BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penjatuhan Sanksi Terhadap Narapidana yang Melakukan Tindak Pidana Selama Menjalani Pembinaan Menurut Hukum Pidana di Indonesia (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia selain sebagai makhluk individu, juga disebut sebagai makhluk

  sosial. Ciri dari manusia sebagai mahkluk sosial dalam kesehariannya yaitu disekitar. Untuk mewujudkan kedua hal tersebut, maka manusia melakukan interaksi dengan manusia dan dengan alam disekitar. Menurut Soerjono Soekanto, interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang perorang, antara kelompok-kelompok manusia

  2

  maupun antara orang- perorang dengan kelompok manusia. Selanjutnya interaksi yang dilakukan manusia tersebut kerap kali menimbulkan berbagai penyimpangan.

  Munculnya penyimpangan itu disebabkan oleh hal-hal yang berbeda antara individu yang satu dengan yang lain, baik itu secara sengaja maupun tidak disengaja. Pelanggaran-pelanggaran ini dapat terjadi karena berbagai macam alasan. Gambarannya sering kali lebih rumit. Tekanan ekonomi, ketiadaan lapangan pekerjaan, tingkat pendidikan yang rendah dan kerasnya orientasi orang kepada kebendaan merupakan motivasi yang paling dominan dari setiap tindak

  3

  pidana. Penyimpangan tersebut kerap kali dilakukan untuk mencapai suatu 2 Soerjono Seokanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, PT Raja Grasindo Persada, 1987, hal. 51. 3 Noach Simanjuntak dan L.Pasaribu, Kriminologi, Bandung, Tarsito Bandung, 1984, hal.10.

  tujuan tertentu yang tidak dapat dicapai dengan cara yang sesuai dengan norma. Bentuk penyimpangan yang terjadi salah satunya adalah kejahatan atau tindak pidana. Seseorang yang berbuat jahat untuk mendapatkan suatu hal dengan muda bukan merupakan suatu fenomena yang baru lagi dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini akan selalu ada dan berkembang jenis dan motifnya dari masa ke masa dalam kehidupan bermasyarakat.

  4

  perbuatan yang oleh masyarakat diberi pidana. Batasan mengenai kejahatan menurut Bonger adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh

  5

  tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan. Bonger juga

  6 berpendapat bahwa kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan immoral.

  Selanjutnya Shuterland berpendapat bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan yang merugikan negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman sebagai upaya

  7 pamungkas.

  Kejahatan dalam pandangan sosiologis diartikan sebagai semua bentuk ucapan dan tingkah laku yang melanggar norma-norma sosial, serta merugikan dan mengganggu keselamatan masyarakat, baik secara ekonomis, politis maupun

  8

  sosial-psikologis. Perkembangan dan peningkatan kejahatan ini disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang terus mengalami perubahan-perubahan dan 4 5 Suwarto, Individualisasi Pemidanaan, Pustaka Bangsa Press, Medan , 2013, hal.1. 6 Noach Simanjuntak dan L. Pasaribu, Op.Cit., hal.45. 7 Ibid. 8 Suwarto,Op.Cit., hal.2.

  Kartini Kartono, Patalogi Sosial Jilid I, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 121. berbeda antara tempat yang satu dengan yang lainnya serta berbeda pula dari suatu waktu atau jaman tertentu dengan waktu atau jaman yang lain. Usaha memahami kejahatan ini sebenarnya telah berabad-abad lalu dipikirkan oleh para ilmuwan terkenal. Plato (427-

  347s.m) misalnya dalam bukunya “republik

  9 menyatakan antara lain bahwa manusia adalah sumber dari banyak kejahatan.

  Kejahatan merupakan suatu masalah manusia dalam perhubungan

  10

  lebih modern. Indonesia sebagai negara hukum, harus mampu memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada setiap individu yang ada didalamnya agar dapat menjalankan haknya dengan baik. Salah satu unsur yang utama dari negara hukum adalah adanya pengakuan terhadap jaminan hak asasi manusia dan warga negara serta mengaktualisasikannya dalam kehidupan nyata. Sebagai konsekuensi dari negara hukum, tentunya setiap pelaku kejahatan atau pelaku tindak pidana harus mendapat sanksi dan sanksi tersebut harus dijalankan sesuai dengan hukum dan norma yang berlaku. Sebab tujuan dari norma adalah untuk

  11

  ditaati dan untuk ditaati diperlukan sanksi. Norma tersebut antara lain adalah norma kesopanan, norma kesusilaan, norma adat, norma agama dan norma hukum. Diantara norma-norma tersebut bentuk sanksi yang paling hebat terdapat dalam hukum pidana yaitu sanksi berupa derita atau nestapa yang diberikan secara sadar dan sengaja pada seseorang yang melakukan suatu pelanggaran

  9 Topo Santosa dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006 , hal.1. 10 11 Noach Simanjuntak dan L. Pasaribu, Op.Cit, hal.45.

