Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Kepatuhan Perawat terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tahun 2014

(1)

PENGARUH PENGETAHUAN, SIKAP DAN KEPATUHAN PERAWAT TERHADAP PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI DALAM

PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT SARI MUTIARA

MEDAN TAHUN 2014

TESIS

Oleh KARMILA 127032191/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH PENGETAHUAN, SIKAP DAN KEPATUHAN PERAWAT TERHADAP PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI DALAM

PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT SARI MUTIARA

MEDAN TAHUN 2014

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh KARMILA 127032191/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 14 Juli 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes Anggota : 1. Drs. Eddy Syahrial, M.S

2. Drs. Tukiman, M.K.M


(5)

PERNYATAAN

PENGARUH PENGETAHUAN, SIKAP DAN KEPATUHAN PERAWAT TERHADAP PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI DALAM

PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT SARI MUTIARA

MEDAN TAHUN 2014

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2014

KARMILA 127032191/IKM


(6)

ABSTRAK

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit. Salah satu upaya untuk mencegah penyakit (preventif) dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD). Namun berdasarkan observasi di lapangan diketahui bahwa masih banyak perawat yang tidak menggunakan APD.

Jenis penelitian ini adalah menggunakan penelitian observasional yang bersifat analitik dengan rancangan potong lintang untuk menganalisa pengaruh pengetahuan, sikap dan kepatuhan terhadap penggunaan alat pelindung diri (APD) pada perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial di ruang rawat inap Rumah Sakit Sari Mutiara Medan. Populasi penelitian adalah seluruh perawat pelaksana yang berkerja di ruang rawat inap RS Sari Mutiara Medan yang berjumlah 87 orang. Pengumpulan data dilakukan pada bulan April 2014. Data diperoleh melalui wawancara dengan responden dan dianalisis dengan uji regresi logistik berganda pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan penggunaan alat pelindung diri adalah sikap (p = 0,048) dan kepatuhan (p = 0,001). Variabel yang memberikan pengaruh paling besar adalah kepatuhan dengan Odd Ratio (OR) 4,886.

Disarankan kepada pihak manajemen Rumah Sakit Sari Mutiara Medan untuk meningkatkan perilaku dan kepatuhan dalam menggunakan APD dalam tindakan pencegahan infeksi nosokomial dan kepada perawat untuk menggunakan APD saat melakukan tindakan pada pasien.

Kata Kunci : Pengetahuan, Sikap, Kepatuhan, Penggunaan APD, Infeksi Nosokomial


(7)

ABSTRACT

Nosocomial infection is the infection which occurs in a hospital. One of the efforts to prevent from it is by using APD (Personal Protection Device). However, based on an observation in the field, it was found that there are still many nurses who do not use APD.

The type of the research was observational analytic with cross sectional design which was aimed to analyze the influence of knowledge, attitude and compliance on the use of Personal Protection Device by nurses in order to prevent them from nosocomial infection in the inpatient wards of Sari Mutiara Hospital, Medan. The population was 87 nurse practitioners who were on duty in the inpatient wards of Sari Mutiara Hospital, Medan. The data were gathered in April, 2014 through interviews with respondents and analyzed by using multiple logistic regression tests at the reliability level of 95%.

The result of the research showed that the variables which were correlated with the use of personal protection devices were attitude (p = 0.048) and compliance (p = 0.001). The variable which had the most dominant influence was compliance, at Odd Ratio (OR) 4.886.

It is recommended that the management of Sariu Mutiara Hospital improve nurses’ behavior and compliance in using APD in order to prevent them from nosocomial infection, and the nurses should wear APD in treating patients.


(8)

KATA PENGANTAR

Penulis panjatkan puji dan syukur yang tiada henti dan tak terhingga kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Kepatuhan Perawat terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tahun 2014”.

Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan moral maupun material dari banyak pihak. Untuk itu izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 FKM USU 4. Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes, sebagai ketua komisi pembimbing yang dengan


(9)

waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

5. Drs. Eddy Syahrial, M.S, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai. 6. Drs. Tukiman, M.K.M sebagai komisi penguji yang telah banyak memberikan

arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

7. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes sebagai komisi penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

8. Direktur Rumah Sakit Sari Mutiara Medan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Sari Mutiara Medan.

9. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

10. Ayahanda Drs. H. Syamsul Bahri dan Ibunda Hj. Limpah Ani yang selalu memberikan dukungan dan doa kepada penulis agar bisa menyelesaikan pendidikan ini.

11. Buat rekan-rekan mahasiswa S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku tahun 2012 yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan semangat dalam menjalani dan menyelesaikan pendidikan di Program Magister IKM FKM-USU.


(10)

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Juli 2014 Penulis

Karmila 127032191/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Karmila lahir pada tanggal 22 April 1985 di Banda Aceh. Anak delapan dari sembilan bersaudara dari pasangan Ayahanda Drs. H. Syamsul Bahri dan Ibunda Hj. Limpah Ani .

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Madrasah Ibtidayah Negeri Jambo Tape selesai tahun 1997, Sekolah Menengah Pertama Negeri 6 Banda Aceh selesai tahun 2000, Sekolah Menengah Atas Negeri 8 Banda Aceh selesai tahun 2003, Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama Aceh selesai tahun 2011.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2012 dan akan menyelesaikan studi tahun 2014.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Hipotesis ... 6

1.5. Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Perilaku ... 8

2.1.1. Pengetahuan (Kognitif) ... 8

2.1.2. Sikap (Afektif) ... 10

2.1.3. Tindakan (Psikomotor) ... 13

2.2. Kepatuhan ... 14

2.2.1. Definisi Kepatuhan ... 14

2.2.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketidak Patuhan ... 15

2.2.3. Strategi untuk Meningkatkan Kepatuhan ... 16

2.3. Alat Pelindung Diri ... 17

2.4. Infeksi Nosokomial ... 19

2.4.1. Definisi Infeksi Nosokomial ... 19

2.4.2. Cara Penularan Infeksi Nosokomial ... 19

2.4.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi terjadinya Infeksi Nosokomial ... 22

2.4.4. Jenis Infeksi Nosokomial ... 26

2.4.5. Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial ... 30

2.4.6. Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 32

2.5. Landasan Teori ... 39


(13)

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 42

3.1. Jenis Penelitian ... 42

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42

3.3. Populasi dan Sampel ... 43

3.3.1. Populasi ... 43

3.3.2. Sampel ... 43

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 43

3.4.1. Jenis Data ... 43

3.4.2. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 43

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 46

3.6. Metode Pengukuran ... 47

3.7. Metode Analisis Data ... 48

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 50

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 50

4.2. Analisis Univariat ... 51

4.2.1. Karakteristik Responden ... 51

4.2.2. Gambaran Pengetahuan Responden ... 52

4.2.3. Gambaran Sikap Responden ... 55

4.2.4. Gambaran Kepatuhan Responden ... 59

4.2.5. Gambaran Penggunaan Alat Pelindung Diri ... 62

4.3. Analisis Bivariat ... 63

4.3.1. Hubungan Pengetahuan dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan Tahun 2014 ... 63

4.3.2. Hubungan Sikap dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan Tahun 2014 ... 64

4.3.3. Hubungan Kepatuhan dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan Tahun 2014 ... 65

4.4. Analisis Multivariat ... 66

BAB 5. PEMBAHASAN ... 69

5.1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 69

5.2. Pengaruh Sikap terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 72

5.3. Pengaruh Kepatuhan terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 75


(14)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

6.1. Kesimpulan ... 80

6.2. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 82


(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Variabel Pengetahuan ... 44

3.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Variabel Sikap ... 45

3.3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Variabel Kepatuhan ... 46

3.4. Metode Pengukuran ... 47

4.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur, Pendidikan, Pekerjaan Kepala Keluarga dan Pendapatan Keluarga ... 51

4.2. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan Tahun 2014 ... 52

4.3. Distribusi Tingkat Pengetahuan Responden terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan Tahun 2014 ... 54

4.4. Distribusi Frekuensi Sikap Responden terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan Tahun 2014 ... 55

4.5. Distribusi Tingkat Sikap Responden terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan Tahun 2014 ... 59

4.6. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Responden terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan Tahun 2014 ... 59

4.7. Distribusi Kategori Kepatuhan Responden terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan Tahun 2014 ... 62

4.8. Distribusi Frekuensi Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan Tahun 2014 ... 62


(16)

4.9. Distribusi Kategori Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan Tahun 2014 ... 63 4.10. Tabulasi Silang Pengetahuan dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri

dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan Tahun 2014 ... 64 4.11. Tabulasi Silang Sikap dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam

Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan Tahun 2014 ... 65 4.12. Tabulasi Kepatuhan Sikap dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri

dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan Tahun 2014 ... 66 4.13. Hasil Seleksi Bivariat antara Pengetahuan, Sikap dan Kepatuhan dengan

Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan Tahun 2014 ... 67 4.14. Hasil Akhir Analisis Multivariat Pengaruh Perilaku dan Kepatuhan

terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan Tahun 2014 ... 68


(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Landasan Teori ... 40 2.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 41


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Lembar Penjelasan dan Lembar Persetujuan ... 86

2. Kuesioner ... 89

3. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 94

4. Output Hasil Penelitian ... 96

5. Dokumentasi Penelitian ... 111

6. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kesehatan Masyarakat USU... 114

7. Surat Izin Penelitian dari RSU Sari Mutiara Medan ... 115


(19)

ABSTRAK

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit. Salah satu upaya untuk mencegah penyakit (preventif) dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD). Namun berdasarkan observasi di lapangan diketahui bahwa masih banyak perawat yang tidak menggunakan APD.

