Analisis Hukum Terhadap Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan No. Reg. 1576/Pid. B/2010/PN. Medan)

(1)

ANALISIS HUKUM TERHADAP SIFAT MELAWAN HUKUM

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

(STUDI PUTUSAN Reg. No. 1576/Pid.B/2010/PN. MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Departemen Hukum Pidana

Oleh :

080200024

DEWI ARTIKA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS HUKUM TERHADAP SIFAT MELAWAN HUKUM

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

(STUDI PUTUSAN Reg. No. 1576/Pid.B/2010/PN. MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Departemen Hukum Pidana

Oleh :

Dewi Artika

NIM : 080200024

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

KETUA DEPARTEMEN

NIP. 195703261986011001

Dr. M. Hamdan., SH,M.H

PEMBIMBING I

PEMBIMBING II

Dr. M. Hamdan, SH., M.H

NIP. 195703261986011001

NIP. 1974040120021001

Dr. Mahmud Mulyadi SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Warahmatullahiwabarakatuh

Pertama-tama disampaikan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam ditujukan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya dari alam kebodohan kepada alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Skripsi ini ditulis untuk memenuhi syarat untuk memperoleh Gelar sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun skripsi ini berjudul “ANALISIS HUKUM TERHADAP SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI PUTUSAN No. Reg. 1576/Pid. B/2010/PN. MEDAN)”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini banyak ditemukan kesulitan, namun hal ini dapat diatasi dengan adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu diucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Pembantu Dekan I, Bapak Syafruddin, SH., M.Hum selaku Pembantu Dekan II dan Bapak M. Husni, SH., M. Hum selaku Pembantu Dekan III.


(4)

2. Bapak Dr. M. Hamdan SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana dan selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Liza Erwina, SH., M. Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi hingga selesai.

3. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M. Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberi dukungan kepada penulis dari awal hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Bapak Yusrin Nazief, SH., M. Hum selaku Dosen Pendamping Akademik. 5. Tante Chairul Bariah, SH., M. Hum, Bapak Abul Khair, SH. M. Hum dan

Abangda Khairun Naim, SH yang telah banyak memberikan pelajaran yang sangat berarti bagi penulis selama di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh Staf Pengajar beserta Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh responden dan informan yang telah memberi data dalam penulisan skripsi ini.

8. Orangtua tercinta Papa Armansyah dan Mama Darnisah Siagian yang telah membesarkan dan mendidik serta mendoakan selalu Ananda untuk keberhasilan selama ini beserta Kakak dan Adik tersayang Deni Ariansyah, SH, Dedi Armanda dan Anggi Ardana, serta keluarga besar Atok Alm. Abdul Rahim dan Opung Ali Imran Siagian, Om Azhar, SH., Ibu Dra. Kholida Hanim, Uwak, Uda, Bujing dan sepupu-sepupu yang senantiasa memberi bimbingan untuk menjadi orang yang berguna dan membantu dengan doa serta


(5)

dukungan moril dan materil sehingga dapat menyelesaikan studi di Perguruan Tinggi.

9. Sahabat tersayang Nova Afrida dan Tia Arisanti (Trio Macan) yang telah memberikan dorongan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi, ingat selalu suka duka yang telah dilewati bersama di kampus, Annisa Yulindri, D’Paket, anak PMP, Mirza, TM, serta teman-teman Stambuk 2008 khususnya anak Pidana terima kasih atas dukungannya semua.

10.Didi, Alif, Rudy dan EYK yang selalu memberikan dukungan, perhatian dan memberi warna dalam keseharian penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Disadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak mengandung kelemahan dan kekurangan, untuk itu sangat diharapkan kritik dan saran yang sifatnya untuk membangun guna menuju kearah perbaikan dan penyempurnaan dimasa yang akan datang.

Akhirnya semoga skripsi ini menjadi sumbangan pikiran dalam pelaksanaan pemberantasan korupsi baik di pemerintah maupun di masyarakat . skripsi ini juga diharapkan dapat menjadi bahan keperluan bagi mahasiswa yang sedang belajar mata kuliah Hukum Pidana khususnya mengenai Korupsi.

Medan, Februari 2012 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI……… vi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan... 10

E. Metode Penelitian... .... 11

1. Sumber Data... ... 12

2. Alat Pengumpul Data... ... 12

3. Analisis Data... ... 13

F. Sistematika Penulisan... ... 13

BAB II : SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI ... 15

A. Tinjauan Sifat Melawan Hukum... ... 15

1. Pengertian Sifat Melawan Hukum... ... 15

2. Jenis-jenis Sifat Melawan Hukum... ... 17

B. Tinjauan Tentang Tindak Pidana... ... 22

1. Pengertian Tindak Pidana... ... 22


(7)

C. Tinjauan Tentang Korupsi... ... 25

1. Pengertian Korupsi... ... 25

2. Jenis-jenis Korupsi... ... 29

3. Pelaku Korupsi... ... 33

D. Konsepsi dan Penerapan Sifat Melawan Hukum Dalam Undang- undang Antikorupsi... ... 35

BAB III :ANALISIS HUKUM TENTANG SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI PT. PELINDO I MEDAN…. ... 45

A. Kasus Posisi... ... 45

1. Kronologis ... 45

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 51

3. Fakta-fakta Hukum... ... 52

a. Keterangan Saksi... ... 52

b. Keterangan Ali... ... 63

c. Keterangan Terdakwa... ... . 65

d. Alat Bukti... ... . 65

4. Pembuktian Hakim atas Fakta Hukum... ... 69

B. Analisis Kasus... ... 87

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 96

B. Saran... ... 98


(8)

ANALISIS HUKUM TERHADAP SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

(STUDI PUTUSAN Reg. No. 1576/Pid.B/2010/PN. MEDAN) *) Dr. MHD.HAMDAN, S.H., M.H

**) Dr. MAHMUD MULYADI, S.H., M.Hum ***) DEWI ARTIKA

ABSTRAKSI

Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apalagi dalam situasi seperti sekarang ini, di mana ada indikasi yang mencerminkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Tuntutan akan pemerintahan yang bersih semakin keras, menyusul krisis ekonomi akhir-akhir ini. Hal ini sungguh masuk akal, sebab kekacauan ekonomi saaat ini pun merupakan ekses dari buruknya kinerja pemerintahan di Indonesia dan praktik korupsi inilah yang menjadi akar masalah. Tujuannya adalah untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang ajaran sifat melawan hukum terhadap tindak pidana korupsi.

Permasalahan skripsi yang diangkat ada 2 yaitu tentang “Bagaimana sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi. “Bagaimanakah penerapan sifat melawan hukum dalam Putusan No. Reg. 1576/Pid. B/2010/PN. Medan . Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normatif yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau hanya menggunakan bahan sekunder. Data primer didapat dari undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan Korupsi seperti undang No. 20 Tahun 2001 perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Putusan No. Reg. 1576/Pid.B/2010/PN. Medan, data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer berupa buku-buku tentang korupsi, kamus-kamus, hukum pidana, maupun tentang korporasi, sedangkan bahan tersier adalah bahan yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Keseluruhan bahan/data tersebut kemudian dilakukan penganalisaan datanya dengan menggunakan analisis kualitatif.

Berdasarkan tinjauan umum dapat di pahami bahwa Unsur-unsur sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi adalah: a.Setiap orang; b. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi; c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; d. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pada putusan No. Reg. 1576/Pid.B/2010/PN.Medan Majelis Hakim menjatuhkan vonis berdasarkan Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 sesuai dengan ajaran sifat melawan hukum formil.

*) Dosen Pembimbing I, selaku Staf Pengajar Fakultas Hukum USU dan Ketua Departemen Hukum Pidana

**) Dosen Pembimbing II, selaku Staf Pengajar Fakultas Hukum USU ***) Mahsiswa Fakultas Hukum USU


(9)

ANALISIS HUKUM TERHADAP SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

(STUDI PUTUSAN Reg. No. 1576/Pid.B/2010/PN. MEDAN) *) Dr. MHD.HAMDAN, S.H., M.H

**) Dr. MAHMUD MULYADI, S.H., M.Hum ***) DEWI ARTIKA

ABSTRAKSI

Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apalagi dalam situasi seperti sekarang ini, di mana ada indikasi yang mencerminkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Tuntutan akan pemerintahan yang bersih semakin keras, menyusul krisis ekonomi akhir-akhir ini. Hal ini sungguh masuk akal, sebab kekacauan ekonomi saaat ini pun merupakan ekses dari buruknya kinerja pemerintahan di Indonesia dan praktik korupsi inilah yang menjadi akar masalah. Tujuannya adalah untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang ajaran sifat melawan hukum terhadap tindak pidana korupsi.

