BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Kesehatan 2.1.1 Pengertian Perilaku Kesehatan - Hubungan Perilaku Pencegahan Terhadap Kejadian HIV Pada Kalangan LSL Di Klinik IMS Dan VCT Veteran Medan Tahun 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Kesehatan

2.1.1 Pengertian Perilaku Kesehatan

  Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.

  Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-

  Organisme

  • –Respon. Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka

  perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003):

  a. Perilaku tertutup (covert behavior) Perilaku tertutup adalah respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap

  7 yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

  b. Perilaku terbuka (overt behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.

  Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

2.1.2 Ranah (Domain) Perilaku

  Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom, dan untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan menjadi tingkat ranah perilaku sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010): a.

  Pengetahuan (Knowladge) Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.

  b.

  Sikap (Attitude) Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan.

  c.

  Tindakan (Practice) Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.

2.1.3 Determinan Perilaku Kesehatan

  Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2010) menganalisis faktor perilaku ditentukan oleh 3 faktor utama yaitu: faktor predisposisi (Predisposing factors), terdiri atas faktor pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan dan nilai. Kedua, faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik seperti ketersediaan sarana/fasilitas, informasi. Ketiga, faktor pendorong (reinforcing factors), yag terwujud dalam sikap dan perilaku kelompok referens, seperti petugas kesehatan, kepala kelompok atau peer group.

  Presdiposing factors

  • Kebiasaan - Kepercayaan - Tradisi - Pengetahuan - Sikap

  Enabling factors Pendidikan

  Masalah

  • Ketersediaan fasilitas Perilaku Kesehatan

  Kesehatan

  • Ketercapaiaan fasilitas

  Reinforcing Factors Non

  • Sikap dan Perilaku Perilaku Petugas - Peraturan Pemerintah

Gambar 2.1 Bagan Precede Lawrence W. Greean Didalam proses pembentukan dan atau perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri.

  Faktor-faktor tersebut antara lain: susunan saraf pusat, persepsi, emosi, proses belajar, lingkungan dan sebagainya. Perilaku diawali dengan dengan adanya pengalaman-pengalaman seseorang serta faktor-faktor di luar orang tersebut (lingkungan), baik fisik maupun non fisik. Kemudian pengalaman dan lingkungan tersebut diketahui, dipersepsikan, diyakini dan sebagainya sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk bertindak dan akhirnya terjadilah perwujudan niat yang berupa perilaku (Notoatmodjo,2005).

2.2 HIV

2.2.1 Pengertian HIV

  Depkes (2006) mendefinisikan HIV (Human Immunodeficiency Virus) sebagai virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi.

  Human Immunodeficiency Vyrus (HIV) yaitu virus yang menyerang sistem

  kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom adalah sindrom kekebalan tubuh oleh infeksi HIV. Perjalanan penyakit ini lambat dagejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah terjadi infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.

  HIV ini menyerang sel-sel darah putih dalam tubuh, sehingga jumlah sel darah putih semakin berkurang dan menyebabkan sistem kekebalan tubuh menjadi melemah. Padahal, fungsi sel darah putih adalah sebagai pelindung tubuh dari serangan luar seperti kuman, virus, atau penyakit yang masuk kedalam tubuh. Selain itu, sel darah putih berfungsi memproduksi zat antibodi yang khas untuk penyakit tersebut. Bahkan sel darah putih mampu memproduksi antibodi yang dapat melindungi tubuh seumur hidup.

  HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh manusia. HIV dapat menyerang salah satu dari jenis sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Kerja virus setelah masuk ke dalam tubuh manusia yaitu merusak salah satu jenis sel imun tertentu yang dikenal dengan sel T Helper dan sel tubuh lainnya, antara lain sel otak, sel usus, sel paru. Sel T Helper adalah titip pusat pertahanan tubuh, sehingga infeksi HIV menyebabkan daya tahan tubuh menjadi lemah. Virus HIV ditemukan dan diisolasikan dari sel limfosit T4, limfosit B, sel makrofag (di otak dan paru) dan berbagai cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, air susu ibu. Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).

2.2.2 Cara Penularan HIV

  Nasronudin (2007) menyatakan bahwa masuknya virus HIV ke dalam tubuh manusia atau transmisi HIV yaitu secara vertikal, transeksual dan horizontal. Nasution (2000) AIDS adalah HIV yang terdapat dalam darah dan cairan tubuh seseorang yang tertular, walaupun orang tersebut belum menunjukkan keluhan atau gejala penyakit. HIV dapat menular kepada siapapun melalui cara-cara tertentu tanpa melihat status, kebangsaan, ras, jenis kelamin, agama, tingkat pendidikan, kelas ekonomi maupun orientasi seksual (Nasution, 2000).

