MEREK DAGANG SEBAGAI HAK MILIK INDUSTRI

MEREK DAGANG SEBAGAI HAK MILIK INDUSTRI
Aktifitas manusia (kreatifitas) menghasilkan kreasi, inovasi / invensi, yang merupakan hasil realisasi ide atas kemampuan intelektual
ataupun keterampilan manusia, dalam bidang apapun termasuk dalam bidang teknologi. Hasil kreasi dan inovasi tersebut melahirkan
manfaat ekonomis bagi pemiliknya, sehingga dengan demikian perlu diberikan perlindungan hukum. Peraturan (hukum) di bidang
hak kekayaan intelektual baik bersifat Internasional maupun Nasional. memberikan proteksi atas gagasan, ide dari pemalsuan
(peniruan). Secara hakikatnya Hak Kekayaan Intelektual (intellectual property right) terbagi atas dua kelompok besar, yaitu :

1.

Hak Cipta (copy rights) dan hak-hak terkait (neighboring right), antara lain meliputi : karya tulis, karya musik, rekaman suara, pertunjukan musik, aktor, drama, dan
penyanyi, lukisan, patung, penyiaran (broadcasts), program komputer (computer software), dan data base.

2.

Hak Milik Industri (industrial property right), yang dibedakan dalam konteks perlindungannya menjadi enam bagian yaitu : Paten (invensi teknologi), Merek, Desain
Industri, Rahasia Dagang, Indikasi Geografis, dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Kekayaan intelektual yang merupakan kekayaan yang tidak berwujud yang terpisah dari bendanya adalah kekayaan pribadi yang
dapat dimiliki dan dialihkan kepada orang lain, sama dengan dengan jenis-jenis kekayaan lainnya, termasuk
dapat dijual dan dilisensikan. Paris Convention 1883 adalah cikal bakal lahirnya perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual
(selanjutnya disingkat HKI), sehingga dalam perkembangannya pengaturan HKI telah memberikan perlindungan bagi orang perorang

dalam konteks subyek hukum yang sah, yang telah melakukan penemuan atau penemu (inventor), yang sekaligus menempatkan
orang perorang tersebut berkedudukan sebagai pemegang HKI, dan kepadanya diberikan Hak Eksklusif (exclusive right)
untuk memperbanyak, membuat, menjual dan mengedarkan penemuannya. Disamping memberikan Hak Eksklusif kepada Inventor, HKI
juga memberikan perlindungan terhadap pemegang merek, yang biasanya merek tersebut digunakan untuk menjelaskan reputasi
(kualitas), menunjukkan perbedaan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan lainnya tentang keberadaan dan barang hasil
produksinya, dan hal-hal lainnya yang pada akhirnya akan merugikan konsumen, oleh karena sangat besar kemungkinan timbulnya
kerugian bagi pemegang merek, jika merek tersebut dipergunakan oleh pihak lainnya secara tidak bertanggung jawab, sehingga
konsumen dapat mengira bahwa barang hasil produksi yang beredar di pasar (market) adalah hasil produksi dari perusahaan
pemegang merek.
Dengan semakin meningkatnya permintaan atas perlindungan HKI, maka secara internasional dibentuklah organisasi yang
merupakan bagian dari organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Convention Establishing The World Intellectual Property
Organization) yang diberi nama WIPO atau World Intellectual Property Organization (WIPO menjadi bagian organisasi PBB pada Desember
1974, Konvensi WIPO ditanda tangani pada tanggal 14 Juli 1976 di Stockholm, dan mulai berlaku pada tahun 1970).

HAK MILIK INDUSTRI DITINJAU DARI KONSTITUSI & HUKUM DI INDONESIA
Hak milik industri memiliki paham individualistik yang monopolistik, dan senyatanya paham ini bertentangan dengan paham
kebangsaan yang berlaku di Indonesia, yaitu paham kekeluargaan atau gotong royong, hal mana pertentangan tersebut telah
digariskan secara nyata dalam Konstitusi NKRI tepatnya pasal 33 UUD 1945, yang mengkhendaki perekonomian nasional dirancang dan
dibangun berlandaskan prinsip usaha bersama dan asas kekeluargaan, sehingga menitikberatkan kepada kehendak untuk
terciptanya keseimbangan atau pemerataan hak setiap warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak, dan hal ini nyata

tercermin sebagai ciri positif demokrasi ekonomi di Indonesia (baca ketentuan pasal 27 UUD 1945).
Namun secara faktual tidak dapat dipungkiri perkembangan industri merupakan faktor penting dalam pembangunan perekonomian,
sehingga jika kita tidak menerima dan dapat memberikan perlindungan terhadap sektor industri khususnya yang terkait dengan hak
milik industri atau hak kekayaan intelektual, maka hal tersebut dapat menghambat laju perekonomian negara Indonesia, yang pada
akhirnya dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Disamping itu hukum itu sendiri haruslah mengikuti
perkembangan jaman, oleh karena hukum diyakini merupakan alat rekayasa sosial, yang dapat merubah paradigma dan pola prilaku
manusia kearah yang lebih baik dan tertib. Mocthar Kusumaatmadja, menyatakan bahwa hukum merupakan sarana pembaharuan
masyarakat, sehingga dapat mewujudkan keteraturan atau ketertiban, kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi
sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh
pembangunan atau pembaharuan, kemudian Roscue Pound berpendapat law as a tool of social enggineering, yang artinya hukum
sebagai sarana rekayasa sosial, hukum tidak pasif tetapi harus mampu untuk mengubah suatu keadaan dan kondisi tertentu ke arah

