BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tablet 2.1.1. Tablet Secara Umum - Uji Disolusi Tablet Kalsium Laktat Produksi PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1. Tablet

  2.1.1. Tablet Secara Umum

  Tablet adalah sediaan padat, dibuat secara kempa cetak berbentuk rata atau cembung rangkap, umumnya bulat, mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan. Zat tambahan yang digunakan dapat berfungsi sebagai

  Tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya dibuat dengan penambahan bahan tambahan farmasetika yang sesuai. Tablet dapat berbeda-beda dalam ukuran, bentuk, berat, kekerasan, ketebalan, daya hancurnya, dan dalam aspek lainnya tergantung padacara pemakaian tablet dan metode pembuatannya. Kebanyakan tablet digunakan pada pemberian obat-obat secara oral dan kebanyakan dari tablet ini dibuat dengan penambahan zat warna, zat pemberi rasa dan lapisan-lapisan dalam berbagai jenis. Tablet lain yang penggunaannya dengan cara sublingual, bukal, atau melalui vagina, tidak boleh mengandung bahan tambahan seperti pada tablet yang digunakan secara oral. Banyak keuntungan tablet yang digunakan secara oral yang telah banyak diterangkan (Ansel, 2005).

  Tablet dibuat terutama dengan cara kompresi. Sejumlah tertentu dari tablet dibuat dengan mencetak secara kompresi menggunakan mesin yang mampu menekan bahan bentuk serbuk atau granul dengan menggunakan berbagai bentuk punch atau ukuran dan die. Alat kompresi tablet merupakan alat berat dibuat serta produksi rata-rata yang diinginkan. Tablet yang dicetak dibuat dengan tangan atau dengan alat mesin tangan, dengan cara menekan bahan tablet ke dalam cetakan, kemudian bahan tablet yang telah terbentuk dikeluarkan dari cetakan dan dibiarkan kering (Ansel, 2005).

  Jenis-jenis tablet adalah: − Tablet kompresi, yaitu tablet kompresi yang dibuat dengan sekali tekanan menjadi berbagai bentuk tablet dan ukuran, biasanya ke dalam bahan obatnya diberi tambahan sejumlah bahan pembantu seperti: pengisi, pengikat dan bahan tambahan lainnya.

  − Tablet kompresi ganda, yaitu tablet kompresi berlapis, dalam pembuatannya memerlukan lebih dari satu kali tekanan. Hasilnya menjadi tablet dengan beberapa lapisan atau tablet didalam tablet, lapisan dalamnya menjadi inti dan lapisan luarnya menjadi kulit.

  − Tablet salut selaput, yaitu tablet yang disalut dengan selaput tipis dari polimer yang larut atau tidak larut dalam air maupun membentuk lapisan yang meliputi tablet. − Tablet sublingual, yaitu tablet yang disisipkan di pipi dan dibawah lidah yang biasanya berbentuk datar, tablet oral yang direncanakan larut dalam kantung pipi atau dibawah lidah untuk diabsorpsi melalui mukosa oral. − Tablet kunyah, yaitu tablet kunyah lembut segera hancur ketika dikunyah atau dibiarkan melarut dalam mulut, menghasilkan dasar seperti krim dari mannitol yang berasa dan berwarna khusus (Ansel, 2005). Dalam pembuatan tablet, zat berkhasiat, zat-zat lain kecuali pelicin dibuat dengan baik maka dibuat granul agar mudah mengalir mengisi cetakan serta menjaga agar tablet tidak retak (Anief, 1994).

  Cara membuat granul ada 2 macam: 1.

  Cara basah Zat berkhasiat, zat pengisi dan zat penghancur dicampur baik-baik, lalu dibasahi dengan larutan bahan pengikat, bila perlu ditambah bahan pewarna. Setelah itu diayak menjadi granul, dan dikeringkan dalam almari memperoleh granul dengan ukuran yang diperlukan dan ditambahkan bahan pelicin dan dicetak menjadi tablet dengan mesin tablet.

2. Cara Kering

  Zat berkhasiat, zat pengisi, zat penghancur, bila perlu zat pengikat dan zat pelicin dicampur dan dibuat dengan cara kempa cetak menjadi tablet yang besar (slugging), setelah itu tablet yang terjadi dipecah menjadi granul lalu diayak, akhirnya dikempa cetak tablet yang dikehendaki dengan mesin tablet (Anief, 1994). Untuk pembuatan tablet diperlukan zat tambahan berupa: 1.

