ANALISIS KEUANGAN DAERAH DI KOTA SURAKARTA PERBANDINGAN SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH (Periode 1990-2009)

ANALISIS KEUANGAN DAERAH DI KOTA SURAKARTA PERBANDINGAN SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH (Periode 1990-2009)

Skripsi

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Me menuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh : HILMY FADLLAN

NIM. F0106098

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

ABSTRAK ANALISIS KEUANGAN DAERAH DI KOTA SURAKARTA PERBANDINGAN SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH (Periode 1990-2009) HILMY FADLLAN NIM. F0106098

Salah satu tolok ukur keberhasilan otonomi daerah adalah dengan melihat kemampuan keuangannya. Sehingga berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah di Kota Surakarta beserta tingkat kemandiriannya.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dan kuantitatif. Adapun analisisnya adalah DDF, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya/Posisi Fiskal, Matriks Potensi PAD, Rasio Aktivitas PAD, Rasio Efektivitas PAD, serta Rasio Kemandirian Daerah. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari instansi pemerintah terkait mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surakarta dalam kurun waktu 1990-2009. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif.

Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa secara rerata sebelum dan selama era otonomi daerah pertumbuhan APBD, kontribusi PAD terhadap APBD, maupun pertumbuhan PDRB mengalami penurunan. Jika dilihat dari hasil analisis kuantitatifnya, terjadi penurunan rasio PAD terhadap TPD pada era sebelum dan selama otonomi daerah dari 12,54% menjadi 7,30%. Menurut analisis rasio kemandirian, baik sebelum maupun selama otonomi daerah Kota Surakarta memiliki rasio kurang dari 50%.

Berdasarkan hasil penelitian, secara umum dapat dikatakan bahwa kemampuan keuangan daerah Kota Surakarta masih rendah (belum mandiri) dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu diharapkan Pemerintah Daerah Kota Surakarta lebih mengutamakan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber PAD yang potensial, menciptakan daya tarik dan iklim yang kondusif bagi investor untuk menanamkan modalnya sehingga laju pertumbuhan ekonomi daerah dan PDRB meningkat. Dengan upaya-upaya tersebut diharapkan Kota Surakarta dapat mewujudkan eksistensi kemandirian daerah khususnya dalam bidang fiskal.

Kata Kunci: DDF, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya/Posisi Fiskal, Matriks Potensi PAD, Rasio Aktivitas PAD, Rasio Efektivitas PAD, Rasio Kemandirian Daerah

ABSTRACT REGIONAL FINANCIAL ANALYSIS IN SURAKARTA CITY COMPARISON BEFORE AND DURING THE REGIONAL AUTONOMY (Period 1990-2009) HILMY FADLLAN NIM. F0106098

One measure of the success of decentralization is to look at their financial capabilities. So based on this, this study aims to determine the ability of local finance in Surakarta city and their level of independence.

The method of analysis used in this study is descriptive and quantitative analysis methods. The analysis is DDF, Fiscal Need, Fiscal Capacity, Effort/Fiscal Position, PAD Potential Matrix, PAD activity ratio, PAD Effectiveness Ratio, and Ratio of Local Self-Reliance. The data used are secondary data from relevant government agencies regarding the Budget Revenue and Expenditure (Budget) of Surakarta in the period 1990-2009. The research was conducted by using descriptive analysis and quantitative analysis.

The results of descriptive analysis showed that the average before and during the era of regional autonomy budget growth, the contribution of PAD to the budget, as well as GDP growth declined. If seen from the results of quantitative analysis, a decline in the ratio of PAD for TPD before and during the era of regional autonomy from 12.54% to 7.30%. According to the analysis of self-sufficiency ratio, both before and during the autonomous region of Surakarta has a ratio of less than 50%.

Based on this research, in general it can be said that the financial capacity of Surakarta city is still low (not standalone) in the framework of the implementation of regional autonomy. For Local Government is expected to prefer the Surakarta effort intensification and extension of the sources of potential revenue, create attraction and a conducive environment for investors to invest so that the pace of regional economic growth and rising GDP. With these efforts are expected to realize the existence of Surakarta region's autonomy, especially in the fiscal field.

Keywords: DDF, Fiscal Need, Fiscal Capacity, Effort/Fiscal Position, PAD Potential Matrix, PAD Activity Ratio, PAD Effectiveness Ratio, Ratio Independence Regional

MOTTO

“There is no secret to success. It’s the result of preparation, hard work, and learning from mistakes made along the way” (Collin Powell)

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (Al-Faatihah: 1)

“Karena sesunggunhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Alam Nasyrah: 5)

“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain” (Alam Nasyrah: 7)

“Orang-orang yang terbaik adalah mereka yang selalu mencoba untuk terus memperbaiki dirinya”

(Imam Gozali)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan

untuk Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang

Karya ini kuhadiahkan untuk :

1. Ayah dan Ibuku Tercinta

2. Kakakku Tersayang

3. Sahabat dan teman-temanku.

4. Me, I, and Myself

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, dan karunia-Nya, sehingga dengan kemampuan yang ada, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “ANALISIS KEUANGAN

DAERAH DI KOTA SURAKARTA PERBANDINGAN SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH (PERIODE 1990-2009)”.

Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan serta kerja sama yang baik dari berbagai pihak tidak bisa mewujudkan skripsi ini. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Drs. Kresno Sarosa Pribadi, M.Si. selaku pembimbing skripsi yang dengan sabar telah membimbing dan memberikan pengarahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dan semoga Allah SWT membalasnya dan memberikan kemuliaan kepadanya.

2. Dr. Wisnu Untoro, MS. selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Drs. Supriyono, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan.

4. Izza Mafruhah, S.E., M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Ekonomi Pembangunan.

5. Seluruh Dosen Fakultas Ekonomi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas ilmu yang diberikan dan bimbingannya.

6. Seluruh Staf Karyawan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya.

7. Ayah dan Ibuku yang selalu senantiasa memberikan dorongan, nasehat, doanya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kakak Anisa yang tiada henti-hentinya memberikan dorongan, supaya penulisan skripsi ini cepat diselesaikan. Karena perjuangan belum berakhir, masih ada dunia kerja yang harus aku jalani..

8. Teman-teman EP angkatan 2006, kakak angkatan 2004, 2005 serta adik angkatan 2007, 2008, 2009 dan 2010 serta semua sahabat-sahabatku, terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu baik secara langsung maupun tidak atas bantuannya kepada penulis hingga terselesaikannya penelitian ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam rangka kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat dan sumbangan pikiran untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Surakarta, Juni 2012

Penulis

HILMY FADLLAN

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB ) Menurut

Lapangan Usaha, Pendapatan Perkapita dan Pertumbuhan Atas Dasar Harga Berlaku Kota Surakarta Tahun 2005-2007.. 10

Tabel 1.2 Data Realisasi Penerimaan Daerah Tahun 2005-2007 ............. 12 Tabel 1.3 Data Realisasi Pengeluaran Pemerintah Daerah

Kota Surakarta Tahun 2005-2007 ............................................. 13 Tabel 2.1 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) .. 43 Tabel 3.1 Matrik Potensi Jenis Pajak atau Retribusi................................. 60 Tabel 3.2 Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah ................... 62 Tabel 4.1 Pertumbuhan PDRB Kota Surakarta Atas Harga Konstan

Dan Berlaku Tahun 2001-2009................................................. 71 Tabel 4.2 Pertumbuhan APBD Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ........... 73 Tabel 4.3 Kontribusi PAD Terhadap APBD Kota Surakarta ................... 74 Tabel 4.4 Proporsi Pengeluaran Daerah Terhadap APBD

Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ............................................. 76 Tabel 4.5 Ukuran Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ............................................. 77 Tabel 4.6 Rata-rata Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ............................................. 78 Tabel 4.7 Rata-Rata Kebutuhan Fiskal (KF) Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ...................................................................... 81 Tabel 4.8 Rata-Rata Kapasitas Fiskal Propinsi Jateng dan Kota Surakarta Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1990-2009 .......... 83 Tabel 4.9 Tabel PAD dan PDRB Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ....... 85 Tabel 4.10 Hasil Penghitungan Pendapatan Asli Daerah

Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ............................................. 87

Tabel 4.11 Hasil Penghitungan Model Matrik Potensi dari Retribusi Daerah Kota Surakarta Tahun 1990-2009................. 88 Tabel 4.12 Rasio Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan Terhadap

Total APBD Kota Surakarta Tahun 1990-2009........................ 90 Tabel 4.13 Rata-Rata Efektivitas PAD Sebelum Otonomi Daerah dan

Selama Otonomi Daerah ........................................................... 92 Tabel 4.14 Pola Hubungan dan Kemandirian Keuangan Daerah Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ............................................. 95

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran .............................................................. 53

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

- Tabel Rata-rata Derajat Desentralisasi Fiskal Kota Surakarta Lampiran 2

- Tabel Rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar Se-Jawa Tengah dan Kota Surakarta Lampiran 3

- Tabel Rata-rata Kapasitas Fiskal Standar Se-Jawa Tengah dan Kota Surakarta Lampiran 4

- Tabel Pertumbuhan PAD dan PDRB Kota Surakarta Lampiran 5

- Tabel Hasil Matriks Potensi dari Pajak Daerah Kota Surakarta Lampiran 6

- Tabel Matriks Potensi dari Pos Retribusi Kota Surakarta Lampiran 7

- Tabel Rasio Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan Terhadap

Total APBD Kota Surakarta Lampiran 8 - Tabel Rata-Rata Efektifitas PAD Kota Surakarta Lampiran 9

