Relasi Sosial Dalam Tinjauan Konsep E-Government

(1)

RELASI SOSIAL DALAM TINJAUAN KONSEP e-GOVERNMENT SOCIAL RELATION IN THE POINT OF VIEW

OF e-GOVERNMENT CONCEPT Dewi Kurniasih1

Abstrak

Pemanfaatan teknologi komputer dewasa ini diharapkan dapat menciptakan pemerintahan yang lebih baik (good governance). Konsep e-Government muncul sebagai upaya untuk mengembangkan aktivitas pemerintahan berbasis elektronik. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas layanan publik yang lebih efektif

dan efisien. Namun, relasi antara manusia dan teknologi tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Dalam konteks sosiologi tanpa disadari teknologi telah

mengubah relasi sosial aparatur.

Abstract

The usage of computer technology these days is expected in creating a better ’good governance’. The e-Government concept appeared as an effort to develop electronic-based government activities. This concept is aimed to improve a more effective and more efficient public service quality. The relation between human and technology, however, is not as simple as it can be imagined. In the context of

sociology the technology has unconsciously changed the aparatus of social relation.

1. Pendahuluan

Era globalisasi yang ditandai dengan berkembangnya pemanfaatan teknologi komunikasi dan komputer, telah mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan suatu negara. Pemerintah di belahan negara manapun, saat ini mulai memanfaatkan teknologi komputer sejalan dengan perkembangan jaman tersebut. Pemanfaatan teknologi komputer ini diharapkan dapat menciptakan pemerintahan

1 Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Unikom


(2)

yang lebih baik (good governance). Penerapan tata pemerintahan yang baik akan berimplikasi terhadap pelayanan publik yang lebih baik pula kepada masyarakat.

Kondisi umum administrasi pelayanan publik saat ini masih ada yang menggunakan pola manual. Hal ini mengakibatkan kegiatan penyelenggaraan administrasi pemerintahan berjalan lamban, tidak efektif dan tidak efisien baik dari segi waktu, maupun dalam pencapaian hasil secara optimal. Selain itu, birokrasi yang ada cenderung tidak seperti apa yang diharapkan. Pola birokrasi yang ada belum dapat menciptakan efisiensi dan efektifitas kerja, sehingga birokrasi sering dianggap menjadi penghambat untuk mencapai tujuan pemerintahan. Demi pencapaian cita-cita ideal tersebut, maka pemerintah perlu memperbaiki sistem birokrasi yang ada. Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) merupakan salah satu solusi untuk memperbaiki birokrasi, dalam rangka menciptakan pemerintahan yang lebih baik. Tetapi yang terpenting adalah untuk memberikan pelayanan yang prima antar pemerintah dan dari pemerintah untuk masyarakat. Pemerintah memiliki hak dan wewenang untuk mengatur kehidupan masyarakatnya karena pada dasarnya penyelenggaraan pemerintahan mengemban tiga fungsi hakiki yaitu pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan (development).

Penerapan e-Government ini merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan pemerintahan berbasis elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik yang lebih efektif dan efisien. Pembangunan Teknologi Informasi (TI) dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar keseluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemanfaatan TI ini


(3)

dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat setempat.

Dalam konteks sosiologi tanpa disadari teknologi telah mengubah kehidupan sosial aparatur. Penerapan e-Government telah mengubah pola komunikasi aparatur Pemerintah dalam melakukan rutinitas mereka secara bertatap muka. Interaksi sosial yang selama ini terjadi pun mengalami perubahan. Teknologi telah mengubah ikatan sosial kultural yang kuat diantara aparatur, sebuah ikatan yang membentuk aparatur sebagai sebuah komunitas baru. Kondisi ini adalah sebuah parameter modernitas yang menunjukkan bagaimana sebuah tatanan sistem sosial mengalami perubahan dengan adanya intervensi teknologi.

Relasi antara manusia dan teknologi tidaklah sesederhana mengatakan bahwa teknologi adalah media untuk mengubah manusia. Manusia tidak pernah bersikap pasif terhadap teknologi. Respons imajinatif senantiasa mewarnai interaksi timbal balik antara manusia dan teknologi, sebuah interaksi yang selalu melibatkan dimensi sosial, politik, dan kultural. Pada titik inilah relasi antara manusia dan teknologi menjadi diskursus menarik sekaligus penting. Menarik karena kompleksitasnya. Penting karena teknologi selalu menjadi bagian dari setiap episode sejarah kehidupan manusia.

Sosiologi teknologi telah membangun berbagai model sosial untuk menjelaskan perkembangan teknologi dan mencari tahu apa dan bagaimana faktor-faktor sosial bekerja dalam proses tersebut. Salah satu konsep dalam sosiologi teknologi saat ini adalah Social Construction Of Technology (SCOT) dengan Wiebe Bijker dan Trevor Pinch sebagai pelopornya. SCOT sendiri


(4)

diilhami oleh sosiologi pengetahuan ilmiah yang sangat kental dengan muatan konstruktivisme. Tidak heran apabila pendekatan konstruktivisme dalam studi sains diimpor ke dalam SCOT dan menjadi inti dari konsep ini.

