak. Tentu saja keinginan anak menjadi pekerja anak tersebut seiring dengan dorongan dari kapital (modal) yang berkepentingan mempekerjakan anak-anak.

Akan tetapi menurut laporan International Labour Organization (ILO) yang berjudul “Child Labour in Indonesia” ada beberapa alasan mengapa anak-anak menjadi pekerja anak, anatara lain seperti :

1. Untuk memperoleh pendapatan (To Get More Income) (21,8 %) 2. Agar dapat belajar bekerja (To Learn to Work) (35,5 %)

3. Tidak sukia di sekolah (Not Good At the School) (6,6 %)

Anak-anak sebagai sumber daya manusia menarik untuk dibawa ke sektor publik, karena bagi pengusaha anak-anak rela dibayar dengan upah murah di bandingkan dengan orang dewasa. Dengan dalih membayar anak-anak dibayar dengan upah murah maka sejak itulah eksploitasi yang paling nyata tampak dari pembayaran upah yang murah tersebut.


(30)

Aspek-aspek pekerja anak yang bekerja dalam ketentuan yang dipertimbangkan sebagai eksploitatif adalah ketika pekerjaan yang dilakukan anak-anak dengan curahan waktu kerja yang penuh, anak-anak-anak-anak yang bekerja mulai usia dini membawa akibat kepada tekanan fisik, sosial, psikologis bagi anak dan menghalangi perkembangan fisik , social dan psikologis anak.

Dalam hal ini terhadap anak yang menjadi Pekerja anak mengalami krisis yaitu apa yang dikatakan sebagai krisis anak, yang mana anak tidak lagi mempunyai waktu dan kesempatan yang cukup untuk keluar dari rutinitas kerja. Hidup mereka terpola dengan sedemikian rupa, bangun pagi, bersiap berangkat beerja, pulang sore atau malam hari begitu terus setiap harinya. Waktu istirahat mereka hanya hari minggu, tetapi ada sebahagian pekerja anak tidak mengenal hari minggu.

2.4. Partisipasi anak dalam kegiatan ekonomi keluarga

Jane Cerry Peck, mengartikan keluarga dalam arti luas adalah satu kesatuan kekeluargaan yang terdiri dari dua orang atau lebih yang saling berhubungan melalui perkawinan, hubungan darah, perjanjian atau adopsi. Menurut UU.RI No. 4/1974 keluarga diartikan sebagi inti dari orangtua yaitu ayah, ibu, serta anak-anak. Lebih lanjut Jane Carry Peck menyatkan bahwa fungsi pokok keluarga adalah menciptakan kerukunan, mendidik, membina anak.

Anggota keluarga memegang fungsi ekonomi, fungsi reproduksi dan sosialisasi. a. Fungsi ekonomi : Menunjuk kata peranan apa yang diletakkan orang dalam


(31)

b. Fungsi Reproduksi/biologis : Membedakan posisi antara wanita dalam keluarga (perbedaan kondisi fisik)

c. Fungsi Sosialisasi : Merupakan suatu proses mempersiapkan individu untuk menjadi anggota masyarakat yang mampu berinteraksi dengan lingkungan sosial. (Media informasi No. 150:22)

Samirin berpendapat bahwa keluarga merupakan unit sosial terkecil/ sel di dalam sekelompok masyarakat, sehingga mengandung pengertian keluarga yaitu lembaga sosial atau lembaga pranata sosial terkecil dalam susunan masyarakat yang terdiri dari sekelompok manusia (suami, istri, anak) yang hidup bersama berdasarkan ikatan perkawinan, hubungan darah atau adopsi. Apibila di dalam keluarga terdapat pribadi-pribadi sehat jasmani dan rohani akan terciptalah negara yang aman, tentram dan sejahtera, ia juga menyatakan fungsi keluarga disamping wadah ataupun harapan berkembang bagi semua anggota keluarga juga sebagai lingkungan primer yang merubah perkembangan pribadi-pribadi dalam keluarga.

Di dalam keluarga yang orangtuanya tidak dapat memenuhi deluruh kebutuhan anggota keluarga, sehinnga anak tersebut ikut serta berpartisipasi membantu bekerja. Berbicara tentang partisipasi anak dalam bekerja, menurut Murbiyanto partisipasi berarti kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan kepentingan sendiri. Partisipasi berarti keterlibatan individu dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam suatu kegiatan. (Kusnadi :42)


(32)

Menurut Nelson L, jenis partisipasi ada dua yaitu :

1. Partisipasi Horizontal yaitu partisipasi sesama warga atau anggota dari suatu perkumpulan.

2. Partisipasi vertikal yaitu partisipasi yang dilakukan antara bawahan dengan atasan, antara rakyat dengan pemerintah. Keikutsertaan anak dalam ekonomi keluarga penting artinya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.(Kusnadi ,1995:45)

Dalam keluarga yang kondisi ekonominya masih rendah anak-anak yang sudah maupun belum remaja mempunyai kesadaran umtuk membantu perekonomian keluarga, partisipasi mereka secara tidak langsung merupakan sumbangan yang besar bagi kehidupan keluarga.

Gejala Pekerja anak (Rodger & Standing) menyatakan bahwa hal-hal pokok penyebab anak bekerja adalah adanya pengaruh struktur ekonomi tingkatan ekonomi dalam rumah tangga. Keadaan ekonomi orangtua mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga sehingga anak-anak ikut mencari nafkah. Rodger & Standing mengatakan anak-anak yang bekerja dibagi menjadi empat dimensi kerja yaitu:

1. Kerja atas usaha sendiri versus pihak lain 2. Untuk ”reproduksi” versus kerja ”produksi”

3. Kerja yang dibayar versus kerja yang tidak dibayar

4. Dalam kasus kerja pihak untuk siapa anak bekerja (orangtua, kerabat, pihak lain).(Rodger & Standing,1981:20)


(33)

Diseluruh dunia banyak anak yang bekerja pada usia yang relatif muda yaitu pada usia enam atau tujuh tahun, mereka membantu di rumah atau membantu aktifitas orangtuanya di luar. Aktifitas tersebut sering di dukung oleh orang-orang dewasa dalam keluarga, karena hal itu dianggap akan bermanfaat bagi tumbuh kembang anak. Anak-anak akan belajar bertanggung jawab dan merasa bangga dapat mengerjakan tugas-tugas orang dewasa dalam mempertahankan hidup kelurganya.

Kenyataannya, pekerjaan yang mereka lakukan sering tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, karena ternyata pekerjaan yang mereka lakukan justru menghambat tumbuh kembang mereka dan tidak memberikan dampak positif bagi kehidupan mereka.

Sampai saat sekarang ini jumlah pekerja anak belum terdata secara pasti. Pekerja anak tersebar baik di pedesaan maupun di perkotaan, Pekerja anak daerah pedesan lebih banyak melakukan pekerjaan di bidang peranian, perkebunan, perikanan, pertambangan maupun kegiatan ekonomi di lingkungan ekonomi kelurga, sedangkan pekerja anak di daerah perkotaan dapat ditemukan di perusahaan, rumah tangga (sebagai pembantu rumah tangga atau sebagai pekerja industri keluarga), maupun di jalanan seperti penjual koran, penyemir sepatu, penjual makanan, pemulung dan sebagainya. Saaat ini hampir setiap perempatan jalan, terminal, pelabuhan, stasiun, bahkan tempat-tempat lokalisasipun banyak ditemukan pekerja anak. Beberapa diantara pekerjaan yang dilakukan anak tertentu dapat dikategorikan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.