Jenis penelitian ini adalah menggunakan penelitian observasional yang bersifat analitik dengan rancangan potong lintang untuk menganalisa pengaruh pengetahuan, sikap dan kepatuhan terhadap penggunaan alat pelindung diri (APD) pada perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial di ruang rawat inap Rumah Sakit Sari Mutiara Medan. Populasi penelitian adalah seluruh perawat pelaksana yang berkerja di ruang rawat inap RS Sari Mutiara Medan yang berjumlah 87 orang. Pengumpulan data dilakukan pada bulan April 2014. Data diperoleh melalui wawancara dengan responden dan dianalisis dengan uji regresi logistik berganda pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan penggunaan alat pelindung diri adalah sikap (p = 0,048) dan kepatuhan (p = 0,001). Variabel yang memberikan pengaruh paling besar adalah kepatuhan dengan Odd Ratio (OR) 4,886.

Disarankan kepada pihak manajemen Rumah Sakit Sari Mutiara Medan untuk meningkatkan perilaku dan kepatuhan dalam menggunakan APD dalam tindakan pencegahan infeksi nosokomial dan kepada perawat untuk menggunakan APD saat melakukan tindakan pada pasien.

Kata Kunci : Pengetahuan, Sikap, Kepatuhan, Penggunaan APD, Infeksi Nosokomial


(20)

ABSTRACT

Nosocomial infection is the infection which occurs in a hospital. One of the efforts to prevent from it is by using APD (Personal Protection Device). However, based on an observation in the field, it was found that there are still many nurses who do not use APD.

The type of the research was observational analytic with cross sectional design which was aimed to analyze the influence of knowledge, attitude and compliance on the use of Personal Protection Device by nurses in order to prevent them from nosocomial infection in the inpatient wards of Sari Mutiara Hospital, Medan. The population was 87 nurse practitioners who were on duty in the inpatient wards of Sari Mutiara Hospital, Medan. The data were gathered in April, 2014 through interviews with respondents and analyzed by using multiple logistic regression tests at the reliability level of 95%.

The result of the research showed that the variables which were correlated with the use of personal protection devices were attitude (p = 0.048) and compliance (p = 0.001). The variable which had the most dominant influence was compliance, at Odd Ratio (OR) 4.886.

It is recommended that the management of Sariu Mutiara Hospital improve nurses’ behavior and compliance in using APD in order to prevent them from nosocomial infection, and the nurses should wear APD in treating patients.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Rumah sakit merupakan unit pelayanan kesehatan yang sangat kompleks karena di rumah sakit tidak hanya terapi dan diagnosis penyakit yang diperhatikan, tetapi tenaga keperawatan dan tenaga kesehatan lainnya yang juga harus diperhatikan (Darmadi, 2008). Rumah sakit tidak hanya menjadi tempat pengobatan, tetapi bisa juga menjadi sarana pelayanan kesehatan yang dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain (Septiari, 2012).

Infeksi yang terjadi di rumah sakit disebut infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial adalah Infeksi yang muncul selama pasien dirawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala selama pasien itu dirawat atau setelah selesai dirawat disebut infeksi nosokomial. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 3x24 jam, menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan gejala setelah 3x24 jam pasien berada dirumah sakit baru disebut infeksi nosokomial (Darmadi, 2008).

Infeksi nosokomial dapat berasal dari proses penyebaran di pelayanan kesehatan, baik pasien, petugas kesehatan, pengunjung, maupun sumber lainnya (Septiari, 2012). Kejadian infeksi nosokomial sangat berpengaruh terhadap kondisi


(22)

kesehatan pasien, lamanya masa perawatan dan masa penyembuhan yang panjang menambah pengeluaran pasien selama di rumah sakit (Potter dan Perry, 2005).

Salah satu upaya untuk mencegah penyakit (preventif) dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD). APD merupakan suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja, dimana secara teknis dapat mengurangi tingkat keparahan dari kecelakaan kerja yang terjadi. Peralatan pelindung diri tidak menghilangkan atau pun mengurangi bahaya yang ada. Peralatan ini hanya mengurangi jumlah kontak dengan bahaya dengan cara penempatan penghalang antara tenaga kerja dengan bahaya (Suma’mur, 2009).

Kemampuan perawat untuk mencegah transmisi infeksi di rumah sakit dan upaya pencegahan adalah tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan bemutu. Perawat berperan dalam pencegahan infeksi nosokomial, hal ini disebabkan perawat merupakan salah satu anggota tim kesehatan yang berhubungan langsung dengan klien dan bahan infeksius di ruang rawat (Habni, 2009). Perawat juga bertanggung jawab menjaga keselamatan klien di rumah sakit melalui pencegahan kecelakaan, cidera, trauma dan melalui penyebaran infeksi nosokomial di unit perawatan intensif aktifitas perawat tinggi dan cepat, hal ini sering menyebabkan perawat kurang memperhatikan teknik aseptik dalam melakukan tindakan keperawatan (Potter, 2005).

Kejadian infeksi nosokomial berkisar dari terendah 1% di beberapa negara Eropa danAmerika hingga 40% di beberapa tempat di Asia, Amerika Latin dan Sub Sahara (Lynch dkk, 1997 dalam Tientjen, 2004). Suatu penelitian yang dilakukan oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang


(23)

berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik menunjukkan adanya infeksi nosokomial dan untuk Asia Tenggara sebanyak 10% (Mayone, 1988 dalam Tientjen, 2004). Menurut WHO (2002) infeksi nosokomial yang paling umum terjadi dirumah sakit adalah infeksi saluran kencing (40%), infeksi sehubungan dengan penggunaan alat intravaskular (20%), pneumonia nosokomial (18%), infeksi bedah (15%) dan infeksi nosokomial lainnya. Tingginya angka kejadian infeksi nosokomial telah dijadikan sebagai salah satu tolak ukur mutu pelayanan rumah sakit, untuk itu tindakan pencegahan infeksi nosokomial ini sangat penting diperhatikan oleh setiap pemberi layanan kesehatan di rumah sakit (Septiari, 2012).

Peningkatkan mutu pelayanan rumah sakit harus dilakukan oleh semua jajaran manajemen rumah sakit, salah satunya adalah tenaga perawat dalam memberikan asuhan keperawatan (Darmadi, 2008). Perawat merupakan salah satu pemberi layanan kesehatan yang menjadi pelaksana utama pencegahan infeksi nosokomial, karena perawat memiliki waktu yang relatif lebih banyak untuk berinteraksi dengan pasien saat melakukan prosedur keperawatan sehingga berpeluang untuk menularkan infeksi kepada pasien (Darmadi, 2008). Dengan demikian setiap prosedur yang dilakukan oleh perawat harus dapat mencegah terjadinya infeksi nosokomial pada pasien.

Pelaksanaan setiap prosedur yang dilakukan oleh perawat dengan tepat, akan mencerminkan sikap patuh perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial. Hasil penelitian Panjaitan (2011) menyatakan bahwa perilaku patuh perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial diperoleh sebesar 98,5%. Menurut Smet dalam Septiari (2012) kepatuhan merupakan tingkat dimana seseorang melaksanakan suatu


(24)

cara atau berperilaku sesuai dengan apa yang disarankan atau dibebankan kepadanya. Kepatuhan yang dimaksud merupakan kepatuhan perawat dalam pencegahan infeksi yang terjadi di rumah sakit, diantaranya adalah kepatuhan perawat dalam mencuci tangan dan pemasangan infus.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Saragih dan Rumapea (2012) menyatakan bahwa tingkat kepatuhan perawat melakukan cuci tangan dikategorikan kepatuhan minimal yaitu sebesar 72,61%. Berdasarkan hasil penelitian Syarif (2012) didapatkan hasil kepatuhan perawat dalam melaksanakan standar operasional prosedur pemasangan infus sebesar 59,2%.

Infeksi yang berasal dari petugas juga berpengaruh pada mutu pelayanan. Semua kegiatan perawat, dokter dan tenaga profesi lainnya yang mengadakan interaksi secara profesional dengan pasiennya, semakin patuh tenaga profesi menjalankan standarts of good practice yang telah diterima dan diakui oleh masing-masing ikatan profesi akan semakin tinggi pula mutu asuhan terhadap pasien (Nurmantono, 2005).

Profesi perawat di rumah sakit merupakan salah satu tenaga kesehatan yang diposisikan sebagai garda terdepan dalam memberikan pelayanan asuhan keperawatan kepada pasien yang setiap saat selalu kontak langsung dengan pasien sehingga berpotensi akan terjadi infeksi nosokomial. Dengan demikian bila tidak dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas pelindung diri dan kepatuhan perawat untuk menggunakan APD maka sangat dikhawatirkan akan terjadi resiko infeksi nosokomial dan sangat diharapkan peran pihak rumah sakit untuk tetap melakukan


(25)

pengawasan yang melekat pada perawat dalam penggunaan APD setiap melakukan tindakan keperawatan. Pihak rumah sakit juga berupaya meningkatkan cara untuk menghindari terjadinya infeksi silang dengan cara melakukan pendidikan dan pelatihan pada tenaga perawat dan petugas kesehatan lainnya dalam pemakaian APD.

Berdasarkan penelitian awal yang dilakukan di RS Sari Mutiara Medan diketahui bahwa masih banyak perawat yang tidak memakai masker dan sarung tangan sebagai APD. Banyaknya perawat yang tidak menggunakan APD disebabkan karena persediaan APD di RS masih minim sehingga APD harus digunakan berkali-kali. Selain itu dari pihak RS diketahui bahwa tidak ada pengawasan dan teguran pada perawat jika tidak menggunakan APD saat melakukan pelayanan.

Banyaknya perawat yang tidak menggunakan menggunakan APD tentu saja sangat riskan terkena penyakit infeksi nosokomial. Berdasarkan wawancara dengan perawat di RS Sari Mutiara diketahui bahwa kejadian infeksi nosokomial pada pasien cukup tinggi sedangkan pada perawat diketahui bahwa ada satu orang yang terkena penyakit menular yaitu Tuberculosis paru. Penyakit menular tersebut diderita pada saat perawat bekerja di RS, hal ini diketahui dari wawancara dengan perawat yang menderita penyakit menular yang menyatakan bahwa di lingkungan tempat tinggalnya tidak ada yang menderita Tuberkulosis dan penyakit yang dideritanya ini dialami pada saat melayani pasien tidak menggunakan APD.