Seperti diketahui sebelumnya bahwa gagasan SCOT berpusat pada tesis yang menyatakan bahwa perkembangan teknologi dalam suatu sistem sosial melewati tiga fase melalui interaksi kelompok sosial relevan yang memiliki kepentingan dan memberi makna terhadap suatu artifak teknologi. Pada fase pertama terjadi fleksibilitas interpretatif dimana sejumlah kelompok sosial menginterpretasikan suatu artefak teknologi secara berbeda. Pada fase kedua terjadi proses stabilisasi melalui interaksi antarkelompok sosial. Fase ini diwarnai dengan konflik dan negosiasi antara kelompok sosial yang berujung pada sebuah kompromi. Fase ketiga tercapai setelah para kelompok sosial mencapai suatu "persetujuan" akan makna dari artifak teknologi tersebut. Pada fase ini desain dari artefak teknologi menjadi stabil.

Penerapan e-Government pada lembaga pemerintahan diharapkan dapat menciptakan suatu hasil kerja yang efisien, partisipatif, berkeadilan, demokratis, transparan dan bertanggung jawab. Hal tersebut di atas, merupakan unsur penting dalam sistem aparatur negara yang modern, yang dilandasi oleh derajat rasionalitas yang tinggi. Harapan yang muncul adalah penerapan e-Government akan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Namun, untuk penerapannya memang tidak mudah, karena memerlukan proses dan tahapan-tahapan seperti halnya meningkatkan hasil kerja birokrasi.


(5)

2. Maksud

Makalah ini dimaksudkan untuk menggambarkan relasi sosial dalam tinjauan konsep e-Government.

3. Tinjauan Teoritis

Kajian tentang relasi dalam memahami sebuah fenomena sosial oleh ilmuwan sosiologi dan antropologi memiliki arti yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh kontekstual konsep tersebut dibentuk dan diterapkan untuk menjelaskan fenomena sosial di tempat mana ilmuwan tersebut melakukan kajian. Secara konvensional ilmuwan sosiologi dan antropologi terlalu membatasi diri pada lingkup kajian mereka, seperti ilmuwan sosiolog terlalu membatasi diri pada masyarakat tradisional dan pedesaan. Namun ruang lingkup tersebut mulai mengalami pergeseran, dimana ruang lingkup antara sosiologi dengan antropologi bisa pada masyarakat perkotaan dan pedesaan atau masyarakat tradisional.

Implikasi lainnya pergeseran ruang lingkup kajian sosiologi dan antropologi adalah pada penerapan konsep yang bersifat menunjang. Konsep yang dipakai oleh ilmuwan sosiologi juga dipergunakan oleh ilmuwan antropologi begitu sebaliknya. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa ilmuwan sosiologi dan antropologi dengan menggunakan teori struktural fungsional. Lahirnya teori tersebut juga dipengaruhi oleh pandangan keilmuan yang sama, seperti pengaruh Emile Durkheim (1964) tentang fakta sosial. Pada antropologi, seperti Malinowski (1988), Radcliffe-Brown (1988) dan Levi-Strauss (1988) adalah yang


(6)

mengembangkan teori struktural fungsional, sedangkan ilmuwan sosiologi adalah Parson (1989) dan Merton (1992) serta Smelser (1994).

Perbedaan-perbedaan antara ilmuwan sosiologi dan antropologi yang selama ini sering menjadi persoalaan dalam metode dan analisis. Sekarang ini menurut Koentjaraningrat (1990:24) tidak lagi memperlihatkan perbedaan, karena konsep yang dipakai dalam antropologi bisa dipergunakan untuk analisis sosiologi. Titik temu kedua ilmu tersebut adalah melihat sebuah masyarakat sebagai sebuah sistem kehidupan yang multi kompleks. Dimana di dalamnya terdapat sebuah proses sosial yang ditandai dengan adanya interaksi sosial dalam menggunakan simbol-simbol yang sama. Proses intraksi sosial dengan menggunakan simbol yang disepakati bersama adalah sebuah kebudayaan yang diwujudkan dalam bentuk hubungan sosial. Oleh karena itu dalam sosiologi dan antropologi masyarakat yang memiliki ciri kebudayaan khas dan mengikat warganya dalam berhubungan merupakan sebuah komunitas sosial.

Konsep relasi sosial dan komunitas sosial merupakan satu kesatuan dalam menjelaskan aktifitas dan dinamika sebuah masyarakat. Semakin meningkat dan komplek aktifitas seuatu masyarakat semakin tinggi tingkat dinamika masyarakat tersebut. Dengan demikian dasar terbentuknya relasi dan corak komunitas juga akan semakin berbeda. Hal ini bisa dilihat dari bentuk dan corak sebuah relasi sosial yang dikemukakan oleh beberapa ilmuwan, seperti Comte (dalam Jhonsons,1988), Durkheim (1964), Tonnies (dalam Garna, 1992), membuat dasar relasi sosial dari perkembangan cara berfikir manusia. Begitu pula dengan ilmuwan yang tergolong kontemporer membuat pijakan relasi sosial dari sisi


(7)

perkembangan struktur masyarakat. Sehingga konsep relasi sosial yang dibentuk selalu bersifat konsep pasangan kontradiktif.

