Dampak Standardisasi Barang Bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah Dan Koperasi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

(1)

BAB II

ASPEK HUKUM STANDARDISASI BARANG DI INDONESIA

A.Sejarah Standardisasi di Indonesia

Dewasa ini standardisasi secara terbuka diakui berperan dan berfungsi sebagai aktivitas yang memiliki dimensi luas, tidak semata-mata teknis menyangkut penetapan spesifikasi atau persyaratan-persyaratan pada barang dan jasa. Standardisasi telah menjadi solusi untuk merespon isu-isu global, seperti: perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan, ketahanan energi, air bersih, pangan, dan lainnya. Kontribusi standardisasi menyentuh berbagai bidang, seperti: keamanan dan keselamatan produk, pelayanan konsumen, perdagangan, pangan, energi, transportasi, konstruksi, teknologi informasi, perlindungan kerahasiaan pribadi, tanggung jawab sosial, kesehatan dan lingkungan.

Kegiatan standardisasi di Indonesia bisa dikatakan sudah berlangsung cukup panjang. Sejak masa kolonial, kegiatan standardisasi telah berperan dalam kegiatan pembangunan seperti pembangunan jalan raya, kereta api, pelabuhan, pembukaan areal perkebunan, jaringan irigrasi, pendirian pabrik gula dan sebagainya. Di tahun 1928, dibentuk lembaga di bidang standardisasi yang fokus pada penyusunan standar untuk bahan bangunan, alat transportasi dilanjutkan dengan standar instalasi listrik dan persyaratan jaringan distribusi listrik. Lembaga tersebut adalah Stichting Fonds


(2)

voor de Normalisatie in Nederlands Indie dan Normalisatie Raad yang berkedudukan di Bandung.27

Setelah kemerdekaan sejumlah peristiwa penting dapat dicatat menyangkut kegiatan standardisasi. Di tahun 1951, dilakukan perubahan anggaran dasar Normalisatie Raad dan melalui perubahan itu dibentuk Yayasan Dana Normalisasi Indonesia (YDNI). YDNI bertindak sebagai wakil Indonesia menjadi anggota International Organization for Standardization (ISO) di tahun 1955 dan juga mewakili Indonesia sebagai anggota International Electrotechnical Commission (IEC) di tahun 1966.28

Pada tahun 1961, diterbitkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 yang dikenal dengan nama Undang-Undang Barang. Undang-undang ini memang tidak menyebut mengenai standar, namun di dalamnya secara tegas menyatakan hal-hal terkait standar, yaitu: susunan bahan, bentuk dan kegunaan dari barang, penyelidikan/pemeriksaan/pengawasan barang mengenai sifat, susunan bahan, bentuk kegunaan, pengolahan, penandaan serta kemasannya, kemasan barang, serta sifat susunan bahan, bentuk dan pemakaian alat kemasan.29

Pemerintah menyadari fungsi strategis standardisasi dalam menunjang pembangunan nasional. Ini ditandai dengan ditetapkan program Pengembangan sistem nasional untuk standardisasi sebagai prioritas pada tahun 1973. Pada tahun

27

Badan Standardisasi Nasional, “RUU SPK Jangan Sampai Kehilangan Momentum,” SNI Valuasi No.1, 2014, hlm. 6.

28

Ibid. 29


(3)

1976 dibentuk Panitia Persiapan Sistem Standardisasi Nasional. Pada tahun 1984 dengan SK Presiden RI dibentuk Dewan Standardisasi Nasional dengan tugas pokok menetapkan kebijakan standardisasi, melaksanakan koordinasi dan membina kerjasama di bidang standardisasi nasional.30

Kegiatan standardisasi di tanah air semakin mendapat tempat dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1997 mengenai Badan Standardisasi Nasional (selanjutnya disebut dengan BSN). Keppres tersebut merupakan dasar hukum lahirnya kelembagaan BSN. Melalui Keppres tersebut, dinyatakan bahwa BSN bertugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan di bidang standardisasi, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk meningkatkan pengembangan dan pembinaan standardisasi di Indonesia, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.

Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1997 mengenai Badan Standardisasi Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional merupakan pilar hukum penting bagi kegiatan standardisasi di tanah air. Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut kegiatan standardisasi tidak dilaksanakan secara sektoral, kegiatan standardisasi dilaksanakan oleh berbagai kementerian, seperti: Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta beberapa lembaga atau instansi

30


(4)

pemerintah, seperti: LIPI, BATAN, Biro Klasifikasi Indonesia dan beberapa asosiasi.31

Negara Indonesia telah mengikatkan diri dalam kerjasama perdagangan bebas di antaranya: ASEAN Free Trade Area (AFTA), China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA), dan ASEAN Economic Community (AEC). Di bawah kerjasama tersebut, arus pasar bebas dipastikan sudah tidak dapat dibendung lagi dan beragam produk akan bebas keluar masuk batas wilayah antar negara tanpa dapat dicegah. Sementara perlindungan dengan penetapan tarif sudah ditiadakan, yang ada untuk melindungi dari serbuan tersebut adalah penetapan non-tarif. Salah satu parameter non-tarif adalah standardisasi. Standardisasi menduduki peran dan arti penting yang vital dalam perdagangan bebas.

Harus diakui bahwa perdagangan bebas memiliki dinamika yang kompleks. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Indonesia, sebagai dasar hukum kegiatan standardisasi. Peraturan pemerintah ini dinilai belum mampu menyelesaikan permasalahan di bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian yang telah berkembang pesat. Untuk itu, kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian perlu diatur dalam suatu undang-undang yang menjamin adanya koordinasi, sinkronisasi dan harmonisasi, sehingga upaya standardisasi dan penilaian kesesuaian di Indonesia dapat dilakukan secara efisien, efektif, terpadu dan terorganisasi.

