BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Kedudukan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) Setelah Berlakunya Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Badan Pengawas Pasar Modal atau Bapepam melakukan pelaksanaan,

  pembinaan, pengaturan dan pengawasan di pasar modal. Mengingat pasar modal merupakan salah satu sumber pembiayaan dunia usaha dan sebagai wahana investasi bagi para pemodal, serta memiliki peranan strategis untuk menunjang pembangunan nasional, kegiatan pasar modal perlu mendapat pengawasan agar pasar modal dapat berjalan secara teratur, wajar, efesien, serta melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat. Untuk itu Bapepam diberi kewenangan luar biasa dan kewajiban untuk membina mengatur dan mengawasi setiap pihak yang melakukan kegiatan di pasar

   modal.

  Pada awalnya Bapepam merupakan badan yang multifungsi, sebagai regulator, pengelola bursa efek, pengawas pihak-pihak yang terlibat dan pelaksana kegiatan di bidang pasar modal, melakukan pemeriksaan, penyidikan, dan menjatuhkan sanksi. Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004 telah mengamanatkan kepada penyelenggara negara untuk mengembangkan pasar modal yang sehat, transparan, dan efesien. Perkembangan selanjutnya pemerintah memutuskan untuk menetapkan Bapepam sebagai regulator dan penegak hukum pasar modal demi peningkatan kualitas penerapan dan penegakan peraturan 1 CST. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-pokok Hukum Pasar Modal, (Jakarta: Pustaka perundang-undangan di bidang pasar modal yang sesuai dengan standart internasional. Sedangkan pengelolaan bursa diserahkan kepada Bursa Efek Jakarta

  

  Lahirnya Undang-undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal (UUPM) yang mengubah Bapepam dari Badan Pelaksana Pasar Modal menjadi Badan Pengawas Pasar Modal. Melalui UUPM telah di atur berbagai hal khususnya menyangkut kedudukan, tugas dan wewenang lembaga pengawas yang di sebut Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) peran dari lembaga penunjang pasar modal, peranan bursa serta ketentuan perdata maupun pidana. Kristalisasi dari pengaturan di maksud adalah terciptanya pasar modal yang efektif, efisien serta wajar. Dengan kondisi pasar modal demikian, akan timbul kepercayaan dari para pelaku pasar termasuk dunia usaha dan para pemodal untuk semaksimalnya memanfaatkan pasar modal tidak saja sebagai alternatif investasinya, tetapi pula sebagai pilihan pendanaan

   usahanya.

  Secara Umum UUPM mengatur kewenangan dan tugas dari Bapepam sebagai:

  1. lembaga Pembina; 2. lembaga Pengatur; 3. lembaga Pengawas. 2 M. Irsan Nasarudin, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group,

  2010), hlm. 2 3 Jusuf Anwar (a), Pasar Modal Sebagai Sarana Pembiayaan dan Investasi, (Jakarta: PT.

  Ketiga kewenangan itu dilaksanakan oleh Bapepam dengan tujuan mewujudkan terciptanya pasar modal yang teratur, wajar dan efesien serta melindungi

   kepentingan pemodal dan masyarakat.

  UUPM memberikan kedudukan dan peranan demikian besar kepada Bapepam, tetapi di lain pihak kedudukannya sebagai lembaga birokrasi justru kontradiktif. Karena hanya menjadi salah satu bagian dalam jajaran Departemen Keuangan. Hal ini ditegaskan pada Pasal 3 ayat (2) UUPM bahwa Bapepam berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri. Besarnya kewenangan yang dimiliki Bapepam mengimplikasikan kebutuhan akan independensi institusional. Apalagi Bapepam memiliki fungsi pengawasan terhadap wilayah hukum yang melibatkan banyaknya kepentingan dan dana masyarakat. Independensi sangat diperlukan Bapepam untuk mampu menghindari kepentingan dan intervensi di dalam penegakan hukum yang sejatinya ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada

   pelaku pasar modal dan investor pasar modal Indonesia.

