BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Waktu Vulkanisasi dan Pembebanan Pengisi Tepung Kulit Singkong Termodifikasi Penyerasi Alkanolamida pada Pembuatan Produk Film Lateks Karet Alam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LATEKS KARET ALAM Lateks karet alam diperoleh dari penyadapan dari kulit pohon genus Hevea.

  Dari semua tanaman yang dapat menghasilkan lateks karet alam, pohon genus

  Hevea merupakan sumber yang paling ekonomis. Tanaman Guayule (Pertbeniurn argentaturn ), gutta-percha dan balata juga merupakan sumber lateks karet alam

  lainnya, namun produksi lateks karet alam dari tanaman-tanaman tersebut tidak ekonomis. [12] Lateks kebun (lateks hasil penyadapan) mengandung senyawa-senyawa yang berhubungan dengan pertumbuhan tanaman seperti protein, karbohidrat, dan konstituen-konstituen lainnya baik organik maupun anorganik. Partikel hidrokarbon karet (komponen yang ada dalam produk karet) berkisar antara 25 % sampai 45 % dari keseluruhan. Senyawa-senyawa bukan karet hanya sebagian kecil dari keseluruhan. Ketika lateks mentah diultrasentrifugasi, lateks dapat dipisahkan menjadi 3 bagian utama yaitu: 1.

  Fasa atas yaitu fasa kaya akan partikel karet.

  2. Fasa tengah yaitu serum C dimana semua partikel lateks tersuspensi.

  3. Fasa bawah yaitu fasa yang kaya akan partikel bukan karet seperti lutoid dan mengandung serum B.

Gambar 2.1 menunjukkan bagian-bagian dari lateks setelah disentrifugasi.Gambar 2.1 Lapisan-Lapisan Lateks Setelah Diultrasentrifugasi [13]

  Protein menyusun 1% sampai 1,5% dari keseluruhan lateks dimana 27% dari protein ini terdapat pada fasa karet, 48% di serum C dan 25% di fasa bawah. Lateks karet alam biasanya diolah menjadi dua jenis bahan baku yaitu lateks pekat dan karet kering. Untuk menghasilkan lateks pekat, lateks kebun dipekatkan dengan cara sentrifugasi untuk menghilangkan bagian serum yang tidak diinginkan. Proses ini menghasilkan lateks pekat dengan kandungan karet (poliisoprena) sekitar 60% (v/v). Lateks diawetkan dengan amonia untuk menghambat pertumbuhan bakteri ketika dipanen dari pohon dan setelah proses sentrifugasi. Lateks pekat digunakan untuk menghasilkan produk-produk lateks karet alam.

  Karet kering diproduksi dengan cara yang berbeda. Lateks kebun digumpalkan, dihancurkan dan dicuci sebelum dikeringkan pada suhu di atas

  o

  100

  C. Karet kering yang dihasilkan dapat berbentuk balok ataupun lembaran dan digunakan untuk menghasilkan produk karet. [13]

2.2 VULKANISASI

  Vulkanisasi merupakan proses yang digunakan dalam bahan karet ataupun elastomer. Karet memiliki sifat kembali ke bentuk semula ketika gaya yang diberikan untuk mendeformasi dilepas. Vulkanisasi dapat didefinisikan sebagai proses untuk meningkatkan gaya retractile (gaya yang mengembalikan bentuk semula) dan menurunkan deformasi permanen setelah dilepasnya gaya. Dengan kata lain, vulkanisasi dapat dikatakan meningkatkan elastisitas dan menurunkan plastisitas. Sifat ini terjadi karena terjadinya jaringan molekular yang tersambung silang.

  Menurut teori elastisitas karet, gaya yang mengembalikan bentuk semula sebanding dengan jumlah jaringan yang menopang rantai polimer per satuan volume elastomer. Dengan meningkatnya jumlah jaringan atau ikatan sambung- silang, rantai-rantai yang menopang akan semakin banyak. Oleh karena itu vulkanisasi didefinisikan sebagai proses kimia yang menghasilkan jaringan pada polimer dengan menciptakan ikatan sambung silang di antara rantai-rantai polimer. Ikatan sambung silang dapat berupa atom belerang dalam bentuk rantai pendek, atom belerang tunggal, ikatan karbon-karbon, radikal organik polivalen, gumpalan ion ataupun ion logam polivalen.