31


(5)

Undang-Undang Perdagangan lahir pada tahun 2014. UU Perdagangan ini dirasakan banyak pihak sangat penting dalam masa perdagangan bebas yang semakin berkembang. Dalam undang-undang ini terdapat pengaturan mengenai standardisasi. Pengaturan standardisasi terdapat pada Bab VII Bagian Kesatu tentang Standardisasi Barang Pasal 57 sampai dengan Pasal 59 serta Bagian Kedua tentang Standardisasi Jasa Pasal 60 sampai dengan Pasal 64. Meskipun tidak mengatur secara rinci terkait standardisasi, namun secara eksplisit undang-undang ini mengharuskan adanya standardisasi terhadap barang maupun jasa dalam proses perdagangan di Indonesia.

UU SPK lahir sebagai payung hukum standardisasi di Indonesia. Arti penting UU SPK adalah untuk memajukan kesejehteraan umum, melindungi kepentingan negara dan keselamatan, keamanan. Selain itu, juga akan melindungi kesehatan warga negara, perlindungan flora dan fauna serta pelestarian fungsi lingkungan hidup. Standardisasi dan penilaian kesesuaian merupakan salah satu alat untuk meningkatkan mutu, efesiensi produksi. Bahkan dengan standardisasi mampu memperlancar transaksi perdagangan, mewujudkan persaingan usaha yang sehat dan transparan.

B.Pengertian, Proses, dan Jenis Standardisasi

1. Pengertian standardisasi

Sepanjang sejarah manusia, penemuan dan penerapan teknologi telah didampingi dengan perkembangan standar. Pengertian dasar dari standar teknis yaitu persetujuan mengenai bentuk dan karakteristik dari suatu teknologi dapat


(6)

diperbandingkan. Standar didukung oleh kesesuaian dan perbedaan. Standar tidak dapat dielakkan dimana berbagai aspek dan kualiatas dari barang diperlukan. Standar juga dapat menjadi kodifikasi dari berbagai pengalaman teknologi.32

Makna kata standar dalam bahasa Indonesia pada dasarnya merupakan sebuah dokumen yang berisikan persyaratan tertentu yang disusun berdasarkan consensus oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan disetujui oleh suatu lembaga yang telah diakui bersama. Definisi standar dan standardisasi yang digunakan BSN diacu dari Pasal 1 UU SPK adalah sebagai berikut :

Standar adalah persyaratan teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak/Pemerintah/ keputusan internasional yang terkait dengan memperhatikan syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta perkembangan masa kini dan masa depan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.33

Standardisasi adalah proses merencanakan, merumuskan, menetapkan, menerapkan, memberlakukan, memelihara, dan mengawasi Standar yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua Pemangku Kepentingan.34

Definisi sesuai ISO/IEC Guide 2: 2004adalah sebagai berikut :35

“Standard is A document, established by consensus and approved by a recognized body, that provides, for common and repeated use, rules, guidelines or characteristics for activities or their results, aimed at the achievement of the optimum degree of order in a given context.”

32

M.Spifak Steven, F Cecil Brenner, Standardization Essential, Principle and Practice, (New York: Marcel Dekker Inc, 2001), hlm. 1.

33

Pasal 1 angka 3 UU SPK. 34

Pasal 1 angka 1 UU SPK. 35


(7)

Standardization is (The) activity of establishing, with regard to actual or potential problems, provisions for common and repeated use, aimed at the achievement of the optimum degree of order in a given context.

Terjemahan bebas :

Standar adalah Sebuah dokumen yang berisikan persyaratan tertentu yang disusun berdasarkan konsensus oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan disetujui oleh suatu lembaga yang telah diakui bersama.

Standardisasi adalah kegiatan merumuskan, berkaitan dengan masalah aktual atau potensial, ketentuan untuk pemakaian umum dan berulang, yang bertujuan untuk pencapaian derajat keteraturan optimum dalam konteks tertentu.

Dari berbagai pengertian diatas, dapat ditarik unsur-unsur terkait dengan standardisasi yaitu :

a. proses standardisasi; b. standar sebagai objek; c. pemangku kepentingan.

Standar dibuat sebagai alat untuk tukar menukar informasi, memastikan kualitas, dan mencapai keinginan publik. Sebagai contoh persyaratan standar emisi dan bensin dapat memberikan kontribusi agar udara tidak terpolusi. Standar dapat meningkatkan alur informasi antara produsen dan konsumen melalui karakteristik dan kualitas produk, sehingga dapat memfasilitasi transaksi dalam pasar. Proses standardisasi dapat mengurangi biaya yang tidak dapat diprediksi. Standar berguna bagi konsumen untuk membandingkan barang-barang yang memiliki kesamaan karakteristik. Selain itu standar juga berguna untuk meningkatkan elastisitas barang substitusi diantara produk yang sejenis.


(8)

2. Proses Standardisasi

Proses Standarisasi diatur secara jelas dalam UU SPK yang meliputi : a. Tahap Perencanaan

Perencanaan perumusan SNI disusun dalam suatu Program Nasional Perumusan Standar (selanjutnya disebut dengan PNPS) yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala BSN.36 PNPS tersebut memuat program perumusan SNI dengan judul SNI yang akan dirumuskan beserta pertimbangannya.37 PNPS sebagaimana disusun dengan memperhatikan: 38

1) kebijakan nasional Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian; 2) perlindungan konsumen;

3) kebutuhan pasar;

4) perkembangan Standardisasi internasional; 5) kesepakatan regional dan internasional; 6) kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi; 7) kondisi flora, fauna, dan lingkungan hidup;

8) kemampuan dan kebutuhan industri dalam negeri; 9) keyakinan beragama; dan

10) budaya dan kearifan lokal.

