Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketersediaan Dan Konsumsi Makanan Berpati (Ubi Kayu Dan Ubi Jalar) Di Sumatera Utara

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA
PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Makanan Berpati
Pati, polisakharid yang ditemukan demikian melimpahnya dalam butiran padipadian dan akar-akaran serta umbi-umbian, adalah salah atu sumber energi yang
sangat penting dalam makanan manusia. Dilihat dari susunannya, pati tersebut
merupakan suatu campuran amilose (polisakharid yang berantai lurus) dan
amilopektin yang berantai cabang. Pati tidak larut dalam air dingin. Dalam pangan
mentah, pati tersebut terdapat dalam butiran yang kalau dipanaskan dalam air,
mengambang, pecah dan melepaskan pati. Selanjutnya pati tersebut membentuk
suatu bahan yang rekat dan mudah dicernakan. Pada hidrolisis, pertama-tama pati
menghasilkan dekstrin, lalu meltose dan akhirnya glukose. Kalau pati dimakan
dalam jumlah yang lebih banyak dari yang dibutuhkan untuk menyediakan energi
yang diperlukan, maka setelah dicernakan, bahan tersebut dirubah menjadi lemak
dan disimpan sebagai jaringan lemak (Suhardjo, 1986).
Pati ubi kayu adalah hasil ekstraksi pati dari ubi kayu. Pati ubi kayu sering disebut
tapioka, atau aci. Pengolahan pati ubi kayu merupakan suatu proses untuk
memisahkan granula-granula pati dari umbinya. Granula-granula pati ini terikat
didalam sel-sel bersama dengan bahan lain pembentuk protoplasma berupa

protein, karbohidrat terlarut, lemak, dan lain-lain, sehingga perlu dipisahkan pada
proses pemurnian, pemisahan air dan pengeringan, dan finishing (Richana, 2013).

8

Universitas Sumatera Utara

9

2.1.2. Ubi Kayu
Tanaman pangan berupa perdu ini punya nama lain yaitu ubi kayu, ketela pohon
atau dalam bahasa inggris: cassava. Singkong adalah jenis tanaman tahunan di
daerah tropis dan subtropis yang berasal dari Brazil, Amerika Selatan, yang
menyebar sampai ke Afrika, Madagaskar, India, Tiongkok dan Indonesia.
Singkong masuk ke Indonesia pada tahun 1852 (Nurani dkk, 2007).
Sebagai tanaman pangan, ubi kayu merupakan sumber karbohidrat bagi sekitar
500 juta manusia di dunia. Di Indonesia, tanaman ini menempati urutan pertama
sebagai sumber karbohidrat, ubi kayu merupakan penghasil kalori terbesar
dibandingkan dengan tanaman lain seperti ditunjukkan di tabel berikut:
Tabel 2.1. Nilai Kalori Sumber Karbohidrat

No.
Jenis Tanaman
Nilai Kalori (Ka/Ha/Hr)
1.
Ubi Kayu
250 x 103
2.
Jagung
200 x 103
3.
Beras
176 x 103
4.
Sorgum
114 x 103
5.
Gandum
110 x 103
Sumber: Prihandana dkk, 2008
Indonesia adalah penghasil ubi kayu urutan keempat terbesar di dunia setelah

Nigeria, Brasil, dan Thailand.Namun, pasar ubi kayu dunia dikuasai oleh Thailand
dan Vietnam (Prihandana dkk, 2008).
Secara umum singkong memiliki karakteristik kadar air (60,67%), berat jenis
(1,15 g/ml), kadar pati (35,93 %), rendemen pati (18,94%), kadar air pati (8,17%),
kadar amilosa (18,03 %), dan amilopektin (81,97 %) serta tingkat konversi pati
menjadi glukosa secara enzimatis (64,92 %). Pati merupakan polisakarida yang
berbentuk dari tanaman hijau melalui proses fotosintesis. Bentuk pati berupa
kristal granula yang tidak larut dalam air pada temperatur ruangan dan memiliki