- Pola Hubungan dan Rata-rata Tingkat Kemandirian Kota Surakarta

ABSTRAK ANALISIS KEUANGAN DAERAH DI KOTA SURAKARTA PERBANDINGAN SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH (Periode 1990-2009) HILMY FADLLAN NIM. F0106098

Salah satu tolok ukur keberhasilan otonomi daerah adalah dengan melihat kemampuan keuangannya. Sehingga berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah di Kota Surakarta beserta tingkat kemandiriannya.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dan kuantitatif. Adapun analisisnya adalah DDF, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya/Posisi Fiskal, Matriks Potensi PAD, Rasio Aktivitas PAD, Rasio Efektivitas PAD, serta Rasio Kemandirian Daerah. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari instansi pemerintah terkait mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surakarta dalam kurun waktu 1990-2009. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif.

Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa secara rerata sebelum dan selama era otonomi daerah pertumbuhan APBD, kontribusi PAD terhadap APBD, maupun pertumbuhan PDRB mengalami penurunan. Jika dilihat dari hasil analisis kuantitatifnya, terjadi penurunan rasio PAD terhadap TPD pada era sebelum dan selama otonomi daerah dari 12,54% menjadi 7,30%. Menurut analisis rasio kemandirian, baik sebelum maupun selama otonomi daerah Kota Surakarta memiliki rasio kurang dari 50%.

Berdasarkan hasil penelitian, secara umum dapat dikatakan bahwa kemampuan keuangan daerah Kota Surakarta masih rendah (belum mandiri) dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu diharapkan Pemerintah Daerah Kota Surakarta lebih mengutamakan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber PAD yang potensial, menciptakan daya tarik dan iklim yang kondusif bagi investor untuk menanamkan modalnya sehingga laju pertumbuhan ekonomi daerah dan PDRB meningkat. Dengan upaya-upaya tersebut diharapkan Kota Surakarta dapat mewujudkan eksistensi kemandirian daerah khususnya dalam bidang fiskal.

Kata Kunci: DDF, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya/Posisi Fiskal, Matriks Potensi PAD, Rasio Aktivitas PAD, Rasio Efektivitas PAD, Rasio Kemandirian Daerah

ABSTRACT REGIONAL FINANCIAL ANALYSIS IN SURAKARTA CITY COMPARISON BEFORE AND DURING THE REGIONAL AUTONOMY (Period 1990-2009) HILMY FADLLAN NIM. F0106098

One measure of the success of decentralization is to look at their financial capabilities. So based on this, this study aims to determine the ability of local finance in Surakarta city and their level of independence.

The method of analysis used in this study is descriptive and quantitative analysis methods. The analysis is DDF, Fiscal Need, Fiscal Capacity, Effort/Fiscal Position, PAD Potential Matrix, PAD activity ratio, PAD Effectiveness Ratio, and Ratio of Local Self-Reliance. The data used are secondary data from relevant government agencies regarding the Budget Revenue and Expenditure (Budget) of Surakarta in the period 1990-2009. The research was conducted by using descriptive analysis and quantitative analysis.

The results of descriptive analysis showed that the average before and during the era of regional autonomy budget growth, the contribution of PAD to the budget, as well as GDP growth declined. If seen from the results of quantitative analysis, a decline in the ratio of PAD for TPD before and during the era of regional autonomy from 12.54% to 7.30%. According to the analysis of self-sufficiency ratio, both before and during the autonomous region of Surakarta has a ratio of less than 50%.

Based on this research, in general it can be said that the financial capacity of Surakarta city is still low (not standalone) in the framework of the implementation of regional autonomy. For Local Government is expected to prefer the Surakarta effort intensification and extension of the sources of potential revenue, create attraction and a conducive environment for investors to invest so that the pace of regional economic growth and rising GDP. With these efforts are expected to realize the existence of Surakarta region's autonomy, especially in the fiscal field.

Keywords: DDF, Fiscal Need, Fiscal Capacity, Effort/Fiscal Position, PAD Potential Matrix, PAD Activity Ratio, PAD Effectiveness Ratio, Ratio Independence Regional

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan Daerah Otonom akan banyak tergantung pada kemampuan daerah dalam mengumpulkan dan mengelola keuangan daerah dan strategi pembangunan daerah yang melibatkan partisipasi anggota masyarakat setempat. Dari titik pandang ekonomi makro, melalui pelaksanaan

akan dapat mengalokasikan secara mudah dana pembangunan daerahnya didasarkan pada karakteristik dan potensi dari masing-masing daerah, sehingga dicapai hasil maksimal. Dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah, peranan sektor swasta sangat penting mengingat ketergantungan yang besar dari pengelolaan pembangunan terhadap pembangunan ekonomi daerah tersebut. Dalam hal ini, peranan sektor swasta diperlukan dan memainkan peranan penting dalam memberikan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi daerah.