Cooley (dalam Soekanto, 1983:34) membedakan antara hubungan primer dengan hubungan sekunder. Gejala yang menonjol dalam hubungan primer adalah hubungan tatap muka yang erat dan gotong royong, sehingga kepentingan-kepentingan pribadi lebur dalam kepentingan-kepentingan-kepentingan-kepentingan umum. Begitu pula sebaliknya hubungan sekunder lebih pada bentuk hubungan formal. Demikian pula Inkeles (dalam Soekanto, 1983:35) menggambarkan hubungan-hubungan sosial dari aspek kuantitatif dan aspek kualitatif. Aspek kuantitatif mencakup jumlah orang yang berpartisipasi dalam sistem aksi. Sedangkan aspek kualitatif dari hubungan kualitatif dari hubungan-hubungan sosial dikategorikan oleh Kingsley Davis sebagai berikut:

Relasi Sosial Primer dan Sekunder Relasi Primer

Kondisi fisik Karakteristik sosial Contoh Relasi Contoh kelompok Tempat tinggal berdekatan Perkenalan sangat mendalam Antara teman suami-istri Kelompok bermain keluarga Berjumlah kecil

Nilai hubungan muncul dari dalam diri

Orang tua dengan anak

Tetangga Jangka panjang Nilai hubungan dengan

orang lain muncul dari kebiasaaan

Pengetahuan terhadap orang lain lebih mendasar

Perasaan bebas dan spontan

Aktifitas dikontrol secara informal

Guru-murid Kerja tim

Relasi Sekunder


(8)

kelompok Tempat tinggal

berjauhan

Perkenalan kurang mendalam

Nilai hubungan muncaul dari luar diri

Penjual dan pembeli Penyiar dan pendengar Bangsa Nasabah Berjumlah besar

Nilai hubungan dengan orang lain muncul dari luar diri Pemain dan penonton Profesional Asosiasi Berjangka pendek Pengetahuan tentang orang lain terbatas dan khusus Perasaan dikendalikan dari luar Aktifitas dikontrol secara formal Atasan dan bawahan Penulis dan pembaca Perusahaan

Sumber: (Davis dalam Soekanto, 1983:35)

Mengekspresikan tujuan-tujuan atau tujuan dari tindakan sosial para antropolog dan sosiolog melihat nilai (value) sebagai unsur terpenting. Setiap hubungan sosial dapat menjadi objek dari nilai. Inkeles menyatakan bahwa:

much the same range of human qualities and aspects of relationship are recognize in most societies, the main defferences betwen culture being in the value the put on these qualities as important or minor, good or bad. One value aggresivenes and deplores possivity, another the reverse. And a third gives little attention to this dimention alltogether, emphasizing, instead the virtue of sobriety over emotionality, which may be quite important in either of the other culture”. (dalam Soekanto, 1983:39) Pemikiran Inkeles di atas menekankan pada aspek nilai dan kebudayaan sebuah masyarakat merupakan dimensi terpenting dalam hubungan sosial dalam mencapai kebersamaan menjadi ikatan emosional.

Von Wiese membagi hubungan antar manusia dalam masyarakat menjadi tiga macam, yaitu:

1. hubungan yang terdekat

2. hubungan yang saling menjauh

3. kombinasi antara mendekat dan menjauh (dalam Soedjito, 1986:98)


(9)

Dalam hubungan yang saling mendekat terdapat kesediaan untuk saling bertemu dan saling bekerjasama antara pihak-pihak yang sedang berhubungan. Hubungan yang saling mendekat ini ada kalanya tidak laigi murni sifatnya dan kemudian tercampur dengan konflik hubungan. Bentuk hubungan ini sudah tergolong kepada hubungan yang saling menjauh. Apabila kerjasama ini sifatnya terpaksa, hanya karena keadaan-keadaan tertentu saja pihak-pihak mau mendekat dan bekerjasama. Hubungan ini termasuk didalam golongan kerjasama kombinasi mendekat dan menjauh.

Hubungan sosial sebelum masyarakat mengalami proses diferensiasi menurut smelser (dalam weiner, 1994:5) hubungan-hubungan kekeluargaan dan hubungan-hubungan komunitas secara kolektif. Artiya hubungan sosial berlangsung secra spontan dan dalam suatu kondisi yang penuh akrab dan emosional. Keuntungan pribadi tidak menjadi dasar utama terjadinya hubungan diantara mereka, tetapi lebih pada faktor integritas kelompok. Namun masyarakat yang telah mengalami proses diferensiasi akan terjadi hubungan yang impersonal dan rasional. Perhitungan untung rugi dalam membentuk hubungan sosial menjadi dominan dalam masyarakat yang telah mengalami diferensiasi. Sehingga nilai dan motif yang menyertai dari hubungan ini lebih mengarah pada unsur kepentingan. Jika tidak penting dan tidak memberi keuntungan pribadi maka hubungan sosial tidak akan terjadi.