  Ibid, hal.46.

  12

  hukum. Secara umum hukum pidana memiliki fungsi yang sama dengan bidang hukum lainnya yaitu menjaga ketertiban masyarakat sehingga ketertiban dan kesejahteraan serta kedamaian hidup dapat diciptakan disamping keadilan sebagai

  13

  cita hukum yang tinggi. Pemberian sanksi tersebut harus dijalankan sesuai dengan sistem peradilan pidana. Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana

  14

  terhadapnya. Penegakan hukum pidana apabila dilihat dari suatu proses kebijakan, pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa

  15

  tahapan. Tahap yang pertama adalah tahap formulasi yaitu penegakan hukum in

  

abstracto oleh badan pembuat undang-undang atau disebut juga dengan tahap

  legislative, sedangkan tahap kedua adalah tahap aplikasi yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum dimulai dari kepolisian, kejaksaan, dan

  16

  pengadilan. Tahap yang terakhir yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara kongkret oleh aparat-aparat pelaksanaan pidana. Tahap ini disebut juga dengan

  17 tahap eksekutif.

  Sistem peradilan pidana berjalan dengan tujuan menegakkan hukum pidana, menghukum pelaku tindak pidana dan memberikan jaminan atas

  18

  pelaksanaan hukum disuatu negara. Mardjono Reksodiputro memberikan definisi 12 13 Ibid, hal.47.

  

Eva Achjani Zulfa dan Indrianto Seno Adji, Pergeseran Paradigma Pemidanaan,

Lubuk Agung, Bandung, 2011, hal.14. 14 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, PT. Nusa Media, Bandung, 2010, hal. 4. 15 16 Ibid. 17 Ibid. 18 Ibid.

  Eva Achjani Zulfa dan Indrianto Seno Adji, Op.Cit, 2011, hal.19 . sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan dalam arti mengendalikan kejahatan dalam

  19

  batas-batas toleransi masyarakat. Pemberian sanksi dilakukan kepada pelaku kejahatan atau pelaku tindak pidana semata-mata bukan hanya untuk pembalasan atas kerugian yang diakibatkannya, namun pemberian sanksi juga diberikan sebagai upaya pembinaan bagi pelaku tindak pidana sehingga seorang pelaku Pemberian sanksi atau pemidanaan harus memperhatikan asas keseimbangan kepada pelaku kejahatan. Asas keseimbangan ini mengandung arti bahwa

  20 pemidanaan harus mengakomodasi kepentingan masyarakat, pelaku dan korban.

  Asas keseimbangan juga diperlukan agar terdapat keselarasan antara kerugian yang diakibatkan dengan hukuman yang akan diberikan. Pemidanaan tidak boleh hanya menekankan pada salah satu kepentingan dan tanpa memperhatikan ketentuan yang ada. Pemidanaan yang menekankan kepentingan masyarakat, hanya akan memberi sebuah sosok pemidanaan yang menempatkan pelaku hanya

  21 sebagai objek belaka.

  Seorang pelaku tindak pidana harus menjalani serangkaian proses hukum yang dimulai dari tahap penyidikan oleh kepolisisan, tahap penuntutan di kejaksaan hingga pada proses persidangan di pengadilan. Sanksi kepada pelaku tindak pidana baru dapat diberikan setelah ada keputusan hakim yang berkekuatan hukum yang tetap (inkrach van gewijsde). Pelaku tindak pidana tersebut kemudian berubah status menjadi narapidana pada saat putusan pengadilan 19 20 Ibid. 21 Marlina, Hukum Penitensier, Reflika Aditama, Bandung , 2011, hal. 36.

  Ibid. dilaksanakan dan akan berakhir setelah narapidana selesai menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. Narapidana di lembaga pemasyarakatan akan diberikan pengertian melalui serangkai pembinaan yang dilakukan petugas lembaga pemasyarakatan beserta dengan lembaga lain yang terkait.

  Lembaga pemasyarakatan (selanjutnya disebut Lapas) yang secara khusus menampung para pelanggar hukum dan yang sedang menjalankan pembinaan dilakukan antar narapidana maupun narapidana dengan petugas Lapas. Segala kekurangan yang dimiliki oleh Lapas sangat memungkinkan untuk terjadinya permasalan-permasalahan selama proses pembinaan narapidana. Terlalu banyak

  22

  keterbatasan, yang semakin menjauhkan cita-cita ideal dengan kenyataan. Alih- alih terjadi interaksi edukasi, yang banyak ditemukan di dalam Lapas justru kehidupan sebaliknya, Lapas masih dikotori dengan segala macam praktek tak terpuji, seperti perlakuan diskriminatif, penyuapan, pemerasan, dan tindakan

  23

  kekerasan. Keadaan cenderung memburuk, karena hingga hari ini Lapas tidak saja memiliki keterbatasan tenaga petugas, dana dan fasilitas, namun juga

  24 keterbatasan cara berfikir dan profesionalisme pengolahan.