  Zat pengisi dimasukkan untuk memperbesar volume tablet. Biasanya digunakan Saccharum Lactis, Amylum Manihot, Calcii Phoshas, Calcii Carbonas dan zat lain yang cocok.

  2. Zat pengikat dimaksudkan agar tablet tidak pecah atau retak, dapat merekat. Biasanya yang digunakan adalah Mucilago, Gummi Arabici 10-20% (panas), Solutio Methylcelluiosum 5%.

  3. Zat penghancur, dimaksudkan agar tablet dapat hancur dalam perut.

  Biasanya yang digunakan adalah Amylum Manihot kering, Gelatinum, Agar-agar, Natrium Alginat.

  4. Zat pelicin, dimaksudkan agar tablet tidak lekat pada cetakan.

  Biasanya digunakan Talcum 5%, Magnesii Stearas, Acidum Stearinicum (Anief, 1994).

  2.1.2. Tablet Kalsium Laktat

  Persyaratan Kadar : Tidak kurang dari 94,0 % dan tidak lebih dari 106,0 % dari jumlah yang tertera pada etiket (Ditjen POM, 1995).

  Untuk uji disolusi menggunakan: − Media disolusi : 500 ml air ( Aquadest )

  : I (Keranjang) − Alat tipe − Kecepatan : 100 rpm : 45 menit (Ditjen POM, 1995).

  − Waktu Melakukan penetapan jumlah tablet Kalsium laktat yang terlarut seperti yang tertera pada etiket. Toleransi dalam waktu 45 menit harus larut tidak kurang dari

  75% (Q) C

  6 H

  10 CaO 6 .5H

  2 O dari jumlah yang tertera pada etiket(Ditjen POM, 1995).

2.2. Kalsium

  Kalsium terdapat sebanyak 99% dalam tulang kerangka dan sisanya dalam cairan antarsel dan plasma. Dalam bahan makanan terutama dalam susu dan telur, memerlukan adanya vitamin D dalam bentuk aktifnya, yaitu kalsitriol (Tjay dan Rahardja, 2007).

  Fungsinya selain sebagai bahan bangun bagi kerangka, juga sebagai pameran penting pada regulasi daya rangsang dan kontraksi otot serta penerusan impuls saraf. Lagi pula Ca mengatur permeabilitas membran sel bagi K dan Na dan mengaktivasi banyak reaksi enzim, seperti pada pembekuan darah (Tjay dan Rahardja, 2007).

  (osteomalasia) serta mudah terangsangnya saraf dan otot, dengan akibatserangan kejang (tetania). Dalam kebanyakan kasus kekurangannya disebabkan oleh defisiensi vitamin D dan terhambatnya reabsorbsi (Ca) kalsium (Tjay dan Raharjda, 2007).

  Tubuh kita mengandung lebih banyak kalsium daripada mineral lain. Diperkirakan 2% berat badan orang dewasa atau sekitar 1,0-1,4kg terdiri dari kalsium. Sebagian besar kalsium terkonsentrasi dalam tulang rawan dan gigi, sisanya terdapat dalam cairan tubuh dan jaringan lunak. Kalsium yang berada dalam sirkulasi darah dan jaringan tubuh berperanan dalam berbagai kegiatan, diantaranya untuk transmisi impuls saraf, kontaksi otot, penggumpalan darah, pengaturan permeabilitas membran sel, serta keaktifan enzim. Orang dewasa memerlukan 700 mg (0,7 gr) kalsium perhari, untuk anak-anak dibawah 10 tahun sebanyak 0,5 gr perhari (Winarno, 1995).

  Dalam keadaan normal sebanyak 30-50 % kalsium yang dikonsumsi diabsorbsi tubuh. Kemampuan absorbs lebih tinggi pada masa pertumbuhan dan daripada perempuan pada semua golongan usia. Kalsium membutuhkan pH 6 agar dapat berada dalam keadaan terlarut. Absorbsi kalsium terutama dilakukan secara aktif dengan menggunakan alat angkut protein pengikat kalsium. Kalsium hanya bisa diabsorbsi bila terdapat dalam bentuk larut air dan tidak mengendap karena unsur makanan lain seperti oksalat. Kalsium yang tidak diabsorbsi dikeluarkan melalui feses. Jumlah kalsium yang diekskresikan melalui urin mencerminkan jumlah kalsium yang diabsorbsi (Yuniastuti, 2008). adanya zat organik yang dapat bergabung dengan kalsium dan membentuk garam yang tidak larut. Contoh dari senyawa tersebut adalah asam oksalat dan asam fitat (Winarno,1995).

