BAB I PENDAHULUAN - Penerapan Diversi Di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, diakui bahwa level kenakalan yang dilakukan oleh anak

  telah mengalami kenaikan. Pada awalnya, kenakalan remaja hanyalah merupakan perilaku ―nakal‖ dari kalangan remaja yang sering dikatakan sedang mencari identitas diri. Kenakalan remaja yang demikian ini tidaklah menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat luas (orang tua, guru, teman, dan masyarakat umum), tetapi justru perilaku yang demikian itu dapat dipahami sebagai suatu fase yang akan terjadi dan akan dialami oleh setiap orang, yang pada akhirnya akan berlalu begitu saja oleh masyarakat luas. Saat ini, kenakalan remaja tampaknya bukan lagi bersifat nakal, tidak lagi memperlihatkan ciri-ciri kenakalannya tetapi sudah menjurus pada tindakan brutal seperti, perkelahian antar kelompok, penggunaan narkotika/obat terlarang, perampasan, kebut-kebutan di jalan raya tanpa aturan, penyimpangan-penyimpangan seksual, dan tindakan-

  1

  tindakan yang menjurus pada perbuatan kriminal. Kenakalan yang menjurus kepada tindak pidana tersebut, disebabkan oleh beberapa faktor. Di dalam bukunya ―Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia‖, Nashriana

  2

  menjabarkan beberapa teori faktor penyebab terjadinya kenakalan anak, yaitu:

1. Teori Motivasi

  Berbicara tentang kenakalan anak, tidak terlepas dari faktor-faktor pendorong atau motivasi sehingga anak melakukan kenakalan, dan pada akhirnya dapat menentukan kebutuhan apa yang diperlukan oleh seorang 1 anak dalam memberi reaksi atas kenakalannya. Menurut Romli

  Yudika D. Margaretha Hutabarat, Faktor Pendorong Kenakalan Remaja Geng Motor Di Kota Medan Dari Aspek Kriminologi , Medan, USU,2011.,hlm.1 2 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Jakarta, Raja

  Grafindo Perkasa, 2011.,hlm.35

  Atmasasmita, bentuk motivasi itu ada dua macam, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik yaitu dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai dengan perangsang dari luar, seperti faktor intelegensia, usia, kelamin, dan kedudukan anak dalam keluarga; sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang datang dari luar, seperti faktor rumah tangga, pendidikan dan sekolah, mass media,

  3 dan pergaulan anak.

  2. Teori Differential Association Menyatakan perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari, perilaku kejahatan tersebut dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi, dan bagian terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan ini terjadi dalam kelompok personal yang inti.

  3. Teori Anomie Istilah Anomie dikemukakan oleh seorang ahli sosiologi Perancis bernama Emile Durkheim yang berarti keadaan tanpa norma. Teori Anomie yang diajukan oleh Robert Merton mencoba melihat keterkaitan antara tahap- tahap tertentu dari struktur sosial dengan perilaku delikuen. Ia melihat bahwa tahapan tertentu dari struktur sosial akan menumbuhkan suatu kondisi dimana pelanggaran terhadap norma-norma kemasyarakatan merupakan wujud reaksi ―normal‖. Merton berusaha menunjukkan bahwa berbagai struktur sosial yang mungkin terdapat di masyarakat dalam realitasnya telah mendorong orang-orang dalam kualitas tertentu

  4 dalam masyarakat.

  4. Teori Kontrol Sosial Teori ini menyatakan, bahwa seseorang memiliki kadar yang sama untuk menjadi ―baik‖ atau menjadi ―jahat‖. Maksudnya sifat seseorang ditentukan oleh keadaan masyarakat. Seseorang yang tinggal di lingkungan masyarakat yang baik, maka orang tersebut akan memiliki sifat yang baik. Apabila seseorang tinggal di lingkungan masyarakat yang jahat, maka seseorang akan cenderung dapat melakukan kejahatan juga.