(34)

Walaupun belum ada data yang pasti namun diperkirakan bahwa tingginya persentase anak yang bekerja, dijumpai pada negara-negara dengan tingkat pendapatan perkapita rendah serta distribusi pendapatan yang sangat timpang seperti Indonesia.

Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa anak yang bekerja ternyata bukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, melainkan justru untuk memenuhi kebutuhan ekonomi kelurga seperti penelitian yang pernah dilakukan Irwanto (1995), diperoleh data bahwa kontribusi penghasilan anak dalam membantu pendapatan rumah tangga orang tuanya menunjukkan hampir 94 % dari anak yang bekerja memberikan kontribusi sebesar 20-75 %, pada pendapatan rumah tangga orangtuanya, 16,6 %, diantaranya mampu menopang 75% lebih pendapatan orang tuanya.

Bahkan sebuah survei yang pernah dilakukan terhadap pekerja anak, menemukan fakta bahwa bahwa lebih dari 25 % respon menyatakan mendapat tambahan penghasilan kalau anaknya bekerja, hampir semua orangtua yang disurvei mengemukakan bahwa anak-anak mereka yang bekerja setidaknya menyumbang 20 % terhadap total pendapatan kelurga (Bali Post Perspektif, 26 ,maret 1997)

Studi yang tergolong baru yang dilakukan pusat studi ketenagakerjaan Universitas Airlangga (1999) menemukan akibat tekanan kebutuhan hidup yang makin berat acapkali ditemui anak-anak di dalam usia di bawah 10 tahun atau bahkan baru berusia 6-7 tahun terpaksa bekerja membantu orangtua dalam pekerjaan produktif yang menghasilkan uang.


(35)

Secara sederhana pertisipasi anak dalam bekerja dapat diartikan sebagai keikutsertaan anak dalam menyumbangkan penghasilan atau pendapatan keluarga yang diperolehnya dari upah kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pengertian ekonomi keluarga secara sederhana adalah seluruh penghasilan yang diterima oleh keluarga baik berupa unag maupun barang. Penghasilan keluarga disini artinya seluruh penerimaan pendapatan yang diterima oleh keluarga ditambah dengan penghasilan anak. Penghasilan anak disini diperoleh dari upah bekerja dari berbagai jenis pekerjaan.

Selain teori-teori yang dikemukakan di atas, banyak para ilmuan yang tertarik pada gejala anak-anak yang bekerja, misalnya karena budaya masyarakat setempat, karena kemiskinan, pendidikan yangkurang, perubahan yang relatif cepat serta gesekan-gesekan sosial berikut ini beberapa pendapat mengenai faktor-faktor anak terlibat dalam kegiatan ekonomi rumah tangga.

I kosa dan IK Zole dalam bukunya proverty and Health menyatakan bahwa kondisi miskin lingkungan sosial dimana anak-anak dibesarkan tidak mendukung atau membantu terbentuknya watak atau sifat-sifat pribadi yang dapat mendobrak kemiskinan. Hal ini berhubungan dengan beberapa kondisi kelurag miskin bahwa pola sosialisasi dimana seseorang dibimbing khusus untuk mencari pekerjaan yang layak, karena cara-cara mencari nafkah dari kelurga miskin ditandai ketidakpastian dan ketidak mantapan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Menurut laporan UNICEF (1990), anak-anak sering terdorong untuk bekerja pada bidang kerja yang mengganggu tumbuh kembangnya, karena tiga faktor utama


(36)

yaitu: eksploitasi yang lahir dari kemiskinan, kurangnya pendidikan yang relevan, serta tradisi dan pola sosial yang menempatkan anak pada posisi yang rentan. Kemiskinan akan mendorong anak-anak masuk bidang pekerjaan yang membahayakan. Orangtua sering sekali menganggur dan dalam usaha mencari nafkah anak-anak disuruh bekerja, karena mereka lebih mudah di eksploitasi. Situasi ini sebenarnya juga berkaitan dengan struktur pasar kerja, faktor penting yang mempengaruhi tingkat upah kerja anak, situasi ekonomi yamg mempengaruhi kalau lapangan kerja untuk orang dewasa ditutup, karena situasi ekonomi yang tidak kondusif, anak-anak akan segera masuk kerja yang eksploitatif.

Menurut Irwanto dkk (1995) yang mengutip pendapat Talcott menyebutkan banyak anak bekerja karena alasan ekonomi bukan kerena budaya. Pernyataan Talcott ini diperkuat penelitian Irwanto dkk (1995) di Medan, Jakarta dan Surabaya yang menunjukkan kesusahan ekonomi merupakan faktor pendorong utama anak bekerja, namun demikian penelitian Irwanto juga menunjukkan faktor pendorong lain ank-anak bekerja yaitu :

1. Wanita sebagai kepala rumah tangga

Hal ini terjadi karena ibu yang bekerja sebagai pencati nafkah utama keluarga. Terjadinya hal tersebut disebabkan karena terjadinya perceraian orangtua, atau suami yang tidak pernah memberikan belanja kepada istri.

2. Situasi keluarga bermasalah

Situasi keluarga yang bermasalah, kejadian ini biasa disebabkan oleh adanya pertentangan orang tua, orang tua dengan anaknya atau antara anak dengan anak


(37)

3. Jumlah anggota keluarga yang besar

4. Pandangan masyarakat mengenai kesiapan anak untuk bekerja.

Hal ini terjadi terutama pada pandangan orang tua menginginkan dan menentukan kapan seorang anak sudah layak bekerja.

Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor ekonomi merupakan alasan utama seorang anak terpaksa bekerja, tetapi terdapat faktor lainnya yang turut mendorong meningkatnya jumlah pekerja anak antara lain faktor budaya dan kebiasaan masyarakat setempat yang melatih anak bekerja secara dini, minimnya tingkat pengetahuan, kesadaran dan kepedulian tentang hak-hak anak oleh orangtua dan msyarakat, sehingga keberadaan anak yang dipaksakan bekerja dianggap sesuatu yang taken for granted (Nani Indriati, Kompas 25 Juli 2001)

Apaun latar belakang yang menyebabkan mereka menjadi pekerja anak, yang pasti dalam bekerja mereka mempunyai motivasi masing-masing. Motivasi erat kaitannya dengan kebutuhannya, bahkan motivasi timbul karena adanya kebutuhan (Abu Ahmadi, 1999:191)

Secara umum, motivasi sering diartikan sebagai faktor ynag mendorong atau menggerakkan seorang untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil atau tujuan tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat Terry (1986:132) yang megatakan abahwa motivasi adalah keinginan-keinginan yang terdapat pada diri individu yang merangsangnya untuk melakukan tindakan-tindakan.


(38)

Hal ini juga dialami oleh pekerja anak, adanya berbagai masalah-masalah yang berkaitan dengan kebutuhan tersebut memunculkan dorongan dalam diri anak unuk memuaskan kebutuhan tersebut. Kebutuhan dan dorongan tadi sebenarnya merangsang anak untuk berbuat atau bertingkah laku uaitu dengan bekerja.

