Dampak Standardisasi Barang Bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah Dan Koperasi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A.Buku

Anoraga, Pandji dan H. Djoko Sudantoko. Koperasi Kewirausahaan dan Usaha

Kecil. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.

Apridar. Ekonomi Internasional, Sejarah, Teori, Konsep dan Permasalahan dalam

Aplikasinya. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.

Arifin Sjamsul dkk. Kerja Sama Perdagangan Internasional : Peluang dan

Tantangan bagi Indonesia. Jakarta: P.T Elex Media Koputindo, Kelompok

Gramedia, 2004.

Badan Standardisasi Nasional. Draft Strategi Standardisasi 2015-2025. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional, 2013.

Badan Standardisasi Nasional. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah 2013. Jakarta: BSN, 2013.

Direktorat Jendral Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian. Laporan Akuntabilitas

Kerja 2014. Jakarta: Kemendag RI, 2014.

Hasan, Asnawi. Koperasi dalam Pandangan Islam, Suatu Tinjauan dari Segi

Falsafah Etik, dalam Membangun Sistem Ekonomi Nasional, Sistem Ekonomi

dan Demokrasi Ekonomi, Sri Edi Swasono (ed). Jakarta: UI Press, 1987.

ILO Office Of Indonesia. Analisis Simulasi Social Accounting Matrix (SAM) dan the SMART Model, Dampak Liberalisasi Perdagangan pada Hubungan Bilateral Indonesia dan Tiga Negara (China, India, dan Australia) Terhadap Kinerja

Ekspor-Impor, Output Nasional dan Kesempatan Kerja di Indonesia. Jakarta:


(2)

Kementrian Perdagangan RI. INSTRA: Indonesia Trade Inside. Jakarta: Kemendag RI, 2014.

Kementerian Perdagangan RI, Analisis Pengembangan SNI dalam Rangka

Pengawasan Barang yang Beredar. Jakarta: Pusat Kebijakan Perdagangan

Dalam Negeri, 2013.

Partomo dkk. Ekonomi Skala Kecil/Menengah Dan Koperasi. Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.

Primiana, Ina. Menggerakan Sektor Rill UMKM dan Industri. Bandung; Alfabeta, 2009.

Purwanggono Bambang dkk. Pengantar Standardisasi. (Jakarta: Badan Standardisasi Nasional, 2009.

Sitio Arifin, Halomoan Tamba. Koperasi Teori dan Praktek. Jakarta: Erlangga, 2001.

Steven dkk. Standardization Essential, Principle and Practice. New York: Marcel Dekker Inc, 2001.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia-Press. 1986.

Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: Mandar Maju, 2000.

Tambunan, Tulus. Prospek Perkembangan Koperasi Di Indonesia Kedepan: Masih

Relevankah Koperasi dalam Era Modernisasi Ekonomi?. Jakarta: Pusat Studi

Industri dan UKM, Universitas Trisakti, 2008.

Wilson, John S., Standard, Regulation and Trade (WTO Rules and Developing

Country Concern). Development Trade and The WTO: A Hand Book.


(3)

Y. Harsoyo dkk. Ideologi Koperasi Menatap Masa Depan. Tangerang: Pustaka Widyatama, 2006.

B.Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Undang-Undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan.

Undang-Undang No. 20 tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian. Undang-Undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Undang-Undang No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Peraturan Kepala Badan Standardisasi Nasional No. 3 Tahun 2011 tentang Rencana

Strategis badan Standardisasi Nasional tahun 2010-2014.

C.Jurnal

Badan Standardisasi Nasional, RUU SPK Jangan Sampai Kehilangan Momentum.

SNI Valuasi No. 1, (2014).

Badan Standardisasi Nasional, Perlindungan Konsumen Melalui Standar. SNI Valuasi Volume 5 No.2, (2011).

BSN, Manfaat Standardisasi bagi Industri Nasional. SNI Valuasi Volume 4 No. 4, (2010).

BSN, UKM Ber-SNI, Siapa Takut dengan CAFTA?. SNI Valuasi, Volume 4, No. 1, (2010).


(4)

Hapsari, Pradnya Paramita, dkk, Pengaruh Pertumbuhan Usaha Kecil Menengah (UKM) terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Studi di Pemerintah Kota Batu., Wacana Volume 17 No. 2, UB Press, (2014).

Hamid, Edy Suandi, Pengembangan UMKM untuk Meningkatkan Perekonomian

Daerah. (Purworejo: disampaikan pada Simposium Nasional: Menuju

Purworejo Dinamis dan Kreatif), 2010.

Khesali, Renald, Perang Standar. SNI Valuasi Volume 5 No. 2, (2011).

Kristiyanti, Mariana, Peran Strategis Usaha Kecil Menengah (UKM) Dalam Pembangunan Nasional. Majalah Informatika Volume 3 No. 1, (Januari 2012). Kartasasmita, Ginandjar, Membangun Ekonomi Rakyat untuk Mewujudkan Indonesia

Baru yang Kita Cita-citaka., (Bandung: pidato Disampaikan di depan Gerakan

Mahasiswa Pasundan Bandung, 27 September 2001).

Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, Kebijaksanan dan Program Kementrian Koperasi dan UKM yang Mendukung

Program Kewirausahaan Masyarakat. (Bandung: disampaikan pada Seminar

Nasional di Bandung, 2010).

Lemhanas, Peningkatan Daya Saing Industri Indonesia guna Menghadapi ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) dalam rangka memperkokoh ketahanan Nasional. Kajian Lemhanas RI, edisi 14, 2012.

Launa dan Azman Fajar, UMKM dan Ilusi Kesejahteraan. Sosial Demokrasi Volume 9 No. 3, (Juli-September 2010).

Prasetyo, Eko, Peran Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran. AKMENIKA UPY, Volume 2, (2008).

Pratomo, Tiktik Sartika, Usaha Kecil, Menengah, dan Koperasi, Working Paper Series No. 9, Center For Industry and SME Studies Faculty of Economy

Universityof Trisakti. (Juni 2004).

Partowiyatmo, Amir, UMKM Manufaktur Logam, Penopang Derap Langkah GENAP SNI, SNI Valuasi, Volume 5, No 1, (2011).


(5)

Sutrisno, Joko, Standarisasi Produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah Dalam Menghadapi Pasar Bebas. Infokop Volume 21, (Oktober 2012).

Steele, Rob, Standar: Solusi Tantangan Global. SNI Valuasi Volume 5 No. 1, (2001). Tambunan, Tulus, Pasar Bebas ASEAN: Peluang, Tantangan dan Ancaman bagi

UMKM Indonesia. Infokop Volume 21, (Oktober 2012).

Urata, Shujiro, Policy Recommendation for SME Promotion in the Republik of

Indonesia.JICA Report, 2000.

D.Website

Komite Akreditasi Nasional, “Penguatan Peran Lembaga Sertifikasi Yang Kompeten Untuk Mendukung Pemberdayaan UKM Di Bidang Makanan”, 15.00 WIB).

Suwono Eko, “Perdagangan Bebas, Pasar Bebas, Free Trade, Pasar Bebas antara ASEANdanChina”

Sasongko Waskito Giri, Rezim Standardisasi Menguasai UU Perdagangan, WIB).

UKM Depok, “Strategi Pengembangan UKM Pada Era Otonomi Daerah Dan Perdagangan Bebas” 2015, pada pukul 16.00 WIB).

Juli 2015 pukul 21.05 WIB).


(6)

pukul 21.10).

http://web.bsn.go.id/sni/about_sni.php , (diakses pada tanggal 9 Juni 2015 pukul 15.35 WIB).

pada pukul 16.00 WIB).

pada tanggal 1 September 2015 pada pukul 12.45 WIB).

September 2015 pada pukul 13.05 WIB).


(7)

BAB III

USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH DAN KOPERASI SEBAGAI PELAKU EKONOMI DI INDONESIA

A.Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam Perekonomian di Indonesia

Melihat pembangunan ekonomi di Indonesia, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (selanjutnya disebut dengan UMKM) memiliki peranan yang cukup kuat, karena sebagian besar jumlah penduduknya berpendidikan rendah dan hidup dalam kegiatan usaha kecil baik dalam sektor tradisional maupun modern. Peranan UMKM ini menjadi bagian yang diutamakan dalam setiap perancanaan tahapan pembangunan. Namun jika dilihat hasilnya, maka belum cukup memuaskan karena pada kenyataanya kemajuan UMKM sangat kecil dibandingkan dengan usaha besar. Hal tersebut dilihat dari lebih berkembangnya pengusaha-pengusaha besar yang mencakup semua sektor, baik dari sektor perdagangan, perbankan, kehutanan, pertanian dan terutama industri.89

Krisis moneter pada tahun 1997 yang dialami oleh Indonesia menyebabkan hampir 80 % (delapan puluh persen) usaha besar mengalami kebangkrutan sehingga menimbulkan pemutusan hubungan kerja massal terhadap karyawannya. Namun pada UMKM sendiri, dampak krisis moneter ini tidak terlalu besar.90

89

Tiktik Sartika Partomo dan Abd. Rachman Soejoedono, Ekonomi Skala Kecil/Menengah Dan Koperasi (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 20.

90

Ina Primiana, Menggerakan Sektor Rill UMKM dan Industri (Bandung; Alfabeta, 2009), hlm. 9.


(8)

Eksistensi dan kekuatan UMKM yang mampu bertahan dari keadaan krisis tidak bisa diragukan lagi. Setelah 1998 Indonesia dilanda krisis moneter dan krisis global tahun 2008 disektor UMKM kokoh menjadi penyanggah perekonomian nasional. Dimana dari sudut kualitatif, UMKM memiliki jumlah tenaga kerja cukup banyak dan sistem perekonomian rakyat yang digunakan menjadikan usaha ini tidak terkena dampak yang terlalu besar.

Usaha kecil didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan bertujuan untuk memproduksi barang atau jasa untuk diperniagakan secara komersial dan mempunyai omzet penjualan sebesar 1 (satu) miliar rupiah atau kurang. Sementara usaha menengah didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan bertujuan untuk memproduksi barang atau jasa untuk diperniagakan secara komersial dan mempunyai omzet penjualan lebih dari 1 (satu) miliar.91

Ciri-ciri perusahaan kecil dan menengah di Indonesia, secara umum adalah:92 1. Manajemen berdiri sendiri, dengan kata lain tidak ada pemisahan yang tegas

antara pemilik dengan pengelola perusahaan. Pemilik adalah sekaligus pengelola dalam UKM.

2. Modal disediakan oleh seorang pemilik atau sekelompok kecil pemilik modal.

91

Ibid. 92


(9)

3. Daerah operasinya umumnya lokal, walaupun terdapat juga UKM yang memiliki orientasi luar negeri, berupa ekspor ke negara-negara mitra perdagangan.

4. Ukuran perusahaan, baik dari segi total aset, jumlah karyawan, dan sarana prasarana yang kecil.

Pada tanggal 4 Juli 2008 telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (selanjutnya disebut dengan UU UMKM). Yang dimaksud Usaha Mikro dalam UU UMKM ini adalah sebagai berikut:93

“usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”

Yang dimaksud Usaha Kecil adalah sebagai berikut: 94

usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Yang dimaksud Usaha Menengah adalah sebagai berikut: 95

“usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah

93

Pasal 1 angka 1 UU UMKM. 94

Pasal 1 angka 2 UU UMKM. 95


(10)

kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini.”