  Gambaran umum bagaimana molekul-molekul karet tersambung silang melalui vulkanisasi ditunjukkan pada gambar berikut.

Gambar 2.2 Gambaran Umum Vulkanisasi Molekul Karet [14]

  Histeresis adalah perbandingan dari komponen viskos dengan komponen elastis yang menahan deformasi. Histeresis juga dapat dianggap sebagai ukuran energi deformasi yang tidak disimpan namun diubah menjadi panas. Histeresis menurun seiring dengan bertambahnya ikatan sambung silang.

  Sifat-sifat yang berhubungan dengan breaking energy akan meningkat seiring dengan bertambahnya ikatan sambung-silang dan histeresis. Oleh karena histeresis akan menurun ketika ikatan sambung-silang terus meningkat. Sifat-sifat yang berhubungan dengan breaking energy akan mengalami nilai maksimum di densitas sambung silang yang menengah. Pengaruh densitas sambung silang terhadap sifat-sifat dapat dilihat pada gambar berikut. [14]

Gambar 2.3 Sifat-Sifat Vulkanisat Terhadap Densitas Sambung Silang [14]

  Agen sambung silang yang pertama ditemukan dan paling penting adalah belerang. Belerang merupakan agen sambung silang yang murah dan banyak. Belerang akan menggandengkan rantai yang satu dengan rantai yang lain melalui ikatan ganda yang ada pada polimer. Proses sambung silang menggunakan belerang dapat diterangkan pada gambar berikut:

Gambar 2.4 (a) Ikatan Sambung Silang dengan Satu Molekul Belerang (b) Ikatan

  Sambung Silang dengan Rantai Belerang Pendek [12]

2.3 ALKANOLAMIDA

  Alkanolamida adalah turunan dari asam lemak yang terjadi dari reaksi amidasi antara asam lemak dengan etanolamina maupun dietanolamina. Walaupun demikian alkanolamida juga dapat dihasilkan dari amidasi dengan menggunakan trigliserida dan amina dengan katalis CH

  3 ONa. Alkanoalmida dari

  turunan asam lemak yang memilki gugus hidroksil digunakan sebagai bahan pembuatan shampo, pelunak pada pembuatan tekstil dan juga pencegahan korosif. Senyawa alkanolamida juga digunakan sebagai zat antara dalam pembuatan polimer. Misalnya, polimerisasi senyawa alkanolamida dengan metilen diisosianat (MDI) juga telah dikembangkan sebagai bahan poliol dalam pembuatan poliuretan foam rigid (busa kaku), dimana senyawa alkanolamida yang digunakan diperoleh dari hasil amidasi minyak inti kelapa dengan dietanolamina..

  Sintesis senyawa alkanolamida yang telah dilakukan adalah melalui reaksi antara asam lemak dengan etanolamina ataupun dietanolamina dengan asam lemak dimana dalam hal ini sering terjadi persaingan antara terbentuknya amida dan ester apabila kondisi reaksi tidak diatur dengan baik. [15] Berikut adalah reaksi pembentukan alkanolamida:

Gambar 2.5 Reaksi Pembentukan Alkanolamida dari RBDPS dan Dietanolamina

  [10]

2.4 SINGKONG

  Singkong atau ubi kayu (Manihot utilissima Pohl) merupakan salah satu sumber karbohidrat lokal Indonesia yang menduduki urutan ketiga terbesar setelah padi dan jagung. Tanaman tersebut merupakan bahan baku yang paling potensial untuk diolah menjadi tepung. Singkong segar mempunyai komposisi kimiawi terdiri atas kadar air sekitar 60%, pati 35%, serat kasar 2,5%, kadar protein 1%, kadar lemak 0,5% dan kadar abu 1%, dan merupakan sumber karbohidrat dan serat pakan, namun sedikit kandungan proteinnya. Singkong segar mengandung senyawa glikosida sianogenik dan bila terjadi proses oksidasi oleh enzim linamarase maka akan dihasilkan glukosa dan asam sianida (HCN) yang ditandai dengan bercak warna biru, akan menjadi toksik (racun) bila dikonsumsi pada kadar HCN lebih dari 50 ppm. [5]