yang sesuai dengan kemauan masyarakatnya, dengan demikian hukum menciptakan keadaan yang relatif sangat baru, tidak sekedar
mengatur keadaan yang telah berjalan.
HKI menurut hukum Indonesia dapat ditinjau dari kedudukan pemegang hak dan wujud kreasi (temuan), jika ditinjau dari kedudukan
pemegang hak maka dapat dilihat dari sisi Keaslian (mandiri), baik secara tunggal dan atau bersama-sama, apabila ditinjau dari wujud
temuannya maka akan terdiri dari dua bagian besar yaitu Hak Cipta dan Hak Milik Industri, khusus terhadap barang / benda yang
diciptakan, maka lebih dominan merupakan ruang lingkup materilnya (kebendaan / berwujud). Jika ditinjau dari Hukum Keperdataan
yang berlaku di Indonesia masuk kedudukan Hukum Kekayaan Intelektual merupakan bagian dari Hukum Kebendaan Yang Tidak
Berwujud (intangible property), karena kita mengetahui bahwa adanya Hukum Kebendaan Yang Berwujud (tangible property).

Sebagai anggota WTO (world trade organization), Indonesia telah meratifikasi pengaturan internasional yang berkaitan dengan HKI,
diantaranya adalah persetujuan TRIPs / TRIPs Agreement (Trade Related Aspect Intellectual Property Right) dan perjanjian GATT yang
merupakan perjanjian umum tentang tarif dan perdagangan, sehingga dengan demikian telah digariskan bahwa adanya kewajiban
bagi Indonesia untuk segera menerapkannya perlindungan hukum dalam bidang HKI melalui perangkat peraturan perundangundangan yang bersifat khsusu di bidang HKI, baik Hak Cipta dan Hak Milik Industri (paten, merek, desain industri, rahasia dagang,
indikasi geografis dan desain tata letak sirkuit terpadu).

MEREK SEBAGAI BAGIAN DARI HAK MILIK INDUSTRI DALAM LINGKUP HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Dari uraian diatas, telah terlihat dimana sejatinya kedudukan merek dalam konteks intellectual property right, sehingga Merek yang
selalu dipergunakan dalam suatu produk dan bisnis oleh suatu perusahaan dalam perdagangan dan perindustrian, lazimnya
dipergunakan untuk membedakan dan memperlihatkan reputasi, kualitas dan nama baik dari suatu produk (barang dan jasa) atau
perusahaan produsen, sehingga dapat dibedakan dengan kompetitornya. Di Indonesia pengaturan merek diawali dengan adanya UU
No.21 Tahun 1961 Tentang Merek Perniagaan, yang kemudian diubah dengan UU No. 19 Tahun 1992 dan diubah lagi dengan UU No.
14 Tahun 1997, perubahan terakhir dengan diundangkannya UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek sebagai penyempurnaan.
Suatu produk dengan identitas / tanda / lambang / Simbol yang menunjukkan ciri khas / asal / kualitas suatu produk tertentu tersebut
dikenal dengan merek dagang. Merek dalam kerangka inilah yang merupakan bagian dari Hak Milik Industri sebagai bagian dari HKI.
Merek dan tanda-tanda lainnya yang digunakan dalam usaha-usaha perindustrian dan perdagangan barang maupun jasa, sebagai
sarana untuk memajukan perdagangan. Tanda-tanda tersebut untuk melindungi, memelihara dan memajukan hubungan antara
pengusaha dengan masyarakat pada umumnya. Merek tidak memiliki nilai intrinsik, namun memiliki nilai ekonomis yang timbul dari
akibat penggunaannya dalam kegiatan perdagangan (berbeda dengan invensi / temuan, nilai ekonomisnya timbul dari
penciptaannya).

Hak atas merek tidak mengenai bendanya, tetapi hak untuk mempergunakannya dalam lalu lintas perdagangan, sehingga hak atas
merek juga terkualifikasi sebagai hak atas benda yang tidak berwujud (immaterial gutterrecht), yang bersifat pribadi (subjectief recht)
dan khusus (uitsluitend atau exclusive right), sehingga pemilik / pemegang merek tidak dapat di ganggu gugat, sebagai satu-satunya
pihak yang berhak menggunakan merek tersebut, singkatnya di dalam merek tersebut terdapat hak milik (eigendom) yang merupakan
bagian dari harta kekayaan seseorang.
Oleh karena merek merupakan suatu TANDA, maka tanda tersebut harus memiliki DAYA PEMBEDA. Dalam hal ini yang dimaksud
dengan daya pembeda adalah :



Memiliki kemampuan untuk memberikan identitas pada barang yang bersangkutan ;



Memiliki kemampuan untuk menunjukkan asal / sumber barang ;



Memberikan jaminan atau mutu barang ;




Memiliki kemampuan untuk membedakan antara barang sejenis yang berbeda asal / sumbernya.