Universitas Sumatera Utara

10

perbedaan bentuk dan ukuran granulka tergantung pada jenis tanamannya
(Salim, 2011).
Produksi ubi kayu tahun 2005 sebesar 19,5 juta ton dengan areal seluas
1,24 juta Ha. Produktivitasnya yang relatif rendah, meskipun dari tahun ke tahun
terdapat tendensi peningkatan. Produktivitas ubi kayu pada tahun 1995 sebesar
11,7 ton/ha, tahun 2005 sebesar 15,5 ton/ha, dan tahun 2006 sebesar 16,2 ton/ha.
Produktivitas ini relatif kecil dibandingkan dengan data dari pusat atau balai

penelitian yang melaporkan bahwa produktivitas ubi kayu dapat mencapai
30-40 ton/ha (Giriarso, 2011).
Singkong merupakan salah satu komoditas pertanian yang telah banyak diolah
menjadi berbagai produk jadi atau produk setengah jadi yang memiliki nilai
tambah lebih tinggi. Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya
karbohidrat, namun sangat miskin protein. Di Indonesia tanaman singkong
memiliki bermacam nama, antara lain singkong, ketela, ketela phoung, ubi kayu,
dan lain-lain (Salim, 2011).
Rentang produktivitas di tingkat petani adalah 14,3 – 18,8 ton/ha. Meskipun
dilahan kering pada tingkat 15-19 ton/ha, penanaman ubi kayu dilaporkan
memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan padi gogo dan palawija
lain.

Dari

Pusat

Penelitian

dan


Pengembangan

Tanaman

Pangan

merekomendasikan produktivitas sebesar 20 – 25 ton/ha agar menguntungkan,
yaitu dengan B/C rasio lebih dari 1,0 dengan harga ubi ditingkat petani
Rp.250-Rp.300/kg (Giriarso, 2011).

Universitas Sumatera Utara

11

Pati ubi kayu sering kali disebut juga sebagai pati tapioka. Tapioka tersusun atas
pati sekitar 85%, dengan sifat-sifat tidak larut dalam air dingin, dapat membentuk
gel dalam air panas, tidak berasa, tidak berwarna. Ukuran granulanya 5-35
mikron, bentuk granulanya bulat, permukaannya datar, salah satu sisinya
mengandung celah. Granula pati tidak terlarut dalam air dingin, sehingga apabila

granula pati dicampur dengan air dingin, maka akan terjadi penyerapan air
(hidrasi) dan sedikit penggelembungan bersifat balik (reversible) karena pati dapat
dikeringkan kembali tanpa perubahan strukturnya. Jumlah maksimum air yang
diserap adalah 30%. Pati ubi kayu mengandung pati resistan (pati yang tidak dapat
dicerna) tipe II sebanyak 74,94%, serta pati resistan tipe III sekitar 0,44%
(Gardjito, 2013).
2.1.3. Ubi Jalar
Ubi jalar (Ipomoea batatas) atau ketela rambat atau “sweet potato” diduga berasal
dari Benua Amerika. Para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal
tanaman ubi jalar adalah Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika bagian Tengah.
Nikolai Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet, memastikan daerah
sentrum primer asal tanaman ubi jalar adalah Amerika bagian tengah
(Gardjito, 2013).
Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat dan sumber kalori (energi) yang cukup
tinggi. Kandungan karbohidrat ubi jalar menduduki peringkat keempat setelah
padi, jagung, dan ubi kayu. Ubi jalar juga merupakan sumber vitamin dan mineral
sehingga cukup baik untuk memenuhi gizi dan kesehatan masyarakat. Vitamin
yang terkandung dalam ubi jalar adalah vitamin A (betakarotin), vitamin C,