Kerjasama kelompok (living together) menurut Hawley (1950:209) merupakan sebuah hubungan yang bersifat simbiotik. Hubungan simbiotis adalah sekumpulan individu-individu yang berbeda dan saling berinteraksi dalam suasana


(10)

sangat akrab. Ada tiga kategori simbiosis menurut Hawley (1950:210), yaitu: ”(1) commensalism, (2) mutualism, (3) parrasitism. Pada hubungan yang bersifat komensalistis, salah satu pihak mendapat untung sedangkan pihak lainnya tidak merasa dirugikan. Hubungan yang bersifat mutualism, kedua belah pihak sama-sama mendapat untung. Hubungan yang ketiga yaitu simbiosis parasitis, salah satu pihak mendapat untung, sedangkan pihak lainnya dirugikan.

Konsep relasi sosial atau hubungan sosial yang dijelaskan di atas sangat terkait dengan karakteristik sebuah komunitas sosial. Hal ini bisa dilihat dari penjelasan beberapa ahli di atas bahwa relasi sosial atau hubungan sosial terbentuk sangat dipengaruhi oleh nilai dan orientasi sebuah masyarakat. Semakin berkembang sebuah masyarakat maka semakin rasional hubungan sosial yang terjadi. perkembangan masyarakat juga akan menggeser nilai dan karakteristik mereka, pada akhirnya akan merubah pula dasar terbentuknya relasi sosial atau hubungan sosial.

Horton mendefinisikan komunitas adalah suatu kelompok setempat (lokal) dimana orang melaksanakan segenap kegiatan (aktifitas) kehidupannya. Lebih rinci ia menjelaskan sebuah komunitas yaitu :

”mencakup sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah tertentu, yang memiliki pembagian kerja yang berfungsi khusus dan saling tergantung, dan memiliki sistem budaya yang mengatur kegiatan para anggota yang empunyai kesadaran akan kesatuan dan perasaaan memiliki, serta mampu bertindak secara kolektif dengan cara yang teratur. Kriteria sebuah komunitas akan diikuti oleh kondisi dimana para anggota menerapkan sebagian besar atau seluruh aspek kebudayaan dalam batas wilayah komunitas. Dengan demikian akan terdapat bermacam-macam jenis komunitas sosial yang sederhana dan modern atau perdesaan dan perkotaan”. (Horton, 1992:129)


(11)

Ciri sebuah komunitas sosial akan terlihat dari bentuk atau pola sosial yang terjadi diantara individu-individu yang menjadi bagian keseluruhan kehidupan komunitas. Komunitas yang sederhana atau perdesaan memiliki relasi sosial berbeda dengan komunitas sosial yang modern atau perkotaan. homogenitas kehidupan anggota-anggotanya masih mendominasi dalam komunitas sosial perdesaan, sedangkan pada komunitas sosial modern anggota-anggotanya dan corak kehidupan sosialnya sudah heterogen.

Relasi sosial atau hubungan sosial yang terjadi dalam komunitas, menurut Radcliffe-Brown adalah:

”akan dipengaruhi oleh bentuk struktur sosial sebuah komunitas itu sendiri. Struktur komunitas sosial berfungsi menentukan tingkah laku manusia dalam menjalankan peran dan statusnya. Oleh karena itu struktur sosal merupakan suatu rangkaian komplek dari relasi-relasi sosial yang berwujud dalam suatu masyarakat. Struktur sosial meliputi segala (1)relasi sosial diantara para individu; dan (2) perbedaan individu serta kelas sosial menurut peranan sosial mereka.” (Brown dalam Garna, 1996:150)

Kata kunci dari penerapan e-Government adalah teknologi informasi dan komunikasi. E-Government berbeda dengan komputerisasi, karena e-Government berbicara tentang penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam bentuk jejaring kerja (network). Artinya, ada saling keterkaitan (interkoneksi) antara berbagai perangkat dimana berbagai informasi dikomunikasikan. Tersedianya perangkat komputer dan software atau basis data belum memadai untuk dikatakan sebagai e-Government bila keseluruhan komponen tersebut belum saling terkoneksi dan belum mengkomunikasikan suatu informasi.

Douglas Holmes menyebutkan definisi dari e-Government yaitu: electronic government, or e-Government, is the use of information technology, in


(12)

particular the internet, to deliver public services in a much more convenient, customer-oriented, cost-effective, and altogether different and better way (Holmes, 2001:2). Definisi tersebut menggambarkan pelayanan yang diberikan pemerintah secara online akan memudahkan warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, pelayanan yang diberikan secara online juga bermanfaat untuk mengurangi biaya, proses yang berbelit-belit, menambah kecepatan, serta membuat proses lebih fleksibel dan responsif.

Sedangkan James L. Yong memaparkan definisi e-Government dengan uraian sebagai berikut :

A number of definition for e-government have been offered in existing literature. Very often, these definitions have come to imply e-government as the government’s use of technology, in particular, web-based Internet applications to enhance acces and delivery of government services to citizens, business partner, employees and other government entities (Yong,2003: 11).