  Bila konsumsi kalsium menurun, dapat terjadi kekurangan kalsium yang dapat menyebabkan osteomalasia. Pada osteomalasia, tulang menjadi lunak karena matriksnya kekurangan kalsium. Sebab utama osteomalasia yang sesungguhnya adalah kekurangan vitamin D. Disamping itu, bila keseimbangan kalsium negatif, osteoporosis atau masa tulang menurun dapat terjadi. Hal ini disebabkan konsumsi kalsium rendah, absorbsi yang rendah, atau terlalu banyak kalsium yang terbuang bersama urin (Winarno, 1995).

2.3. Uji Disolusi

  Uji disolusi adalah uji yang digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tabletharus dikunyah (Ditjen POM, 1995).

  Uji disolusi pada dasarnya merupakan sarana fisik yang digunakan dalam pengembangan produk obat dan pengendalian mutu, tetapi kegunaannya tidak terbatas pada bidang tersebut saja. Pengujian tersebut telah diterapkan pada investigasi kesetaraan hayati sediaan obat dan kemungkinan diperluas penggunaannya dibidang lain di industri farmasi. Kegunaan uji disolusi adalah: 1.

  Uji disolusi digunakan untuk mengakomodasi kebutuhan nyata, guna memenuhi persyaratan resmi untuk sediaan yang tertera dalam farmakope.

  Uji disolusi merupakan suatu prosedur pengendalian mutu tetap dalam praktik manufaktur obat yang baik atau CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik).

  3. Data disolusi juga berguna dalam tahap awal pengembangan zat aktif dan formulasi. Dalam tahap awal pengembangan, peneliti dapat mengambil langkah untuk mengoptimasi karakteristik zat aktif dan bentuk sediaan yang akan mempengaruhi data disolusi.

  4. Uji disolusi berdasarkan bukti ilimah memberikan sarana untuk mengevaluasi parameter penting seperti memberikan informasi yangpenting untuk formulator dalam pengembangan bentuk sediaan yang mempunyai daya terapi yang lebih optimal.

  5. Untuk menyimpulkan bahwa kecepatan suatu zat aktif terlarut dari bentuk sediannya yang utuh atau pecahannya dalam saluran cerna sering sebagian atau seluruhnya mengendalikan kecepatan zat aktif berada dalam sirkulasi sistemik (Siregar, 2010).

  Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, suatu sediaan tablet diuji disolusinya disolusi hanya berlaku untuk sediaan tablet yang tertera dalam monografi tersebut. Sediaan tablet yang tidak tertera dalam Farmakope Indonesia Edisi IV tentu saja dapat diuji disolusinya dengan prosedur dan persyaratan yang ditetapkan sendiri oleh pabriknya atau laboratorium pengendalian mutu pabrik tersebut. Tablet kunyah tidak diuji disolusinya sebab harus dikunyah terlebih dahulu sebelum ditelan. Untuk tablet salut enterik, digunakan cara pengujian untuk sediaan lepas- lambat, kecuali dinyatakan lain (Siregar, 2010). dan dibiarkan mencapai temperatur 37ºC ±0,5ºC. Kemudian satu tablet yang diuji dicelupkan kedalam bejana atau ditempatkan kedalam keranjang dan pengaduk diputar dengan kecepatan seperti yang ditetapkan dalam monografi. Tablet harus memenuhi persyaratan seperti yang terdapat dalam monografi untuk kecepatan disolusi. Dengan bertambahnya perhatian pada pengujian disolusi dan penentuan bioavailabilitas dari obat dengan bentuk sediaan padat menuju pada pendahuluan dari sistem yang sempurna bagi analisis dan pengujian disolusi tablet (Ansel, 2005).

