BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisa Hukum Mengenai Eksistensi Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Didalam kehidupan bernegara dan berbangsa, permasalahan penegak
hukum merupakan suatu dinamika sosial yang pasti akan ditemukan oleh sebuah negara tak terkecuali negara apapun itu termasuk Indonesia. Permasalahan ini biasanya selalu diikuti dengan adanya suatu norma sebagai solusi dalam mengatasi masalah tersebut. Jauh sebelumnya, seorang filsuf yang bernama Cicero mengatakan “Ubi Societas, Ibi Ius, Ibi Crimen ” (ada masyarakat, ada hukum dan ada kejahatan). Masyarakat saling menilai, menjalin interkasi dan
komunikasi, tidak jarang timbul konflik atau pertikaian.
Satu dari sekian banyak permasalahan penegakan hukum yang terjadi khusunya di Indonesia adalah tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi bukan hal baru di Indonesia. Sejak zaman VOC sampai bubarnya VOC karena korupsi, korupsi sudah lama dikenal. Upeti dizaman kerajaan dimasa lalu adalah salah satu bentuk korupsi.
Korupsi merupakan budaya peninggalan masa lalu. Ini merupakan suatu budaya yang sulit dirubah karena melekat pada diri manusia itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari hasil penelitian dari tahun ke tahun, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) selalu mencoba mengembangkan inovasi atau strategi penindakan, sembari terus meningkatkan metode sebelumnya. Dalam rentang waktu dari tahun 2008-
2011, rata-rata capaian perkara yang disidik KPK pertahun berkisar antara 35-40 kasus, dan pelaku korupsi yang berhasil divonis penjara (inkracht) antara 30-35 orang. Sedangkan di tahun 2012 (hingga per Agustus 2012), dilakukan penyelidikan 53 perkara, penyidikan 43 perkara, penuntutan 22 perkara, inkracht
16 perkara, dan eksekusi 20 perkara Hal ini menunjukan kalau permasalahan korupsi yang sedang di hadapi negeri ini bagaikan sebuah penyakit yang tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh media seolah-olah merepresentasikan jati diri bangsa yang dapat dilihat dari budaya korupsi yang telah menjadi hal yang biasa bagi semua kalangan, mulai dari bawah hingga kaum elite. Mungkin banyak yang tidak sadar kalau budaya korupsi bisa terjadi dirumah, sekolah, masyarakat, maupun di intansi-instansi dan dalam pemerintahan. Mereka yang melakukan korupsi terkadang menganggap remeh hal yang dilakukan itu. Hal ini sangat mengkhawatirkan, sebab bagaimanapun, apabila suatu organisasi dibangun dari korupsi akan dapat merusaknya.
Ada beberapa kasus korupsi yang sampai sekarang tidak diketahui ujung pangkalnya. Salah satunya adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang pegawai pajak golongan IIIA yaitu Gayus Tambunan. Apa yang telah dilakukan oleh Gayus Tambunan adalah suatu hal sangat tidak yang wajar. Karena apabila melihat dari statusnya yang hanyalah seorang pegawai negeri biasa, tetapi memiliki tabungan yang begitu banyak, senilai Rp. 25 Miliar, tentu saja hal ini 2 KPK, statistik penanganan tindak pidana korupsi berdasarkan tahun, mengundang tanya bagi siapapun Apalagi kalau bukan korupsi. Padahal, pekerjaan Gayus sehari-hari cuma menjadi penelaah keberatan pajak (banding)
perorangan dan badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak.
Apabila di perhatikan, Korupsi yang terjadi di Indonesia pada saat sekarang bukanlah suatu korupsi yang terjadi secara kebetulan dalam pengelolaan uang negara oleh oknum-oknum penyelenggara negara/instansi Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), tetapi adalah suatu korupsi yang sudah terencana atau direncankan dengan matang jauh-jauh hari pada tahap proses perencanaan maupun awal pelaksanaan anggaran. Sudah sejak dekade tahun delepan puluhan begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo mengatakan bahwa tingkat kebocoran dalam pengelolaan keuangan negara mencapai tiga puluh persen. Kebocoran yang tinggi tersebut
terus berlanjut sampai sekarang ini.