Mengingat pentingnya peran perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial maka peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh pengetahuan, sikap dan kepatuhan


(26)

perawat terhadap penggunaan alat pelindung diri dalam pencegahan infeksi nosokomial di Rumah Sakit Sari Mutiara Medan tahun 2014.

1.2. Permasalahan

Bagaimana pengaruh pengetahuan, sikap dan kepatuhan perawat terhadap penggunaan alat pelindung diri dalam pencegahan infeksi nosokomial di ruang rawat inap rumah sakit sari mutiara Medan tahun 2014?

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh pengetahuan, sikap dan kepatuhan perawat terhadap penggunaan alat pelindung diri dalam pencegahan infeksi nosokomial di ruang rawat inap Rumah Sakit Sari Mutiara Medan tahun 2014.

1.4. Hipotesis

Ada pengaruh pengaruh pengetahuan, sikap dan kepatuhan perawat terhadap penggunaan alat pelindung diri dalam pencegahan infeksi nosokomial di ruang rawat inap Rumah Sakit Sari Mutiara Medan tahun 2014.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan bagi pihak manajemen Rumah Sakit Sari Mutiara Medan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan kepatuhan dalam menggunakan APD dalam tindakan pencegahan infeksi nosokomial.

2. Sebagai masukan bagi perawat untuk mengetahui potensi bahaya penyakit infeksi nosokomial dan pentingnya penggunaan APD.


(27)

3. Sebagai masukan bagi tim tenaga kesehatan untuk mengenal dan mengetahui potensi bahaya penyakit infeksi nosokomial dalam pentingnya penggunaan APD. 4. Sebagai masukan bagi peneliti lebih lanjut dalam penggunaan APD dan upaya


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Perilaku

Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Menurut Benjamin Bloom dalam Notoatmodjo (2007), ranah perilaku terbagi dalam 3 domain, yaitu :

2.1.1. Pengetahuan (Kognitif)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Rogers dalam Notoatmodjo (2010), pengetahuan dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :

a. Awareness knowledge (Pengetahuan kesadaran), yaitu pengetahuan akan keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis akan memotivasi individu untuk belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada ini inovasi diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti tentang produk tersebut. Karena kurangnya informasi tersebut maka masyarakat tidak merasa memerlukan inovasi tadi. Rogers menyatakan bahwa untuk menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media


(29)

massa seperti radio, televisi, koran atau majalah. Sehingga masyarakat akan lebih cepat mengetahui keberadaan suatu inovasi.

b. How-to-knowlegde (Pengetahuan pemahaman), yaitu pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan suatu inovasi dengan benar. Rogers memandang pengetahuan jenis ini penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus memiliki pengetahuan ini dengan cukup tentang penggunaan inovasi ini.

c. Principles-knowledge (Prinsip dasar), yaitu pengetahuan tentang prinsip-prinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat bekerja.

Faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan seseorang antara lain : 1. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah pula bagi mereka untuk menerima informasi dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang mereka miliki.

2. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.


(30)

3. Umur

Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental), dimana pada aspek psikologis ini, taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa.

4. Minat

Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang mendalam.

5. Pengalaman

Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami oleh individu baik dari dalam dirinya ataupun dari lingkungannya. Pada dasarnya pengalaman mungkin saja menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi individu yang melekat menjadi pengetahuan pada individu secara subjektif.

6. Informasi

Kemudahan seseorang untuk memperoleh informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru (Wahid, 2007).

2.1.2. Sikap (Afektif)

Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap dalam kehidupan sehari-hari adalah merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas tapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku . Sikap menentukan


(31)

jenis tingkah laku dalam hubungannya dengan rangsangan yang relevan, individu lain atau fenomena-fenomena. Dapat dikatakan bahwa sikap merupakan faktor internal tapi tidak semua faktor internal adalah sikap (Wahid, 2007).

Adapun ciri-ciri sikap menurut WHO adalah sebagai berikut :

1. Pemikiran dan perasaan (Thoughts and feeling), hasil pemikiran dan perasaan seseorang, atau lebih tepat diartikan pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus.

2. Adanya orang lain yang menjadi acuan (Personal references) merupakan faktor penguat sikap untuk melakukan tindakan akan tetapi tetap mengacu pada pertimbangan-pertimbangan individu.

3. Sumber daya (Resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk bersikap positif atau negatif terhadap objek atau stimulus tertentu dengan pertimbangan kebutuhan dari pada individu tersebut.

4. Sosial budaya (Culture) berperan besar dalam memengaruhi pola pikir seseorang untuk bersikap terhadap objek/stimulus tertentu (Notoatmodjo, 2007).

Fungsi (tugas) sikap dibagi empat golongan, yaitu : 1. Sebagai alat menyesuaikan diri

Sikap adalah sesuatu yang bersifat communicable yang artinya sesuatu yang mudah menjalar, sehingga mudah menjadi milik bersama. Sikap bisa menjadi rantai penghubung antara orang dengan kelompoknya atau dengan anggota kelompok lain.


(32)

2. Sebagai alat pengatur tingkah laku

Pertimbangan antara perangsang dan reaksi pada orang dewasa. Pada umumnya tidak diberi perangsang secara spontan, tetapi adanya proses secara sadar untuk menilai perangsang-perangsang itu.

3. Sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman

Manusia di dalam menerima pengalaman-pengalaman dari luar sikapnya tidak pasif, tetapi diterima secara aktif, artinya semua yang berasal dari luar tidak semuanya dilayani olah manusia, tetapi manusia memilih mana yang perlu dilayani dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi semua pengalaman diberi nilai lalu dipilih.

4. Sebagai pernyataan kepribadian

Sikap sering mencerminkan pribadi seseorang. Ini disebabkan karena sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang mendukungnya. Oleh karena itu, dengan melihat sikap pada objek tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi orang tersebut (Ahmadi, 2004).

Seperti halnya pengetahuan, sikap memiliki berbagai tingkatan yaitu :

1. Menerima (Receiving) diartikan bahwa orang mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan.

2. Merespon (Responding) diartikan sebagai memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan adalah indikasi dari sikap karena dengan usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan


(33)

tugas yang diberikan terlepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (Valuating) diartikan sebagai mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah indikasi sikap tingkat ini.

4. Bertanggung jawab (Responsible) adalah bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2007).

2.1.3. Tindakan (Psikomotor)

Suatu sikap belum terwujud dalam bentuk tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi sebuah perbuatan diperlukan menanamkan pengertian terlebih dahulu, membentuk dan mengubah sikap atau menumbuhkan hubungan yang baik serta diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas dan faktor pendukung dari berbagai pihak (Notoatmodjo, 2007).

Adapun tingkatan dari tindakan adalah : 1. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek yang pertama.

2. Respon Terpimpin (Guide Response)

Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh-contoh adalah indikator tingkat kedua.


(34)

3. Mekanisme (Mechanisme)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah menjadi kebiasaan maka ia sudah mencapai tingkat ketiga. 4. Adaptasi (Adaptation)

Tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2007).

2.2. Kepatuhan

2.2.1. Definisi Kepatuhan

Kepatuhan adalah tingkat dimana seseorang melaksanakan suatu cara atau berperilaku sesuai dengan apa yang disarankan atau dibebankan kepadanya (Smet, 1994). Kepatuhan dalam hal ini terkait dengan pelaksanaan prosedur tetap yaitu untuk selalu memenuhi petunjuk atau peraturan-peraturan dan memahami etika keperawatan di Rumah Sakit tempat perawat bekerja.

Menurut Kelman dalam Sarwono (1997) dijelaskan bahwa perubahan sikap dan perilaku individu diawali dengan proses kepatuhan, identifikasi, dan tahap terakhir berupa internalisasi. Pada tahap kepatuhan, awalnya individu akan mematuhi anjuran/instruksi tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman/sangsi jika dia tidak patuh, atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika dia mematuhi anjuran tersebut. Biasanya perubahan yang terjadi pada tahap ini sifatnya sementara, artinya bahwa tindakan itu


(35)

dilakukan selama masih ada pengawasan. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur/ hilang, perilaku itupun ditinggalkan. Pada tahap identifikasi, kepatuhan individu yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku yang baru, dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan tokoh yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent). Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut terjadi melalui proses internalisasi dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif bagi diri individu itu sendiri dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya.

2.3.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketidak Patuhan

Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan Niven (2008) antara lain :

1. Pemahaman tentang Intruksi

Tak seorang pun dapat mematuhi intruksi jika ia salah paham tentang intruksi yang diberikan kepadanya.

2. Kualitas Interaksi

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Hal ini bisa dilaksanakan dengan bersikap ramah dan memberikan informasi dengan singkat dan jelas.


(36)

3. Isolasi Sosial dan Keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.

4. Motivasi

Motivasi dapat diperoleh dari diri sendiri, keluarga, teman, petugas kesehatan, dan lingkungan sekitarnya.

2.3.3. Strategi untuk Meningkatkan Kepatuhan

Menurut Smet (1994) berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan kepatuhan adalah:

1. Dukungan Profesional Kesehatan

Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi. Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh profesional kesehatan baik dokter/ perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.

2. Dukungan Sosial

Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang peningkatan kesehatan pasien maka ketidak patuhan dapat dikurangi.


(37)

3. Perilaku Sehat

Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien dengan hipertensi diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk menghindari dari komplikasi lebih lanjut apabila sudah menderita hipertensi. Modifikasi gaya hidup dan kontrol secara teratur atau minum obat anti hipertensi sangat perlu bagi pasien hipertensi.

4. Pemberian Informasi

Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang di deritanya serta cara pengobatannya.

2.3. Alat Pelindung Diri

Alat pelindung diri adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang dalam pekerjaan dan fungsinya mengisolasi tubuh tenaga kerja dari bahaya tempat kerja. Alat pelindung diri (APD) dipakai setelah usaha rekayasa (engineering) dan cara kerja yang aman telah maksimum (Depnakertrans RI, 2004).