Menurut UU UMKM, kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut: 96

a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Yang disebut dengan Usaha Kecil adalah entitas yang memiliki criteria sebagai berikut : 97

1. kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan

2. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

Sementara itu, yang disebut dengan Usaha Menengah adalah entitas usaha yang memiliki kriteria sebagai berikut : 98

a. kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan

b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

UMKM merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas

96

Pasal 6 ayat (1) UU UMKM. 97

Pasal 6 ayat (2) UU UMKM. 98


(11)

nasional. Selain itu, UMKM adalah salah satu pilar utama ekonomi nasional yang harus memperoleh kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat, tanpa mengabaikan peranan Usaha Besar dan Badan Usaha Milik Negara.99

Kedudukan UMKM yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia sehingga dia layak dilindungi. Apalagi kedudukan UMKM yang cukup lemah dibandingkan dengan industri dalam negeri menambah daftar bahwa UMKM sangat butuh proteksi dari pemerintah. Dari tahun 1966-1998 hingga sekarang banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk mendukung perkembangan dan pertumbuhan usaha UMKM, salah satunya dengan mengeluarkan UU UMKM dan program-program lain yaitu Kredit Investasi Rakyat (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) hingga Kredit Usaha Rakyat (KUR). Namun data nasional menunjukan bahwa kinerja UMKM di Indonesia masih relatif buruk, bukan saja dengan usaha besar tetapi juga dengan UMKM di Negara maju.100

B.Koperasi dalam Perekonomian di Indonesia

Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional. Pada awal kemerdekaan

99

Penjelasan Umum UU UMKM. 100


(12)

Indonesia, koperasi diatur oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian. Setelah itu, terjadi beberapa peraturan mengenai koperasi tersebut mengalami beberapa pergantian, mulai dari dihapusnya undang-undang tersebut dan digantikan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian, kemudian oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (selanjutnya disebut dengan UU Perkoperasian) dan yang paling terbaru adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Pergantian undang-undang perkoperasian Indonesia yang dilakukan dari masa ke masa tersebut semata-mata dilakukan dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan peranan koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia.101

Roh korporasi terus merasuk ke sendi-sendi kehidupan negara, termasuk jiwa usaha yang sesuai dengan kegotongroyongan: koperasi. Namun dikarenakan

bernuansa korporasi

dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 28/PUU-XI/2013. Materi yang dibatalkan adalah seluruh materi muatan Undang-Undang. Selain karena berjiwa korporasi telah menghilangkan asas kekeluargaan dan gotong royong yang menjadi ciri khas koperasi. Menurut Mahkamah Konstitusi mengakibatkan undang-undang ini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

OMOR_17_TAHUN_2012_TENTANG_PERKOPERASIAN (diakses pada tanggal 22 Juli 2015 pada pukul 21.00 WIB).


(13)

setelah adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi tersebut yang berarti pula undang-undang tersebut dibatalkan. Untuk menghindari kekosongan hukum, Mahkamah Konstitusi menyatakan memberlakukan kembali UU Perkoperasian dan berlaku untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya undang-undang yang baru.102

Koperasi adalah organisasi ekonomi yang memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan organisasi ekonomi lain. Perbedaan ini terletak pada sistem nilai etis yang melandasi kehidupannya dan terjabar dalam prinsip-prinsipnya yang kemudian berfungsi sebagai norma-norma etis yang mempolakan tata laku koperasi sebagai ekonomi.103

Ropke mendefinisikan koperasi sebagai organisasi bisnis yang para pemilik atau anggotanya adalah juga pelangggan utama perusahaan tersebut (kriteria identitas). Kriteria identitas suatu koperasi akan merupakan dalil atau prinsip identitas yang membedakan unit usaha koperasi dari unit usaha yang lainnya. Berdasarkan definisi tersebut, menurut Hendar dan Kusnadi, kegiatan koperasi secara ekonomis harus mengacu pada prinsip identitas (hakikat ganda) yaitu anggota sebagai pemilik yang sekaligus sebagai pelanggan. Organisasi koperasi dibentuk oleh sekelompok orang yang mengelola perusahaan bersama yang diberi tugas untuk menunjang kegiatan ekonomi individu para anggotanya. Koperasi adalah organisasi otonom, Ciri utama koperasi adalah kerjasama anggota dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan hidup bersama.

102

Agus Sahbani, “UU Perkoperasisan Dibatalkan karena Berjiwa Korporasi.”

103

Fray dalam Asnawi Hasan, Koperasi dalam Pandangan Islam, Suatu Tinjauan dari Segi Falsafah Etik, dalam Membangun Sistem Ekonomi Nasional, Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, Sri Edi Swasono (ed), (Jakarta: UI Press, 1987), hlm. 158.


(14)

yang berada didalam lingkungan sosial ekonomi, yang menguntungkan setiap anggota, pengurus dan pemimpin dan setiap anggota, pengurus dan pemimpin merumuskan tujuan-tujuannya secara otonom dan mewujudkan tujuan-tujuan itu melalui kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilaksanakan secara bersama-sama.104

Umumnya koperasi dikendalikan secara bersama oleh seluruh anggotanya, di mana setiap anggota memiliki hak suara yang sama dalam setiap keputusan yang diambil koperasi. Pembagian keuntungan koperasi (biasa disebut Sisa Hasil Usaha atau SHU) biasanya dihitung berdasarkan andil anggota tersebut dalam koperasi, misalnya dengan melakukan pembagian dividen berdasarkan besar pembelian atau penjualan yang dilakukan oleh si anggota.

Secara umum yang dimaksud dengan koperasi adalah suatu badan usaha bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian beranggotakan yang mereka pada umumnya berekonomi lemah yang bergabung secara sukarela atas dasar persamaan hak berkewajiban melakukan sesuatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggotanya.105

UU Perkoperasian menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan

104

Tulus Tambunan II, Prospek Perkembangan Koperasi Di Indonesia Kedepan: Masih Relevankah Koperasi dalam Era Modernisasi Ekonomi?, (Jakarta: Pusat Studi Industri dan UKM, Universitas Trisakti, 2008), hlm. 2.

105

Pandji Anoraga, H. Djoko Sudantoko, Koperasi Kewirausahaan dan Usaha Kecil


(15)

ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.106

Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Koperasi menyandarkan usahanya berdasarkan asas kekeluargaan sebagaimana perwujudan dari pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

107

Demi mencapai tujuan tersebut, koperasi memiliki prinsip yang menjadi sumber inspirasi dan menjiwai keseluruhan organisasi dan kegiatan usahanya. Prinsip-prinsip koperasi tersebut yaitu : 108

1. keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka; 2. pengelolaan dilakukan secara demokratis;

3. pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masingmasing anggota;

4. pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal; 5. kemandirian.

Dalam mengembangkan koperasi, maka koperasi melaksanakan pula prinsip koperasi sebagai berikut:

1. pendidikan perkoperasian; 2. kerja sama antar koperasi.

106

Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian. 107

Pasal 4 UU Perkoperasian. 108


(16)

Modal koperasi terdiri dari modal sendiri dan modal pinjaman.109 Modal sendiri dapat berasal dari:110

1. simpanan pokok; 2. simpanan wajib; 3. dana cadangan; 4. hibah.

Modal pinjaman dapat berasal dari:111 1. anggota;

2. koperasi lainnya dan/atau anggotanya; 3. bank dan lembaga keuangan lainnya;

4. penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya; 5. sumber lain yang sah.

Lembaga koperasi sejak awal diperkenalkan di Indonesia memang sudah diarahkan untuk berpihak kepada kepentingan ekonomi rakyat yang dikenal sebagai golongan ekonomi lemah. Strata ini biasanya berasal dari kelompok masyarakat kelas menengah kebawah. Eksistensi koperasi memang merupakan suatu fenomena tersendiri, sebab tidak satu lembaga sejenis lainnya yang mampu menyamainya, tetapi sekaligus diharapkan menjadi penyeimbang terhadap pilar ekonomi lainnya. Lembaga koperasi oleh banyak kalangan, diyakini sangat sesuai dengan budaya dan tata kehidupan bangsa Indonesia. Di dalamnya terkandung muatan menolong diri

109

Pasal 41 ayat (1) UU Perkoperasian. 110

Pasal 41 ayat (2) UU Perkoperasian. 111


(17)

sendiri, kerjasama untuk kepentingan bersama (gotong royong), dan beberapa esensi moral lainnya. Sangat banyak orang mengetahui tentang koperasi meski belum tentu sama pemahamannya, apalagi juga hanya sebagian kecil dari populasi bangsa ini yang mampu berkoperasi secara benar dan konsisten. Sejak kemerdekaan diraih, organisasi koperasi selalu memperoleh tempat sendiri dalam struktur perekonomian dan mendapatkan perhatian dari pemerintah.112

Koperasi berkenaan dengan manusia sebagai individu dan dengan kehidupannya dalam masyarakat. Manusia tidak dapat melakukan kerja sama sebagai satu unit, manusia memerlukan manusia lainnya dalam kerangka kerja sosial (social

framework). Dalam hal ini, koperasi berkaitan dengan fungsi-fungsi adalah sebagai

berikut :113

1. Fungsi sosial, yaitu cara manusia hidup, bekerja, dan bermain dalam masyarakat. 2. Fungsi ekonomi, yaitu manusia membiayai kelangsungan hidupnya dengan

bekerja dalam masyarakat.

3. Fungsi Politik, yaitu cara manusia memerintah dan mengatur diri mereka sendiri melalui berbagai hukum dan peraturan.

4. Fungsi Etika, yaitu cara manusia berprilaku dan meyakini kepercayaan mereka, falsafah mereka, dan cara berhubungan dengan Tuhan mereka.

112

Tulus Tambunan II, Op. Cit, hlm. 3. 113

Arifin Sitio dan Halomoan Tamba, Koperasi Teori dan Praktek, (Jakarta: Erlangga, 2001), hlm 14.


(18)

C.Peran Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi dalam Perekonomian Indonesia

Usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, oleh karena selain berperan dalam pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam pendistribusian hasil-hasil pembangunan. UMKM selain sebagai salah satu alternatif lapangan kerja baru, UMKM juga berperan dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi pasca krisis moneter di saat perusahaan-perusahaan besar mengalami kesulitan dalam mengembangkan usahanya. Saat ini, UMKM telah berkontribusi besar pada pendapatan daerah maupun pendapatan Negara Indonesia.114

Dewasa ini UMKM berperan dalam ekonomi Indonesia, baik ditinjau dari segi jumlah usaha (establishment) maupun dari segi penciptaan lapangan kerja. UMKM termasuk kelompok usaha yang penting dalam perekonomian Indonesia. Hal ini disebabkan usaha kecil, menengah dan koperasi merupakan sektor usaha yang memiliki jumlah terbesar dengan daya serap angkatan kerja yang signifikan. Oleh karena kesenjangan pendapatan yang cukup besar masih terjadi antara pengusaha besar dengan usaha kecil, menengah dan koperasi, pengembangan daya saing UMKM secara langsung merupakan upaya dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat banyak, sekaligus mempersempit kesenjangan ekonomi.115

114

Mariana Kristiyanti, “Peran Strategis Usaha Kecil Menengah (UKM) Dalam Pembangunan Nasional,” Informatika Volume 3 No. 1, Januari 2012, hlm. 64.