Dari uraian kemampuan daya pembeda tersebut diatas, maka merek tidak dapat diterima sebagai merek apabila tanda tersebut
sederhana seperti gambar “sepotong garis” atau tanda yang terlalu ruwet seperti gambar “benang kusut”. Kemudian jika merek

tersebut tidak dipergunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa maka tidak dapat juga diterima sebagai merek, oleh
karena dalam pendaftarannya pada Kantor Merek, maka harus secara tegas disebutkan jenis barang atau jasa yang dimintakan
pendaftarannya sehingga pada akhirnya perlindungan terhadap merek tersebutpun dapat diwujudkan. Hal tersebut diatas sejalan
dengan ketentuan Pasal 1 butir 1 -4 UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, yang pada pokoknya menyatakan demikian :



Merek adalah tanda yang berupa Gambar, Nama, Kata, Huruf-Huruf, Angka-Angka, Susunan Warna atau Kombinasi unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda
dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.



Merek Dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk

membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.



Merek Jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.



Merek Kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan
hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan atau jasa sejenis lainnya.

PENTINGNYA PERLINDUNGAN DAN FUNGSI MEREK
Perlindungan hukum terhadap merek dagang sejak prinsipnya lahir sejak dilakukannya pendaftaran dan diterbitkannya sertipikat
merek oleh Kantor Merek. Sejatinya perlindungan atas merek dagang bertujuan untuk melindungi kepentingan empat kelompok,
yaitu :

1.

Kepentingan Pemilik Merek, agar tidak diganggu gugat dalam hubungannya dengan konsumen sehingga dapat menjadi langganan tetap pada masa datang (repeat

konsumen) ;

2.

Kepentingan Produsen atau Para Pedagang yang bersaing, sehingga bebas memasarkan barang-barangnya dengan memakai tanda-tanda umum yang dapat dipakai
oleh siapa saja dalam perdagangan dan persaingan yang jujur dan sah;

3.

Kepentingan Konsumen, sehingga dapat terlindungi dari praktik-praktik menipu yang menyesatkan atau membingungkan konsumen ;

4.

Kepentingan Umum, untuk memajukan perdagangan yang jujur di pasar-pasar, dan menghindari pratik tidak jujur yang bertentangan dengan norma dan kepatutan.

Dari uraian diatas, maka disimpulkan bahwa perlindungan merek pada dasarnya merupakan bagian dari perlindungan hukum
terhadap persaingan curang yang merupakan perbuatan melanggar hukum perdagangan, seperti pemalsuan (peniruan).
Sistem pendaftaran atas merek dagang pada tiap-tiap negara berbeda-beda, namun secara pokok terbagi atas dua sistem
yaitu Sistem Konstitutif dan Sistem Deklaratif, Sistem Konstitutif adalah sistem pendaftaran merek yang memberikan hak atas merek
oleh karena dilakukannya pendaftaran, sedangkan Sistem Deklaratif adalah sistem pendaftaran merek yang emberikan hak atas

merek dagang diperoleh karena pemakaian pertama. Di Indonesia saat ini sistem pendaftaran Merek yang diterapkan adalah Sistem
Konstitutif sebagai diamanahkan oleh UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek, dengan demikian fungsi dari Merek Dagang yang
meliputi fungsi tanda pembeda (distinctitive function), fungsi jaminan mutu (quality pruduct function), dan fungsi daya tarik dan
promosi (promotion and impression function) dapat terlaksana dengan sebagamana mestinya, oleh karena adanya suatu kepastian
dengan adanya pendaftaran di Kantor Merek.
Berdasarkan ketentuan pasal 1 butir 1 UU No. 15 Tahun 2001, menyatakan bahwa merek merupakan :

1.

Kumpulan Kata-Kata, yang meliputi :



kata ciptaan (kata-kata yang belum pernah dipakai sebelumnya), contoh : Just Do It. Kereta Api, I’m lovin it ;



kata rangkaian (suatu kata yang merupakan rangkaian dari dua kata atau lebih yang dalam pemakaiannya sebagai merek), contoh : Bridgestone, Philips, Xerox ;




kata umum (kata-kata yang biasa yang dapat ditemukan dalam kamus bahasa yang mengandung arti tertentu, tetapi dalam penggunaannya sebagai merek harus tidak
mempunyai hubungan dengan barang-barang yang ditandai dengan merek tersebut), contoh : Bangau, Dua Kelinci, Silverqueen ;



kata kiasan (kata-kata yang dalam penggunaannya sebagai merek, dengan secara terselubung dan berkias mempunyai hubungan dengan barang-barangnya, namun
tidak secara langsung menimbulkan kesa), contoh : Dunkins Donut, Aqua, RCTI, Federal Motor.

1.