  Cara pencegahan penularan HIV yang paling efektif adalah dengan memutus rantai penularan. Pencegahan dikaitkan dengan cara-cara penularan HIV. Infeksi HIV/AIDS merupakan suatu penyakit dengan perjalanan yang panjang dan hingga saat ini belum ditemukan obat yang efektif, maka pencegahan dan penularan menjadi sangat penting terutama melalui pendidikan kesehatan dan peningkatan pengetahuan yang benar mengenai patofisiologi HIV dan cara penularannya.

  Penangggulangan merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukan, meliputi kegiatan pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi. Seperti diketahui, penyebaran virus HIV melalui hubungan seks, jarum suntik yang tercemar, transfusi darah, penularan dari ibu ke anak maupun donor darah atau donor organ tubuh (Noviana, 2013)

  Tiga cara penularan HIV yang paling sering terjadi adalah:

  a. Hubungan seksual Ada beberapa cara untuk melakukan hubungan seksual, yaitu vaginal

  (lewat vagina). Anal (menggunakan dubur), oral (menggunakan mulut) dan manogenital (menggunakan tangan). Dari keempat cara tersebut, risiko terbesar untuk dapat tertular HIV adalah apabila melakukan hubungan seksual secara anal dan vaginal. 80% sampai dengan 90% kasus HIV ditemukan pada mereka yang melakukan kegiatan seksual secara anal. Hal ini disebabkan karena lapisan kulit di sekitar dubur cukup tipis, sehingga dapat mengakibatkan luka yang mengeluarkan darah dan dapat terjadi kontak antar cairan tubuh.

  b. Kontak langsung dengan darah/produk darah/ jarum suntik

  Transfusi darah/produk darah yang tercemar HIV merupakan risiko tinggi penularan HIV yaitu mencapai lebih dari 90%. Namun demikian, kasus penularan HIV melalui transfusi darah ini hanya dijumpai 3-5% dari total kasus penularan HIV sedunia. Selain itu, pemakaian jarum suntik yang tidak steril ataupun pemakaian jarum suntik secara bersama terutama seperti yang dilakukan oleh para pecandu narkotik. Cara ini mengandung 0,5% - 1% dan telah ditemukan pada 5- 10% dari total kasus sedunia.

  c. Secara vertikal Secara vertikal maksudnya yaitu dari ibu hamil kepada bayi yang dikandungnya, dimana penularan bisa saja terjadi pada waktu kehamilan, melahirkan ataupun sesudah melahirkan (ketika menyusui). Risiko penularan lewat cara ini adalah 25-40% dan telah ditemukan pada kurang dari 0,1% dari total kasus sedunia (Nasution, 2000).

  Secara umum HIV dapat diisolasi dari darah, semen, cairan serviks, cairan vagina, ASI, air liur, serum, urine, air mata, cairan elveoler, cairan serebrospinal.

  Meskipun HIV pernah ditemukan pada air liur penderita namun tidak ada bukti secara empiris yang menunjukkan bahwa air liur dapat menularkan HIV.

  Demikian juga untuk cairan tubuh lain seperti, air mata, urine maupun keringat (Nasronudin, 2007). Sehingga HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan, toilet yang dipakai bersama-sama, berpelukan di pipi, berjabat tangan, hidup serumah (KPAN, 2011).

  Perlu digaris bawahi transmisi yang terbukti dapat terjadi secara efisien adalah melalui darah, cairan semen, cairan vagina/serviks, dan ASI. Adapun pola penularan HIV di Asia memiliki pola seperti berikut (Susilowati, 2011)

Gambar 2.2 Pola Penularan HIV di Asia

  Populasi umum pria Pelanggan

  Laki-laki seks laki-laki Wanita pekerja seks

  Penasun Populasi umum

  Bayi

2.2.3 Perjalanan Infeksi HIV

  Klasifikasi klinik HIV pada orang dewasa menurut WHO seperti tertuang dalam Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagi ODHA (Depkes, 2003) dan Nasronudin (2007) adalah sebagai berikut:

  Stadium Gambaran Klinis Skala Aktivitas

  I

  1. Asimptomatis Penampilan/aktivitas fisik

  2. Limfadenopati generalisata skala I: asimptomatis, aktivitas normal

  II

  1. Berat badan menurun <10% Penampilan/ aktivitas

  2. Kelainan kulit dan mukosa ringan fisik skala II: siptomatis, (dermatitisseboroik prugigo, aktivitas normal onikomikosis)

  3. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir

  4.Infeksi saluran nafas bagian atas (sinusitis bakterialis)

  III

  1. Berat badan menurun >10% Penampilan/aktivitas fisik

  2. Daire kronis yang berlangsung lebih skala dari 1 bulan

  III: Pada umumnya

  3. Demam berkepanjangan lebih dari 1 lemah, bulan aktivitas ditempat tidur

  4. Kandidiasis orofaringeal <50%

  5. Oral hairy leukoplakia per hari dalam bulan

  6. TB paru dalam tahun terakhir terakhir

  7. Infeksi bakterialis yang berat seperti pneumonia, piomiositis

  IV

  1. HIV wasting syndrome (berat badan turun >10% ditambah diare kronik >1 bulan atau demam >1 bulan yang tidak disebabkan penyakit lain)