Padahal sudah ada Undang-Undang yang mengatur mengenai Tindak Pidana korupsi ini yaitu Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang- Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengantikan Undang-Undang Nomor: 3 tahun 1997 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam bagian pertimbangan Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi butir c menyatakan “bahwa Undang-Undang Nomor: 3 Tahun 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan 3 Manshurzikri, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi mengacu kepada
kasus korupsi gayus tambunan, http://manshurzikri.wordpress.com, diakses tanggal 20 Januari
2013.Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam pencegahan dan memberantas tindak pidana korupsi”. Namun dalam prakteknya, masih tetap banyak terjadi tindak pidana korupsi di Indonesia.
Berdasarkan hasil survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Indonesia menduduki posisi pertama sebagai Negara terkorup di ASIA Pasifik pada tahun 2010. Posisi Indonesia sebagai Negara terkorup di ASIA Pasifik ini mengalahkan Kamboja dan Vietnam. Sedangkan menurut World Economic Forum (WEF) melalui survey global competitivenes index menempatkan Indonesia di ranking 44 dari 139 Negara terkorup di dunia pada tahun 2010. Data mencatat bahwa kasus korupsi yang ditangani oleh Kepolisian pada tahun 2010 sebanyak 585 perkara dengan nilai kerugian mencapai sekitar Rp 560,348 miliar. Sedangkan pada tahun 2011 polisi menangani kasus korupsi sebayak 1.323 perkara dan jumlah kasus yang diselesaikan pada 2011 sebanyak 755 kasus. Jumlah kerugian Negara akibat tindak pidana korupsi juga meningkat 258,39 persen menjadi Rp 2,007 triliun di tahun 2011. Lalu di tahun 2012, hingga bulan September polisi telah menangani sebanyak 885 kasus. Besarnya kerugian
yang dialami Negara akibar korupsi mencapai Rp 1,67 triliun.
KPK Sebagai lembaga independen pemberantasan korupsi, dalam kurun waktu 2004 sampai dengan Mei 2012, KPK telah berhasil membawa para koruptor ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan semuanya diputus bersalah. Mereka adalah 50 anggota DPR, 6 Menteri/Pejabat Setingkat Menteri, 8 Gubernur, 1 Gubernur Bank Indonesia, 5 Wakil Gubernur, 29 Walikota dan Bupati, 7 Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Yudisial dan Pimpinan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), 4 Hakim, 3 Jaksa di Kejaksaan Agung, 4 Duta Besar dan 4 Konsulat Jenderal (termasuk Mantan Kapolri), Jaksa senior, Penyidik KPK, seratus lebih pejabat pemerintah eselon I dan II (Direktur Umum, Sekretaris Jenderal, Deputi, Direktur, dan lain-lain), 85 CEO, pemimpin perusahaan milik negara (BUMN) dan pihak swasta yang terlibat
dalam korupsi .
Namun dalam beberapa kasus-kasus yang ditangani baik oleh KPK ataupun POLRI yang akhirnya dilimpahkan kepengadilan, dalam beberapa kasus ada yang diputuskan bebas. Ternyara putusan tersebut ada yang tidak mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 telah meniadakan sifat melawan hukum materiil didalam pasal 2 ayat 1 penjelas Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mana bunyi pasal 2 ayat (1) ini yaitu. “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.
Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) kalimat pertama menyebutkan “yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”.
Bunyi pasal dan penjelasan pasal ini di kalimat pertamanya mensyaratkan beberapa karakteristik unsur-unsur tindak pidana yang salah satunya yakni perbuatan melawan hukum yang dalam penerapannya menjadi masalah di dalam praktek sistem peradilan tindak pidana korupsi terutama menyangkut perbuatan melawan hukum materil. Konsepsi perbuatan melawan hukum materiil pada hakekatnya telah dikenal di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia namun tidak efektif dan kurang mendapat perhatian pada sistem peradilan di Indonesia
dengan pertimbangan sebagai berikut 1. perbuatan melawan hukum yang semula diartikan secara formil
(wederwettelijk) telah mengalami pergeseran dan yang dianggap sebagai terobosan baru dalam hukum pidana, karena sifat dari perbuatan itu kini diartikan juga secara materil yang meliputi setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap 7 perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat, sehingga terjadi
Lilik Mulyadi,Dimensi Dan Implementasi “Perbuatan Melawan Hukum Materiil” perubahan arti menjadi wederrechtelijk, khususnya perbuatan melawan hukum materil dalam hukum pidana.