Kumpulan Huruf, yang dalam hal ini huruf-huruf yang dipakai sebagai merek dapat bermacam-macam, seperti : BCA, IBM, BRI, dan lain sebagainya. Dimana
penggunaannya dapat berupa inisial atau singkatan baik dengan atau tanpa titik pemisah, dengan gambar atau desain tertentu, ditulis secara khusus atau dalam bentuk
monogram.

2.

Kumpulan Angka, yang dalam hal ini terjadi penggabungan angka-angka, namun merek yang seperti sangat lemah dalam hal daya pembedanya, apalagi yang hanya
terdiri dari satu angka atau dua angka yang digabungkan, contoh : 555, 234, dll ;


3.

Gambar, dalam hal ini merek yang berbentuk gambar lebih bernilai dari pada bentuk merek lainnya, yang dapat meliputi : tanda tangan, potret, gambar, lukisan,
insignia, emblem dan monogram. Dengan demikian maka pemahaman konsumen terhadap merek dalam bentuk demikian melalui indra penglihatan, contoh : Potret
Diri Ny. Suharti, Potret diri Ny. Meneer, dll ;

4.

Nama-nama Orang dan Lain-lain, dalam hal ini yang dapat dijadikan merek adalah nama keluarga, nama kecil, nama samaran, singkatan, atau bagian yang penting
dari nama perusahaan, contoh : Rudy Hadisuwarno, Pierre Cardin, Sophie Martin, dll ;

5.

Susunan Warna, penggunaan warna merupakan ciri khas dari merek, sehingga dengan demikian dengan warna saja tidak dapat dikategorikan sebagai merek dagang
suatu barang atau jasa, sehingga dalam penggunaannya dapat dilakukan dengan memadukan antara warna dengan suatu tanda atau gambar sebagai suatu merek ;

6.

Kombinasi Berbagai Unsur, yang dimaksud dengan kombinasi berbagai unsur adalah dapat berupa penggabungan dari kata-kata, gambar, susunan warna dan lain
sebagainya.


PROSEDUR HUKUM PENDAFTARAN MEREK
Pendaftaran merek harus mengacu kepada UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, dimana mewajibkan terhadap merek yang
didaftarkan harus memiliki daya pembedayang cukup (distinctiveness), oleh karena unsur daya pembeda adalah penilaian yang
pertama dan utama, selanjutnya dalam pendaftaran merek di Direktorat Jenderal HKI harus melalui tahapan atau prosedur sebagai
berikut :

Permohonan Tertulis Ke Direktorat Jenderal HKI
(vide pasal 7 – 12 UU Merek)

1.

Adanya permohonan tertulis (dalam bahasa Indonesia) dari Pemohon atau Kuasanya (konsultan HKI yang dibuktikan dengan surat kuasa / surat kuasa harus
dilampirkan bersama dengan permohonan, domisili pemohon bersifat tetap pada domisili / kantor kuasanya), permohonan ditujukan kepada Direktorat Jenderal HKI,
yang dalam surat permohonan tersebut harus tercantum :



Tanggal, bulan dan tahun ;



Nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat pemohon ;



Nama lengkap dan alamat kuasa (jika melalui kuasa) ;



Warna apabila merek yang di daftarkan menggunakan unsur warna ;



Nama negara dan tanggal permintaan merek yang pertama kali (jika dengan Hak Prioritas, yang berarti hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang berasal dari
negara yang tergabung dalam Paris Convention atau World Trade Organization, pasal 1 butir 14 Jo. pasal 11- 12 UU Merek)

2.

Permohonan di tanda tangani oleh pemohon atau kuasanya ;

3.

Pemohon dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum, jika pemohon terdiri dari beberapa orang, maka seluruh nama
pemohon dicantumkan dan dipilih salah satu alamat sebagai alamat mereka, kemudian hanya di tanda tangani oleh salah satu dari mereka dengan melampirkan
persetujuan tertulis dari pemohon yang diwakilkan atau dapat pula hanya ditanda tangani oleh kuasanya ;

4.

Permohonan dilampiri dengan bukti pembayaran biaya ;

5.

Permohonan untuk barang atau jasa yang lebih dari dua kelas dapat diajukan dalam satu permohonan, dengan jenis barang / jasa yang dimohonkan pendaftarannya ;

Pemeriksaan Kelengkapan Persyaratan Pendaftaran Merek oleh Dirjen HKI
(vide pasal 13 – 14 UU Merek)

1.

Dilakukan oleh pemeriksa merek (trademark examiner) yang diangkat dengan Keputusan Menteri, pemeriksaan formil dilakukan mengacu terhadap ketentuan pasal 7 –
12 UU Merek) ;

2.

Jika terdapat kekurangan kelengkapan, maka diberi waktu 2 (dua) bulan untuk melengkapi, yang diperhitungkan sejak tanggal pengiriman surat permintaan pemenuhan
kelangkapan persyaratan ;

3.

Jika kekuarangan tentang bukti hak prioritas maka waktu pemenuhan adalah 3 (tiga) bulan sejak berakhirnya jangka waktu pengajuan permohonan dengan
menggunakan Hak Prioritas (priority rights, terkait pasal 12 UU Merek) ;

4.