Menurut Suma’mur (2009), alat pelindung diri adalah suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakan kerja. Perlengkapan pelindung diri yang dipakai oleh petugas harus menutupi bagian-bagian tubuh petugas mulai dari kepala sampai telapak kaki. Perlengkapan ini terdiri dari tutup kepala, masker sampai dengan alas kaki. Perlengkapan-perlengkapan ini tidak harus digunakan/dipakai semuanya bersamaan, tergantung dari tingkat risiko saat mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan.


(38)

Tiga hal penting yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh petugas agar tidak terjadi transmisi mikroba patogen ke penderita saat mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan, yaitu :

a. Petugas diharapkan selalu berada dalam kondisi sehat, dalam arti kata bebas dari kemungkinan “menularkan” penyakit;

b. Setiap akan mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan, petugas harus membiasakan diri untuk mencuci tangan serta tindakan higiene lainnya. c. Menggunakan/memakai perlengkapan pelindung diri sesuai kebutuhan dengan

cara yang tepat.

Menurut Suardi (2005), pemakaian alat pelindung diri dibagi atas:

1. Sisi pekerja tidak mau memakai dengan alasan : tidak sadar/ tidak dimengerti, panas, sesak, tidak enak dipakai dan tidak enak dipandang, berat, mengganggu pekerjaan, tidak sesuai dengan bahan yang ada, tidak ada sanksi jika tidak menggunakannya, atasan juga tidak memakai.

2. Sisi instansi : Ketidakmengertian dari instansi tentang alat pelindung diri yang sesuai dengan jenis resiko yang ada, sikap dari instansi yang mengabaikan alat pelindung diri, dianggap sia-sia (karena pekerja tidak mau memakai), Pengadaan alat pelindung diri yang asal beli.


(39)

2.4. Infeksi Nosokomial

2.4.1. Definisi Infeksi Nosokomial

Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat/Rumah Sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang diperoleh atau terjadi di rumah sakit (Darmadi, 2008). Penderita yang sedang dalam asuhan keperawatan di rumah sakit, baik dengan penyakit dasar tunggal maupun penderita dengan penyakit dasar lebih dari satu, secara umum keadaannya kurang baik, sehingga daya tahan tubuhnya menurun dan mempermudah terjadinya infeksi silang karena kuman, virus, dan sebagainya untuk masuk ke dalam tubuh penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan (Darmadi, 2008). Infeksi yang terjadi pada penderita-penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan ini disebut infeksi nosokomial, yang artinya infeksi yang terjadi di rumah sakit atau dalam sistem pelayanan kesehatan yang berasal dari proses penyebaran disumber pelayanan kesehatan, baik melalui pasien, petugas kesehatan, pengunjung, maupun sumber lainnya (Septiari, 2012).

2.4.2. Cara Penularan Infeksi Nosokomial

Secara garis besar, mekanisme transmisi mikroba patogen ke pejamu yang rentan melalui dua cara (Darmadi, 2008) :


(40)

a. Transmisi langsung (direct transmission)

Penularan langsung oleh mikroba patogen ke pintu masuk yang sesuai dari pejamu. Contonya: adanya sentuhan, gigitan, ciuman, batuk, berbicara atau saat transfusi darah yang terkontaminasi mikroba patogen.

b. Transmisi tidak langsung (indirect transmission)

Penularan mikroba patogen yang memerlukan adanya media perantara, baik berupa barang/bahan, air, udara, makanan/minuman, maupun vektor.

1. Vehicle-borne

Media perantara penularan melalui barang/bahan yang terkontaminasi seperti peralatan makan dan minum, instrumen bedah, peralatan laboratorium, peralatan infus/transfusi.

2. Vector-borne

Media perantara penularan melalui vektor (serangga), yang memindahkan mikroba patogen ke pejamu dengan cara sebagai berikut: 1) Cara mekanis, yaitu penularan melalui kaki serangga yang telah terkena kotoran/sputum (mikroba patogen), lalu hinggap pada makanan/minuman, di mana selanjutnya akan masuk ke saluran cerna pejamu, 2) Cara biologis, yaitu penularan yang terjadi setelah mikroba mengalami siklus perkembangbiakan dalam tubuh vector/serangga, selanjutnya mikroba dipindahkan ke tubuh penjamu melalui gigitan.


(41)

3. Food-borne

Makanan/minuman adalah media perantara yang cukup efektif ntuk menyebarnya mikroba patogen ke pejamu, yaitu melalui pintu masuk saluran cerna.

4. Water-borne

Tersedianya air bersih baik secara kuantitatif maupun kualitatif terutama untuk kebutuhan rumah sakit adalah mutlak. Kualitas air yang meliputi aspek fisik, kimiawi dan bakteriologis, diharapkan terbebas dari mikroba patogen sehingga aman untuk dikonsumsi. Jika tidak, sebagai media perantara air sangat mudah menyebarkan mikroba patogen ke pejamu, melalui pintu masuk saluran cerna maupun pintu masuk yang lain.

5. Air-borne

Udara sangat diperlukan oleh setiap orang, namun adanya udara yang terkontaminasi oleh mikroba patogen sangat sulit untuk dideteksi. Mikroba patogen dalam udara masuk ke saluran nafas pejamu dalam bentuk droplet nuclei yang dikeluarkan oleh penderita saat batuk atau bersin, bicara atau bernapas melalui mulut atau hidung. Sedangkan dust merupakan partikel yang dapat terbang bersama debu lantai/tanah. Penularan melalui udara ini umumnya mudah terjadi di dalam ruangan yang tertutup seperti di dalam gedung, ruangan/bangsal/kamar perawatan, atau laboratorium klinik.


(42)

2.4.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi terjadinya Infeksi Nosokomial

Faktor-faktor yang memengaruhi proses infeksi menurut Darmadi (2008) adalah: petugas kesehatan, peralatan medis, lingkungan, makanan dan minuman, penderita lain, pengunjung atau keluarga.

1. Petugas kesehatan

Petugas kesehatan khususnya perawat dapat menjadi sumber utama tertapar infeksi yang dapat menularkan berbagai kuman ke pasien maupun tempat lain karena perawat rata-rata setiap harinya 7-8 jam melakukan kontak langsung dengan pasien. Salah satu upaya dalam pencegahan infeksi nosokomial yang paling penting adalah perilaku cuci tangan karena tangan merupakan sumber penularan utama yang paling efisien untuk penularan infeksi nosokomial. Perilaku mencuci tangan perawat yang kurang adekuat akan memindahkan organisme – organisme bakteri pathogen secara langsung kepada hopes yang menyebabkan infeksi nosokomial di semua jenis lingkungan pasien.

2. Lingkungan

Lingkungan rumah sakit yang tidak bersih juga bias menyebabkan infeksi nosokomial sebab mikroorganisme penyebab infeksi bias tumbuh dan berkembang pada lingkungan yang tidak bersih.

3. Peralatan medis

Peralatan medis yang dimaksud adalah alat yang digunakan melakukan tindakan keperawatan, misalnya jarum, kateter, kassa, instrument, dan sebagainya. Bila


(43)

peralatan medis tidak dikelola kebersihan dan kesterilannya maka akan menyebabkan infeksi nosokomial.

4. Makanan atau minuman

Hidangan yang disajikan setiap saat kepada penderita apakah sudah sesuai dengan standart kebersihan bahan yang layak untuk dikonsumsi bila tidak bersih itu juga akan menyebabkan infeksi terutama pada saluran pencernaan yang sedang mengalami iritasi.

5. Penderita lain

Keberadaan penderita lain dalam satu kamar atau ruangan atau bangsal perawatan dapat merupakan sumber penularan.

6. Pengunjung

Pengunjung dapat menyebarkan infeksi yang didapat dari luar ke dalam lingkungan rumah sakit, atau sebaliknya, yang dapat ditularkan dari dalam rumah sakit ke luar rumah sakit.

Menurut Shetty (2009) bakteri dapat menyebabkan infeksi nosokomial dengan beberapa cara :

1. Flora tetap atau sementara pada pasien (endogen)

Bakteri yang merupakan flora normal dapat menyebabkan infeksi oleh karena adanya perpindahan dari habitat alami ke luar, misalnya pindah kesaluran kemih, atau adanya kerusakan jaringan (luka), atau tidak adekuat pemberian antibiotik sehingga diikuti adanya pertumbuhan kuman yang berlebihan (C. difficile, Yeast spp).


(44)

2. Flora dari pasien atau petugas rumah sakit (exogen) Bakteri dapat berpindah diantara pasien :

a. Melalui kontak langsung diantara pasien (tangan, air ludah atau cairan tubuh lainnya)

b. Melalui udara (melalui ludah atau debu yang sudah terkontaminasi oleh bakteri pasien ).

c. Melalui petugas yang terkontaminasi melalui perawatan pasien, misalnya handuk, pakaian, hidung dan tenggorokan, yang kemudian menjadi carrier sementara atau permanen, yang kemudian mentransmisikan bakteri kepasien lainnya melalui kontak langsung ketika merawat. CDC memperkirakan sekitar 36% infeksi nosokomial infeksi dapat dicegah bila semua petugas kesehatan diberikan pedoman khusus dalam pengkontrolan infeksi ketika merawat pasien.

d. Melalui objek-objek yang terkontaminasi oleh pasien, termasuk peralatan, tangan petugas, tamu atau sumber linkungan lain, misalnya air, cairan lainnya, makanan.

3. Flora yang berasal dari lingkungan kesehatan.

Beberapa tipe organisme dapat bertahan dengan baik pada lingkungan rumah sakit, misalnya didalam air, area yang lembab, dan kadang – kadang pada produk yang steril atau desinfektan, misalnya Pseudomonas, Acinobacter, mycobacterium.