Dalam menjalankan pekerjaan tersebut, tentunya anak tidak terlepas dari motivasinya. Dimana motivasi anak dalam bekerja dapat di pengaruhi dari dalam keluarga, dari anak itu sendiri maupun dari pihak lain.

Lebih jauh White dan Tjandraningsih (1998 :XII) dalam studi mereka tentang pekerja anak di Indonesia secara lengkap menyimpulkan sejumlah hal yang kontradiktif yang menjadi dilema anak di Indonesia, khususnya anak-anak yang dilahirkan dalam tekanan kemiskinan.

Pertama : Dikalangan anak-anak dari kelurga miskin, bekerja adalah salah satu cara untuk tetap bersekolah.

Kedua : Globalisasi ide tentang gaya hidup menyebarnya budaya konsumen menyebabkan pentingnya dimulai akses terhadap uang bagi anak. Ketiga : Kenyataan yang menunjukkan begitu banyak penganguran

dikalangan orangtua menyebabkan anak segera turun kedunia kerja. Keempat : Khususnya anak perempuan, tekanan dari orangtua agar tetap tinggal

dirumah untuk melakukan pekerjaan domestik dan tak tak perlu sekolah atau memasuki pasar tenag kerja menimbulkan persoalan khusus yang sering kali justru mendorong lahirnya keputusan yang


(39)

diambil oleh ank perempuan itu sendiri untuk masuk ke pasar tenaga kerja

2.5. Kemiskinan

2.5.1. Pengertian Kemiskinan

Secara Harfiah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), niskin berarti tidak berharta benda. Miskin juga berarti tidak mampu mengimbangi tingkat kebutuhan standart dan tingkat penghasilan ekonominya rendah.

Dalam kemiskinan pengertian yang telah dirangkumkan dari banyak pakar diantaranya adalah yang diungkapkan Benyamin White ”yang dimaksud dengan kemiskinan adalah tingkat kesejahteraan masyarakat terdapat perbedaan kriteria dari suatu wilayah dengan wilayah lain”

W. Jauhari Wirta Kusuma menyatakan ” Kemiskinan adalah tentang adanya pertambahan kesejahteraan penduduk di kota yang terus meningkat sementara penduduk yang berada di pedesaan relatif stabil maupun menurun serta belum terlihat kecenderungan untuk membaik.


(40)

Prof. Mubiyanto menyatakan pengertian kemiskinan tersebut adalah rendahnya taraf kehidupan suatu masyarakat baik yang berada di pedesaan maupun di perkotaan

Dari pengertian di atas dapat disebutkan bahwa pengertian kemiskinan tersebut secara global disebutkan ”Kemiskinan adalah rendahnya nilai tatanan kehidupan di suatu daerah, baik di perkotaan maupun di pedesaan, baik masalah moril, materil maupun spirituil”

(http//:www.katcenter.info/detail=artikel.phd?id_arc42)

2.5.2. Jenis-jenis Kemiskinan

Dalam membicarakan kemiskinan, ada beberapa jenis kemiskinan yaitu : 1. Kemiskinan Absolut yaitu seorang seorang dapat dikatakan miskin jika tidak

mampu memenuhi kebutuhan minimum hidupnya untuk memelihara keadaan fisiknya agar dapat bekerja penuh dan efesien.

2. Kemiskinan relatif yaitu muncul jika kondisi seseorang atau sekelompok orang dibandingkan dengan kondisi orang lain di suatu daerah.

3. Kemiskinan Struktural yaitu lebih menuju kepada seorang atau sekelompok orang yang tetap miskin karena struktur masyarakatnya yang timpang yang tidak menguntungkan bagi golongan yang lemah.

4. Kemiskinan Situasional atau kemiskinan natural yaitu kemiskinan yang terjadi di daerah-daerah yang kurang menguntungkan oleh karenanya menjadi miskin.


(41)

5. Kemiskinan kultural yaitu kemiskinan penduduk yang terjadi karena kultur budaya masyarakatnya yang sudah turun temurun yang membuat mereka menjadi miskin.(Mardimin, 1996:24)

2.5.3. Faktor-faktor penyebab kemiskinan

Adapun faktor-faktor penyebab kemiskinan antara lain adalah : 1. Sikap dan pola pikir yang rendah dan malas bekerja

2. Kurang keterampilan

3. Adanya gep antar si kaya dan si miskin 4. Pendidikan rendah

5. Faktor alam, lahan tidak ada/sempit

6. Tidak dapat memanfaatkan SDA dan SDM setempat 7. Populasi penduduk yang tinggi

8. Belenggu adat dan kebiasaan

(http//:www.bisnisbali.com/2008/07/10/news/bisnis umum/k.html)

2.6. Sosial Ekonomi

Sosial ekonomi adalah suatu kondisi yang melatar belakangi anak turun bekerja di dalam membantu ekonomi keluarga.

Tingkat kesejahteraan suatu masyarakat dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang ada di dalam maupun yang ada di luar lingkungan keluarga yang bersangkutan. Faktor internal yang menentukan tingkat kesejahteraan suatu keluarga


(42)

antara lain adalah kondisi kesehatan, tingkat pendidikan ilmu pengetahuan, keterampilan, penguasaan teknologi, kemampuan ekonomi dan lain sebagainya. Faktor eksternal dapat berupa struiktur sosial ekonomi, fasilitas pendidikan, produksi dan konsumsi, transportasi dan komunikasi yang dapat mendukung bagi upaya pemenuhan kebutuhan kesejahteraan keluarganya.

Menurut Konjraningrat (1190:35) selain faktor pekerjaan, pendapatan, dan pendidikan, faktor lain yang ikut disertakan oleh beberapa ahli adalah perumahan, kesehatan, dan sosialisasi dalam lingkungan masyrakat.

Adapun karakteristik sosial ekonomi keluarga meliputi : 1. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha untuk membina kepribadian dan kemampuan jasmaniah dan rohaniah yang dilakukan rumah tangga, sekolahdan dalam masyarakat agar kemampuannya dapat mempertahankan dan mengembangkan hidup serta kelangsungan hidup masyarakat. (Abdullah,1983:327)

2. Pendapatan rumah tangga

Pendapatan rumah tangga adalah jumlah penghasilan rill dan seluruh anggota rumah tangga yang disumbangkan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun


(43)

perorangan dalam rumah tangga. BPS membedakan pendapatan keluarga menjadi 2 yaitu:

a. Pendapatan berupa uang, yaitu pendapatan dari gaji/upah pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, kerja lembur maupun dari usaha sendiri dalam hal ini diperoleh atas pekerjaan suami atau isteri atau anggota keluarga lainnya. b. Pendapatan berupa barang pendapatan berupa beras, pengobatan serta

transportasi (Ulyanto&Everst,1982:93) 3. Banyaknya keluarga

Banyaknya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Dalam hubungannya dengan pengeluaran rumah tangga, Sanjur (1992:20) menyatakan bahwa besar keluarga yaitu banyaknya anggota suatu keluarga yang mempengaruhi pengeluaran rumah tangga.

4. Jenis pekerjaan

Merupakan kategori profesi yang dilakukan suami, isteri maupun anggota keluarga lainnya dalam mencari penghasilan dalam mendapatkan pendapatan rumah tangga.

