1. Konsep Wilayah Berbasis Karakter Sumber Daya yang Dimiliki - KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH

TINJAUAN KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH

  

Dikutip dari Internet (www.bappenas.go.id)

  Pengembangan wilayah mengandung arti yang luas, namun pada prinsipnya merupakan berbagai upaya yang dilakukan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup di wilayah tertentu, memperkecil kesenjangan pertumbuhan, dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Berbagai konsep pengembangan wilayah telah diterapkan di berbagai negara melalui berbagai disiplin ilmu. Konsep-konsep yang telah pernah berkembang sebelumnya umumnya didominasi oleh ilmu ekonomi regional, walaupun sesungguhnya dalam penerapannya akan lebih banyak tergantung pada potensi pertumbuhan setiap wilayah yang akan berbeda dengan wilayah lainnya, baik potensi SDA, kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat, ketersediaan infrastruktur, dan lainnya. Di bab ini akan dibahas mengenai beberapa konsep konvensional pengembangan wilayah yang berkembang dan bagaimana keterkaitan konsep-konsep tersebut dengan tantangan eksternal dan internal di Indonesia.

  1. Konsep Wilayah Berbasis Karakter Sumber Daya yang Dimiliki

  Kebutuhan akan pengembangan daerah dengan pendekatan kewilayahan yang berkembang pada masa kini pada umumnya didasari atas adanya masalah-masalah ketidakseimbangan demografi dalam suatu daerah, tingginya biaya, turunnya taraf hidup masyarakat, ketertinggalan pembangunan suatu daerah dengan daerah lainnya, dan adanya kebutuhan yang sangat mendesak di daerah tertentu. Pengembangan wilayah sesungguhnya merupakan program yang menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan, yang didasarkan atas sumber daya yang ada dan kontribusinya pada pembangunan suatu wilayah tertentu. Dengan demikian, dalam mengembangkan suatu wilayah diperlukan pendekatan-pendekatan tertentu yang disesuaikan dengan karakteristik daerah yang bersangkutan.

  Beberapa pendekatan pengembangan wilayah berdasarkan karakter dan sumber daya daerah yang bersangkutan, antara lain dikemukakan sebagai berikut:

  1. Pengembangan wilayah berbasis sumber daya

  Konsep ini menghasilkan sejumlah pilihan strategi sebagai berikut :

  a. Pengembangan wilayah berbasis input namun surplus sumber daya manusia

  Bagi wilayah yang memiliki SDM yang cukup banyak namun lahan dan SDA terbatas maka labor surplus strategy cukup relevan untuk diterapkan. Tujuan utama strategi ini adalah menciptakan lapangan kerja yang bersifat padat karya dan mengupayakan ekspor tenaga kerja ke wilayah lain.

  

b. Pengembangan wilayah berbasis input namun surplus sumber daya alam

  Strategi ini mengupayakan berbagai SDA yang mengalami surplus yang dapat diekspor ke wilayah lain baik dalam bentuk bahan mentah maupun bahan setengah jadi. Hasil dari ekspor SDA ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mengimpor produk yang jumlahnya sangat terbatas di wilayah tersebut, misalnya barang modal, bahan baku, bahan penolong, barang konsumsi atau jasa.

  Yang dimaksud kondisi eksternal adalah masalah globalisasi, otonomi daerah dan kesenjangan antar daerah. Sedangkan kondisi internal adalah kondisi di dalam wilayah tersebut yang diperkirakan akan mempengaruhi kinerja pengembangan wilayah, yaitu mencakup sumberdaya manusia, prasarana, kelembagaan, keterkaitan antar industri, dsbnya.

  

c. Pengembangan wilayah berbasis sumber daya modal dan manajemen

  Strategi pengembangan wilayah berdasarkan pengembangan lembaga dapat ditempuh oleh wilayah yang memiliki keterbatasan dalam hal modal dan manajemen tersebut.

d. Pengembangan wilayah berbasis seni budaya dan keindahan alam

  Wilayah dengan potensi-potensi pantai dan pemandangan yang indah, seni budaya yang menarik dan unik, dapat mengembangkan wilayahnya dengan cara membangun transportasi, perhotelan dan restoran, indutri-industri kerajinan, pelayanan travel, dan lainnya yang terkait dengan pengembangan kepariwisataan.

  2. Pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan

  Konsep ini menekankan pada pilihan komoditas unggulan suatu wilayah sebagai motor penggerak pembangunan, baik di tingkat domestik maupun internasional.

  3. Pengembangan wilayah berbasis efisiensi

  Konsep ini menekankan pengembangan wilayah melalui pembangunan bidang ekonomi yang porsinya lebih besar dibandingkan dengan bidang-bidang lain. Pembangunan ekonomi ini dilaksanakan dalam kerangka pasar bebas/pasar persaingan sempurna.