36

Pasal 10 ayat (1) UU SPK. 37

Pasal 10 ayat (2) UU SPK. 38


(9)

Penyusunan PNPS dilakukan setiap tahun oleh BSN bersama-sama dengan pemangku kepentingan.39 Dalam rangka meningkatkan mutu barang dan/atau jasa unggulan daerah, Pemerintah Daerah dapat mengajukan rencana perumusan SNI kepada BSN.40

b. Tahap perumusan

Perumusan SNI didasarkan pada PNPS yang dilakukan dengan memperhatikan waktu penyelesaian yang efektif dan efisien.41 Dalam hal keadaan luar biasa atau terjadinya bencana alam, atau untuk kepentingan nasional, kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian dapat mengusulkan perumusan SNI yang tidak termasuk dalam PNPS pada tahun berjalan.42 Usulan perumusan SNI disampaikan kepada BSN dengan disertai penjelasan yang mendukung.43 SNI dirumuskan dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya, kepentingan nasional, hasil penelitian, inovasi, dan/atau pengalaman.44 Dalam hal terdapat standar internasional, SNI dirumuskan selaras dengan standar internasional melalui: 45

1) Adopsi standar internasional dengan mempertimbangkan kepentingan nasional untuk menghadapi perdagangan global atau

39

Pasal 10 ayat (4) UU SPK. 40

Pasal 10 ayat (5) UU SPK. 41

Pasal 12 ayat (1) UU SPK. 42

Pasal 12 ayat (3) UU SPK. 43

Pasal 12 ayat (4) UU SPK. 44

Pasal 13 ayat (1) UU SPK. 45


(10)

2) Modifikasi standar internasional disesuaikan dengan perbedaan iklim, lingkungan, geologi, geografis, kemampuan teknologi, dan kondisi spesifik lain.

3) Untuk kepentingan nasional, SNI dapat dirumuskan tidak selaras dengan standar internasional.

Hasil perumusan SNI berupa rancangan SNI.46 Dalam melaksanakan perumusan SNI, BSN membentuk komite teknis yang terdiri atas unsur: 47

a) pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah; b) pelaku Usaha dan/atau asosiasi terkait; c) konsumen dan/atau asosiasi terkait; dan d) pakar dan/atau akademisi.

Pembentukan dan ruang lingkup serta susunan keanggotaan komite teknis ditetapkan dengan Keputusan Kepala BSN.48 BSN melakukan jajak pendapat atas rancangan SNI yang dirumuskan oleh komite teknis.49 Masyarakat dapat memberikan masukan terhadap rancangan SNI yang akan menjadi bahan pertimbangan bagi komite teknis.50

46

Pasal 14 ayat (2) UU SPK. 47

Pasal 14 ayat (4) UU SPK. 48

Pasal 14 ayat (5) UU SPK. 49

Pasal 15 ayat (1) UU SPK. 50


(11)

c. Tahap penetapan

Rancangan SNI ditetapkan menjadi SNI dengan Keputusan Kepala BSN.51 SNI dipublikasikan melalui sistem informasi Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.52

d. Tahap penerapan dan pemberlakuan

Penerapan SNI dilakukan dengan cara menerapkan persyaratan SNI terhadap barang, jasa, sistem, proses, atau personal.53 Penerapan dilaksanakan secara sukarela atau diberlakukan secara wajib.54 Penerapan SNI dibuktikan melalui pemilikan sertifikat dan/atau pembubuhan tanda SNI dan/atau tanda kesesuaian.55

e. Pemeliharaan

Pemeliharaan SNI dilakukan untuk: 56

1) menjaga kesesuaian SNI terhadap kepentingan nasional dan kebutuhan pasar;

2) mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, inovasi, dan teknologi; 3) menilai kelayakan dan kekiniannya; dan

4) menjamin ketersediaan SNI.

Pemeliharaan SNI dapat dilakukan melalui kaji ulang SNI.57 Kaji ulang SNI dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun setelah ditetapkan.58

51

Pasal 17 UU SPK.

52

Pasal 18 UU SPK. 53

Pasal 20 ayat (1) UU SPK. 54

Pasal 20 ayat (2) UU SPK. 55

Pasal 20 ayat (3) UU SPK. 56


(12)

f. Penelitian dan pengembangan

Dalam rangka perencanaan, perumusan, penerapan dan pemberlakuan, serta pemeliharaan SNI, BSN dan/atau kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian lainnya secara bersama-sama atau sendiri-sendiri dapat melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan standardisasi.59

Semua proses standardisasi diatas diatur lebih rinci dengan peraturan pemerintah.