2.7. Kegiatan ekonomi kaum miskin di daerah perkotaan

Berdasarkan penelitian Irwanto (1995) dinyatakan bahwa urbanisasi dipandang signifikan terhadap problema pekerja anak, karena dari penelitian tersebut


(44)

menunjukkan bahwa kasus pekerja anak di kota-kota besar merupakan ”korban” urbanisasi.

Sebagaimana kita ketahui bahwa dengan semakin sempitnya lahan pertanian di pedesaan, kemudian terbukanya kesempatan dan harapan-harapan yang tinggi untuk meningkatkan kehidupan, menyebabkan orang-orang desa pindah ke daerah perkotaan.

Daerah perkotaan di setiap negara telah dijadikan tempat yang paling lumrah untuk menampung surplus penduduk. Keadaan ini menimbulkan permasalahan yang besar bagi perkotaan. Dengan memasuki daerah perkotaan, maka timbullah berbagai mecam permasalahan, mulai dari mencari tempat berteduh sampai bagaimana cara mempertahankan hidup di daerah perkotaan

Fenomena yang menonjol pada masyarakat kota adalah dalam struktur sosialnya, yakni adanya lapisan bawah dan lapisan atas. Perbedan-perbedaan khas itu tampak selanjutnya di dalam cara berperilaku, cara berbicara dan cara berpakaian.

Perbedaan itu juga tampak dalam pola pemukiman dan perkampungan di kota. Pusat kota terutama menjadi tempat pemukiman orang elit, diamana terdapat gedung-gedung pemerintahan dan pusat-pusat perbelanjaan, kelas bawah bermukim di tempat-tempat di pingiran kota tersebut.

Kegiatan rumah tangga dan kegiatan mata pencaharian terpisah, kelas atas memiliki kecenderungan yang kuat untuk mempertahankan posisi-posisi yang menguntungkan, baik bagi diri sendiri mauunn bagi anak cucu mereka, sehingga


(45)

timbullah perbedaan itu dengan jalan menciptakan simbol-simbol dan tanda-tanda yang membedakan kelas yang satu dengan kelas yang lainnya.

Pada kelas bawah untuk mempertahankan hidup di kota cenderung bekerja sebagai buruh kasar bangunan, tukang beca dan lain sebagainya, tidak jarang pula terlihat dalam keluarga kelas bawah di kota mempergunakan potensi seluruh keluarga untuk melaksanakn kegiatan perekonomian. Disini peran istri dan anak sangat menonjol untuk turut serta dalm kegiatan perekonomian untuk memenuhi kebutuhan rumha tangga yang mendesak. Isteri terkadang bekerja sebagai tukang masak bagi keluarga kelas atas, bisa juga menjadi tukang cuci dan juga penjaga anak. Begitu juga dengan keadaan anak-anak terpaksa meninggalkan bangku sekolah atau sekolah sambil bekerja untuk memperoleh penghasilan sendiri atau membantu perekonomian keluarga. Anak-anak dalam kelas bawah mengambil kegiatan perekonomian dapat sebagai penjaja makanan, penyemir sepatu, pedagang asongan, tukang pakir, pencuci mobil, penyewa payung dan lain sebagainya.

Meskipun kota telah mempunyai hampir seluruh fasilitas untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya, masih saja terdapat kelompok masyarakat yang hidup dalam keadaan menyisihkan atau tidak sesuai dengan standart hidup yang layak. Golongan inilah yang dimaksudkan golongan miskin kota.

Oscar Lewiss Mengemukakan bahwa kemiskinan itu mempunyai ciri-ciri : a. Tingkat mortalitas yang tinggi atau harapan hidup yang rendah


(46)

c. Partisipasi yang rendah dalam organisasi-organisasi sosial seperti organisasi buruh, politik dan lain sebagainya.

d. Tidak atau jarang ambil bagian dalam perawatan medis dan program-program kesejahteraan lainnya.

e. Sedikit saja memanfaatkan fasilitas-fasilitas kota seperti toko-toko museum dan bank

f. Upah yang rendah atau keamanan kerja yang rendah g. Tingkat keterampilan yang rendah

h. Tidak memiliki tabungan

i. Tidak memiliki persediaan makanan dalam rumah untuk hari esok j. Kehidupan mereka tanpa kerahasiaan pribadi

k. Sering terjadi tindak kekerasan, termasuk pemukulan anak-anak.

l. Perkawinan sering berdasarkan konsensus, sehingga sering terjadi perceraian dan pembuangan anak.

m. Keluarga bertumpu pada ibu n. Kehidupan keluarga adalah otoriter o. Penyerahan diri pada nasib

p. Besarnya Hyper Masculinity Complex dikalangan pria dan marty Complex di kalangan wanita (S. Menno, 1992:61)

Kalau diperhatikan bahwa masyarakat kota yang digolongkan pada ciri-ciri di atas, kebanyakan mereka ini adalah orang yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pegawai rendahan di kantor-kantor dan toko-toko kecil, buruh, pembantu


(47)

rumah tangga, tukang becak dan sebagainya. Mereka biasanya tidak mempunyai keterampilan khusus, memiliki pendidikan yang rendah dan menjadi korban dari majikan-majikan yang jahat atau organisasi-organisasi kejahatan. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Sumardi dan Hans Dieter Ever yang menyatakan bahwa golongan berpenghasilan rendah atau golongan miskin adalah golongan yang memperoleh pendapatan atau penerimaan sebagai imbalan terhadap kerja mereka yang jumlahnya jauh lebih sedikit, jika dibandingkan dengan kebutuhan pokoknya (Sumardi dan Hans Dieter Ever, 1995 : VI)

Akibat dari pertumbuhan penduduk yang sangat tidak sebanding dengan lajunya pembangunan antara lain seperti penyediaan fasilitas kota, kesempatan kerja dan tanah-tanah pemukiman di kota, timbullah masalah seperti penganguran, kejahatan, istri-istri yang tidak berpendidikan turut dalam kegiatan perekonomian untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang mendesak. Begitu juga dengan keadaan anak-anak. Anak-anak mau tidak mau terpaksa ikut andil dalam kegiatan ekonomi rumah tangga. Kesemuanya ini membawa efek terhadap meningkatnya jumlah kemiskinan di kota.

Achdian Aminuddin (1995:15) menyatakan bahwa kemiskinan yang lekat dengan golongan lapisan bawah pada sebagian terbesar masyarakat Indonesia, sering dijadikan sebuah alasan pembenaran terhadap praktek mempekerjakan anak dalam usaha memenuhi kebutuhan keluarga, baik oleh orangtuanya sendiri maupun pihak pengusaha. Keluarga miskin terpaksa mengerahkan sumberdaya keluarga untuk


(48)

secara kolektif memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi demikian mendorong anak-anak belum mencapai usia bekerja terpaksa harus bekerja..