Dari sini kita tangkap bahwa sangat sering pendefinisian mengenai e-government datang dari penggunaan teknologi dalam pemerintahan terutama aplikasi basis web internet untuk memperluas akses dan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat, partner bisnis, pekerja dan entitas pemerintahan lainnya.

Center for Democracy and Technology dan InfoDev menyatakan bahwa proses implementasi e-Government terbagai menjadi 3 (tiga) tahapan, yang tidak bergantung satu sama lain, atau harus dilakukan secara berurutan. Namun masing-masing menjelaskan mengenai tujuan e-Government. Tahapan tersebut antara lain:

1. Tahap pertama adalah Publish, yaitu tahapan yang menggunakan teknologi informasi untuk meluaskan akses untuk informasi pemerintah. Misalnya dengan cara pembuatan situs informasi di setiap


(13)

lembaga, penyiapan sumber daya manusia, sosialisasi situs informasi baik untuk internal maupun untuk publik, serta penyiapan sarana akses yang mudah.

2. Tahap kedua, adalah Interact, yaitu meluaskan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Misalnya dengan cara pembuatan situs yang interaktif dengan publik, serta adanya antar muka yang terhubung dengan lembaga lain.

3. Tahap ketiga, adalah Transact, yaitu menyediakan layanan pemerintah secara online. Misalnya dengan cara pembuatan situs transaksi pelayanan publik, serta interoperabilitas aplikasi maupun data dengan lembaga lain.

Terdapat beberapa faktor dalam pengembangan e-Government faktor tersebut berasal dari faktor teknologi, ekonomi, globalisasi, nasional serta lokal. Berdasarkan hal tersebut maka akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Faktor teknologi, peradaban manusia dari tatanan masyarakat agraris dan industrialis menuju masyarakat informasi.

2. Faktor ekonomi, dalam era reformasi terjadi transformasi dari ekonomi konvensional ke arah ekonomi digital dan ekonomi jaringan.

3. Faktor globalisasi, dengan liberalisasi perdagangan batas negara di bidang ekonomi semakin pudar, maka sangat perlu perencanaan yang matang dan menyeluruh di bidang teknologi informasi dan menciptakan infrastruktur dan aplikasi teknologi informasi yang memadai serta meningkatkan sumber daya manusia di bidang teknologi informasi.

4. Faktor nasional, era reformasi menuntut suatu pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab kepada rakyat.

5. Faktor lokal, adanya sektor pariwisata yang sangat perlu promosi potensi wisata. Disamping itu keberadaan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang terbukti tahan hidup dalam kondisi ekonomi yang kritis.

(Indrajit, 2002:27).

Terdapat lima dimensi dalam balanced e-government scorecard yang dikemukakan Stiftung dalam buku e-Government in action oleh Richardus Eko Indrajit, yaitu:

1. Dimensi pertama, manfaat, Berhubungan dengan kualitas dan kuantitas layanan yang diberikan dan bagaimana masyarakat mendapatkan


(14)

manfaat dari layanan tersebut. Yang termasuk dalam kriteria ini adalah:

1) Cakupan layanan yang sudah diimplementasikan.

2) Bagaimana layanan tersebut bisa diakses dalam one stop shop dari satu portal menuju berbagai layanan.

3) Kemudahan penggunaan dalam mendapatkan layanan tersebut. 2. Dimensi kedua, efisiensi. Efisiensi berhubungan dengan bagaimana

teknologi bisa mempercepat proses dan meningkatkan kualitas layanan. Kriteria dalam efisiensi, diantaranya:

1) Ketersediaan arsitektur proses, aplikasi, dan database yang bisa berjalan baik ketika dibutuhkan.

2) Perencanaan sumber daya dan keuangan secara baik.

3) Pemanfaatan platform TI dan teknologi secara maksimal pada keseluruhan aspek.

4) Kualitas dan ruang lingkup pelatihan bagi para staf dan pegawai. 3. Dimensi ketiga, partisipasi. Ini berhubungan dengan pertanyaan

apakah layanan yang diberikan memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk memberikan partisipasi dalam penyampaian pendapat dan proses pengambilan keputusan. Beberapa kriteria dalam hal ini, diantaranya:

1) Akses langsung masyarakat terhadap orang yang berkepentingan melalui web.

2) Pertimbangan terhadap umpan balik dan keinginan masyarakat. 3) Pengaruh dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan

keputusan.

4) Kemungkinan untuk memperdebatkan topik yang menyangkut masyarakat umum (tersedianya fasilitas chatting, forum, milis). 4. Dimensi keempat, transparansi. Jumlah dan karakter informasi yang

disampaikan.

5. Dimensi kelima, manajemen perubahan. Ini terkait dengan proses implementasi apakah ada proses review yang jelas dan dikelola dengan baik. Kriteria dalam hal ini, diantaranya:

1) Strategi pengembangan. 2) Kualitas kontrol dan review.