3. Jenis standardisasi

Dalam UU SPK tidak menerangkan secara jelas terkait dengan jenis standardisasi, namun pada pasal 4 UU SPK mengatakan bahwa : “standardisasi dan penilaian kesesuaian berlaku terhadap barang, jasa, sistem, proses, atau personal.” Dalam pasal tersebut terdapat pembatasan bidang yang dapat dilakukan proses standardisasi dan penilaian kesesuaian. Dengan kata lain pasal tersebut telah merumuskan jenis standardisasi. jenis standardisasi yang dimaksud adalah :

a. Standardisasi barang

Standardisasi barang merupakan proses merencanakan, merumuskan, menetapkan, menerapkan, memberlakukan, memelihara, dan mengawasi Standar terhadap barang yang beredar dalam perdagangan yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan. Dalam hal ini, Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud,

57

Pasal 28 ayat (1) UU SPK. 58

Pasal 28 ayat (2) UU SPK. 59


(13)

baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.60

b. Standardisasi jasa

Standardisasi jasa merupakan proses merencanakan, merumuskan, menetapkan, menerapkan, memberlakukan, memelihara, dan mengawasi standar terhadap jasa dalam perdagangan yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan. Dalam hal ini, jasa adalah setiap layanan dan unjuk kerja berbentuk pekerjaan atau hasil kerja yang dicapai, yang disediakan oleh satu pihak ke pihak lain dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.61

c. Standardisasi sistem

Standardisasi sistem merupakan proses merencanakan, merumuskan, menetapkan, menerapkan, memberlakukan, memelihara, dan mengawasi standar terhadap sistem yang ada dalam perdagangan yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan. Dalam hal ini, sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan untuk menjalankan suatu kegiatan.62

60

Pasal 1 angka 12 UU SPK. 61

Pasal 1 angka 13 UU SPK. 62


(14)

d. Standardisasi proses

Standardisasi proses merupakan proses merencanakan, merumuskan, menetapkan, menerapkan, memberlakukan, memelihara, dan mengawasi standar terhadap proses yang ada dalam perdagangan yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan. Dalam hal ini, proses adalah rangkaian tindakan, perbuatan, atau pengolahan yang mengubah masukan menjadi keluaran.63

e. Standardisasi personal

Standardisasi personal merupakan proses merencanakan, merumuskan, menetapkan, menerapkan, memberlakukan, memelihara, dan mengawasi standar terhadap personal yang ada dalam perdagangan yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan. Dalam hal ini, personal adalah perseorangan yang bertindak untuk diri sendiri yang berkaitan dengan pembuktian kompetensi.64

Untuk membuat SNI tidak hanya mengklasifikasikan standardisasi namun juga terdapat jenis/tipe standar, antara lain :

65

a. Standar istilah (vocabulary standards) seperti glosari, lambang dan tanda Standar istilah mencakup glosari dan definisi istilah. Standar ini bertujuan untuk memberikan pengertian seragam mengenai istilah yang digunakan dalam berbagai standar. Seringkali suatu standar memuat juga uraian mengenai istilah

63

Pasal 1 angka 15 UU SPK. 64

Pasal 1 angka 16 UU SPK. 65


(15)

yang digunakan dalam standar tersebut atau bila sudah ada suatu glosari tersendiri maka cukup dengan mengacu glosari tersebut. ISO telah menerbitkan sekitar 150 kosa kata (vocabulary). Sebagai contoh: kosa kata untuk industri plastik, industri refraktori (bahan tahan api), pemrosesan informasi dan untuk kertas dan lain-lain. Demikian pula IEC, telah menerbitkan kosa kata mencakup lebih dari 8,500 istilah dan definisi. Lambang dan tanda, mudah diterima dan merupakan cara canggih untuk mengatasi masalah perbedaan bahasa. Sebagai contoh: tanda lalu lintas, tanda di jalan tol atau di lapangan terbang. Di bidang “bahasa teknik” (bidang teknik menggambar) telah tersedia standar seperti: menggambar teknik, ukuran kertas gambar teknik, menggambar sambungan las; penyelesaian permukaan dan lain-lain.

b. Standar dasar

Standar dengan ruang lingkup yang luas atau yang memuat ketentuan umum untuk satu bidang tertentu. Contoh: standar pengujian sifat mekanik dan lain-lain. Standar dasar besaran fisik adalah suatu bentuk fisik/benda yang diwujudkan dari definisi satuan-satuan dasar bagi besaran panjang, massa, waktu, arus listrik, suhutermodinamika, kuat cahaya dan kuantitas zat (satuan SI).

c. Standar produk

Standar ini merupakan standar yang sangat banyak digunakan. Jenis standar ini mencakup: persyaratan yang harus dipenuhi oleh produk, material setengah jadi dan material; pedoman untuk produksi, pemprosesan, penjualan, pembelian dan


(16)

penggunaan produk; dimensi, kinerja, metode sampling, metode pengujian, cara pengemasan dan cara penandaan. Standar spesifikasi memuat tiga kategori persyaratan, yaitu persyaratan wajib (karakteristik yang diperlukan untuk memastikan daya guna suatu produk); persyaratan bersifat rekomendasi (berguna untuk meningkatkan daya pakai produk atau untuk memenuhi persyaratan spesifik bagi pelanggan khusus) dan persyaratan yang bersifat informatif belaka.

d. Standar untuk metode pengujian dan analisa dan inspeksi metode sampling dan inspeksi seringkali sudah dicakup dalam suatu standar spesifikasi tertentu. Namun disamping itu ada standar terpisah seperti standar pengambilan contoh untuk komoditi curah seperti terigu, semen, beras, bijih besi dan batu bara. Metode pengujian dan analisis seringkali sudah dicakup dalam suatu standar spesifikasi tertentu. Namun disamping itu ada standar terpisah seperti standar pengujian sampel air, peralatan listrik, bahan pelumas dsbnya. Metode grading kadang-kadang dicakup dalam suatu standar spesifikasi tertentu. Tetapi untuk berbagai jenis material curah atau material setengah jadi terdapat metode grading terpisah; untuk grade umumnya dipakai notasi Grade A, Grade B dan sebagainya atau Kelas 1, Kelas 2 dan seterusnya untuk menggambarkan hirarki grade secara individual. Persyaratan pengemasan dan penandaan dapat menjadi bagian dari standar atau merupakan standar yang terpisah. Telah ada standar untuk berbagai jenis material pengemasan seperti kertas kantong, karton, plastik