  Dengan lahirnya UU OJK yang berlaku tanggal 22 November 2011, pengawasan lembaga jasa keuangan di Indonesia berubah yang pada awalnya dilakukan oleh beberapa lembaga, pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia, pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan lainnya oleh Bapepam menjadi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga tunggal, yaitu OJK. 4 Tavinayanti dan Yulia Qamariyanti, Hukum Pasar Modal Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,

  2009), hlm. 12

  Pembentukan kegiatan sektor jasa keuangan dalam satu lembaga (single

  

supervisory agency) tersebut setidaknya di pengaruhi oleh 2 faktor. Faktor pertama

  lebih mengarah kepada kondisi eksternal yang tidak dapat dihindari seperti semakin

  

  terintegrasinya industri keuangan dunia. Beberapa Negara telah memiliki lembaga sejenis, yaitu The Australian Prudential Regulation Authority (APRA) (Australia),

  

Office of the Superintendent of Finansial Institution (OSFI) (Kanada), dan Finansial

Supervisory Commission (FSC) (Korea Selatan). Faktor yang kedua, Pasal 34

  Undang-undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia mengamanatkan tentang pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan terhadap semua otoritas di

   bidang jasa keuangan akan disatukan dalam OJK ini.

  Secara historis, ide pembentukan otoritas jasa keuangan (OJK) sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan Undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU tentang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada Bank Sentral. RUU ini di samping memberikan independensi tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari Bank Sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan gubernur Bundesbank (Bank Sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan

6 Jusuf Anwar (b), Penegakan Hukum dan Pengawasan Pasar Modal Indonesia, (Bandung:

  P.T Alumni, 2008), hlm. 183

  RUU (Kemudian menjadi Undang-undang No. 23 Tahun 1999) bertindak sebagai

   konsultan. Mengambil pola Bank Sentral Jerman yang tidak mengawasi bank.

  Alasan lainnya pembentukan OJK adalah makin kompleks dan bervariasinya produk jasa keuangan, munculnya gejala konglomerasi perusahaan jasa keuangan,

  

  dan globlisasi jasa keuangan. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan yang meliputi tindakan praktik-praktik buruk (moral hazard), belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawas di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Pasal 5 UU OJK menyatakan, bahwa “OJK berfungsi menyelanggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi

   terhadap seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan”.

  Sehubungan dengan hal tersebut di atas, diperlukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan pengawasan di sektor jasa keuangan yang mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan jasa keuangan lainnya.

  Penataan di maksud dilakukan agar tercapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga 8 Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, (Bandung: Books Terrace&Library, 2005),

  hlm. 144 9 Tim Penyusun RUU Lembaga Pengawas Jasa Keuangan Departemen Keuangan RI,

Nasakah Akademik Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK), Jakarta, Desember 2000, dalam M,

Irsan Nasarudin, dkk, Op. cit, hlm. 49 10 Bismar Nasution (a), “Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa

  

Keuangan: Kajian Terhadap Indepedensi Dan Pengintegrasian Pengawasan Lembaga Keuangan”,

Disampaikan pada sosialisasi UU No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, dilaksanakan dapat lebih menjamin tercapainya terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan

   tersebut harus dilakukan secara integrasi.

  Pasal 1 angka (1) UU OJK menyatakan bahwa: Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya di sebut OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana di maksud dalam Undang-undang ini. Secara kelembagaan mengenai independensi OJK berada di luar pemerintah yang dimaknai bahwa otoritas jasa keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan pemerintah karena hakikat OJK merupakan otoritas di sektor jasa keuangan dibidang fiskal.

  OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan didalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber

11 Republik Indonesia (a), Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa

  

Keuangan. Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5253, daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan,

   dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi.

  Dalam konteks UU OJK di maksudkan untuk mewujudkan “Otoritas Jasa Keuangan” (OJK) yang memiliki fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel.

  Pasal 6 UU No.21 Tahun 2011 Tentang otoritas Jasa keuangan, Otoritas jasa keuangan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a.

  Kegiatan jasa keuanngan di sektor perbankan b.

  Kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal c. Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga keuangan lainnya.

  OJK diharapkan akan mampu menciptakan koordinasi yang lebih baik dan konsistensi kebijakan diantara lembaga yang memilki latar belakang aturan yang berbeda. Dengan demikian, OJK mampu menghasilkan kebijakan yang menyeluruh

   pasca berbagai industri keuangan yang berada di pengawasan OJK.

  Kehadiran OJK yang merupakan lembaga independen yang melakukan pengawasan jasa keuangan termasuk pengawasan di pasar modal yang diharapkan mampu menghindari berbagai benturan kepentingan dan intervensi didalam

12 Ibid.

  memberikan kepastian hukum yang ditujukan untuk memberikan perlindungan

   kepada pelaku pasar modal dan investor pasar modal Indonesia.

