ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PROYEK PELEBARAN JALAN (Studi Perkara Nomor 15Pid.Sus.TPK2015PN.Tjk.) (Jurnal Skripsi)

  ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PROYEK PELEBARAN JALAN (Studi Perkara Nomor 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk.) (Jurnal Skripsi) Oleh ADEN KURNIAWAN PRAYITNO FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018

  

ABSTRAK

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA

TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PROYEK

PELEBARAN JALAN

(Studi Perkara Nomor 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk.)

Oleh

  

Aden Kurniawan Prayitno, Tri Andrisman, Damanhuri WN

Email: adenkprayitno @yahoo.com.

  Pelaku tindak pidana korupsi secara ideal seharusnya dipidana secara maksimal sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK), tetapi dalam Putusan Nomor: 15/Pid.Sus.TPK/2015/ PN.Tjk., Majelis Hakim justru membebaskan terdakwa dari dakwaan primer (Pasal 2 UUPTPK dengan ancaman pidana penjara minimal 4 tahun) dan mendasarkan putusannya pada Pasal 3 UUPTPK (dengan ancaman pidana penjara minimal 1 tahun). Permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi proyek pelebaran jalan dalam Perkara Nomor 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk. 2) Apakah pidana yang dijatuhkan hakim dalam Perkara Nomor: 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk telah memenuhi keadilan substantif. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Narasumber penelitian terdiri dari Hakim, Jaksa dan Akademisi. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan: 1) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi proyek pelebaran jalan dalam Perkara Nomor 15/Pid.Sus.TPK/2015/ PN.Tjk. secara yuridis adalah terpenuhi unsur-unsur dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu Pasal 3 jo. Pasal 18 (1) huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pertimbangan secara non yuridis terdiri dari hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hal-hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah. Hal-hal yang meringankan adalah terdakwa mengakui perbuatannya dan belum pernah dihukum. 2) Pidana yang dijatuhkan hakim dalam Perkara Nomor: 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk belum memenuhi rasa keadilan, karena tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa seharusnya dipidana secara maksimal, dan pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana korupsi.

  Kata Kunci: Dasar Pertimbangan Hakim, Pidana, Tindak Pidana Korupsi

  ABSTRACT ANALYSIS OF BASIS JUDGE CONSIDERATION IN IMPOSING CRIMINAL PUNISHMENT ON THE PERPETRATORS OF CORRUPTION CRIME ON ROAD WIDENING PROJECT (Case Study Number 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk.)

By

  Aden Kurniawan Prayitno, Tri Andrisman, Damanhuri WN Email: adenkprayitno @yahoo.com.

  

The perpetrators of corruption should ideally be punished maximally as regulated in

Article 2 of the Corruption Eradication Act, but in Decision Number:

15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk., The Panel of Justices frees the defendant of the primary

indictment (Article 2 Corruption Eradication Act with minimum imprisonment of 4 years)

and based its decision on Article 3 of Corruption Eradication Act (with minimum

imprisonment of 1 year). The problems in this research are: 1) What is the basis of

judge's consideration in imposing criminal punishment on the perpetrators of corruption

crime on road widening project in Case Number 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk. 2) Is the

criminal judge in Case Number: 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk has fulfilled substantive

justice. This research uses normative juridical approach and empirical juridical

approach. The research sources consist of judges, prosecutors and academics. Data

collection was done by literature study and field study, then the data were analyzed

qualitatively. Based on the result of the research and discussion, it can be concluded: 1)

The basis of judge's consideration in imposing criminal punishment on the perpetrators

of corruption of road widening project in Case Number 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk.

juridically is fulfilled elements of the indictment of the Public Prosecutor namely Article

3 jo. Article 18 (1) sub- paragraph b of the Anti-Corruption Eradication Act jo.Pasal 55

paragraph (1) to-1 of the Criminal Code. Non juridical considerations consist of

aggravating and lightening things. The aggravating thing is that the defendant's actions

are against the government's anti- corruption program. The things that lighten up are the

defendant acknowledging his actions and have never been punished. 2) The criminal

sanction imposed by the judge in Case Number: 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk has not

fulfilled the sense of justice, because corruption crimes as extraordinary crimes should

be maximally convicted, and the parties involved either directly or indirectly in the

occurrence or facilitate the implementation of corruption crime.