115


(19)

Keberadaan UMKM di Indonesia semakin terasa dalam proses pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Pada awalnya, keberadaan UMKM dianggap sebagai sumber penting dalam penciptaan kesempatan kerja dan motor penggerak utama pembangunan ekonomi daerah di pedesaan. Namun, pada era globalisasi saat ini dan mendatang, peran keberadaan UMKM semakin penting yakni sebagai salah satu sumber devisa ekspor non-migas Indonesia.116

Peran UMKM juga telah teraktualisasi pada masa krisis hingga saat ini. Selama masa krisis ekonomi hingga kini, keberadaan UMKM mampu sebagai faktor penggerak utama ekonomi Indonesia. Terutama ketika krisis kegiatan investasi dan pengeluaran pemerintah sangat terbatas, maka pada saat itu peran UMKM sebagai bentuk ekonomi rakyat sangat besar. Selanjutnya, dari sisi sumbangannya terhadap PDRB hanya 56,7% dan ekspor non migas hanya sebesar 15%. Namun, UMKM tetap masih menyumbangkan 99% dalam jumlah pelaku usaha yang ada di Indonesia, serta mempunyai andil 99,6% dalam penyerapan tenaga kerja.117

Peran penting UMKM tersebut secara umum dapat dilihat dari perkembangan yang signifikan dan peran UMKM sebagai penyumbang PDB terbesar di Indonesia. Pada tahun 2007 hingga tahun 2012 menunjukkan peningkatan jumlah PDB UKM dari Rp. 2,107,868.10,- menjadi Rp. 4,869,568.10,- atau rata-rata mengalami perkembangan sebesar 18.33% per tahun. Kemudian pada Usaha Besar (UB) sumbangsih terhadap perkembangan PDB lebih sedikit dibandingkan UKM, dengan

116

Eko Prasetyo, “Peran Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran,AKMENIKA UPY, Volume 2, 2008, hlm. 2.

117


(20)

Persentase rata-rata perkembangan sebesar 15.75% per tahun. Dari data statistik yang yang diperoleh dari BPS, pada tahun 2012 UKM menyerap 97,16% dari total tenaga kerja Industri di Indonesia atau sebesar Rp. 107.66 juta, sisanya atau sebesar 2.84% tenaga kerja diserap oleh sektor Usaha Besar.118

Hal tersebut menunjukkan bagaimana peran UMKM sangat dominan dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sehingga pemberdayaan UMKM merupakan sesuatu yang sangat penting dalam upaya meningkatkan pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Sumbangsih UMKM terhadap PDB menjadikan indikator pentingnya UMKM dalam peningkatan pertumbuhan perekonomian di Indonesia, Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan indikator pertumbuhan perekonomian, dimana pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka yang panjang. Output perkapita sekarang ini kita kenal sebagai Produk Domestik Bruto (PDB). PDB sendiri sangat berkaitan erat dengan jumlah penduduk sehingga PDB sangat dipengaruhi jumlah penduduk dan jangka waktu yang panjang, jadi pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses.119

Berbicara tentang UMKM tidak bisa lepas dari koperasi. Koperasi merupakan bagian dari tata susunan ekonomi, hal ini berarti bahwa dalam kegiatannya Koperasi turut mengambil bagian bagi tercapainya kehidupan ekonomi yang sejahtera, baik bagi orang-orang yang menjadi anggota perkumpulan itu sendiri maupun untuk

118

Pradnya Paramita Hapsari, “Abdul Hakim dan Saleh Soeaidy, Pengaruh Pertumbuhan Usaha Kecil Menengah (UKM) terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Studi di Pemerintah Kota Batu),” Wacana Volume 17 No. 2, 2014, hlm. 89.

119


(21)

masyarakat di sekitarnya. Koperasi sebagai perkumpulan untuk kesejahteraan bersama, melakukan usaha dan kegiatan di bidang pemenuhan kebutuhan bersama dari para anggotanya. Koperasi mempunyai peranan yang cukup besar dalam menyusun usaha bersama dari orang-orang yang mempunyai kemampuan ekonomi terbatas.

Koperasi merupakan suatu alat yang ampuh bagi pembangunan, oleh karena koperasi merupakan suatu wadah, dimana kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok tergabung sedemikian rupa. Sehingga melalui kegiatan kelompok, kepentingan pribadi para anggota menjadi kekuatan pendorong yang memberikan manfaat bagi seluruh anggota kelompok tersebut. Kelompok tersebut bisa terjadi jika kelompok tersebut secara relatif homogen dan setiap anggotanya mampu memberikan kontribusi yang nyata.120

Menurut Mohammad Hatta, seluruh perekonomian rakyat harus berdasarkan koperasi. Koperasi mendahulukan kepentingan individual. Oleh karena itu, koperasi harus memiliki fungsi mendidik masyarakat dalam hal mengurus keperluan bersama. Diatas bangunan-bangunan koperasi itu, diperlukan campur tangan pemerintah, untuk mengkoordinasi segala usaha produktif bagi keselamatan masyarakat.

Dalam pemikiran Hatta, terdapat peran yang juga sekaligus menjadi tugas koperasi di Indonesia, yaitu : 121

120

Tiktik Sartika Pratomo, “Usaha Kecil, Menengah, dan Koperasi,” Working Paper Series No. 9, Juni 2004), hlm. 9.

121

Y.Harsoyo dkk, Ideologi Koperasi Menatap Masa Depan (Tangerang: Pustaka Widyatama, 2006), hlm. 15


(22)

1. Memperbaiki produksi

Ada tiga jenis barang utama yang produksinya harus segera diperbaiki, yaitu pangan, barang kerajinan, dan barang-barang pertukangan yang diperlukan oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari.

2. Memperbaiki kualitas barang

Koperasi harus memperbaiki kualitas barang-barang yang dihasilkan oleh rakyat Indonesia. Salah satu sebab rendahnya kualitas barang-barang adalah tidak cukupnya sarana produksi yamg dimiliki oleh rakyat, maka koperasi memiliki peran untuk secara bersama-sama memiliki sarana produksi yang dibutuhkan. 3. Memperbaiki distribusi

Para pedagang pada umumnya telah mempermainkan distribusi untuk kepentingan mereka sendiri, misalnya dengan menimbun barang pada saat barang mulai langka untuk mendapatkan laba yang sebesar-besarnya. Maka koperasi yang mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan bersama, memiliki peluang besar untuk memperbaiki sistem distribusi barang.

4. Memperbaiki harga

Pedagang selalu berusaha untuk menjual barang dengan harga yang setinggi-tingginya, kondisi demikian merugikan masyarakat luas. Koperasi yang bertujuan memenuhi kebutuhan hidup masyarakat luas seharusnya memperbaiki harga pasar.


(23)

Penghisapann yang merugikan masyarakat harus disingkirkan dengan pendirian koperasi-koperasi simpan pinjam.

6. Memperkuat permodalan

Masyarakat pada umumnya mengalami kesulitan dalam permodalan. Dengan koperasi masyarakat harus digerakkan untuk menabung sebagai sumber modal. 7. Memelihara lumbung

Sistem lumbung harus diperbaharui disesuaikan dengan tuntutan masa. Lumbung harus menjadi alat untuk menyesuaikan produksi dan konsumsi atau sebagai

buffer stock. Dengan adanya lumbung akan mengurangi gejolak harga pada saat

panen dan masa panceklik. Lumbung padi juga berfungsi untuk penyediaan bibit pada musim tanam.

Koperasi itu sebagai gerakan ekonomi rakyat. Artinya keberadaannya menjadi lokomotif penggerak (engine of growth) bagi tumbuh kembangnya wirausahawan-wirausahawan baru dan meningktanya kinerja usaha kecil di kalangan anggota koperasi. Dengan sendirinya jika badan usaha koperasi maju dan kegiatan ekonomi rakyat berkembang pesat maka manfaat ekonomis dan manfaat sosial dapat dicapai sekaligus.

Koperasi dengan perspektif seperti itu, maka akan siap bersaing di pasar dan mampu memperoleh sisa hasil usaha yang optimal. Di lain pihak dapat meningkatkan produktivitas serta memberikan nilai tambah yang wajar bagi usaha anggotanya. Apabila hal-hal tersebut telah dapat dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan maka koperasi pada hakekatnya akan dapat menjadi peluang yang


(24)

dapat dimanfaatkan oleh sebagian besar anggota masyarakat. Terutama sekali usaha yang berskala kecil untuk mengembangkannya menjadi usaha berskala besar. Pada gilirannya koperasi tersebut akan dapat dimanfaatkan sebagai lembaga gerakan ekonomi rakyat yang benar-benar mampu berperan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat secara keseluruhan.

D.Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi di Indonesia Keberadaan UMKMK sebagai bagian terbesar dari seluruh entitas usaha nasional merupakan wujud nyata kehidupan ekonomi rakyat Indonesia. Posisi seperti itu seharusnya menempatkan peran UMKMK sebagai salah satu pilar utama dalam mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan, namun hingga kini perkembangannya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan pelaku ekonomi yang lain. Oleh karena itu pengembangan UMKMK harus menjadi salah satu strategi utama pembangunan nasional yang pelaksanaannya diwujudkan secara sungguh-sungguh dengan komitmen bersama yang kuat serta didukung oleh upaya-upaya sistematis dan konseptual secara konsisten dan terus -menerus dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat di tingkat nasional, regional, maupun lokal). Barang tentu hal ini juga harus dibarengi dengan strategi pengembangan usaha besar dalam kerangka sistem ekonomi kerakyatan.122

122

Ginandjar Kartasasmita, “Membangun Ekonomi Rakyat untuk Mewujudkan Indonesia Baru yang Kita Cita-citakan,”(Bandung: pidato Disampaikan di depan Gerakan Mahasiswa Pasundan Bandung, 27 September 2001), hlm. 3.


(25)

Pengembangan UMKMK menjadi komponen penting bagi program pembangunan nasional untuk meletakkan landasan pembangunan sistem ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Proses dan cara untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut sangat penting, terutama melalui upaya penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas. Pendekatan demikian diharapkan lebih menjamin terwujudnya perekonomian yang lebih adil dan merata, berdaya saing dengan basis efisiensi di berbagai sektor dan keunggulan kompetitif untuk memenangkan persaingan global, berwawasan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lestari, dengan partisipasi masyarakat yang lebih menonjol dan desentralisasi pembangunan untuk meningkatkan kapasitas dan memaksimalkan potensi daerah, serta bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).123

Usaha mikro kecil menengah dan koperasi memiliki peluang untuk terus berkembang. Perkembangan UMKMK di Indonesia masih terhambat sejumlah persoalan. Beberapa hal yang masih menjadi penghambat dalam pengembangan UMKMK ditinjau dari dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal UMKMK, dimana penanganan masing-masing faktor harus bersinergi untuk memperoleh hasil yang maksimal, yaitu :124

123

Ibid.

124

Edy Suandi Hamid, “Pengembangan UMKM untuk Meningkatkan Perekonomian Daerah,” (Purworejo: disampaikan pada Simposium Nasional: Menuju Purworejo Dinamis dan Kreatif, 2010), hlm. 3.


(26)

1. faktor Internal : merupakan masalah klasik dari UMKMK yaitu lemah dalam segi

permodalan dan segi manajerial (kemampuan manajemen, produksi, pemasaran dan sumber daya manusia);

2. faktor Eksternal : merupakan masalah yang muncul dari pihak pengembang dan

pembina UMKMK, misalnya solusi yang diberikan tidak tepat sasaran, tidak adanya monitoring dan program yang tumpang tindih antar institusi.