3) Keterlibatan dan motivasi pegawai. (dalam Indrajit, 2005:43-45)

Teori balanced e-government scorecard yang terdiri dari dimensi manfaat, efisiensi, partisipasi, transparansi dan manajemen perubahan di atas merupakan alat ukur performa (kinerja) pemerintah.


(15)

4. Pembahasan

Penggunaan teknologi informasi ini kemudian menghasilkan hubungan dan memperluas akses publik untuk memperoleh informasi sehingga akuntabilitas pemerintah meningkat. Terkait dengan e-Government, konsep ini merupakan sistem teknologi informasi yang dikembangkan oleh pemerintah dalam memberikan pilihan kepada masyarakatnya kapan dan dimanapun agar mereka bisa mendapatkan kemudahan akses informasi dan layanan yang pemerintah berikan kepadanya. Hal ini merupakan salah satu bentuk fungsi pemerintah untuk memberikan alternatif pilihan melalui teknologi informasi (media internet). Relasi sosial yang terkandung dalam konsep ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Relation in e-Government Concept

Gambaran di atas terlihat bahwa e-Government bertujuan untuk membuat interaksi antara pemerintah dan masyarakat (Government to Citizen – G2C), pemerintah dan kalangan bisnis (Government to Business – G2B), serta antar instansi pemerintah (Government to Government – G2G) yang lebih bersahabat, nyaman, trasnparan dan murah. Selain itu, konsep e-Government menyangkut juga dengan model e-Business lainya, yaitu B to B (Busines to Business), B to C (Business to Customer), C to C (Customer to Customer), dan C to B (Customer to Business).


(16)

Government to Citizens (G-to-C), tujuannya adalah untuk mendekatkan pemerintah dengan masyarakat melalui kanal-kanal akses yang beragam agar masyarakat dapat dengan mudah menjangkau pemerintahnya untuk pemenuhan berbagai kebutuhan pelayanan sehari-hari. Government to Business (G-to-B), merupakan bentuk relasi antara pemerintah dengan para pengusaha, dengan tujuan untuk memperlancar para praktisi bisnis dalam menjalankan roda perusahaannya.

Government to Government (G-to-G), merupakan interaksi antar satu pemerintah dengan pemerintah lainnya dengan tujuan untuk memperlancar kerjasama antar negara dan kerjasama antar entiti-entiti negara dalam melakukan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi perdagangan, proses-proses politik dan mekanisme hubungan sosial dan budaya. Government to Employes (G-to-E), tujuannya untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan para pegawai negri atau karyawan pemerintahan yang bekerja di sejumlah institusi sebagai pelayan masyarakat.

Hal di atas membuktikan bahwa tingkat pertumbuhan penggunaan internet menunjukan angka sangat fantastik, bahkan internet telah menjadi bagian kebutuhan dalam sebuah rumah tangga, fenomena ini menunjukan bahwa 5 sampai 10 tahun yang akan datang teknologi informasi akan menguasai sebagian besar pola kehidupan masyarakat, sehingga model e-Government harus dipersiapkan dan dikembangkan dengan baik dan sedini mungkin.


(17)

5. Kesimpulan

Implementasi e-Government merupakan realita dalam mengantisipasi perubahan sosial yang makin dinamis, sekaligus sebagai respon terhadap tuntutan akan pelayanan publik yang makin berkualitas. Hal ini diperlukan mengingat dinamisnya gerak masyarakat pada saat ini, sehingga pemerintah harus dapat menyesuaikan fungsinya dalam negara, agar masyarakat dapat menikmati haknya dan menjalankan kewajibannya dengan nyaman dan aman, yang kesemuanya itu dapat dicapai dengan pembenahan sistem dari pemerintahan itu sendiri, dan e-Government adalah salah satu caranya.


(18)

Referensi

Andrianto, Nico. (2007). Good e-Government: Transparansi dan Akuntansi Publik Melalui e-Government. Malang:Bayumedia.

Giddens, Anthony. (1986). Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Jakarta:UI Press.

Hall, Bradley W. (2008). The New Human Capital Strategy. New York:AMACOM.

Henry, Nicholas. (2006). Public Administration and Public Affairs. New Jersey:Pearson Prentice Hall.

Holmes, Douglas. (2001). E-Gov, E-Business Strategies fot Government. London:Nicholas Brealey Publishing.

Indrajit, Richardus Eko. (2006). Electronic Government: Strategi Pembangunan dan Pengembangan Sistem Pelayanan Publik Berbasis Teknologi Digital. Yogyakarta:Andi.

_______, dkk. (2005). E-Government in Action Ragam Kasus Implementasi Sukses di Berbagai Belahan Dunia. Yogyakarta:Andi.

Koentjaraningrat. (1990). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:Gramedia.

Mackenzie, Christine and Froud, Rob. (2002). E-Government and Public Libraries. Bertelsmann Foundation.

Sedarmayanti. (2004). Good Governance, Membangun Sistem Manajemen Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas Menuju Good Governance. Bandung:Mandar Maju.

Soekanto, S. 1986. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial. Jakarta:Ghalia Indonesia.

Stiftung, Bertelsmann dan Booz-Allen-Hamilton. (2001). Balanced e-Government. United States: Bertelsmann Foundation Publication.