Permasalahan skripsi yang diangkat ada 2 yaitu tentang “Bagaimana sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi. “Bagaimanakah penerapan sifat melawan hukum dalam Putusan No. Reg. 1576/Pid. B/2010/PN. Medan . Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normatif yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau hanya menggunakan bahan sekunder. Data primer didapat dari undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan Korupsi seperti undang No. 20 Tahun 2001 perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Putusan No. Reg. 1576/Pid.B/2010/PN. Medan, data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer berupa buku-buku tentang korupsi, kamus-kamus, hukum pidana, maupun tentang korporasi, sedangkan bahan tersier adalah bahan yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Keseluruhan bahan/data tersebut kemudian dilakukan penganalisaan datanya dengan menggunakan analisis kualitatif.

Berdasarkan tinjauan umum dapat di pahami bahwa Unsur-unsur sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi adalah: a.Setiap orang; b. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi; c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; d. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pada putusan No. Reg. 1576/Pid.B/2010/PN.Medan Majelis Hakim menjatuhkan vonis berdasarkan Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 sesuai dengan ajaran sifat melawan hukum formil.

*) Dosen Pembimbing I, selaku Staf Pengajar Fakultas Hukum USU dan Ketua Departemen Hukum Pidana

**) Dosen Pembimbing II, selaku Staf Pengajar Fakultas Hukum USU ***) Mahsiswa Fakultas Hukum USU


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tindak pidana korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lain di berbagai belahan dunia. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan juga politik, serta dapat merusak nilai– nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita- cita menuju masyarakat adil dan makmur.

Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apalagi dalam situasi seperti sekarang ini, dimana ada indikasi yang mencerminkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Tuntutan akan pemerintahan yang bersih semakin keras, menyusul krisisi ekonomi akhir-akhir ini. Hal ini sungguh masuk akal, sebab kekacauan ekonomi saat ini merupakan ekses dari buruknya kinerja pemerintahan di Indonesia dan praktik korupsi inilah yang menjadi akar masalah.1

Masalah korupsi bukan lagi masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun

1


(11)

yang lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk juga di Indonesia. Korupsi telah merayap dan meyelinap dalam berbagai bentuk, atau modus operandi sehingga menggerogoti keuangan negara, perekonomian negara dan merugikan kepentingan masyarakat.2

Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Baik dari jumlah kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan negara. Kualitas tindak pidana korupsi yang dilakukan juga semakin sistematis dengan lingkup yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor utama penghambat keberhasilan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur sebagaiman diamanatkan oleh Undang-Undang dalam memberantas korupsi. Korupsi juga semakin memperburuk citra pemerintah di mata masyarakat yang tercermin dalam bentuk ketidakpercayaan dan ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum, bila tidak ada perbaikan yang berarti, maka kondisi tersebut sangat membahayakan kelangsungan hidup bangsa.3

Salah satu agenda reformasi yang dicanangkan oleh para reformis adalah memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Pada waktu digulirkannya reformasi ada suatu keyakinan bahwa peraturan perundangan yang dijadikan landasanlandasan untuk memberantas korupsi dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini tersebut dapat di lihat dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/ MPR / 1998 Tentang

2

Andi Hamzah. 1991. Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, halaman 2.


(12)

Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII / MPR/ 2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijaksanaan Pemberantasaan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan butir c konsideran Undang – undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dinyatakan sebagai berikut : “Bahwa undang – undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang – undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi”.

Tindak lanjut dari TAP MPR RI No. XI/MPR/1998, maka telah disahkan dan diundangkan beberapa peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum untuk melakukan pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi. Upaya tersebut diawali dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Konsideran Undang-Undang tersebut menjelaskan bahwa praktek korupsi, kolusi dan nepotisme tidak hanya dilakukan antara Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggara Negara dengan pihak lain. Hal tersebut dapat merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara serta membahayakan eksistensi Negara, sehingga diperlukan landasan hukum untuk pencegahannya.4

4


(13)

Perbaikan di bidang legislasi juga diikuti dengan diberlakukannya Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai penyempurnaan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Konsideran Undang-Undang tersebut secara tegas menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara dan menghambat pembangunan sosial, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.5

Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 disempurnakan kembali dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Penyempurnaan ini dimaksud untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan yang adil dalam memberantas tindak pidana korupsi.

6

Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman yang nyata yang pasti akan terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum.

7

5

Ibid 6

Ibid 7


(14)

Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak saja bagi kehidupan perekonomian nasional, juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil survey Transparency International Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia masuk ranking 126 dari 180 negara yang disurvei. Hasil penilaian Badan Transparenci International pada Tahun 2008 menunjukkan, bahwa peringkat Indonesia mengalami kenaikan. Naiknya peringkat korupsi Indonesia tersebut, karena tahun ini yang disurvei lebih banyak dari tahun sebelumnya, yaitu 180 negara, meskipun peringkat Indonesia naik namun fakta ini masih merupakan hal yang memperihatinkan. Artinya, upaya memberantas korupsi, walaupun perangkat hukum dan berbagai lembaga pengawas sudah dibangun, tetapi belum berjalan efektif.8

Kasus korupsi yang banyak di Indonesia merupakan pekerjaan rumah yang sangat sulit diselesaikan oleh pemerintah, karena hal ini sangat berkaitan dengan penyelenggara Negara baik di tingkat pusat maupun provinsi, dan kabupaten/kota. Masyarakat sebagian masih melihat kasus korupsi terjadi melalui media elektronik maka yang terlihat adalah kasus korupsi yang merugikaan negara bermilyar-milyar rupiah, sehingga kerugian negara yang timbul sangat mencolok karena hal

Masyarakat banyak yang mengatakan bahwa korupsi tidak mungkin akan hilang karena telah menjadi darah daging di Indonesia. Sangat menyedihkan ketika melihat dalam suatu peradaban masyarakat yang sedang dalam keadaan pesimis, dengan mendengar perkataan korupsi telah menjadi darah daging di dalam setiap tubuh rakyat Indonesia khususnya bagi para penyelenggara negara.


(15)

tersebut maka kasus korupsi yang terjadi dengan secepatnya berusaha diselesaikan.

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman,bagaimana cara penanggulangannya, demikian pula perkembangan korupsi.

Peraturan perundang-undangan yang dijadikan alat untuk memberantas tindak pidana korupsi disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, namun demikian korupsi makin merajalela, kerugian negara tidak hanya jutaan rupiah akan tetapi milyaran rupiah bahkan mencapai triliunan rupiah. Disisi yang lain, korupsi tidak hanya memasuki lingkungan eksekutif saja, tetapi juga berkembang di lingkungan yudikatif dan legislatif.

Semasa orde baru korupsi dilakukan oleh orang-orang di sekitar pemegang kekuasaan. Kecenderungan sekarang melebar ke lembaga-lembaga legislatif dari tingkat daerah/kota propinsi hingga pusat, hampir semua jabatan memerlukan pengesahan dari legislatif sudah punya tarif.9

Tindak pidana korupsi juga merambat ke daerah- daerah di Indonesia, tidak terkecuali di Sumatera Utara. Provinsi Sumatera Utara menjadi wilayah Kegagalan ini sangat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara serta menghambat jalannya pembangunan yang berakibat fatal bagi bangsa Indonesia yaitu suatu kerusakan sosial yang sulit diperbaiki.

9

Leden Marpaung. 2001. Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan. Jakarta: Djambatan, halaman 27.


(16)

dengan kasus korupsi terbanyak di Indonesia. Jumlah ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) semester II periode 1 Juli-31 Desember 2010. Kasus korupsi di Provinsi Sumatera Utara yang menyita perhatian ICW salah satunya adalah kasus korupsi mantan Bupati Langkat, Syamsul Arifin. Syamsul diduga telah melakukan korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Langkat. Korupsi yang merugikan negara hingga Rp 102 miliar itu dilakukan Syamsul dari tahun 2000 sampai 2007.10

Semangat memberantas korupsi sudah ada jauh sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disahkan DPR. Faktanya, tindak pidana menggerogoti uang rakyat itu justru kian menggurita dan sulit diberantas, termasuk di Sumatera Utara.Tiap tahun tindak pidana korupsi yang ada semakin meningkat, sejak April 2011, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di lingkungan Pengadilan Negeri Medan telah menyidangkan 40 perkara korupsi dengan terdakwanya.

ICW juga mencatat provinsi selain Sumatera Utara yang juga mencetak jumlah besar kasus korupsi di antaranya Bengkulu yang menduduki urutan kedua kasus korupsi tertinggi dengan jumlah 23 kasus, kemudian disusul dengan provinsi Jawa Timur, Riau, dan Sulawesi Selatan memiliki jumlah 20 kasus korupsi. Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) yang menyebutkan Sumatera Utara sebagai salah satu daerah yang banyak praktik dugaan korupsi yang melibatkan aparatur dinilai bukan sebuah pernyataan yang mengejutkan.