Secara rinci Kementerian Koperasi dan UMKM mengemukakan permasalahan yang ada pada koperasi dan UMKMK adalah sebagai berikut :125

1. Terbatasnya akses, kapasitas dan kemampuan Koperasi untuk mengenali, memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya produktif.

2. Rendahnya produktivitas mengakibatkan lemahnya daya saing UMKMK. 3. Rendah kualitas kelembagaan/formalisasi usaha.

4. Rendahnya penguasaan dan pemanfaatan teknologi secara produktif, efektif dan efisien.

5. Lemahnya entrepreneurship dan kualitas sumber daya manusia (SDM). 6. Hambatan otonomi daerah (peraturan daerah, struktur organisasi). 7. Belum tersedianya tenaga penyuluh koperasi.

Melihat hambatan-hambatan yang akan mengurangi atau menurunkan performa dari koperasi dan UMKMK, perlu adanya usaha pengembangan dari

125

Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, “Kebijaksanan dan Program Kementrian Koperasi dan UKM yang Mendukung Program Kewirausahaan Masyarakat,” (Bandung: disampaikan pada Seminar Nasional di Bandung, 2010), hlm. 2.


(27)

pemerintah untuk menghilangkan hambatan-hambatan tersebut. Secara nyata, pemerintah telah menetapkan kebijakan pengembangan koperasi dan UMKMK dalam UU UMKM. Dalam Bab VI Pasal 16 sampai dengan Pasal 20 mengatur bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan usaha dalam bidang:

1. Pengembangan produksi dan pengolahan, dilakukan dengan cara:

a. meningkatkan teknik produksi dan pengolahan serta kemampuan manajemen bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;

b. memberikan kemudahan dalam pengadaan sarana dan prasarana, produksi dan pengolahan, bahan baku, bahan penolong, dan kemasan bagi produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;

c. mendorong penerapan standarisasi dalam proses produksi dan pengolahan; dan

d. meningkatkan kemampuan rancang bangun dan perekayasaan bagi Usaha Menengah.

2. Pengembangan pemasaran, dilakukan dengan cara: a. melaksanakan penelitian dan pengkajian pemasaran; b. menyebarluaskan informasi pasar;

c. meningkatkan kemampuan manajemen dan teknik pemasaran;

d. menyediakan sarana pemasaran yang meliputi penyelenggaraan uji coba pasar, lembaga pemasaran, penyediaan rumah dagang, dan promosi Usaha Mikro dan Kecil;


(28)

e. memberikan dukungan promosi produk, jaringan pemasaran, dan distribusi; dan

f. menyediakan tenaga konsultan profesional dalam bidang pemasaran. 3. Pengembangan sumber daya manusia; dilakukan dengan cara:

a. memasyarakatkan dan membudayakan kewirausahaan; b. meningkatkan keterampilan teknis dan manajerial; dan

c. membentuk dan mengembangkan lembaga pendidikan dan pelatihan untuk melakukan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, motivasi dan kreativitas bisnis, dan penciptaan wirausaha baru.

4. Pengembangan desain dan teknologi, dilakukan dengan cara :

a. meningkatkan kemampuan di bidang desain dan teknologi serta pengendalian mutu;

b. meningkatkan kerjasama dan alih teknologi;

c. meningkatkan kemampuan Usaha Kecil dan Menengah di bidang penelitian untuk mengembangkan desain dan teknologi baru;

d. memberikan insentif kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang mengembangkan teknologi dan melestarikan lingkungan hidup; dan

e. mendorong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk memperoleh sertifikat hak atas kekayaan intelektual.

Disamping itu dalam UU Perdagangan memuat bab khusus (Bab X) Pasal 73 ayat 1 untuk mendorong pertumbuhan UMKMK, yang memberikan amanah kepada


(29)

pemerintah maupun pemerintah daerah untuk melakukan pemberdayaan terhadap koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah di sektor perdagangan. Pemberdayaan UMKMK ini, sebagaimana tertuang dalam ayat (2), dilakukan melalui sejumlah program fasilitas dan insentif, bimbingan teknis, akses maupun bantuan permodalan, bantuan promosi, dan pemasaran.

Penekanan ini (pemberdayaan pasar, UMKMK) merupakan salah satu keistimewaan yang diberikan undang-undang kepada pelaku usaha perdagangan dalam negeri khususnya di sektor ekonomi kerakyatan. Pemerintah percaya memberikan perlindungan, pemberdayaan dan penguatan bagi pelaku usaha di sektor ini merupakan sarana untuk mewujudkan ketahanan ekonomi secara luas dan mendorong daya saing pelaku usaha lokal secara spesifik.

Pengembangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat yang bersinergi dengan pemerintah daerah tentunya akan membantu koperasi dan UMKMK bersaing dalam perdagangan nasional. Hal ini juga mendorong produk koperasi dan UMKMK mampu berkompetisi dengan produk internasional. Hal inilah yang dapat dijadikan peluang bagi produsen untuk bisa meningkatkan produktivitasnya dan berdaya saing tinggi. Dengan adanya persaingan bebas bukan lagi menjadi hal yang menakutkan bagi Indonesia. Karena pada dasarnya, setiap negara memiliki keunggulan yang mampu dijadikan benchmark negara tersebut. Dalam jangka panjang, adanya persaingan bebas juga menjadikan konsumen lebih jeli dalam memilih produk. Untuk itu peran koperasi dan UMKMK harus dimaksimalkan.


(30)

BAB IV

DAMPAK STANDARDISASI BAGI USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH DAN KOPERASI

A.Penerapan Standardisasi Barang terhadap Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi

Kegiatan Perdagangan merupakan penggerak utama pembangunan perekonomian nasional yang memberikan daya dukung dalam meningkatkan produksi, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan ekspor dan devisa, memeratakan pendapatan, serta memperkuat daya saing roduk dalam negeri demi kepentingan nasional. Perdagangan nasional Indonesia sebagai penggerak utama perekonomian tidak hanya terbatas pada aktivitas perekonomian yang berkaitan dengan transaksi barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha, baik di dalam negeri maupun melampaui batas wilayah negara, tetapi aktivitas perekonomian yang harus dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia yang diselaraskan dengan konsepsi pengaturan di bidang perdagangan sesuai dengan cita-cita pembentukan negara Indonesia, yaitu masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.126

Menyambut era globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia melalui forum internasional seperti WTO, APEC dan AFTA ASEAN gerak perdagangan semakin dinamis dan cepat. Kondisi persaingan dunia akan semakin ketat akibat terjadinya

126


(31)

krisis finansial dunia dan krisis pemanasan global. Liberalisasi perdagangan dunia telah ditindaklanjuti dengan berbagai kesepakatan antar negara berupa perdagangan bebas hambatan atau free trade agreement (FTA) baik bilateral maupun multilateral seperti Indonesia dengan Jepang, India dan Pakistan, ASEAN-China, Australia, Kanada dan USA.

Negara Indonesia merupakan bagian dari dunia yang tidak bisa terlepas dalam perdagangan global. Perdagangan bebas menyebabkan kompetisi diantara seluruh pelaku usaha tidak terkecuali bagi UMKMK. Hal tersebut perlu disadari bahwa UMKMK harus mampu bersaing dalam perdagangan global mengingat peran UMKMK sangat vital untuk perekonomian negara.

Standardisasi barang menjadi salah satu pilar utama dalam perdagangan bebas. Persaingan antar produsen dan juga perlindungan konsumen menuntut adanya standardisasi barang. Standardisasi barang khususnya di Indonesia diarahkan untuk menjaga keamanan dan keselamatan para konsumen. Barang yang beredar dalam pasar harus memenuhi SNI serta persyaratan teknis yang diberlakukan secara wajib bagi seluruh pelaku usaha.127

Pengaturan mengenai standarisasi barang ini dituangkan dalam UU Perdagangan pada Pasal 57 sampai dengan Pasal 59. Penerapan standardisasi barang dalam UU Perdagangan mengharuskan barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib, wajib dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian atau dilengkapi sertifikat kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah. Sementara itu barang

127


(32)

yang diperdagangkan dan belum diberlakukan SNI secara wajib dapat dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian sepanjang telah dibuktikan dengan sertifikat produk penggunaan tanda SNI atau sertifikat kesesuaian. Kewajiban penerapan standardisasi barang tersebut menimbulkan sanksi dimana pelaku usaha yang memperdagangkan barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib, tetapi tidak membubuhi tanda SNI, tanda kesesuaian, atau tidak melengkapi sertifikat kesesuaian akan sanksi administratif berupa penarikan barang dari distribusi.

Penerapan serta pemberlakuan SNI tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan aspek antara lain :128

1. keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup;

2. daya saing produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat;

3. kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional; dan/atau

4. kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian.

Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis ditetapkan oleh Menteri atau menteri sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.129

128

Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, INSTRA: Indonesia Trade Inside, (Jakarta: Kemendag, 2014), hlm. 12.

Dalam hal ini persyaratan teknis ditetapkan oleh Kementrian Perdagangan dibawah Direktorat Standardisasi dan Perlindungan Konsumen berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor : 31/M-DAG/PER/07/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perdagangan sebagaimana telah diubah melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor : 57/M-DAG/PER/08/2012,

129


(33)

Sekretariat Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen mempunyai tugas melaksanakan pelayanan teknis dan administratif kepada seluruh satuan organisasi di lingkungan Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen. Dalam pelaksanaan tugas tersebut, Sekretariat Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen menyelenggarakan 4 (empat) fungsi berkaitan dengan koordinasi, administrasi, dan keuangan.

Dibawah Direktorat Standardisasi dan Perlindungan Konsumen terdapat Direktorat Sitandardisasi yang bertugas untuk melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi barang dan jasa sektor perdagangan dengan fungsi, antara lain:130

1. penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penyusunan dan penerapan standar, kelembagaan dan informasi standar serta kerja sama standardisasi sektor perdagangan;

2. penyiapan penyusunan pedoman, standar, norma, prosedur, kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang penyusunan dan penerapan standar, kelembagaan dan informasi standar serta kerja sama standardisasi sektor perdagangan.

Tanda SNI, tanda kesesuaian, atau sertifikat kesesuaian diterbitkan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang terakreditasi oleh lembaga akreditasi sesuai

130

tanggal 1 September 2015 pada pukul 12.45 WIB).