  Dewasa ini semakin marak terjadi perbuatan pidana yang dilakukan oleh narapidana selama proses pembinaan, dimulai dari perkelahian antar narapidana, peredaran narkoba dalam Lapas, pembakaran, hingga pada pengerusakan Lapas yang mengakibatkan kematian. Pernyataan tersebut dapat dijelaskan dengan alur 22 23 Ibid.

  David J Cookie dkk, Menyingkap Dunia Gelap Penjara, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal.xiii. 24 Ibid. berpikir sebagai berikut, secara psikologis penempatan orang penempatan orang dalam penjara pada hakikatnya merupakan suatu pengekangan kebebasan seseorang dalam memenuhi segala kebutuhannya. Karena itulah penghuni mengalami kesakitan akibat berbagai kehilangan baik kehilangan rasa aman, relasi seksual, otonomi maupun kehilangan kekuasaan atas barang-barang yang dimiliki. Keadaan ini kerap menimbulkan permintaan lebih dari narapidana yang tidak

  Perbuatan-perbuatan pidana di Lapas terjadi sebagai puncak dari adanya kekurangan dalam pelaksanaan proses pembinaan didalam Lapas. Umumnya kerusuhan-kerusuhan yang dilakukan oleh narapidana itu disebabkan karena jumlah narapidana yang melebihi daya tampung dari Lapas, tidak optimalnya fasilitas dan pelayanan Lapas, jumlah sipir yang minim, dan lemahnya pengawasan terhadap narapidana. Tabel berikut merupakan perbandingan jumlah narapidana di Lapas: Tabel 1.

  Data perbandingan narapidana yang masuk dan keluar dari Lapas.

  Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014 Masuk: 108.807 Keluar: 41.225 Rincian keluar: Bebas murni: 5.109 (12%) Bebas remisi: 3.165 (8%) PB/CB/CMB: 32.951 (80 %) Total keluar: 41.225

  Masuk: 135.826 Keluar: 90.795 Rincian keluar: Bebas murni: 38.216 (42 %) Bebas remisi: 3.221 (4%) PB/CB/CMB: 49.358 (54 %) Total: 90.795

  Masuk: 88.662 Keluar: 75. 147 Rincian keluar: Bebas murni: 44.133 (59%) Bebas remisi: 4.205 (5%) PB/CB/CMB: 26.809 (36%)

  Keterangan: PB: Pembebasan bersyarat CB: Cuti bersyarat CMB: Cuti menjelang bebas

  Sumber: Sistem database Pemasyarakatan Kemenkumham RI. Data diatas menyebutkan bahwa jumlah narapidana yang masuk penjara dari tahun ke tahun lebih banyak dari narapidana yang keluar dari Lapas, sedangkan luas halaman dan bangunan Lapas untuk pembinaan tidak bertambah.

  Salah satu contoh perbuatan pidana yang secara nyata dilakukan narapidana selama menjalani masa pidana adalah peristiwa pembakaran Lapas Kelas 1 Tanjung Gusta Medan. Penyebab kerusuhan narapidana di Lapas Tanjung petugas Lapas Kelas 1 Tanjung Gusta. Sebanyak lima orang tewas dalam kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta Kelas I Medan, dan membuat sedikitnya 200

  25 narapidana berhasil kabur.

  Setiap narapidana yang melakukan kejahatan atau tindak pidana juga harus mendapatkan ganjaran atas perbuatannya, sama seperti pelaku kejahatan pada umumnya meskipun diketahui bahwa masa hukuman dari narapidana pelaku kejahatan tersebut masih belum berakhir. Narapidana pelaku tindak pidana tersebut harus mengikuti proses hukum untuk kemudian dibuktikan kesalahan apa yang disangkakan kepadanya.

  Narapidana yang melakukan perbuatan pidana di Lapas juga kemudian harus dicermati apakah masih layak mendapatkan hak-haknya sepenuhnya ataukah hanya dapat menjalankan sebagian saja. Petugas Lapas beserta dengan instansi terkait harus turut membantu penyelesaian masalah tersebut melalui suatu kebijakan agar dapat mengerti, dan mengendalikan narapidana sehingga kejadian yang sama tidak terjadi kembali. Upaya perbaikan tidak saja harus dilakukan atas 25

  

akses pada tanggal 20 April 2015.

  26 inisiatif dan para petugas Lapas dan pemerintah, namun juga seluruh pihak.

  Perlu ada sinergi antara masyarakat dan bahkan para napi dan mantan narapidana

  27 sendiri yang sangat memahami keadaan di dalam Lapas.

  Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat suatu permasalahan dengan judul

  ” Penjatuhan Sanksi Terhadap Narapidana Yang

Melakukan Tindak Pidana Selama Menjalani Masa Hukuman Menurut

Gusta Medan)”.

B. Rumusan Permasalahan

  Adapun perumusan masalah yang muncul berdasarkan penjelasan diatas antara lain:

  1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai proses pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan?

2. Bagaimana sanksi terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana di

  Lembaga Pesmayarakatan? 3. Bagaimana upaya penanggulangan terhadap narapidana agar tidak melakukan tindak pidana selama proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung

  Gusta?

  C . Tujuan Penelitian

  Fungsi dari suatu penelitian adalah sebagai alat untuk mengetahui sesuatu masalah yang akan diteliti, baik ilmu sosial, ilmu hukum, maupun ilmu lainnya.

  Setiap penelitian ilmiah perlu ditegaskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, agar 26 27 David J Cookie dkk, Op.Cit, hal.xiv.

  Ibid. penelitian dapat berjalan secara benar dan mencapai tujuan yang dirumuskan.

  • – Seperti yang dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan adanya permasalahan permasalan yang telah dikemukakan diatas. Berdasarkan hal-hal diatas maka dapat dirumuskan tujuan dari penelititan ini adalah: 1.

  Untuk mengetahui dan mendeskripsikan proses pembinaan warga binaan khususnya narapidana menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

  Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana pada narapidana beserta dengan sanksi yang diberikan terhadap narapidana pelaku tindak pidana.

  3. Untuk mengetahui upaya penanggulangan terhadap narapidana agar tidak melakukan tindak pidana pidana selama proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan.

D. Manfaat Penelitian

  Adapaun yang menjadi manfaat penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah mencakup kegiatan-kegiatan teoritis dan praktis,yaitu sebagai berikut: 1.

  Manfaat Teoritis Manfaat teoritis yang ingin dicapai dengan adanya penulisan skripsi tersebut adalah untuk mengembangkan pemahaman dan pengetahuan ilmu hukum khususnya dalam hal pembinaan warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas

  1 Tanjung Gusta Medan. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat dan menambah wawasan bagi penulis, dan masyarakat di sekitar.

2. Manfaat Praktis

  Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan pihak-pihak terkait dalam menentukan dan melakukan perubahan terhadap kekurangan yang ada sekaligus merupakan sumber hukum untuk mengetahui terhadap warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan.

  a.

  Bagi Narapidana Agar dapat mengikuti pembinaan sesuai dengan sistem pembinaan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sehingga kelak tidak ditemui lagi pelanggaran dan perbuatan pidana selama menjalani masa pembinaan.

  2) Agar dapat menjalankan haknya sebagai narapidana dengan sebaik- baiknya.

  b.

  Bagi Lembaga Pemasyarakatan 1)

  Agar petugas-petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Tanjung Gusta Medan dapat lebih optimal dalam memberikan pembinaan pada narapidana.

  2) Agar kekurangan terhadap sarana dan prasarana yang ada pada

  Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan dapat diperbaiki untuk menunjang pembinaan narapidana dan warga binaan lainnya.

  c.

  Bagi Masyarakat 1)

  Agar masyarakat mengetahui bahwa Lapas merupakan bagian dalam sistem peradilan pidana yang berperan untuk membina setiap orang yang bersalah menurut hukum.

  2) Agar masyarakat mengetahui pola pembinaan narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan.

  3) Agar masyarakat dapat memahami dan menerima kembali setiap orang yang telah dididik dan bina di dalam Lembaga Pemasyarakatan seperti individu pada umumnya dan tidak memiliki prasangka buru dan diskriminatif.

  Penulisan skripsi yang berjudul Penjatuhan Sanksi Terhadap Narapidana yang Melakukan Tindak Pidana selama Menjalani Masa Hukuman menurut Hukum Pidana di Indonesia (Studi Lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas

  1 Tanjung Gusta Medan) merupakan hasil karya yang ditulis sendiri, yang mana sumbernya diperoleh dari berbagai peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum, media elektronik yang berhubungan dengan penulisan dalam skripsi ini beserta dengan data yang diperoleh dari hasil studi yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Tanjung Gusta Medan.

  Berdasarkan hasil penelusuran data kepustakaan Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa skripsi dengan judul Penjatuhan Sanksi Terhadap Narapidana Yang Melakukan Tindak Pidana Selama Menjalani Masa Hukuman Menurut Hukum Pidana di Indonesia, belum pernah ada yang pernah menulis sebelumnya.

  Adapun skripsi yang berkaitan dengan judul skripsi ini adalah: 1. : Nanang Dwi Hendras Wibowo

  Nama

  Judul : Sanksi Bagi Narapidana yang melakukan perkelahian Di Lembaga Pemasyarakatan ( Studi Kasus Di Lembaga Pemasyarakatan Sragen)

  Permasalahan : 1) Bagaimana proses pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan (narapidana) agar sesuai dengan fungsi dan tujuan Lembaga Pemasyarakatan?