  4. Pengembangan wilayah berbasis pelaku pembangunan

  Peranan setiap pelaku pembangunan menjadi fokus utama dalam pengembangan wilayah konsep ini. Pelaku pembangunan ekonomi tersebut dapat dipilah menjadi lima kelompok yaitu : usaha kecil/rumah tangga (household), usaha lembaga sosial (nonprofit institution), lembaga bukan keuangan (nonfinancial institution), lembaga keuangan (financial institution), dan pemerintah (government). Di Indonesia, di samping kelima pelaku tersebut, juga terdapat pelaku pembangunan ekonomi lain yaitu koperasi (UUD 1945).

2. Konsep Pengembangan Wilayah berbasis Penataan Ruang

  Tiga konsep pengembangan wilayah diperkenalkan dalam kebijakan pembangunan berbasis pendekatan tata ruang. Pada umumnya konsep ini lebih didasarkan pada penataan ruang wilayah, yang dirinci ke dalam wilayah propinsi dan kabupaten, yaitu

  

1. Pusat pertumbuhan Konsep ini menekankan pada perlunya melakukan investasi

  pada suatu wilayah yang memiliki infrastruktur yang baik. Hal ini cukup dimaksudkan untuk menghemat investasi prasarana dasar dengan harapan perkembangan sektor unggulan dapat mengembalikan modal dengan cukup cepat. Sementara pengembangan wilayah di sekitarnya diharapkan diperoleh melalui proses tetesan (trickle down effect) ke bawah. Di Indonesia, konsep ini diimplementasikan dalam bentuk Kawasan Andalan. Meskipun istilah kawasan andalan tidak sepenuhnya sama dengan konsep pusat pertumbuhan namun penentuan kawasan andalan dimaksudkan sebagai kawasan yang dapat menggerakkan perekonomian daerah sekitarnya melalui pengembangan sektor- 5 sektor unggulan .

  2. Integrasi Fungsional

  Konsep ini merupakan suatu alternatif pendekatan yang mengutamakan adanya integrasi yang diciptakan secara sengaja di berbagai pusat pertumbuhan karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu wilayah memiliki hirarki. Konsep center–periphery yang diintegrasikan secara fungsional agar terjadi ikatan yang kuat ke depan maupun ke belakang dari suatu proses produksi merupakan pengembangan dari konsep ini. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari sumber daya modal dan sumber daya manusia. belum dapat menciptakan pembangunan secara merata. Pemerintah pusat yang sentralistis cenderung pada konsep pusat pertumbuhan, karena lingkup wilayah yang sangat luas sementara dana pembangunan terbatas. Selain itu, kebijakan sektoral di pusat tidak kondusif dan tidak terpadu di dalam memacu pertumbuhan ekonomi di daerah, dan pembangunan cenderung bersifat top down yang tidak mengakomodasi kebutuhan berbagai pelaku di daerah.

3. Konsep Pengembangan Wilayah Terpadu

  Konsep pengembangan wilayah terpadu pernah dilaksanakan melalui berbagai ragam program pengembangan wilayah terpadu, yang pada asalnya merupakan upaya

  

pembangunan wilayah-wilayah khusus yang bersifat lintas sektoral dan sekaligus

meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta penanggulangan kemiskinan di

daerah-daerah yang relatif tertinggal. Pada dasarnya program ini berorientasi pada

strategi pemerataan pembangunan, yang dapat berorientasi sektoral apabila terkait

  dengan beragamnya kegiatan sektoral dalam satu wilayah, dan dapat berorientasi

  

regional apabila terkait dengan upaya suatu wilayah untuk meningkatkan

  perekonomian dan kesejahteraan dari suatu kawasan tertentu agar dapat memiliki kondisi sosial ekonomi yang lebih meningkat.

  Pendekatan yang komprehensif dan mengacu pada keterpaduan antar sektor telah banyak dilakukan, dalam berbagai fokus kawasan pengembangan, seperti pengembangan wilayah kepulauan, pengembangan konservasi lahan kritis atau yang terkait dengan kepentingan mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup, pengembangan kawasan penyangga, pengembangan sosial budaya pembinaan 6 masyarakat terasing dan pengembangan wilayah tertinggal atau perbatasan . Program- program yang telah pernah dijalankan adalah misalnya program-program pengembangan wilayah terpadu (PPWT) di beberapa wilayah propinsi di Yogyakarta, Sulawesi, NTT, Irian Jaya; program-program integrated community development program di taman-taman nasional, wilayah pantai atau wilayah konservasi lainnya.