Hasil studi ”SMERU” yang dirancang untuk mengetahui pilihan antara bersekolah dan bekerja, bagi anak-anak usia 5-14 tahun pada masa krisis ekonomi dengan menggunakan survei 100 desa tahun 1998-1999 menunjukkan bahwa terdapat kaitan erat antara pekerja anak dengan kemiskinan. Profil pekerja anak secara umum mencerminkan profil kemiskinan. Hasil study mendukung pendapat bahwa ada lingkaran setan antara kemiskinan dan pekerja anak. Sebagaimana telah ditunjukkan, pasokan pekerja anak kebanyakan dari rumah tangga dan kepala rumah tangga yang tidak mempunyai atau hanya berpendidikan formal sangat rendah. Dan hal yang paling penting dari temuan tersebut menunjukkan bahwa semakin makmur kondisi ekonomi suatu rumah tangga, semakin rendah kemungkinan adanya pekerja anak dalam rumah tangga.

Bila diamati sebenarnya kemiskinan ini merupakan masalah yang sangat pelik, hal ini juga terjadi bagi pekerja anak dengan tingkat ekonomi kelurga yang sangat rendah, pendidikan merupakan masalah/persoalan yang dilematis. Disatu sisi kemiskinan yang membuat mereka tidak bersekolah, tetapi dipihak lain karena tidak bersekolah mereka sulit dkeluar dari lingkaran kemiskinan. Bagi mereka sekolah adalah beban, karena terlalu banyak biaya yang dikelurkan dan kurang dapat memberikan jaminan akan masa depan yang lebih baik . Seandainya pun mereka bersekolah, bekerja tentu dapat menghambat proses sekolah/belajar, pekerja anak sangat mungkin akan tumbuh dewasa sebagai orang yang kurang mengenyam


(49)

pendidikan dan kemungkiann besar, ketika pekerja aank ini dewasa san berkelurga, anak-anak mereka juga akan masuk dalam pasar kerja dengan tingkat keterampilan yang rendah dan upah yang rendah itu pula.

ILO (International Labour Organization) memperkirakan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan jumlah anak Indonesia telah menjadi enam sampai delapan juta (Waspada 29 juni 2002). Seperti yang kita ketahui bahwa krisis ekonomi yang dialami Indonesia mengakibatkan Indonesia merosot kembali menjadi negara miskin di dunia. Tingkat kemiskinan yang semula mengalami perbaikan dan mendekati angka 20 juta, ternyata kemudian melonjak beberapa kali lipat kembali. Akibatnya muncul ”orang-orang miskin baru” (Suyanto dalam konvensi edisi ketiga)

Secara teoritis, kelompok masyarakat yang diperkirakan paling terpukul dengan adanya situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan adalah mereka yang termasuk kelompok masyarakat yang tidak stabil, mudah tergeser, rapuh dan jauh dari jangkauan pembangunan. Kelompok inilah yang lazim disebut massa rentan, kelompok marginal atau masyarakat miskin. Diwilayah perkotaan keberadaan kelompok tersebut dengan mudah ditemui di pemulkiman kumuh atau perkampungan liar di sudut-sudut kota.

Berdasarkan ketrangan di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk miskin si Indonesia cukup tinggi dan golongan ini merupakan penghuni terbesar di dalam masyarakat perkotaan. Sejumlah besar ramyat miskin, memang mau tidak mau harus tatap hidup di kota-kota besar untuk jangka waktu yang lama. Kenyataan aspek


(50)

demografi di Indonesia adalah cepatnya pertumbuhan penduduk dan adanya sejumlah besar orang miskin pedesaan yang bersedia menambah jumlah orang miskin di perkotaan

Arus urbanisasi di kota-kota besar bagi proses perpindahan penduduk dari desa ke kota merupakan masalah yang perlu diperhatikan. Makin besar laju perpindahan dari desa ke kota, maka makin besar persentase dari seluruh penduduk kiota yang hidup di bawah garis kemiskinan, kecuali apabila ada perkembangan yang cepat sekali dalam perluasan kesempatan kerja serta pemukiman. Dengan kata lain mungkin akan terjadi, bahwa daerah pedesaan akan mengekspor kemiskinannya ke kota melalui urbanisasi.

2.8. Kesejahteraan Sosial


(51)

Konsep kesejahteraan sosial banyak dikemukakan oleh para ahli dan lembaga yang memperhatikan dan tertarik pada masalah kesejahteraan sosial, ketertarikan ini disebabkan semakin banyaknya permasalahn kesejahteraan sosial yang ada. Adapun para ahli atau lembaga yang memberikan pengertian kesejahteraan sosial adalah sebagai berikut :

a. Di Indonesia pengertian kesejahteraan sosial dituangkan dalam UU No. 6/1974 tentang ketentuan pokok kesejahteraan sosial pada pasal 2 (1) yang berbunyi :”Kesejahteraan adalah suatu tatanan kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin yang mungkin bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, sosial yang sebaik-baiknya bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan pancasila (Sumarnonugroho, Lembar Negara Indonesia No. 53/1974)

b. Walter Fredlander menyatakn kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisasi daripada pelayanan sosial dari lembaga-lembaga yang bermaksud untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok mencapai standart kehidupan dan kesehatan yang memuaskan serta hubungan perorangan sosial yang memungkinkan mereka memperkembangkan segenap kemampuan dan meningkatkan kesejahteraan mereka selaras denagn kebutuhan-kebutuhan kelompok dan masyarakat (Sumarnonugroho, 1987:31)


(52)

Kesejahteraan sosial adalah suatu kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan membantu penyesuaian timbal balik antara individu dengan lingkungan sosial mereka, tujuan ini dicapai secara seksama melalui teknik-teknik dan metode-metode dengan maksud agar supaya kemungkinan individu-individu, kelompok-kelompok maupun komunitas-komunitas memenuhi kebutuhan-kebutuhan dengan memecahkan masalah. Penyesuaian mereka terhadap perubahan pola masyarakat serta melalui tindakan kerjasama untuk memperbaiki kondisi sosial. (Sumarnonogroho, 1987:32)

2.8.2. Masalah-masalah kesejahteraan sosial

Jenis masalah kesejahteraan sosial adalah : 1. Ketergantungan ekonomi

2. Ketidaksesuaian menyesuaikan diri 3. Kesehatan yang buruk

4. Kurang atau tidak adanya pengisian waktu senggang atau rekreasi

5. Kondisi sosial penyediaan dan pengelolaan pelayanan sosial yang kurang atau tidak baik


(53)

2.8.3 Kesejahteraan Anak

Menurut UU RI. No. 4/1974, ayah yang bertugas mengurus keluarga dan memegang peranan penting untuk menciptakan ”kehangatan” dalam keluarga yang salah satu fungsi pokoknya adalah menyiapkan anak untuk hidup dalam masyarakat (Media informasi 150:22)

Di dalam pasal 1 UU No.4/1974 tentang kesejahteraan anak, ditentukan bahwa anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum kawin (pasal 1 ayat 2), sementara itu kesejahteraan anak adalah ”suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial” (UU RI No.4/1979. bab 1 pasal1)

Prof Dr. Singgih D. Gunarsa menyatakan bahwa ”anak membutuhkan orang lain bagi perkembangannya dan orang lain yang paling pertama dan utama bertanggung jawab adalah orangtuanya sendiri ” orangtualah yang bertanggung jawab memperkembangkan keseluruhan eksistensi anak. (Singarimbun:104). Pendapat tersebut memperkuat pernyataan tentang hak-hak anak dan ketentuan yang terkandung dalam UU RI No. 4/1974 seperti tercantum dalam bab III mengenai tanggung jawab orangtua terhadap kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

Pasal 2 UU RI No. 4/1974 yang mengatur kesejahteraan anak menyebutkan hak-hak anak sebagai berikut:


(54)

1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang di dalam keluarga maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh kembang secara wajar.