(45)

Menurut Saene (2005) faktor faktor yang memengaruhi berkembangnya infeksi nosokomial :

1. Antimikroba

Sebelum diperkenalkan pelatihan dasar mengenai kebersihan dan pemberian antimikroba, hampir semua infeksi dirumah sakit berasal dari sumber luar yang patogen (misalnya penyakit yang ditularkan melalui makanan atau udara, gangren, tetanus atau yang lainnya), atau disebabkan oleh mikroorganisme yang bukan flora normal dari pasien (misalnya tuberculosis). Perkembangan terapi antibiotik sebagai terapi infeksi bakteri digunakan untuk menurunkan angka kematian dari berbagai penyakit infeksi. Hampir semua infeksi yang didapatkan dirumah sakit disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya sering terdapat pada populasi umum, misalnya pada pasien – pasien dirumah sakit (misalnya S. aureus, Staphylococcus Coagulase Negative, Enterococci, Enterobacteriaceae). 2. Kerentanan pasien

Faktor – faktor yang berpengaruh pada keadaan ini adalah umur, status imun, penyakit yang mendasarinya, serta intervensi dari terapi. Pasien yang mengalami penyait kronik seperti tumor ganas, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, atau AIDS, mempunyai kerentanan yang meningkat terhadap infeksi opurtunistik. 3. Faktor lingkungan

Pasien dengan infeksi atau dengan carrier mikroorganisme patogenik merupakan sumber potensial infeksi terhadap pasien atau pekerja dirumah sakit. Adanya kondisi seperti ini di dalam rumah sakit, sering mengakibatkan transmisi bakteri


(46)

dari satu unit ke unit lainnya. Mikrobial mungkin mengkontaminasi alat alat, bahan bahan yang kemudian kontak terhadap pasien.

4. Resistensi bakteri

Banyak pasien yang menerima terapi antimikroba. Melalui seleksi dan adanya perubahan elemen resistensi genetik, antibiotic menjadi emergensi dimana banyak strain bakteri yang resisten terhadap berbagai antimikroba. Resistensi strain bakteri menjadi menetap dan dapat berkembang menjadi endemik di rumah sakit. Banyak strain Pneumococci, Staphylococci, Enterococci dan tuberculosis resisten terhadap hampir semua antimikroba yang sebelumnya efektif digunakan sebagai terapi

2.4.4. Jenis Infeksi Nosokomial

Menurut WHO (2002) infeksi nosokomial yang sering terjadi di rumah sakit adalah:

1. Infeksi saluran kemih

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi nosokomial yang paling sering terjadi di rumah sakit yang disebabkan oleh bakteriuria nosokomial yaitu penggunaan kateter urin dengan persentase sekitar 40% dari seluruh infeksi yang terjadi rumah sakit (WHO, 2002). Hampir 10% dari seluruh pasien rawat inap di rumah sakit menggunakan kateter, untuk itu pencegahan ISK merupakan faktor utama dalam mengurangi infeksi nosokomial (Tietjen, 2004). Kateter urin yang dipasang (indewelling urinary catheter) merupakan rute bagi infeksi asenden ke


(47)

dalam kandung kemih, resiko ini dapat diminimalkan dengan teknik aseptik saat pemasangan dan penanganan keteter (Gillespie dan Bamford, 2008).

2. Infeksi sehubungan dengan penggunaan alat intravaskular

Menurut Tietjen (2004), penggunaan alat intravaskular melalui vena maupun arteri, baik untuk memasukkan cairan steril, obat atau makanan, maupun untuk memantau tekanan darah sentral dan fungsi hemodinamik telah meningkat tajam dan menyebabkan terjadinya infeksi melalui aliran darah, baik lokal (peradangan pada tempat insersi), maupun sistemik (terjadinya demam atau septisemia). Alat yang dimasukkan ke aliran darah melewati mekanisme pertahanan kulit normal, sehingga dapat membuka jalan untuk masuknya mikroorganisme yang berada di kulit tempat pemasangan (Tietjen, 2004). Infeksi pengunaan alat intravaskular ditandai dengan adanya daerah bengkak, kemerahan, panas, adanya nyeri pada kulit disekitar tempat pemasangan alat intravaskular, dan adanya tanda-tanda infeksi lain seperti demam dan pus yang keluar dari tempat tusukan (Tietjen, 2004).

3. Pneumonia

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru, dan gangguan pertukaran gas setempat (Editor, dalam Septiari, 2012). Resiko infeksi pneumonia terjadi pada pasien pascaoperasi, terutama untuk mereka yang telah dilakukan bedah torakx atau abdominal (Brunner dan Suddarth, 2002).


(48)

4. Infeksi bedah

Infeksi bedah merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari setelah operasi. Infeksi bedah bisa disebabkan oleh teknik bedah, tingkat kontaminasi pada luka operasi, durasi operasi, status pasien, lingkungan ruang operasi dan organisme dari tim ruang operasi (WHO, 2002).

Tietjen (2004) menambahkan jenis infeksi nosokomial yang lain yang sering dijumpai adalah sebagai berikut :

a. Febris Puerperalis

Febris puerperalis atau demam nifas merupakan infeksi yang muncul pascapersalinan pervaginam. Tidak semua persalinan berjalan spontan. Diperkirakan 7-8% akan mengalami kesulitan atau distoria (patologis). Untuk menyelesaikan persalinan distosia ini diperlukan adanya tindakan infasife yang sering kali membutuhkan instrument medis. Resiko adanya terjadinya trauma jalan lahir serta trauma pada janin. Trauma jalan lahir yang terjadi berupa robekan, laserasi, serta pendarahan yang dapat menimbulkan infeksi. Trauma juga terjadi karena pengunaan instrument medis untuk mengatasi persalinan. Terjadinya infeksi karena mikrobia pathogen terutama berasal dari flora normal vagina dan kulit di sekitar perineum, serta instrument medis dan operator. Beberapa penelitian menyebutkan bakteri penyebab infeksi yaitu Stapylococcus Haemolyticus, Streptococcus Aureus, Escherichia Coli.


(49)

b. Infeksi Saluran Cerna

Seorang pasien yang sedang dirawat dapat digolongakn terjangkit infeksi saluran cerna apabila ditemukan gejala-gejala seperti adanya nyeri perut secara mendadak kadang-kadang diserati nyeri kepala, nausea dan muntah-muntah yang diikuti diare, dapat disertai/tanpa demam. Dikeadaan dengan sindrom gastroenteritis manifestasi klinis ini dapat muncul setelah beberapa saat penderita mengkonsumsi makanan/minuman yang disajikan.

c. Infeksi Saluran Napas Bawah

Saluran napas bawah adalah organ vital untuk ventilasi, namun demikian tidak jarang jaringan lunak pada saluran napas ini harus bersentuhan dengan peralatan medis untuk berbagai indikasi, baik sebagai upaya menegakkan diagnosis, atau bagian dari terapi, maupun sebagai upaya penunjang untuk kasus-kasus di luar kepentingan saluran napas itu sendiri. Sebagai contoh: tindakan anestesi umum yang harus menggunakan pipa endotrakeal, pipa orofaringeal, atau pipa nasofaringeal, tindakan laringoskopi atau bronkoskopi, tindakan invasif yang lebih jauh seperti trakeostomi, pemasangan ventilator. Semua tindakan medis infasif pada contoh kasus-kasus tersebut tentunya bukan tanpa resiko bagi penderitanya. Resiko paling besarnya adalah menyebarnya mikrobia pathogen ke organ yang terdekat, yaitu paru yang dapat menimbulkan peradangan parenkim paru (Darmadi, 2008).


(50)

d. Bakteremia dan septicemia

Bakteremia dan septicemia adalah infeksi siskemik yang terjadi akibat penyebaran bakteri atau produknya dari suatu fokus infeksi kedalam peredaran darah. Menurut Tietjen (2004) Septicemia merupakan keadaan yang gawat, oleh karena itu harus ditangani secara cepat dan tepat untuk menghindari terjadinya akibat yang fatal. Bila terlambat, ada kecenderungan mengarah ke keadaan syok dengan angka kematian yang tinggi (50-90%). Sebagai pemicu timbulnya bakteremia dan septicemia karena adanya tindakan medis infasif misalnya pemasangan kateter intravaskuler untuk berbagai keperluan seperti pemberian obat, nutrisi parental, hemodialisis, dan sebagainya. Manifestasi klinisnya berupa reaksi inflamasi siskemik, yaitu demam yang tinggi, serta nadi dan frekuensi pernapasan meningkat. Demam yang ada akan bertahan selama minimal 24 jam dengan atau tanpa pemberian antipiretik. Pada anak, secara umum tampak letargi, tidak mau makan/minum, muntah, atau diare. Pada daerah kateter vena yang terpasang, kulit tampak merah, edema disertai nyeri, dan kadang-kadang ditemukan eksudat.

2.4.5. Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial

WHO (2002) dalam jurnal Prevention of Hospital-Acquired Infection menyatakan bahwa kepala ruangan bertanggung jawab untuk: 1) Berpartisipasi dalam Komite Pengendalian Infeksi, 2) Mempromosikan pengembangan dan peningkatan teknik keperawatan yang berkaitan dengan pengendalian infeksi nosokomial, dan pengawasan teknik aseptik yang dilakukan oleh perawat dengan persetujuan Komite


(51)

Pengendalian Infeksi, 3) Mengembangkan pelatihan program bagi setiap perawat, 4) Mengawasi pelaksanaan teknik pencegahan infeksi di ruangan khusus seperti ruang operasi, ruang perawatan intensif, ruang persalinan, dan ruang bayi baru lahir, 5) Pemantauan kepatuhan perawat terhadap kebijakan yang dibuat oleh kepala ruangan.

Upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial berada ditangan tim kesehatan salah satunya petugas bagian perawatan mulai dari kepala bagian perawatan, kepala ruangan/bangsal perawatan, serta semua petugas perawatan (perawat) lainnya selama 24 jam penuh. Dengan demikian tenaga keperawatan merupakan pelaksana terdepan dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial (Darmadi, 2008).