  Sasaran utama dari program-program ini umumnya adalah peningkatan kesejahteraan dan mutu sumber daya manusia, perbaikan mutu lingkungan hidup kawasan, dan pembangunan wilayahnya. Untuk mencapai sasaran tersebut, maka pendekatan yang dipakai adalah pendekatan pengembangan wilayah secara terpadu, dalam artian penanganan pelaksanaan program dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang bersifat multisektor, serta disesuaikan menurut permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing kawasan atau daerah. Aspek-aspek utama kegiatannya didasarkan pada pengembangan kualitas kemampuan sumber daya manusia melalui berbagai bentuk pelatihan, transformasi teknologi, keahlian dalam berbagai bidang, serta berorientasi pada kebutuhan permintaan pasar di daerah. Kegiatannya sendiri mengikutsertakan pemberian fasilitas peralatan dan permodalan yang dalam beberapa kasus harus dikembangkan dalam bentuk dana bergulir sehingga menjamin keberlanjutan program.

  Pengelolaan program-program dengan pendekatan keterpaduan, sepenuhnya melibatkan pemerintah daerah tingkat kabupaten dan masyarakat, dengan memberikan peluang yang lebih besar kepada lembaga swadaya masyarakat, kaum wanita, kaum muda, dan organisasi masyarakat lainnya, untuk dapat berperan serta. Koordinasi penanganan program dilakukan melalui pembentukan kelompok kerja yang terdiri atas instansi terkait di tingkat kabupaten yang sesuai dengan program kegiatan yang dilakukan secara lintas sektoral tersebut. Koordinasi tersebut dilakukan oleh Bappeda Kabupaten dan Biro Penyusunan Program Setwilda Kabupaten, khususnya dalam rangka memperkuat kemampuan aparatur dan kelembagaannya, serta untuk menjamin keterpaduan, kesinambungan program, terutama dikaitkan dengan pembiayaan program yang dikaitkan dengan kegiatan program pembangunan lainnya, apakah program sektoral, regional, khusus, maupun yang berbantuan luar negeri. Pemikiran akan kesinambungan program diperlukan, mengingat program-program pemerintah dengan pendekatan keterpaduan ini umumnya dianggap sebagai stimulan kegiatan di terjadi bila pemerintah daerah setempat memberikan kontribusi pendanaan dan masyarakat setempat terlibat secara langsung dalam pelaksanaan dan pengelolaan kegiatan. Namun demikian, pendekatan pembangunan secara terpadu tersebut belum secara optimal diikuti dengan pengembangan kelembagaan pengelolaan pada tatanan lokal yang dapat menjamin keberlanjutan program pada masyarakat di daerah, sehingga tidak tercipta kesinambungan seperti yang diharapkan. Selain itu, kurang adanya komitmen serta tidak terciptanya koordinasi yang kuat antarsektor di daerah, yang menyebabkan tidak terpadunya program kegiatan dan lokasi antara satu program dengan program lainnya, dan antara satu lokasi dan lokasi lainnya. Program kegiatannya pun masih berorientasi pada kegiatan pembangunan prasarana dan sarana fisik, dan kegiatan pengembangan produksi tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan, yang belum memperhatikan transfer pengetahuan teknologi dan pasar yang dapat diadopsi masyarakat lokal untuk kesinambungan program pada tahapan selanjutnya. Pola pengelolaan sumber daya modal dalam sistem bergulir pun belum banyak dipahami, dan terhambat oleh adanya budaya dan akses terhadap sumber daya modal tersebut.

4. Konsep Pengembangan Wilayah Berdasarkan Klaster

  Konsep pengembangan wilayah berikutnya yang mulai dikembangkan di beberapa negara adalah pengembangan wilayah berdasarkan klaster. Klaster diartikan sebagai konsentrasi dari suatu kelompok kerjasama bisnis atau unit-unit usaha dan lembaga-lembaga, yang bersaing, bekerjasama, dan saling tergantung satu sama lain, 7 terkonsentrasi dalam satu wilayah tertentu, dalam bidang aspek unggulan tertentu . Pada umumnya motor penggerak dalam pengembangan wilayah berdasarkan klaster adalah sektor industri. Model klaster berkembang didasarkan atas kesadaran bahwa industri utama dan unit-unit usaha di sekitarnya saling terkait satu dengan lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, pengembangan wilayah berdasarkan klaster terfokus pada keterkaitan dan ketergantungan antara pelaku-

  

pelaku (stakeholders) dalam suatu jaringan kerja produksi, sampai kepada jasa

pelayanan, dan upaya-upaya inovasi pengembangannya.