Universitas Sumatera Utara


12

thiamin (vitamin B1), dan rebovlavin (vitamin B2). Sedangkan mineral yang
terkandung dalam ubi jalar adalah zat besi (Fe), fosfor (P), kalsium (Ca), dan
natrium (Na). Kandungan gizi lainnya yang terdapat dalam ubi jalar adalah
protein, lemak, serat kasar, kalori, dan abu (Juanda dan Cahyono, 2000).
Ubi jalar amat penting dalam tatanan penganekaragaman (diversifikasi) makanan
penduduk. Sebagai sumber pangan ubi jalar memberikan kontribusi istimewa, dari
umbi segarnya yang dipanen bisa langsung diolah untuk dikonsumsi dengan cara
dibakar, digoreng, direbus, dan/ataupun dikukus. Demikian pula dari pucuk
daunnya di ladang bisa dipetik untuk disayur dengan resep yang beragam. Dari
umbinya bagian yang dapat dimakan sebesar 86%, sedangkan baguan daunnya
yang bisa dimakan sebesar 73% (Gardjito, 2013).
Tabel 2.2. Ketersediaan Ubi Kayu dan Ubi Jalar di Sumatera Utara Tahun
2001-2015
Ketersediaan Ubi Kayu
Ketersediaan Ubi Jalar
Tahun
(Kg)

(Kg)
2001
507.519.000
118.183.000
2002
441.819.000
118.170.000
2003
411.995.000
135.660.000
2004
464.961.000
117.295.000
2005
509.796.000
115.728.000
2006
452.450.000
102.712.000
2007

438.573.000
117.641.000
2008
736.771.000
114.188.000
2009
1.007.284.000
140.140.000
2010
905.571.000
179.389.000
2011
1.091.711.000
191.103.000
2012
1.171.520.000
186.583.000
2013
1.518.221.000
116.671.000

2014
1.383.346.000
146.622.000
2015
1.619.495.000
122.362.000
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara, 2016
Pada tabel diatas dapat dilihat setiap tahunnya ketersediaan ubi kayu lebih besar
daripada ketersediaan ubi jalar. Adapun ketersediaan ubi kayu dan ubi jalar pada

Universitas Sumatera Utara

13

lima belas tahun terakhir di Sumatera Utara yaitu pada tahun 2001 ketersediaan
ubi kayu mencapai 507.519.000 kg dan mengalami penurunan sebanyak
65.700.000 kg pada tahun 2002. Pada tahun 2003 mengalami penurunan lagi
dengan hasil ketersediaan sebanyak 411.995.000 kg kemudian pada tahun 2004
mengalami kenaikan sebanyak 52.965.000 kg menjadi 464.961.000 kg dan pada
2005 ketersediaan ubi kayu mengalami kenaikan lagi sebesar 509.796.000 kg.

Pada tahun 2006 dan tahun 2007 berturut-turut mengalami penurunan
ketersediaan sebanyak 452.450.000 kg dan 438.573.000 kg, tetapi pada tahun
2008 dan 2009 ketersediaan ubi kayu mengalami kenaikan drastis dari angka
sebelumnya yaitu masing-masing 736.771.000 kg dan 1.007.284.000 kg. Pada
tahun 2010 ketersediaan ubi kayu kembali mengalami penurunan sebesar
905.571.000 kg dan pada tiga tahun berikutnya ketersediaan ubi kayu mengalami
kenaikan ketersediaan berturut-turut yaitu pada tahun 2011 sebesar 1.091.711.000
kg, pada tahun 2012 sebesar 1.171.520.000 kg dan pada tahun 2013 sebesar
1.518.221.000 kg. Pada tahun 2014 ketersediaan ubi kayu mengalami penurunan
kembali

sebanyak

134.875.000

kg

dengan

hasil

ketersediaan

sebesar

1.383.346.000 kg dan pada tahun 2015 ketersediaan ubi kayu mengalami
peningkatan kembali dan angka ini merupakan hasil ketersediaan paling tinggi
selama lima belas tahun terakhir yaitu sebesar 1.619.495.000 kg dan ketersediaan
paling rendah yaitu tahun 2003 sebesar 411.996.000 kg.
Sedangkan ketersediaan ubi jalar selama lima belas tahun terakhir yaitu tahun
2001 mencapai 118.183.000 kg dan pada tahun 2002 mengalami penurunan hanya
13 ton yaitu 118.170.000 kg. Pada tahun 2003 ketersediaan ubi jalar mengalami
peningkatan sebesar 135.660.000 kg. Pada tahun 2004, 2005 dan 2006 kembali