(17)

(tetrapack) dll. Untuk kemasan sendiri seperti kaleng makanan dan minuman, drum, tabung gas, dsbnya telah tersedia standar tersendiri.

e. Standar dengan focus pada organisasi, seperti logistic, pemeliharaan, manajemen inventaris, manajemen mutu, manajemen proyek dan manajemen produksi tersedia standar seperti: QMS ISO 9000 (Manajemen mutu); EMS ISO 14000 (Manajemen lingkungan), OHSAS 18000 (Spesifikasi untuk sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja); HACCP; QS 9000 (Sistem manajemen untuk pemasok otomotif) dsbnya.

Selain pengelompokan yang telah dijelaskan di atas, dikenal pula tipe standar berdasarkan fungsi. Tipe standar teknik berdasarkan fungsi : 66

a. standar Informasi dan standar referens (information and reference standards); b. standar pengurangan variasi (variety reducing standards);

c. standar kompatibilitas dan standar antar muka (compatibility and interface standards);

d. standar kualitas minimum dan standar keselamatan (minimum quality and safety standards).

Pengelompokan ini sering digunakan dalam berbagai analisis ekonomi mengenai standar dan standardisasi.

66


(18)

C.Tujuan Standardisasi Barang di Indonesia

Di era perdagangan bebas, peranan standar sangat vital. Di samping untuk perlindungan konsumen, standar juga sangat mujarab untuk melindungi produk lokal. Bahkan, standar dapat dijadikan senjata untuk menciptakan sentimen negatif terhadap suatu produk.67

Pemberlakuan standardisasi barang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi nasional dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Andaikata SNI ini diterapkan oleh semua produk maka sangatlah mendukung percepatan kemajuan di negeri ini. Seperti halnya di negara-negara eropa yang produk-produknya memenuhi standar nasional bahkan internasional. Adanya standardisasi nasional maka akan membuat acuan tunggal dalam mengukur mutu produk dan atau jasa di dalam perdagangan, yaitu SNI, sehingga dapat meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Tujuan standardisasi barang yang dirumuskan UU SPK yaitu : 68

1. Meningkatkan jaminan mutu, efisiensi produksi, daya saing nasional, persaingan usaha yang sehat dan transparan dalam perdagangan, kepastian usaha, dan kemampuan pelaku usaha, serta kemampuan inovasi teknologi;

2. Meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya, serta negara, baik dari aspek keselamatan, keamanan, kesehatan, maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan

3. Meningkatkan kepastian, kelancaran, dan efisiensi transaksi perdagangan barang di dalam negeri dan luar negeri.

67

Khesali Renald, “Perang Standar.” SNI Valuasi Volume 5 No. 2, 2011, hlm. 6. 68


(19)

Dengan mengutip uraian dari buku “The aims and principles of Standardization” yang diterbitkan oleh ISO maka tujuan standardisasi adalah sebagai berikut :69

1. kesesuaian untuk penggunaan tertentu; 2. mampu tukar (interchangeability);

3. pengendalian keanekaragaman (variety reduction); 4. kompatibilitas atau kesesuaian proses (compatibility); 5. meningkatkan pemberdayaan sumber daya;

6. komunikasi dan pemahaman yang lebih baik; 7. menjaga keamanan, keselamatan dan kesehatan; 8. pelestarian lingkungan;

9. menjamin kepentingan konsumen dan masyarakat; 10. mengurangi hambatan perdagangan.

Secara garis besar menurut Rob Steele, menegaskan bahwa standar itu merupakan aset yang sangat berharga bagi banyak pihak. Bagi negara dan masyarakat, standar ditujukan untuk menjadi sarana peningkatan daya saing ekonomi dan kunci dalam mengakses pasar dunia. Di sini, standar juga menjadi perangkat yang tidak terpisahkan dari suatu regulasi yang diberlakukan oleh pemerintah dalam melindungi keamanan, kesehatan dan keselamatan masyarakat, termasuk juga memberikan perlindungan terhadap daya saing industri lokal. Selain itu, standar juga menjadi rujukan bagi pembelanjaan publik yang dilakukan oleh pemerintah.70

Standardisasi barang menjadi faktor penting dalam perlindungan konsumen juga direfleksikan dengan pola perilaku konsumen dalam menentukan pilihan sebuah produk. Selain pertimbangan harga yang murah, konsumen memilih suatu produk karena faktor mutu dan faktor lain yang terkait dengan produk seperti garansi,

69

Purwanggono Bambang dkk, Op. Cit, hlm. 12. 70

Rob Steele, “Standar: Solusi Tantangan Global,” SNI Valuasi Volume 5 No. 1, 2001, hlm, 6.