Di Era Reformasi, untuk mewujudkan Pemerintahan Daerah yang mandiri maka Pemerintah Pusat mengambil kebijakan Desentralisasi atau yang biasa dikenal dengan Otonomi Daerah. Untuk mendukung legalitas kebijakan Otonomi Daerah, Pemerintah menetapkan 2 (dua) Undang- Undang, yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Daerah. Momentum Reformasi adalah saat yang tepat bagi realisasi

Otonomi Daerah, dan merupakan kesempatan menentukan pilihan yang tepat mengenai bentuk Pemerintahan di daerah serta mengupayakan pengembangan potensi sumber daya daerah agar dapat terangkat dalam Era Globalisasi.

Berdasarkan Undang-Undang tersebut, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan Pemerintah dan pelayanan masyarakat. Misi Otonomi Daerah dijabarkan dalam Penjelasan Umum UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999:

“Misi utama dari kedua Undang-Undang tersebut bukan hanya pada keinginan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari Pemerintah Daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya Keuangan Daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu semangat desentralisasi, transparansi dan akuntabilitas menjadi sangat dominan dalam mewarnai proses pengelolaan Keuangan Daerah pada khususnya.” Dari kedua Undang-Undang tersebut diatur tentang titik berat

Otonomi Daerah yaitu terletak pada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, dengan pertimbangan bahwa Pemerintah Daerah dan Kota yang lebih langsung berhubungan dengan masyarakat. Sehingga diharapkan aspirasi masyarakat di daerah dan kota yang lebih langsung Otonomi Daerah yaitu terletak pada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, dengan pertimbangan bahwa Pemerintah Daerah dan Kota yang lebih langsung berhubungan dengan masyarakat. Sehingga diharapkan aspirasi masyarakat di daerah dan kota yang lebih langsung

Sehingga diharapkan aspirasi masyarakat di daerah atau kota dapat tersampaikan dan terpenuhi. Penyerahan urusan-urusan Pemerintah kepada Pemerintah Daerah atau Kota dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan Daerah atau Kota yang bersangkutan. Dengan demikian, isi otonomi itu berbeda antara daerah/kota yang satu dengan lainnya.

daerah untuk menyelenggarakan kewenangan Pemerintah dibidang tertentu yang hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggungjawab maksudnya ialah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekwensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, yaitu berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi keadilan dan pemerataan. Serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Mardiasmo (2002) kebijakan pemberian Otonomi Daerah dan desentralisasi merupakan langkah strategis Pemerintah Pusat dalam mengatasi permasalahan lokal bangsa Indonesia yang berupa kemiskinan, pemerataan distribusi pendapatan yang tidak merata dan masalah peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah. Selain hal itu, otonomi daerah dan desentralisasi juga ditujukan dalam menyongsong Era Globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah.

Dengan ditetapkan kedua Undang-Undang di atas, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dituntut untuk lebih produktif dan kreatif dalam membangun daerahnya masing-masing. Selain itu, Otonomi Daerah merupakan sebuah peluang dan tantangan baru bagi Pemerintah Kabupaten/Kota untuk membangun daerahnya secara optimal setelah peran pemerintah pusat mulai berkurang. Masyarakat diharapkan juga lebih aspiratif dalam memberikan kontibusinya dalam pembangunan di daerah masing-masing.

Menurut UU No. 22 Tahun 1999, tujuan dari Otonomi Daerah diarahkan untuk meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu. Sedangkan menurut UU No. 25 Tahun 1999, Penyelenggaraan pemerintah oleh Daerah diharapkan mampu untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan Pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat.

Salah satu pertimbangan yang ada dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang menyangkut masalah penyelenggaraan Otonomi Daerah, yaitu perlunya penekanan pada pelakasanaan prinsip-prinsip demokrasi, serta penggalian potensi dan keanekaragaman daerah.

Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999, Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah adalah suatu Sistem Pembiayaan Pemerintah dalam kerangka Negara Kesatuan yang mencangkup perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999, Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah adalah suatu Sistem Pembiayaan Pemerintah dalam kerangka Negara Kesatuan yang mencangkup perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan

Sebagaimana penjelasan dalam kedua Undang-Undang di atas maka pelaksanaan Otonomi Daerah ditandai dengan adanya desentralisasi kewenangan (power sharing) dan desentralisasi keuangan (fiscal decentralization) yang pelaksanaan secara penuh sejak 1 Januari 2001. Pelaksanaan kewenangan yang luas, nyata serta bertanggungjawab kepada Pemerintah Daerah secara proporsional yang dilengkapi dengan berbagai petunjuk mengenai peraturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta aspek perimbangan antara Pusat dan Daerah.