Universitas Sumatera Utara

14

mengalami penurunan ketersediaan selama tiga tahun berturut-turut sebesar
117.295.000 kg, 115.728.000 kg dan 102.712.000 kg. Sementara ketersediaan ubi
jalar pada tahun 2007 mengalami kenaikan sebesar 117.641.000 kg. Pada empat
tahun berikutnya yaitu 2008, 2009, 2010 dan 2011 ketersediaan ubi jalar
mengalami kenaikan berturut-turut sebesar 114.188.000 kg, 140.140.000 kg,
179.389.000 kg dan 191.103.000 kg. Setelah mengalami kenaikan dalam empat
tahun, ketersediaan ubi jalar kembali mengalami penurunan secara berturut-turut
pada tahun 2012 dan 2013 yaitu 186.583.000 kg dan 116.671.000 kg. Pada tahun
2014 ketersediaan ubi jalar mengalami kenaikan sebesar 146.622.000 kg dan
kembali mengalami penurunan sebesar 122.362.000 kg. Dengan demikian
ketersediaan ubi jalar tertinggi dalam lima belas tahun terakhir pada tahun 2011
sebesar 191.103.000 kg dan ketersediaan paling rendah pada tahun 2006 sebesar
102.712.000 kg.
Tabel 2.3. Konsumsi Ubi Kayu dan Ubi Jalar di Sumatera Utara Tahun
2001-2015
Konsumsi Ubi Kayu
Konsumsi Ubi Jalar
Tahun
(Kg/kap/tahun)
(Kg/kap/tahun)
2001
7,8
2,9
2002
15,9
3,4
2003
15,7
3,4
2004
15,8
3,4
2005
19,4
1,9
2006
19,4
1,9
2007
11
1,6
2008
8,6
1,3
2009
7,5
0,8
2010
17,6
1,3
2011
6,3
1,0
2012
12,5
1,7
2013
10,8
1,8
2014
9,6
9,2
2015
14,5
3,0
Sumber: Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara, 2016

Universitas Sumatera Utara

15

Konsumsi ubi kayu dan ubi jalar pada lima belas tahun terakhir di Sumatera Utara
yaitu 2001 konsumsi ubi kayu yaitu sebesar 7,8 kg/kap/tahun sementara pada
tahun 2002 konsumsi ubi 15,9 kg/kap/tahun. Pada tahun 2003 konsumsi ubi kayu
kembali turun yaitu besar 15,7 kg/kap/tahun dan naik kembali pada tahun 2004
sebesar 15,8 kg/kap/tahun. Pada tahun 2005 dan 2006 konsumsi ubi kayu
memiliki angka yang sama yaitu sebesar 19,4 kg/kap/tahun. Tahun 2007
mengalami penurunan konsumsi sebesar 11 kg/kap/tahun serta pada tahun 2008
dan 2009 mengalami penururnan berturut-turut sebesar 8,6 kg/kap/tahun dan 7,5
kg/kap/tahun. Sementara pada tahun 2010 konsumsi ubi kayu mengalami tingkat
konsumsi yang cukup meningkat yaitu sebesar 17,6 kg/kap/tahun dan kembali
mengalami penurunan yang sangat drastis pada tahun 2011 yaitu sebesar 6,3
kg/kap/tahun. Pada tahun 2012 konsumsi ubi kayu mengalami peningkatan yang
hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 12,5 kg/kap/tahun.
Sementara tahun 2013 dan 2014 konsumsi ubi kayu mengalami penurunan
berturut-turut sebesar 10,8 kg/kap/tahun dan 9,6 kg/kap/tahun. Pada tahun 2015
konsumsi ubi kayu mengalami peningkatan kembali yaitu sebesar 14,5
kg/kap/tahun. Dengan demikian tingkat konsumsi ubi kayu paling tinggi 2005 dan
2006 yaitu tahun sebesar 19,4 kg/kap/tahun dan tingkat konsumsi ubi kayu paling
rendah pada tahun 2011 yaitu sebesar 6,3 kg/kap/tahun.
Sedangkan konsumsi ubi jalar selama lima belas tahun terakhir yaitu di tahun
2001 sampai tahun 2004 mengalami peningkatan mencapai 2,9 kg/kap/tahun
menjadi 3,4 kg/kap/tahun. Sedangkan dari tahun 2005 sampai 2009 konsumsi ubi
jalar mengalami penurunan yaitu konsumsi ubi jalar sebesar 1,9 kg/kap/tahun
turun menjadi 0,8 kg/kap/tahun. Pada tahun 2010 konsumsi ubi jalar mengalami