  Sebelum lahirnya undang-undang yang mengatur tentang pemidanaan anak, seperti UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Indonesia memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai acuan di dalam memberlakukan hukuman pada anak-anak yang melakukan suatu tindak pidana. Filosofi dalam KUHP dipengaruhi dari pemikiran aliran klasik yang berkembang dalam hukum 3 Romli Atmasasmitha, problem Kenakalan Anak-Anak Remaja, Bandung, Armico,

  1983., hlm.46 4 Nashriana,Op.Cit, Hlm.48

  pidana Perancis. Filosofi pemidanaan dalam KUHP dilandasi oleh dasar pemikiran pembalasan atas perbuatan yang telah dilakukan pelaku dan dengan demikian, asas pemidanaan adalah memberikan rasa takut, balas dendam, serta

  5

  mencemarkan nama baik secara berlebihan. Hukuman dianggap wajar dan rasional dijatuhkan kepada setiap orang sebagai akibat karena telah melakukan kejahatan. Orang-orang yang melakukan tindak pidana tersebut secara bebas, dan yang pada akhirnya menimbulkan suatu kerugian atau penderitaan kepada orang lain, haruslah mendapatkan suatu penderitaan yang setimpal, sesuai dengan tindak pidana atau penderitaan yang diberikannya. Penderitaan tersebut kemudian direalisasikan dengan memberikan suatu ancaman hukuman yang berat, yaitu salah satunya adanya perampasan kemerdekaan.

  Penerapan hukuman yang berasal dari KUHP kepada anak dianggap tidak lagi sesuai dan tidak memenuhi tujuan dari pemidanaan itu sendiri. Secara umum pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu:

  1) Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri; 2) Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan; dan 3) Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lainnya, yakni penjahat-penjahat yang

  6 dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

  5 6 Ibid.

  

P.A.F Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung, Armico,1984.,hlm.24

  Pemberian hukuman dengan alasan pembalasan dendam atas suatu tindak pidana yang dilakukan oleh anak, dianggap tidaklah efektif untuk memenuhi tujuan pemidanaan tersebut. Pemberian hukuman kepada anak nakal berupa perampasan kemerdekaan adalah hal yang perlu ditinjau ulang. Suatu pemikiran yang menjadi penting untuk dipikirkan demi mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri adalah melakukan pembinaan kepada anak-anak yang melakukan tindak pidana.

  Hakikat pembangunan nasional sebagaimana ditegaskan Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 adalah ―Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya‖.

  Pembangunan tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan sebagainya, atau kepuasan batiniah seperti pendidikan, rasa aman bebas mengeluarkan penapat yang bertanggung jawab, rasa keadilan dan seterusnya. Melainkan keselarasan/keserasian dan keseimbangan antara keduanya. Pembangunan tersebut bukan hanya untuk sesuatu golongan atau sebagian masyarakat, tetapi untuk semua lapisan masyarakat baik tua, muda,

7 Masalah pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari maupun anak-anak.

  

masalah pembangunan. Masalah pembinaaan yaitu pembinaan yus tisial terhadap

  generasi muda khususnya anak-anak perlu mendapat perhatian dan pembahasan tersendiri. Proses perkembangan tidak jarang muncul peristiwa-peristiwa yang menyebabkan anak dalam keadaan terlantar.

  Anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali 7 Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Peradilan Anak Di Indonesia, Jakarta,1993.,hlm.1 Indonesia. Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insani dan dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Upaya-upaya perlindungan anak harus telah dimulai sedini mungkin, agar

  8 kelak dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara.

  Pemberlakuan hukuman pada anak sebagai pelaku suatu tindak pidana, perlu adanya pengaturan yang tegas mengenai pemberlakuan aturan-aturan mengenai pemberian hukuman yang relevan dan efektif bagi anak demi terciptanya suatu keadilan.

  Pengaturan mengenai pemidanaan anak di Indonesia sudah semakin berkembang kearah yang lebih baik, dan diatur sebagai pengganti dari KUHP, yaitu UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang memuat konsep Diversi di dalam penyelesaian suatu perkara pidana anak. Pendekatan

  Restorative Justice , yang dilaksanakan dengan cara pengalihan (Diversi), menjadi

  suatu solusi di dalam penyelesaian perkara pidana anak. Restorative Justice adalah proses penyelesaian yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihak- pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian. Restorative Justice juga dianggap sebagai cara berpikir paradigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan seseorang.