  Faktor apakah yang mempengaruhi terjadinya perkelahian pada narapidana? 3)

  Bagaimana penyelasaian dan sanksi terhadap perkelahian narapidana di Lembaga Pemasyarakatan? Sumber : www.garuda.dikti.go.id 2. Nama : Eko Retno Mardan

  Judul : Implementasi Dan Eksistensi Hukuman Disiplin Bagi Narapidana (Studi Kasus Di Rumah Tahanan Negara Kelas II B Wonogiri).

  Permasalahan : 1) Bagaimanakah implementasi hukuman disiplin terhadap narapidana yang diterapkan dirumah tahanan negara Kelas IIB Wonogiri ?

  2) Bagaimanakah eksistensi hukuman disiplin terhadap narapidana yang diterapkan dirumah tahanan negara Kelas IIB Wonogiri?

  Sumber : www.garuda.dikti.go.id

F. Tinjauan Pustaka

  1. Pengertian Sanksi Di Indonesia, secara umum, dikenal sekurang-kurangnya tiga jenis sanksi hukum yaitu: a.

  Sanksi hukum pidana; b. Sanksi hukum perdata;

  28 Sanksi administrasi/administratif.

  Penetapan jenis dan bentuk sanksi pidana, sesungguhanya kebijakan

  29

  kriminal yang menurut pengguna atau penerapan metode yang rasional. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang dilakukan seseorang melalui

  30

  pengenaan penderitaan yang bersangkutan menjadi jera. Sanksi pidana sendiri diatur dalam pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Republik Indonesia, yaitu: a.

  Hukuman pokok, yang terbagi menjadi: 1)

  Hukuman mati 2) Hukuman penjara 3) Hukuman kurungan 4)

  Hukuman denda b. Hukuman-hukuman tambahan, yang terbagi menjadi:

  1) Pencabutan beberapa hak yang tertentu

  2) Perampasan barang yang tertentu

  3) Pengumuman keputusan hakim

  Hukum perdata merupakan hukum privat yang mengatur tentang kepentingan dari individu perindividu. Sanksi dalam hukum perdata dapat berupa: a.

  Kewajiban untuk memenuhi prestasi (kewajiban). 28

  akses pada tanggal 9 April 2015. 29 Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System Dan Implementasinya , Jakarta, PT Raja Grafindo, hal 15. 30 Ibid. Hal 17. b.

  Hilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru.

  Untuk sanksi administrasi/administratif, adalah sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat administratif. Umumnya sanksi administrasi/administratif berupa:

  a. Denda (misalnya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Administrasi Berupa Denda Di Bidang Kepabeanan );

  b. Pembekuan hingga pencabutan sertifikat dan/atau izin (misalnya yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubugan Republik Indonesia Nomor: KM 26 Tahun 2009 Tentang Sanksi Administrasi Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Keselamatan Penerbangan);

  c. Penghentian sementara pelayanan administrasi hingga pengurangan jatah produksi (misalnya yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor. P.39/MENHUT-II/2008 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi Terhadap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan).

  2. Pengertian Narapidana Narapidana adalah seorang individu yang divonis telah terbukti bersalah melakukan suatu perbuatan pidana. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12

  Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, narapidana merupakan terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas. Narapidana yang menjalani masa pembinaannya diberikan hak-hak tertentu sebagai narapidana dan tinyatakan secara tegas dalam undang-undang.

  Narapidana terdiri atas narapidana laki-laki dan naridana wanita. Setiap narapidana baik laki-laki maupun wanita merupakan naraidana yang telah dewasa

  31 menurut hukum. Pembinaan narapida wanita dilakukan di Lapas wanita.

  Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral, sosial, dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan aman. Narapidana

  32 diperlakukan sebagai subjek pembinaan dan diperlakukan secara manusiawi.

3. Pidana

  Istilah hukuman berasal dari kata straf yang merupakan istilah yang sering

  33

  digunakan sebagai sinonim dari istilah pidana. Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempenyai arti yang luas dan berubah- ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas.

  Hulsman berpendapat hakikat pidana adalah menyerukan untuk tertib (tot

  de orde roepen ); pidana pada hakikatnya mempunyai dua tujuan utama yakni

  untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinvloeding) dan penyelesaian

  34

  konflik (conflickstoplossing). Menurut Sudarto pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap 31 32 Ibid, pasal 12 ayat (2) . 33 Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta , 1995, hal. 36.

  Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, 2007, hal. 11. 34 Dwidja Priyatna, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara,Bandung,PT ReflikaAaditama , hal. 8. ketentuan undang-undang hukum pidana, sengaja agar dirasakan sebagai

  35 nestapa.