10


(17)

Sedangkan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) saat perayaan 51 tahun Adhyaksa July 2011 lalu merilis, sebanyak 37 hutang perkara yang sedang ditangani. Diantaranya, 19 perkara memasuki tahap penuntutan, 12 perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan, dan sebagian masih penyelidikan. Perkara yang progres penangananya sudah ditingkatkan diantaranya dugaan korupsi pembangu-nan 7 gedung SKPD Batubara, dugaan penyelewengan pengucuran kredit di BNI naik ke penyidikan. Awal Desember di tahun yang sama, tercatat, satu perkara naik ke penyidikan, (dugaan korupsi pembangunan irigasi di Kabupaten Samosir), sedangkan perkara lainya terkesan jalan di tempat. Penetapan tersangka sudah dilakukan, namun belum juga sampai ke pelimpahan ke Pengadilan Tipikor. Tindak Pidana Korupsi tidak hanya dilakukan oleh Pejabat Negara melainkan juga dilakukan korporasi. Orang-orang bahkan sepertinya tidak lagi merasa malu menyandang predikat tersangka kasus korupsi sehingga perbuatan korupsi seolah-olah sudah menjadi sesuatu yang biasa untuk dilakukan secara bersama-sama dan berkelanjutan walaupun sudah jelas melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Pemerintahan itu sendiri tidak terlepas dari yang namanya korupsi, sebagaimana yang terjadi di PT. Pelindo I Medan yang merupakan perusahaan milik negara yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara, yang mana pegawainya melakukan tindak pidana korupsi dalam Penyedia Jasa Pelayananan Asuransi Kesehatan dalam bentuk managed care bagi Pegawai dan Keluarga di Lingkungan PT. Pelindo I- Medan.


(18)

Keinginan ini timbul setelah melihat kenyataan tersebut, untuk mengangkat ke dalam skripsi ini, di dalam kehidupan kemasyarakatan banyak terjadi kecurangan-kecurangan dan ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan hukum dan kehidupan sosial lainnya, kenyataan tersebut menurut azas keadilan dan kepatutan tidak dapat ditolerir.

Hal-hal di atas merupakan alasan untuk mengangkat judul tentang

“Analisis Hukum Terhadap Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Reg. No.1576/Pid.B/2010/PN Medan)”.

B. Perumusan Masalah

Adapun di dalam setiap pelaksanaan penelitian penting diuraikan rumusan masalah, karena dengan demikian dapat diketahui pembatasan dari pelaksanaan penelitian dan juga pembahasan yang akan dilakukan.

Adapun yang merupakan rumusan masalah dari penelitian ini adalah : a. Bagaimana sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi.

b. Bagaimanakah penerapan sifat melawan hukum pada putusan Reg. No. 1576/ Pid. B / 2010 / PN / Medan.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Manfaat dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Secara teoritis, yaitu sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep ilmiah yang dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana saat ini khususnya terhadap kajian hukum yang berhubungan dengan hal-hal yang memicu terjadinya perbuatan sifat melawan hukum terhadap tindak pidana korupsi.


(19)

b. Secara praktis, penelitian ini berfaedah untuk dapat digunakan oleh pihak – pihak yang berwenang sebagai masukan dalam mendampangi tersangka pelaku tindak pidana korupsi.

Tujuan Penulisan ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data yang kemudian dianalisis, sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang ajaran melawan hukum putusan tindak pidana korupsi. Berdasarkan perumusan masalah yang telah dipaparan diatas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi.

b. Bagaimana penerapan sifat melawan hukum itu pada putusan Reg. No. 1576/Pid. B/ 2010/PN/Medan.

D. Keaslian Penulisan

Sepanjang penelusuran di perpustakaan Fakultas hukum USU skripsi dengan judul ANALISIS HUKUM TERHADAP SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI ( STUDI PUTUSAN Reg. No. 1576/Pid. B/2010/PN/Medan ) belum pernah diteliti dalam bentuk skripsi dari Departemen Hukum Pidana di Fakultas Hukum USU, namun ada beberapa skripsi yang mengangkat tentang korupsi tetapi ditinjau dari segi yang berbeda. Adapun skripsi yang terlebih dahulu mengangkat tentang korupsi antara lain berjudul Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi DPRD Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah Periode 1999-2004 ( Studi Putusan No. 37/Pid/B/2008/PN.Btg), Proses Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (Studi Dalam Lembaga Terkait Di Medan), Kajian Hukum Tentang Ekstradisi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi, dan sebagainya.


(20)

Penulisan dalam skripsi ini berbeda dari penulisan skripsi sebelumnya yang mengangkat tentang korupsi. Penulisan skripsi ini membahas tentang sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dalam studi putusan.

E. Metode Penelitian

Secara umum metode dapat diartikan sebagai suatu cara untuk memperoleh sesuatu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia metode diartikan sebagai cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksana suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.11

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian; Soerjono Soekanto berpendapat menurut kebiasaan, metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut :

2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan; 3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.12 a) Metode Pendekatan

Agar lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan, jenis penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah secara hukum normatif atau penelitian yuridis normatif. Pada penelitian bersifat yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau hanya menggunakan bahan sekunder. Dalam pemaparannya penelitian ini menggunakan konsep hukum norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional. Norma sebagai pedoman yang merupakan suatu ketetapan yang dipakai

11

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga), PT. Balai Pustaka, Jakarta, 2005, halaman 138.

12


(21)

sebagai tolok ukur yang tidak boleh diubah yang kemudian dijadikan dasar untuk mengukur, menilai atau membandingkan hal ihwal dari sesuatu.13

1. Sumber Data

Materi yang digunakan untuk melakukan penelitian hukum normatif ini bersumber dari bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi hukum primer, sekunder dan tertier.

a. Bahan Hukum Primer, yaitu berupa undang-undang dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Korupsi diantaranya Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Putusan No. 1576/ Pid.B/ 2010/ PN. Medan.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan berupa buku-buku tentang korupsi, hukum pidana, internet serta tulisan lain yang berkaitan dengan penelitian.

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan-bahan yang berupa kamus hukum dan bahan lain memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder diatas.

2. Alat Pengumpul Data

Alat yang dipergunakan dalam mengumpul data penelitian adalah penelitian kepustakaan (Library research). Dengan metode ini dapat mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan berupa buku-buku, majalah dan dokumen-dokumen serta sumber-sumber teoritis lainnya.

13

Tampil Anshari Siregar. 2005. Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi. Medan : Pustaka Bangsa Press, halaman 26.


(22)

3. Analisis Data

Adapun analisis hasil penulisan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, mengelola data, dan menganalisanya dan kemudian dituangkan dengan cara menggunakan kalimat sehingga pembaca lebih mudah memahami penelitian ini.14

F. Sistematika Penulisan

Untuk menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Agar penulisannya lebih terarah dan lebih mudah untuk dipahami, maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur.

Secara sistematis, penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhannya kedalam 4 (empat) bab yang terperinci sebagai berikut :

BAB I: Berisikan pendahuluan yang di dalamnya memaparkan mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan skripsi, keaslian penulisan, yang mengemukakan berbagai defenisi, rumusan dan pengertian dari istilah yang terdapat dalam judul untuk memberi batasan dalam pemahaman mengenai istilah-istilan tersebut, metode penulisan dan terakhir diuraikan sistematika penulisan skripsi.

BAB II: Adalah tentang uraian mengenai sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi.

BAB III: Merupakan pembahasan mengenai kajian hukum pidana dalam hal perbuatan sifat melawan hukum terhadap tindak pidana korupsi di PT.

14


(23)

Pelindo I Medan . Pada bab ini akan diuraikan sejumlah fakta dalam kasus korupsi yang terjadi di PT. Pelindo 1 Medan serta analisis terhadap fakta tersebut khususnya dalam hal sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi.


(24)

BAB II

SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Tinjauan Sifat Melawan Hukum 1. Pengertian Sifat Melawan Hukum

Menurut bahasa Belanda, melawan hukum adalah wederrechtelijk (weder: bertentangan dengan, melawan; recht: hukum).

Menurut Pendapat para ahli di dalam buku Teguh Prasetyo mengenai pengertian melawan hukum antara lain adalah dari:

a. Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada umumnya. b. Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang lain. c. Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan

pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis.

d. Van hannel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/ wewenang. e. Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR melawan

hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan. (arrest 18-12-1911 W 9263). f. Lamintang: Berpendapat, perbedaan diantara pakar tersebut antara lain

disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti hukum” dan dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata

wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi pengertian “bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang lain atau hukum subjektif”.15

Hoge Raad pada tanggal 31 Januari 1919, N. J. 1919, W. 10365 berpendapat, antara lain sebagai berikut:

onrechmatig tidak lagi hanya berarti apa yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, melainkan juga apa yang bertentangan baik dengan tata susila maupun kepatutan dalam pergaulan masyarakat.”16

15 Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, halaman 31-32. 16 Leden Marpaung. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika, halaman 44.