(34)

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.131 Dalam hal lembaga penilaian kesesuaian belum ada yang terakreditasi, Menteri atau menteri sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya dapat menunjuk lembaga penilaian kesesuaian dengan persyaratan dan dalam jangka waktu tertentu.132 Lembaga penilaian kesesuaian terdaftar di lembaga yang ditetapkan oleh Menteri.133

Tugas pengembangan dan membina kegiatan standardisasi di Negara

Indonesia dilakukan oleh BSN yang merupaka

berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Badan ini menetapkan SNI yang digunakan sebagai Presiden Nomor 13 Tahun 1997 yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah dan yang terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001, merupakan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) dengan tugas pokok mengembangkan dan membina kegiatan standardisasi di Indonesia.134

131

Pasal 58 ayat (1) UU Perdagangan. 132

Pasal 58 ayat (2) UU Perdagangan. 133

Pasal 58 ayat (3) UU Perdagangan. 134


(35)

Pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Standardisasi Nasional di bidang akreditasi dilakukan oleh KAN. KAN mempunyai tugas menetapkan akreditasi dan memberikan pertimbangan serta saran kepada BSN dalam menetapkan sistem akreditasi dan sertifikasi. Sedangkan pelaksanaan tugas dan fungsi BSN di bidang Standar Nasional untuk Satuan Ukuran dilakukan oleh Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU). KSNSU mempunyai tugas memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN mengenai standar nasional untuk satuan ukuran. Sesuai dengan tujuan utama standardisasi adalah melindungi produsen, konsumen, tenaga kerja dan masyarakat dari aspek keamanan, keselamatan, kesehatan serta pelestarian fungsi lingkungan, pengaturan standardisasi secara nasional ini dilakukan dalam rangka membangun sistem nasional yang mampu mendorong dan meningkatkan, menjamin mutu barang dan/atau jasa serta mampu memfasilitasi keberterimaan produk nasional dalam transaksi pasar global. Dari sistem dan kondisi tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk barang dan/atau jasa Indonesia di pasar global.135

Pengaturan standardisasi barang yang ditujukan untuk memudahkan konsumen maka bagi barang yang telah diberlakukan SNI, harus mencantumkan tanda SNI atau tanda kesesuaian atau dilengkapi sertifikat kesesuaian yang diakui oleh pemerintah. Tanda SNI maupun tanda kesesuaian sebagaimana dimaksud di atas tentu saja hanya diterbitkan oleh lembaga yang sudah terakreditasi. Lebih lanjut, standar atau penilaian kesesuaian yang ditetapkan oleh negara lain diakui oleh

135


(36)

Pemerintah berdasarkan perjanjian saling pengakuan antarnegara. Ketentuan dalam standarisasi jasa hampir sama dengan standarisasi barang. Hanya saja dalam pemberlakuan SNI, aspek-aspek yang menjadi pertimbangan dalam UU Perdagangan ditambah satu lagi yaitu mempertimbangkan budaya, adat istiadat, atau tradisi berdasarkan pada kearifan lokal.136

Banyak kalangan berpandangan UU Perdagangan mengusung semangat WTO. Undang-undang ini sesungguhnya mencerminkan ratifikasi Indonesia ke dalam lembaga supranegara WTO bisa menentukan bagaimana negara-negara anggotanya harus menyusun regulasi perdagangan nasionalnya agar selaras dengan prinsip dasar WTO. WTO secara intrinsik mendorong integrasi ekonomi dunia melalui pasar dan perdagangan bebas dengan mengurangi atau bahkan menghilangkan berbagai hambatan perdagangan baik berupa tarif maupun nontarif. Filosofi liberalisme ala WTO sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Konsekuensinya, produk regulasi di bidang perdagangan di Indonesia tak bisa lepas dari prinsip WTO.137

Salah satu semangat WTO yang termuat jelas dalam UU Perdagangan adalah tentang standardisasi. Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU Perdagangan mengatur bahwa seluruh perdagangan barang di dalam negeri wajib disertifikasi SNI tanpa membedakan pelaku usaha nasional atau asing. Standardisasi seharusnya dilakukan

136

Ibid.

137

Waskito Giri Sasongko, “Rezim Standardisasi Menguasai UU Perdagangan,” (diakses pada tanggal 31 Agustus 2015 pada pukul 17.26).


(37)

dengan asas nondiskriminasi dan kesetaraan antarnegara. Bagi perusahaan asing terlebih multinasional, ketentuan kualifikasi SNI tentu bukan masalah. Namun, sertifikasi itu justru jadi persoalan besar bagi perusahaan nasional terutama UMKMK. Hal tersebut dikarenakan perusahaan kecil dan mikro umumnya minim modal, berteknologi terbatas, dan mempekerjakan buruh berketrampilan rendah. Pelaku usaha kecil semakin diberatkan karena Pasal 57 ayat (1) huruf b UU Perdagangan menegaskan bahwa sertifikasi itu adalah suatu kewajiban.

Usaha untuk tidak menghambat persaingan dan inovasi, penerapan SNI pada umumnya bersifat sukarela (voluntary). Namun untuk keperluan tertentu, terkait kesehatan, keamanan, keselamatam dan lingkungan, SNI dapat diadopsi pemerintah kedalam dasar regulasi teknis yang selanjutnya menjadi wajib dipenuhi oleh para pelaku usaha, baik produsen atau pihak lain yang memasok produk ke pasar.138

Usaha untuk membuktikan bahwa standardisasi barang sudah diterapkan oleh para pelaku usaha sesuai dengan yang dipersyaratkan, diperlukan mekanisme penilaian kesesuaian. Penilaian kesesuaian berfungsi menyediakan jaminan pengakuan agar pasar dapat membedakan pihak atau produk yang telah menerapkan SNI. Dengan diferensiasi itu, diharapkan pihak atau produk tersebut dapat memperoleh nilai pasar (market perceived value) yang lebih baik. Unsur ini mencakup pengembangan bisnis penyedia jasa sertifikasi, inspeksi, pengujian produk dan kalibrasi peralatan ukur. Mengingat penilaian kesesuaian sangat terkait dengan

138

Penjelasan Peraturan Kepala Badan Standardisasi Nasional No. 3 Tahun 2011 tentang Rencana Strategis badan Standardisasi Nasional tahun 2010-2014, hlm. 7


(38)

kegiatan pengujian, maka diperlukan dukungan unsur ketiga, yaitu metrologi. Unsur ini berfungsi menjamin kebenaran hasil pengujian dengan pengukuran yang akurat melalui proses kalibrasi yang berjenjang. Satuan juga digunakan dalam pengembangan standar.139

Salah satu masalah yang menghambat pengembangan pasar produk UMKMK adalah masih kurang dipatuhinya ketentuan standarisasi barang. Belum digunakannya standardisasi barang oleh UMKMK ini tidak terlepas dari sistem kelembagaan standarisasi yang belum sepenuhnya mampu memberikan pemahaman kepada kalangan UMKMK untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan, terutama untuk kalangan UMKM. Bagi kalangan ini standarisasi barang belum menjadi suatu keharusan karena yang diperlukan oleh mereka adalah memasarkan produk secepatnya agar dapat memperoleh penghasilan yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan mereka. Disamping itu pasar produk mereka juga masih terbatas pada pasar lokal dan produk mereka masih terbatas pada produk barang yang segera mungkin dapat dikonsumsi.140

Kegiatan perumusan standardisasi barang oleh UMKMK merupakan rangkaian kegiatan yang dimulai dari perencanaan, perumusan, sampai penerapan standar sebagai SNI. Perumusan standardisasi barang untuk UMKMK dapat dilakukan melalui prakonsensus yang selanjutnya menjadi konsensus nasional.

Stakeholder berkaitan dengan standarisasi meliputi pemerintah (Kementerian teknis),

139

Ibid.

140


(39)

konsumen, pelaku usaha, dan ilmuwan. Di bidang produk UMKM terdapat 9 jenis SNI yaitu :141

1. produk segar (hanya terdapat 38 jenis); 2. produk olahan (283 jenis);

3. pakan/ bahan baku pakan (46 jenis); 4. benih/bibit (20 jenis);

5. metode uji;

6. penanganan dan pengolahan;

7. peralatan panen, pasca panen produk; 8. pupuk/pestisida (19 jenis); dan 9. sistem.

Hal ini menunjukkan bahwa jumlah SNI relatif sangat kecil dibandingkan dengan jenis produk yang diperdagangkan.

Produk UMKMK mengalami tantangan besar dalam perdagangan internasional. Kesulitan yang dialami antara lain dalam memenuhi persyaratan dari negara pengimpor, terutama berkaitan dengan standar mutu yang ditetapkan. Di lain pihak pasar dalam negeri Indonesia kebanjiran produk impor yang lebih kompetitif dan lebih diminati oleh masyarakat Indonesia sebagai konsumen yang rasional, termasuk produk agribisnis sehingga produk UMKMK tidak bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

141


(40)

B.Peran Pemerintah dalam Menunjang Penerapan Standardisasi terhadap Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi

Perdagangan bebas global khususnya di Indonesia dan wilayah regional ASEAN menciptakan suatu kondisi yang tidak terelakkan bahwa UMKMK harus mampu bersaing dalam hal kualitas produk. Berbagai perjanjian perdagangan Internasional yang bertujuan untuk menghilangkan hambatan perdagangan semakin menguatkan sinyal akan sulitnya persaingan antar pelaku usaha khususnya UMKMK. Mengacu pada kondisi tersebut, optimalisasi pemanfaatan instrument non tarif, yaitu penggunaan standar sebagai persyaratan dalam transaksi perdagangan menjadi salah satu langkah yang paling strategis untuk menghadapi persaingan di era pasar bebas tersebut.

Sasaran utama dalam pelaksanaan standardisasi barang adalah meningkatnya ketersediaan SNI yang mampu memenuhi kebutuhan industri dan pekerjaan instalasi guna mendorong daya saing produk dan jasa dalam negeri. Dengan adanya standardisasi nasional maka akan ada acuan tunggal dalam mengukur mutu produk dan/atau jasa di dalam perdagangan, yaitu SNI, sehingga dapat meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup.142

142

Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Analisis Pengembangan SNI dalam Rangka Pengawasan Barang yang Beredar (Jakarta: Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, 2013), hlm. 9.


(41)

Kualitas barang yang baik terjamin dalam label SNI. Dengan adanya label SNI berarti bahwa setiap barang telah melewati proses standardisasi maupun penilaian kesesuaian oleh BSN. Penerapan SNI bagi UMKMK belum maksimal. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya jenis produk yang distandardisasi.

Penerapan ASEAN Economy Community (selanjutnya disebut dengan AEC) akan berdampak pada perekonomian negara-negara di kawasan ASEAN, termasuk Indonesia. Hal ini menuntut kemampuan setiap negara dalam melakukan integrasi dengan pasar regional maupun global antara lain melalui pembenahan infrastruktur standar dan penilaian kesesuaian (conformity assessment). Untuk peningkatan dan penguatan daya saing barang dalam negeri serta fasilitasi keberterimaan produk nasional dalam pasar ASEAN maupun global, perlu adanya rumusan standardisasi barang.

Rumusan standardisasi barang ini bukan merupakan perumusan Standar Nasional Indonesia seperti yang disusun oleh Kementerian/Lembaga Teknis melalui penetapan BSN. Rumusan standar barang dan jasa yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen melalui Direktorat Standardisasi adalah bahan rekomendasi atau masukan bagi Kementerian/Lembaga untuk ditindaklanjuti pada negosiasi sidang internasional baik di tingkat bilateral dan regional maupun multilateral dalam rangka harmonisasi standar dan penilaian kesesuaian. Rumusan standar juga dapat dipergunakan sebagai masukan bagi para


(42)

pelaku usaha terkait kepatuhan untuk memenuhi ketentuan sesuai dengan standar produk yang telah diharmonisasikan ASEAN143

Kegiatan penyusunan rumusan harmonisasi standar barang dan jasa telah dilakukan sejak Tahun 2010 dan berakhir pada Tahun 2014. Pemilihan tema penyusunan rumusan didasarkan pada isu yang ada pada tahun berjalan namun tetap dalam ruang lingkup 12 sektor prioritas ASEAN. Rumusan harmonisasi standar barang dan jasa yang telah disusun pada Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2013 yaitu sebagai berikut :

.