  Dengan berlakunya UU OJK yang bertugas mengatur dan mengawasi lembaga keuangan termasuk pengawasan pasar modal, berdasarkan UUPM merupakan kewenangan dari Bapepam. Sehingga dengan berlaku UU OJK tersebut kewenangan apa saja yang menjadi kewenangan Bapepam sesuai dengan UUPM dan bagaimana kewenangan OJK dalam pasar modal. Apakah akan ada tumpang tindih kewenangan antara Bapepam dan OJK dalam pengawasan transaksi dipasar modal, serta bagaimana harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang OJK. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian dalam tesis yang berjudul Analisis Yuridis Kedudukan Bapepam Setelah Berlakunya Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

B. Perumusan Masalah

  Bertitik tolak dari uraian diatas maka yang menjadi permasalahan penelitian ini adalah:

  1. Apakah latar belakang lahirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Undang- undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)?

  2. Bagaimana kewenangan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) di pasar modal sebelum lahirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK)?

  3. Bagaimana transformasi kewenangan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) setelah berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan(OJK)?

C. Tujuan Penelitian

  Mengacu kepada judul dan permasalahan dan penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam

  Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2. Untuk mengetahui kewenangan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) di pasar modal sebelum lahirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

3. Untuk mengetahui transformasi kewenangan Badan Pengawas Pasar Modal

  (BAPEPAM) setelah berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

D. Manfaat Penelitian

  Adapun manfaat penelitian yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum

2. Secara Praktis a.

  Pemerintah, diharapkan sebagai masukan dalam perubahan UUPM dalam rangka mengahadapi era pengawasan pasar modal yang independen dengan telah terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan.

  b.

  Investor, diharapkan lebih memahami dan mengetahui serta mendapatkan perlindungan hukum terhadap investasi yang ditanamkan.

  c.

  Masyarakat, diharapkan lebih memahami dan mengetahui akan perlindungan konsumen dan masyarakat terhadap Lembaga Jasa Keuangan.

E. Keaslian Penelitian

  Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khususnya Magister Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Kedudukan Bapepam Setelah berlakunya Undang- undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan” belum pernah dilakukan sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada tesis yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya. Dari hasil observasi yang telah dilakukan, ada beberapa tesis yang memiliki topik sama, namun dalam hal permasalahan dan pembahasannya yang jelas berbeda dengan isi tesis ini yakni:

1. Chairul Munadi/ 097005054, Kajian Yuridis Pembentukan Pengawas Sektor Jasa

2. Leo Chandra Jaya Bona Parti Tampubolon/ 107005050, Kewenangan Otoritas Jasa

  Keuangan Dalam Mencegah Kejahatan Insider Trading di Pasar Modal; 3. Ramsul Nababan/ 107005002, Analisis Terhadap Fungsi Pengawasan Otoritas Jasa

  Keuangan Dalam Sistem Perbankan 4. Bisdan Sigalingging/ 107005004, Analisis Hubungan Kelembagaan Antara

  Otoritas Jasa Keuangan Dengan Bank Indonesia

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran yang teoritis. Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau

   proses tertentu terjadi.

  Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan pendapat yang

  

  menjadi perbandingan, pegangan teoritis. Untuk itu perlu di susun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari mana masalah tersebut

   diamati.

  15 16 J.J.J. M. Wuisma, Penelitian Ilmu-ilmu sosial, Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 203 17 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80 Hadari Nawawi,Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yokyakarta: Universitas Gajah Mada

  Fungsi teori dalam tesis ini adalah untuk memberikan arahan/ pertunjuk serta

  

  menjelaskan gejala yang diamati. Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian hukum, maka kerangka teori diarahkan secara ilmu hukum dan mengarahkan diri kepada unsur hukum.

  Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda. Istilah itu seringkali dipertukarkan dengan istilah kewenangan. Istilah kewenangan atau wewenang sering disejajarkan dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Didalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegheden). Kewenangan adalah apa yang di sebut sebagai kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan. Didalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi tindakan hukum pemerintahan (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara yuridis pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan

   untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.