  Keywords: Basic Judge Consideration, Criminal, Corruption Crime

I. Pendahuluan

  Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan melawan hukum yang berdampak pada kerugian keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional. Penanggulangan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus memiliki sistem pengadilan tersendiri yang disebut dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pengadilan ini dibentuk agar majelis hakim yang menangani perkara korupsi lebih intensif dan fokus dalam memformulasikan dan menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi secara maksimal. Keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi didasarkan pada spirit semangat reformasi hukum dalam penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pengadilan Tipikor sebagai bagian dari adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang di bidang penegakan hukum pidana khusus korupsi bersifat independen dari pengaruh atau intervensi kekuasaan manapun.

  1 Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, tindak pidana korupsi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, sesuai dengan ketentuan undang-undang. Setiap warga negara wajib menjunjung hukum, namun demikian dalam kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa warga negara tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut telah ditentukan berdasarkan hukum. Seseorang yang melanggar hukum harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum.

  Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary

  crime ), oleh karena itu diperlukan penegakan hukum yang komprehensif.

  2 Secara ideal setiap pelaku tindak pidana

  korupsi harus dipidana secara maksimal sebagaimana diatur dalam Pasal

  2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

  jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

  2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang 2 Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian

1 Setiap pelaku yang terbukti melakukan

  Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur lain atau suatu korporasi, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pada kenyataannya dalam Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 15/Pid.Sus.TPK/2015/ PN.Tjk., pelaku tindak pidana korupsi yaitu Organda Najaya Als Enal yang melakukan korupsi pembangunan jalan Kabupaten dalam kota pada pekerjaan pelebaran dua jalur jalan Jendral Sudirman Kecamatan Kotabumi Kabupaten Lampung Utara yang dilaksanakan pada Tahun Anggaran 2012, dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sejumlah Rp 50.000.000,- (Lima puluh Juta Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Issu hukum dalam penelitian ini adalah Majelis Hakim justru membebaskan terdakwa dari dakwaan primer (Pasal 2 UUPTPK dengan ancaman pidana penjara minimal

  4 tahun) dan mendasarkan putusannya pada Pasal 3 UUPTPK (dengan ancaman pidana penjara minimal 1 tahun). Majelis hakim seharusnya seharusnya menerapkan pidana yang dijatuhkan hanya 1 tahun

  Selain itu putusan ini tidak sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor

  1 Tahun 2000 tentang Pemidanaan Agar Setimpal dengan Berat dan Sifat Kejahatannya. Surat Edaran tersebut menyatakan bahwa kecenderungan meningkatnya kualitas dan kuantitas tindak pidana terutama di bidang ekonomi memerlukan penanganan serta kebijakan pemidanaan secara khusus. Oleh karena itu terhadap tindak pidana korupsi, Mahkamah Agung mengharapkan supaya pengadilan menjatuhkan pidana yang sungguh- sungguh setimpal beratnya dan sifat tindak pidana tersebut jangan sampai menjatuhkan pidana yang menyinggung rasa keadilan di dalam masyarakat.

  3 Besarnya kerugian negara akibat tindak

  pidana korupsi dalam perkara di atas mencapai Rp.520.477.974.20 (lima ratus dua puluh juta empat ratus tujuh puluh tujuh ribu Sembilan ratus tujuh puluh empat rupiah koma dua puluh sen), sehingga pidana penjara 1 tahun yang dijatuhkan hakim kurang relevan dengan besarnya kerugian negara. Penjatuhan pidana yang tidak maksimal tidak memberikan efek jera kepada pelaku dan kurang efektif sebagai pembelajaran bagi pihak-pihak lain untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi Putusan pemidanaan yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana idealnya memperhatikan segala aspek di dalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari ketidakcermatan, baik bersifat formal

  Pasal

  2 UUPTPK, tetapi pada kenyataannya pasal yang diterapkan adalah Pasal 3 UUPTPK, sehingga 3 Halim, Pemberantasan Korupsi, Rajawali maupun materiil sampai dengan adanya Hakim yang cermat dan hati-hati dalam merumuskan putusannya tersebut akan menghasilkan putusan yang benar-benar berlandaskan pada keadilan dan memenuhi aspek kepastian hukum.

  pidana korupsi secara ideal dapat dijatuhkan oleh hakim, mengingat korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang penanganan perkaranya harus dilakukan secara luar biasa pula, dan pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana tersebut. Terdakwa seharusnya dipidana sesuai dengan berat atau ringannya kesalahan yang dilakukan sebagai wujud upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Permasalahan penelitian ini adalah: a.

  Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi proyek pelebaran jalan dalam Perkara Nomor 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk.? b. Apakah pidana yang dijatuhkan hakim dalam Perkara Nomor:

  15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk telah memenuhi keadilan substantif? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif. 4 Lilik Mulyadi. Hukum Acara Pidana, Citra

  Aditya Bakti, Bandung 2007, hlm. 152 II.

   Pembahasan A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Proyek Pelebaran Jalan dalam Perkara Nomor 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk

4 Pidana maksimal terhadap pelaku tindak

  Tindak pidana korupsi dana proyek pelebaran Jalan Jenderal Sudirman Kotabumi Lampung Utara dalam Perkara Nomor 15/Pid.Sus.TPK/2015/ PN.Tjk bermula dari pelaksanaan proyek yang dilaksanakan dengan sistem tender, tetapi pada kenyataannya tender tersebut hanya sebagai formalitas saja dan PT Way Sabuk ditetapkan sebagai Pemenang Lelang, melalui Berita Acara Hasil Pelelangan yang oleh Panitia Pengadaan diterbitkan Surat Penetapan Penyedia Barang / Jasa (SPJB) Nomor : 005/PAN-PU/15-LU/VII/2012 tanggal

  09 Juli 2012 kegiatan pembangunan jalan Kabupaten dalam kota pada pekerjaan pelebaran dua jalur jalan Jendral Sudirman Kecamatan Kotabumi Kabupaten Lampung Utara Tahun Anggaran 2012 di mana pemenangnya adalah PT. Way Sabuk dengan nilai penawaran Rp. 6.497.728.0000. Kecurangan dalam pelaksanaan tender menyebabkan terjadinya hambatan pasar bagi peserta potensial yang tidak memperoleh kesempatan untuk mengikuti dan memenangkan tender. Hal ini tentu saja dapat merugikan konsumen dan pemberi kerja karena konsumen atau pemberi kerja harus membayar harga yang lebih mahal daripada yang sesungguhnya, padahal barang/jasa yang diperoleh (baik dari sisi mutu, jumlah, rendah dari yang akan diperoleh apabila tender dilakukan secara jujur. Selain itu, nilai proyek (untuk tender pengadaan jasa) menjadi lebih tinggi akibat mark-up yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersekongkol. Apabila hal tersebut dilakukan dalam proyek pemerintah yang pembiayaannya melalui APBD, maka akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi daerah. Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pembangunan jalan Kabupaten dalam kota pada pekerjaan pelebaran dua jalur jalan Jendral Sudirman Kecamatan Kotabumi Kabupaten Lampung Utara Tahun Anggaran 2012 didasarkan pada tuntutan Jaksa Penuntut Umum sebagai berikut: 1.

  Menyatakan Terdakwa Organda Najaya Alias Enal tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) jo.

  Pasal 18 (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dalam Dakwaan Primair.

  2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan Primair melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999

  Tentang Pemberantasan Tindak ke-1 KUHP.

  3. Menyatakan Terdakwa Organda Najaya Alias Enal terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dengan Sulistyawan, ST selaku Konsultan Pengawas (CV. Basic Konsultan), Hi. Rachmat Hartono Alias Rahmat Hartono Bin Burhanudin (DPO) selaku Direktur Utama PT. Way Sabuk (rekanan) dan selaku komisaris sekaligus pelaksana pekerjaan PT. Way Sabuk, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dalam Dakwaan Subsidair.

  4. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Organda Najaya Alias Enal dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan penjara dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan.