Universitas Sumatera Utara

16

kenaikan yaitu sebesar 1,3 kg/kap/tahun dan mengalami penurunan konsumsi ubi
jalar pada tahun 2011 menjadi 1,0 kg/kap/tahun. Sementara itu pada tahun 2012
sampai tahun 2014 konsumsi ubi kayu mengalami kenaikan mencapai 1,7
kg/kap/tahun naik menjadi 9,2 kg/kap/tahun dan konsumsi ubi jalar mengalami
penurunan kembali pada tahun 2015 yaitu sebesar 3,0 kg/kap/tahun. Dengan
demikian konsumsi ubi jalar paling tinggi pada lima belas tahun terakhir yakni
pada tahun 2014 sebesar 9,2 kg/kap/tahun dan konsumsi ubi jalar paling rendah
pada tahun 2009 yaitu sebesar 0,8 kg/kap/tahun.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Ketersediaan Pangan
Ketersediaan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri atas subsistem
ketersediaan dan distribusi pangan serta subsistem konsumsi. Ketersediaan dan
distribusi menfasilitasi pasokan pangan yang stabil dan merata ke seluruh wilayah,
sedangkan subsistem konsumsi memungkinkan setiap rumah tangga memperoleh
pangan yang cukup dan memanfaatkannya secara bertanggung jawab untuk
memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggotanya. Dengan demikian, ketahanan
pangan adalah isu ditingkat wilayah hingga tingkat keluarga, dengan dua elemen
penting yaitu ketersediaan pangan dan akses setiap individu terhadap pangan yang
cukup (Dirhamsyah dkk, 2016).
Wicaksono (2009) dalam Lestari (2013) Menurut Thomas Robert Malthus
menyebutkan dalam teorinya bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur
sedangkan pertumbuhan ketersediaan pangan mengikuti deret hitung. Pada kasus
ini dimana terdapat permasalahan meledaknya jumlah penduduk dikota yang tidak

Universitas Sumatera Utara

17

diimbangi dengan ketersediaan pangan pun berkurang, hal ini merupakan
pertimbangan yang kurang menguntungkan. Jika kita kembali ke teori Malthus,
mengkehendaki produksi pangan harus lebih besar dibandingkan jumlah dan
pertumbuhan penduduk. Sehingga berdasarkan teori ini diperkirakan suatu saat
daerah di Indonesia tidak memiliki lahan pertanian lagi, sebab perkembangan
yang pesat terjadi pada pembukaan dan penggunaan lahan untuk kawasan
pemukiman penduduk. Namun ketersediaan lahan yang semakin terbatas telah
menimbulkan biaya yang tinggi bagi penduduk untuk mendapatkannya. Hal ini
berdampak kepada biaya investasi yang tinggi untuk membangun kawasan
produktif yang strategis.
Mubyarto (1989) dalam Sembiring (2016) menyatakan ketersediaan dalam
lingkup pangan adalah tersedianya pangan dalam jumlah yang cukup, aman, dan
bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi
sendiri, impor, cadangan pangan, maupun bantuan pangan. Atau dapat diartikan
sebagai jumlah pangan yang disediakan di suatu wilayah mencakup produksi,
impor/ekspor, bibit/benih, bahan baku industri pangan dan non pangan,
penyusutan/tercecer dan yang tersedia untuk dikonsumsi.
Permentan Nomor 65 tanun 2010 dalam Siahaan (2012) menyatakan ketersediaan
pangan berfungsi menjamin impor pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh
penduduk, dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya,
Ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu produksi dalam negeri,
impor dan pengelolaan cadangan pangan. Apabila suatu negara tidak dapat
memenuhi ketersediaan pangannya dari produksi dalam negeri dan pengelolaan