  18 Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualtitaf, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 35 19 Teori kewenangan,

  Sumber kewenangan pemerintah ada dua, yakni atribusi dan delegasi. Meskipun demikian dalam praktek pemerintahan, juga ditemui adanya cara lain

   memperoleh wewenang, yaitu mandat.

  a.

  Atribusi, Van Vijk/ Konijnenbelt mengemukakan bahwa atribusi merupakan cara normal untuk memperolah wewenang. Juga dikatakan bahwa atribusi juga merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada Undang-undang dalam arti materil.

  b.

  Delegasi, sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat: besluit) oleh pejabat pemerintahan (pejabat TUN) kepada pihak lain dan wewenang tersebut.

  c.

  Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberikan wewenang kepada bawahan untuk buat keputusan a/n pejabat TUN yang memberikan mandat.

  Kewenangan yang dimiliki oleh Bapepam terhadap pengawasan pasar modal di atur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM).

  Kewenangan yang diberikan oleh UUPM Pasal 3 dan Pasal 4 adalah kewenangan yang sesuai dengan standart dan prinsip hukum pasar modal global. Masalah regulasi, penerapan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum berada di tangan badan pengawas pasar modal dan UUPM memberikan wewenang Atribusi kepada Bapepam untuk membuat dasar hukum bagi pembuatan peraturan-peraturan yang

  

  menyangkut pelaksanaan kegiatan dibidang pasar modal. Fungsi dan peranan yang diberikan UUPM seharusnya Bapepam sudah menjadi lembaga independen yang bertanggung jawab kepada presiden seperti halnya Bank Indonesia. Independensi merupakan syarat untuk menciptakan efektivitas dan menjaga kinerja pengawas 20 Frenadin Adegustara, Buku Ajar Hukum Administrasi Negara, (Padang: Fakultas Hukum

  Universitas Andalas, 2005), hlm. 20

  

  dalam penegakan hukum. Kewenangan yang dimiliki Bapepam masih belum cukup untuk mengawasi transaksi pasar modal dan sektor jasa keuangan lainnya.

  Krisis ekonimi pada tahun 1997-1998 yang berdampak besar bagi perekonomian Indonesia, kelemahan kelembagaan dan pengawasan di sektor keuangan. Hal tersebut telah memberikan pengalaman berharga berupa semakin dipahaminya keterkaitan erat sedemikian rupa antara sektor jasa keuangan yang satu dengan yang lainnya. Keterpurukan yang melanda salah satu sektor akan mampu

  

  membawa pengaruh sangat negatif pada sektor lainnya. Perkembangan pasar ekonomi membutuhkan suatu sistem hukum yang menjamin adanya sesuatu yang

   dapat di prediksi, dapat diperhitungkan dari kepastian transaksi-transaksi ekonomi.

  Sistem ekonomi pasar dapat sepenuhnya berkembang hanya dengan konsekuensi- konsekuensi hukum dari transaksi yang dapat diramalkan secara pasti.

  Max Weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang dalam hubungan manusia yang juga menyangkut hubungan dengan kekuasaan. Menurut Weber, wewenang adalah kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota-anggota masyarakat. Sedangkan kekuasaan dikonsepsikan sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya dengan penerimaan sosialnya yang formal. Dengan kata lain,

  22 23 Ibid. 24 Jusuf Anwar, (b), Op. cit, hlm. 151 Bismar Nasutioan dan Mahml Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum, (Medan: FH USU,

  kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau menentukan sikap orang

   lain sesuai dengan keinginan si pemilik kekuasaan.

   Weber membagi wewenang kedalam tiga tipe berikut: a.

  Charismatic Authority (Otoritas Kharismatik), wewenang ini bertumpu pada kepastian orang terhadap orang-orang yang dianggap memiliki keistimewaan spiritual dan transedental.

  b.