(25)

Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materil) maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Sifat ini juga dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik culpa.

Jika unsur melawan hukum itu dengan tegas terdapat di dalam rumusan delik, maka unsur juga harus dibuktikan, sedangkan jika dengan tegas dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan.

Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan unsur-unsur:

1) Perbuatan tersebut melawan hukum; 2) Harus ada kesalahan pada pelaku; 3) Harus ada kerugian.17

Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum dalam suatu perkara, misalnya faktor negara tidak

17 Theodorus M. Tuanakotta. 2009. Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Salemba Empat, halaman 73.


(26)

dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung.

2. Jenis-Jenis Sifat Melawan Hukum

Ajaran sifat melawan hukum memiliki keduduk an yang penting dalam hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat melawan hukum yang formal dan materiil.

a. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal

Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang.

b. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil

Sifat melawan hukum materiil merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang tidak hanya terdapat di dalam undang-undang (yang tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan yang tidak tertulis.18

Ajaran sifat melawan hukum materiil adalah memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat


(27)

sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang, dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis.

Menurut D.Schaffmeister, et.al., pengertian melawan hukum itu ada 4 kelompok yaitu:

1)Sifat melawan hukum secara umum 2) Sifat melawan hukum secara khusus 3) Sifat melawan hukum secara materil 4) Sifat melawan hukum secara formil19 Ad. 1. Sifat melawan hukum secara umum

Semua delik tertulis atau tidak tertulis sebagai bagian inti delik dalam rumusan delik, harus melawan hukum baru dapat dipidana, jadi tidak perlu dicantumkan di dalam surat dakwaan adanya melawan hukum dan juga tidak perlu dibuktikan. Contoh: pembunuhan.

Ad. 2. Sifat melawan hukum secara khusus

Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang secara tegas mencantumkan “melawan hukum” dengan sendirinya “melawan hukum” harus dicantumkan di dalam surat dakwaan sehingga harus dibuktikan adanya “melawan huku m”. Jika tidak dapat dibuktikan putusan bebas.

Ad. 3. Sifat melawan hukum secara materiil

Bukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman di dalam pergaulan masyarakat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum.

19 D. Schaffmeister, et.al., 2003. Hukum Pidana, diterjemahkan oleh J. E. Sahetapy. Yogyakarta : Liberty, Cet. Kedua, halaman 39.


(28)

Ad. 4. Sifat melawan hukum secara formil

Seluruh bagian inti delik apabila sudah dipenuhi atau dapat dibuktikan, dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah melawan hukum.

Menurut Moeljatno ada perbedaan antara pandangan yang formal dengan pandangan yang materiil, maka perbedannya yaitu :

1. Mengakui adanya pengecualiaan / penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja, misalnya Pasal 44 KUHP, mengenai kurang sempurnanya akal seseorang atau karena sakit berubah akal, Pasal 48 KUHP, mengenai over macht, 49 KUHP, mengenai pembelaan terpaksa (noodweer); dan

2. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik.20

Menurut Bambang Poernomo, sifat melawan hukumnya suatu perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu sifat melawan hukum yang formal atau formele wederrechttelijkheidsbegrip dan sifat melawan hukum yang materiil atau

materieele wederrechttelijkheidsbegrip. Melawan hukum formil apabila perbuatannya dilihat semata-mata sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, sesuai dengan rumus delik dan pengecualiaannya, seperti daya paksa, pembelaan terpaksa, itu pun karena ditentukan secara tertulis dalam undang-undang. Sebaliknya, melawan hukum materiil, melihat perbuatan melawan hukum itu tidak selalu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Dengan demikian,

20


(29)

dalam pandangan sifat melawan hukum materiil, melawan hukum dapat diartikan baik melawan peraturan perundang-undangan, maupun hukum di luar peraturan perundang-undangan.21

Timbul dalam perkembangannya adalah pandangan “materieele wederrechttelijkheid” secara negatif yang diartikan orang berbuat tidak melawan hukum apabila orang dengan daya upaya betul-betul untuk tujuan yang berguna atau het juistemiddel tot het juiste doel bezigde, yang diajukan oleh A. Grafzu Dohna dalam karangannya tentang “ Die Rechtswidrigheit als algemeingultiges Markmal im Tatbestande starfbarer handlungen”.

22

Berdasarkan Yuriprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia telah dimungkinkan penggunaan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menunjuk pada Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Mei 1972, Nomor 72 K/Kr/1970, bahwa “Meskipun yang dituduhkan adalah suatu delik formil, namun Hakim secara materiil harus memperhatikan juga keadaan terdakwa atas dasar mana ia tak dapat dihukum atau materieele wederrechttelijkheid.23

Dihadapkan pada keberadaan asas legalitas, maka sesungguhnya hanya secara melawan hukum dalam pengertian formil yang dapat diterima. Sifat melawan hukum dengan demikian dalam pengertian materiil bertentangan dengan asas legalitas. Penerapan fungsi negatif sifat melawan hukum materiil sesungguhnya juga tidak sejalan dengan asas legalitas yang tersurat dalam Pasal 1

21

Bambang Poernomo , Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 115.

22

Ibid., hal. 116. 23


(30)

ayat (1) KUHP. Penerimaannya semata-mata didasarkan oleh doktrin dan kemudian diikuti oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung, sedangkan fungsi positif dari sifat melawan hukum materiil masih belum sepenuhnya dapat diterima dalam penegakan hukum di Indonesia. Pikiran-pikiran kearah penerapan fungsi positif dari sifat melawan hukum materiil telah muncul, namun tampaknya masih banyak penolakan, termasuk oleh Mahkamah Konstitusi dalam Konteks UU Tindak Pidana Korupsi. Dasar pikiran perlunya penerapan fungsi positif dari sifat melawan hukum materiil di antaranya munculnya multipologi korupsi.24

Mengenai pengertian sifat melawan hukum materiil, seperti telah disinggung pada bagian awal, dibedakan dalam fungsinya yang negatif dan dalam fungsinya yang positif. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif berarti mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai alasan penghapusan sifat melawan hukum.

Perkembangan multipologi kejahatan baru yang dianggap koruptif, tercela, dan merugikan masyarakat dalam skala yang sangat besar, seringkali kejahatan itu tidak terjangkau oleh peraturan perundang-undangan tertulis yang ada sanksi pidananya, dengan demikian, pelaku dapat bertindak secara bebas, dengan berlindung di balik asas legalitas.

25

Pengertian sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif menganggap sesuatu perbuatan tetap sebagai suatu delik, meskipun tidak nyata

24

Ibid., hal. 62 25


(31)

diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang terjadi di luar undang-undang. Dengan demikian berarti diakui hukum yang tidak tertulis sebagai sumber hukum yang positif.

B. Tinjauan tentang Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana dalam Bahasa Belanda disebut Straafbaarfeit, yang terdiri dari dua kata yaitu Straafbar dan feit, perkataan Straafbaar dalam Bahasa Belanda artinya dapat dihukum, sedangkan feit artinya sebagian dari kenyataan, sehingga berarti Straafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum.26

2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan didalam ketentuan hukum.

Tentang apa yang diartikan dengan Straafbaar feit (tindak pidana) para sarjana memberikan pengertian yang berbeda-beda.

Menurut R. Tresna menyebutkan bahwa peristiwa pidana adalah:

“Sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. Ia juga mengatakan bahwa supaya suatu perbuatan dapat disebut peristiwa pidana harus mencukupi syarat-syarat yaitu: 1) Harus ada suatu perbuatan manusia.

3) Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggung jawabkan.

4) Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum.

5) Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya didalam Undang-undang.”27

26 Andi Hamzah, Op. Cit., halaman 69.

27 R. Tresna. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Surabaya : Pustaka Tinta Mas, halaman 28.


(32)

Tindak Pidana atau straafbar feit dalam Kamus Hukum artinya adalah suatu perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana yang dapat dijatuhi hukuman.28 Tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir, oleh karena itu perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Disamping kelakuan dan akibat untuk adanya perbuatan pidana, biasanya diperlukan juga adanya hal ihwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan.29

a. Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Unsur tindak pidana terdiri atas dua macam, yaitu:

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindakan adalah:

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa). 2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging.

3) Berbagai maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan.