  2. Pneumonia pneumocystis carinii

  3. Toksoplasmosis otak

  4. Daire kristosporidiosis lebih dari 1 bulan

  5. Kriptokokosis ekstrapulmonal

  6. Retinitis virus sitomegalo

  7. Heroes simplek mukokutan >1 bulan

  8. Leukosenfalopati multifocal progresif

  9. Mikosis diseminata

  10. Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, dan paru

  11. Mikobabakteriosis atipikal diseminata

  12. Sepsemia salmonellosis non tifoid

  13. Tuberkolosis di luar paru

  14. Limfoma

  15. Sarkoma Kaposi

  16. Ensefalopati HIV Perjalanan infeksi HIV ini dapat dibedakan menurut sistematika perjalanan virus itu sendiri. Menurut Suyono dkk (2006) dan Nasronudin (2007) secara klinik, gambaran yang terlihat dalam perjalanan penyakit HIV/AIDS terbagi dalam 3 tahap urutan yaitu tahap infeksi akut atau primer, tahap infeksi asimtomatis atau dini, tahap infeksi simtomatis atau menengah dan tahap sakit HIV berat atau penderita dalam tahap AIDS.

  Tahap infeksi akut atau primer (primary infection) keadaan setelah beberapa minggu dari saat infeksi terjadi dan belum muncul gejala secara spesifik.

  Periode ini terjadi sekitar 6 minggu setelah terpapar virus HIV. Pada tahap ini biasanya akan muncul keluhan berupa demam, rasa letih atau lemah, nyeri otot dan sendi, sakit pada tenggorokan dan adanya pembesaran kelenjar getah bening. Terdapat satu masa transisi virus antigenemia yaitu antigen virus tidak dapat dideteksi di dalam serum darah pengidap sebelum terbentuknya zat anti terhadap virus HIV (Nasronudin, 2007).

  Tahap selanjutnya disebut tahap infeksi dini atau asimtomatis dimana pada tahap ini justru penderita tidak merasakan keluhan yang muncul pada tahapan pertama diatas. Tahapan ini berlangsung sekitar 6 minggu sampai dengan beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah infeksi terjadi. Pada tahapan ini sedang terjadi internalisasi HIV ke intraseluler. Pada tahapan ini penderita HIV biasanya masih dapat beraktivitas secara normal (Nasronudin, 2007).

  Tahapan ketiga merupakan infeksi tahapan simtomatis. Keluhan akan lebih spesifik dengan kadar berat ringannya tergantung dari masing-masing penderita. Berat badan biasanya menurun sekitar 10%, sariawan biasanya muncul secara berulang, mungkin juga akan ditemukan peradangan pada sudut mulut, sering ditemukan infeksi bakteri pada saluran nafas bagian atas. Biasanya penderita masih dapat beraktivitas normal meskipun sudah merasa terganggu dengan keadaan tubuhnya. Dalam tahap ini terjadi reaktivasi virus HIV dengan munculnya kembali antigen HIV dan turunnya jumlah limfosit T4. Ada juga yang menyebut sebagai fase AIDS Related Complex yaitu suatu keadaan yang ditandai dengan tanda-tanda konstitusional yang menetap sekurang-kurangnya tiga bulan dan hasil laboratorium minimal satu macam tanpa gejala infeksi oportunisti. Tanda-tanda lain yang ditemui adalah peningkatan suhu badan 38ºC berlangsung terus-menerus, kelelahan sampai hilangnya aktivitas dan keluarnya keringat pada malam hari (Nasronudin, 2007).

  Tahap keempat yang merupakan tahap sakit HIV berat (severe HIV atau

  fullblown AIDS) atau berarti penderita telah masuk dalam tahap AIDS. Pada

  tahapan ini terjadi penurunan berat badan lebih dari 10%, diare terjadi lebih dari 1 bulan, panas yang tidak diketahui penyebabnya dan terjadi lebih dari 1 bulan, kandidiasis oral, tuberkolosis paru dan pneumonia bakteri. Beberapa infeksi oportunistik sangat sering terjadi pada tahapan ini (Nasronudin, 2007).