144

1. Kesiapan Indonesia dalam menghadapi ASEAN Economic Integration untuk sektor karet (Rubber Based Products).

2. Kesiapan Indonesia dalam menghadapi ASEAN Economic Integration untuk sektor otomotif (Automotive Component Products).

3. Kesenjangan standar untuk produk kelapa sawit.

4. Kesiapan industri pangan olahan dalam menghadapi ASEAN economic integration.

5. Kesenjangan standar untuk produk dalam kemasan (biskuit) terhadap pemenuhan harmonisasi standar di tingkat internasional.

6. Kesiapan industri pangan olahan (produk selai, saus, dan jelly) dalam menghadapi ASEAN economic integration.

143

Ibid, hlm. 28. 144


(43)

7. Kesenjangan standar untuk bahan tambahan pangan (btp) dalam produk jus terhadap pemenuhan harmonisasi standar di tingkat internasional.

8. Kesiapan industri peralatan listrik dan elektronika dalam menghadapi ASEAN economic integration.

Pemerintah memiliki peran yang sangat besar dalam menciptakan iklim yang kondusif dalam perdagangan nasional. Tugas serta wewenang pemerintah pusat tertuang pada Bab XIV Pasal 93 dan Pasal 94 UU Perdagangan. Tugas pemerintah di bidang perdagangan mencakup:

1. merumuskan dan menetapkan kebijakan di bidang perdagangan; 2. merumuskan standar nasional;

3. merumuskan dan menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perdagangan;

4. menetapkan sistem perizinan di bidang perdagangan;

5. mengendalikan ketersediaan, stabilisasi harga, dan distribusi barang kebutuhan pokok maupun barang penting;

6. melaksanakan kerja sama perdagangan internasional; 7. mengelola informasi di bidang perdagangan;

8. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan di bidang perdagangan;

9. mendorong pengembangan ekspor nasional; 10. menciptakan iklim usaha yang kondusif;


(44)

11. mengembangkan logistik nasional; dan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam menjalankan tugasnya di bidang perdagangan, pemerintah mempunyai wewenang untuk:

1. memberikan perizinan kepada pelaku usaha di bidang perdagangan;

2. melaksanakan harmonisasi kebijakan perdagangan di dalam negeri dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem distribusi nasional, tertib niaga, integrasi pasar, dan kepastian berusaha;

3. membatalkan kebijakan dan regulasi di bidang perdagangan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah yang bertentangan dengan kebijakan dan regulasi pemerintah; 4. menetapkan larangan maupun pembatasan perdagangan barang maupun jasa; 5. mengembangkan logistik nasional guna memastikan ketersediaan barang

kebutuhan pokok maupun barang penting; dan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peranan pemerintah tentu menjadi penting terutama untuk mengantarkan mereka agar mampu bersaing dengan pelaku usaha lainnya dalam memanfaatkan AEC pada tahun 2015. Beberapa upaya yang perlu dilakukan pemerintah untuk memberdayakan UMKM adalah:145

1. Meningkatkan kualitas dan standar produk.

Guna dapat memanfaatkan peluang dan potensi pasar di kawasan ASEAN dan pasar global, maka produk yang dihasilkan UMKM haruslah memenuhi kualitas

145


(45)

dan standar yang sesuai dengan kesepakatan ASEAN dan negara tujuan. Dalam kerangka itu, maka UMKM harus mulai difasilitasi dengan kebutuhan kualitas dan standar produk yang dipersyaratkan oleh pasar ASEAN maupun di luar ASEAN. Peranan dukungan teknologi untuk peningkatan kualitas dan produktivitas serta introduksi desain kepada para pelaku UMKM yang ingin memanfaatkan pasar ASEAN perlu segera dilakukan.

2. Meningkatkan akses financial.

Isu finansial dalam pengembangan bisnis UMKM sangatlah klasik. Selama ini, belum banyak UMKM yang bisa memanfaatkan skema pembiayaan yang diberikan oleh perbankan. Hasil survey Regional Development Institute (REDI, 2002) menyebutkan bahwa ada 3 gap yang dihadapi berkaitan dengan akses finansial bagi UKM yaitu :

a) aspek formalitas, karena banyak UMKM yang tidak memiliki legal status; b) aspek skala usaha, dimana sering sekali skema kredit yang disiapkan

perbankan tidak sejalan dengan skala usaha UMKM; dan

c) aspek informasi, dimana perbankan tidak tahu UMKM mana yang harus dibiayai, sementara itu UMKM juga tidak tahu skema pembiayaan apa yang tersedia di perbankan.

Oleh karena itu, maka ketiga gap ini harus diatasi, diantaranya dengan peningkatan kemampuan bagi sumber daya manusia yang dimiliki UMKM, perbankan, serta pendamping UMKM. Pada sisi lain, harus juga diberikan informasi yang luas tentang skema-skema pembiayaan yang dimiliki perbankan.


(46)

3. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan jiwa kewirausahaan UMKM; Secara umum kualitas sumber daya manusia pelaku UMKM di Indonesia masih rendah. Terlebih lagi semangat kewirausahaannya. Kalau mengacu pada data UMKM pada tahun 2008, tingkat kewirausahaan di Indonesia hanya 0,25% dan pada tahun 2011 diperkirakan sebesar 0,273%. Memang hal ini sangat jauh ketinggalan dengan negara-negara lain di dunia, termasuk di Asia dan ASEAN. Sebagaimana di Singapura, tingkat kewirausahaan di Singapura lebih dari 7% demikian juga di USA, tingkat kewirausahaannya sudah mencapai 11,9%. Oleh karena itu, untuk memperkuat kualitas dan kewirausahaan UMKM di Indonesia, maka diperlukan adanya pendidikan dan latihan keterampilan, manajemen, dan diklat teknis lainnya yang tepat, yang sesuai dengan kebutuhan. Pengembangan kewirausahaan juga perlu ditingkatkan.

4. Memperkuat dan meningkatkan akses dan transfer teknologi bagi UMKM untuk pengembangan UMKM inovatif; Akses dan transfer teknologi untuk UMKM masih merupakan tantangan yang dihadapi di Indonesia. Peranan inkubator, lembaga riset, dan kerjasama antara lembaga riset dan perguruan tinggi serta dunia usaha untuk alih teknologi perlu digalakkan. Kerjasama atau kemitraan antara perusahaan besar, baik dari dalam dan luar negeri dengan UMKM harus didorong untuk alih teknologi dari perusahaan besar kepada UMKM. Praktek seperti ini sudah banyak berjalan di beberapa negara maju, seperti USA, Jerman, Inggris, Korea, Jepang dan Taiwan. Model-model pengembangan klaster juga


(47)

harus dikembangkan, karena melalui model tersebut akan terjadi alih teknologi kepada dan antar UMKM.

5. Memfasilitasi UMKM berkaitan akses informasi dan promosi di luar negeri; Bagian terpenting dari proses produksi adalah masalah pasar. Sebaik apapun kualitas produk yang dihasilkan, kalau masyarakat atau pasar tidak mengetahuinya, maka produk tersebut akan sulit dipasarkan. Oleh karena itu, maka pemberian informasi dan promosi produk-produk UMKM, khususnya untuk memperkenalkan di pasar ASEAN harus ditingkatkan. Promosi produk, bisa dilakukan melalui dunia maya atau mengikuti kegiatan-kegiatan pameran di luar negeri. Dalam promosi produk ke luar negeri ini perlu juga diperhatikan kesiapan UMKM dalam penyediaan produk yang akan dipasarkan. Sebaiknya dihindari mengajak UMKM ke luar negeri, padahal mereka belum siap untuk mengekspor produknya ke luar negeri. Dalam kaitan ini, bukan saja kualitas dan desain produk yang harus diperhatikan, tetapi juga tentang kuantitas dan kontinuitas produknya.

Usaha untuk menghadapi perdagangan bebas, pemerintah melalui BSN, Kementrian Perindustrian serta Kementrian UMKM dan Koperasi telah memfasilitasi UMKMK untuk memperoleh sertifikat SNI.146

146

Badan Standardisasi Nasional, “UKM Ber-SNI, Siapa Takut dengan CAFTA?,” SNI Valuasi, Volume 4, No. 1, 2010, hlm. 23.

Koordinasi antar kementerian maupun lembaga non-kementrian terkait sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas


(48)

produk UMKMK. Hal tersebut dilakukan untuk menunjang percepatan penerapan SNI dalam menghadapi perdagangan bebas.

Pemerintah telah memfokuskan UMKMK sebagai pihak yang diutamakan untuk menerapkan standardisasi barang. Tantangan terkait dukungan lembaga sertifikasi dan sistem penilaian kesesuaian untuk pemberdayaan UMKMK sektor pangan dalam rangka memperkuat pasar domestik sangat diperlukan peningkatan koordinasi secara sinergis dalam melaksanakan pengaturan, sertifikasi, serta kegiatan pembinaan dan pengawasan penilaian kesesuaian untuk memastikan penerapan standar makanan. Citra UMKMK terkadang masih dianggap unit usaha yang masih lemah, hal ini yang menyebakan UMKMK sulit melakukan penetrasi pasar. Padahal UKM memiliki ketahanan yang sangat kuat terhadap krisis ekonomi. Kementerian UKM sangat mendukung BSN dalam upaya menerapkan SNI pada sektor makanan yang mayoritas berasal dari UMKMK, dan menyarankan agar selalu berkoordinasi dengan instansi-instansi teknis terkait dalam upaya melakukan sosisalisasi penerapan SNI pada UMKMK.147

Proses perumusan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi kebijakan terutama yang terkait dengan kepentingan publik tidak lepas dari peran pemerintah, baik pusat maupun daerah, serta berbagai pihak yang terikat dan merasakan dampak penerapan

147

Komite Akreditasi Nasional, “Penguatan Peran Lembaga Sertifikasi Yang Kompeten Untuk Mendukung Pemberdayaan UKM Di Bidang Makanan, 14 Agustus 2015 pukul 15.00).


(49)

SNI Wajib. Peran masing-masing stakeholders yang terlibat dalam standardisasi secara garis besar dibagi beberapa fungsi utama, yaitu :148

1. fungsi regulator, yaitu lembaga perumus berbagai kebijakan nasional maupun lembaga yang menyusun regulasi teknis terkait dengan aturan dan prosedur pelaksanaan kebijakan, contoh: BSN dan KAN;

2. fungsi implementor, yaitu pelaksana kebijakan baik untuk instansi teknis maupun produsen dan berbagai pihak terkait untuk melaksanakan kebijakan standardisasi, contoh: pusat standardisasi kementerian teknis dan ditjen bea dan cukai;

3. fungsi pembina, yaitu lembaga atau berbagai pihak yang terlibat dalam pembinaan, pengawasan, maupun bertugas untuk mengevaluasi kebijakan yang diterapkan, contoh: instansi teknis dan lembaga pelatihan.

Pemerintah melalui BSN telah melakukan langkah-langkah yang sistematis dalam usaha mengembangkan penerapan SNI di Indonesia. Pada periode 2005-2009, pengembangan standardisasi nasional difokuskan pada pelaksanaan 7 buah program utama yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu program yang merupakan penyangga, antara lain :149

1. perbaikan proses pengembangan SNI; 2. penguatan penilaian kesesuaian;

3. peningkatan persepsi masyarakat terhadap kegunaan standar;

148

Kementerian Perdagangan RI, Op. cit., hlm 11. 149

Penjelasan Peraturan Kepala Badan Standardisasi Nasional No. 3 Tahun 2011 tentang Rencana Strategis badan Standardisasi Nasional tahun 2010-2014, Op. cit., hlm. 9.