Jika dalam jangka waktu 2 (dua) bulan yang diberikan tidak dapat memenuhi kelengkapan, maka Dirjen HKI akan memberitahukan secara tertulis bahwa permohonan
dianggap ditarik oleh pemohon atau kuasanya ;

5.

Jika dianggap ditarik, maka biaya yang telah dibayarkan Pemohon, tidak dapat ditarik kembali.

Waktu Penerimaan Permohonan Pendaftaran Merek
(vide pasal 15 UU Merek)
Jika seluruh persyaratan administratif formil yang dimaksud pasal 7 – 12 terpenuhi, maka permohonan diberi tanggal penerimaan
(filling date) dan dicatat oleh Dirjen HKI (dalam hal mana dapat terjadi keadaan bahwa tanggal surat permohonan dan tanggal
penerimaan adalah sama dan dapat pula berbeda, tergantung pada terpenuhinya syarat kelengkapan administratif yang dimaksud
pasal 7-12 UU Merek)

Perubahan dan Penarikan Permohonan Pendaftaran Merek
(vide pasal 16-17 UU Merek)

1.

Perubahan hanya diperkenankan pada pergantian nama dan atau alamat Pemohon / Kuasanya ;

2.

Hanya dapat dilakukan sepanjang belum mendapatkan keputusan Dirjen HKI ;

3.

Jika penarikan dilakukan oleh kuasanya, maka diperlukan surat kuasa khusus untuk penarikan ;

4.

Biaya yang sudah dibayarkan tidak dapat ditarik kembali.

Pemeriksaan Substantif (Subtantif Examination)
(vide Pasal 18 – 20 Jo. Pasal 4 – 6 UU Merek)

1.

Dilakukan paling lama 30 hari sejak tanggal penerimaan ;

2.

Dilakukan oleh karena merek adalah untuk mengetahui merek yang dimohonkan pendaftarannya dapat didaftarkan atau tidak, dengan alasan :



Pemohon adalah pemohon yang tidak beritikad baik ;



Merek yang didaftakan mengandung unsur bertentangan dengan peraturan perUUan, moralitas, agama, kesusilaan dan ketertiban umum, tidak memiliki daya
pembeda, telah menjadi milik umum, merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.

3.

Jika pemeriksaan substantif tidak lolos, maka permohonan harus ditolak oleh Dirjen HKI, dengan alasan :



Memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar untuk barang dan atau jasa sejenis (dapat juga terhadap
barang atau jasa yang tidak sejenis berdasarkan Peraturan Pemerintah) ;



Memiliki persamaan pada pokok atau keseluruhannya dengan merek terkenal ;



Memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah dikenal.



Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto atau badan hukum milik orang lain, kecuali sudah mendapatkan persetujuan tertulis;



Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera atau lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional,
kecuali ada persetujuan tertulis ;



Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap / stempel resmi dari suatu negara atau lembaga pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis.

4.

Jika pemeriksaan substantif lolos, dan disetujui untuk didaftarkan, maka persetujuan Direktur Jenderal diumumkan dalam Berita Resmi Merek.

Pengumuman Permohonan & Keberatan Merek
(vide pasal 21-27 UU Merek)

1.

Pelaksanaan harus dilakukan paling lama 10 hari sejak tanggal disetujui di daftarkan ;

2.

Lamanya pengumuman adalah 3 (tiga) bulan (secara berkala) ;

3.

Tanggal dimulainya pengumuman wajib dicatatkan dalam berita resmi merek.

4.

Pengumuman dalam rangka memenuhi asas publisitas, sehingga jika terdapat sanggahan (keberatan) maka harus diajukan secara tertulis dengan membayarkan biaya
secara resmi ;

5.

Sanggahan (keberatan) harus beralasan hukum yang diperkuat dengan bukti bahwa merek yang didaftarkan harus ditolak atau tidak diterima pendaftarannya ;

6.

Jika ada keberatan dalam kurun waktu 14 Dirjen HKI harus memberitahukan kepada Pemohon atau Kuasa merek yang didaftarkan, dengan mengirimkan salinan surat
keberatan tersebut ;

7.

Pemohon atau Kuasanya dapat mengajukan bantahan terhadap keberatan kepada Dirjen HKI, dalam kurun waktu 2 (dua) bulan sejak penerimaan salinan keberatan;

8.

Dirjen HKI wajib melakukan pemeriksaan kembali (re-examination) dalam kurun waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak berakhirnya masa pengumuman, terkait dengan
adanya keberatan yang diajukan kepadanya, dan keberatan tersebut menjadi pertimbangan dalam melakukan pemeriksaan kembali;

9.

Dirjen HKI memberitahukan kepada pihak yang mengajukan keberatan hasil pemeriksaan kembali, jika keberatan diterima maka Dirjen HKI memberitahukan kepada
Pemohon atau Kuasanya bahwa merek yang dimohonkan pendaftarannya ditolak (tidak dapat didaftarkan), dengan demikian maka Pemohon atau Kuasanya dapat
mengajukan Banding (vide pasal 29 – 34 UU Merek) ;

10.

Jika berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pemeriksa, dinyatakan keberatan tidak diterima, maka atas persetujuan Direktur Jenderal, permohonan disetujui
untuk didaftar dalam Daftar Umum Merek.