2.2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penularan HIV

  Menurut Susilowati (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi penularan HIV adalah sebagai berikut:

  1. Faktor Biologis a. Tingkat Infeksi orang yang telah terinfeksi HIV.

  b. Adanya cairan semen dan sekresi genital.

  c. Tingginya jumlah virus yang ada dalam darah, apakah penderita ada pada stadium awal infeksi atau stadium lanjut.

  d. Adanya perlukaan (exposure to blood) misalnya trauma pada saat kontak seksual, menstruasi pada saat kontak seksual atau bsiul genital.

  e. Menyusui bayi pada ibu yang terinfeksi HIV.

  f. Kerentanan (suspectibility) dari resipien.

  g. Adanya gangguan pada wilayah genital atau mucosa rektal (area dubur).

  h. Laki-laki yang tidak bersunat (lack of circumcision in heterosexual men). i. Melakukan hubungan seksual pada saat menstruasi akan meningkatkan risiko pada perempuan karena adanya perlukaan pada endometrium yang memungkinkan menjadi pintu masuk virus HIV. j. Adanya infeksi menular (IMS). k. Resistensi virus terhadap antivirus. l. Kapasitas virus.

  2. Faktor Sosioekonomi

  a. Adanya mobilitas sosial seperti perdagangan bebas dan ekonomi global yang menyebabkan orang-orang melakukan perjalanan atau bekerja jauh dari rumah. Penyebaran HIV mengikuti pola perdagangan dan perniagaan. Laki-laki melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial, tertular HIV dan membawanya ke rumah, menularkan kepada istri yang pada akhirnya dapat menularkan kepada janin yang dikandung atau bayi pada saat menyusui.

  b. Stigma dan penolakan. Pemikiran negatif mengenai HIV sudah menjadi norma. Banyak orang yang berpendapat kurang tepat HIV adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan beronset lambat, menyebabkan kondisi sakit dan berakibat kematian. Kebanyakan orang tidak mengetahui bagaimana HIV bisa ditularkan secara tidak rasional takut tertular dari orang terinfeksi HIV. Penularan HIV sering dihubungkan dengan pelanggaran moral yang berkaitan dengan perilaku seksual, sehingga orang yang terindeksi HIV dicap telah melakukan hal yang buruk.

  c. Masa perang. AIDS ditularkan melalui wilayah yang penuh dengan konflik misalnya perang. Anggota militer melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial. Mereka melakukan perkosaan sebagai cara untuk mempermalukan dan mengontrol penduduk sipil atau untuk melemahkan musuh melalui perusakan ikatan keluarga atau masyarakat.

  3. Faktor Budaya

  a. Adat-istiadat, budaya, keyakinan, dan praktik-praktik tertentu dalam masyarakat mempengaruhi pemahaman dan sudut pandang seseorang mengenai kesehatan, penyakit dan penerimaan mereka pada perawatan medis konvesional. Budaya memperlihatkan perilaku-perilaku gender, agama, kelompok etnis, bahasa, masyarakat, dan kelompok umur.

  b. Gender. Peran gender mempunyai pengaruh yang kuat dalam penularan HIV. Di banyak budaya, laki-laki justru diharapkan menjalin banyak hubungan seksual. Tekanan sosial dalam masyarakat menyebabkan laki- laki melakukan hal tersebut. Hal ini meningkatkan risiko laki-laki terkena infeksi HIV. Karena perempuan seringkali mengalami ketidaksetaraan ekonomi sehingga mereka menjadi pekerja seks sebagai upaya untuk dapat bertahan hidup. Hal ini menyebabkan mereka mudah terpapar risiko ketika mereka mencoba menegosiasikan seks yang aman.

  c. Penggunaan obat-obatan terlarang dan konsumsi alkohol. Penggunaan obat-obatan terlarang dengan cara menyuntikkan berbagai jarum suntik dan peralatan injeksi akan meningkatkan risiko penularan HIV.

2.2.5 Pencegahan HIV

  Pencegahan agar tidak terinfeksi HIV adalah sebagai berikut (UNAIDS, 2000):

  1. Pencegahan melalui hubungan seksual:

  a. Tidak melakukan hubungan seks pra nikah;

  b. Tidak berganti-ganti pasangan; dan c. Apabila salah satu pihak sudah terinfeksi HIV, gunakanlah kondom.

  2. Pencegahan melalui darah:

  a. Transfusi darah dengan yang tidak terinfeksi;

  b. Sterilisasi jarum suntik dan alat-alat yang melukai kulit; c. Hindari pengguna narkoba;

  d. Tidak menggunakan alat suntik, alat, tindik, alat tato, pisau cukur dan sikat gigi berdarah dengan orang lain; dan e. Steril peralatan medis yang berhubungan dengan cairan manusia

  3. Pencegahan penularan ibu kepada anak:

  a. Ibu yang telah terinfeksi HIV agar mempertimbangkan kehamilannya; dan

  b. Tidak menyusui bayinya

  4. Pencegahan melalui pendidikan gaya hidup:

  a. Perlu komunikasi, edukasi, informasi, dan penyuluhan kepada masyarakat, dan b. Hindari gaya hidup yang mencari kesenangan sesaat.