4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad , seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan

5) Perasaan takut seperti antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

28 J.C.T Simorangkir, dkk. 2000. Kamus Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, halaman 161. 29


(33)

b. Unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah: 1) Sifat melawan hukum atau wederrechtlijkheid.

2) Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai serorang pegawai negeri dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP.

3) Kualitas yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.30

2. Hukum Pidana Umum dan Khusus

Dalam tindak pidana ada pembagian hukum yaitu: a. Hukum Pidana Umum

Hukum pidana umum dibuat dan berlaku untuk semua orang, oleh karena itu tindak pidana yang diatur dalam KUHPidana tersebut meliputi tindak pidana umum, maka timbul pendapat bahwa KUHPidana merupakan Hukum pidana Umum (ius commune).

b. Hukum Pidana Khusus

Hukum pidana khusus dibuat untuk hal atau orang tertentu. Hukum pidana khusus adalah tindak pidana yang diatur di luar yang ada dimuat/ dirumuskan dalam KUHPidana. Hukum pidana khusus akhir-akhir ini di Indonesia cukup banyak, antara lain salah satunya Tindak Pidana Korupsi.31

30

Ibid., halaman 11.

31 M. Hamdan. 2005. Tindak Pidana Suap dan Money Politics. Medan : Pustaka Bangsa Press, halaman 19.


(34)

Suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a. Tindakan melawan hukum b. Merugikan masyarakat c. Dilarang oleh aturan pidana

d. Pelakunya diancam dengan hukuman pidana.32

C. Tinjauan Tentang Korupsi 1. Pengertian Korupsi

Penafsiran dari defenisi atau pengertian korupsi oleh ahli hukum berbeda-beda. Ahli hukum memiliki penafsiran sendiri yang dimana penafsiran dari defenisi atau pengertian korupsi mempunyai maksud dan tujuan yang sama. Tidak hanya ahli hukum yang memiliki penafsiran yang berbeda terhadap defenisi ataupun pengertian korupsi, Undang-undang Tindak Pidana Korupsi memiliki penafsiran yang berbeda-beda dalam menafsirkan dari defenisi atau pengertian korupsi. Ada beberapa penafsiran dari defenisi atau pengertian korupsi oleh beberapa ahli dan Undang-Undang.

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin “Coruptio” atau

“Corruptus”yang berarti kerusakan atau kebobrokan.33

32 Ibid, halaman 10. 33 Ibid., halaman 7.

Kata korupsi berasal dari bahasa Yunani Latin “Corruptio” yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk,


(35)

curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materiil, mental, dan hukum.34

Korupsi dalam arti hukum adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum, sedangkan menurut norma-norma pemerintah adalah apabila hukum dilanggar atau apabila melakukan tindakan tercela dalam bisnis.35

Korupsi dalam Kamus Ilmiah populer mengandung pengertian kecurangan, penyelewengan/ penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan sendiri, pemalsuan.36

b. Perbuatan seseorang, yang dengan sengaja atau karena melakukan suatu kejahatan atau dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan. Pengertian korupsi menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 bahwa yang disebut tindak pidana korupsi adalah:

a. Tindakan seseorang yang dengan sengaja atau karena melakukan kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.

37

a. Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak Pengertian korupsi menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah:

34 IGM. Nurdjana. 2005. Korupsi Dalam Praktek Bisnis Pemberdayaan Penegak Hukum, Program Aksi dan Strategi Penanggulangan Masalah Korupsi.. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, halaman 7-8.

35 Ibid., halaman 8.

36 Partantanto.P.A., Al Barry, M.D. 1994. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya : Arkola, halaman 375.


(36)

langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.38

Pengertian tindak pidana korupsi pada Undang-undang No. 31 tahun 1999 terdapat dalam pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9,10, 11, 12, 12 B, dan 13., 14, 15, 16. Pasal-pasal ini juga meliputi jenis tindak pidana korupsi. Namun di sini Penulis hanya menjelaskan pengertian tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dikarenakan putusan pengadilan pada skripsi ini dikenakan pada pasal tersebut. Adapun isi dari Pasal 2 dan 3 itu antara lain:

Pasal 2 ayat (1)

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 3

Setiap orang dengan maksud dan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) 39

38 Ibid, halaman 11. 39 Ibid, halaman 12.


(37)

Unsur-unsur korupsi menurut Kurniawan, adalah:

1) Tindakan melawan hukum;

2) Menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;

3) Merugikan negara baik secara langsung maupun tidak langsung;

4) Dilakukan oleh pejabat publik/ penyelenggara negara maupun masyarakat.40 Unsur-unsur tindak pidana korupsi dari segi hukum, adalah:

1) Perbuatan melawan hukum

2) Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana 3) Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi 4) Merugikan keuangan negara atau perekonomian 5) Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan) 6) Penggelapan dalam jabatan

7) Pemerasan dalam jabatan

8) Ikut serta dalam pengadaan barang (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara)

9) Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).41

Berdasarkan penjelasan di atas maka rumusan korupsi adalah secara melawan hukum + mengambil hak orang lain + tujuan memiliki atau mendapat keuntungan + adanya penyalahgunaan kewenangan/ kepercayaan + menimbulkan kerugian negara.

40 Kurniawan,L. (et al). 2003. Menyingkap Korupsi di daerah. Jakarta : Indonesia Corruption Watch, halaman 15.

41


(38)

2. Jenis-Jenis Korupsi

Instrumen hukum untuk menyaring tindakan yang mengarah pada korupsi termasuk tindak pidana korupsi itu sendiri telah cukup lengkap. Instrumen tersebut berupa peraturan dan perundang-undangan yang dimaksud untuk difungsikan dan dioptimalkan untuk mencegah dan menanggulangi perbuatan korupsi yang dilakukan para birokrat dan para pelaku dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana serta prasarana yang ada karena kedudukan dan jabatannya, yang secara langsung dan tidak langsung merugikan ekonomi dan keuangan negara.

Melihat pengertian di atas maka korupsi dapat dibagi menjadi beberapa jenis atau tifologi. Hal ini dipertegas Syed Husain Alatas dalam buku IGM. Nurdjanah, tifologi tersebut antara lain:

a. Korupsi Transaksi, jenis korupsi yang menunjuk adanya kesepakatan timbak balik antara pihak pemberi dan pihak penerima yang kedua pihak memperoleh keuntungan.

b. Korupsi Perkerabatan, jenis korupsi yang menyangkut penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan untuk berbagai keuntungan bagi teman atau sanak saudara serta kroni-kroninya.

c. Korupsi yang Memeras, biasanya korupsi yang dipaksakan kepada suatu pihak yang disertai dengan ancaman, teror, penekanan terhadap kepentingan orang-orang dan hal-hal demikiannya.

d. Korupsi Insentif, korupsi yang dilakukan dengan cara memberikan suatu jasa atau barang tertentu kepada pihak lain demi keuntungan masa depan.


(39)

e. Korupsi Defensif, yaitu pihak yang dirugikan terpaksa ikut terlibat didalammya atau membuat pihak tertentu terjebak atau bahkan menjadi korban perbuatan korupsi.

f. Korupsi Otogenik, korupsi yang dilakukan seseorang, tidak ada orang lain ataupun pihak lain terlibat didalammya.

g. Korupsi Suportif, korupsi yang dilakukan dengan cara memberikan dukungan.42

Jenis korupsi menurut Guy Benveniste yang terdapat dalam Pasal 2-Pasal 12 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 adalah:

a. Discretionary Corruption adalah korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan.

b. Illegal Corruption adalah tindakan yang dimaksud untuk mengacaukan bahasa atau maksud hukum.

c. Mercenary Corruption adalah tindakan korupsi untuk kepentingan pribadi. d. Ideological Corruption adalah korupsi untuk mengejar tujuan kelompok.43

Karakteristik dan dimensi kejahatan korupsi dapat diidentifikasikan yaitu:

a. Masalah korupsi terkait dengan berbagai kompleksitas masalah, antara lain, masalah moral/sikap mental, masalah pola hidup dan budaya serta lingkungan sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesenjangan sosial ekonomi, masalah struktur/sistem ekonomi, masalah sistem/budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) dibidang keuangan dan pelayananan publik.

42 IGM. Nurdjana. Op.,Cit., halaman 72-74. 43


(40)

Jadi, kausa dan kondisi yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi sangatlah luas (multidimensi), yaitu bisa dibidang moral, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan birokrasi/administrasi.

b. Mengingat sebab-sebab yang multidimensional itu, maka korupsi pada hakikatnya tidak hanya mengandung aspek ekonomis (yaitu merugikan keuangan/ perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri/orang lain), tetapi juga mengandung korupsi nilai-nilai moral, korupsi jabatan/kekuasaan, korupsi politik dan nilai-nilai demokrasi.

c. Mengingat aspek yang sangat luas itu, sering dinyatakan bahwa korupsi termasuk atau terkait juga dengan economic crimes, organized crimes, illicit drug trafficking, money laundering, white collar crime, political crime, top hat crime, dan bahkan transnational crime.

d. Karena terkait dengan masalah politik/jabatan/kekuasaan (termasuk top hat crime), maka di dalamnya mengandung kembar yang dapat menyulitkan penegakan hukum yaitu adanya penalisasi politik dan politisasi proses peradilan pidana.