(20)

layanan purna jual, kenyamanan dan keamanan, keselamatan dan kesehatan, serta keramahan pada lingkungan (mulai dari bahan baku, proses produksi, kemasan produk sampai dengan pembuangan limbah). Untuk mengetahui faktor-faktor tersebut instrumen utamanya adalah standar. Dalam hal ini standardisasi barang bertujuan untuk menjadi alat utama yang memberikan perlindungan kepada konsumen agar tidak memilih produk secara salah. Di Indonesia standardisasi barang digunakan sebagai referensi konsumen memilih dan membeli produk tertuang dalam SNI.71

D.Penerapan Standardisasi Barang di Indonesia

Standardisasi barang tidak lepas dari SNI. Penerapan standardisasi barang harus melihat penerapan dari SNI. SNI adalah dokumen berisi ketentuan teknis (merupakan konsolidasi iptek dan pengalaman, aturan, pedoman atau karakteristik) dari suatu kegiatan atau hasilnya yang dirumuskan secara konsensus (untuk menjamin agar suatu standar merupakan kesepakatan pihak yang berkepentingan) dan ditetapkan (berlaku di seluruh wilayah nasional) oleh BSN untuk dipergunakan oleh pemangku kepentingan dengan tujuan mencapai keteraturan yang optimum ditinjau dari konteks keperluan tertentu. Kini diusahakan agar SNI menjadi standar nasional yang efektif (harus setara dengan standar internasional) untuk memperkuat daya saing nasional, meningkatkan (keamanan produk) transparansi dan efisiensi pasar,

71

Badan Standardisasi Nasional, “Perlindungan Konsumen Melalui Standar,” SNI Valuasi


(21)

sekaligus melindungi (keamanan produk) keselamatan konsumen, kesehatan masyarakat, kelestarian fungsi lingkungan dan keamanan.

Mengingat bahwa penerapan standar memiliki jangkauan yang luas maka standar perlu memenuhi kriteria berikut : 72

1. SNI tersebut harmonis dengan standar internasional dan pengembangannya didasarkan pada kebutuhan nasional, termasuk industri;

2. SNI yang dikembangkan untuk tujuan penerapan regulasi teknis yang bersifat wajib didukung oleh infrastruktur penerapan standar yang kompeten sehingga tujuan untuk memberikan perlindungan kepentingan, keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan atau, pertimbangan ekonomi dapat tercapai secara efektif dan efisien;

3. infrastruktur yang diperlukan untuk menunjang penerapan standar tersebut memiliki kompetensi yang diakui di tingkat nasional/regional/internasional.

Pengaturan mengenai penerapan dan pemberlakuan standardisasi dalam UU SPK mencakup 2 (dua) aspek penerapan standar yaitu:

1. Penerapan SNI dilaksanakan secara sukarela.

SNI dapat diterapkan secara sukarela oleh pelaku usaha, kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau Pemerintah Daerah.73

72

Purwanggono Bambang dkk, Op. Cit, hlm. 80.

Pelaku Usaha, kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau Pemerintah Daerah yang telah mampu menerapkan SNI dapat mengajukan

73


(22)

Sertifikasi kepada Lembaga Penilai Kesesuaian (selanjutnya disebut LPK) yang telah diakreditasi oleh KAN (selanjutnya disebut dengan Komite Akreditasi Nasional).74 LPK yang telah diakreditasi oleh KAN memberikan sertifikat kepada pemohon sertifikat.75 Pelaku Usaha yang telah mendapatkan sertifikat berkewajiban membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian pada Barang dan/atau kemasan atau label. Dalam hal ini Pelaku Usaha dilarang: 76

1) membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian pada Barang dan/atau kemasan atau label di luar ketentuan yang ditetapkan dalam sertifikat; atau

2) membubuhkan nomor SNI yang berbeda dengan nomor SNI pada sertifikatnya.

Pelaku Usaha yang menerapkan SNI secara sukarela yang memiliki sertifikat dan telah berakhir masa berlaku, dicabut, atau dibekukan sertifikatnya dilarang membubuhkan tanda SNI dan/atau tanda kesesuaian pada Barang dan/atau kemasan atau label.77 Pelaku usaha yang melanggar tersebut akan dikenai sanksi administratif.78 Ketentuan mengenai tata cara pengenaan dan jenis sanksi administratif diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 79

2. Pemberlakuan SNI secara wajib.

Dalam hal berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan, atau pelestarian fungsi lingkungan hidup, kementerian/lembaga pemerintah

74

Pasal 21 ayat (2) UU SPK. 75

Pasal 21 ayat (3) UU SPK. 76

Pasal 22 ayat (1) UU SPK. 77

Pasal 22 ayat (2) UU SPK. 78

Pasal 22 ayat (3) UU SPK. 79


(23)

nonkementerian berwenang menetapkan pemberlakuan SNI secara wajib dengan peraturan menteri atau peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian.80 Pelaku usaha, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau pemerintah daerah wajib melaksanakan peraturan menteri atau peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian tentang pemberlakuan SNI secara wajib.81 Pelaku usaha, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau pemerintah daerah wajib memiliki sertifikat SNI yang diberlakukan secara wajib.82 Pelaku usaha yang tidak memiliki sertifikat atau memiliki sertifikat tetapi habis masa berlakunya, dibekukan sementara, atau dicabut dilarang: 83 1. memperdagangkan atau mengedarkan barang;

2. memberikan jasa; dan/atau

3. menjalankan proses atau sistem, yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI.

Pelaku usaha yang memiliki sertifikat dilarang memperdagangkan atau mengedarkan barang; memberikan jasa; dan/atau menjalankan proses atau sistem, yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI.84 Pelaku Usaha yang mengimpor barang dilarang memperdagangkan atau mengedarkan barang yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI.85

80

Pasal 24 ayat (1) UU SPK.