Peran perawat selain yang diatas adalah bertanggung jawab atas lingkungan yaitu (WHO, 2002) : 1) Menjaga kebersihan rumah sakit yang berpedoman terhadap kebijakan rumah sakit dan praktik keperawatan, 2) Pemantauan teknik aseptik termasuk cuci tangan dan penggunaan isolasi, 3) Melapor kepada dokter jika ada masalah-masalah yang dihadapi terutama jika ditemui adanya gejala infeksi pada saat pemberian layanan kesehatan, 4) Membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung, perawat rumah sakit, pasien lain, atau peralatan yang digunakan untuk diagnosis atau asuhan keperawatan, 5) Mempertahankan suplai peralatan, obat-obatan dan perlengkapan perawatan yang aman dan memadai di ruangan.


(52)

2.4.6. Pencegahan Infeksi Nosokomial

Fokus utama penanganan masalah infeksi dalam pelayanan kesehatan adalah mencegah infeksi. Salah satu upaya pencegahan infeksi nosokomial adalah menerapkan Universal Precaution pada petugas kesehatan atau petugas pelayanan kesehatan. Universal Precaution adalah kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh yang tidak membedakan perlakuan terhadap setiap pasien, dan tidak tergantung pada diagnosis penyakitnya (Irianto, 2010). Kewaspadaan universal dimaksudkan untuk melindungi petugas layanan kesehatan dan pasien lain terhadap penularan berbagai infeksi dalam darah dan cairan tubuh lain.

Menurut WHO (2002) kewaspadaan universal diterapkan dengan cara :

a. Cuci tangan setelah berhubungan dengan pasien atau setelah membuka sarung tangan.

b. Segera cuci tangan setelah ada hubungan dengan cairan tubuh.

c. Pakai sarung tangan bila mungkin akan ada hubungan dengan cairan tubuh. d. Pakai masker dan kacamata pelindung bila mungkin ada percikan cairan tubuh. e. Tangani dan buang jarum suntik dan alat tajam lain secara aman; yang sekali

pakai tidak boleh dipakai ulang.

f. Bersihkan dan disinfeksikan tumpahan cairan tubuh dengan bahan yang cocok g. Patuhi standar untuk disinfeksi dan sterilisasi alat medis.

h. Tangani semua bahan yang tercemar dengan cairan tubuh sesuai dengan prosedur i. Buang limbah sesuai prosedur.


(53)

Menurut Septiari (2012) untuk pencegah infeksi nosokomial harus menerapkan tindakan kewaspadaan universal yaitu mencegah penyebaran berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah di lingkungan rumah sakit maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya diantaranya mencuci tangan dan tindakan invasif sederhana yaitu tindakan memasukkan alat kesehatan ke dalam tubuh dan menyebar ke jaringan seperti pemasangan infus.

1. Mencuci tangan

Cuci tangan adalah salah satu prosedur yang paling penting dalam mencegah infeksi nosokomial. Tangan adalah instrumen yang digunakan untuk menyentuh pasien, memegang alat, perabot rumah sakit dan juga untuk keperluan pribadi seperti makan. Ada dua macam mikroorganisme yang ada pada tangan yaitu transien dan residen (Simajuntak, 2001).

a. Jenis transien berupa mikroorganisme yang ada pada tangan tetapi tidak terus-menerus, misalnya escheria coli. Bakteri transien penting diperhatikan karena mudah menular melalui tangan tetapi juga mudah dihilangkan dengan menggosok tangan dengan air dan sabun atau dengan antiseptik.

b. Jenis residen berupa mikroorganisme yang ada terus-menerus pada kulit, seperti species acinetobacter, dan tidak bisa dihilangkan hanya dengan friksi mekanik.

Bahan-bahan pencuci tangan, jenis bahan pencuci tangan ada dua, yaitu : a. Sabun, cleanser dan deterjen, dengan meningkatnya frekuensi cuci tangan, tetapi

hanya sampai titik tertentu karena hilangnya lemak dari kulit karena terlalu sering cuci tangan diduga meningkatkan daya tahan mikro organism tertentu.


(54)

Kulit yang kering dan retak karena penggunaan sabun / deterjen yang terus menerus juga bias menyebabkan jumlah bakteri ditangan meningkat.

b. Larutan antiseptic, jenis ini digunakan untuk mencuci tangan dan membersihkan kulit pada saat : Sebelum dan diantara merawat pasien yang beresiko tinggi, seperti dalam unit perawatan khusus dan ruang gawat darurat, Sebelum tindakan/kontak dengan pasien yang mengenakan peralatan seperti kateter, Sebelum memasang peralatan seperti kateter, Cuci tangan bedah, Sebelum memegang bayi, Personil ruang operasi sebelum merawat pasien, Sebelum dan selama perawatan pasien yang immunocompromised. Larutan antiseptik atau juga diesebut antimikroba topikal adalah produk yang dipakai pada kulit atau jaringan hidup lainnya untuk menghambat aktivitas mikroorganisme atau membunuhnya sehingga menurunkan jumlah total bakteri pada kulit. Sementara, desinfeksi adalah bahan kimia yang ditujukan untuk membunuh mikroorganisme pada benda-benda mati, seperti peralatan, instrumen, meja atau lantai.

Antiseptik memiliki bahan kimia yang memungkinkan untuk digunakan pada kulit, luka dan membran mukosa. Antiseptik beragam dalam aktivitasnya, efektifitasnya, efek setelah pakai dan rasa pada kulit. Dalam keadaan biasa, pemakaian sabun biasa dan air digabung dengan pembilasan dan ppengeringan secara bersama bias membersihkan tangan dari mikroorganisme tetapi untuk menghindari infeksi nosokomial, dibutuhkan antiseptik yang secara kimia berinteraksi dengan mikroba, sehingga membunuh serta menurunkan pertumbuhan dan aktivitasnya. Antisieptik biasa digunakan untuk :


(55)

1. Larutan cuci tangan (ketika merawat pasien yang beresiko tinggi).

2. Larutan cuci tangan bedah yang digunakan untuk tim operasi pada tangan dan lengan.

3. Larutan skin prep untuk menyiapkan kulit pasien sebelum dimasukkan alat atau perlakuan lain.

4. Larutan antiseptik untuk perawatan luka dan untuk bagian tubuh lain.

Mikroorganisme yang paling rentan terhadap antiseptik antara lain bakteri gram positif dan negatif, fungi dan virus hidrofili seperti polivirus dan rhinovirus. Banyak antiseptik yang efektif terhadap virus hipofili seperti virus influenza, cytomegalovirus, HIV dan penyebab virus hepatitis A dan B. Spora adalah yang paling resisten dari semua mikroorganisme dan kadang tidak bisa dibunuh dengan antiseptik. Tetapi antiseptik cukup efektif dalam mencegah pertumbuhan selanjutnya dan bisa menghilangkannya dari kulit.

Kulit manusia tidak bisa disterilkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah pengurangan jumlah mikroorganisme pada kulit terutama pada kuman transien. Antiseptik berinteraksi dengan mikroorganisme dengan cara : Masuk kedalam metabolisme sel sehingga kemampuan sel untuk bertahan dan memperbanyak diri terhambat, Merubah struktur protein sel, biasanya dengan koagulasi protein dan penghancuran sel, Meningkatkan permeabilitas membran plasma sel dan tidak merusak komponen sel dengan cara lisis.


(56)

2. Masker dalam Pengendalian Infeksi

Menurut Darmadi (2008) menyatakan bahwa masker diapakai untuk melindungi pemakai dari transmisi mikroorganisme yang dapat ditularkan melalui udara dan droplet, atau pada saat adanya kemungkinan terkena cipratan cairan tubuh. Masker sangat penting terutama bagi tenaga medis yang bekerja merawat luka terbuka yang besar, seperti luka operasi atau luka bakar, atau merawat pasien yang terinfeksi dengan penyakit-penyakit yang ditularkan melalui udara atau droplet. Sebaliknya masker juga melindungi pasien dari infeksi yang penularannya melalui udara, terutama bagi pasien di kamar operasi, kamar bersalin dan bayi. Masker yang baik, menutupi hidung dan mulut dengan baik. Masker sekali pakai jauh lebih efektif dibandingkan masker dari kasa katun dalam mencegah transmisi mikroorganisme patogen melalui udara dan droplet. Seharusnya masker diganti bila akan merawat pasien lain atau bila lembab dan tidak boleh digantungkan dileher dan kemudian dipakai kembali. Teknik yang tepat dalam memakai dan melepas masker merupakan bagian penting dari pengendalian infeksi. Masker dipakai sebagai bagian dari usaha kewaspadaan isolasi. Beberapa prinsip penting dalam pemakaian yang harus dipatuhi:

a. Pasang dulu masker sebelum memakai gaun atau sarung tangan, juga sebelum melakukan cuci tangan bedah.

b. Masker hanya dipakai sekali saja untuk jangka waktu tertentu (misalnya tiap menangani satu pasien) kemudian dibuang dalam tempat pembuangan yang disediakan untuk itu.


(57)

Teknik Memakai Masker

a. Cuci tangan dan ambil masker dari kontainer, tekuk bagian logam yang akan mengenai hidung sesuai dengan bentuk hidung pemakai (hal ini penting untuk mencegah mengalirnya udara nafas lewat bagian samping hidung dan mencegah pengembunan kaca mata).

b. Hindarkan memegang-megang masker sebelum dipasang di wajah. c. Pasang masker sehingga menutupi wajah dan hidung.

d. Ikatkan tali pada bagian atas dibelakang kepala, dan pastikan bahwa tali lewat di atas telinga.

e. Ikat tali bawah dibelakang kepala sejajar dengan bagian atas leher / dagu. f. Begitu masker lembab harus segera diganti.

g. Jangan membuka masker dari hidung dan mulut dan membiarkan bergelantungan di leher.

Teknik Melepas Masker

a. Ingat selalu untuk membuka sarung tangan lebih dahulu (jika memakai) dan cuci tangan, untuk mencegah kontaminasi dari tangan ke muka.

b. Lepaskan tali bawah dahulu, baru kemudian yang atas. Tangan harus dalam keadaan sebersih mungkin bila menyentuh leher.

c. Lepas masker, gulung talinya mengelilingi masker dan buang ketempat yang telah disediakan.