Bila diperhatikan Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka dapat ditarik beberapa asas yang tercakup di dalamnya yang dapat membedakannya dengan undang-undang tindak pidana lainnya, asas-asas tersebut diantaranya adalah:

a. Pelakunya adalah setiap orang.

b. Pidananya bersifat Kumulasi dan Alternatif. c. Adanya pidana minimum dan maksimum.


(41)

d. Percobaan melakukan Tindak Pidana Korupsi, pembantuan pemufakatan jahat melakukan Tindak Pidana Korupsi sama hukumannya dengan delik yang sudah selesai.

e. Setiap orang yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana dan keterangan sehingga dapat terjadi tindak pidana korupsi dipidana sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi.

f. Mempunyai pidana tambahan selain yang diatur KUHP, misalnya seperti: 1) Perampasan barang bergerak dan barang yang tidak bergerak baik yang

berwujud maupun yang tidak berwujud.

2) Pembayaran uang ganti rugi yang jumlahnya maksimal dengan harga yang diperoleh dari tindak korupsinya.

3) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu.

g. Jika terpidana tidak dapat membayar uang pengganti selama 1 bulan setelah putusan maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang.

h. Dapat dibentuk Tim Gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung

i. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang cukup untuk membayar pengganti, maka dipidana penjara yang lamanya melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang.

j. Orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai tindak pidana korupsi maka dapat dipidana.

k. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.


(42)

m.Penyidik/Jaksa Penuntut Umum/Hakim berwenang meminta keterangan kepada Bank tentang keadaan keuangan Tersangka.

n. Identitas pelapor dilindungi. o. Dapat dilakukan gugatan perdata.

p. Putusan bebas dalam perkara korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.

q. Ahli waris tersangka/terdakwa/terpidana korupsi dapat digugat untuk menuntut kerugian negara.

r. Dalam tindak pidana korupsi dikenal dengan pembuktian terbalik. s. Dapat diadili in absentia.

t. Hakim atas tuntutan Penuntut Umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.

u. Orang yang berkepentingan atas perampasan dapat menngajukan keberatan ke pengadilan.

v. Adanya peran serta dari masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.44

3. Pelaku Korupsi

Hubungan antar manusia yang ditentukan oleh hukum yang lazim disebut hubungan hukum yang melakukan hubungan hukum yang disebut sebagai subjek hukum, sebagai pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum dari pelaku Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:

44

Darwan Prinst, 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, halaman 23-27.


(43)

a. Setiap Orang

Menurut Kamus Hukum seorang atau person adalah orang atau badan hukum yang dapat melakukan suatu perbuatan hukum.45

1. PNS, yang tunduk dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1974 (Tentang Kepegawaian), ABRI, PNS lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, misalnya BUMN, BUMD.

Penulis hanya membahas yang dilakukan oleh seorang perseorangan yang dalam memangku suatu jabatan atau kedudukan untuk mencari keuntungan atau untuk memperoleh dan menambah kekayaan dari yang sudah ada dengan cara melawan hukum. Adapun yang termasuk person di atas adalah :

2. Yang diatur dalam Pasal 92 KUHP (Anggota DPR, DPRD, Hakim). 3. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara.

4. Orang yang menerima gaji dari korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah.

5. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas negara atau masyrakat.

b. Korporasi

Korporasi juga merupakan subjek hukum karena korporasi juga pendukung hak dan kewajiban, adapun yang dimaksud dengan korporasi dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah kumpulan orang

45 Ibid., halaman 128.


(44)

dan atau kekayaan yang terorganisasi, baik yang merupakan badan Hukum maupun bukan Badan Hukum.46

Badan hukum menurut Kamus hukum adalah perkumpulan/ organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subjek hukum, misalnya dapat memiliki harta kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainya, contohnya Yayasan, PT dan sebagainya.47

D. Konsepsi dan Penerapan Sifat Melawan Hukum dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Berbagai jenis tindak pidana korupsi seperti diuraikan di atas tidak seluruhnya mengandung rumusan “secara melawan hukum”. Hal ini sebenarnya juga terjadi dalam perumusan tindak pidana pada KUHP. E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menegaskan dalam sistem perundang-undangan hukum pidana yang berlaku sekarang, ternyata bersifat melawan hukum dari suatu tindakan tidak selalu dicantumkan sebagai salah satu unsur delik. Timbul persoalan, apakah sifat melawan hukum harus selalu dianggap sebagai salah satu unsur delik, walaupun tidak dirumuskan secara tegas, ataukah baru dipandang unsur dari suatu delik apabila dengan tegas dirumuskan dalam delik, selanjutnya dinyatakan bahwa secara formal atau secara perumusan undang-undang suatu tindakan bersifat melawan hukum apabila melanggar atau bertentangan dengan ketentuan undang-undang. Semua tindakan yang bertentangan dengan undang-undang atau memenuhi perumusan delik dalam undang-undang, baik sifat melawan hukum itu dirumuskan ataupun tidak merupakan tindakan yang bersifat melawan hukum.

46 Martiman Pradjohamidjojo. Op.,Cit., halaman 22. 47 J.C.T Simorangkir. Op.,Cit., halaman 13.


(45)

Sifat melawan hukum itu hanya akan hilang atau ditiadakan apabila dasar-dasar peniadaannya ditentukan dalam undang-undang.48

Istilah “secara melawan hukum” seperti telah dikemukan di atas apabila dilihat asalnya merupakan terjemahan dari “wederrechtelijk”. Bertolak dari istilah ini, P.A.F. Lamintang menegaskan bahwa apabila perkataan “wederrechtelijk” itu dapat ditafsirkan tidak secara harfiah, maka sebenarnya kita mempunyai suatu perkataan yang kiranya dapat kita pakai sebagai pengganti perkataan

“wederrechtelijk” dalam bahasa Indonesia, yaitu perkataan “secara tidak sah”. Perkataan “secara tidak sah” tersebut bukan saja dapat dipergunakan untuk menggantikan perkataan “wederrechtelijk” dalam suatu rumusan delik tertentu, melainkan dapat juga diberlakukan secara umum dalam semua rumusan delik di dalam KUHP dimana saja perkataan tersebut dipergunakan oleh pembentuk undang-undang.

Istilah “wederrechtelijk” itu diterjemahkan dengan istilah dalam bahasa Indonesia “secara melawan hukum”, maka dalam kaitan dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hanya terdapat pada dua ketentuan, yaitu : Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 12 huruf e.

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.31 Tahun 1999 :

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

48


(46)

Pasal 12 huruf e Undang-undang No. 31 Tahun 1999 :

“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”

e. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

Leden Marpaung menyatakan bahwa pendapat para pakar mengenai secara melawan hukum sebagai unsur delik atau bukan, tidak ada kata sepakat atau tidak tidak bulat, sebagian berpendapat, apabila pada rumusan suatu delik dimuat unsur secara melawan hukum, unsur tersebut harus dibuktikan, dan sebaliknya apabila tidak dirumuskan, tidak perlu dibuktikan. Hal ini merupakan pendapat yang menganut paham formal. Berbeda dengan yang menganut paham materiil, yang menyatakan bahwa meskipun tidak dirumuskan, unsur melawan hukum perlu dibuktikan.49

Sebaliknya para sarjana berpandangan material tentang bersifat melawan hukum, mengatakan bahwa sifat melawan hukum, selalu dianggap ada dalam setiap delik dengan tegas dirumuskan. Penganut teori ini mengemukakan bahwa pengertian dari hukum yang merupakan salah satu kata yang terdapat dalam bersifat melawan hukum, tidak hanya didasarkan kepada undang-undang saja, tetapi kepada yang lebih luas lagi, yaitu

Konsekuensi dari pembedaan-pembedaan tersebut, dikemukakan oleh E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, yaitu :

Bagi para sarjana yang menganut pandangan formal mengenai sifat melawan hukum dalam hubungannya dengan perumusan suatu delik, apabila bersifat melawan hukum (bmh) tidak dirumuskan dalam suatu delik, tidak perlu lagi diselidiki tentang bersifat melawan hukum. Sedangkan jika bersifat melawan hukum ini dicantumkan dalam rumusan delik, maka bersifat melawan hukum itu harus diselidiki. Dan dalam rangka penuntutan/mengadili harus terbukti bersifat melawan hukum tersebut. Justru dicantumkannya bersifat melawan hukum tersebut dalam norma delik, menghendaki penelitian apakah tindakan ini bersifat melawan hukum atau tidak. Demikianlah antara lain pendapat SIMONS dan para pengikut ajaran formal.