(50)

4. pemantapan kebijakan dan peraturan perundang-undangan di bidang standardisasi;

5. peningkatan partisipasi masyarakat standardisasi;

6. penguatan posisi dalam forum standardisasi regional dan internasional; dan 7. penguatan efektivitas proses kerja BSN dan KAN.

Berdasarkan Peraturan Kepala BSN No. 06/KEP/BSN/2/2013 tanggal 4 Februari 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala BSN Nomor 3 Tahun 2011 tentang Rencana Strategis BSN Tahun 2010-2014 sasaran strategis RENSTRA BSN 2010-2014 berubah menjadi :

1. Tersedianya SNI sesuai kebutuhan pasar.

2. Tercapainya peningkatan efektifitas sistem penerapan standar dan akreditasi. 3. Terciptanya budaya standar di masyarakat.

4. Diterapkannya sistem standardisasi dan penilaian kesesuaian oleh pemangku kepentingan.

5. Terwujudnya organisasi yang efektif dan efisien.

Perubahan ini dilatarbelakangi oleh perkembangan lingkungan strategis dimana BSN selaku instansi pemerintah yang memberikan layanan publik belum dirasakan

Pemerintah juga berusaha agar menjadikan standar sebagai pendorong berkembangnya pasar domestik. Bagi produsen, standardisasi barang merupakan acuan persyaratan minimal produk yang akan mereka produksi serta merupakan tolak ukur kualitas suatu produk. Dengan mengkomunikasikan kepada konsumen bahwa produknya telah ber-SNI atau telah sesuai dengan SNI, produk tersebut akan


(51)

mendapat nilai tambah kepercayaan pembeli dan memperkuat eksistensinya di pasar. Pencapaian penerapan standardisasi barang oleh produsen dalam negeri khususnya UMKMK juga sejalan dengan upaya pemerintah untuk menggalakkan produk dalam negeri yang berkualitas. Untuk mendukung pencapaian kondisi tersebut, maka :150 1. Efisiensi industri nasional harus mampu menghasilkan produk yang dapat

bersaing dengan produk impor.

2. Standar dan penilaian kesesuaian harus dioptimalkan untuk menjadi instrumen yang semakin penting dalam memfasilitasi perdagangan.

3. Konsumen atau masyarakat umum harus memiliki kesadaran terhadap mutu dan keselamatan.

4. Aspek standardisasi dan penilaian kesesuaian harus menjadi fokus perhatian lembaga-lembaga penelitian dalam menghasilkan inovasi teknologi.

5. Jumlah dan lingkup lembaga penilaian kesesuaian serta infrastruktur kemetrologian harus mencukupi dalam upaya mendukung regulasi teknis dan perdagangan.

6. Penggunaan LPK dalam menunjang pemberlakuan wajib SNI tidak seharusnya berdasarkan penunjukan langsung oleh regulator.

7. Penerapan SNI secara voluntary oleh industri harus ditingkatkan.

8. Penetapan regulasi teknis harus selaras dengan ketentuan/prinsip Good

Regulatory Practices.

150

Penjelasan Peraturan Kepala Badan Standardisasi Nasional No. 3 Tahun 2011 tentang Rencana Strategis badan Standardisasi Nasional tahun 2010-2014, Ibid, hlm. 17


(52)

Kementerian Perdagangan melalui Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan konsumen membuat arah pembangunan standardisasi dan perlindungan konsumen ke depan secara konsisten akan mengacu pada arah pembangunan perdagangan nasional periode 2010-2014. Arah ini merupakan pedoman dalam menyusun langkah-langkah strategis ke depan untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Arah pembangunan standardisasi dan perlindungan konsumen dapat dijabarkan menjadi 6 (enam) kebijakan sebagaimana tercermin pada tujuan151

1. pengembangan standardisasi di bidang perdagangan;

yaitu:

2. peningkatan kesadaran dan memberdayakan masyarakat konsumen;

3. penguatan pengawasan barang beredar dan jasa perdagangan dan penegakan hukum;

4. peningkatan tertib ukur;

5. optimalisasi pengendalian mutu komoditas ekspor dan impor;

6. peningkatan penyelenggaraan kegiatan standardisasi dan perlindungan konsumen di daerah.

C.Keberlangsungan Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi sebagai Akibat dari Standardisasi Barang

Kunci utama dalam menghadapi persaingan usaha dalam pasar bebas adalah keberhasilan untuk menghadapi persaingan secara global. Kemampuan UMKMK

151

Direktorat Jenderal Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Laporan Akuntabilitas Kerja 2014 (Jakarta: Kemendag RI, 2014), hlm. 16.


(53)

untuk pengembangan daya saing akan menentukan keberhasilan dalam memanfaatkan peluang kesetaraan ekonomi dunia. Untuk meningkatkan daya saing nasional perlu sinergi antar pelaku ekonomi, pelaku ekonomi dengan pemerintah, dan sinergi kebijakan antar wilayah.

Khusus bagi perusahaan besar dengan segala kelengkapan infrastrukturnya, penerapan standardisasi barang bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilaksanakan. Namun menilik budaya kerja di lingkungan UMKMK dengan segala atribut latar belakang pendidikan dan terkendala ketrampilannya - terutama pada UMKMK dengan skala produksi yang masih kecil, rasanya pengetahuan, pemahaman dan bagaimana seluk beluk penerapan standardisasi barang masih rendah.152

Menjelang menghadapi pasar bebas pelaku bisnis dituntut untuk kreatif dan berani bertindak secara tepat dan cepat. Untuk keperluan ini diperlukan ketersediaan informasi yang akurat. Untuk menang bersaing dalam pasar global, maka UMKMK dituntut untuk melakukan proses produksi yang produktif dan efisien, serta dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan preferensi pasar global dengan standar kualitas yang lebih tinggi. Dalam era perdagangan bebas UMKMK tidak cukup hanya memiliki keungggulan komparatif namun yang terpenting adalah memiliki keungggulan kompetitif yang berkelanjutan.

Usaha mikro, kecil, menegah dan koperasi dituntut untuk menghasilkan produk yang memiliki daya saing yang tinggi antara lain dengan kriteria:

152

Amir Partowiyatmo, “UMKM Manufaktur Logam, Penopang Derap Langkah GENAP SNI,” SNI Valuasi, Volume 5, No 1, 2011, hlm. 17.


(54)

1. produk tersedia secara teratur dan sinambung;

2. produk harus memiliki kualitas yang baik dan seragam; 3. produk dapat disediakan secara masal.

Di samping itu UMKMK harus dapat memenuhi berbagai isu standar perdagangan internasional seperti: isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14000), isu Hak Asasi Manusia dan isu ketenagakerjaan, pengembangan sumberdaya manusia. Agar produk yang dihasilkan dapat terus dikembangakan dan dipertahankan keunggulannya, maka perlu dilakukan pengembangan SDM. Hal ini dilakukan penciptaan tenaga-tenaga terampil melalui pusat-pusat pelatihan yang relevan dengan produk unggulan yang dikembangkan.153

Pengaturan standardisasi barang yang tertuang dalam UU Perdagangan dalam Bab VIII Pasal 57 sampai dengan Pasal 59 semakin memperjelas tujuan pemerintah untuk mendorong seluruh pelaku usaha khususnya UMKMK untuk menciptakan produk yang berkualitas bagi konsumen. Negara dalam meningkatkan daya saing UMKMK dengan memfasilitasi dan mendampingi UMKMK untuk menerapkan standardisasi barang. Penerapan standardisasi barang menjadi faktor kunci peningkatan daya saing UMKMK. Hal ini dikarenakan di era perdagangan bebas saat ini standar memiliki peran dan arti penting yang vital. Sebab, setiap negara telah menetapkan persyaratan standar bagi barang yang beredar di negara yang

153

UKM Depok, “Strategi Pengembangan UKM Pada Era Otonomi Daerah Dan Perdagangan Bebas,


(55)

bersangkutan. Tujuannya adalah melindungi keselamatan konsumen, kesehatan masyarakat, kelestarian fungsi lingkungan dan keamanan..

Infrastruktur standar yang diterapkan dalam perdagangan bebas memaksa persaingan akan semakin lebih ketat dari biasanya. Penerapan standardisasi barang memberikan banyak manfaat kepada UMKMK. Melalui penerapan standardisasi barang, UMKMK dimungkinkan untuk meningkatkan efisiensi, memperbaiki kualitas dan keamanan produk yang dihasilkan dan membuka pasar baru serta peluang untuk mengadopsi teknologi baru guna meningkatkan volume produksi.

Penerapan standardisasi barang juga akan meningkatkan nilai perusahaan

(company value) di mata konsumen, karena konsumen percaya baik terhadap proses

produksi yang dilakukan maupun terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Standar menjadi aset ekonomi bagi penerap standar. Penerapan standardisasi barang juga memberi peluang bagi UMKMK untuk mengembangkan diferensiasi produk. Sebab, standar berisikan persyaratan bagaimana memproses produk, baik produk yang sedang diproduksi maupun produk-produk lain yang sekarang belum diproduksi. Dengan mempelajari dan mengetahui standar, UMKMK dapat mengadopsi teknologi untuk memproduksi produk lain di luar produk yang sudah dihasilkan. Diferensiasi ini membuka peluang bisnis baru bagi UMKMK.154

Kondisi diatas memperjelas bahwa standardisasi barang sangat berperan dalam meningkatkan daya saing UMKMK. Dan di Indonesia sendiri peran dan

154

Badan Standardisasi Nasional, “Standar dan Daya Saing UKM,” SNI Valuasi Volume 5 No.1, 2011, hlm. 10.


(56)

kontribusi UMKMK tidak dapat dipandang sebelah mata. UMKMK telah terbukti menjadi penyelamat perekonomian nasional ketika terhantam krisis pada tahun 1997 yang lalu. Hingga kini UMKMK merupakan pelaku ekonomi dominan dan tercatat terdapat lebih dari 50 juta perusahaan masuk ke dalam kategori UMKM. Kontribusi mereka terhadap kinerja ekspor nasional juga sangat signifikan, yakni mencapai lebih dari USD 25 milyar. Ini adalah bukti bahwa industri kategori UMKM merupakan elemen penting bagi perekonomian nasional.155

Negara harus memperkuat dan meningkatkan daya saing UMKMK melalui penerapan standardisasi barang yang akan menjadi solusi penting untuk mendorong pembangunan ekonomi nasional. Penerapan standardisasi barang di kalangan UMKMK, akan memperkuat daya saing UMKM nasional untuk berkiprah baik di pasar domestik maupun pasar ekspor.

Selama ini sektor UMKMK kurang mendapat perhatian. UMKMK diperlakukan seperti “anak tiri”, khususnya terkait dengan akses kepada permodalan, pasar dan teknologi. Hal ini juga berlaku dalam hal penerapan standardisasi barang. Banyak UMKMK harus berjuang sendiri untuk memperoleh informasi mengenai standar yang mereka butuhkan, memahami dan menerapkan standar, dan mendapatkan sertifikasi standar.