4. Tindak Pidana

  Tindak pidana (strafbaar feit) adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab (eene

  strafbar gestelde “onrechtmatig, met schuld in verband staaande handeling van

36 Van Hamel merumuskan bahwa strafbaar

  een toerekeningsvatbaar person ).

  feit adalah kelakuan orang (menselijk gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwardig) dan dilakukan

  37

  dengan kesalahan. Barda Nawawi Arief menyatakan tindak pidana secara umum dapat diartikan sebagai perbuatan melawan hukum baik secara formil maupun secara materil.

  5. Lembaga Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah tempat

  38 untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.

  Setiap narapidana yang ada di dalam Lapas tersebut harus dibina dengan menggunakan sistem pemasyarakatan yang telah ditetapkan. Secara umum lembaga pemasyarakatan memiliki sarana dan prasarana fisik yang cukup memadai bagi pelaksanaan pembinaan narapidana, seperti adanya sarana 35 36 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung,1981 , hal. 109-110.

  D. Simons, 1921, Leerboek van het Nederlandsche Strafrecht, Eerste Deel, Vier Drunk, P.Noordhoff, Groningen, hal.101 dalam buku Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia ,Rajawali Pers, 2013, hal.58. 37 38 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008 , hal 61.

  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan , Pasal 1 angka3. perkantoran, sarana perawatan (balai pengobatan), sarana peribadatan, sarana pendidikan dan perpustakaan (hanya beberapa Lapas), sarana kerja terdiri dari bengkel kerja dan tanah pertanian, sarana olah raga baik lapangan voli, bulu tangkis, tenis meja maupun sepak bola, saran sosial terdiri dari tempat kunjungan

  39 keluarga, aula pertemuan dan ruang konsultasi, sarana tranportasi (mobil dinas).

  Lapas merupakan

40 Departemen Kehakiman). Lapas sebagai salah satu wadah pembinaan

  narapidana, pada hakekatnya harus mampu berperan didalam pembangunan manusia seutuhnya sebagai wadah untuk mendidik manusia terpidana agar

  41 menjadi manusia yang berkualitas.

  42 Lembaga Pemasyarakatan secara sederhana, berfungsi sebagai: 1.

  Menerima terpidana yang telah diputus bersalah oleh pengadilan dengan pidana penjara;

  2. Melakukan pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan; 3.

  Melakukan berbagai upaya agar proses pembinaan dapat terlaksana dengan baik;

  4. Memproses pemberi remisi agar layak menerimanya; 5.

  Melakukan koordinasi dengan sub sistem kepolisian atau kejaksaan manakala terjadi peserta didik pemasyarakatan tengah menjalani proses pengadilan pidana; 6. Menerima dan meneruskan permintaan grasi; 7. Menyiapkan pembebasan apabila waktu menjalankan pidana penjara telah selesai;

  8. Menyiapkan pembebasan bersyarat; 9.

  Menjaga dan memenuhi hak-hak narapidana yang diatur berdasarkan 39 aturan Peraturan Perundang-Undangan.

  Josias Simon dan Thomas Sunaryo, Studi Lembaga Pemasyaralatan di Indonesia, CV. Lubuk Agung, Bandung, 2011, Hal.15. 40 akses pada tanggal 6 April

  2015. 41 42 Suwarto, Op.Cit, hal. 80.

  Eva Achjani Zulfa dan Indrianto Seno Adji, Op.Cit. hal 25-26. Penghuni lembaga pemasyarakatan merupakan maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh

  6. Pembinaan Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional,

  43 kesehatan jasmani, dan rohani narapidana dan anak didik narapidana.

  Narapidana adalah manusia yang masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan kearah perkembangan yang positif, yang mampu merubah seseorang untuk menjadi lebih produktif, menjadi lebih baik dari sebelum

  44

  menjalani pidana. Pembinaan narapidana, tidak hanya ditujukan kepada pembinaan spiritual saja, tetapi juga dalam bidang keterampilan. Sebab itu pembinaan narapidana juga dikaitkan dengan pemberian pekerjaan selama menjalani pembinaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pembinaan kegiatan secara berencana dan terarah untuk lebih menyempurnakan tata 45 hukum yang ada agar sesuai dng perkembangan masyarakat. Pembinaan juga 46 merupakan suatu proses yang berkelanjutan, bukan proses sepotong-sepotong.

  43 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Pasal 1 angka 1. 44 45 Harsono. Op.Cit. hal.43. 46 i akses pada tangga l 6 April 2015.

  Harsono, Op.Cit hal.37. Karena memiliki spesifikasi tertentu, maka dalam membina narapidana tidak dapat disamakan dengan kebanyakan orang. Membina narapidana harus menggunakan prinsip-prinsip pembinaan narapidana.

  Ada empat komponen penting dalam pembinaan narapidana, yaitu:

  1. Diri sendiri, yaitu narapidana itu sendiri; 2.

  Keluarga, adalah anggota keluarga inti, atau keluarga dekat.