  Di dalam pelaksanaan Diversi sendiri, perlu adanya sinergi antara korban dan pelaku, masyarakat, dan juga penegak hukum di dalam mensukseskan 8 Nashriana,Op.Cit.,hlm.1 konsep ini sendiri.. Pengalihan proses peradilan anak atau yang disebut dengan Diversi berguna untuk menghindari efek negatif dari proses-proses peradilan selanjutnya dalam administrasi peradilan anak misalnya labelisasi akibat pernyataan bersalah maupun vonis hukuman. Keluarnya PERMA No.4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Di Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak juga mensyaratkan adanya upaya Diversi di dalam menyelesaikan perkara pidana anak. Berdasarkan hal tersebut saya tertarik untuk meneliti bagaimana ―Penerapan Diversi Di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak‖ B.

   Perumusan Masalah

  Dari pemaparan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimanakah pengaturan pelaksanaan Diversi di dalam penyelesaian perkara pidana anak?

  2. Bagaimanakah penerapan sanksi yang diberikan kepada pejabat negara apabila tidak melaksanakan Diversi di dalam penyelesaian perkara pidana anak?

  3. Apakah yang menjadi hambatan di dalam pelaksanaan Diversi sebagai suatu upaya di dalam menyelesaikan perkara pidana anak?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  1. Tujuan Penulisan Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Mengetahui bagaimanakah pengaturan Diversi sebagai suatu upaya wajib di dalam penyelesaian perkara pidana anak.

  b. Mengetahui bagaimanakah sanksi yang akan diterapkan kepada pejabat negara apabila tidak melaksanakan Diversi sebagai suatu upaya wajib di dalam penyelesaian perkara pidana anak.

  c. Mengetahui apakah yang menjadi hambatan di dalam pelaksanaan Diversi sebagai suatu upaya wajib di dalam penyelesaian perkara pidana anak.

  2. Manfaat Penulisan Adapun Manfaat yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

  a. Manfaat Teoritis wawasan dan lebih memperdalam ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pidana. 2) Untuk memperluas pemikiran dan khazanah ilmu pengetahuan hukum pidana khususnya di dalam hal Diversi, sebagai suatu upaya wajib di dalam menyelesaikan perkara pidana anak.

  b. Manfaat Praktis 1) Memberikan informasi kepada masyarakat agar lebih mengerti dan memahami pengaturan tentang Diversi, termasuk sanksi apabila Diversi tidak dilaksanakan, dan hambatan di dalam pelaksanaan Diversi.

  2) Memberikan kontribusi kepada aparat penegak hukum agar dapat melaksanakan Diversi dengan sebaiknya dan sepatutnya, sehingga tercipta suatu hukum yang baik, terutama pada anak.

  D. Keaslian Penulisan

  Penulisan skripsi yang berjudul Penerapan Diversi di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak ini, adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri, yang mana sumbernya diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum, literatur-literatur hukum, dan media elektronik yang berhubungan dengan skripsi ini.

  Berdasarkan data kepustakaan Departemen Hukum Pidana,Fakultas Diversi Di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak, belum pernah ada yang yang menulis sebelumnya. Kesamaan atau kemiripan dengan karya ilmiah lain, merupakaan ketidaksengajaan dan tentunya memiliki objek kajian serta pembahasan yang berbeda dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah.

  E. Tinjauan Kepustakaan

  1. Pengertian Tindak Pidana Pembentuk undang- undang kita telah menggunakan perkataan ―strafbaar

  feit

  ‖ untuk menyebutkan apa yang kita kenal dengan sebagai ―tindak pidana‖ di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan

  ―straafbaar feit‖ tersebut. Feit di dalam bahasa Belanda berarti ―sebagian dari suatu kenyataan‖ dan strafbaar berarti ―dapat dihukum‖. Secara harfiah dapat diartikan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum. Penerjemahan ini belum tepat, karna diketahui bahwa yang dapat dihukum itu adalah manusianya, bukan suatu keadaan, perbuatan, ataupun hal lain.