  Berikut ini adalah gambar Singkong yang digunakan pada penelitian ini:

Gambar 2.6 Singkong (Manihot utilissima)

  Taksonomi dari tanaman singkong adalah sebagai berikut: Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiosperma Klas : Dicotiledoniae Ordo : Geraniales Famili : Eurphorbiaceae Subfamili : Eurphorbiaceae (Contonoideae) Tribe : Manihoteae Genus : Manihot Spesies : Manihot esculante Crantz atau Manihot utilisima

  Kulit singkong merupakan limbah hasil pengupasan pengolahan produk pangan berbahan dasar umbi singkong, jadi keberadaannya sangat dipengaruhi oleh eksistensi tanaman singkong yang ada di Indonesia. Kulit singkong terkandung dalam setiap umbi singkong dan keberadaannya mencapai 16% dari berat umbi singkong tersebut. Berikut adalah tabel komposisi dari berbagai bagian singkong berdasarkan bahan kering:

Tabel 2.1 Komposisi Dari Berbagai Bagian Singkong Berdasarkan Bahan Kering

  [6] Kandungan Nutrisi Daun (%) Batang (%) Umbi (%) Kulit Umbi (%) Protein Kasar 23,2 10,9 1,7 4,8 Serat Kasar 21,9 22,6 3,2 21,2 Ekstrak eter 4,8 9,7 0,8 1,22 Abu 7,8 8,9 2,2 4,2 Ekstrak tanpa N 42,2 47,9 92,1

  68 Ca 0,972 0,312 0,091 0,36 P 0,576 0,341 0,121 0,112 Mg 0,451 0,452 0,012 0,227 Energi metabolis 2590 2670 1560 2960

  Komposisi dari kulit singkong dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini:

Tabel 2.2 Komposisi Kulit Singkong [16]

  Kandungan Persentase

  Bahan kering 94,3

  Komposisi Proksimat (dalam % bahan kering) Protein kasar

  7,2 Abu

  14,2 Neutral detergent fiber 32,0 Acid detergent fiber 21,0 Acid detergent lignin 7,2 Hemiselulosa

  11,0 Selulosa

  13,8

2.5 PENELITIAN TERDAHULU

  Beberapa penelitian terdahulu tentang pembuatan karet alam dengan berbagai pengisi telah dilakukan, di antaranya:

  1. Rattanasom,dkk., telah melakukan penelitian tentang pengaruh penambahan Na-montmorillonite, silica dan carbon black ke dalam karet alam dan melakukan perbandingan kinerjanya. Hasil yang didapatkan bahwa ketiga pengisi mampu meningkatkan kekuatan tarik, namun efek yang berbeda terlihat pada sifat mekanik lain seperti hardness, modulus tarik dan kekuatan sobek. Pengisi Na-montmorillonite dengan pembebanan 6 phr mampu memberikan efek yang hampir sama dengan pengisi silica dengan pembebanan 35 phr dan carbon black dengan pembebanan 14 phr. [17] 2. Gonzalez, dkk., telah melakukan penelitian mengenai pengaruh polietilen glikol dalam pembuatan produk lateks karet alam berpengisi Na-

  

montmorillonite . Pada penelitiannya didapatkan hasil bahwa kekuatan

  tarik produk lateks karet alam berpengisi Na-montmorillonite yang dimodifikasi polietilen glikol lebih unggul daripada produk lateks karet alam berpengisi Na-montmorillonite tanpa modifikasi. [18] 3. Pasquini, dkk., mengamati efek penggunaan cellulose whisker yang didapatkan dari bagasse singkong yang telah diolah terlebih dahulu sebagai pengisi komposit karet alam. Pengolahan yang mereka lakukan adalah hidrolisis dari bagasse singkong dengan memvariasikan waktu hidrolisis. Hasil dari penelitian mereka menunjukkan bahwa cellulose

  

whisker mampu meningkatkan kekuatan tarik dari komposit dengan

  peningkatan optimum didapat pada waktu hidrolisis selama 40 menit. [19] 4. Abdelmouleh, dkk. menggunakan serat alami (selulosa) pengisi dan