Universitas Sumatera Utara

18

cadangan makanan maka untuk memenuhi kebutuhannya negara tersebut harus
mengimport dari negara lain.
Menurut Farida, dkk (2010) dalam Lestari (2013) komponen ketersediaan dan
stabilitas pangan dipengaruhi oleh sumber daya (alam, manusia, dan sosial) dan
produksi pangan (on farm dan off farm). Akses pangan menunjukkan jaminan
bahwa setiap rumah tangga dan individu mempunyai sumberdaya yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan norma gizi. Kondisi tersebut
tercermin dari kemampuan rumah tangga untuk meningkatkan pendapatan rumah
tangga dan produksi pangan. Hal ini tergantung pada harga pangan maupun
tingkat sumberdaya yang terdapat dalam keluarga, yaitu meliputi tenaga kerja
(labour) dan modal (capital). Ketersediaan tenaga kerja merupakan dimensi fisik
dari sumber daya yang diperlukan untuk proses produksi.
Dalam UU No.8 (2012) dalam Sembiring (2016) ketersediaan pangan adalah
kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan
nasional serta import apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi
kebutuhan.
2.2.2. Konsumsi Pangan
Menurut Partadireja (1990) dalam Ambarwati (2014) konsumsi dapat diartikan
sebagai bagian pendapatan rumah tangga yang digunakan untuk membiayai
pembelian aneka jasa dan kebutuhan lain. Besarnya konsumsi selalu berubah-ubah
sesuai dengan naik turunnya pendapatan, apabila pendapatan meningkat maka
konsumsi akan meningkat. Sebaliknya, apabila pendapatan turun maka konsumsi
akan turun.

Universitas Sumatera Utara

19

Teori konsumsi keynes menyatakan bahwa pengeluaran seseorang untuk
konsumsi dan tabungan dipengaruhi oleh pendapatannya. Semakin besar
pendapatan seseorang maka akan semakin banyak tingkat konsumsinya pula, dan
tingkat tabungannya pun akan semakin bertambah. Dan sebaliknya apabila tingkat
pendapatan seseorang semakin kecil, maka seluruh pendapatannya disunakan
untuk konsumsi sehingga tingkat tabungannya nol (Wijaya, 2013).
Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi yaitu:
1. Pendapatan
Semakin besar pendapatan maka jumlah konsumsi cenderung semakin besar.
Rumus antara pendapatan dan konsumsi.
C = a + bY
Keterangan:
a

= konsumsi rumah tangga ketika pendapatan nasional adalah 0

b

= kecondongan konsumsi marginal,

C

= tingkat konsumsi

Y

= tingkat pendapatan nasional.

Sedangkan kecenderungan menambahkan konsumsi yang dikarenakan adanya
tambahan pendapatan (MPC = Marginal Propencity to Consume) dapat
dirumuskan:
Keterangan:
∆C

= Perubahan jumlah konsumsi

∆Y

= Perubahan pendapatan

Dan kecenderungan menambah tabungan dikarenakan adanya tambahan
pendapatan (Marginal Propencity to Save) dirumuskan:

Universitas Sumatera Utara

20

Keterangan:
∆S

= Perubahan tabungan

∆T

= Perubahan pendapatan

Antara MPC dan MPS diperoleh hubungan sebagai berikut “Semakin besar
pendapatan, semakin kecil bagian pendapatan itu digunakan untuk mengonsumsi
barang pokok dan semakin meningkat bagian pengeluaran untuk konsumsi barang
mental”. Pernyataan ini dikenal dengan istilah Engel’s Low.
2. Harga Barang dan Jasa
Secara normal jika harga naik, maka permintaan terhadap barang tersebut akan
turun dan jika harga barang turun makan permintaan barang tersbeut akan naik,
kecuali barang tersebut merupakan barang kebutuhan pokok.
3. Kebiasaan Konsumen
Perilaku konsumtif seseorang yang mempunyai kebiasaan belanja secara
berlebihan yang belum tentu diperlukannya akan meningkatkan gejala
konsumerisme di masyarakat.
4. Adat Istiadat
Pada acara tertentu yang merupakan adat istiadat orang di suatu daerah akan
membutuhkan barang-barang tertentu yang mungkin tidak sama di tiap-tiap
daerah.
5. Barang Substitusi
Jika harga suatu barang naik, maka banyak konsumen akan beralih ke barang
subsitusi untuk memenuhi kebutuhannya.