  Beberapa ahli hukum memberikan pendapatnya tentang pengertian dari

  9 straafbar feit atau tindak pidana:

  A. Hazewinkel-Suringa, membuat suatu rumusan yang bersifat umum dari ―strafbaar feit‖ sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.

  B. Van hamel telah merumuskan

  “strafbaar feit” itu sebagai ―suatu serangan

  atau suatu ancaman terhadap hak- hak orang lain‖ C. Pompe merumuskan perkataan

  “straafbar feit” itu secara teoritis dapat

  dirumuskan sebagai ―suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum‖

9 P.A.F lamintang, Dasar-Dasar Hukum pidana Indonesia,Bandung,PT Citra Aditya

  Bakti,2011.,hlm.181

  D. Simons telah merumuskan

  “strafbaar feit” itu sebagai suatu ―tindakan

  melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat di hukum.‖

  E. Moeljatno berpendapat bahwa pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barang siapa melanggar larangan tersebut.

  F. Bambang Poernomo menyatakan pengertian dari perbuatan pidana, yaitu suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan tersebut. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa pengertian tindak pidana adalah perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut.

  2. Pengertian Anak dan Kenakalan Anak

  Setiap negara memiliki defenisi yang tidak sama tentang anak. Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Convention on the Right of the Child (CRC) atau KHA menetapkan defenisi anak: ―Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebi h awal.‖ Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: ―Anak adalah seorang yang belum berusia 18

  (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.‖

  10 Pengertian mengenai anak dapat ditemui pada beberapa undang-

  undang seperti:

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, misalnya, mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. mendefenisikan anak berusia 21 tahun dan belum pernah kawin.

  3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak mendefenisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia delapan tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin.

  4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin.

  5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan usia bekerja 15 tahun.

10 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama,

  2010.,hlm.40

  6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberlakukan Wajib Belajar 9 Tahun, yang dikonotasikan

  11 menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun.

  Pengertian mengenai anak lebih lanjut diatur di dalam peraturan lainnya yaitu:

  a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

  Pasal 330 ayat (1) memuat batas antara belum dewasa (minderjarigheid) dengan telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu 21 tahun, kecuali anak tersebut telah kawin sebelum berumur 21 tahun dan Pendewasaan (venia

  aetetis , Pasal 419 KUHPer)

  b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) KUHP tidak merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara lain pada pasal 45 yang memakai batasan usia 16 tahun, yaitu:

  12 Pasal 45 berbunyi:

  Seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, dengan tidak dikenankan sesuatu hukuman; yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 489,490,492,497,503- 505,514,517-519,526,536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukan sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan terdahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran itu atau suatu kejahatan, atau menghukum anak yang bersalah itu.

  c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

  11 12 Ibid, hlm.41 Berlakunya UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Pengadilan Pidana Anak, pasal 45,46, dan 47 KUHP sudah tidak berlaku.

  Undang-Undang ini tidak secara eksplisit mengatur tentang batas usia pengertian anak, namun dalam pasal 153 ayat (5) memberi wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17 tahun untuk menghadiri sidang.

  d. Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak yang Mempunyai Masalah Menurut ketentuan ini, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur

  

13

21 tahun dan belum pernah kawin.

  Kenakalan anak berasal dari suatu istilah asing, yaitu Juvenile

  Delinquency . Juvenile artinya young, anak-anak anak muda, ciri karakteristik pada

  masa muda sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan Deliquency artinya jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat rebut, pengacau, penteror,

  14 tidak dapat diperbaiki lagi durjana, dursila dan lain-lain.