  3. Masyarakat, adalah orang-orang yang berada disekeliling narapidana pada saat masi berada diluar Lembaga Pemasyarakatan/ Rutan, dapat masyarakat biasa, pemuda masyarakat, atau pejabat setempat. Petugas, dapat berupa petgas kepolisian, pengacara, petugas keagamaan, petugas sosial, petugas Lembaga Pemasyarakatan, Rutan,

  Balai Pemasyarakatan, Balai Bispa, Hakim Wasmat dan lain sebagainya. Keempat kompenen pembinaan narapidana, harus tahu akan tujuan pembinaan narapidana, perkembangan pembinaan narapidana, kesulitan yang dihadapi dan berbagai program serta pemecahan masalah.

  47 Pembinaan dilakukan di tempat yang telah disediakan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Pembinaan narapidana dapat dilakukan didua tempat.

  Pertama, di Lapas dan kedua diluar Lapas. Narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu dan telah mendapat ijin dari Kepala Lembaga Pemasyaratan, dapat ditempatkan di Lapas terbuka, jika narapidana bersedia.

  48 Tujuan dari

  pembinaan di luar Lapas adalah mengurangi dampak psikologis akibat dampak penjara, disamping juga supaya narapidana mendekatkan diri dengan masyarakat.

49 G. Metode Penelitian

  1. Jenis Penelitian Penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian deskriptif (Deskriptif

  

Research ) yaitu penelitian yang bersifat menemukan fakta-fakta yang ada (fact

47 Harsono, Op.Cit, hal. 51. 48 Ibid, Hal. 86. 49 Ibid, Hal 88.

  finding ). Penemuan gejala-gejala ini tidak sekedar menunjukkan distribusinya

  tetapi termasuk usaha mengemukakan hubungan satu sama lain dalam aspek - aspek yang sedang diteliti. Hubungan-hubungan yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan proses pemberian sanksi para narapida yang melakukan kejahatan di Lembaga Pemasyarakatan kelas 1Tanjung Gusta.

  Penelitian deskriptif tersebut dilakukan dengan langkah-langkah jelas dan tegas. Pendekatan masalah tersebut dilakukan melalui cara yuridis normatif dan yuridis empiris.

  a. Pendekatan yuridis normatif adalah membahas doktrin-doktrin atau asas-

  50

  asas dalam ilmu hukum. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap perundang-undangan dalam kerangka hukum nasional Indonesia sendiri. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif mengenai pengaturan pemberian sanksi disiplin dalam pembinaan narapidana. Hal ini ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan. Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Perundang-Undangan.

  Pendekatan tersebut melakukann pengkajian peraturan perundang- undangan yang berhubungan dengan proses pembinaan warga binaan 50 wanita.

  

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal. 24. b.

  Pendekatan empiris adalah penelitian terhadap identifikasi hukum (hukum

  51

  tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektivitas hukum. Pendekatan empiris, dilakukan dengan cara berhadapan dengan petugas pemasyarakatan yang menjadi objek penelitian untuk mengetahui efektivitas hukum yang berlaku ditengah-tengah masyarakat. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan studi lapangan yang dilakukan di Lembaga

  2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di lakukan di wilayah hukum, Lapas Kelas 1

  Tanjung Gusta, Medan Sumatera Utara. Lapas ini dijadikan tempat dilakukan penelitian dengan pertimbangan bahwa Lapas tersebut telah memenuhi kriteria yang dibutuhkan sebagai tempat dilakukannya penelitian.

  3. Sumber Data

  a) Data Primer

  Data primer adalah data yang diperoleh langsung melalui wawancara dan

  52 atau survei dilapangan yang berlakitan dengan perilaku masyarakata.

  Penelitian ini data diperoleh dari orang yang berhubungan langsung dengan obyek penelitian lapangan bersumber dari Lapas Kelas 1 Tanjung Gusta Medan.

  51 52 Ibid, hal 30.

  Ibid, hal.23 b) Data Sekunder

  53 Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan pustaka.

  Didalam penelitian hukum, data sekunder berfungsi untuk menerangkan bahan hukum primer.

  c) Data bahan tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan

  54

  terhadap bahan primer dan sekunder. Contoh bahan data tersier, yaitu

  4. Metode Pengumpulan Data Cara yang ditempuh untuk mengumpulkan data disesuaikan dengan jenis data yang diperlukan, antara lain : a.

  Studi kepustakaan (library research), yaitu dengan mengumpulkan data melalui literatur, buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti.

  b.

  Studi lapangan (field research) yaitu dengan melakukan kunjungan ke lokasi yang sedang diteliti di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan, melakukan wawancara terhadap Kepala bidang administrasi keamanan dan ketertiban dan anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan.