2. wederrechtelijk mendapat pengaruh yang kuat sekali dari pengertian perbuatan melawan hukum secara luas dalam hukum perdata melalui
arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919.
Oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan permohonan Pengujian Undang- Undang Republik Indonesia Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor:
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang diajukan oleh DAWUD DJATMIKO selaku Pemohon. Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya bagian mengadili menyebutkan sebagai berikut:
1. Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor: 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini
mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma- norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana ” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor: 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini
mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma- norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut
dapat dipidana ” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Namun disamping itu, dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi ini secara langsung maupun secara tidak langsung telah memberikan batasan dalam penerapan hukum bagi para penegak hukum dalam mengatasi permasalahan korupsi. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa korupsi yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang ini telah mengalami kemajuan dalam cara, pelaksanaan, maupun bentuknya sehingga dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi ini mengakibat bahwa seseorang hanya dapat di hukum apabila unsur- unsur melawan hukum formilnya terpernuhi atau apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum tertulis dan alasan-alasan pengecualiannya harus di cari dalam hukum tertulis juga. Sedang Mahkamah Agung dalam beberapa Yurisprudensinya mengakui mengenai sifat melawan hukum materil dalam tindak pidana Korupsi. Oleh karenanya dalam beberapa Putusan Mahkamah Agung pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tetap mempergunakan ajaran sifat melawan hukum materiil. Hal ini menimbulkan ketidakjelasaan karena pada tataran aplikasi di dunia penegakan hukum, penggunaan unsur melawan hukum berdampak terhadap proses peradilan pidana. Apakah seseorang itu bisa dipidana atau tidak, hal ini tergantung pada sifat melawan hukum yang dikenakan kepada seseorang karena seseorang tidak akan pernah dijatuhkan pidana apabila pada dirinya tidak melekat unsur melawan hukum pidana.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis terdorong untuk mengangkat dan membahas kedalam skripsi yang diberi judul: “ANALISA HUKUM MENGENAI
EKSISTENSI SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA
KORUPSI PASCA KELUARNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR: 003/PUU-IV/2006”.B. Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak menyimpang dari pokok materi yang ada dan lebih terarah, maka Penulis membatasi lingkup pembahasan dalam skripsi ini dengan tujuan agar lebih mudah dipahami dan dimengerti
Atas dasar itulah, Penulismembatasi ruang lingkup kajian permasalahan yang ada sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep sifat melawan hukum dalam tindak pidana di
Indonesia ? 2. Bagaimana eksistensi sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
003/PUU-IV/2006? C.
Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah yang telah penulis kemukakan diatas, maka tujuan dari penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui konsep sifat melawan hukum dalam tindak pidana; 2.
Untuk mengetahui eksistensi sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006. Adapun manfaat dari penulisan ini adalah: 1.
Secara Teoritis Secara teoritis skripsi ini di harapkan akan memberikan masukan dan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, dan ilmu hukum pidana khususnya.
2. Secara Praktis
Secara praktis skripsi ini ditujukan sebagai bahan masukan serta untuk memberikan kontribusi pemikiran kepada aparatur penegak hukum dan memberikan informasi kepada masyarakat serta mahasiswa mengenai eksistensi sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006.
D. Keaslian Penulisan
Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Analisa Hukum Mengenai
Eksistensi Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi Pasca
Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006”
berdasarkan pemeriksaan dan hasil- hasil penelitian yang ada di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) belum pernah ada judul yang sama dengan skripsi ini, sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan Tabel Judul yang ada pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara
Informasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 10 Januari 2013 (terlampir) yang mana telah di ACC (diterima) sebagai judul skripsi Penulis.
Adapun beberapa judul yang memiliki sedikit kesamaan berdasarkan Tabel Judul yang ada pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara / Pusat Dokumentasi dan Informasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 10 Januari 2013 (terlampir) antara lain:
1. Pelaksanaa Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Terhadap Tindak Pidana
Menggunakan Narkotika Secara Tanpa Hak dan Melawan Hukum (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Medan) (disusun oleh Eddy Budianto Manalu
/ 020200073 ); 2.
Dampak dari Putusan Mahkmah Konstitusi Mengenai Pembatalan Penjelasan Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia Khususnya korupsi (disusun oleh Mada Putra Marpaung / 050200346 ).