(58)

2. Sarung Tangan dalam Pengendalian Infeksi

Ada dua jenis sarung tangan yaitu steril dan non-steril. Sarung steril lebih mahal dari sarung tangan non-steril (examination gloves), karena itu hanya dipakai pada prosedur-prosedur tertentu yang dianggap asepsis bedah. Sedangkan sarung tangan non-steril dipakai pada prosedur-prosedur lainnya (Darmadi, 2008).

Pemakaian sarung tangan non-steril.

a. Sarung tangan harus dipakai apabila ada kemungkinan terjadi kontak dengan darah, cairan tubuh lapisan mukosa atau kulit pasien yang luka, dan juga untuk memegang benda-benda atau permukaan yang terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh,

b. Sarung tangan juga harus dipakai bila seorang tenaga medis memiliki luka terbuka pada tangannya.

c. Sarung tangan harus diganti bila merawat pasien berbeda bila bersentuhan dengan ekskresi atau sekresi pasien (walaupun menyentuh pasien yang sama). d. Tangan harus segera dicuci setelah sarung tangan dilepas karena sarung

tangan bukan pengganti cuci tangan. Sarung tangan steril.

a. Sesuai prinsip-prinsip asepsis bedah, sarung tangan steril wajib dipakai dalam prosedur pembedahan baik besar maupun kecil.

b. Sarung tangan steril harus dikenakan sebelum melaksanakan prosedur seperti pemakaian kateter, intra vena dan kateter uretral, penggantian pembalut.


(59)

c. Sarung tangan steril juga harus dipakai dalam melakukan perawatan terhadap pasien yang immune suppressed atau dirawat di ruang isolasi ketat.

2.5. Landasan Teori

Landasan teori dalam penelitian ini dengan mengkombinasikan teori L. Green, dan Niven. Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh mahluk hidup, baik yang diamati secara langsung atau tidak langsung perilaku manusia dapat dilihat dari 3 aspek yaitu: aspek fisik, psikis dan sosial yang secara terinci merupakan refleksi dari berbagai gejolak kejiwaan seperti pengetahuan, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya, yang ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik dan sosial budaya. Bahkan kegiatan internal seperti berpikir, berpersepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia (Notoatmodjo, 2010).

Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2007) menganalisis bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu :

a. Faktor perilaku (behavioral causes)

b. Faktor diluar perilaku (non behavioral causes)

Selanjutnya faktor perilaku di pengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), faktor-faktor-faktor-faktor pemungkin (enabling factors), dan faktor-faktor penguat (reinforcing factors). Faktor predisposisi (predisposing factors) yang mencakup pengetahuan, sikap dan sebagainya, faktor pemungkin (enabling factor) yang mencakup lingkungan fisik, tersedia atau tidak


(60)

tersedianya fasilitas-fasilitas dan faktor penguat (reinforcement factor) yang meliputi undang-undang, peraturan-peraturan, pengawasan dan sebagainya.

Menurut Niven (2008) ada 4 faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan, yaitu pemahaman tentang instruksi, kualitas interaksi, isolasi sosial dan keluarga dan motivasi. Kepatuhan ini akan memengaruhi tindakan seseorang.

Gambar 2.1. Landasan Teori (Kombinasi Teori Lawrence Green dan Niven) Faktor Predisposisi

- Pengetahuan - Sikap - Nilai

- Variabel demografi

Faktor Penguat

- Peraturan-peraturan - Pengawasan

Faktor Pemungkin - Ketersediaan fasilitas - Lingkungan Fisik

Tindakan


(61)

2.6. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep pada penelitian ini adalah variabel independen yaitu pengetahuan, sikap dan kepatuhan memengaruhi variabel dependen (penggunaan APD). Pada kerangka konsep ini faktor pemungkin dan penguat tidak diteliti.

- Pengetahuan - Sikap

Penggunaan Alat Pelindung Diri Kapatuhan


(62)

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah menggunakan penelitian observasional yang bersifat analitik dengan rancangan potong lintang (cross-sectional) untuk menganalisa pengaruh pengetahuan, sikap dan kepatuhan terhadap penggunaan alat pelindung diri (APD) pada perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial di ruang rawat inap Rumah Sakit Sari Mutiara Medan.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di RS Sari Mutiara Medan. Adapun alasan pemilihan lokasi penelitian adalah sebagai berikut :

1. Berdasarkan penelitian awal diketahui bahwa masih banyak perawat yang tidak menggunakan APD.

2. Berdasarkan wawancara dengan perawat di RS diketahui bahwa setiap minggu ada pasien yang terkena infeksi nosokomial dan ada satu perawat yang terkena penyakit menular.

3. Belum pernah dilakukan penelitian tentang pengaruh pengetahuan, sikap dan kepatuhan terhadap penggunaan alat pelindung diri (APD) pada perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial.


(63)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh perawat pelaksana yang berkerja di ruang rawat inap RS Sari Mutiara Medan yang berjumlah 87 orang.

3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana di ruang rawat inap sebanyak 87 orang dengan teknik pengambilan sampel dengan sampling jenuh, yaitu bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Sugiyono, 2012). 3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Jenis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.

1. Data primer, data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi langsung dengan responden dengan berpedoman pada kuesioner dan lembar observasi yang telah dipersiapkan lebih dahulu.

2. Data sekunder, data yang diperoleh dengan cara mengadakan pencatatan terhadap data-data yang diperlukan dari laporan RS Sari Mutiara Medan.

3.4.2. Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas bertujuan untuk mengetahui sejauh mana suatu ukuran atau nilai yang menunjukkan tingkat kehandalan suatu alat ukur dengan cara mengukur korelasi antara variabel atau item dengan skor total variabel. Validitas masing-masing butir


(64)

pertanyaan dapat dilihat pada nilai corrected item-total correlation masing-masing butir pertanyaan dengan ketentuan jika nilai r hitung > r tabel, maka dinyatakan valid atau sebaliknya. Nilai r tabel dalam penelitian ini untuk sampel pengujian 30 orang adalah 0,361 pada α = 5%.

Uji reliabilitas bertujuan untuk menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat menunjukkan ketepatan dan dapat dipercaya dengan menggunakan metode Cronbach Alpha, yaitu menganalisis reliabilitas alat ukur dari satu kali pengukuran, dengan ketentuan jika r alpha > r tabel (0,60) maka dinyatakan reliabel, dan jika nilai uji Cronbach Alpha yang diperoleh < r tabel (0,60) maka dinyatakan tidak reliabel (Hastono, 2007).

Uji validitas dan realibilitas dilakukan kepada 30 orang perawat pelaksana di ruang rawat inap RS Helvetia Medan karena mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan perawat pelaksana di RS Sari Mutiara Medan. Hasil uji validitas dan reliabilitas dapat dilihat pada tabel 3.1., 3.2., dan 3.3.di bawah ini.

Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Variabel Pengetahuan Pertanyaan Nilai Corrected Item – Total Keterangan

Pengetahuan 1 0,584 Valid

Pengetahuan 2 0,707 Valid

Pengetahuan 3 0,556 Valid

Pengetahuan 4 0,723 Valid

Pengetahuan 5 0,533 Valid

Pengetahuan 6 0,888 Valid

Pengetahuan 7 0,655 Valid

Pengetahuan 8 0,744 Valid

Pengetahuan 9 0,763 Valid


(65)

Tabel 3.1. (Lanjutan)

Pertanyaan Nilai Corrected Item – Total Keterangan

Pengetahuan 11 0,783 Valid

Pengetahuan 12 0,875 Valid

Pengetahuan 13 0,383 Valid

Pengetahuan 14 0,744 Valid

Pengetahuan 15 0,562 Valid

Cronbach Alpha 0,932 Reliabel

Pada tabel 3.1 di atas diketahui bahwa dari seluruh pertanyaan variabel pengetahuan sebanyak 15 pertanyaan mempunyai nilai corrected item – total lebih besar dari nilai tabel (r tabel = 0,361) dengan nilai cronbach alpha 0,932 lebih besar dari 0,60 yang berarti bahwa seluruh pertanyaan variabel pengetahuan semuanya adalah valid dan reliabel.

Tabel 3.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Variabel Sikap Pernyataan Nilai Corrected Item – Total Keterangan

Sikap 1 0,577 Valid

Sikap 2 0,500 Valid

Sikap 3 0,557 Valid

Sikap 4 0,659 Valid

Sikap 5 0,456 Valid

Sikap 6 0,789 Valid

Sikap 7 0,922 Valid

Sikap 8 0,871 Valid

Sikap 9 0,887 Valid

Sikap 10 0,878 Valid

Sikap 11 0,791 Valid

Sikap 12 0,934 Valid

Sikap 13 0,593 Valid

Sikap 14 0,861 Valid

Sikap 15 0,803 Valid


(66)

Pada tabel 3.2 di atas diketahui bahwa dari seluruh pernyataan variabel sikap sebanyak 15 pernyataan mempunyai nilai corrected item – total lebih besar dari nilai tabel (r tabel = 0,361) dengan nilai cronbach alpha 0,952 lebih besar dari 0,60 yang berarti bahwa seluruh pernyataan variabel sikap semuanya adalah valid dan reliabel.

Tabel 3.3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Variabel Kepatuhan Pertanyaan Nilai Corrected Item – Total Keterangan

Kepatuhan 1 0,794 Valid

Kepatuhan 2 0,821 Valid

Kepatuhan 3 0,821 Valid

Kepatuhan 4 0,558 Valid

Kepatuhan 5 0,800 Valid

Kepatuhan 6 0,433 Valid

Kepatuhan 7 0,455 Valid

Kepatuhan 8 0,514 Valid

Kepatuhan 9 0,412 Valid

Kepatuhan 10 0,608 Valid

Kepatuhan 11 0,640 Valid

Kepatuhan 12 0,629 Valid

Cronbach Alpha 0,901 Reliabel

Pada tabel 3.3 di atas diketahui bahwa dari seluruh pertanyaan variabel kepatuhan sebanyak 12 pertanyaan mempunyai nilai corrected item – total lebih besar dari nilai tabel (r tabel = 0,361) dengan nilai cronbach alpha 0,901 lebih besar dari 0,60 yang berarti bahwa seluruh pertanyaan variabel kepatuhan semuanya adalah valid dan reliabel.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional

a. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui perawat tentang infeksi nosokomial dan penggunaan APD untuk mencegah infeksi nosokomial.