2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna

3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat

membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.

Pertumbuhan dan perkembangan secara wajar bagi si anak memiliki makna yang besar karena pengertian itu terpaut masalah pokok anak. Dari pengertian ini dapat dikemukakan tentang kesejahteraan anak lazimnya berhubungan dengan :

a. Pemenuhan kebutuhan yang bersifat rohani bagi anak sehubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan secara wajar melalui asuhan keluarga atau orangtuanya sendiri misalnya kesempatan memperoleh pendidikan, rekreasi dan bermain.

b. Pemenuhan kebutuhan yang bersifat jasmani (fisik) seperti cukup gizi, pemeliharaan kesehatan dan kebutuhan fisik lainnya.


(55)

Membicarakan kebutuhan pokok manusia tidak terlepas dari aspek jasmaniah dan rohaniah. Manusia membutuhkan makanan, tempat tinggal, air, udara dan pemeliharaan kesehatan disamping kebutuhan rohaninya.

Golongan kebutuhan dasar inipun seperti penentuan kriteria kesejahteraan memang sangat sulit, sebab cenderung subjektif. Meskipun kita mempunyai kebutuhan rohani yang sama tetapi setiap manusia adalah ”unik” dan berbeda satu dengan yang lainnya.

Meskipun begitu di bawah ini beberapa rumusan pokok kebutuhan dasar manusia antara lain :

1. Elishabeth Nichold mengemukakan 4 dasar kebutuhan manusia yaitu : kebutuhan kasih sayang, kebutuhan untuk merasa aman, kebutuhan untuk mencapai sesuatu dan kebutuhan untuk diterima keluarga.

2. Larird & Laird mengelompokkan 5 kebutuhan dasar manusia yaitu : kebutuhan hidup, kebutuhan merasa aman, kebutuhan bertingkah laku, kebutuhan untuk dihargai, dan kebutuhan untuk melakukan pekerjaan yang disenangi.

3. Abraham H. Maslow menyebutkan 5 macam kebutuhan dam menyusunnya dalam skala prioritas sebagai berikut :

a. Kebutuhan pokok fisiologis

b. Kebutuhan keselamatan dan keamanan dari bahya luar c. Kebutuhan akan cinta, kemesraan dan aktivitas sosial d. Kebutuhan mewujudkan diri mencapai sesuatu. (Sumarnonugroho,1991:6)


(56)

Yang dimaksud dengan kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan akan bahan makanan, perumahan, sandang serta barang-barang dan jasa seperti pendidikan, kesehatan dan partisipasi. (Mulyanto :300)

Dari uraian di atas tentang bentuk-bentuk kebutuhan hidup amnusia maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kebutuhan tersebut dapat digolongkan atas tiga bagian yakni :

1. Kebutuhan hidup fisiologis atau biologis

Kebutuhan hidup fisiologis atau biologis termasuk di dalamnya rasa lapar, haus, kantuk, kebutuhan pernapasan dan kenikmatan

2. Kebutuhan sosial psikologis.

Yang termasuk kebutuhan sosial psikologis termasuk kebutuhan untuk diakui dan dihargai oleh orang lain, disamping itu untuk merasa puas karena dapat mewujudkan diri dan mencapai sesuatu, kebutuhan perlakuan adil, perasaan aman dan tentram dari ancaman/bahaya luar yang ada hubungnnya dengan kebutuhan fisiologis

3. Kebutuhan religius

Kebutuhan religius adalah segala sesuatu yang mengukur hubungan manusia dengan Tuhan.

Untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut bukan hanya memerlukan sarana fisik dan mental tetapi juga non material, misalnya kebutuhan perasaan aman


(57)

tentaram dipenuhi dengan sarana yang berupa kesadaran tanpa kejahatan dan tanpa bencana. Demikian juga kebutuhan religius bidsa dipenuhi dengan sarana yang memadai yang dapat disediakan atau ”kekuatan” sendiri, maka sejahteralah dia.

Kata atas ”kekuatan” senndiri bukanlah berarti bahwa setiap orang harus menghasilkan sendiri semua sarana tersebut, tetapi artinya setiap orang memiliki pendapatan sendiri yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

Kata sejahtera hanyalah satu kata saja, namun seperti yang telah diutarakan di atas bahwa untuk menentukan kesejahteraan sangatlah sukar karena kesejahteraan tersebut sangatlah relatif. Sulit untuk menentukan apakah si A tidak sejahtera sementara yang bersangkutan merasa keadaan yang dialaminya tidak mengganggu dirinya, yang tahu apakah orang itu sejahtera atau tidaknya hanya orang yang bersangkutan sendiri, jadi kita dapat saja bertolak dari rasa masing-masing orsng tersebut.

Dalam praktik peranan pekerja sosial dalam penanganan masalah pekerja anak, menurut pandangan Zastrow, setidak-tidaknya ada tujuh peranan yang dilakukan oleh pekerja sosial dalam penanganan masalah anak yaitu :

1. Advocate

Peranan advocate dalam pengorganisasian masyarakat dicangkok dari profesi hukum. Peran ini merupakan peran yang aktif dan terarah (direktif), dimana

Comunity Worker menjalankan fungsi sebagai Advocate yang mewakili


(58)

yang seharusnya memberikan bantuan layanan tersebut tidak memperdulikan (bersifat negatif ataupun menolak keinginan warga).

2. Activist

Seorang activist, seorang comunity worker melakukan perubahan institusional yang lebih mendasar dan sering kali tujuannya adalah penglihatan sumber daya ataupun kekuasaan (power) pada kelompok yang kurang mendapat keuntungan (disanvantage group). Seorang activist memperhatikan isu-isu tertentu, seperti dengan hukum yang berlaku ketidaksesuaian (injustice), ketidakadilan (inequity) dan perampasan hak. Seorang activist biasanya mencoba menstimulasikan kelompok-kelompok yang kurang diuntungkan tersebut untuk mengorganisir diri dan melakukan tindakan melawan struktur kekuasaan yang ada (menjadi penekan). Taktik yang biasa mereka lakukan adalah melalui konflik, konfrontasi (misalnya demonstrasi) dan negoisasi.

3. Educator

Dalam menjalankan peran sebagai pendidik (educator), pekerja sosial diharapkan mempunyai keterampilan sebagai pembicara dan pendidik. Pekerja sosial harus mampu berbicara di depan publik untuk menyampaikan informasi mengenai beberapa hal tertentu, sesuai denagn bidang yang ditanganinya.( Adi, ,1994:24-26)

4. Enabler

Sebagai Enabler seorang pekerja sosial membantu masyarakat agar dapat mengartikulasikan kebutuhan mereka; mengidentifikasi masalah mereka, dan


(59)

mengembangkan kapasitas mereka agar dapat menangani masalah yang mereka hadapi secara efektif. Peran sebagai Enabler ini adalah peran klasik dari seorang

comunity worker ataupun comunity organizer. Fokusnya adalah help people

(organize) to help themselves.