E. Tinjauan Kepustakaan
Penulisan skripsi ini berkisar tentang Analisa Hukum Mengenai Eksistensi Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006. Adapun Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Sifat Melawan Hukum dan Unsur-Unsur Sifat Melawan Hukum
Pembahasan tentang persoalan sifat melawan hukum dalam hukum pidana merupakan pembahasan yang sangat urgen dan sangat mendasar. Urgensi pembahasan “sifat melawan hukum” dalam hukum pidana bertolak dari kenyataan, bahwa dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan- perbuatan yang bersifat melawan hukum saja. Perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana, yang dalam konteks hukum pidana disebut sebagai perbuatan pidana atau tindak pidana. Dengan konstruksi pemikiran yang demikian, maka dilarangnya suatu perbuatan itulah baik oleh hukum tertulis (Undang-Undang) maupun oleh hukum tidak tertulis yang menjadi dasar untuk menentukan apakah perbuatan itu dikatakan bersifat melawan hukum atau tidak.
Dengan demikian, suatu perbuatan yang tidak dilarang, baik oleh hukum tertulis maupun oleh hukum tidak tertulis, tidak dapat dianggap sebagai perbuatan yang
bersifat melawan hukum.
Kata melawan hukum adalah kata yang sudah baku digunakan untuk menterjemahkan kata dari bahasa Belanda onrechmatioge daad atau
wederrechtelijk , atau dari bahasa Inggris unlawful. Dengan demikian,
onrechtmatigheid atau wederrechtheid atau unlawfulness dapat diterjemahkan
sifat melawan hukum atau bersifat melawan hukum.
Terminologi wederrechtelijk lebih sering digunakan dalam bidang hukum pidana, sedangkan onrechtmatige daad dalam bahasa hukum perdata. ”In het
strafrecht is de term ‘wederrechtelijk’ gebruikelijker dan de t erm ’onrechtmatig’
”, (di bidang hukum pidana istilah wederrechtelijk lebih sering digunakan dari pada istilah onrechtmatig). Kata Heijder yang selanjutnya mengatakan: “Uit deze
verschillende terminologie vloeit noch wetshistorich noch systematisch een
verschil in betekenis voort ”. (istilah itu tidak hanya menyebabkan perbedaan arti,
baik secara sejarah perundang-undangan maupun sistematis).
Dalam dogmatik hukum pidana istilah “sifat melawan hukum” tidak selalu
berarti sama. Ada empat makna yang berbeda-beda tetapi yang masing-masing dinamakan sama yaitu sifat melawan hukum. Harus selalu ditanyakan dalam hubungan apa istilah itu dipakai untuk mengetahui artinya. Untuk itu perlu dibedakan:
a.
Sifat melawan hukum umum, ini diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana yang tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana: perbuatan pidana adalah kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.
b.
Sifat melawan hukum khusus, ada kalanya kata “sifat melawan hukum” tercantum secara tertulis dalam rumusan delik. Jadi sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidana. Sifat melwan hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan delik dinamakan “sifat melawan hukum faset”. 10 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2002), hal. 33-34. c.
Sifat melawan hukum formal, istilah ini berarti: semua bagian yang tertulis dari rumusan delik telah terpenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana).
d.
Sifat melawan hukum materiil berarti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk Undang- undang dalam rumusan delik tertentu. Seorang penulis (Vos) yang menganut pendirian yang materiil, memformulasikan perbuatan melawan hukum sebagai perbuatan yang oleh masyarakat tidak dibolehkan. Formulasi ini dipengaruhi oleh arrest Hoge Raad Nederland tahun 1919, yang terkenal dengan nama Lindenbaum-Cohen mengeni Perkara Perdata. Disitu Hoge Raad Belanda mengatakan: “perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) adalah bukan saja perbuatan yang bertentangan dengan wet, tetapi juga perbuatan yang dipandang dari pergaulan masyarakat tidak patut”.
Menurut Simon sifat melwan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hingga pada dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti
tersendiri seperti halnya dengan unsur lain. Menurut Zevenberger mengenai melawan hukum itu bahwa semua delik tidak saja bertentangan dengan Undang-Undang, akan tetapi juga bertentangan
paham kemasyarakatan.