  Kebijakan klaster berbasis industri menjadi pola pembangunan ekonomi masa kini dan sudah dikembangkan secara luas. Jenis klaster bisa bermacam-macam, seperti klaster anggur di Adelaide-Australia, klaster pertahanan keamanan di kota metropolitan Adelaide, dan klaster budidaya air di Port Lincoln.

  Klaster dapat dianggap sebagai suatu kelompok pembangun ekonomi bagi wilayah, yang merepresentasikan adanya spesialisasi wilayah, keunggulan komparatif wilayah, terfokus pada industri tertentu, dan berorientasi pada pengembangan

  

kerjasama dan perdagangan. Anggota-anggota klaster ini saling berkontribusi,

khususnya dalam infrastruktur dan teknologi, tenaga kerja ahli, dan jasa pelayanan.

  Arah pengembangan klaster adalah menarik investasi baru, mendorong adanya ekspansi dan terbentuknya unit-unit usaha dan bisnis baru. Tujuan dari pengembangan wilayah model klaster adalah :

  Didapatkannya manfaat kesejahteraan, kesempatan kerja, dan ekspor. • Didapatkannya kesempatan untuk mengembangkan inovasi dan perdagangan • melalui jaringan kerja yang kuat

  Berkembangnya pasar dan jaringan kerja internasional • Berkembangnya infrastruktur pendukung • Berkembangnya budaya baru dalam upaya-upaya kerjasama – dengan biaya • transaksi yang rendah Tumbuhnya generasi pengusaha-pengusaha lokal baru industri yang memiliki • sendiri usaha bisnisnya Berkembangnya kemitraan dengan pemerintah didasarkan atas saling • Klaster yang berhasil adalah klaster yang terspesialisasi, memiliki daya saing dan keunggulan komparatif, dan berorientasi eksternal. Rosenfeld (1997) mengidentifikasi karakteristik dari klaster wilayah yang berhasil yaitu:

  Adanya spesialisasi, satu klaster wilayah terspesialisasi untuk satu atau • beberapa industri. Adanya jaringan lokal (local networks) khususnya dalam jaringan sistem • produksi, serta jaringan pembelajaran (learning networks)

  R&D dan institusi pendidikan yang relevan dengan kegiatan dalam klaster •

  wilayah

  Tenaga kerja yang berkualitas. Kompetisi yang baik berkembang diantara • pekerja. Akses yang baik pada institusi pembiayaan, permodalan. • • Kerjasama yang baik antara perusahaan dan lembaga/institusi lainnya.

  Mengikuti perkembangan teknologi • Tingkat inovasi yang tinggi sehingga dapat berkompetisi di pasar global. •

  Memperhatikan bahwa pembentukan klaster hampir sama dengan pembentukan jaringan kerjasama (networking), maka di bawah ini adalah beberapa hal yang membedakan Klaster dengan Jaringan Kerja biasa :

  

Jaringan kerja adalah konsep menggalang pemahaman, kontribusi ide, dan hubungan komunikasi yang

dibangun antara para pebisnis dan stakeholders pengembangan ekonomi kawasan.

  Soft Network Proses Pengembangan Klaster

Hard Network

  

Pengelompokan grup secara luas Pengelompokan 3 atau lebih Klaster dapat meliputi jaringan

dengan ketertarikan umum yang perusahaan yang sepakat untuk ‘soft’ dan ‘hard’, namun

bertemu secara rutin untuk bekerja sama, melalui sebuah berbeda dalam hal: •

berbagi ide dan membicarakan kontrak, perjanjian kerjasama atau Identifikasi dan seleksi klaster

isu-isu secara umum. Yang hubungan formal lain, dalam didasarkan pada proses

termasuk kelompok ini, misalnya upaya menggalang daya saing formal, yang menggunakan

Asosiasi Industri, Klaster yang saling melengkapi. Fokusnya kriteria ekonomi, seperti

Pertahanan yang adalah pada konsentrasi ekonomi,

  SUMBER : BKTRN (1997), Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, PP No.47 Tahun 1997. Komet Mangiri (2000), Perencanaan Terpadu Pembangunan Ekonomi Daerah Otonom, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Pinchemel (1985), Aspek-Aspek Geografi dalam Manajemen Pengembangan Wilayah, Paris. Porter (1998), Summary Brief: A Case Analysis of Porter’s Cluster Theory in the Amish Furniture Industry, Florida State University. Rosenfeld, S.A. (1977): Bringing Business Clusters into The Mainstream of

  Economic Development, European Planning Studies, 5:3-23, dikutip oleh ArneIsaksen, Regionalisation and Regional Clusters as Development Strategies in a Global Economy, STEP group, 1998.