Kondisi diatas mengakibatkan standardisasi barang masih menjadi asing bagi UMKMK. Oleh karena itu, tidak mengherankan hanya sedikit UMKMK nasional yang telah menjadi penerap standardisasi barang. Di sektor makanan, misalnya, baru

155


(57)

10% produk makanan UMKMK berlabel SNI. Sepertinya fenomena ini juga berlaku bagi industri UMKMK di sektor lain, seperti mainan anak, pakaian jadi atau garmen, alas kaki, obat tradisional (jamu), kerajinan tangan, pengecoran logam, dan lain sebagainya. Menjadi tantangan bagi pemerintah, khususnya BSN selaku lembaga pemerintah yang bertanggung jawab di bidang standardisasi, untuk mendorong penerapan standar di kalangan UMKMK.156

Upaya untuk meningkatkan jumlah UMKMK sebagai penerap standardisasi barang sudah seharusnya pemerintah meningkatkan sosialisasi penerapan standar kepada pelaku UMKMK. Lebih jauh tentunya harus memberikan kemudahan dalam proses pengurusannya, yang konon prosesnya sangat panjang, rumit dan berbelit-belit. Fasilitas lainnya yang dibutuhkan pelaku UMKMK adalah keringanan biaya-biaya untuk mengurus dan memperoleh sertifikasi produk. Ada baiknya pemerintah memberi subsidi kepada UMKMK agar mendapat keringanan biaya.

Komitmen pemerintah untuk mendorong penerapan standar di kalangan UMKMK juga ditegaskan sendiri oleh Mantan Wakil Presiden, Boediono. Mantan Gubernur Bank Indonesia ini menekankan bahwa penentu pemenang kompetisi bukan harga murah, melainkan mutu dan keandalan produk. Mantan Wakil Presiden RI berpandangan bahwa “Kuncinya adalah mutu produk harus dijaga dan ditingkatkan agar memiliki keunggulan. Dalam konteks yang lebih besar, kita harus unggul dalam menetapkan standar. Selain mutu dapat dipertahankan atau ditingkatkan, standardisasi membuat berbagai proses menjadi lebih mudah. Standar adalah kunci efisiensi

156


(58)

produksi atau perdagangan. Produksi akan menjadi jelas dengan kriteria yang diperlukan dan perdagangan menjadi efisien jika produknya jelas.”157

Bagi Mubyarto, paradigma ekonomi kerakyatan jelas tak mungkin terwujud jika pemerintah (dengan dukungan para ekonom dan teknokrat) masih asyik bermimpi mewujudkan kesejahteraan dengan terus merujuk pada asumsi-asumsi teori ekonomi neoklasik yang dibangun di atas dasar gagasan individualism berurusan dengan statistik produksi dan pertumbuhan, bukan pada distribusi pendapatan dan keadilan ekonomi. Di sisi lain, CK Prahalad dalam The Fortune at the Bottom of the

Pyramid menunjukkan pentingnya melibatkan golongan miskin dalam kegiatan

ekonomi pasar. Melalui proteksi regulasi dan dukungan kelembagaan yang kuat dari negara, usaha mikro-kecil-menengah (yang berorientasi pada golongan miskin dan lapis sosial ekonomi marginal) sebenarnya bisa berperan sebagai unit usaha yang produktif, kompetitif, dan menguntungkan.158

Kebijakan ekonomi negara yang praktis kian berorientasi pasar, hendaknya tidak makin memarginalkan eksistensi UMKMK. Sebaliknya, gerakan koperasi dan UMKMK nasional harus tampil makin kuat, efektif, adaptif, elegan, dan bertenaga serta sanggup berkompetisi dalam gerusan arus pasar yang kian penetratif. Eksistensi dan kiprah nyata UMKMK sebagai gerakan ekonomi rakyat pada akhirnya akan ditentukan dari seberapa besar komitmen Negara.

157

Ibid., hlm 12. 158

Launa dan Azman Fajar, “UMKM dan Ilusi Kesejahteraan,” Sosial Demokrasi Volume 9 No. 3, Juli-September 2010, hlm. 7.


(1)

iii

yang ada di dalam skripsi ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Dan untuk itu, penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan S.H., M.H., DFM. selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Pak Hemat Tarigan, SH., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik;

6. Ibu Windha S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Univeritas Sumatera Utara.

7. Bapak Ramli Siregar S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Univeritas Sumatera Utara.

8. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan waktu, saran dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

9. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan waktu, saran dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.


(2)

iv

10. Seluruh Dosen, Staf dan Pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Keluarga Besar penulis, yang telah memberikan dukungan dan nasihat kepada penulis.

12. Teman dekat penulis Yosephine Mathilda Hutabarat yang selalu memberikan dukungan kepada penulis … Trimakasih Banyak cooooo…..

13. Bung dan Sarinah (Senior) Komisariat GmnI FH USU, Bung Choky Pangaribuan, Bung Uber, Bung Joni, Bung Joshua, Bung Welson Rajagukguk, Bung Marshias Ginting, Bung Hotmarudur Tua Siringo-ringo, Bung Howard Limbong, Bung Joshua Hutabarat, Bung Samuel Lubis, Bung Agus Samosir, Bung Turedo Sitindaon, Bung Marthin Sembiring, Bung Prinst Parangin-angin, Sarinah Juliana Hutasoit, Sarinah Elyza, Bung OneSeptember Situmorang, Bung Apul G. Barus, Bung Derral Sihombing, Sarinah Rina Siburian, Sarinah Fenny Aritonang, Bung Lorenza Sianturi, Bung Oris Hulu, Bung Oren Malau, Bung Edu Tobing Bung Reynaldo, Bung Tito, Sarinah Henny Handayani, Terimakasih atas bimbingan selama ini abang dan kakak ku tersayang.

14. Bung dan Sarinah Stambuk 2011 Komisariat GmnI FH USU Bung Jenrico Hutabarat, Bung Maslon Ambarita, Bung Ardi Sianipar, Bung Natanael Nainggolan, Bung Yoko Chen, Bung Theo Patra, Bung Tumpal, Sarinah Vonny Simarmata, Sarinah Conny Laurenny, Sarinah Gelora Hutahaean, Sarinah Stevanny Sirait, Sarinah Gracia, Sarinah Erma Pangaribuan, Sarinah Sri Nita Pagit, Bung Pir Silaban Sarinah Fransisca Kosasih dan bung dan sarinah lain


(3)

v

yang tak bisa disebutkan satu per satu. Trimakasih untuk waktu yang bisa bung dan sarinah bagi bersama baik dalam dunia kampus, wamar, maupun dalam pergerakan.

15. Bung dan Sarinah (junior) Komisariat GmnI FH USU Bung Sa’ban Hutagaol (Komisaris 2015-2016), Bung Tamado Donmes, Bung Rendra Manalu, Bung Samuel Sitompul, Bung Ady May Simanjuntak, Bung Mardo Siregar, Sarinah Sandra Sinaga, Sarinah Yohana, Sarinah Friska, Bung Brenada Sihite, Bung Irvin, Bung Anggiatma, Bung Alex Manalu, Sarinah Regina Manik, Sarinah Purim Dachi, Sarinah Mifta, Sarinah Rina, Sarinah Pinta, Sarinah Novi Harefa, Sarinah Jesica, Bung Suend, Bung Edu, Bung Sahat, Sarinah Ninir, Sarinah Vera, dan bung dan sarinah lain yang tak bisa disebutkan satu per satu. Trimakasih telah menemani saya sebagai penyemangat dalam kehidupan perkuliahan maupun dalam percintaan…

16. Kepada Rindy Purnama Dewi yang telah mengisi hari-hariku dengan sedih, senang, dan telah mengingatkan tentang skripsi.

17. Kepada Penjaga Wamar Bou, Mami, Bang Iwan. Terimakasih atas pelayanannya selama ini.

18. Kepada Kak Carina Siahaan, Ari Pareme, Laura, Thresya, Juanda, dan Erick. Trimakasih untuk waktu yang sedikit banyak mengubahkan pandangan kekristenanku.

19. Kepada teman-teman Grup G (anggota Gaster), Grup B, teman-teman futsal Chandro Situmorang, Devid Juhendri Lubis, Tung Asido Rohana Malau, Juanda


(4)

vi

Guntur Sukarno Gultom, Leider Tirta Silalahi , Rio Setiadi Silalahi , Antonio Romario Sidabutar, Choky Desrian Saragih, Syahputra Sibagariang, Arius Prima Lumbanbatu, Timoteus Banjarnahor, Iva Ferdinandu Halawa, Dani Christopher Sinaga, Richard TGS, Masmur Purba, Michael, M. Ikhwan Adabi, Lambok J.S Hutauruk, Susan Oktaviana, Rachel Sheila, Oong Damanik, dan teman-teman yang tak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan kenangan bagi penulis di masa perkuliahan. Terima kasih untuk kegembiraan yang telah kalian berikan.

Akhir kata penulis mohon maaf apabila di dalam penulisan skripsi ini terdapat kesalahan-kesalahan yang secara tidak sadar telah penulis, oleh karenannya mohon dimaafkan serta dikoreksi. Kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Medan, 20 Agustus 2015

Penulis


(5)

vii DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

D. Keaslian Penelitian ... 12

E. Tinjauan Kepustakaan ... 14

F. Metode Penelitian ... 22

G. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II ASPEK HUKUM STANDARDISASI BARANG DI INDONESIA A. Sejarah Standardisasi di Indonesia ... 27

B. Pengertian, Proses, dan Jenis Standardisasi di Indonesia... 31

C. Tujuan Standardisasi Barang di Indonesia ... 44

D. Penerapan Standardisasi Barang di Indonesia ... 46

BAB III USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH DAN KOPERASI SEBAGAI PELAKU EKONOMI DI INDONESIA A. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam Perekonomian Indonesia ... 51


(6)

viii

C. Peran Usaha Mikro Kecil, Menengah dan Koperasi dalam Perekonomian Indonesia ... 62 D. Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi di Indonesia

... 68 BAB IV DAMPAK STANDARDISASI BARANG TERHADAP USAHA KECIL,

MENENGAH DAN KOPERASI

A. Penetapan Standardisasi Barang terhadap Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi ... 74 B. Peran Pemerintah dalam Menunjang Penerapan Standardisasi terhadap

Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi ... 84 C. Keberlangsungan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi sebagai

Akibat dari Standardisasi Barang ... 93 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 102 B. Saran ... 103 DAFTAR PUSTAKA


Dokumen yang terkait

Prinsip Permberdayaan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah Dalam Ketentuan Pembatasan Kepemilikan Waralaba Restoran Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah

0 77 85

Dampak Standardisasi Barang Bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah Dan Koperasi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

1 40 124

Akibat Hukum Pemberian Pengampunan Pajak Bagi Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak

0 9 130

HARMONISASI UNDANG-UNDANG PERBANKAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH UNTUK MEMPEROLEH KEMUDAHAN MODAL USAHA BAGI PELAKU USAHA MIKRO.

0 0 1

Dampak Standardisasi Barang Bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah Dan Koperasi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

0 2 10

Dampak Standardisasi Barang Bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah Dan Koperasi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

0 0 1

Dampak Standardisasi Barang Bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah Dan Koperasi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

0 0 26

Dampak Standardisasi Barang Bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah Dan Koperasi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

0 0 24

Dampak Standardisasi Barang Bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah Dan Koperasi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

0 0 6

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

0 0 44