49


(47)

asas umum yang berlaku sebagai hukum. Dengan perkataan lain bersifat melawan hukum berarti harus dapat dirasakan sebagai tidak boleh terjadi, bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat. Atau lebih tepat jika diartikan dengan : tidak boleh terjadi dalam rangka pengayoman hukum dan perwujudan cita-cita masyarakat.50

“Untuk menghindari salah faham : tidak dikatakan bahwa untuk dapat dipidana cukup hanya sifat melawan hukum faset yang dipenuhi, tetapi : dalam rumusan-rumusan delik mana ada istilah “dengan sifat melawan hukum”, hanya sifat melawan hukum fasetlah yang perlu dibuktikan. Sifat melawan hukum sebagai syarat tidak tertulis untuk dapat dipidana tidak perlu dibuktikan, tetapi perlu direalisasikan. Ini berarti bahwa juga dalam istilah sifat melawan hukum terdapat dalam rumusan delik, dapat diajukan adanya alasan pembenar.

Semua rumusan tindak pidana korupsi mengandung sifat melawan hukum, di satu sisi dirumuskan secara eksplisit, sehingga merupakan unsur yang harus dibuktikan dan di sisi lain, tidak dirumuskan, tetapi implisit terkandung dalam istilah-istilah lain yang dipergunakan, sehingga bukan unsur tindak pidana korupsi dan karenanya tidak perlu dibuktikan. Sejalan dengan pendapat Schaffmesiter, dkk. Bahwa :

51

Dibandingkan dengan rumusan melawan hukum dalam KUHP maupun Yurisprudensi MA, rumusan dalam UU No. 31 tahun 1999 memiliki makna yang

Kerangka argumentasi seperti ini, maka persoalan sifat melawan hukum dimaknai secara formil ataukah materiil dalam fungsi negatif dan positif hanya berlaku pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 12 huruf e Undang-undang No. 31 tahun 199 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Undang-undang selain kedua di atas dengan pertimbangan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan istilah yang dipergunakan dalam rumusan pasal dengan sendirinya terlarang karena melawan hukum.

50

Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Op. Cit., hal.166. 51


(48)

dapat dikatakan berbeda, setidaknya jika dikaitkan dengan Penjelasan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud, yaitu Pasal 2 ayat (1). Secara lengkap, Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999 rumusannya sebagai berikut :

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Berdasarkan mulanya Pasal 2 ayat (1) tersebut oleh pembentuk undang-undang diberi penjelasan, khususnya menyangkut makna unsur melawan hukum, namun kemudian dicabut oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 24 Juli 2006. Penjelasan tersebut meskipun secara yuridis dianggap sudah tidak ada, tetapi perlu dikemukakan sekedar untuk memahami secara kesejarahan makna sifat melawan hukum tersebut dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) dalam kaitannya dengan unsur melawan hukum menegaskan bahwa :

Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yaitu meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuataan tersebut dapat dipidana.

Berdasarkan pembahasan terdahulu, meskipun Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan


(49)

dinyatakan pula tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, namun pemaknaan dalam Penjelasan bagian Umum serta rumusan dalam Pasal 12 huruf e Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tidak disinggung-singgung oleh Mahkamah Konstitusi atau tidak dinyatakan seperti halnya Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 31 Tahun 1999. Hal ini secara prosedural atau hukum acara Mahkamah Konstitusi dapat diargumentasikan dengan dalil bahwa hal tersebut tidak dimintakan oleh Pemohon, namun secara substansial hal itu berarti rumusan makna melawan hukum dalam Penjelasan bagian Umum dan Pasal 12 huruf e Undang-undang No. 31 Tahun 1999 masih dapat dimaknai berlaku. Kondisi tersebut secara kritis dapat terjadi karena kelalaian Mahkamah Konstitusi bahwa terdapat penjelasan serupa yang tertuang dalam Penjelasan bagian Umum.

Pembanding dalam UU 3/1971 dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a: Dihukum karena tindak pidana korupsi : Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan-perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.52

Dengan mengemukakan sarana “melawan hukum” yang mengandung pengertian formal maupun material, maka dimaksudkan agar supaya lebih mudah memproleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum, yaitu ‘memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan’, daripada memenuhi ketentuan untuk membuktikan lebih dahulu adanya kejahatan/pelanggaran seperti diisyaratkan oleh Undang-undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960.

Penjelasan UU 3/1971 dalam kaitan dengan unsur melawan hukum menegaskan bahwa :

53

52

Ibid., hal.172 53


(50)

Undang-undang 3/1971 tidak memberikan penjelasan lebih jauh menyangkut melawan hukum dalam pengertian materiil tersebut. Yurisprudensi MA juga masih sebatas menginterprestasikan pada konsepsi sifat melawan hukum dalam pengertian materiil dalam fungsinya yang negatif. Bahkan Penjelasan Pasal 1 huruf a UU 3/1971 menyebutkan bahwa “Ayat ini tidak menjadikan perbuatan melawan hukum sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan melawan hukum ini merupakan sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan……”

Pembedaan antara sifat melawan hukum secara umum dan khusus, secara formal dan materiil, maka dapat dikatakan bahwa kategori sifat melawan hukum yang dipakai oleh Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 12 huruf e Undang-undang No. 31 tahun 1999, yaitu sifat melawan hukum khusus dan dalam pengertian materiil. Maksud melawan hukum secara khusus, yaitu Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 12 huruf e Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang secara tegas mencantumkan “melawan hukum” sebagai bagian inti atau bestanddeel tindak pidana. Dengan sendirinya “melawan hukum” tersebut harus tercantum di dalam surat dakwaan, sehingga harus dapat dibuktikan, putusannya ialah bebas.54

Melawan hukum dalam pengertian materiil, secara konsepsional dibedakan antara melawan hukum dalam pengertian materiil yang positif dan negatif. Pasal 2 ayat 2 ayat (1) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tampaknya menganut ajaran sifat melawan hukum, baik dalam pengertian formil maupun materiil. Sifat

54


(51)

melawan hukum materiil tersebut, baik dalam fungsi yang negatif maupun positif. Fungsi positif dari sifat melawan hukum, yang kemudian dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu meskipun peraturan perundang-undangan tidak mengatur, namun apabila perasaan keadilan dalam masyarakat, maupun norma-norma sosial menyatakan bahwa perbuatan tersebut tercela, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. 55

Menurut Andi Hamzah, seperti dikatakan Pompe, pengertiannya sama dengan melanggar hukum atau onrechtmatig di dalam hukum perdata sebagaimana halnya dalam kasus Lindembaum-Cohen dalam Arrest Hoge Raad, 1919.56

Berbeda dengan melawan hukum dalam pengertian materiil yang negatif, yaitu kategori perasaan keadilan dalam masyarakat dan norma-norma sosial hanya dipakai sebagai alasan pembenar, bukan untuk memidana. Pasal 2 ayat (1) maupun Pasal 12 huruf e Undang-undang No. 31 tahun 1999 menganut ajaran sifat melawan hukum dalam konsepsi yang luas. Dalam konsep yang luas tersebut, maka penerapannya sangat bergantung pada cara pandang hakim.57

Berdasarkan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 24 Juli 2006, maka secara konsepsional tentunya melawan hukum seperti diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 hanya menganut ajaran sifat melawan hukum dalam pengertian materiil, yang bersifat negatif. Hal tersebut didasarkan Putusan Mahkmah Konstitusi yang telah

55

Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Meteriil dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi Kasus tentang penerapan dan perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 2002, halaman 127.

56

Ibid ., hal. 173. 57


(52)

memutuskan bahwa frasa Penjelasan pasal 2 ayat (1), yaitu “dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun arti materiil, yaitu meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan perasaan keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.58

Secara historis, konsepsi melawan hukum terumus dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi sebelum dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi, bukan tidak mungkin muncul sebagai upaya yang “progresif” dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah menyebar pada berbagai lapisan sosial di Indonesia, sehingga pembentuk undang-undang memilih konsep melawan hukum dalam pemgertian materiil yang positif meskipun tidak memproleh “dukungan’ secara teori atau doktrin hukum pidana. Lebih dari itu, penafsiran terhadap secara melawan hukum yang terumus dalam Berdasarkan pandangan-pandangan yang berkembang dalam ilmu hukum pidana yang menunjukkan bahwa meskipun menganut atau menerima ajaran sifat melawan hukum dalam pengertian materiil, namun hendaknya diterapkan secara negatif-bukan positif. Sifat melawan hukum dalam pengertian materiil negatif juga sudah bertentangan dengan asas legalitas, khususnya aspek kepastian hukum, lebih-lebih dalam pengertian materiil yang positif.