5. Broker

Seorang Broker berperan dalam menghubungkan individu atupun kelompok dalam masyarakat yang membutuhkan bantuan ataupun layanan masyarakat (comunity service), tetapi tidak tahu dimana dan bagaiman mendapatkan bantuan tersebut. Broker dapat dikatakan menjalankn peran sebagai mediator yang menghubungkan pihak yang satu (klien) dengan pihak pemilik sumber daya.

6. Expert

Dalam kaitan peranan seorang comunity worker sebagai tenaga ahli (Expert), ia lebih banyak memberikan advis (saran) dan dukungan informasi dalam berbagai area. Seorang Expert harus sadar bahwa usulan dan saran yang ia berikan bukanlah mutlak yang harus dijalankan masyarakat, tapi usulan dan saran tersebut lebih merupakan gagasan untuk bahan pertimbangan masyarakat ataupun organisasi dalam masyarakat tersebut.

7. social Planer

Seorang perencana sosial mengumpulakan data mengenai masalah sosial yang terdapat dalam masyarakat tersebut, menganalisanya dan menyajikan alternatif tindakan yang rasional untuk menangani masalah tersebut. Setelah itu perencana sosial mengembangkan program, mencoba alternatif sumber pendanaan, dan


(60)

mengembangkan konsensus dalam kelompok yang mempunyai berbagai minat ataupun kepentingan.

2.9. Faktor-faktor Anak Bekerja

Berikut ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan anak bekerja sebagai penyapu angkutan umum :

1. Faktor Lingkungan

Hal ini terjadi karena lingkungan tempat anak tersebut tinnggal, anak-anak lainnya sudah terbisa bekerja, sehingga bisa saja bujukan dari kawan sebaya juga mempengaruhi anak untuk bekerja. Demikian juga halnya yang terjadi pada anak yang bekerja sebagai penyapu angkutan umum, apalagi yang tinggal dekat dengan terminal terpadu Amplas, sudah hal lumrah anak-anak melakukan pekerjaan mereka.

2. Kondisi Ekonomi khususnya kemiskinan

Pada umumnya, keikutsertaan anak-anak dalam dunia kerja, khususnya sebagai penyapu angkutan umum adalah karena masalah ekonomi keluarga yang tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini karena jumlah pendapatan orangtua yang tidak mencukupi, sehingga anaknya harus membantu dengan cara bekerja. Disinilah anak sebagai aset ekonomi berfungsi.

Dalam keluarga ekonomi yang lemah sering ditandai dengan pendidikan dan keterampilan yang rendah pula, dimana orangtua tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan anggota keluarga, anak ikut membantu dengan bekerja. Keluarga


(61)

dengan kondisi sosial yang pas-pasan apabila ditanamkan taraf kesadaran yang baik pada anak-anak, mak anak sering sekali memiliki nilai kemandirian yang baik pula, sehingga mereka dengan sadar membantu meringankan beban ekonomi orangtuanya.

3. Masalah tingkat pendidikan

Salah satu kritik yang sangat tanjam terhadap pendidikan nasional adalah ketidakmampuannya membawa masyarakat untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Antara pendidikan dan kemiskinan terbentuk ”lingkaran setan” karena miskin orang tidak bisa sekolah dan karena ridak sekolah orang sulit keluar dari jembatan kemiskinan.

4. Desintegrasi keluarga

5. Perpindahan Penduduk dari desa ke kota dan pertumbuhan pusat industri 6. Kondisi keluarga

Kondisi kelurga yang tidak harmonis mengakibatkan terjadinya perceraian, cara pengasuhan yang terlalu keras atau pernikahan dini, mengakibatkan kurang perwatan dan perhatian terhadap anak sehingga sebahagian anak yang merasa ditelantarkan, akibatnya anak mencari kehidupan mereka dijalanan.

2.10. Masalah yang dihadapi oleh pekerja anak.

Sebahagian masyarakat memendang bahwa anak adalah aset ekonomi. Nilai ini ternyata mendorong sikap orangtua memperlakukan anak-anaknya sebagai aset ekonomi yang dapat dipekerjakan untuk menambah penghasilan keluarga, anak yang


(62)

pada umumnya secara fisik dan mental masih lemah, polos, rentan, tidak berdaya sering ditempatkan pada posisi yang kalah dan hanya diperlakukan sebagai 0objek, inisiatif, ide, keinginan dan kemauan anak tidak diakui, apa yang terbaik menurut orangtua adalah yang terbaik untuk anak, akibatnya selain kemandiriannya kurang, kratifitas juga terhambat.

Sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dalam Konvensi Hak Anak (KHA), setiap tindakan, perbuatan, pelayanan terhadap anak harus selalu memperhatikan pendekatan nondiskriminatif, bertolak dari kepentingan anak (best interest of the

child); memahami pandanagn anak (hak berpartisipasi); memberi keutuhan dan

peluang anak untuk mengembangkan diri, serta menanamkan kesadaran akan hak anak, yang kelak akan berefleksi pada kewajibannya (Depsos RI:1999:15)

Sebelum memaparkan permasalahan yang dihadapi pekerja anak, ada baiknya penulis menjelaskan secara ringkas tentang masalah yang dihadapi anak yang bekerja sebagai penyapu angkutan umum.

Dalam pedoman perlindungan (Ibid;1999) secara ringkas permasalahan yang dialami anak-anak Indonesia diantaranya meliputi :

1. Eksploitasi ekonomi dalam dunia kerja yang dilakukan oleh orang dewasa seperti : eksplotasi anak-anak oleh orangtua/ keluarga/ masyarakat sebagai sumber penghasilan dengan tidak melindungi hak-hak anak (disuruh mengemis, dijual, dijadikan sumber bisnis keluarga secara tidak wajar/berlebihan )


(63)

2. Kemiskinan dan kerawanan sosial ekonomi yang mengakibatkan anak mengalami kekurangan gizi (kalori, yodium, vitamin A, dll), busung lapar, dan terhambatnya perkembangan psikososial anak.

3. Ketelantaran yang mengakibatkan kurang atau tidak terpenuhinya dan

terjaminnya kebutuhan dasar anak sehingga kelangsungan hidup, serta tumbuh kembang anak menjadi terganggu.

4. Perlakuan salah atau tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orangtua, anggota keluarga masyarakat.

5. erada dalam lingkungan keluarga yang mengalami masalah sosial psikologis keluraga yang mengalami aib, dampak dari pandemic (HIV, AIDS), penyakit jiwa (mental), depresi dan bunuh diri.

6. Berada dalam situasi kelurga retak/pecah (disorganisasi kelurga)

7. Mengalami cacat fisik dan mental, yang dialami sejak lahir atau karena kecelakaaan (bawaan atau bukan bawaan)

8. Berada dalam lingkungan yang tidak layak hini baik secara fisik maupun sosial, seperti daerah pemukiman kumuh, daerah pemukiman tuna sosial, daerah yang terisolasi/terasing dan sebagainya.

9. Berada dalam situasi krisis dan membahayakan kelangsungan hidup anak serta hak-haknya rawan, tidak trelindungi seperti berada terus-menerus dijalanan, adanya kerusuhan sosial, tindak kejahatan, perang antar negara, dan sebagainya 10. Perlakuan diskriminatif karena perbedaan gender, agama, warna kulit, etmnis,


(1)

memberdayakan kaum miskin dengan meningkatkan akses mereka terhadap sumber daya produktif dan pelayanan pokok.