11.

Jika tidak ada keberatan / sanggahan, maka Direktoran Jenderal HKI menerbitkan dan memberikan Sertipikat Merek kepada Pemohon atau kuasanya selambatlambatnya 30 hari terhitung sejak berakhirnya masa pengumuman ;

12.

Dalam hal keberatan tidak diterima, maka Direktorat Jenderal HKI menerbitkan dan memberikan Sertipikat Merek selambat-lambatnya 30 hari sejak persetujuan untuk
di daftarkan dalam Daftar Umum Merek ;

13.

Sertipikat Merek dapat diterbitkan petikannya dengan mengajukan permohonan dan membayar biaya. Sertikipat Merek wajib memuat :



Nama dan alamat lengkap pemilik merek ;



Nama dan alamat lengkap kuasanya (jika permohonan melalui kuasanya) ;



Tanggal pengajuan dan penerimaan ;



Nama negara dan tanggal permohonan pertama kali (hak prioritas) ;



Etiket merek yang di daftarkan, termasuk warna, bahasa asing, huruf selain huruf latin atau angka yang tidak lazim dalam bahasa Indonesia berikut terjemahannya,
huruf latin dan angka yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia serta cara pengucapannya dalam ejaan latin) ;



Nomor dan tanggal pendaftaran ;



Kelas dan jenis barang dan atau jasa yang mereknya didaftarkan ;



Jangka waktu berlakunya merek.

PERSAMAAN POKOKNYA DAN KESELURUHANNYA ANTAR MEREK SEBAGAI ALASAN PENOLAKAN PENDAFTARAN MEREK
Jika terdapat persamaan pada pokoknya dengan merek lainnya yang telah terdaftar, maka permohonan merek yang diajukan akan
ditolak oleh Direktorat Jenderal HKI, dalam hal mana persamaan pada pokoknya tersebut dapat diketahui dari hasil substantive
examination yang dilakukan trademark examiner pada Direktorat Jenderal HKI. Persamaan pada pokoknya tersebut tidak harus pada
keseluruhannya namun untuk sebahagian saja telah dapat dinyatakan terdapat kesamaan pada pokoknya.
Persamaan pada pokoknya tersebut, menurut penjelasan pasal 6 huruf a UU Merek adalah terdapatnya kemiripan yang disebabkan
oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara Merek yang satu dengan Merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya
persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi
ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.

PERLINDUNGAN HUKUM MEREK TERDAFTAR
Berdasarkan ketentuan pasal 28 Jo pasal 35 UU Merek memberikan perlindungan terhadap Merek sebagai hak eksklusif yaitu untuk
kurun waktu selama 10 (sepuluh) tahun, yang diperhitungkan sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu tersebut dapat
diperpanjang dengan diajukannya permohonan oleh pemilik merek kepada Direktorat Jenderal HKI. Permohonan tersebut wajib
diajukan 12 (dua belas) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan terhadap merek yang telah terdaftar. Perpanjangan
jangka waktu perlindungan tersebut akan diberikan oleh Direktorat Jenderal HKI untuk jangka waktu yang sama yaitu 10 (sepuluh)
tahun lamanya.
Permohonan perpanjangan akan disetujui dengan syarat terpenuhinya kriteria yang diatur di dalam pasal 35 dan pasal 36 UU Merek,
yaitu bahwa merek tersebut masih digunakan pada barang dan atau jasa sebagaimana yang disebut di dalam Sertipikat Merek,
kemudian barang dan aatau jasa tersebut juga masih di produksi dan diperdagangkan, dengan disetujuinya perpanjangan maka
Direktorat Jenderal HKI berkewajiban untuk memberitahukannya secara tertulis kepada Pemilik Merek atau Kuasanya, Selanjutnya
jika dapat disetujui perpanjangnya, maka perpanjangan perlindungan merek tersebut wajib dicatatkan Dalam Daftar Umum Merek
dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek (vide pasal 38 UU Merek). Sebaliknya permohonan perpanjangan tidak akan disetujui
apabila, tidak memenuhi syarat yang ditetapkan dalam pasal 35 dan pasal 36 UU Merek, dan atau diketahui ternyata merek dimaksud
memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal milik pihak lain, dengan demikian terhadap hal ini
Direktorat Jenderal HKI akan memberitahukannya kepada pemilik Merek atau kuasanya dengan menyebutkan alasan penolakan
perpanjangan tersebut, hal mana sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 UU Merek.

PENGALIHAN YANG SAH ATAS MEREK TERDAFTAR
Hak atas merek terdaftar dapat dialihkan oleh pemiliknya, namun proses pengalihan tersebut harus dilakukan secara sah dan
berdasarkan hukum, yang mana bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi pemilik yang mengalihkan dan pihak yang
menerima pengalihan hak atas merek, cara pengalihan yang aman adalah :kewarisan, wasiat, hibah, perjanjian, dan cara lainnya yang
diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan (contoh : Lisensi). Terhadap peralihan hak atas merek terdaftar, wajib dimohonkan
kepada di Direktorat Jenderal HKI untuk dicatatkan dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan di Berita Resmi Merek, sehingga
dikemudian hari, peralihan tersebut tidak menjadi polemik dan merugikan pihak-pihak yang berkepentingan. Jika peralihan hak atas
merek terdaftar tidak dicatatkan maka tidak akan berakibat hukum kepada pihak ketiga (vide pasal 40-49 UU Merek).