  Disolusi dari suatu zat bisa digambarkan oleh persamaan Noyes-Whitney:

  dc

  = KS (C

  S – C) dt

  Dimana: dc/dt = laju disolusi K = konstanta laju disolusi S = luas permukaan zat padat yang melarut C S = konsentrasi obat dalam lapisan difusi

  Pada tahun 1940, diyakini bahwa obat akan diabsorbsi secara efisien oleh tubuh bila sediaan hancur (terdisintegrasi) menjadi agregat kecil ketika diekspose terhadap cairan. Asumsi ini mendorong pengembangan pengujian kehancuran. Akan tetapi, dalam kenyataannya data yang berasal dari pengujian jarang terkait dengan ketersediaan hayati. Pada akhir tahun 1960-an, diketahui bahwa data disolusi harus ditentukan dengan meneliti kecepatan melarut dari sediaan obat (Agoes, 2008).

  1. Metode keranjang (Basket) Metode ini menggunakan alat yang terdiri dari sebuah wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan lainnya yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan keranjang berbentuk silinder. Dianjurkan wadah berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160-175 mm, diameter dalam 96-106 mm dan kapasitas nominal 1000 ml. Komponen batang logam dan keranjang merupakan bagian dari pengaduk yang terbuat dari baja tahan karat tipe 316 dan menggunakan kasa 40 mesh. Jarak antar dasar bagian dalam wadah dan keranjang adalah 25 mm ±2 mm selama pengujian berlangsung (Ditjen POM, 1995).

  2. Metode dayung Metode ini menggunakan alat yang hampir sama dengan metode keranjang, bedanya metode ini menggunakan dayung yang terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan pada jarak 25 mm ±2 mm antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung. Batang dan daun terbuat dari baja tahan karat tipe 303. Sediaan dibiarkan tenggelam kedasar wadah sebelum dayung mulai berputar. Sepotong kecil bahan yang tidak bereaksi seperti gulungan kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan (Ditjen POM, 1995).

  Media disolusi menggunakan pelarut yang tertera pada monografi, bila media 0,05 satuan pH yang tertera pada monografi (Ditjen POM, 1995).

  Idealnya, medium disolusi diformulasikan sedekat mungkin dengan pH in vivo yang diantisipasi. Sebagai contoh, medium disolusi yang didasarkan pada 0,1 N HCl digunakan untuk menurunkan pH yang mendekati pH lambung. Hal ini disebabkan pH lambung manusia berada disekitar nilai 1-3. Cairan disolusi lambung dapat pula digunakan. Makanan dapat meningkatkan pH lambung sampai 3-5 (Agoes, 2008).

  Beberapa cairan disolusi Farmakope berada pada pH netral, walaupun dalam kenyatannya apabila tablet ditelan akan berada atau mencapai pH rendah lambung. Penggunaan surfaktan dan enzim dapat dipakai sebagai perkiraan kasar cairan intestinal walaupun surfaktan ditambahkan untuk meningkatkan kelarutan obat secara solubilisasi miselar (Agoes, 2008).

  Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel Dalam hal ini dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 2005).

  Laju disolusi diatur oleh laju difusi molekul-molekul zat terlarut melewati lapisan difusi ke dalam badan dari larutan tersebut. Untuk suatu obat tertentu, koefisien difusi dan biasanya konsentrasi dari obat tersebut dalam lapisan difusi akan meningkat dengan meningkatnya temperature, juga dengan menaikkan laju Pengurangan viskositas pelarut yang dipakai merupakan cara lain yang bisa digunakan untuk menambah laju disolusi dari suatu obat. Perubahan pH atau sifat pelarut yang mempengaruhi kelarutan dari obat laju disolusi. Banyak pembuat menggunakan bentuk amorf, kristal, garam atau ester yang khusus dari suatu obat yang akan mencapai karakteristik disolusi yang dikehendaki bila diberikan (Ansel, 2005).

  Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat yang diabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan, proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorpsi. Perlahan-lahan obat-obat yang larut tidak hanya bisa diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi stelah pemberian oral, saluran usus halus. Dengan demikian, obat-obat yang sukar larut atau produk obat yang formulasinya buruk bisa mengakibatkan absorpsi tidak sempurna dariobat tersebut serta lewatnya dalam bentuk tidak berubah keluar sistem melalui feses (Ansel, 2005).