  Traditional Authority (Otoritas Tradisional), wewenang ini bertumpu pada kepercayaan menurut tradisi terhadap orang yang dianggap layak memimpin masyarakat c. Rational-Legal Authority (Otoritas Legal-Rasional), wewenang yang bertumpu pada kekuasaan formal untuk berkuasa berdasarkan kualitas dan kemampuan teknis yang dikukuhkan secara formal oleh negara Berdasarkan teori rational-legal authority (otoritas rasional-legal), pembentukan hukum dilakukan secara terencana dan sistematis sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan. Globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknolog informasi dan inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis dan saling terkait masing-masing subsektor keuangan baik dalam produk maupun kelembagaan. Dengan membandingkan kegiatan pasar modal di negara-negara yang sudah cukup maju untuk dapat mengenal kinerja yang diterapkan dalam pasar modal yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana negara-negara lain mengatasi krisis keuangannya. maka dibentuklah OJK yang mengawasi sektor jasa keuangan, yaitu perbankan, pasar 25 Yuni Saputro, Wewenang Menurut Max Weber ,

  diakses tanggal 23 Juni 2012 26 Vilhelm Aubert, Sociology Of Law, Selected Reading, England: Penguin Books Ltd, 1969 dalam Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, modal dan lembaga jasa keuangan lainnya untuk memenuhi kebutuhan dalam pengawasan lembaga jasa keuangan tersebut. Walaupun dalam UUPM masih secara tegas di atur tugas dari Bapepam. Kewenangan yang dimiliki tersebut secara tegas di atur dalam Undang-undang sesuai dengan teori hukum positif.

  Teori Positivisme Hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu diolah secara alamiah. Kepastian hukum adalah tujuan paling akhir dari

  

  positivisme hukum. Positivisme hukum terbagi atas dua konsep dasar, yaitu

  

  positivisme analistis dan ajaran hukum murni. Positivisme analistis (analitycal

  

jurisprundence) dipelopori oleh John Austin mengacu pada teori hukum kehendak

(The will theory of law) , artinya hukum adalah ungkapan kehendak penguasa. Dengan

principle of origin (asas sumber) dinyatakan bahwa hukum dapat ditemukan dalam

  Undang-undang yang ditetapkan oleh penguasa yang berdaulat. Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 Tentang BI merupakan perintah UU yang di buat oleh penguasa pada masa itu, yaitu untuk memperbaiki perekonomian dari krisis 1997-1998. Austin dalam buku Lectures un Jurisprudence mengatakan “law is a command of the

  

lawgiver” . Hukum merupakan perintah penguasa-dalam arti bahwa perintah dari

  mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan, seperti Undang-undang, peraturan pemerintah dan lain-lain atau di sebut sebagai

  27 Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), hlm. 35 28 Anshori Ilyas (Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin), Telaah Kritis Positivisme

  

  hukum positif. Amanat dari Pasal 34 dibentuknya lembaga independen dalam satu atap yaitu OJK termasuk Pasar Modal dalam UU OJK yang dalam tugas pengawasan dan pengaturannya berada pada lembaga ini. Pembentukan UU OJK dalam pengawasan pasar modal sebelumnya di atur dalam UUPM adalah kewenangan Bapepam diharapkan dapat memberikan kepastian hukum terhadap perkembangan dan kemajuan suatu pasar modal bagi para pelakunya terutama bagi masyarakat

  

  investor , khususnya investor internasional yang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap aturan hukum (rule of law) di samping adanya aspek full dan fair

  

disclosure. Investor tidak termotivasi memasuki pasar modal Indonesia jika pasar

  tersebut tidak memiliki perangkat aturan yang menjamin perlindungan dan kepastian hukum, dan keadilan. Apalagi bisnis dipasar modal merupakan bisnis kepercayaan.

  Kepercayaan itu akan lebih aman dan terjamin jika di payung oleh peraturan yang

  

  jelas dan mengikat, atau lebih di kenal dengan kepastian hukum. Keberlakuan hukum ditengah masyarakat bukan lagi untuk mencapai keadilan semata tetapi

   memberikan kepastian hukum.

  Positivisme lainnya adalah Hans Kelsen dengan Teori Hukum Murni (The

  

pure norm theory oh law) . “Hukum merupakan tatanan paksaan normative dalam

  prilaku manusia”. Hukum adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang secara objektif tertuju pada tindakan manusia. Sistem hukum memperoleh makna normatifnya dari 29 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: PT. Citra

  Aditya Bakti), hlm. 58 30 I Putu Gede Ary Suta, Menuju Pasar Modal Modern, Yayasan Sad Satria Bhakti, Jakarta, 2000, h. 17 Dalam M. Irsan, Op.Cit, hlm. 44 31 Ibid, hlm. 60

  

  kaidah yang lebih tinggi. Teori ini secara lebih jelas menyatakan bahwa dasar keabsahan sebuah norma hanya didapat pada keabsahan norma yang lebih tinggi.