Sedangkan menurut Andi Hamzah melawan hukum (wederrechtelijk heid) itu adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum objektif, hak subjektif,
kepatutan yang berlaku dalam msyarakat, tidak memunyai hak sendiri.
Menurut Pendapat para ahli di dalam buku Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah mengenai pengertian melawan hukum antara lain adalah dari: a.
Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang lain.
b.
Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undang- undang tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis.
c.
Van hannel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/ wewenang.
d.
Hoge raad: Dari arrest-arrestnya dapat disimpulkan, menurut HR melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan. (arrest 18-12-1911 W 9263).
e.
Lamintang: Berpendapat, perbedaan diantara pakar tersebut antara lain disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti hukum” dan dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata
wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi
pengertian “bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan
dengan hak orang lain atau hukum subjektif”.
Oleh karenanya, sifat melawan hukum dapat diartikan bahwa suatu perbuatan dapat dipidana apabila ia bertentangan dengan peraturan perundang- undangan (melawan hukum formil) atau apabila perbuatan tersebut dianggap 13 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta Sinar Grafika, 2005),
hal. 46 14 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 163
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materiil) maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Oleh pembentuk peraturan perundang-undangan untuk menentukan seseorang dapat dipidana maka sifat melawan hukum dijadikan sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan peraturan perundang- undangan akan menjadi terlampau luas. Sifat ini juga dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik culpa. Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan unsur-unsur sebagai berikut:
a. Perbuatan tersebut melawan hukum; b.
Harus ada kesalahan pada pelaku;
c.
Harus ada kerugian. Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum dalam suatu perkara, misalnya faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung.
2. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur Tindak Pidana
Tindak Pidana ialah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. Dalam rumusan tersebut bahwa yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang dan yang diancam sanksi pidana bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut. Menurut Andi Hamzah tindak pidana adalah perbuaatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana oleh Undang-Undang.
Sedangkan menurut Teguh Prasetyo, peristiwa pidana juga disebut tindak pidana (delict) adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat
dikenakan hukum pidana Moelyatno, tidak mengunakan istilah tindak pidana rumusan diatas, tetapi mengunakan kata “perbuatan pidana” kata perbuatan dalam perbuatan pidana mempunyai arti abstrak yaitu suatu pengertian yang merujuk pada 2 kejadian yang konkret yaitu: a.
Adanya kejadian yang tertentu yang menimbulkan akibat yang dilarang;
b.
Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.
Menurut Roeslan Saleh, perbuatan pidana juga disebut orang dengan delik adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki
17 18 Andi Hamzah Op. Cit,. hal 165 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pres, 2011), hal. 16 oleh hukum atau perbuatan yang oleh aturan pidana dinyatakan sebagai perbuatan
yang dilarang.
Sedangkan pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan “strafbaar feit”untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) tanpamemberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud denganperkataan “strafbaar
feit . Perkataan feit sendiri di dalam bahasa Belanda berartisebahagian dari suatu
kenyataan, sedangkan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat,oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan. Hazewinkel- Suringa membuat rumusan yang umum dari strabaar feit sebagai perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus diadakan olehhukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di
dalamnya.
Menurut Simons, dalam rumusannya strafbaarfeit itu adalah “tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan
20 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hal. 13.
oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.” Alasan dari Simon mengapa strafbaarfeit harus dirumuskan seperti diatas karena: a.
Untuk adanya suatu strafbaarfeit diisyaratkan bahwa disitu terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan Undang-Undang di mana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum; b.
Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur-unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan Undang-undang; c. Setiap strafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau kewajiban menurut Undang-Undang itu, pada hakikatnya merupakan
tindakan melawan hukum atau suatu Onrechtmatige handeling.
Sedangkan Utrecht menerjemahkan strafbaarfeit dengan istilah peristiwa hukum yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu perbuatan handelen atau doen positif atau suatu melalaikan natelen negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat hukum yang diatur oleh hukum.Tindakan semua unsur yang disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana. Hanya sebagian yang dapat dijadikan unsur-unsur mutlak suatu tindak pidana, yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum (unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat djatuhi suatu hukuman dan
adanya seorang pembuat dalam arti kata tanggung jawab Menurut Pompe perkataan strafbaarfeit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu: “pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. Sangatlah berbahaya untuk mencari suatu penjelasan mengenai hukum positif yakni semata-mata dengan menggunakan pendapat secara teoritis. Perbedaan antara hukum positif dengan teori adalah semu. Oleh karena itu, yang terpenting dalam teori itu adalah tidak seorang pun dapat dihukum kecuali tindakannya benar-benar melanggar hukum dan telah dilakukan dalam bentuk schuld, yakni dengan sengaja atau tidak dengan sengaja. Adapun hukum kita juga mengenal adanya schuld tanpa adanya suatu
wederrechtelijk heid.
Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik (an objective of penol provision ), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana.
Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective built). Disini berlaku “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafe ohne schuld atau geen straf
zonder schuld atau nulla poena sine culpa). Culpa di sini dalam arti luas, meliputi
juga kesengajaan.
Vos memberi istilah tindak pidana dengan mengumukan arti delict sebagai “Tatbestandmassigheit” dan delik sebagai “Wesenschau”. Makna “Tatbestandmassigheit” merupakan kelakuan yang mencocoki lukisan ketentuan yang dirumuskan dalam Undang-Undang yang bersangkutan, maka distu telah ada delik. Sedangkan makna “Wesenschau” merupakan kelakuan yang mencocoki ketentuan yang dirumuskan dalam Undang-Undang yang bersangkutan. Seperti misalnya kejahatan penadahan di situ tidak mungkin dimaksudkan seseorang yang telah membeli barangnya sendiri dari orang lain yang berhasil mencuri barang tersebut, karena hakikat penadahan mempunyai makna yang tidak untuk mengancam pidana seseorang yang membeli barangnya sendiri meskipun
nampaknya kelakuannya telah mencocoki rumusan Undang-Undang.
J.E Jonkers memberikan dua pengertian mengenai strafbaar feit yaitu: a. Definisi pendek memberikan pengertian “starfbaar feit” adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh Undang-Undang; b.
Definisi panjang atau lebih mendalam yang memberikan pengertian “starfbaar feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau culpa oleh orang yang dapat di
pertanggungjawabkan Kemudian R. Tresna mendefinisikan peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-
Undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana
diadakan tindakan penghukuman.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
Sedangkan menurut H.J. Van Schravendijk merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan 25 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994),
hal. 90 26 Ibid, hal. 91
hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat dipersalahkan
a.
Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Setelah melihat berbagai definisi diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarangan dan diancam pidana, dimana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatau yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).
Tindak Pidana atau strafbaar feit dalam Kamus Hukum artinya adalah suatu perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana yang dapat dijatuhi hukuman. 28 Tiap-
tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir, oleh karena itu perbuatan
yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan adalah suatu kejadian dalam
alam lahir. Disamping kelakuan dan akibat untuk adanya perbuatan pidana, biasanya
diperlukan juga adanya hal ihwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan.Unsur-unsur tindak pidana terdiri atas dua macam, yaitu: b.
Unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan- keadaan, yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindakan adalah: 1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa). 2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging. 3)
Berbagai maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan.
4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad, seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan
5) Perasaan takut seperti antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Sedangkan unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah: 1) Sifat melawan hukum atau wederrechtlijkheid. 2)
Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai serorang pegawai negeri dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP.
3) Kualitas yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
3.
Pengertian Korupsi dan Tindak Pidana Korupsi
Tidak ada definisi baku dari tindak pidana korupsi (tipikor). Akan tetapi secara umum, pengertian Tipikor adalah suatu perbuatan curang yang merugikan keuangan negara atau penyelewengan atau pengelapan uang negara untuk
kepentingan pribadi dan orang lain Menurut Lilik Mulyadi, di dalam bukunya, tindak pidana korupsi adalah merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur, tindak pidana korupsi secara langsung maupun tidak langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan
dan perekonomian negara.
Secara estimologi kata tindak pidana korupsi terdiri dari dua kata yaitu tindak pidana dan korupsi. Mengenai istilah tindak pidana didalam skripsi ini telah di uraikan terlebih dahulu di halaman-halaman sebelumnya. Sedangkan pengertian atau asal kata korupsi menurut Fockema Andreae, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus yang selanjutnya disebutkan bahwa
corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin
yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti: a.
Inggris, yaitu corruption, corrupt; b. Prancis, yaitu corruptio; c. Belanda, yaitu corruptie (korruptie).
