Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pengertian sejarah menurut R. Moh Ali dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah adalah ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-perubahan kejadian atau peristiwa yang merupakan realita kehidupan manusia. 1 Berbagai aspek kehidupan manusia yang mempunyai dimensi sosial; seperti soal pakaian, makanan, pemukiman, rumah tangga, kesehatan, pendidikan dan kesenian serta upacara adat-istiadat juga kepercayaan dan lain sebagainya, merupakan sejarah sosial. Hal ini membawa angin segar bahwa ada hal lain dalam kehidupan suatu komunitas yang cukup menarik dan penting di samping kehidupan politik. 2 Simaninggir merupakan daerah pedalaman 3 1 R. Moh. Ali, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, Yogyakarta: PT.LKiS Pelangi Aksara, 2005, hal. 6. 2 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan ilmu sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,1992, hal. 50 3 Daerah Pedalaman adalah suatu ranah pinggiran, yang secara sosial, ekonomi dan fisik jauh tersisih dari jalur utama, bersifat “tradisonal”, belum berkembang dan tertinggal . Tania Murray Li, Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002, hal 2. yang berada di Kecamatan Parlilitan Kabupaten Tapanuli Utara sampai 2002. Pemukiman di daerah Simaninggir ini sendiri belum jelas sejak kapan mulai berdirinya, namun yang pasti di Simaninggir ini pernah ada aktivitas kehidupan dari masyarakat Batak Toba. Dari hasil wawancara, jumlah penduduk Desa Simaninggir pada tahun 1950-an adalah sekitar 90 kepala keluarga, yang masing-masing keluarga mempunyai 9-10 anak Sembilan sampai sepuluh anak sehingga jumlah penduduk sekitar sembilan ratus jiwa. Simaninggir sendiri sesuai arti namanya adalah perbukitan yang Universitas Sumatera Utara 2 terletak di pinggir atau puncak dari Dolog Pinapan Bukit Pinapan 4 Penduduk yang berlindung di Simaninggir tersebut berasal dari Bakkara, Balige, Sipintu-pintu, Dolok Sanggul, Parbuluan, Pandumaan dan lain sebagainya. Lama-kelamaan penduduk makin banyak yang tinggal dan menetap di tempat itu sampai akhirnya mereka membangun tempat tinggal seadanya dan menjadi sebuah pemukiman. . Awalnya Simaninggir merupakan tempat persembunyian bagi Sisingamangaraja, beserta ajudannya yang bermarga Nainggolan dari daerah Samosir saat terjadi Perang Batak untuk menghindari serangan dari penjajah yakni Kolonial Belanda. Simaninggir merupakan tempat yang dapat melindungi mereka karena letak geografisnya yang mendukung yakni tepat di atas bukit dengan lembah yang curam dan hutan belantara sehingga sulit bahkan tidak dapat diketahui oleh penjajah. Pada masa itu Sisingamangaraja bersembunyi di salah satu gua, di mana sekarang ini gua tersebut diberi nama “Liang Sisingamangaraja”. Setelah perang Batak usai dengan tertangkap dan meninggalnya Sisingamangaraja, maka ajudannya yang bermarga Nainggolan dari Samosir tersebut kehilangan seorang pemimpin, maka beliau tidak ada pilihan lain selain tinggal menetap di Simaninggir, karena beliau merasa situasi di luar Simaninggir sebagai tempat persembunyian yang aman masih sangat dikuasai oleh Belanda. Lama-kelamaan marga Nainggolan tersebut mendirikan tempat tinggal seadanya dan memulai aktivitas sehari-harinya dengan membuka lahan untuk bertani serta memanfaatkan hasil alam Simaninggir. Marga Nainggolan inilah yang kemudian menjadi Raja Huta atau Sipukka Huta yang dalam bahasa Sejarah kita sebut sebagai Primus interpares. 