  5. Analisis Data Sesuai dengan prosedur penelitian yang ada, maka data yang telah terkumpul baik data teoritis maupun data hasil observasi/wawancara dan studi dokumen terhadap masalah yang sedang diteliti, kemudian dimanfaatkan dan 53 54 Ibid.

  Ibid. dianalisis dengan metode analisis kualitatif. Analisis Kualitatif yaitu pengolahan data yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat yang dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.

  Penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-

  55

  undangan. Analisis kualitatif dilakukan dengan membandingkan teori-teori diteliti terhadap fakta dari data yang diperoleh dalam penelitian. Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan pemecahan masalah dengan metode induktif yaitu mengambil kesimpulan dari fakta-fakta yang khusus untuk menarik kesimpulan secara umum, atau sebaliknya dengan menggunakan metode deduktif, yaitu dengan membuat kesimpulan secara khusus melalui kajian dan analisis terhadap fakta-fakta yang bersifat umum.

  Melalui metode-metode yang penulis kemukakan di atas, akhirnya ditarik suatu kesimpulan yang kemudian menjadi hasil penelitian ini.

H. Sistematika Penulisan

  Untuk memberikan gambaran secara keseluruhan dari skripsi ini penulis akan menguraikan sistematikanya. Skripsi ini terdiri dari V (Lima) bab, yaitu : Bab I : Pendahuluan. Bab ini adalah sebagai bab pengantar dari permasalahan, terdiri dari 7 (tujuh) sub bab yaitu latar belakang, permasalahan, keaslian penulisan, tujuan

55 Ibid, hal 105

  penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

  Bab II : Pengaturan Hukum Terhadap Proses Pembinaan Terhadap Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Bab ini diuraikan mengenai pengaturan-pengaturan hukum narapidana di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia yang masih berlaku. di Lembaga Pemasyarakatan. Bab ini menguraikan hal-hal apa saja yang menjadi faktor penyebab dilakukannya tindak pidana di Lembaga Pemasyarakatan, jenis sanksi yang diberikan pada narapidana dan hukuman yang diberikan beserta dengan tata cara pemberian hukumannya.

  Bab IV : Upaya penanggulangan yang dilakukan terhadap narapidana untuk menghindari terjadinya tindak pidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Tanjung Gusta Medan. Dalam bab ini di uraikan berbagai upaya pencegahan guna memcegah terjadinya kembali perbuatan-perbuatan tindak pidana baik melalui penanggulangan penal dan penanggulangan non penal.

  Bab V : Penutup, bab ini merupakan penutup dari keseluruhan materi skripsi yang terdiri dari 2 (dua) sub bab yaitu kesimpulan dan saran.

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum terhadap Penumpang sebagai Pengguna Jasa Angkutan Umum pada Pengangkutan Darat (Studi pada CV. PAS Transport)

0 0 11

BAB II TINJAUAN SECARA UMUM TENTANG PERJANJIAN - Perlindungan Hukum terhadap Penumpang sebagai Pengguna Jasa Angkutan Umum pada Pengangkutan Darat (Studi pada CV. PAS Transport)

0 0 40

1 BAB I PENDAHULUAN - Perlindungan Hukum terhadap Penumpang sebagai Pengguna Jasa Angkutan Umum pada Pengangkutan Darat (Studi pada CV. PAS Transport)

0 1 15

Perlindungan Hukum terhadap Penumpang sebagai Pengguna Jasa Angkutan Umum pada Pengangkutan Darat (Studi pada CV. PAS Transport)

0 0 10

BAB II ASURANSI DAN USAHA PERASURANSIAN A. Pengertian dan Pengaturan Asuransi dan Usaha Perasuransian - Pengaruh Keterlambatan Pembayaran Premi Terhadap Pengajuan Klaim Asuransi Pada PT. Sun Life Financial Indonesia Jakarta (Studi pada PT. Sun Life Financ

0 1 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengaruh Keterlambatan Pembayaran Premi Terhadap Pengajuan Klaim Asuransi Pada PT. Sun Life Financial Indonesia Jakarta (Studi pada PT. Sun Life Financial Indonesia Kantor Pusat Jakarta)

0 1 18

Pengaruh Keterlambatan Pembayaran Premi Terhadap Pengajuan Klaim Asuransi Pada PT. Sun Life Financial Indonesia Jakarta (Studi pada PT. Sun Life Financial Indonesia Kantor Pusat Jakarta)

1 1 10

BAB II PENGATURAN DAN PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP SEKTOR JASA KEUANGAN A. Latar Belakang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan - Analisis Yuridis Terhadap Pengurangan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Akibat dari Kepailitan

0 3 22

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Terhadap Pengurangan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Akibat dari Kepailitan

0 1 18

Penjatuhan Sanksi Terhadap Narapidana yang Melakukan Tindak Pidana Selama Menjalani Pembinaan Menurut Hukum Pidana di Indonesia (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan)

0 0 30