30 Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 15.
Dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”. Dalam kamus umum Belanda Inonesia yang disusun oleh Wijosasito, corruptie yang juga disalin menjadi corruptien
dalam bahasa Belanda mengandung arti perbuatan korup, penyuapan.
Pengertian dari korupsi secara harfiah menurut John M. Echols dan Hasan Shadaly, berarti jahat atau busuk, sedangkan menurut A.I.N Kramer SR mengartikan kata korupsi sebagai: busuk, rusak, atau dapat disuap. Dalam The Lexicon Webster Dictionary, kata korupsi berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah, seperti dapat
dibaca dalam The Lexicon Webster Dictionary sebagai berikut:
Corruption {L.corruption (n-)} The act of corruption or the state of being corrupt; futrefactive decomposition, pitrid matter; moral perversion; depravity, perversion of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion from state of purity; debasement as of a language; a debased from of a word (The Lexion 1978)
Pengertian korupsi menurut Gurnar Myrdal dalam bukunya berjudul Asian
Drama, Volume II adalah: To include not only all forms of improper or selfish exercise of power and influence attached to a public officer or the special position one occupties in the public life but also the activity of the bribers.
(korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintah, atau usaha- usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta 32 kegiatan lainnya seperti penyogokan).
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK Kajian Yuridis Normatif UU
Nomor 31 Tahun 1999 Juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU Nomor 30 Tahun 2002, Kalau Gurnar Myrdal tampak mengunakan istilah korupsi dalam arti luas yang meliputi juga kolusi dan nepotisme, maka helbert Edelherz suka mengunakan istilah white collar crime untuk perbuatan pidana korupsi. Di dalam buku helbert Edelherz berjudul The Investigation of White Collar Crime, A
Manual for Law Enforcement Agencies, perbuatan pidana korupsi disebut sebagai
34 Kemudian arti korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata
berikut:
bahasa Indonesia, disimpulkan oleh Poerwadarminta: “korupsi ialah perbuatan perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya”.
White collar crime: an illegal act or services of illegal acts committed by nonphysical means and by concealment or guile, to obtain or property, to avoid the payment or loss of money or property, to obtain business or personal advantage.
(Kejahatan kerah putih: suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat ilegal yang dilakukan secara fisik, tetapi dengan akal bulus/terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari pembayaran/pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapat bisnis/keuntungan pribadi).
35 Sedangkan pengertian tindak pidana korupsi pada Undang-Undang Nomor
31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9,10, 11, 12, 12 B, dan 13., 14, 15, 16. Pasal-pasal ini juga meliputi jenis tindak pidana korupsi.
Namun di sini Penulis hanya menjelaskan pengertian tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 ayat (1) dikarenakan putusan pengadilan pada skripsi ini dikenakan pada pasal tersebut. Adapun isi dari Pasal 2 ayat (1) antara lain: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar Rupiah)”.
F. Metode Penelitian
Pengumpulan data dan informasi untuk penulisan skripsi ini telah dilakukan melalui pengumpulan data-data yang diperlukan untuk dapat mendukung penulisan skripsi ini sehingga hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulisan skripsi ini metode yang dipakai adalah sebagai berikut: 1.
Jenis penelitian Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi (law in book). Penelitian hukum normatif ini disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) atau hukum dikonsepkan sebagai kaedah atau norma yang merupakan patokan perilaku
manusia yang dianggap pantas.
2. Data dan Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil
penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. Data sekunder diperoleh dari: a.
Bahan hukum primer Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini di antaranya adalah Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- undang Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.
b.
Bahan Hukum Sekunder Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti dokumen-dokumen yang merupakan informasi dan artikel-artikel 36 yang berkaitan dengan eksistensi sifat melawan hukum dalam Tindak
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pidana Korupsi pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006 melalui jurnal-jurnal hukum, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.
c.
Bahan Hukum Tersier Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia, jurnal ilmiah, dan bahan-bahan lain yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel yang berkaitan dengan objek penelitian, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang- undangan. Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut: a. melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian. b. melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.
c. mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.
d. menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.
4. Analisa data
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti
penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian
Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan.
BAB II : KONSEP SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK
PIDANA DI INDONESIA Bab ini akan membahas tentang sejarah, teori dan macam-macam