  5. Membebankan kepada Terdakwa Organda Najaya Alias Enal untuk membayar denda masing-masing sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), subsidair 6 (enam) bulan kurungan.

  6. Menyatakan Uang sebesar Rp.

  520.477.974, 20 (lima ratus dua puluh juta empat ratus tujuh puluh tujuh ribu sembilan ratus tujuh puluh empat rupiah koma dua puluh sen) Umum dirampas untuk disetorkan ke mengganti kerugian Negara Putusan hakim dalam Putusan Pengadilan Nomor: 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk, yang menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Organda Najaya Als Enal sesuai dengan salah teori keseimbangan, di mana terdapat keseimbangan antara syarat- syarat yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa. 5 Hakim dalam hal ini menekankan adanya keseimbangan antara perbuatan terdakwa yang melakukan tindak pidana korupsi, dengan ketentuan hukum khususnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.Undang-Undang Nomor

  20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan amar putusan sebagai berikut: 1)

  Menyatakan Terdakwa Organda Najaya Als Enal terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi, secara bersama- sama”. 2)

  Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa,oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sejumlah Rp 50.000.000,- (Lima puluh Juta Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut 5 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim

  dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar

  tidak dibayar diganti dengan pidana 3)

  Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

  4) Menetapkan

  Terdakwa Tetap ditahan. 5)

  Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk menyetorkan uang titipan pengembalian kerugian keuangan negara yang telah dititipkan kepada Jaksa Penuntut Umum sebesar Rp.520.477.974.20 (lima ratus dua puluh juta empat ratus tujuhpuluh tujuh ribu Sembilan ratus tujuh puluh empat rupiah koma dua puluh sen) ke Kas Negara

  Hakim dalam hal ini sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya, khususnya dalam Putusan Pengadilan Nomor: 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk. Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang- undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik. Kehakiman sebagai suatu badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. perundang-undangan yang diciptakan menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan- peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. Sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda. Di satu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkatan tertentu, di lain pihak sistem peradilan pidana juga berfungsi untuk pencegahan. Effektivitas sistem peradilan pidana tergantung sepenuhnya pada kemampuan infrastruktur pendukung sarana dan prasarananya, kemampuan profesional aparat penegak hukumnya serta budaya hukum masyarakatnya. Hukum yang berkualitas pada dasarnya merupakan praktik hukum yang mengandung nilai-nilai keadilan bagi seluruh masyarakat dan sesuai dengan kehendak atau aspirasi masyarakat, sebab itu hukum yang baik akan menjamin kepastian hak dan kewajiban secara seimbang kepada tiap-tiap orang. Tujuan hukum, disamping menjaga kepastian hukum juga menjaga sendi- sendi keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal utama bagi kepastian hukum yakni, adanya peraturan itu sendiri. tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Dengan adanya nilai yang berbeda-beda tersebut, maka penilaian mengenai keabsahan hukum atau suatu perbuatan hukum, dapat berlain-lainan tergantung umumnya nilai kepastian hukum yang lebih utama karena terkandung pengertian supremasi hukum, khususnya dalam konteks penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

  B. Pidana yang Dijatuhkan Hakim dalam Perkara Nomor: 15/ Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk dalam Perspektif Keadilan Substantif

  Majelis Hakim dalam Perkara Nomor: 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk telah menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Organda Najaya Als Enal sebagai Komisaris PT Way Sabuk yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dana proyek pelebaran Jalan Jenderal Sudirman Kotabumi Lampung Utara dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sejumlah Rp 50.000.000,- (Lima puluh Juta Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Selain itu, terdakwa juga dipidana untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.520.477.974.20 (lima ratus dua puluh juta empat ratus tujuhpuluh tujuh ribu Sembilan ratus tujuh puluh empat rupiah koma dua puluh sen).

  Ditinjau dari perspektif rasa keadilan masyarakat, putusan pengadilan tersebut kurang relevan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pemidanaan Agar Setimpal dengan Berat dan Sifat Kejahatannya, yang menyatakan bahwa kecenderungan meningkatnya kualitas dan kuantitas tindak pidana terutama di bidang ekonomi memerlukan penanganan serta Oleh karena itu terhadap tindak pidana korupsi, Mahkamah Agung mengharapkan supaya pengadilan menjatuhkan pidana yang sungguh- sungguh setimpal beratnya dan sifat tindak pidana tersebut jangan sampai menjatuhkan pidana yang menyinggung rasa keadilan di dalam masyarakat.