2.3 Voluntary Counseling and Testing (VCT)

2.3.1 Pengertian Voluntary Counseling and Testing (VCT)

  Voluntary Counseling and Testing (VCT), dalam bahasa indonesia disebut

  konseling dan tes sukarela, artinya sama dengan VCCT (voluntary counseling and

  

confidential counseling and testing ). VCT merupaka kegiatan konseling bersifat

  sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum dan sesudah tes darah untuk HIV di laboratorium. Tes HIV dilakukan setelah klien terlebih dahulu memahami dan menandatangani informed consent yaitu surat persetujuan setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar (Depkes, 2003)

  VCT merupakan salah satu cara untuk mengetahui status HIV seseorang dengan pemeriksaan tes HIV yang didahului oleh konseling di awal dan konseling setelah pemeriksaan. Dalam pemeriksaan status HIV/AIDS seseorang idealnya dilakukan melalui proses VCT. Proses ini diperlukan karena tes HIV memerlukan jaminan kerahasiaan bagi orang yang diperiksa. Selain itu, pemeriksaan harus dilakukan secara etis dan sukarela atau paksaan dari pihak manapun (Meilani, 2013).

2.3.2 Tujuan Voluntary Counseling and Testing (VCT)

  VCT sangat penting dilakukan karena VCT merupakan pintu masuk ke layanan HIV/AIDS, menawarkan keuntungan baik bagi yang hasilnya positif maupun negatif dengan fokus memberikan dukungan atas kebutuhan klien seperti perubahan perilaku, dukungan mental, dukungan terapi ARV, pemahaman faktual dan terkini tentang HIV, mengurang stigma masyarakat, merupakan pendekatan menyeluruh baik fisik maupun mental dan memudahkan akses ke berbagai pelayanan yang dibutuhkan klien baik kesehatan maupun psikososial (Depkes, 2003).

  Dalam memberikan pelayanan komperhensif yang berkesinambungan bagi orang yang terinfeksi HIV diperlukan saran yang harus disiapkan salah satunya adalah layanan VCT. Layanan VCT merupakan pintu masuk ke seluruh pelayanan HIV dan AIDS. Fokus pada layanan VCT adalah pemberian dukungan atas kebutuhan klien untuk melakukan perubahan perilaku, dukungan mental, dukungan terapi ARV, pemahaman atas fakta tentang HIV/AIDS terkini mengurangi stigma dan deskriminasi serta merupakan layanan yang memberikan pendekatan komprehensif baik bagi kesehatan fisik mental maupun sosial (BKKBN, 2006).

2.3.3 Prinsip Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)

  VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan yang berdasarkan prinsip : a.

  Sukarela dalam melaksanakan testing HIV Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien tanpa paksaan dan tanpa tekanan. Keputusan untuk melakukan pemeriksaan terletak ditangan klien. Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak direkomendasikan untuk testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual, Injecting Drug User (IDU), rekrutmen pegawai/tenaga kerja Indonesia dan asuransi kesehatan.

  b. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien, konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan diluar konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak.

  Untuk penanganan kasus klien selanjutnya dengan seijin klien maka informasi kasus dari diri klien dapat diketahui.

  c. Mempertahankan hubungan relasi konselor dan klien yang efektif Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi perilaku berisiko. Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam menerima hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif. d. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT WHO dan Depkes RI telah memberikan pedoman yang dapat digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lain yang disetujui oleh klien.

2.3.4 Model Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)

  Adapun model layanan VCT terdiri dari :

  1. Mobile VCT (Penjangkauan dan Keliling) Layanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela model penjangkauan dan keliling (mobile VCT) dapat dilaksanakan oleh LSM atau layanan kesehatan yang langsung mengunjungi sasaran kelompok masyarakat yang memiliki perilaku berisiko atau berisiko tertular HIV/AIDS di wilayah tertentu.

  Layanan ini diawali dengan survei atau penelitian atas kelompok masyarakat di wilayah tersebut dan survei tentang layanan kesehatan dan layanan dukungan lainnya di daerah setempat.

  2. Statis VCT (Klinik VCT Tetap) Pusat Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela terintegrasi dalam sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya, artinya bertempat dan menjadi bagian dari layanan kesehatan yang telah ada. Sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya harus memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan konseling dan testing HIV/AIDS, layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan terkait dengan HIV/AIDS.

  Sasaran dari pelayanan VCT adalah masyarakat yang membutuhkan pemahaman diri akan status HIV agar dapat mencegah dirinya dari penularan infeksi penyakit yang lain dan penularan kepada orang lain. Masyarakat yang datang ke pelayanan VCT disebut dengan klien. Sebutan klien dan bukan pasien merupakan salah satu pemberdayaan bagi klien agar berperan aktif dalam proses konseling. Tanggung jawab klien dalam konseling adalah bersama mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan informasi akurat dan lengkap tentang HIV/AIDS, perilaku berisiko, testing HIV dan pertimbangan yang terkait dengan hasil negatif atau positif (Meilani, 2013).