  Macam defenisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan tentang juvenile

  15 delinquency ini yaitu sebagai berikut: Paul Moedikno memberikan perumusan,

  mengenai pengertian juvenile delinquency, yaitu sebagai berikut:

  a. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh, dan sebagainya.

  b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana jangki tidak sopan, mode you can see dan sebagainya.

  c. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial, 13 termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain 14 Nashriana, op.cit, hlm.3 15 Wagiati Soetodjo, op.cit. Hlm.8 Ibid. Hlm.9

  Menurut Kartini Kartono, yang dikatakan Juvenile Deliquency adalah Perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang. Menurut Fuad Hassan yang dikatakan Juvenile Deliquency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh remaja, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dikualifikasikan sebagai kejahatan. R. Kusumanto Setyonegoro dalam hal ini mengemukakan pendapatnya tentang pengertian Juvenile Deliquency yaitu tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik, oleh suatu lingkungan masyarakat atau hukum yang berlaku maka sering tingkah laku serupa itu disebut dengan istilah tingkah laku yang sukar atau nakal. Jika ia berusaha adolescent atau preadolescent, maka tingkah laku itu sering disebut delikuen; dan jika ia dewasa maka tingkah laku ia sering disebut psikopatik dan jika terang-terangan melawan hukum disebut kriminal. Menurut

  pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa yang dimaksud dengan Anak Nakal adalah: a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau

  b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan pidana Anak yaitu pada pasal 1 ayat (2) dijelaskan mengenai pengertian Anak yang Berhadapan dengan Hukum, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Tim proyek Juvenile delinquency Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Desember 1967, memberikan perumusan mengenai Juvenile Delinquency sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.

  3. Pengertian Sistem Pemidanaan Sistem pemidanaan (the sentencing system) merupakan aturan perundang- undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan. Sistem pemidanaan dimaksud dapat dilihat dari sudut fungsional dan dari sudut norma substansial. Sudut fungsional diartikan sebagai keseluruhan sistem yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan secara konkrit sehingga seseorang dijatuhi sanksi pidana. Sistem pemidanaan demikian identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari substansi hukum pidana materiil, substansi hukum pidana formal, dan substansi hukum pelaksanaan pidana. Sistem pemidanaan

  16 fungsional diartikan pula sebagai sistem pemidanaan dalam arti luas.

  Dilihat dari sudut norma substantif, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem norma hukum pidana materiil untuk penjatuhan dan pelaksanaan pidana. Sistem pemidanan dalam arti substantif diartikan pula

16 Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak Di Indonesia,

  Bandung,Graha Ilmu,2010.,hlm.10 sebagai sistem pemidanaan dalam arti sempit, yaitu menyangkut masalah aturan/ketentuan tentang penjatuhan pidana.

  Andi Hamzah memberikan arti sistem pidana dan pemidanaan sebagai susunan (pidana) dan cara pemidanaan. M.Sholehuddin menyatakan, bahwa masalah sanksi merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana, karena seringkali menggambarkan nilai-nilai sosial dan budaya suatu bangsa. Pidana mengandung tata nilai (value) dalam suatu masyarakat mengenai apa yang baik dan yang tidak baik, apa yang bermoral dan apa yang amoral serta apa yang

  17 diperbolehkan dan apa yang dilarang.

  Sistem merupakan jalinan dari beberapa unsur yang menjadi satu fungsi. Sistem pemidanaan memegang posisi strategis di dalam upaya menanggulangi tindak pidana yang terjadi. Pengertian sistem pemidanaan apabila diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkrit sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Semua aturan perundang-undangan mengenai hukum substantif, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana, dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.

17 Eka Putra, Mohammad dan Abul Khair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP dan

  , Medan, USU Press.,2010.,Hlm.13 Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru

F. Metode Penelitian

  1. Jenis Penelitian Penelitian hukum terdiri atas penelitian hukum normatif atau doktriner dan

  18

  empiris, yaitu:

  a. Penelitian hukum normatif yang mencakup: 1) Penelitian terhadap asas-asas hukum, 2) Penelitian terhadap sistematika hukum, 3) Penelitian terhadap tahap sinkronisasi hukum, 4) Penelitian sejarah hukum, dan 5) Penelitian perbandingan hukum.

  b. Penelitian hukum empiris yang mencakup: dan 2) Penelitian terhadap efektivitas hukum. Jenis penelitian pada skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif

  (yuridis normatif), yakni penelitian yang membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum. Penelitian hukum normatif ini juga sering disebut sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian yuridis normatif mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam

  19

  masyarakat. Penelitian hukum yang dilakukan di dalam penulisan skripsi ini adalah mencoba mengkaji mengenai pengaturan Diversi berdasarkan hukum 18 H. Jainuddin Ali,Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2010., hlm.