(67)

b. Sikap adalah reaksi/respon perawat dalam penggunaan APD untuk mencegah infeksi nosokomial.

c. Kepatuhan menggunakan APD adalah perilaku perawat yang taat terhadap aturan, perintah, prosedur dan disiplin dalam penggunaan APD.

d. Penggunaan APD adalah penggunaan APD oleh perawat untuk mencegah infeksi nosokomial.

3.6. Metode Pengukuran

Tabel 3.4. Metode Pengukuran

No Variabel Cara Ukur Skala

Ukur Kategori 1. Pengetahuan Wawancara dengan

menggunakan kuesioner dan 15 pertanyaan.

Pilihan jawaban a. Benar (Nilai 1) b. Salah (Nilai 0)

Ordinal 1. Baik : 8 -15 2. Tidak Baik

: 0 - 7

2. Sikap Wawancara dengan

menggunakan kuesioner dan 15 pernyataan.

Pilihan Jawaban Pertanyaan Positif a. Sangat Setuju : 4 b. Setuju : 3 c. Tidak Setuju : 2

d. Sangat Tidak Setuju : 1 Pertanyaan Negatif

a. Sangat Setuju : 1 b. Setuju : 2

c. Tidak Setuju : 3

d. Sangat Tidak Setuju : 4

Ordinal 1. Positif : 38 – 60 2. Negatif :


(68)

Tabel 3.4. (Lanjutan)

NO Variabel Cara Ukur Skala

Ukur Kategori 3 Kepatuhan Wawancara dengan

menggunakan kuesioner dan 12 pernyataan.

Pilihan jawaban Ya diberi Nilai 1 Tidak diberi Nilai 0

Ordinal 1. Patuh : 7 - 12 2. Tidak Patuh : 0 - 6 4 Penggunaan

APD

Melakukan observasi terhadap penggunaan APD (masker dan sarung tangan)

Ordinal 1. Ya : mengguna kan APD secara lengkap 2. Tidak :

Tidak mengguna kan APD secara lengkap

3.7. Metode Analisis Data

Data primer dan sekunder yang telah diperoleh dianalisis melalui proses pengolahan data yang mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

1. Analisis Univariat, yaitu analisis yang menggambarkan secara tunggal antar variabel baik variabel independen maupun dependen dalam bentuk distribusi frekuensi.

2. Analisis Bivariat, yaitu analisis yang dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dengan menggunakan uji Chi-Squre pada tingkat kepercayaan 95% (p < 0,05) yaitu untuk melihat hubungan perilaku dan kepatuhan terhadap penggunaan APD pada


(69)

perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial di ruang rawat inap RS Sari Mutiara Medan

3. Analisis Multivariat, yaitu analisis lanjutan yang memungkinkan dilakukan untuk mengetahui variabel independen yang paling dominan berpengaruh dengan variabel dependen. Bila hasil uji mempunyai nilai p < 0.25 maka variabel tersebut dapat masuk dalam model multivariat dengan menggunakan Uji Regresi Logistik Berganda (multiple logistic regression).


(70)

BAB 4

HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan beralamat di Jl. Kapten Muslim No. 79 Medan merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan kelas madya plus yang berstatus swasta milik Yayasan Sitanggang Purba dengan usaha pelayanan kesehatan yang mencakup pemeliharaan, penyembuhan dan pemulihan kesehatan.

RSU Sari Mutiara Medan berasal dari praktek bidan berijazah yang berdiri mulai tanggal 23 September 1963, dan kemudian pada tanggal 11 Januari 1969 berubah menjadi klinik bersalin Sitanggang. Selanjutnya pada tanggal 23 Februari 1974 menjadi Rumah Sakit Bersalin Sitanggang dan baru tanggal 31 Maret 1978 statusnya berubah menjadi Rumah Sakit Umum Sitanggang.

Sehubungan dengan Surat Pengumuman Di. Jen. Yan. Kes. Depkes RI tanggal 5 Februari 1987 No. 098/Yan.Med/SK/87, RSU Sitanggang berganti nama menjadi RSU Sari Mutiara Medan yang diresmikan oleh Kakanwil tepatnya tanggal 8 Januari 1988.

RSU Sari Mutiara Medan mempunyai visi mencapai pelayanan yang berkualitas nasional” dengan misi memberikan pelayanan yang bermutu, nyaman dan terjangkau masyarakat.


(71)

4.2. Analisis Univariat

4.2.1. Karakteristik Responden

Berdasarkan hasil penelitian ini, diperoleh karakteristik responden yang meliputi umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan dan masa kerja. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 4.1. berikut ini :

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur, Pendidikan, Pekerjaan Kepala Keluarga dan Pendapatan Keluarga

No Karakteristik Responden n %

1 Umur

21 – 30 tahun 70 80,5

31 – 40 tahun 17 19,5

2 Jenis Kelamin

Laki-laki 8 9,2

Perempuan 79 90,8

3 Status Perkawinan

Belum Menikah 52 59,8

Menikah 35 40,2

4 Pendidikan Terakhir

D-III Keperawatan 46 52,9

S-1 Keperawatan 41 47,1

5 Masa Kerja

< 5 tahun 63 72,4

5 tahun 24 27,6

Jumlah 87 100,0

Berdasarkan tabel 4.1. di atas diketahui bahwa sebagian besar responden berumur 21 – 30 tahun dengan jumlah 70 orang (80,5%). Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan dengan jumlah 79 orang (90,8%). Berdasarkan status perkawinan, sebagian besar berstatus belum menikah dengan jumlah 52 orang (59,8%). Berdasarkan pendidikan diketahui bahwa sebagian besar responden berpendidikan D-III Keperawatan dengan jumlah 46 orang (52,9%).


(1)

Crosstab

Kat_Penggunaan_APD

Total

Ya Tidak

Kat_Sikap Positif Count 19 44 63

% within Kat_Sikap 30.2% 69.8% 100.0%

Negatif Count 2 22 24

% within Kat_Sikap 8.3% 91.7% 100.0%

Total Count 21 66 87

% within Kat_Sikap 24.1% 75.9% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig.

(2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 4.521a 1 .033

Continuity Correctionb 3.408 1 .065

Likelihood Ratio 5.258 1 .022

Fisher's Exact Test .048 .027

Linear-by-Linear Association 4.469 1 .035

N of Valid Casesb 87

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.79. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Kat_Sikap (Positif / Negatif) 4.750 1.014 22.252 For cohort Kat_Penggunaan_APD = Ya 3.619 .911 14.372 For cohort Kat_Penggunaan_APD = Tidak .762 .622 .933


(2)

Crosstab

Kat_Penggunaan_APD

Total Ya Tidak

Kat_Kepatuhan Patuh Count 14 18 32

% within Kat_Kepatuhan 43.8% 56.2% 100.0%

Tidak Patuh Count 7 48 55

% within Kat_Kepatuhan 12.7% 87.3% 100.0%

Total Count 21 66 87

% within Kat_Kepatuhan 24.1% 75.9% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig.

(2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 10.632a

1 .001

Continuity Correctionb 9.006 1 .003

Likelihood Ratio 10.375 1 .001

Fisher's Exact Test .002 .002

Linear-by-Linear Association 10.510 1 .001

N of Valid Casesb 87

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.72. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Kat_Kepatuhan (Patuh / Tidak Patuh) 5.333 1.854 15.343 For cohort Kat_Penggunaan_APD = Ya 3.438 1.551 7.618 For cohort Kat_Penggunaan_APD = Tidak .645 .467 .889


(3)

Logistic Regression

Classification Tablea

Observed

Predicted Kat_Penggunaan_APD

Percentage Correct

Ya Tidak

Step 1 Kat_Penggunaan_APD Ya 0 21 .0

Tidak 0 66 100.0

Overall Percentage 75.9

a. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95.0% C.I.for EXP(B) Lower Upper Step 1a Kat_Sikap 1.405 .814 2.982 1 .084 4.075 .827 20.075

Kat_Kepatuhan 1.586 .550 8.305 1 .004 4.886 1.661 14.373 Constant -2.967 1.238 5.747 1 .017 .051


(4)

Lampiran 5 : Dokumentasi Penelitian

Gambar 1 : Perawat sedang Melakukan Pelayanan Kepada Pasien


(5)

Gambar 3 : Perawat sedang Melakukan Pelayanan Kepada Pasien


(6)

Dokumen yang terkait

Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang Pencegahan Infeksi Nosokomial Di Rumah Sakit Umum Daerah Djoelham Binjai

14 122 86

Supervisi Kepala Ruangan dan Kepatuhan Perawat dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Sari Mutiara Medan

9 64 94

Pengaruh Pengawasan Dan Kepatuhan Terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial Di Rumah Sakit Sakit Umum Daerah Kisaran

19 151 144

Karakteristik Penderita Pneumonia Pada Balita Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Daerah Sipirok Kabupaten Tapanuli Tapanuli Selatantahun 2001-2005

0 20 96

Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap di Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tahun 2001-2003

0 39 94

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku - Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Kepatuhan Perawat terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tahun 2014

0 1 34

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Kepatuhan Perawat terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tahun 2014

0 0 7

PENGARUH PENGETAHUAN, SIKAP DAN KEPATUHAN PERAWAT TERHADAP PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT SARI MUTIARA MEDAN TAHUN 2014

0 0 18

Supervisi Kepala Ruangan dan Kepatuhan Perawat dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Sari Mutiara Medan

1 1 20

PENGARUH PENGAWASAN DAN KEPATUHAN TERHADAP PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA PERAWAT DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KISARAN TESIS

0 1 16