Seiring dengan perkembangan kebutuhan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, kedua Undang-Undang tersebut disempurnakan dan diganti dengan Undang-Undang yang baru, yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Implementasi pelaksanaan Otonomi Daerah akan dapat berhasil jika memperhatikan 5 (lima) kondisi strategis berikut: (i) Self Regulatoring Power , yaitu kemampuan mengatur dan melaksanakan Otonomi Daerah demi kepentingan masyarakat di daerahnya; (ii) Self Modifying Power, berupa kemampuan menyesuaian terhadap peraturan yang telah ditetapkan secara nasional sesuai dengan kondisi daerah, termasuk terobosan inovatif kearah kemajuan dalam menyikapi potensi Daerah; (iii) Creating Local

Political Support , dalam arti penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang mempunyai legitimasi kuat dari masyarakatnya, baik dari Kepala Daerah Eksekutif maupun DPRD Sebagai Pemegang kekuasaan legislatif; (iv) Managing Financial Resource , dalam arti mampu mengembangkan kompetensi dalam mengelola secara optimal sumber penghasilan dari keuangan guna pembiayaan aktifitas Pemerintahan pembangunan dan pelayanan masyarakat; serta (v) Developing Brain Power, dalam arti membangun Sumber Daya Manusia yang handal dan selalu bertumpu pada kapabilitas penyelesaian masalah (Rasyid dan Paragoan dalam Mulyanto, 2003:3)

Menurut Kaho dalam Mulyanto (2003:2), untuk menentukan keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Setidaknya ada 4 (empat) faktor yang harus dipenuhi, yaitu: (i) faktor manusia sebagai subjek penggerak dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, (ii) faktor keuangan yang merupakan tulang punggung bagi terselenggaranya aktivitas Pemerintah Daerah, (iii) faktor peralatan yang merupakan

aktivitas Pemerintahan Daerah, serta (iv) faktor organisasi dan manajemen yang merupakan sarana untuk menyelenggarakan Pemerintahan Daerah secara baik.

Menurut Mardiasmo (2002), dalam upaya pemberdayaan Pemerintahan Daerah ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan Keuangan Daerah adalah sebagai berikut:

1. Pengelolaan Keuangan Daerah harus bertumpu pada kepentingan publik/masyarakat.

2. Misi prngelolaan Keuangan Daerah harus jelas.

3. Desentralisasi Pengelolaan Keuangan dn kejelasan peran instansi yang terkait dalam Pengelolaan Keuangan Daerah.

4. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi, dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, transparansi dan akuntabilitas.

5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan pihak-pihak yang terkait.

6. Ketentuan-Ketentuan yang diperlukan seperti bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi-tahunan.

7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih professional.

8. Prinsip akuntansi Pemerintah Daerah, laporan keuangan, peran DPRD, dan akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran dan transparansi anggaran kepada publik.

9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparatur Pemerintah Daerah.

10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah.

Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang ideal adalah apabila setiap tingkat Pemerintah dapat independen di bidang keuangan untuk membiayai pelaksanaan tugas dan wewenang masing- masing. Adapun kewenangan yang dimiliki Daerah Otonom, antara lain (Mulyanto, 2003):

a. Kewenangan dalam mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertangguangjawab untuk memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

b. Kewenangan di wilayah laut, meliputi: (i) Eksplorasi; (ii) Pengaturan kepentingan administratif; (iii) Pengaturan tata ruang; (iv) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan keamanan dan Kedaulatan Negara. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari batas laut daerah propinsi.

c. Bidang Pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Kota, sebagaimana yang dimuat dalam UU No. 22 Tahun 1999, meliputi 10 (sepuluh) bidang yaitu: Pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.

Dalam pengaplikasian dari pelaksanaan desentralisasi fiskal, maka sesuai pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah menegaskan bahwa Pengelolaan Keuangan Daerah seharusnya dilaksanakan secara tertib taat pada Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan tetap memperhatikan atas keadilan dan kepatutan. Kemampuan Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan akan dituangkan dalam APBD yang secara langsung ataupun tidak langsung akan mencerminkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas Pemerintahan, Pembangunan dan Pelayanan Sosial Masyarakat.

Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang berada di Propinsi Jawa Tengah, dimana dalam pembangunannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, namun disesuaikan dengan potensi dan permasalahan pembangunan di daerahnya. Kota Surakarta merupakan bagian dari kawasan ekonomi Subosukawonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karangayar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten) memiliki kondisi geografis yang cukup strategis untuk menjalankan Pembangunan Ekonomi serta meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi.

Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Lapangan Usaha, Pendapatan Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi Atas Dasar Harga

Berlaku Kota Surakarta Tahun 2005-2007

Lapangan Usaha

PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (Jutaan Rp.)