PERLINDUNGAN HUKUM MEREK TERKENAL (WELLKNOWN TRADEMARKS)
Merek terkenal adalah merek yang sudah diketahui oleh khalayak ramai, baik di dalam maupun di luar negeri atau merek tersebut
sudah terdaftar di beberapa negara dan jika di survei maka telah dikenali oleh konsumen. Dalam UU No. 15 Tahun 2001 tentang
Merek, Pengaturan Khusus tentang merek terkenal (wellknown trademark) memang tidak dibuatkan secara tegas, namun tetap

diberikan perlindungan dari perbuatan curang yang bertujuan untuk mencegah terjadinya pemalsuan atau peniruan, yang dapat
merugikan pemilik merek dan konsumen.
Pasal 6 huruf b UU Merek menggariskan bahwa apabila terdapat persamaan pada pokoknya ataupun keseluruhannya terhadap
merek terkenal (wellknown trademark), maka permohonan pendaftaran merek yang dimohonkan pendaftarannya, akan ditolak oleh
Direktorat Jenderal HKI, dimana persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya tersebut akan diketahui melalui substantive
examination yang dilakukan oleh trademark examiner pada Dirjen HKI. Dapat kita lihat juga pada penjelasan pasal 6 huruf b UU Merek,
yang menguraikan bahwa penentuan tentang persamaan pada pokoknya dan keseluruhannya dengan merek terkenal digunakan
denganindikator pengetahuan umum masyarakat dan reputasi dari merek terkenal tersebut baik yang diperoleh dengan promosi besarbesaran, investasi di beberapa negara yang dilakukan pemiliknya, dan terdapatnya bukti pendaftaran merek terkenal tersebut
dibeberapa negara. Jika hal tersebut tidak cukup, maka Pengadilan Niaga dapat memerintahkan suatu lembaga untuk melakukan
survei terhadap keberadaan merek terkenal tersebut, sehingga terdapatnya suatu kepastian tentang alasan penolakan permohonan
pendaftaran merek.

PENGHAPUSAN & PEMBATALAN PENDAFTARAN MEREK
Terhadap suatu merek yang sudah terdaftar memberikan keharusan kepada pemiliknya untuk mempergunakan merek tersebut
dalam perdagangan secara terus menerus sampai jangka waktu yang diberikan berakhir, minimal dipergunakan dalam perdagangan
selama 3 (tiga) tahun secara berturut-turut sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir, kecuali terdapatnya suatu alasan yang
dapat diterima oleh Direktorat Jenderal HKI untuk itu, selain itu terhadap merek yang telah di daftarkan harus dipergunakan pada
barang yang dimohonkan pendaftaran mereknya, kedua hal tersebut merupakan sekelumit alasan dapat dihapuskannya dan
dibatalkannya pendaftaran merek oleh Direktorat Jenderal HKI selain atas permohonan dari pemilik merek, penghapusan dan
pembatalan oleh Direktorat Jenderal HKI tersebut, dilakukan dengan mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek
dan mengumumkannya dari Berita Resmi Merek. Dalam UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Prosedur penghapusan dan
pembatalan pendaftaran merek diatur di dalam pasal 61 – pasal 72. Namun penghapusan maupun pembatalan merek tersebut tidak
dapat dilakukan tanpa alasan dan meknisme yang jelas oleh Direktorat Jenderal HKI, alasan dan mekanisme tersebut adalah sebagai
berikut:

1.

Penghapusan Pendaftaran Merek



Dilakukan atas permohonan pemilik merek, yang dilakukan dengan cara :

1.

Dimohonkan ke Dirjen HKI oleh pemilik merek atau kuasanya ;

2.

Jika terikat dalam perjanjian lisensi, maka harus dengan persetujuan tertulis penerima lisensi, kecuali dalam perjanjian lisensi persetujuan tersebut telah dikecualikan ;



Dilakukan atas prakarsa Dirjen HKI, apabila:

1.

Merek tidak dipergunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan, sejak pendaftaran atau pemakaian terahir, kecuali ada alasan yang dapat diterima
Dirjen HKI, seperti larangan import, larangan izin peredaran barang atau jasa, larangan lainnya yang ditetapkan pemerintah;

2.

Merek digunakan pada barang atau jasa yang tidak sesuai dengan jenis barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya ;



Penghapusan oleh Dirjen HKI dilakukan dengan cara mencoret merek yang bersangkutan dari daftar umum merek, dengan memberikan alasannya, serta wajib
diberitahukan kepada pemilik merek atau kuasanya ;



Penghapusan dicatatkan dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek ;



Khusus merek kolektif Penghapusan dapat diajukan oleh pihak ketiga melalui gugatan kepada Pengadilan Niaga ;



Penghapusan merek berakibat berakhirnya perlindungan hukum terhadap merek tersebut.