  Hanya otoritas yang kompeten yang dapat menciptakan norma yang absah, dan ini hanya dapat dilakukan berdasarkan sebuah norma yang memberikan kewenangan untuk melahirkan norma-norma. Norma yang memberikan dasar bagi absahan norma lainnya yang lebih tinggi. Norma tertinggi ini lah yang disebut sebagai norma dasar

  (Groundnorm) , dan dalam konteks Indonesia, Norma dasar tersebut adalah Undang-

  undang dasar 1945. UU NO. 21 Tahun 2011 tentang OJK merupakan Amanat dari

  Pasal 34 UU BI untuk pembentukan lembaga independen, Pembentukan UU BI merupakan amanat dari Pasal 23 UUD 1945 sebagai Bank Sentral. Dalam Konteks kedudukan Bank Sentral dalam konstitusi memberikan penjelasan bahwa tata urutan atau susunan hierarki tatanan hukum berkenaan dengan kegiatan perbankan, termasuk pengawasan bank, harus bertitik tolak kepada ketentuan dalam Bank Sentral sebagaimana ditentukan dalam konstitusi. Sebab apabila dipostulasikan dengan norma dasar, konstitusi menempati urutan tertinggi dalam hukum nasional. Konstitusi tidak hanya menentukan organ-organ dan prosedur pembentukan Undang-undang tetapi juga sampai derajat tertentu, isi dari hukum yang akan datang. Dengan demikian peranan dan tugas Bank Indonesia yang independen sebagai Bank Sentral sebagaimana ditentukan dalam konstitusi, harus dipertahankan kedudukannya, termasuk tidak ada Undang-undang yang akan datang yang dapat mencabut fungsi

   dan tugas Bank Indonesia.

  Ann Seidman, Robert B. Seidman dan Nalin Abeysekere mengatakan bahwa dalam proses pembagunan Undang-undang merupakan alat utama pemerintah melakukan perubahan pada lembaga-lembaga. Hal tersebut memperjelas tugas pembuat Undang-undang, yaitu membuat Undang-undang yang efektif dan mampu membawa perubahan. Suatu Undang-undang yang efektif pada khususnya disuatu

  

  Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan di maksudkan untuk mewujudkan “Otoritas Jasa Keuangan” yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pegawasan terhadap kegiatan sektor jasa keuangan secara terpadu, independen dan akuntabel.

2. Konsepsi

  Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsepsi adalah pendapat, pangkalan pendapat; konsepsi diterjemahkan

  34 Bismar Nasution (b), Implementasi Pasal 34 Undang-undang Tentang Bank Indonesia dan

Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan

Stabilitas Keuangan , hlm. 14, 35 Ann Seidman, Robert B. Seidman dan Nalin Abeyesekere, Legislative Draftinf for

Democratic Social Change A Manual For Drafters, (London: Kluwer Law International, 2001), hlm.

  sebagai usaha membawa sesuatu abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut

   dengan operational definition.

  Dalam penelitian hukum, adanya kerangka konsepsional dan landasan atau kerangka teoritis menjadi syarat yang sangat penting. Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum, dan dalam landasan/ kerangka teoritis sebagai suatu sistem

   aneka “Theore’ma” atau ajaran (di dalam bahasa Belanda: “leesrstelling”).

  Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana penelitian ini dan secara operasional diperoleh hasil penelitian sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.

  a.

  Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang

   diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.

  b.

  Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) adalah Lembaga yang berada di bawah serta bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pembinaan, pengaturan, dan

   pengawasan kegiatan pasar modal. 36 Tan Kamello, “Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia”: Suatu Tinjauan Pustaka Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, (Medan: PPS USU), hlm. 35 37 Soejono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja

  Grafindo Persada, 1995), hlm. 7 38 Republik Indonesia (b), Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608, Pasal 3 c.

  Kedudukan Bapepam adalah kewenangan fungsional yaitu Pembina, pengaturan dan pengawasan kegiatan pasar modal oleh Bapepam .

  d.

  Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disebut OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang, pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan.

   e.

  Peraturan OJK adalah peraturan tertulis yang ditetapkan dengan dewan komisioner, mengikat secara umum, dan diundangkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia.

   f.

  Fungsi OJK adalah menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan di sektor jasa keuangan.

   g.

  OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a.

  Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan; b.

  Kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan c. Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya.

   G. Metode Penelitian

  Penelitian merupakan suatu sarana proses dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.

  40 Republik Indonesia (a), Op. cit, Pasal 1 angka 1 41 Ibid, Pasal 1 angka 11 42 Ibid, Pasal 5 Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang

   telah dikumpulkan dan diolah.

  Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum

   yang dihadapi.

  Dengan demikian penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, kecuali itu, maka diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-

   permasalahan yang timbul dengan gejala bersangkutan.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

  Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan dari penelitian, maka sifat penelitian yang sesuai adalah penelitian yang bersifat deskriptif analistis, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan dan menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat tentang analisis yuridis kedudukan Bapepam setelah berlakunya Undang-undang no. 21 Tahun 2011 Tentang otoritas jasa keuangan.

  Jenis penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif atau disebut sebaai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis 44 Soejono Soekanto, Pengantar penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 45 hlm. 12 Peter Mahmud marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: kencana, 2006), hlm. 35 46 Bambang Suggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997),

  hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by

  

the judge through judicial process) . Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini

  didasarkan data sekunder dan menekankan langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

  Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif yang merupakan penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran

   berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.

2. Sumber Bahan Hukum

  Ada pun yang menjadi sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari: a.

  Bahan Hukum Primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahann hukum primer terdiri dari perundang- undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-

  

  undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang dipakai dalam penelitian ini yaitu Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang No. 6 Tahun 2009 jo Undang-undang No. 3 Tahun 2004 jo Undang-undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa 47 Amiruddin dan Zainal Asikin, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya 48 Bakti, 2006), hlm. 118

Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: UMM Press, 2007),

  hlm. 57

  Keuangan dan risalah dalam pembuatan Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

  b.

  Bahan Hukum Sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku- buku teks, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.

   c.

  Bahan Hukum Tersier, berupa bahan-bahan yang berfungsi memberikan kejelasan pemahaman terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus-kamus hukum, ekonomi dan ensklopedia, majalah, surat kabar, internet dan sebagainya

  Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum terkait, dan hasil penelitian dokumen terkait lainnya.

  

3. Teknik Pengumpulan Data .

  Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

  (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti dokumen-

  dokumen dari bahan pustaka atau yang di sebut dengan data sekunder yaitu peraturan perundang-undangan, buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, makalah ilmiah, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang akan dibahas dalam tesis ini. 50 Ibid. 51 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia

  4. Teknik Analisa Data

  Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-

   kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut.

  Data yang telah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan pendekatan kualitatif yaitu: a.

  Mengumpulkan bahan hukum berupa iventarisasi peraturan perundang-undangan yang relevan dan bahan-bahan kepustakaan lainnya yang mendukung; b.

  Memilah-milah bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya melakukan sistematisasi bahan-bahan hukum sesuai dengan permasalahan; c.

  Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkan untuk menemukan kaidah, asas, konsep yang terkandung di dalam bahan hukum-bahan hukum tersebut; d. Menemukan hubungan konsep, asas, kaidah tersebut dengan menggunakan kerangka teori sebagai pisau analisis

  5. Penarikan Kesimpulan.

  Menarik kesimpulan dari hubungan-hubungan (preposisi) antara kaidah, asas, konsep untuk menjawab permasalahan dengan metode deduktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sehingga memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang dirumuskan

Dokumen yang terkait

Pengawasan Terhadap Lembaga Dana Pensiun Setelah Berlakunya Undang-Undang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

7 172 125

Analisis Yuridis Kedudukan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) Setelah Berlakunya Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

2 58 122

Analisis Terhadap Perbandingan Pengaturan Penanganan Bank Gagal Sebelum dan Setelah Berlakunya UU Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

0 4 34

Kewenangan Bank Indonesia Setelah Disahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Terhadap Pengurangan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Akibat dari Kepailitan

0 1 18

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengawasan Terhadap Lembaga Dana Pensiun Setelah Berlakunya Undang-Undang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Bagi Pekerja/Buruh Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs)

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Penanganan Dugaan Penyimpangan Kredit Perbankan Oleh Otoritas Jasa Keuangan

0 0 18

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan Direksi Di Industri Keuangan Bank Oleh Otoritas Jasa Keuangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sebagai Regulator dan Pengawas Kegiatan Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal

0 1 20