2. Pertambangan dan Penggalian

3. Industri Pengelolaan

4. Listrik, Gas dan Air

7. Pengangkutan & Komunikasi

8. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan

6.909.094,57 Pendapatan Perkapita

12.281.416 Pertumbuhan Ekonomi

5,82 Sumber: BPS Kota Surakarta

Berdasarkan data dari BPS Kota Surakarta (Surakarta Dalam Angka) dalam distribusi produk domestik regional bruto (PDRB) menurut Lapangan Usaha, Income Perkapita dan pertumbuhan ekonomi atas dasar harga berlaku menunjukkan bahwa Kota Surakarta mempunyai sektor unggulan pada sektor Perdagangan yaitu sebesar Rp. 1.711.786.420.000 Atau sebesar 24,78% dari jumlah PDRB sebesar Rp. 6.909.094.570.000 Pada tahun 2007.

Tabel 1.1 di atas menggambarkan bahwa di Kota Surakarta lapangan usaha yang bergerak pada bidang Perdagangan merupakan sektor yang sumber pendapatan terbesar di Kota Surakarta pada tahun 2007. Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian merupakan sektor terkecil penerimaannya, sesuai dengan kondisi Kota Surakarta yang tidak kaya sumber daya alamnya.

Pendapatan perkapita penduduk Kota Surakarta pada tahun 2007 sebesar Rp. 12.281.416 Dalam setahun dan ada kenaikan dibandingkan dengan tahun 2006 sebesar Rp. 11.350.818 Sehingga hal tersebut mengakibatkan adanya pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 5,43% pada tahun 2006 dan naik menjadi 5,82% pada tahun 2007.

Tabel 1.2 Data Realisasi Penerimaan Pe merintah Daerah Kota Surakarta Tahun 2005-2007 (Jutaan Rp.)

Uraian Penerimaan

1. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu

a. Pajak Daerah

b. Retribusi Daerah

c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan

d. Lain-lain PAD yang sah

3. Dana Perimbangan

a. BHPBP

d. Dana Lokasi dari Propinsi

4. Penerimaan Lainnya yang Sah

Sumber: Dipenda Kota Surakarta (beberapa tahun) Realisasi pendapatan daerah Kota Surakarta

Dapat dilihat pada tabel di atas, minimal tiga tahun terakhir dari penelitian bahwa jumlah realisasi penerimaan Kota Surakarta selalu meningkat pada tahun 2005 jumlah realisasi penerimaan Kota Surakarta sebesar

Rp.364.670.947.000.000

meningkat

menjadi Rp.520.120.861.000.000 pada tahun 2006 dan Rp.660.500.628.000.000 pada tahun 2007.

Tabel 1.3 Data Realisasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Kota Surakarta Tahun 2005-2007 (Jutaan Rp.)

Uraian Pengeluaran

A. Belanja Rutin

B. Belanja Pembangunan

656.247.692 Sumber: Dipenda dan BPS Kota Surakarta, (beberapa tahun) perhitungan anggaran pendapatan

dan belanja daerah Kota Surakarta.

Jumlah realisasi pengeluaran Kota Surakarta seperti yang ditunjukkan pada tabel 1.3 dari tahun 2005-2007 mengalami peningkatan yaitu

sebesar Rp.354.638.398.000.000 menjadi Rp.512.928.227.000.000 di tahun 2006 dan kembali meningkat sebesar Rp.656.247.692.000.000 di tahun 2007. Walaupun berdasarkan data di atas menunjukkan realisasi pengeluaran yang meningkat, Pemerintah Daerah Kota Surakarta masih mempunyai beban untuk melakukan peningkatan penggalian potensi terhadap PAD dikarenakan dalam kajian ini hanya menampilkan realisasi penerimaan dan pengeluaran selama tiga tahun terakhir dari penelitian serta semakin besar dana yang dibutuhkan oleh daerah untuk kegiatan pembangunan terbukti dengan semakin bertambahnya realisasi pengeluaran dari tahun ke tahun.

Berdasarkan latar belakang di atas, Penelitian ini dilakukan dengan mengambil judul “ANALISIS KEUANGAN DAERAH DI KOTA

SURAKARTA PERBANDINGAN SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH (Periode 1990-2009).”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah ada perubahan yang mendasar mengenai keuangan daerah di Kota Surakarta pada era sebelum otonomi daerah dam pada era otonomi daerah berdasarkan Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF), Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya dan Posisi Fiskal, Potensi Keuangan, Rasio Aktivitas, dan Efektivitas PAD?

2. Bagaimana upaya pemerintah agar keuangan daerah tetap menjadi tumpuan bagi jalannya pemerintahan yang diukur dengan Rasio Kemandirian dan Pola Hubungannya?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisa tingkat perubahan yang mendasar tentang Keuangan Daerah di Kota Surakarta selama diberlakukan Otonomi Daerah berdasarkan Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF), Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya Fiskal, Matriks Potensi PAD, Rasio Aktivitas (Keserasian), dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah (PAD).