Setiap orang yang tanpa hak dilarang menggunakan dan/atau membubuhkan tanda SNI dan/atau tanda

81

Pasal 24 ayat (2) UU SPK. 82

Pasal 25 ayat (1) UU SPK. 83

Pasal 25 ayat (2) UU SPK. 84

Pasal 25 ayat (3) UU SPK. 85


(24)

kesesuaian.86 Setiap orang dilarang memalsukan tanda SNI dan/atau tanda kesesuaian atau membuat tanda SNI dan/atau tanda kesesuaian palsu.87

Pada tahun 2010, dari catatan Kamar Dagang Indonesia (selanjutnya disebut dengan KADIN), produk yang ber-SNI sebanyak 3.525 judul, SNI wajib 81 standar, laporan WTO 28 standar, sertifikasi SNI 636 perusahaan, dan sertifikasi 18 Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro). Bagi mereka yang telah berkomitmen menggunakan SNI, tantangannya adalah terus memperbarui diri, menyelaraskan dengan standar internasional, mengikuti perkembangan teknologi baru, berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan internasional, dan mengikuti perkembangan ISO.88

86

Pasal 26 ayat (1) UU SPK. 87

Pasal 26 ayat (2) UU SPK. 88

BSN, “Manfaat Standardisasi bagi Industri Nasional,” (Jakarta: Majalah Valuasi Vol. 4 No. 4, BSN, 2010), hlm. 19.


(1)

Dengan mengutip uraian dari buku “The aims and principles of Standardization” yang diterbitkan oleh ISO maka tujuan standardisasi adalah sebagai berikut :69

1. kesesuaian untuk penggunaan tertentu; 2. mampu tukar(interchangeability);

3. pengendalian keanekaragaman (variety reduction); 4. kompatibilitas atau kesesuaian proses (compatibility); 5. meningkatkan pemberdayaan sumber daya;

6. komunikasi dan pemahaman yang lebih baik; 7. menjaga keamanan, keselamatan dan kesehatan; 8. pelestarian lingkungan;

9. menjamin kepentingan konsumen dan masyarakat; 10. mengurangi hambatan perdagangan.

Secara garis besar menurut Rob Steele, menegaskan bahwa standar itu merupakan aset yang sangat berharga bagi banyak pihak. Bagi negara dan masyarakat, standar ditujukan untuk menjadi sarana peningkatan daya saing ekonomi dan kunci dalam mengakses pasar dunia. Di sini, standar juga menjadi perangkat yang tidak terpisahkan dari suatu regulasi yang diberlakukan oleh pemerintah dalam melindungi keamanan, kesehatan dan keselamatan masyarakat, termasuk juga memberikan perlindungan terhadap daya saing industri lokal. Selain itu, standar juga menjadi rujukan bagi pembelanjaan publik yang dilakukan oleh pemerintah.70

Standardisasi barang menjadi faktor penting dalam perlindungan konsumen juga direfleksikan dengan pola perilaku konsumen dalam menentukan pilihan sebuah produk. Selain pertimbangan harga yang murah, konsumen memilih suatu produk karena faktor mutu dan faktor lain yang terkait dengan produk seperti garansi,

69

Purwanggono Bambang dkk, Op. Cit, hlm. 12.

70

Rob Steele, “Standar: Solusi Tantangan Global,” SNI Valuasi Volume 5 No. 1, 2001, hlm, 6.


(2)

layanan purna jual, kenyamanan dan keamanan, keselamatan dan kesehatan, serta keramahan pada lingkungan (mulai dari bahan baku, proses produksi, kemasan produk sampai dengan pembuangan limbah). Untuk mengetahui faktor-faktor tersebut instrumen utamanya adalah standar. Dalam hal ini standardisasi barang bertujuan untuk menjadi alat utama yang memberikan perlindungan kepada konsumen agar tidak memilih produk secara salah. Di Indonesia standardisasi barang digunakan sebagai referensi konsumen memilih dan membeli produk tertuang dalam SNI.71

D.Penerapan Standardisasi Barang di Indonesia

Standardisasi barang tidak lepas dari SNI. Penerapan standardisasi barang harus melihat penerapan dari SNI. SNI adalah dokumen berisi ketentuan teknis (merupakan konsolidasi iptek dan pengalaman, aturan, pedoman atau karakteristik) dari suatu kegiatan atau hasilnya yang dirumuskan secara konsensus (untuk menjamin agar suatu standar merupakan kesepakatan pihak yang berkepentingan) dan ditetapkan (berlaku di seluruh wilayah nasional) oleh BSN untuk dipergunakan oleh pemangku kepentingan dengan tujuan mencapai keteraturan yang optimum ditinjau dari konteks keperluan tertentu. Kini diusahakan agar SNI menjadi standar nasional yang efektif (harus setara dengan standar internasional) untuk memperkuat daya saing nasional, meningkatkan (keamanan produk) transparansi dan efisiensi pasar,

71

Badan Standardisasi Nasional, “Perlindungan Konsumen Melalui Standar,” SNI Valuasi Volume 5 No. 2, 2011, hlm. 14.


(3)

sekaligus melindungi (keamanan produk) keselamatan konsumen, kesehatan masyarakat, kelestarian fungsi lingkungan dan keamanan.

Mengingat bahwa penerapan standar memiliki jangkauan yang luas maka standar perlu memenuhi kriteria berikut : 72

1. SNI tersebut harmonis dengan standar internasional dan pengembangannya didasarkan pada kebutuhan nasional, termasuk industri;

2. SNI yang dikembangkan untuk tujuan penerapan regulasi teknis yang bersifat wajib didukung oleh infrastruktur penerapan standar yang kompeten sehingga tujuan untuk memberikan perlindungan kepentingan, keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan atau, pertimbangan ekonomi dapat tercapai secara efektif dan efisien;

3. infrastruktur yang diperlukan untuk menunjang penerapan standar tersebut memiliki kompetensi yang diakui di tingkat nasional/regional/internasional.