2.4 Homoseksual

  Istilah homo diambil dari bahasa Yunani yang artinya sama. Istilah ini pertama kali diperkenalkan di Eropa menjelang akhir abad 19. Untuk lebih tepatnya, jika penderita homoseksual tersebut laki-laki, sebutannya gay. Jika penderita homoseksual tersebut seorang perempuan, sebutannya lesbian.

  Faktor penyebab paling kuat timbulnya kelainan ini adalah faktor keturunan. Homoseksual sebenarnya bukan tergolong penyakit pada umumnya, melainkan lebih cenderung kepada pilihan identitas seseorang. Karenanya, cara apa pun yang digunakan untuk penyembuhannya, tidak selamanya akan berhasil (Dianawati, 2006)

  Ekspresi homoseksual ada tiga, yaitu: a. Aktif, bertindak sebagai pria yang agresif.

  b.

  Pasif, bertingkah laku dan berperan pasif-feminin seperti wanita. c.

  Bergantian peranan, kadang-kadang memerankan fungsi wanita, kadang- kadang jadi laki-laki.

  Banyak teori yang menjelaskan sebab-sebab homoseksual antara lain: 1. Faktor herediter berupa ketidakseimbangan hormon-hormon seks.

  2. Pengaruh lingkungan yang tidak baik atau tidak menguntungkan bagi perkembangan kematangan seksual normal.

  3. Seseorang selalu mencari kepuasan relasi homoseks, karena ia pernah menghayati pengalaman homoseksual yang menggairahkan pada masa remaja.

  4. Seorang anak laki-laki pernah mengalami traumatis dengan ibunya sehingga timbul kebencian atau atipati terhadap ibunya dan semua wanita. Lalu muncul dorongan homoseks yang jadi menetap (Fitriyah, 2014)

2.4.1 LSL

  Terminologi men who have sex with men atau MSM dimaksudkan untuk menjelaskan semua laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, tanpa memandang identitas seksual mereka. Ini digunakan karena hanya sejumlah kecil dari laki-laki terlibat dalam perilaku seks sesama jenis yang didefinisikan sebagai gay, biseksual atau homoseksual tetapi lebih tepat rnengidentifikasi diri menggunakan identitas dan perilaku lokal sosial dan seksual. Mereka tidak menganggap hubungan seksual mereka dengan laki-laki lain dalam terminologi identitas atau orientasi seksual. Banyak yang berhubungan seks dengan laki-laki mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual bukannya homoseksual atau biseksual, terutama bila mereka juga berhubungan seks dengan perempuan, menikah, hanya memainkan peran sebagai pihak yang penetratif dalam anal seks, dan/atau berhubungan seks dengan laki-laki demi uang atau kesenangan. LSL termasuk juga berbagai kategori dari laki-laki yang dapat dibedakan menurut pengaruh dari variabel seperti: 1) Identitas seksual mereka, tanpa memandang perilaku seksual (gay, homoseksual, heteroseksual, biseksual, dan transgender, atau persamaannya, dan identitas lain)

  2) Penerimaan dan keterbukaan mereka akan identitas seksual mereka yang bukan

  mainstream (terbuka atau tertutup)

  3) Partner seksual mereka (laki-laki, perempuan, dan/atau transgender) 4) Alasan mereka memilih pasangan seksual tersebut (alami, pemaksaan atau tekanan, motivasi komersial, kesenangan atau rekreasi, dan/atau karena keberadaan di lingkungan yang semuanya laki-laki)

  5) Peran mereka dalam praktik khusus (penetratif, reseptif, atau keduanya) 6) Identitas terkait gender mereka, peranan dan perilaku (laki-laki atau perempuan, maskulin atau feminin/effeminate, bersebrangan pakaian (cross-

  dressing) atau berpakaian sesuai gender).

  Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki menjadi terminologi yang populer dalam konteks HIV dan AIDS dimana ia digunakan karena menggambarkan perilaku yang menempatkan mereka dalam risiko terinfeksi. Telah menjadi perdebatan bahwa terminologi tersebut terlalu terfokus pada perilaku seksual dan tidak mencukupi pada aspek lain seperti emosi, hubungan, dan identitas seksual diantara mereka yang juga merupakan determinan dari infeksi. Beberapa organisasi dan individu lebih suka memakai teriminologi laki-

  

laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, karena ia menunjukkan kelompok

  yang lebih luas dari sejumlah individu yang berhubungan seks dengan pasangan lain dari kelamin yang sama. Khususnya, ia tidak mempunyai batasan pada umur yang ditunjukkan den gan kata ”laki-laki”, dan karenanya termasuk juga anak-anak lelaki yang saling berhubungan seks dan juga hubungan seks antara laki-laki dewasa dengan anak lelaki (Demartoto, 2010)

  LSL dapat termasuk yang berikut ini: 1) Laki-laki yang secara eksklusif berhubungan seks dengan laki-laki lain.