  Pandangan negatif masyarakat terhadap hakim dapat dihindari dengan memutus perkara secara adil dan teliti, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan terhadap suatu putusan. Dari dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap/sifat kepuasan moral jika keputusan yang dibuatnya dapat menjadi tolak ukur untuk kasus yang sama, sebagai bahan referensi bagi kalangan teoritis dan praktisi hukum serta kepuasan nurani jika sampai dikuatkan dan tidak dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung jika perkara tersebut sampai ke tingkat banding atau kasasi. Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik dalam membuatnya.

  Ketentuan mengenai perumusan pidana maksimum dan minimum dikenal dengan pola pemidanaan baru, yaitu minimum khusus dengan tujuan untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya membahayakan dan meresahkan masyarakat. Ketentuan mengenai pidana penjara menganut asas maksimum khusus dan minimum khusus. Pada prinsipnya, pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya. Ketentuan mengenai pidana minimum (khusus) dan maksimum menegaskan bahwa terhadap kejahatan-kejahatan yang meresahkan masyarakat diberlakukan ancaman secara khusus. Uraian di atas sesuai dengan tujuan pidana yaitu prevensi atau pencegahan, sanksi pidana merupakan sanksi yang paling istimewa, karena kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh kaidah-kaidah hukum pidana adalah nyawa, badan (kebebasan), kehormatan dan harta benda manusia, disamping kepentingan-kepentingan negara. Walaupun tujuan pemidanaan bukan merupakan suatu hal yang baru, tetapi dampak dari pemidanaan yang berkenaan dengan kelanjutan kehidupan terpidana, khususnya dampak stigmatisasi terhadap terpidana dan keluarganya, menumbuhkan aliran-aliran dalam hukum pidana yang lebih baru yang mengkreasi jenis-jenis pidana lain yang dianggap lebih menghormati harkat dan martabat manusia, di samping ingin mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri.

  Penjatuhan sanksi pidana merupakan hal yang paling penting dipertimbangkan hakim, karena menyangkut kepentingan- dengan sanksi perdata atau administasi yang hanya berkenaan dengan sifat-sifat kebendaan. Pembebanan pidana harus diusahakan agar sesuai dan seimbang dengan nilai-nilai kesadaran hokum serta peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum yang berkualitas pada dasarnya merupakan praktik hukum yang mengandung nilai-nilai keadilan bagi seluruh masyarakat dan sesuai dengan kehendak atau aspirasi masyarakat, sebab itu hukum yang baik akan menjamin kepastian hak dan kewajiban secara seimbang kepada tiap-tiap orang. Tujuan hukum, disamping menjaga kepastian hukum juga menjaga sendi- sendi keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal utama bagi kepastian hukum yakni, adanya peraturan itu sendiri. tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah diluar pengutamaan nilai kepastian hukum. Dengan adanya nilai yang berbeda-beda tersebut, maka penilaian mengenai keabsahan hukum atau suatu perbuatan hukum, dapat berlain-lainan tergantung nilai mana yang dipergunakan. Tetapi umumnya nilai kepastian hukum yang lebih berjaya, karena disitu diam-diam terkandung pengertian supremasi hukum. Peranan hakim dalam menegakkan hukum, tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum dengan hakim, untuk menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat. Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan untuk mencari menang, keadilan. Demi menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang, dalam pemeriksaan atas terdakwa, hakim senantiasa berpedoman pada sistem pembuktian yang digariskan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Menilai kebenaran keterangan para saksi maupun terdakwa, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain, persesuaian keterangan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain, alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu, cara hidup dan kesusilaan saksi, serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Sesuai dengan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa putusan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana minimal tidak sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pemidanaan Agar Setimpal dengan Berat dan Sifat Kejahatannya. Surat Edaran tersebut menyatakan bahwa kecenderungan meningkatnya kualitas dan kuantitas tindak pidana terutama di bidang ekonomi memerlukan penanganan serta kebijakan pemidanaan secara khusus Artinya Putusan tersebut belum sesuai dengan maksud Surat

  Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 terhadap tindak pidana korupsi, Mahkamah Agung mengharapkan supaya pengadilan menjatuhkan pidana yang sungguh-sungguh setimpal beratnya dan sifat tindak pidana tersebut jangan sampai menjatuhkan pidana yang menyinggung rasa keadilan di dalam masyarakat. Setiap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum dan mendapatkan pidana maksimal sesuai dengan ketentuan undang-undang. Seseorang yang melanggar hukum harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum. Pandangan negatif masyarakat terhadap hakim dapat dihindari dengan memutus perkara secara adil dan teliti, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan terhadap suatu putusan. Dari dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap/sifat kepuasan moral jika keputusan yang dibuatnya dapat menjadi tolak ukur untuk kasus yang sama, sebagai bahan referensi bagi kalangan teoritis dan praktisi hukum serta kepuasan nurani jika sampai dikuatkan dan tidak dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung jika perkara tersebut sampai ke tingkat banding atau kasasi. Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat hati-hati dalam merumuskan putusannya yang benar-benar berlandaskan pada keadilan dan memenuhi aspek kepastian hukum. Menurut pendapat penulis putusan pidana minimal dalam perkara tersebut belum memenuhi rasa keadilan. Hal ini sesuai dengan teori keadilan secara umum, yaitu sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu tidak merugikan seseorang dan perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil

  6 Hakim dalam hal ini belum memenuhi

  keadilan substantif dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi, keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini berarti bahwa apa yang secara formal- prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan. formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik dalam membuatnya. Hakim yang cermat dan 6 Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana.

  1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi proyek pelebaran jalan dalam Perkara Nomor 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk. secara yuridis adalah terpenuhi unsur-unsur dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu Pasal 3 jo. Pasal 18 (1) huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pertimbangan secara non yuridis terdiri dari hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hal-hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah. Hal- hal yang meringankan adalah terdakwa mengakui perbuatannya dan belum pernah dihukum. Sesuai dengan pertimbangan tersebut terdakwa dipidana dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sejumlah Rp 50.000.000,- (Lima puluh Juta Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Selain itu, terdakwa juga dipidana untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.520.477.974.20 (lima ratus dua puluh juta empat ratus tujuhpuluh tujuh ribu Sembilan ratus tujuh puluh empat rupiah koma dua puluh sen).

  2. Pidana yang dijatuhkan hakim dalam 15/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Tjk belum memenuhi rasa keadilan, karena tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa seharusnya dipidana secara maksimal, dan pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana tersebut, seharusnya dipidana sesuai dengan berat atau ringannya kesalahan yang dilakukan, sehingga tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat yang mengharapkan pemberantasan tindak pidana korupsi.

III. Penutup A. Simpulan

  B. Saran

  1. Disarankan kepada Majelis Hakim Tipikor untuk menjatuhkan hukuman maksimal kepada pelaku tindak pidana korupsi, dalam rangka memberikan efek jera kepada pelaku dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain agar tidak melakukan tindak pidana korupsi.

  2. Disarankan kepada Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi untuk mempertimbangkan berbagai aspek yang menyebabkan terjadinya tindak pidana, kepentingan masyarakat terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi dan besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan terdakwa. Hal ini penting dilaksanakan agar pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa benar- benar berdasar pada upaya pemberantasan korupsi.

  Daftar Pustaka

  Alatas, Syed Husein. 2008. Sosiologi

  Korupsi, Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer ,

  LP3ES. Jakarta. Halim, 2004. Pemberantasan Korupsi, Rajawali Press, Jakarta.

  Mulyadi, Lilik. 2007. Hukum Acara

  Pidana , Citra Aditya Bakti, Bandung.

  Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum

  

oleh Hakim dalam Persfektif

Hukum Progresif, Sinar Grafika.

  Jakarta. Soepardi, Eddy Mulyadi. 2009.

  Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi, Ghalia

  Indonesia, Jakarta Sudarto, 1986. Kapita Selekta Hukum

  

Pidana . Alumni.Bandung