Pengaturan mengenai penerapan dan pemberlakuan standardisasi dalam UU SPK mencakup 2 (dua) aspek penerapan standar yaitu:

1. Penerapan SNI dilaksanakan secara sukarela.

SNI dapat diterapkan secara sukarela oleh pelaku usaha, kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau Pemerintah Daerah.73

72

Purwanggono Bambang dkk, Op. Cit, hlm. 80.

Pelaku Usaha, kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau Pemerintah Daerah yang telah mampu menerapkan SNI dapat mengajukan

73


(4)

Sertifikasi kepada Lembaga Penilai Kesesuaian (selanjutnya disebut LPK) yang telah diakreditasi oleh KAN (selanjutnya disebut dengan Komite Akreditasi Nasional).74 LPK yang telah diakreditasi oleh KAN memberikan sertifikat kepada pemohon sertifikat.75 Pelaku Usaha yang telah mendapatkan sertifikat berkewajiban membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian pada Barang dan/atau kemasan atau label. Dalam hal ini Pelaku Usaha dilarang: 76

1) membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian pada Barang dan/atau kemasan atau label di luar ketentuan yang ditetapkan dalam sertifikat; atau

2) membubuhkan nomor SNI yang berbeda dengan nomor SNI pada sertifikatnya.

Pelaku Usaha yang menerapkan SNI secara sukarela yang memiliki sertifikat dan telah berakhir masa berlaku, dicabut, atau dibekukan sertifikatnya dilarang membubuhkan tanda SNI dan/atau tanda kesesuaian pada Barang dan/atau kemasan atau label.77 Pelaku usaha yang melanggar tersebut akan dikenai sanksi administratif.78 Ketentuan mengenai tata cara pengenaan dan jenis sanksi administratif diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 79

2. Pemberlakuan SNI secara wajib.

Dalam hal berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan, atau pelestarian fungsi lingkungan hidup, kementerian/lembaga pemerintah

74

Pasal 21 ayat (2) UU SPK.

75

Pasal 21 ayat (3) UU SPK.

76

Pasal 22 ayat (1) UU SPK.

77

Pasal 22 ayat (2) UU SPK.

78

Pasal 22 ayat (3) UU SPK.

79


(5)

nonkementerian berwenang menetapkan pemberlakuan SNI secara wajib dengan peraturan menteri atau peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian.80 Pelaku usaha, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau pemerintah daerah wajib melaksanakan peraturan menteri atau peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian tentang pemberlakuan SNI secara wajib.81 Pelaku usaha, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau pemerintah daerah wajib memiliki sertifikat SNI yang diberlakukan secara wajib.82 Pelaku usaha yang tidak memiliki sertifikat atau memiliki sertifikat tetapi habis masa berlakunya, dibekukan sementara, atau dicabut dilarang: 83 1. memperdagangkan atau mengedarkan barang;

2. memberikan jasa; dan/atau

3. menjalankan proses atau sistem, yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI.

Pelaku usaha yang memiliki sertifikat dilarang memperdagangkan atau mengedarkan barang; memberikan jasa; dan/atau menjalankan proses atau sistem, yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI.84 Pelaku Usaha yang mengimpor barang dilarang memperdagangkan atau mengedarkan barang yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI.85

80

Pasal 24 ayat (1) UU SPK.

Setiap orang yang tanpa hak dilarang menggunakan dan/atau membubuhkan tanda SNI dan/atau tanda

81

Pasal 24 ayat (2) UU SPK.

82

Pasal 25 ayat (1) UU SPK.

83

Pasal 25 ayat (2) UU SPK.

84

Pasal 25 ayat (3) UU SPK.

85


(6)

kesesuaian.86 Setiap orang dilarang memalsukan tanda SNI dan/atau tanda kesesuaian atau membuat tanda SNI dan/atau tanda kesesuaian palsu.87

Pada tahun 2010, dari catatan Kamar Dagang Indonesia (selanjutnya disebut dengan KADIN), produk yang ber-SNI sebanyak 3.525 judul, SNI wajib 81 standar, laporan WTO 28 standar, sertifikasi SNI 636 perusahaan, dan sertifikasi 18 Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro). Bagi mereka yang telah berkomitmen menggunakan SNI, tantangannya adalah terus memperbarui diri, menyelaraskan dengan standar internasional, mengikuti perkembangan teknologi baru, berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan internasional, dan mengikuti perkembangan ISO.88

86

Pasal 26 ayat (1) UU SPK.

87

Pasal 26 ayat (2) UU SPK.

88

BSN, “Manfaat Standardisasi bagi Industri Nasional,” (Jakarta: Majalah Valuasi Vol. 4 No. 4, BSN, 2010), hlm. 19.


Dokumen yang terkait

Prinsip Permberdayaan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah Dalam Ketentuan Pembatasan Kepemilikan Waralaba Restoran Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah

0 77 85

Dampak Standardisasi Barang Bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah Dan Koperasi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

1 40 124

Akibat Hukum Pemberian Pengampunan Pajak Bagi Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak

0 9 130

Dampak Standardisasi Barang Bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah Dan Koperasi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

1 13 124

HARMONISASI UNDANG-UNDANG PERBANKAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH UNTUK MEMPEROLEH KEMUDAHAN MODAL USAHA BAGI PELAKU USAHA MIKRO.

0 0 1

Dampak Standardisasi Barang Bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah Dan Koperasi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

0 2 10

Dampak Standardisasi Barang Bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah Dan Koperasi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

0 0 1

Dampak Standardisasi Barang Bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah Dan Koperasi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

0 0 26

Dampak Standardisasi Barang Bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah Dan Koperasi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

0 0 6

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

0 0 44