  22 19 Ibid.,hlm.105

  positif yang berupa peraturan perundang-undangan dan buku-buku hukum yang berkaitan dengan Diversi.

  2. Sumber Data Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

  a. Bahan Hukum Primer Terdiri dari peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak

  20

  berwenang. UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, PERMA No.4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Di Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

  b. Bahan Hukum Sekunder dengan Diversi, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, Koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

  c. Bahan Hukum Tersier Terdiri dari dokumen-dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.

  Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Data sekunder 20 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum ( suatu Pengantar ),Yogyakarta,

  Liberty, 1988.,hlm.19 yang digunakan dalam penulisan skirpsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

  Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai

  21

  berikut:

  a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

  c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

  d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

  Data primer dan sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

21 Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,Jakarta,Ghalia

  Indonesia,1990.,hlm.63

G. Sistematika penulisan

  BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II: Pada bab ini akan dibahas mengenai Pengaturan Diversi sebagai suatu kewajiban di dalam penyelesaian perkara pidana anak, yaitu yang termasuk di dalamnya, pengertian Diversi, konsep Diversi dan

  restorative justice di dalam sistem pemidanaan anak, Diversi sebagai

  suatu kewajiban ditinjau dari UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan pelaksanaan Diversi ditinjau dari PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

  BAB III: Pada bab ini akan dibahas mengenai sanksi kepada penegak hukum apabila tidak melaksanakan Diversi, yakni sanksi yang diatur menurut UU No. 11 Tahun 2012 dan pembatalan atas sanksi pidana atas Putusan MK No.110/PPU-X/2012

  BAB IV: pada bab ini akan dibahas mengenai hambatan di dalam melaksanakan Diversi yaitu hambatan yang berasal dari korban, hambatan yang berasal dari penegak hukum dan hambatan yang berasal dari masyarakat.

  BAB V: Bab ini berisi kesimpulan dan saran

Dokumen yang terkait

BAB II DESKRIPSI LOKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1 Sejarah dan Perkembangan FISIP USU - Hubungan Media Metro Tv Terhadap Pendidikan Politik Mahasiswa Fisip Usu(Studi Tentang Peran Media Metro Tv Dalam Sosialisasi Ta

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN 1. latar Belakang - Hubungan Media Metro Tv Terhadap Pendidikan Politik Mahasiswa Fisip Usu(Studi Tentang Peran Media Metro Tv Dalam Sosialisasi Tahapan Pilpres 2014)

0 0 34

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 F.nucleatum sebagai salah satu bakteri yang terdapat pada infeksi endodonti - Efek Antibakteri Kitosan Blangkas Molekul Tinggi Sebagai Perancah Dengan Ekstrak Batang Kemuning Terhadap Fusobacterium Nucleatum Sebagai Alternatif B

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Komparasi Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap Pdrb Antar Provinsi Di Indonesia

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN - Analisis Komparasi Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap Pdrb Antar Provinsi Di Indonesia

0 0 9

BAB II RESTORATIVE JUSTICE DAN DIVERSI - Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

0 1 19

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

0 0 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Return saham - Pengaruh Struktur Aset, Struktur Modal Dan Profitabilitas Terhadap Return Saham Perusahaan Perbankan Yang Telah GO Publik Dan Terdaftar DI BEI Tahun 2010-2013

0 0 26

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Saliva - Efektifitas Mengunyah Keju Cheddar Terhadap Peningkatan Konsentrasi Ion Kalsium Saliva Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

0 1 9

BAB II DIVERSI SEBAGAI SUATU KEWAJIBAN DI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA ANAK A. Konsep Diversi dan Restorative Justice Pada Sistem Pengadilan Anak - Penerapan Diversi Di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak

0 0 33