2. Untuk mengetahui dan menganalisa keuangan daerah agar menjadi tumpuan bagi jalannya pemerintahan yang diukur melalui Rasio Kemandirian dan Pola Hubungannya.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari Penelitian ini adalah:

1. Bagi Peneliti Untuk melatih menganalisa, mempelajari dan menerapkan serta membuat perbandingan antara ilmu yang diperoleh dengan praktek secara langsung.

2. Bagi Pemerintah Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukkan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daeah (PAD) dari berbagai sektor yang mempunyai potensi dalam rangka menunjang kelancaran pembangunan

seluruh warga masyarakatnya dan/dengan tujuan akhir untuk mencapai kemandirian Keuangan Daerah tanpa harus bergantung dengan Pemerintah Pusat.

3. Bagi Pihak Lain Sebagai tambahan wawasan atau literature mengenai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan merupakan tambahan perbendaharaan perpustakaan untuk kepentingan ilmiah dan bahan informasi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Otonomi Daerah

1. Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Di dalam Negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi, dikenal adanya struktur pemerintah pusat (central government) sarta daerah-daerah yang menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Hal ini dapat diartikan bahwa daerah-daerah tersebut mempunyai hak, kewajiban, wewenang dan bertanggungjawab untuk mengatur rumah tangga sendiri yang disebut juga dengan otonomi.

Sehubungan hal tersebut, Sjaffrudin (1988) mangatakan bahwa “istilah otonomi” mempunyai makna kebebasan atas kemandirian (Zelfstandheid) tetapi bukan kemerdekaan (Onafhankelijkheid). Kebebasan yang terbatas atas kemandirian itu adalag wujud pemberian yang harus dipertanggungjawabkan.

Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

dengan peraturan perundang-undangan. Pengertian Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan Otonomi Daerah memberikan wewenang yang lebih nyata dan luas serta bertanggungjawab kepada pemerintah daerah. Dengan adanya perluasan wewenang pemerintah daerah ini dapat menciptakan Local Accountability yaitu meningkatnya kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak masyarakat terutama pada penyediaan barang publik (Smith dalam Halim, 2001:176).

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1999, memaknai Otonomi Daerah sebagai pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ini memberikan kewenangan otonomi kepada daerah Kabupaten dan daerah Kota didasarkan atas desentralisasi dalam otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab.

Prinsip otonomi nyata dapat diartikan sebagai kekuasaan daerah untuk menangani urusan pemerintahan, dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi dan kekhasan daerah. Oleh sebab itu, isi dan jenis otonomi untuk setiap Daerah tidak selalu sama dengan Daerah lainnya. Maksud otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannnya harus benar-benar sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

Otonomi Daerah dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai maka pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Disamping itu, diberikan pula standar arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan dan evaluasi. Bersamaan itu wajib memberikan fasilitas berupa pemberian peluang kemudahan, bantuang dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2. Landasan Hukum Otonomi Daerah

Otonomi Daerah sebagai perwujudan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang berdasarkan atas dasar Desentralisasi yang diwujudkan dengan otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab dilaksanakan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diatur dalam kerangka landasannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 antara lain: (i) pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik”, (ii) pasal 18 yang menyatakan “Pemerintah Daerah dibentuk atas dasar pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara dan hak-hak, asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa”.

Dari sisi sejarah perkembangan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, telah dihadirkan berbagai aturan perundangan yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan di daerah, antara lain pada tahun 1920- an ada upaya mengambil langkah Desentralisasi untuk membentuk lembaga-lembaga perwakilan di beberapa propinsi, kabupaten dan kota tertentu (Legge, 1961:6). Tujuan utamanya adalah sama agar memperlancar administrasi dan membuka peluang bagi daerah untuk mengemukakan kenginannya.

Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah pertama kali dibuat pada tahun 1948, yang meletakkan sendi pola pemerintahan yang sekarang ini dengan meletakkan sebagian besar berdasarkan pada pembagian wilayah administrasi Belanda dan banyak menggunakan pendekatan terpusat. Karena tuntutan dari daerah sangat kuat khususnya pulau diluar pulau jawa untuk memisahkan diri, maka UU diubah kembali pada tahun 1957 No. 32 yang memberikan kadar otonomi yang lebih besar pada daerah (Legge, 1961:53), namun UU ini tidak berlangsung lama karena Presiden Soekarno memperkenalkan “Demokrasi Terpimpin” tahun 1959.

Pemerintah orde lama dalam menghadapi masalah-masalah daerah dan pemerintah daerah cenderung menanti krisis dan sering mengubah UU. Setelah berdirinya orde baru tahun 1966 membuka peluang untuk memulai awal yang baru dan membuka masa hubungan yang relatif stabil antara pemerintah pusat dan daerah. Undang-Undang baru yang mengatur tentang pemerintah daerah disahkan pada tahun 1974 No. 5, yang merupakan langkah penting dalam usaha membentuk sistem yang jelas dan menyeluruh mengenai hubungan pusat dan daerah dan mengenai Pemerintah Daerah (MacAndrews, 1986:13). Dengan lebih menekankan pada pengertian “Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggungjawab” dan meletakkan dalam hubungan dengan penyediaan jasa masyarakat dengan tegas pada pemerintah daerah tingkat dua.

Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui Kebijakan Otonomi Daerah dan perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diatur dalam satu paket Undang-Undang yaitu UU No. 32 Tahun 2004 pengganti dari UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 pengganti dari UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Pengalaman dalam melaksanakan berbagai aturan perundangan tersebut telah menunjukan berbagai masalah yang mempunyai dampak tersendiri, baik terhadap keutuhan Negara, stabilitas politik, serasian hubungan pusat dan daerah, maupun implikasi lain terhadap kelancaran penyelenggaraan pemerintahan. Namun demikian masalah yang ditimbulkan tidak sampai mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

3. Maksud Dan Tujuan Otonomi Daerah

Menurut pengalaman dalam pelaksanan bidang-bidang tugas tertentu sistem Sentralistik tidak dapat menjamin kesesuaian tindakan- tindakan Pemerintah Pusat dengan keadaan di daerah-daerah. Maka untuk mengatasi hal ini, pemerintah kita menganut sistem Desentralisasi atau Otonomi Daerah. Hal ini disebabkan wilayah kita terdiri dari berbagai daerah yang masing-masing memiliki sifat-sifat khusus terdiri yang dipengaruhi oleh faktor geografis (keadaan alam, iklim, flora-fauna, adat-istiadat, kehidupan ekonomi dan bahasa), tingkat pendidikan dan lain sebagainya. Dengan sistem Desetralisasi Menurut pengalaman dalam pelaksanan bidang-bidang tugas tertentu sistem Sentralistik tidak dapat menjamin kesesuaian tindakan- tindakan Pemerintah Pusat dengan keadaan di daerah-daerah. Maka untuk mengatasi hal ini, pemerintah kita menganut sistem Desentralisasi atau Otonomi Daerah. Hal ini disebabkan wilayah kita terdiri dari berbagai daerah yang masing-masing memiliki sifat-sifat khusus terdiri yang dipengaruhi oleh faktor geografis (keadaan alam, iklim, flora-fauna, adat-istiadat, kehidupan ekonomi dan bahasa), tingkat pendidikan dan lain sebagainya. Dengan sistem Desetralisasi

Tujuan dari pemberian Otonomi Daerah sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 32 Tahun 2004 adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan

pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Atas dasar pencapaian tujuan di atas, prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman dalam pemberian Otonomi Daerah adalah sebagai berikut (Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004): Prinsip Otonomi Daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk member pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintah daerah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dann maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otoritas, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Pemerintah Daerah Otonom:

a) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi Badan Legislatif Daerah baik fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah; a) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi Badan Legislatif Daerah baik fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah;

c) Pelaksanaan atas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada Daerah, tetapi juga pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, tetapi juga dari pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan

kewajiban

melaporkan

pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. Tujuan utama penyelenggaraan Otonomi Daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dan memajuan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanakan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal, yaitu (Mardiasmo, 2002:59):

a) Meningkatkan kualitas dan kuantitas palayanan public dan kesehteraan masyarakat;

b) Menciptakan efisien dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah;

c) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Otonomi Daerah dengan menggunakan Atas Desentralisasi dan membawa berbagai kebaikan bagi Negara kita, antara lain (Kaho, 1988:13):

a) Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan;

b) Dalam menghadapi masalah yang mendesak, perlu membutuhan tindakan yang cepat daerah tidak perlu menunggu lagi intruksi dari pusat;

c) Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setia keputusan dapat segera dilaksanakan;

d) Dalam sistem Desentralisasi, dapat diadakan perbedaan dan pengkhususan bagi kepentingan tertentu;

e) Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat.

4. Titik Berat Otonomi Daerah

Mengacu pada UU No. 22 Tahun 1999, berikut perubahan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa titik berat pelaksanakan Otonomi Daerah diletakkan pada daerah kabupaten, sedangkan penjelasannya dikatakan bahwa dalam rangka meningkatan pelayanan kepada masyarakat maka titik berat pelaksanakan Otonomi Daerah diletakkan pada daerah kabupaten dengan memandang pentingnya daerah kabupaten yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga diharapkan lebih dapat mengetahui serta memahami aspirasi masyarakat.

Beberapa pertimbangan yang mendasari penetapan daerah kabupaten dan daerah kota sebagai titik berat pelaksanakan Otonomi Daerah adalah (Kuncoro, 1995:4):

a) Dari dimensi politik, daerah kabupaten dan daerah kota kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi masyarakat federasi secara relatif bisa minim;