2.

Pembatalan Pendaftaran Merek



Dilakukan dengan cara mengajukan gugatan pembatalan di Pengadilan Niaga, dengan alasan tidak memenuhi syarat formil vide pasal 4 – 6 UU Merek) ;



Jika Penggugat atau Tergugat berada di luar wilayah NKRI, maka gugatan diajukan di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ;



Gugatan diajukan oleh pihak yang berkepentingan, seperti : Jakasa, yayasan / lembaga di bidang konsumne dan majelis / lembaga keagamaan ;



Diajukan dengan masa daluarsa 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran merek, kecuali terhadap merek yang bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan atau
ketertiban umum ;



Upaya hukum dalam gugatan pembatalan merek adalah Kasasi ;



Dirjen HKI melasanakan pembatalan pendaftaran merek setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (res judicata) dan putusannya telah
diterima;



Pembatalan dilakukan Dirjen HKI dengan mencoret merek yang bersangkutan dari daftar umum merek dengan memberikan alasannya dan setelahnya diumumkan
dalam Berita Resmi Merek.

PENEGAKKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN (TINDAK PIDANA) PEMALSUAN MEREK DI INDONESIA
Dalam article 61 TRIPs Agreement telah menetapkan prosedur pidana (criminal procedur) guna diterapkan pada tindakan pelanggaran
subtansial peraturan HKI yang mewajibkan bagi negara-negara anggota untuk menyediakan prosedur pidana dan hukuman yang
diberlakukan setidak-tidaknya untuk kasus pemalsuan merek atau pembajakan hak cipta yang dilakukan dalam melaksanakan
kepentingan komersial oleh pemalsunya / pembajaknya, disamping itu juga mewajibkan para negara anggota untuk menyediakan
perangkat pidana dalam kasus hak kekayaan intelektual lainnya yang dilakukan dengan sengaja untuk keperluan komersialisasi.
Berpijak dari pada itu, maka UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek juga telah menyediakan perangkat ketentuan hukum pidana yang
berfungsi untuk melindungi pemilik merek dan konsumen dari perbuatan curang para pemalsu / peniru yang memiliki tujuan negatif
yaitu mengambil keuntungan diatas kerugian pemilik merek dan konsumen tersebut dengan cara memalsukan / menurut dan
diperdagangkan di pasaran. Ganjaran hukuman yang akan dikenakan kepada para pemalsu tersebut dapat berupa sanksi pidana
penjara, pidana kurungan dan denda, sebagaimana dimaksud dalam pasal 90 – 94 UU Merek, sebagaimana diuraikan dibawah ini :

1.

Pasal 90, mengatur : barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk
barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) ;

2.

Pasal 91, mengatur : barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang
dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) ;

3.

Pasal 92 ayat (1), mengatur : barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhannya dengan indikasi geografis milik pihak
lain untuk barang ang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) ;

4.

Pasal 92 ayat (2), mengatur : barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain
untuk barang ang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) ;

5.

Pasal 93, mengatur : barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunkan tanda yang dilindungi indikasi asal untuk barang dan/atau jasa, yang mengecoh atau
menyesatkan masyarakat mengenai asal suatu barang atau jasa, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) ;

6.

Pasal 94, mengatur : barang siapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil
pelanggaran sebagaimana dimaksud pasal 90, pasal 91, pasal 92, pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahunatau denda paling banyak
Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Tindak pidana dalam pasal 94 ini adalah Pelanggaran.

Tindak pidana Pemalsuan Merek sebagaimana diatur di dalam pasal 90 – pasal 94 UU Merek merupakan Delik Aduan (klacht delict)
bukan delik biasa, hal mana juga telah dinyatakan tegas dalam pasal 95 UU Merek, sehingga terhadap perkara pidana pemalsuan
merek maka harus dilaporkan secara langsung oleh pihak yang merasa dirugikan atau pemilik merek atau kuasanya. Sementara
hukum acara pidana yang dipergunakan adalah sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, sehingga penyidik yang menangani perkara tindak pidana pemalsuan merek adalah Penyidik
Kepolisian dan Penyidik PNS di Direktorat Jenderal HKI. UU Merek adalah peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus yang
secara hakikatnya mengesampingkan peraturan yang bersifat umum, sebagaimana dimaksud dengan asas hukum lex specialis
derogat lex generalis, sehingga ketentuan pidana umum sebagaimana diatur didalam pasal 481 KUHP tentang penggunaan barang yang
diperoleh dari hasil kejahatan, tidak dapat diterapkan untuk menjerat para pelaku tindak pidana pemalsuan merek, namun untuk
mendudukkan peran para pelaku tindak pidana pemalsuan merek yang dalam istilah hukum dikenal dengan sebutan predicate
crime, KUHP dapat saja dipergunakan oleh aparat penegak hukum, dalam ruang lingkup sistem peradilan pidana (criminal justice
system), oleh karena pengaturan terhadap hal sedemikian tidak terdapat di dalam UU Merek sebagai lex specialisnya.