  

coupling agent golongan silana dalam pembuatan komposit karet alam dan

low density polyethylene (LDPE) lalu membandingkannya. Hasil yang

  didapatkan bahwa coupling agent golongan silana mampu memodifikasi selulosa sehingga mampu meningkatkan sifat komposit karet alam dan LDPE. [20] 5. Visakh, dkk., mennjau efek cellulose whisker yang didapat dari limbah bambu pada sifat mekanik dan termal dari komposit karet alam. Hasil yang didapatkan dari penelitian mereka adalah cellulose whisker mampu meningkatkan kekuatan tarik serta modulus Young komposit sedangkan

  

elongation at break dari komposit menurun seiring dengan penambahan

cellulose whisker . [21]

2.6 PENGUJIAN

  2.6.1 Uji Kekuatan Tarik (Tensile Strength)

  Kekuatan tarik dari karet lebih sering diukur dibandingkan sifat-sifat yang lain kecuali kekerasan dan karet sering digunakan pada berbagai aplikasinya, contohnya sarung tangan dan kondom tergantung pada sifat kekuatan tariknya. Alasannya adalah bahwa kekuatan tarik merupakan ukuran kualitas senyawa tersebut dan ikut berperan penggunaan bahan pengisi berbiaya rendah. Senyawa- senyawa yang dipakai untuk industri umumnya memiliki kualitas yang tinggi, sehingga kekuatan tarik mengambil bagian penting pada spesifikasi senyawa- senyawa yang dipakai untuk industri.

  Kekuatan tarik karet juga memiliki ketertarikan sains tersendiri dan tipe ikat silang serta derajat ikat silang mempunyai pengaruh yang signifikan pada kekuatan tarik karet alam. Umumnya, kekuatan tarik akan mencapai maksimum seiring dengan meningkatnya derajat ikat silang. Nilai maksimum kekuatan tarik terjadi pada densitas ikat silang yang lebih tinggi. [22]

  Kekuatan tarik adalah salah satu sifat dasar dari bahan polimer yang terpenting dan sering digunakan untuk karakteristik suatu bahan polimer. Kekuatan tarik suatu bahan didefenisikan sebagai besarnya beban maksimum (F ) yang digunakan untuk memutuskan spesimennya bahan dibagi dengan luas

  maks

  penampang awal (A ) dapat ditunjukkan pada Persamaan 2.1. [23]

  F maks

    (2.1)

  A

  Dimana :

  2

  = kekuatan tarik (kgf/mm ) σ F maks = beban maximum (kgf)

  2 A = luas penampang awal (mm )

  2.6.2 Uji Densitas Sambung Silang (Crosslink Density)

  Pelarutan suatu polimer tidak sama dengan pelarutan senyawa yang mempunyai berat molekul rendah karena adanya dimensi-dimensi yang sangat berbeda antara pelarut dan molekul polimer. Pelarutan polimer terjadi dalam dua tahap. Mula-mula molekul pelarut berdifusi melewati matriks polimer untuk membentuk suatu massa menggembung dan tersolvasi yang disebut gel. Dalam tahap kedua, gel tersebut pecah (bercerai-berai) dan molekul-molekulnya terdispersi ke dalam larutan sejati. Pelarutan sering kali merupakan proses yang lambat. Sementara beberapa jenis polimer bisa larut dengan cepat dalam pelarut- pelarut tertentu, polimer yang lainnya bisa jadi membutuhkan periode pemanasan yang lama dekat titik lebur dari polimer tersebut. Polimer-polimer jaringan tidak dapat larut, tetapi biasanya membengkak (menggelembung / mengembang /

  ) dengan hadirnya pelarut. [24]

  swelling Swelling merupakan sifat non-mekanis, tetapi secara luas digunakan untuk

  mengkarakterisasi material elastomer. Swelling merupakan suatu perubahan bentuk yang tidak biasa karena perubahan volume merupakan suatu faktor yang tidak dapat diabaikan begitu saja, seperti halnya perubahan mekanik. Swelling merupakan pembesaran tiga dimensi dimana jaringan mengabsorpsi pelarut hingga mencapai derajat keseimbangan swelling. Pada titik ini, energi bebas berkurang diakibatkan pencampuran pelarut dengan rantai jaringan diseimbangkan oleh energi bebas yang meningkat seiring dengan meregangnya rantai. Pada prakteknya, polimer ditempatkan pada suatu wadah yang mengandung pelarut dimana polimer akan mengabsorpsi sampai peregangan rantai melebar, mencegah absorpsi yang lebih jauh lagi. [25]