2.4.Titrasi Kompleksometri

  Reaksi-reaksi kesetimbangan pembentukan kompleks banyak digunakan dalam titrimetri. Cara titrimetri ini didasarkan pada kemampuan ion-ion logam cara ini sering disebut titrasi kompleksometri. Atas dasar ini, sejumlah cara titrasi untuk menentukan kadar ion-ion logam dalam cuplikan telah dikembangkan oleh para ahli (Rivai, 1995).

  Dewasa ini, pereaksi yang paling sering digunakan dalam titrasi kompleksometri adalah ligan bergigi banyak, yaitu asam etilendiamina-tetra-asetat (EDTA). Tetapi sebelum EDTA diperkenalkan dalam pemeriksaan kimia, cara titrasi yang didasarkan pada pembentukan kompleks sangat terbatas dalam

  • pemeriksaan kimia adalah ion sianida (CN ), karena sifatnya yang dapat membentuk kompleks yang mantap dengan ion perak dan ion nikel. Dengan ion perak, ion sianida membentuk senyawa kompleks perak-sianida (Ag(CN)

  2 ), 2-

  sedangkan dengan ion nikel membentuk nikel-sianida (Ni(CN) ) . Kendala yang

  4

  membatasi pemakaian ion sianida dalam titrimetri adalah bahwa ion ini membentuk kompleks secara bertahap dengan ion logam lantaran ion ini merupakan ligan bergigi satu (Rivai, 1995).

  Pada titrasi kompleksometri (terutama yang melibatkan EDTA), pH sangat sampai 1 satuan pH bahkan sampai 0,5 satuan pH. Untuk ini suatu buffer diperlukan, namun agar kerja buffer sesuai yang dikehendaki maka larutan yang akan ditambahkan ke buffer harus benar-benar netral, penetralan larutan harus tidak menyebabkan terjadinya pengendapan pada pH buffer terutama jika larutan asam dinetralkan dengan basa (Mulyono, 2006).

  Untuk mendeteksi titik akhir titrasi digunakan indikator zat warna. Indikator zat warna ditambahkan pada larutan logam pada saat awal sebelum dilakukan Pada saat titik akhir titrasi (ada sedikit kelebihan EDTA) maka kompleks indikator logam akan pecah dan menghasilkan warna yang berbeda. Indikator yang dapat digunakan untuk titrasi kompleksometri ini antara lain: Eriochrom T, mureksid, jingga pirokatekol, jingga xilenol, asam kalkon karbonat, kalmagit dan biru hidroksi naftol (Rohman, 2007).

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Konsumen atas Informasi yang Tidak Benar Mengenai Undian Berhadian pada Kegiatan Perbankan (Studi Pada Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Cabang Medan)

0 0 18

Pola Kromatografi Dan Uji Aktivitas Antibakteri Dari Ekstrak Dan Fraksi Kulit Buah Petai (Parkia Speciosa Hassk.) Sebagai Antidiare

0 0 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Air - Perbandingan Poly Aluminium Chloride (Pac) Dan Alum (Tawas) Dalam Mempertahankan Ph Pada Air Sungai Belawan Di Pdam Hamparan Perak

0 0 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Singkong - Analisis Kadar Timbal(Pb) Pada Tepung Tapioka Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air - Pemeriksaan Kadar Besi (Fe) dan Mangan (Mn) Pada Air Minum Isi Ulang Secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) di Balai Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 13

BAB II KAJIAN TEORITIS A.Kinerja 1. Pengertian - Pengaruh Kemampuan dan Motivasi Terhadap Kinerja Guru SMP di Yayasan Pendidikan X

0 0 18

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengaruh Kemampuan dan Motivasi Terhadap Kinerja Guru SMP di Yayasan Pendidikan X

0 0 15

BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1. Tablet - Uji Disolusi Kalium Diklofenak Dalam Sediaan Tablet Menggunakan Metode Spektrofotometri Ultraviolet

0 1 12

2.1.1 Pencemaran Air - Efektivitas Koagulan PAC (Poly Aluminium Chloride) dan Tawas (Alum) Terhadap Logam Nitrit (NO2) Pada Air Baku PDAM Tirtanadi Hamparan Perak

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asetaminofen (Parasetamol) - Penetapan Kadar Bahan Baku Parasetamol Yang Digunakan Pt. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan Secara Hplc (High Performance Liquid Chromatography)

0 0 12