4 Dalam bahasa Batak Toba, Simaninggir artinya pinggir atau paling ujung; Pinapan merupakan nama bukit, disebut sebagai Dolog Pinapan karena merupakan bukit tertinggi di Tapanuli Utara. Dari puncak Pinapan tersebut dapat kita lihat pemandangan Laut Sibolga dan Barus serta wilayah Samosir juga wilayah Humbang Hasundutan. Wawancara dengan Parisan Nainggolan dan juga Martua Mahulae, Pusuk I, 19 Agustus 2012, Pusuk II Simaninggir, Kantor Kepala Desa, Minggu, 28 April 2013. Universitas Sumatera Utara 3 Dari pada menerima keterpinggiran daerah pedalaman itu sebagai suatu kenyataan “alami”, penulis berusaha menempatkan kondisi keterpinggiran itu dari segi ingatan historis dan dalam proses khusus yang menyebabkan daerah tersebut menjadi ditinggalkan oleh penduduknya. Sebagai latar kehidupan sosial yang pernah ada oleh penulis menarik untuk menelitinya dalam konteks kajian sejarah sosial. Awalnya, lingkungan tempat tinggal mereka tersebut dipimpin oleh seorang Raja ihutan primus interparesnya bermarga Nainggolan. 5 Tradisi ini menjadi adat kebiasaan mereka setiap kali mata air menjadi kering atau pun keruh. Sampai pada periodisasi penulisan ini, kehidupan di Simaninggir masih sangat terbelakang, disebabkan faktor letak dan kondisi geografis. Lokasi ini tidak dapat dijangkau oleh transportasi dan penerangan listrik sampai pada akhir penulisan skripsi ini. Hal inilah yang menjadi penghambat interaksi dengan lingkungan lain dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dari keterangan di atas menunjukkan Desa Simaninggir tergolong desa tertinggal Dari persamaan nasib yang mereka alami menumbuhkan rasa solidaritas yang kuat di antara mereka, sehingga terjadi akulturasi budaya yang melahirkan kebudayaan baru yang berbeda dari sebelumnya. Seperti pada saat mual atau mata air di desa tersebut tiba-tiba menjadi kering bahkan pernah menjadi keruh, raja huta dan raja adat akan mengumpulkan penduduk untuk memanggil roh leluhur yang mereka percayai sebagai penjaga mual tersebut dan menyiapkan sesajen sambil meminta untuk mengembalikan kejernihan mata air tersebut. 6 5 Wawancara dengan Tiomina Marbun, Hutari, 19 Agustus 2012. . Dilihat dari isolasi geografisnya, juga rendahnya kualitas sumber daya dan 6 Yang dimaksud dengan desa tertinggal di sini adalah golongan rumah tangga tersisih dari arus kehidupan, karena keberadaannya yang jauh terpencil, atau tidak memadainya sumber daya, atau karena Universitas Sumatera Utara 4 potensi manusianya, selain Desa Simaninggir bukan hanya kriterianya sebagai desa tertinggal, bahkan ditinggalkan sama sekali oleh penduduknya setelah beberapa di antara warga berhasil dalam kehidupan pendidikan dan ekonominya, kemudian perlahan-lahan menarik anggota keluarga lainnya meninggalkan Desa Simaninggir. Hasil suatu proses transformasi pendidikan tidak pernah bersifat seluruhnya positif, yaitu kemajuan bahkan telah menjadi negatif yaitu kemunduran. Secara teoritik perubahan dalam kehidupan masyarakat dapat berdampak kemunduran regress dan kemajuan progress. 7 Ada satu motto hidup dalam masyarakat Batak Toba yang dituangkan dalam syair lagu ciptaan Nahum Situmorang yaitu “Anakkonhi do na Ummarga di Ahu”. Artinya: anak adalah harta yang paling berharga bagi saya. Realisasinya adalah biarlah orang tua menderita yang penting dapat menyekolahkan anaknya. Setelah melihat lingkungan dan pengalaman, hal ini menunjukkan bahwa pendidikan anak mendapat tempat dan nilai yang lebih tinggi dari nilai yang lainnya. Tidak dapat diingkari pula, salah satu cara yang cukup penting dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah melalui pendidikan. Dorongan Faktor pendidikan telah mengakibatkan dampak yang sangat kontras bagi Desa Simaninggir yaitu perubahan. Bahwa ada perubahan- perubahan yang merupakan hasil dari pendidikan yakni, membuka kemajuan bagi penduduk Desa Simaninggir sekaligus membawa kemunduran bagi Desa Simaninggir itu sendiri, yang mana saat ditinggalkan daerah tersebut kembali menjadi semak belukar dan telah menjadi saksi bisu dari kehidupan penduduk Desa Simaninggir yang pernah ada. keduanya. Rumah tangga yang terisolasi dari dunia luar. Tempat tinggalnya di daerah pinggiran, terpencil dari pusat keramaian dan jalur komunikasi, atau jauh dari pusat perdagangan, pusat informasi dan pusat diskusi di desa. Robert, Chambers, Pembangunan Desa Mulai dari Belakang, Jakarta: LP3ES, 1988, hal. 56. 