  Uji swelling index dan kerapatan sambung silang (crosslink density) dilakukan sebagai berikut. Produk lateks karet alam dipotong sedemikian rupa hingga massanya mencapai 0,2 gram. Uji kerapatan sambung silang (crosslink

  

density ) dihitung dengan menggunakan persamaan Flory-Rehner seperti

  Persamaan 2.2 berikut [26]:

  

2

   ln( 1 

  V )  V   .

  V  1   r r r

  (

  2 M )  (2.2)

  C 1 /

  3 2 .  . V ( V ) NRL r

  Dimana :

  • 1

  (2M C ) = densitas sambung silang V dan

  χ = volume molar dan parameter interaksi dari pelarut

  • 3

  (untuk toluene, V = 108,5 mol.cm and χ = 0,39)

  NRL = densitas karet = 0,932 [27]

  ρ

  V r adalah fraksi volume karet dalam gel yang membengkak, dihitung dari Persamaan 2.3 [26]:

  W /  d d

  V  r

  (2.3)

   W /  W /  d d sol sol

  Dimana : W = massa awal karet

  d

  • 3 d = densitas karet (untuk karet vulkanisasi d = 0,9203 g.cm ) [26]

  ρ , ρ

  W sol = massa pelarut yang terserap dalam karet

  • 3

  = densitas pelarut (untuk toluena = 0,87 g.cm )

  sol sol

  ρ , ρ

2.6.3 Karakterisasi Fourier Transform Infra Red (FT-IR)

  Pada tahun 1965, Cooley dan Turky mendemonstrasikan teknik spektroskopi FT-IR. Pada dasarnya teknik ini sama dengan spektroskopi infra merah biasa, kecuali dilengkapi dengan cara perhitungan Fourier Transform dan pengolahan data untuk mendapatkan resolusi dan kepekaan yang lebih tinggi. Teknik ini dilakukan dengan penambahan peralatan interferometer yang telah lama ditemukan oleh Michelson pada akhir abad 19.

  Penggunaan spektrofotometer FT-IR untuk analisa banyak diajukan untuk identifikasi suatu senyawa. Hal ini disebabkan spektrum FT-IR suatu senyawa (misalnya organik) bersifat khas, artinya senyawa yang berbeda akan mempunyai spektrum berbeda pula. Vibrasi ikatan kimia pada suatu molekul menyebabkan

  • 1 pita serapan hampir seluruh di daerah spektrum IR 4000-450 cm .

  Formulasi bahan polimer dengan kandungan aditif bervariasi seperti pemlastis, pengisi, pemantap dan antioksidan memberikan kekhasan pada spektrum inframerahnya. Analisis infra merah memberikan informasi tentang kandungan aditif, panjang rantai, dan struktur rantai polimer. Di samping itu, analisis IR dapat digunakan untuk karakterisasi bahan polimer yang terdegradasi oksidatif dengan munculnya gugus karbonil dan pembentukan ikatan rangkap pada rantai polimer. [28]

2.6.4 Karakterisasi Scanning Electron Microscope (SEM)

  SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara mikroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada spesimen. Interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron, Sinar X, elektron sekunder dan absorbsi elektron.

  Teknik SEM pada hakikatnya merupakan pemeriksaan dan analisa permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari lapisan yang tebalnya sekitar 20 μm dari permukaan. Gambar permukaan yang diperoleh merupakan tofografi segala tonjolan, lekukan dan lubang pada permukaan.

  Gambar topografi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder yang dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan ditangkap oleh detektor dan diteruskan ke monitor. Pada monitor akan diperoleh gambar yang khas yang menggambarkan struktur permukaan spesimen. Selanjutnya gambar dimonitor dapat dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau dapat pula direkam ke dalam suatu disket.