58


(53)

Pasal 12 huruf e UU Antikorupsi, masih sangat terbuka dengan dalil tidak di-

judicial review melalui Mahkamah Konstitusi.59

Unsur melawan hukum dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dengan demikian setelah muncul Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 dapat diinterprestasikan dalam pengertian formil dan materiil dalam fungsi yang negatif. Apabila, Penjelasan bagian Umum Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai melawan hukum masih dianggap berlaku, sesungguhnya undang-undang itu masih mengikuti ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi positif, di samping sifat melawan hukum formil dan materiil dalam fungsi negatif. 60

59

Ibid. 60


(54)

BAB III

ANALISIS HUKUM TENTANG SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI PT. PELINDO I MEDAN

A. Kasus Posisi 1. Kronologis

Pada tanggal 27 September 2010 terdakwa Bambang Rudhianto, SH, MM selaku Penanggung Jawab Program (PJP) pada PT. (Persero) Pelindo I Medan bersama-sama dengan Drs. Sujadi selaku Sales Manager PT. Asuransi Jiwa Beringin Jiwa Sejahtera Cabang Medan yang telah diputus bersalah (Pengadilan Negeri Medan Tanggal 27 September 2010). Faktanya masing-masing bertindak untuk dirinya sendiri secara melawan hukum. Mereka melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara, atau perekonomian Negara, dan perbuatan yang dilakukan tersebut adalah merupakan suatu rangkaian perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa, sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut (Voorgezette handeling).

Perbuatan yang dilakukan oleh Bambang Rudhianto, SH, MM adalah perbuatan korupsi Dana Penyedia Jasa Pelayanan Asuransi Kesehatan dalam bentuk managed Care bagi Pegawai dan Keluarga PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I Medan berdasarkan Surat Perjanjian nomor : UM.58/26/10/P.I- 07 yang ditanda tangani pada tanggal 27 September 2007 oleh saksi Drs. Sujadi dan saksi Prayitno selaku Direktur Utama PT. Pelindo I Medan, dimana di dalam surat perjanjian tersebut nilai kontrak atau total premi pertanggungan sebesar Rp.


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Sifat Melawan Hukum ada 2 yaitu ajaran sifat melawan hukum formil merupakan seluruh bagian inti delik apabila sudah dipenuhi atau dapat dibuktikan, dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah melawan hukum. Sedangkan ajaran sifat melawan hukum materiil merupakan bukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman di dalam pergaulan masyarakat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum.

Adapun ajaran sifat melawan hukum yang diterapkan di Indonesia adalah ajaran sifat melawan hukum formil. Namun pada tindak pidana korupsi, sifat perbuatan melawan hukum yang dapat diterapkan bisa saja ajaran sifat melawan hukum formal maupun ajaran sifat melawan hukum materiil.

2. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Bambang Rudhianto, SH, MM adalah perbuatan tindak pidana korupsi yaitu Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Tindak Pidana korupsi yang dilakukan terdakwa adalah korupsi Dana Penyedia Jasa Pelayanan Asuransi Kesehatan dalam bentuk managed Care bagi Pegawai dan Keluarga PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I Medan berdasarkan Surat Perjanjian nomor : UM.58/26/10/P.I- 07 yang ditanda tangani pada tanggal 27 September 2007 oleh saksi Drs. Sujadi dan saksi Prayitno selaku Direktur Utama PT. Pelindo I Medan, dimana di dalam surat perjanjian tersebut nilai kontrak atau total premi pertanggungan


(2)

sebesar Rp. 6.463.819.000,- (enam milyar empat ratus enam puluh tiga juta delapan ratus sembilan belas ribu rupiah).

Unsur-unsur sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi adalah: a. Setiap orang ;

b. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi ;

c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan ;

d. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Hukuman yang diberikan pada Bambang Rudhianto, SH., MM dalam tindak pidana korupsi adalah dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan ditambah denda Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), subsider selama 3 (tiga) bulan kurungan, serta membayar uang pengganti sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) yang ditanggung oleh Bambang Rudhianto, SH., MM dan apabila tidak mampu membayar uang pengganti dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka harta kekayaannya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut, apabila tidak mempunyai harta yang cukup, maka diganti pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan Bambang Rudhianto, SH.,MM dibebani membayar biaya perkara persidangan sebesar Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah).

Berdasarkan fakta-fakta yang terdapat di persidangan maka Terdakwa dianggap Majelis Hakim melakukan perbuatan sifat melawan hukum secara formal, yaitu melanggar Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.


(3)

B. Saran

1. Perlunya unsur “melawan hukum” dengan nyata dirumuskan dalam Pasal 3 ini, agar tidak menimbulkan sengketa atau perselisihan hukum dikemudian hari. Dan unsur melawan hukum sebaiknya diletakkan dibelakang kata-kata “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi”. Sehingga redaksinya menjadi “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan melawan hukum”, sehingga perkataan dibelakang “dengan melawan hukum” adalah perbuatan-perbuatan yang diliputi oleh sifat melawan hukum.

2. Perlunya pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi bagi para pelaku korupsi dengan cara menjatuhkan hukuman maksimal kepada pelaku tindak pidana korupsi seharusnya dengan sungguh-sungguh dilakukan sehingga menimbulkan efek jera bagi masyarakat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdussalam, R. 2007. Sistem Peradilan Pidana. Jakarta : Restu Agung.

Agromedia Pustaka. 2006. Himpunan Perundangan Tentang Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Arief, Barda Nawawi. 2010. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Atsasmita, R. 2004. Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional, Aspek Internasional. Bandung : Mandar Maju.

D. Schaffmeister.Keijzer, N dan Sutorius, E.PH., ed Sahetapy, JE. dan Pohan Agustinus. 2007. Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti .

Djaja, Ermansjah. 2006. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika.

Fuady, Munir. 2002. Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer). Bandung:PT. Citra Aditya Bakti.

Hamdan, M. 2005. Tindak Pidana Suap dan Money Politics. Medan: Pustaka Bangsa Pers.

Hamzah, Andi. 1991. Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

………...2005. Pembaharuan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Harahap, Krisna. 2006. Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung. Bandung : Grafitri.

Harahap, M. Yahya. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua. Jakarta : Sinar Grafika.

……….. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Cetakan Pertama. Jakarta : Sinar Grafika.


(5)

Kurniawan. L. 2003. Menyingkap Korupsi di Daerah Jakarta. Jakarta : Indonesia Corruption Watch.

Marpaung, Leden. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

……… 2001. Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan. Jakarta: Djambatan.

Mochtar, M. Akil. Memberantas Korupsi Efektitifitas Sistem Pembalikan Beban Pembuktian dalam Gratifikasi.

Mulyadi, Mahmud. Hukum Acara Pidana ( Bahan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara )

Nurdjana, IGM. 2005. Korupsi Dalam Praktek Bisnis Pemberdayaan Penegakan Hukum, Program Aksi dan Strategi Penanggulangan Masalah Korupsi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Partanto, P. A. Al Barry, MD. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya : Arkola. Poernomo, Bambang. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia. Pradjonggo, Tjandra Sridjaja. 2010. Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana

Korupsi. Surabaya : Indonesia Lawyer Club.

Prodjohamidjojo. Martiman. 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999). Bandung: Mandar Maju.

Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Sasangka, Hari. 2007. Komentar Korupsi. Bandung : Mandar Maju.

Seno, Indriyanto Adji. 2007. Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana. Jakarta : Diadit Media.

Siregar, Tampil Anshari. 2005. Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi. Medan : Pustaka Bangsa Press.

Soekanto, Soerjano. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UII Press. Sutendi, Adrian. 2010. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Sinar Grafika.


(6)

Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan deskriminalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tresna, R. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.

Tuanakotta, Theodorus M. 2009. Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Salemba Empat.

B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang No.31 Tahun 1999 dengan Perubahannya UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian.

C. Kamus

R. Subekti. 1989. Kamus Hukum. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Putusan Reg. No. 1576/Pid.B/2010/PN. Medan.

Partanto, P. A. Al Barry, MD. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya : Arkola.

D. Internet

Herdiansyah Hamzah, “ Membongkar Sejarah Korupsi Di Indonesia ”, melalui

Sejarah Epidemi Korupsi di Nusantara Zaman Kekuasaan VOC, melalui

diakses tanggal 24 Oktober 2011.

Wikipedia bahasa Indonesia, eksiklopedia. Korupsi, melalui

Sumut Terbanyak Korupsi 2010, melalui www.google.com ,, diakses tanggal 30