  2) Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain tapi sebagian besarnya berhubungan seks dengan perempuan.

  3) Laki-laki yang berhubungan seks baik dengan laki-laki maupun perempuan tanpa ada perbedaan kesenangan.

  4) Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain untuk uang atau karena mereka tidak mempunyai akses untuk seks dengan perempuan, misalnya di penjara, ketentaraan.

  Beberapa laki-laki yang mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual atau biseksual kadang-kadang berhubungan seks dengan laki-laki untuk kesenangan, biasanya karena sulit mengakses perempuan. Sebagian laki-laki dapat berhubungan seks terutama dengan LSL transgender tanpa mengidentifikasi diri sebagai gay atau homoseksual, terutama karena LSL transgender tidak dianggap sebagai laki-laki dalam kontek budaya mereka.

  Ada sejumlah laki-laki yang lebih suka pada perempuan tapi berhubungan seks dengan laki-laki karena akses yang sangat terbatas kepada perempuan. Ini bisa disebabkan karena masyarakat yang konservatif yang dengan ketat membatasi segregasi antara laki-laki dan perempuan, atau berada pada lingkungan yang seluruhnya laki-laki dalam waktu yang lama, seperti di penjara, lingkungan militer, lingkungan buruh migran laki-laki, dan institusi pendidikan khusus laki- laki. Karena sulit mengakses perempuan, laki-laki harus menyalurkan kebutuhan seksual mereka dengan laki-laki lain, tanpa membuat mereka mengidentifikasi diri sebagai gay atau homoseksual.

  Banyak pekerja seks laki-laki di Asia sering mengidentifikasi diri mereka sebagai heteroseksual dan berhubungan seks dengan laki-laki terutama untuk mendukung mereka serta keluarganya. Mereka seringkali menikah atau mempunyai pacar perempuan atau pasangan seks perempuan. Namun ada juga sejumlah pekerja seks laki-laki yang benar mengindentifikasi diri sebagai gay atau homoseksual dan berhubungan seks hanya dengan laki-laki.

  Beberapa laki-laki lebih senang berhubungan seks hanya dengan laki-laki tapi tekanan untuk menikah dan membina keluarga membuat mereka berhubungan seks dengan perempuan. Sebagian lebih dengan laki-laki tetapi tidak menolak perempuan dan sebaliknya. Yang lain lebih senang berhubungan seks hanya dengan perempuan tetapi harus berhubungan seks denga laki-laki karena uang atau karena mereka tidak bisa mendapat akses ke perempuan. Posisi yang ambivalen dari individu transgender laki-laki perempuan menambah dimensi lain dari skenario ini (Demartoto, 2010)

2.5 Landasan Teori

  Persepsi terhadap kerentanan dan keparahan penyakit, pertimbangan manfaat dan biaya melakukan tindakan kesehatan serta isyarat untuk bertindak dipengaruhi oleh:

  a. Variabel demografi yaitu, usia, jenis kelamin, pekerjaan, latar belakang budaya.

  b. Variabel sosio-psikologis yaitu kepribadian, kelas sosial, tekanan sosial.

  c. Variabel struktural yaitu pengetahuan dan pengalaman masalah.

  Health Belief Model (HBM) mencakup 4 komponen utama (Fieldtheory,

  Lewin, 1954; Becker, 1974), yaitu: 1.

  Percieved Susceptibility (Kerentanan yang dirasakan) Merupakan persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit. Mereka yang merasa dapat terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa terancam. Seseorang akan bertindak untuk mencegah penyakit bila ia merasa bahwa sangat mungkin terkena penyakit tersebut. Kerentanan yang dirasakan setiap individu berbeda tergantung persepsi tentang risiko yang dihadapi individu pada suatu keadaan tertentu.

2. Percieved Severity/Seriousness (Keseriusan/keparahan yang dirasakan) Merupakan pandangan individu tentang beratnya penyakit yang diderita.

  Pandangan ini mendorong seseorang untuk mencari pengobatan atas penyakit yang dideritanya. Keseriusan ini ditambah dengan akibat dari suatu penyakit misalnya, kematian, pengurangan fungsi fisik dan mental, kecacatan dan dampaknya terhadap kehidupan sosial.

  3. Percieved Benefit and Barriers (Persepsi manfaat dan hambatan-hambatan yang dirasakan) Individu akan mempertimbangkan apakah alternatif itu memang bermanfaat dapat mengurangi ancaman penyakit, persepsi ini juga berhubungan dengan ketersediaan sumber daya sehingga tindakan ini mungkin dilaksanakan. Persepsi ini dipengaruhi oleh norma dan tekanan dari kelompoknya. Sementara persepsi rintangan (barriers) adalah persepsi terhadap biaya/aspek negatif yang menghalangi individu untuk melakukan tindakan kesehatan, misalnya mahal, bahaya, pengalaman tidak menyenangkan, rasa sakit.