  Sampel yang dianalisa dengan teknik ini harus mempunyai permukaan dengan konduktifitas tinggi, karena polimer mempunyai konduktifitas rendah, maka bahan perlu dilapisi dengan bahan konduktor (bahan penghantar) yang tipis. Yang biasa digunakan adalah perak, tetapi jika dianalisa dalam waktu yang lama, lebih baik digunakan emas atau campuran emas dan palladium [29].

2.7 ANALISA BIAYA

  Analisa biaya dilakukan untuk mengetahui apakah produk yang dihasilkan melalui penelitian ini bersifat ekonomis. Analisa biaya ini dilakukan berdasarkan formulasi pada Tabel 1.4.

  Bahan-bahan yang digunakan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bahan untuk pembuatan alkanolamida, bahan untuk pencelupan, dan bahan baku untuk vulkanisasi. Sedangkan alat yang digunakan terdiri dari wadah kaca, pelat seng, blender dan oven.

  Perincian harga alat-alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut:

Tabel 2.3 Harga Perincian Alat yang Digunakan

  Alat Jumlah Harga/satuan (Rp) Harga (Rp)

  Wadah kaca 6 20.000 120.000 Pelat Seng 20 8.000 160.000 Blender 1 125.000 125.000 Oven 1 1.200.000 1.200.000

  Total 1.605.000

  Bahan-bahan yang digunakan untuk mensintesis alkanolamida terdiri dari, RBDPS, katalis natrium metoksida (CH

  3 ONa), metanol, dietanolamina, dietil eter,

  NaCl, natrium sulfat, aquadest. Alkanolamida dibuat berdasarkan 50 gram RBDPS, sehingga semua bahan dihitung per 50 gram RBDPS. Berikut ini adalah tabel jumlah bahan baku yang digunakan untuk mensintesis alkanolamida:

Tabel 2.4 Keterangan Jumlah Bahan Baku untuk Sintesis Alkanolamida

  Bahan Berat (gram) Harga/satuan (Rp) Harga (Rp)

  RBDPS 50 9.000,00/kg 450,0 Natrium metoksida 5 2.000.000/kg 10.000,0 Metanol 20 172.000/l 3.440,0 Dietanolamina 25,6 1.549.000/l 39.654,4 Dietil eter 200 800.000/l 160.000,0 Natrium klorida 40 250.000/kg 10.000,0 Aquadest 100 10.000/l 1.000,0 Natrium sulfat 5 300.000/kg 1.500,0

  Total Rp 226.044,4

  Diasumsikan bahwa 50 gram RBDPS akan menghasilkan 50 gram alkanolamida juga maka harga 1 gram alkanolamida = Rp 226.044,4/50 gram = Rp 4520,8/gram ≈ Rp 5.000/gram

  Bahan baku untuk pencelupan terdiri dari, larutan kalium hidroksida (KOH), asam asetat (CH COOH), aquadest (H O) dan kalsium nitrat (Ca(NO ) ).

  3

  2

  3

  2 Semua larutan digunakan pada konsentrasi 10% (w/v) dan dilarutkan dalam aquadest dengan volume sebesar 500 ml. Berikut ini adalah tabel penggunaan

  untuk pembuatan larutan pencelup:

Tabel 2.5 Keterangan Bahan Baku Pencelupan

  Bahan Jumlah Harga/satuan (Rp) Harga (Rp)

  Kalium Hidroksida (KOH) 50 gram 262.000/kg 13.100 Asam Asetat (CH

  3 COOH) 50 ml 380.000/l 19.000

  Aquadest (H

  2 O) 2 liter 10.000/l 20.000

  Kalsium Nitrat (Ca(NO ) ) 50 gram 1.000.000/kg 50.000

  3

  2 Total 102.100

  Berikut ini adalah tabel menggambarkan seberapa banyak bahan baku yang digunakan untuk vulkanisasi satu kali formulasi dan digunakan formulasi dispersi pengisi 10% pada 10 phr:

Tabel 2.6 Bahan Untuk Pembuatan Produk Lateks Karet Alam

  Harga/satuan Harga (Rp) Bahan Berat (gram) (Rp)