2. Penyuluhan sosial untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas hak-hak anak untuk memperoleh perlindungan, misalnya penyuluhan melalui media elektronik, media cetak, spanduk, poster, stiker, seminar, penerbitan buku, termasuk melaksanakan lomba karya ilmiah yang bertema hak-hak anak.

3. Membina anak-anak secara bertahap agar anak tidak menggunakan ”Public

Space” (jalan raya, terminal bus, stasiun kereta apai, plataran pertokoan, pusat

perbelanjaan dan tempat-tempat lain), yang terlarang untuk bekerja mencari nafkah.

4. Perlunya melakukan pemasyarakatan Konvensi Hak-Hak anakdan Asasi Manusia kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama kepada pihak yang selama ini kerab melakukan eksploitasi ataupun kekerasan terhadap anak, sebab terjadinya kekerasan terhadap anak tidak terlepas dari rendahnya pengetahuan masyarakat dan aparat pemerintah di sektor publik tentang hak-hak anak dan Asasi Manusia. 5. Pemerintah kota Medan memberikan sarana pendidikan yang berkualitas namun

terjangkau kelurga miskin, bagi kelurga miskin di bebaskan biaya. Dengan bersekolah maka mereka punya bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk nantinya bekal di dunia kerja.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini.2002.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta; Jakarta

Bugin, Burhan.2004. Metode Penelitian Kuantitatif. PT. Prenada Media; Jakarta Faisal, Sanafiah.1992. Format-format Penelitian Sosial. LP3S; Jakarta

Gunarsah, Singgih.1993. Psikologi Praktis Anak Remaja dan Keluarga. Gunung Mulia;Jakarta

Hardius.2004. Pekerja Anak di Indonesia. PT. Gramedia; Jakarta Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial No. 157 Maret 1997. Muhidin, Syarif.1992. Pengantar Kesejahteraan Sosial. STKS; Bandung.

Nawawi, Hadari.1998. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gajah Mada University Press; Jogjakarta.

Nawawi, Hadari.1994. Penelitian Terapan. Gajah Mada University Press;Jogjakarta Nurdin, fadli.1989. Pengantar Study Ilmu Kesejahteraan Sosial. Angkasa; Bandung Rukminto, Isbandi.1994. Psikologi Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial,


(3)

Soetarso.1981. Pelayanan Sosial dan Kebijakan Sosial. STKS; Bandung Suparlan.1983. Kamus Istilah Kesejahteraan Sosial. Pustaka; Jogjakarta

Siregar, Bismar.SH, dkk. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Cv. Rajawali;Jakarta

Soemitro, Setiowaty Irma, SH, dkk.1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Bumi Aksara; Jakarta

Sumardi, Mulyanto.1982 Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. Cv. Rajawali; Jakarta Sumarnonugroho, T.1991 Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial. PT. Hadininta

Graha Widya; Jogjakarta

White, Benyamin.1982. Partisipasi Anak dalam Ekonomi Rumah Tangga. LP3S; Jakarta.

Yin, Robert K. 1997. Indikator Kesejahteraan Anak. BPS; Jakrta

Sumber Lain

Himpunan peraturan dan Perundang-undangan tentang Perlindungan Anak.2002. Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Direktorat Bina Sosial Pelayanan Anak Departemen Sosial RI.

Atika, Jurnal Pemberdayaan Komunitas. Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 3

Kumpulan Keputusan Gubernur Sumatera Utara.2008. Tentang Kebijakan

Pencegahan dan Penanggulangan bentuk-bentuk terburuk Pekerjaan Anak. Disosialisasikan oleh Komite Aksi Provinsi Penghapusan

Bentuk-bentuk Pekerjaan Anak. Biro Bina Sosial Provinsi Sumatera Utara.

http//:www.menkokesra.go.id/conten/view/3803/39,daikses31/10/2008

http//:www.lampungpost.cm/cetak.phd?id/detail_berita/h.phd?id=B. Dr. Untung Suseno,Pekerja Anak dari kesehatan Kerja, diakses30/10/2008


(4)

http//:209.85.175.104/searh?g. cache: SEOCP V 8665 CCJ WWW. Bkbn.go.id/article.detail phd?id, Giwanto Rubianto: Upaya Perlindungan Anak belum maksimal, diakses 30/10/2008

http//:www.presetya brawijaya.ac.id ok 07.html. Prof. Pudjihardjo. Pekerja Anak dan kontribusinya terhadap ekonomi keluarga, diakses 30/10/2008

UNICEF.2003 Pengertian Konvensi Hak Anak. PT. Enka Parahiyangan;Jakarta. http//:www. Menegpp.go.id/mnegpp.phd?cat_detaol&dat=219.daikses02/11/2008.

Pedoman Wawancara (Interview Guide)

I. Identitas Responden

1. Nama :

2. Jenis Kelamin :

3. Anak ke :

4. Usia :

5. Agama :

6. Suku :

7. Pendidikan terakhir :

8. Usia Mulai Bekerja :

9. Alamat :

10. Klasifikasi kasus :

II. Daftar Pertanyaan

1. Sejak kapan kamu mulai bekerja sebagai penyapu angkutan umum di Terminal Terpadu Amplas ini ?


(5)

2. Berapa jam dalam satu hari kamu bekerja menyapu angkutan umum di Terminal Terpadu Amplas ini?

3. Berapa kira-kira pendapatan yang kamu peroleh dalam satu hari membersihkan angkutan umum ?

4. Setelah mendapatkan uang dari hasil menyapu, untuk apa uang tersebut dipergunakan?

5. Apa kegiatan yang kamu lakukan setelah selesai melakukan pekerjaan menyapu angkutan ?

6. Apakah orangtua atau keluarga kamu mengetahui pekerjaan kamu ini ? 7. Jika tahu, apa tanggapan mereka ?

8. Apa alasan utama kamu mau melakukan pekerjaan ini ? 9. Siapa orang yang mengajak kamu melakukan pekerjaan ini?

10.Pada waktu bekerja, apakah kamu pernah mengalami tindakan kekerasan seperti dibentak atau dipukul oleh supir ?

11.Selain supir apakah kamu pernah mengalami tindakan kekerasan oleh orang-orang yang berada di sekitar Terminal Terpadu Amplas ?

12.Bagaimana hubungan kamu dengan teman-teman sesama anak penyapu angkutan di Terminal Terpadu Amplas ?

13.Bagaimana hubungan kamu dengan masyarakat atau orang-orang yang ada disekitar Terminal Amplas ?

14.Pada waktu kamu mendapatkan peghasilan dari menyapu angkutan umum, apakah kamu harus memberi uang atau ”setoran” kepada seseorang atau sekelompok orang ?

15.Masyarakat sering menganggap bahwa anak penyapu angkutan umum, umumnya pelaku tindakan kriminal, karena tidak jarang anak-nak penyapu angkutan umum melakukan tindakan kriminal seperti mencuri atau memakai narkoba. Bagaimana tanggapan kamu mengenai pendapat ini ?


(6)

16.Apakah pernah dilakukan penertiban oleh aparat pemerintah terkait, perihal keberadaan penyapu angkutan umum yang dinilai sering melakukan pelanggaran ketertiban berlalulintas ?