4. Cues to Action (Isyarat untuk bertindak)

  Ada faktor pencetus untuk memutuskan menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut, isyarat dapat bersifat: a). Internal, isyarat untuk bertindak yang berasal dari dalam diri individu, misal gejala yang dirasakan.

  b). Eksternal, isyarat untuk bertindak yang berasal dari interaksi interpersonal, misal media massa, pesan, nasehat, anjuran, atau konsultasi dengan petugas kesehatan.

  5. Kemampuan bertindak.

  Kemampuan bertindak adalah kecendrungan untuk bertindak atau praktik. Untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.

  Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa health belief model adalah model kognitif yang menjelaskan dan memprediksi health behavior apa yang akan dilakukan dengan fokus pada belief individu akan percieved

  

seriousness, percieved suspectibility, precieved benefits and barriers, dan cues to

action.

Gambar 2.3 Health Belief Model

  Variabel demografis (umur, jenis kelamin, dll.) Variabel sosial psikologi (peer, reference group, kepribadian, pengalaman sebelumnya) Variabel struktur (kelas sosial, akses ke pelayanan kesehatan, dll.)

  Kecenderungan yang dilihat (precevied) mengenai gejala penyakit. Syaratnya yang dilihat mengenai gejala dan penyakit.

  Ancaman yang dilihat mengenai gejala penyakit

  Manfaat yang dilihat dari pengambilan tindakan dikurangi biaya (rintangan) yang dilihat dari pengambilan tindakan

  Pendorong (cues) untuk bertindak(kampanye media massa, peringatan dari dokter, tulisan, dll.)

  Kemungkinan mengambil tindakan tempat untuk perilaku sehat/sakit.

2.6 Kerangka Konsep

  Berdasarkan landasan teori diatas, maka kerangka konsep penelitian ini adalah:

Gambar 2.4 Kerangka Konsep

  Keseriusan yang dirasakan terhadap penyakit HIV

  Variabel demografis: Umur, pendidikan, status, sumber pendapatan

  Kerentanan yang dirasakan terhadap penyakit HIV

  Manfaat dan hambatan yang dilihat dari pengambilan tindakan terhadap pencegahan penularan HIV

  Isyarat untuk bertindak: media massa, nasehat dari petugas kesehatan, teman, keluarga

  Kemungkinan mengambil tindakan yang tepat untuk prilaku pencegahan penularan HIV

  Kejadian HIV di

  Klinik IMS Dan VCT

  Veteran Medan Variabel demografis seperti umur, pendidikan, status pernikahan dan sumber pendapatan berpengaruh pada variabel persepsi kerentanan yang dirasakan, persepsi keseriusan yang dirasakan, persepsi manfaat dan hambatan yang dirasakan. Apabila responden telah mengetahui manfaat dan hambatan yang dilihat dari pengambilan tindakan terhadap pencegahan penularan HIV maka akan adanya kemungkinan mengambil tindakan yang tepat untuk perilaku pencegahan penularan HIV. Faktor isyarat bertindak mempengaruhi keseriusan yang dirasakan tehadap kejadian HIV. Dari semua variabel yang diukur dihubungkan dengan kejadian HIV pada Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

Dokumen yang terkait

PERILAKU KADER DALAM PEMANTAUAN PERTUMBUHAN BALITA DI PUSKESMAS MANDALA KECAMATAN MEDAN TEMBUNG SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

1 0 14

Pemeriksaan Boraks Pada Bakso yang Dijual Pedagang Kaki Lima dan Warung Bakso di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Tahun 2014

0 0 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Makanan - Pemeriksaan Boraks Pada Bakso yang Dijual Pedagang Kaki Lima dan Warung Bakso di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Tahun 2014

0 1 32

Pemeriksaan Boraks Pada Bakso yang Dijual Pedagang Kaki Lima dan Warung Bakso di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Tahun 2014

0 0 15

Gambaran Motivasi Belajar Bahasa Mandarin Siswa SMA Methodist 2 Medan

0 0 40

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. MOTIVASI BEALAJAR BAHASA MANDARIN 1. Definisi Motivasi Belajar - Gambaran Motivasi Belajar Bahasa Mandarin Siswa SMA Methodist 2 Medan

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Gambaran Motivasi Belajar Bahasa Mandarin Siswa SMA Methodist 2 Medan

1 0 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Infeksi - Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik FKG USU tentang Standard Precautions pada Pasien HIV, Hepatitis B, Hepatitis C dan TBC pada Tahun 2015

0 1 22

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik FKG USU tentang Standard Precautions pada Pasien HIV, Hepatitis B, Hepatitis C dan TBC pada Tahun 2015

0 0 5

Hubungan Perilaku Pencegahan Terhadap Kejadian HIV Pada Kalangan LSL Di Klinik IMS Dan VCT Veteran Medan Tahun 2015

0 0 34