Tjokroamidjojo, Bintoro. (2000). Good Governance: Paradigma Baru Manajemen Pembangunan. Jakarta:UI Press.

Westcott, Clay G. (2001). Business Case fore-Government. Asia Development Bank.

Wilhelm, Anthony. G. (2003). Demokrasi di Era Digital, Tantangan Kehidupan Politik di Ruang Cyber. Yogyakarta:Pustaka Pelajar..


(1)

lembaga, penyiapan sumber daya manusia, sosialisasi situs informasi baik untuk internal maupun untuk publik, serta penyiapan sarana akses yang mudah.

2. Tahap kedua, adalah Interact, yaitu meluaskan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Misalnya dengan cara pembuatan situs yang interaktif dengan publik, serta adanya antar muka yang terhubung dengan lembaga lain.

3. Tahap ketiga, adalah Transact, yaitu menyediakan layanan pemerintah secara online. Misalnya dengan cara pembuatan situs transaksi pelayanan publik, serta interoperabilitas aplikasi maupun data dengan lembaga lain.

Terdapat beberapa faktor dalam pengembangan e-Government faktor tersebut berasal dari faktor teknologi, ekonomi, globalisasi, nasional serta lokal. Berdasarkan hal tersebut maka akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Faktor teknologi, peradaban manusia dari tatanan masyarakat agraris dan industrialis menuju masyarakat informasi.

2. Faktor ekonomi, dalam era reformasi terjadi transformasi dari ekonomi konvensional ke arah ekonomi digital dan ekonomi jaringan.

3. Faktor globalisasi, dengan liberalisasi perdagangan batas negara di bidang ekonomi semakin pudar, maka sangat perlu perencanaan yang matang dan menyeluruh di bidang teknologi informasi dan menciptakan infrastruktur dan aplikasi teknologi informasi yang memadai serta meningkatkan sumber daya manusia di bidang teknologi informasi.

4. Faktor nasional, era reformasi menuntut suatu pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab kepada rakyat.

5. Faktor lokal, adanya sektor pariwisata yang sangat perlu promosi potensi wisata. Disamping itu keberadaan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang terbukti tahan hidup dalam kondisi ekonomi yang kritis.

(Indrajit, 2002:27).

Terdapat lima dimensi dalam balanced e-government scorecard yang dikemukakan Stiftung dalam buku e-Government in action oleh Richardus Eko Indrajit, yaitu:

1. Dimensi pertama, manfaat, Berhubungan dengan kualitas dan kuantitas layanan yang diberikan dan bagaimana masyarakat mendapatkan


(2)

manfaat dari layanan tersebut. Yang termasuk dalam kriteria ini adalah:

1) Cakupan layanan yang sudah diimplementasikan.

2) Bagaimana layanan tersebut bisa diakses dalam one stop shop dari satu portal menuju berbagai layanan.

3) Kemudahan penggunaan dalam mendapatkan layanan tersebut. 2. Dimensi kedua, efisiensi. Efisiensi berhubungan dengan bagaimana

teknologi bisa mempercepat proses dan meningkatkan kualitas layanan. Kriteria dalam efisiensi, diantaranya:

1) Ketersediaan arsitektur proses, aplikasi, dan database yang bisa berjalan baik ketika dibutuhkan.

2) Perencanaan sumber daya dan keuangan secara baik.

3) Pemanfaatan platform TI dan teknologi secara maksimal pada keseluruhan aspek.

4) Kualitas dan ruang lingkup pelatihan bagi para staf dan pegawai. 3. Dimensi ketiga, partisipasi. Ini berhubungan dengan pertanyaan

apakah layanan yang diberikan memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk memberikan partisipasi dalam penyampaian pendapat dan proses pengambilan keputusan. Beberapa kriteria dalam hal ini, diantaranya:

1) Akses langsung masyarakat terhadap orang yang berkepentingan melalui web.

2) Pertimbangan terhadap umpan balik dan keinginan masyarakat. 3) Pengaruh dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan

keputusan.

4) Kemungkinan untuk memperdebatkan topik yang menyangkut masyarakat umum (tersedianya fasilitas chatting, forum, milis). 4. Dimensi keempat, transparansi. Jumlah dan karakter informasi yang

disampaikan.

5. Dimensi kelima, manajemen perubahan. Ini terkait dengan proses implementasi apakah ada proses review yang jelas dan dikelola dengan baik. Kriteria dalam hal ini, diantaranya:

1) Strategi pengembangan. 2) Kualitas kontrol dan review.

3) Keterlibatan dan motivasi pegawai. (dalam Indrajit, 2005:43-45)

Teori balanced e-government scorecard yang terdiri dari dimensi manfaat, efisiensi, partisipasi, transparansi dan manajemen perubahan di atas merupakan alat ukur performa (kinerja) pemerintah.