  Lateks 60 % karet kering 166,7 30.000/kg 5.001,00 Larutan Sulfur 50 % 3 350.000/kg 1.050,00 Larutan ZDEC 50 % 3 350.000/kg 1.050,00 Larutan ZnO 30 % 0,83 350.000/kg 290,50 Larutan Antioksidan 50 % 2 350.000/kg 700,00 Larutan KOH 10 % 3 350.000/kg 1.050,00 Larutan Dispersi pengisi 10% 16,7

  1,67 2.000/kg - 3,34

  Tepung Kulit Singkong 14,863 10.000/kg 148,63

  • 0,167 5.000/g 835,00

  Aquadest

  • Total 195,23 10.128,47

  Alkanolamida

  Dari tabel diatas, didapatkan 195,23 gram campuran kompon untuk dijadikan produk. Apabila diasumsikan 20% tidak dapat digunakan karena faktor ketinggian cairan untuk metode pencelupan maka massa produk yang dapat dihasilkan berupa 195,23 x (1

  • – 0,2) = 156,184 gram Jika ditujukan ke produk sarung tangan, maka perlu dikonversikan massa produk yang dapat dihasilkan ke jumlah sarung tangan yang dapat dihasilkan. Massa rata-rata satu pasang sarung tangan adalah kira-kira 10 gram, maka jumlah sarung tangan yang dapat dibuat untuk adalah 156,184/10 ≈ 15 pasang.

  Total biaya yang digunakan untuk memproduksi produk sarung tangan adalah biaya bahan baku saja, mengingat bahwa larutan pencelup dapat digunakan untuk berkali-kali tanpa mengalami kerusakan. Sehingga biaya produksi satu pasang sarung tangan adalah Rp 10128,47/15 = Rp 675,231. Harga pasaran produk sarung tangan adalah Rp 37.000,00/kotak, dimana 1 kotak berisikan 50 pasang sarung tangan. Sehingga harga pasaran 1 pasang sarung tangan adalah

  37.000/50 = Rp 740. Ini menunjukkan bahwa biaya produksi produk sarung tangan ini di bawah harga pasaran produk sarung tangan, sehingga dapat disimpulkan bahwa produk yang dihasilkan ekonomis.

Dokumen yang terkait

Implementasi Algoritma Edge Detection Operator Sobel pada Proses Perbaikan Kualitas Citra Teks

0 0 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Implementasi Algoritma Edge Detection Operator Sobel pada Proses Perbaikan Kualitas Citra Teks

0 0 16

BAB II PROFIL PERUSAHAAN - Pelaksanaan Manajemen Perkantoran Pada Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara

0 0 25

BAB II PROFIL PERUSAHAAN A. Sejarah Singkat PT. Perkebunan Nusantara III (PERSERO) Medan - Peranan Seorang Sekretaris Perusahaan Dalam Meningkatkan Brand Image Pt. Perkebunan Nusantara III (Persero) Sei Batanghari Medan

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Peranan Seorang Sekretaris Perusahaan Dalam Meningkatkan Brand Image Pt. Perkebunan Nusantara III (Persero) Sei Batanghari Medan

2 43 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air - Analisis Cemaran Kromium dan Zinkum Pada Air Sungai Deli secara Spektrofotometri Visibel

0 0 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Obat - Uji Mutu Bahan Baku Thiamin Mononitrat Sebagai Bahan Baku Vit. B Kompleks Yang Diproduksi Oleh Pt. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan

0 0 14

Pengaruh Komposisi dan Ukuran Makro Serbuk Kulit Kerang Darah (Anadora Granosa) Terhadap Komposit Epoksi-PS/Serbuk Kulit Kerang Darah (SKKD)

0 0 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Komposisi dan Ukuran Makro Serbuk Kulit Kerang Darah (Anadora Granosa) Terhadap Komposit Epoksi-PS/Serbuk Kulit Kerang Darah (SKKD)

0 0 22

Pengaruh Komposisi dan Ukuran Makro Serbuk Kulit Kerang Darah (Anadora Granosa) Terhadap Komposit Epoksi-PS/Serbuk Kulit Kerang Darah (SKKD)

0 0 19