7 Tania Murray Li, Op.Cit., hal. 14. Universitas Sumatera Utara 5 “hamajuon“ kemajuan yang menjadi semboyan orang Batak Toba pada akhir abad XIX sampai pertengahan abad ke XX bahkan sampai sekarang. Telah dapatnya masyarakat Batak Toba membaca dan menulis menyebabkan informasi tulisan melalui media pun dapat segera diketahui sehingga mempengaruhi sikap dan pemikiran mereka. 8 Dalam tradisi orang Batak Toba, saat mereka sukses diperantauan tidak kembali membangun kampung halaman, melainkan membangun harajaon kerajaan di tempat mereka merantau. Produk dari pendidikan tersebut menimbulkan mobilitas sosial vertikal dan horizontal. Secara vertikal menimbulkan golongan elit yang berperan dalam segala bidang kehidupan politik, sosial, ekonomi dan horizontal menimbulkan perpindahan penduduk tetap dan sementara dari tempat asal ke tempat baru yang lebih menjanjikan untuk menuntut pendidikan yang lebih baik dan atau kehidupan yang lebih mapan. Berbeda dengan masyarakat Minangkabau khususnya yang lebih mengutamakan pembangunan kampung halamannya. Padahal dalam semboyan masyarakat Batak Toba ada disebutkan Dorongan “hamajuon” keterbukaan tanah Batak Toba, serta berita yang sampai ke Tapanuli mengenai sumber penghasilan baru di Sumatera Timur yaitu adanya perkebunan tembakau, Berita ini sampai ke Desa Simaninggir dengan sebutan “panombangan”. Inilah awalnya masyarakat Simaninggir mulai berkompetisi untuk menyekolahkan anaknya demi meraih tingkat hidup yang lebih tinggi dan untuk memasuki pendidikan yang lebih tinggi semakin gencar. Motif pandang untuk kehidupan masa depan yang lebih cemerlang dan makmur merupakan pendorong bagi orang tua di Simaninggir. Setelah sukses dalam pendidikan dan berhasil di perantauan, anak-anak mereka malah meninggalkan kampung halamannya di Simaninggir. 8 Ibid., hal. 281. Universitas Sumatera Utara 6 “MARTABE” Marsipature Hutana Be yang artinya, membangun kampung halaman masing-masing. Realisasinya, masyarakat Simaninggir yang notabene adalah orang Batak Toba malah meninggalkan kampung halamannya demi kehidupan dan pendidikan yang mapan. Mengingat daerah pedalaman Simaninggir, telah tersisih melalui perjalanan sejarah dengan keterlibatan “pendidikan” sebagai pencerahan yang membawa kemajuan menjadi faktor penyebab utamanya, sebagai aktivitas kehidupan sosial yang pernah ada, oleh penulis menarik untuk menelitinya. Migrasi penduduk ini dimulai sejak tahun 1947 dan mencapai puncak perpindahan pada tahun 1954 serta berakhirnya mobilisasi pada tahun 2002. Simaninggir setelah ditinggal pergi oleh penduduknya pada tahun 2002 kembali menjadi semak belukar yang menyimpan album kehidupan seperti puing-puing perumahan penduduk dan akses jalan setapak menuju desa tersebut serta lahan pertanian yang berubah menjadi padang ilalang sebagai tempat pengembalaan hewan ternak yaitu kerbau milik masyarakat Banuarea selaku desa tetangga Simaninggir. Supaya dalam pembabakan waktu tidak meluas, maka penulis menentukan periodisasi yang tepat, di mana penelitian dimulai dari tahun 1954 di mana sejak tahun inilah penduduk mulai mengecap pendidikan yang merupakan sarana satu-satunya yang dapat dipergunakan penduduk untuk meningkatkan kemajuan masyarakat tersebut pada saat itu. Sebab ilmu pengetahuan itu tak lain merupakan suatu pola perkembangan yang cukup pesat dan kuat. Penulisan penelitian diakhiri pada tahun 2002 yang menunjukkan berakhirnya proses migrasi penduduk Simaninggir dan ditinggalkannya pemukiman itu. Universitas Sumatera Utara 7

1.2 Rumusan Masalah