(3)

4. Pembahasan

Penggunaan teknologi informasi ini kemudian menghasilkan hubungan dan memperluas akses publik untuk memperoleh informasi sehingga akuntabilitas pemerintah meningkat. Terkait dengan e-Government, konsep ini merupakan sistem teknologi informasi yang dikembangkan oleh pemerintah dalam memberikan pilihan kepada masyarakatnya kapan dan dimanapun agar mereka bisa mendapatkan kemudahan akses informasi dan layanan yang pemerintah berikan kepadanya. Hal ini merupakan salah satu bentuk fungsi pemerintah untuk memberikan alternatif pilihan melalui teknologi informasi (media internet). Relasi sosial yang terkandung dalam konsep ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Relation in e-Government Concept

Gambaran di atas terlihat bahwa e-Government bertujuan untuk membuat interaksi antara pemerintah dan masyarakat (Government to Citizen – G2C), pemerintah dan kalangan bisnis (Government to Business – G2B), serta antar instansi pemerintah (Government to Government – G2G) yang lebih bersahabat, nyaman, trasnparan dan murah. Selain itu, konsep e-Government menyangkut juga dengan model e-Business lainya, yaitu B to B (Busines to Business), B to C (Business to Customer), C to C (Customer to Customer), dan C to B (Customer to Business).


(4)

Government to Citizens (G-to-C), tujuannya adalah untuk mendekatkan pemerintah dengan masyarakat melalui kanal-kanal akses yang beragam agar masyarakat dapat dengan mudah menjangkau pemerintahnya untuk pemenuhan berbagai kebutuhan pelayanan sehari-hari. Government to Business (G-to-B), merupakan bentuk relasi antara pemerintah dengan para pengusaha, dengan tujuan untuk memperlancar para praktisi bisnis dalam menjalankan roda perusahaannya.

Government to Government (G-to-G), merupakan interaksi antar satu pemerintah dengan pemerintah lainnya dengan tujuan untuk memperlancar kerjasama antar negara dan kerjasama antar entiti-entiti negara dalam melakukan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi perdagangan, proses-proses politik dan mekanisme hubungan sosial dan budaya. Government to Employes (G-to-E), tujuannya untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan para pegawai negri atau karyawan pemerintahan yang bekerja di sejumlah institusi sebagai pelayan masyarakat.

Hal di atas membuktikan bahwa tingkat pertumbuhan penggunaan internet menunjukan angka sangat fantastik, bahkan internet telah menjadi bagian kebutuhan dalam sebuah rumah tangga, fenomena ini menunjukan bahwa 5 sampai 10 tahun yang akan datang teknologi informasi akan menguasai sebagian besar pola kehidupan masyarakat, sehingga model e-Government harus dipersiapkan dan dikembangkan dengan baik dan sedini mungkin.


(5)

5. Kesimpulan

Implementasi e-Government merupakan realita dalam mengantisipasi perubahan sosial yang makin dinamis, sekaligus sebagai respon terhadap tuntutan akan pelayanan publik yang makin berkualitas. Hal ini diperlukan mengingat dinamisnya gerak masyarakat pada saat ini, sehingga pemerintah harus dapat menyesuaikan fungsinya dalam negara, agar masyarakat dapat menikmati haknya dan menjalankan kewajibannya dengan nyaman dan aman, yang kesemuanya itu dapat dicapai dengan pembenahan sistem dari pemerintahan itu sendiri, dan e-Government adalah salah satu caranya.


(6)

Referensi

Andrianto, Nico. (2007). Good e-Government: Transparansi dan Akuntansi Publik Melalui e-Government. Malang:Bayumedia.

Giddens, Anthony. (1986). Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Jakarta:UI Press. Hall, Bradley W. (2008). The New Human Capital Strategy. New York:AMACOM. Henry, Nicholas. (2006). Public Administration and Public Affairs. New Jersey:Pearson

Prentice Hall.

Holmes, Douglas. (2001). E-Gov, E-Business Strategies fot Government.

London:Nicholas Brealey Publishing.

Indrajit, Richardus Eko. (2006). Electronic Government: Strategi Pembangunan dan Pengembangan Sistem Pelayanan Publik Berbasis Teknologi Digital. Yogyakarta:Andi.

_______, dkk. (2005). E-Government in Action Ragam Kasus Implementasi Sukses di Berbagai Belahan Dunia. Yogyakarta:Andi.

Koentjaraningrat. (1990). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:Gramedia. Mackenzie, Christine and Froud, Rob. (2002). E-Government and Public Libraries.

Bertelsmann Foundation.

Sedarmayanti. (2004). Good Governance, Membangun Sistem Manajemen Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas Menuju Good Governance. Bandung:Mandar Maju. Soekanto, S. 1986. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial. Jakarta:Ghalia Indonesia. Stiftung, Bertelsmann dan Booz-Allen-Hamilton. (2001). Balanced e-Government.

United States: Bertelsmann Foundation Publication.

Tjokroamidjojo, Bintoro. (2000). Good Governance: Paradigma Baru Manajemen Pembangunan. Jakarta:UI Press.

Westcott, Clay G. (2001). Business Case for e-Government. Asia Development Bank. Wilhelm, Anthony. G. (2003). Demokrasi di Era Digital, Tantangan Kehidupan Politik

di Ruang Cyber. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.. 105