Universitas Sumatera Utara

21

6. Selera Konsumen
Setiap konsumen mempunyai selera yang berbeda satu dengan yang lain dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga selera akan mempengaruhi tingkat
konsumsi seseorang (Wardayadi, 2012).
Penganekaragaman konsumsi pangan dilakukan dengan :
a. Mempromosikan penganekaragaman konsumsi pangan.
b. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi
aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang
c. Meningkatkan keterampilan dalam pengembangan olahan pangan lokal.
d. Mengembangkan

dan

mendiseminasikan

teknologi

tepat

guna

untuk

pengolahan pangan lokal.
Melalui gerakan konsumsi pangan Nusantara ini, diharapkan ada transformasi
budaya makanan dalam menghasilkan anak bangsa yang mengonsumsi makanan
yang beragam, bergizi, berimbang, aman dan bermartabat, sehingga pada akhirnya
tercipta masyarakat baru dari bangsa yang sejahtera, sehat, produktif, kreatif, dan
mampu melakukan inovatif (Gardjito, 2013).
Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan produksi
tidak akan dapat dilakukan kalau tidak ada bahan yang memungkinkan
dilakukannya proses produksi itu sendiri. Untuk bisa melakukan produksi, orang
memerlukan tenaga manusia, sumber-sumber alam, modal dalam segala
bentuknya, serta kecakapan. Semua unsur itu disebut faktor-faktor produksi. Jadi,
semua unsur yang menopang usaha penciptaan nilai atau usaha memperbesar nilai
barang disebut sebagai faktor-faktor produksi (Napitupulu, 2013).

Universitas Sumatera Utara

22

2.3. Hasil Penelitian Sebelumnya
Penelitian

Lisa

Lestari

(2013)

yang

berjudul

“Faktor-Faktor

yang

Mempengaruhi Ketersediaan dan Konsumsi Pangan Strategis di Sumatera
Utara” dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Ketersediaan beras di Sumatera Utara secara serempak dan parsial dipengaruhi
oleh luas panen padi, harga beras, jumlah penduduk dan konsumsi beras.
2. Ketersediaan cabai di Sumatera Utara secara serempak dan parsial dipengaruhi
oleh produksi cabai, harga cabai, dan konsumsi cabai.
3. Konsumsi beras di Sumatera Utara secara serempak dan parsial dipengaruhi
oleh jumlah penduduk, harga beras, produksi beras dan pendapatan perkapita.
4. Konsumsi cabai di Sumatera Utara secara serempak dan parsial dipengaruhi
oleh pendapatan perkapita, harga cabai, dan produksi cabai.
Penelitian Kurniawan Saleh (2015) yang berjudul “Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Konsumsi dan Ketersediaan Beras di Kota Binjai” dari hasil
penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Variasi yang terjadi pada harga beras, PDRB, dan harga ikan dapat
menjelaskan variasi konsumsi beras sebesar 85,9%, sedangkan untuk variasi
yang terjadi pada harga beras, luas areal panen, dan produktivitas dapat
menjelaskan variasi ketersediaan beras sebesar 98,6%.
2. Secara serempak variabel harga bebas, PDRB dan harga ikan memberikan
pengaruh yang sangat signifikan terhadap konsumsi beras, sedangkan harga
beras, luas areal panen dan produktivitas juga memberikan pengaruh yang
sangat signifikan terhadap ketersediaan beras.

Universitas Sumatera Utara

23

3. PDRB memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap konsumsi beras
di kota Binjai.
4. Luas areal panen dan produktivitas memiliki hubungan yang positif dan
signifikan terhadap ketersediaan beras di kota Binjai.
Penelitian Titus Egatama Sembiring (2015) yang berjudul “Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Ketersediaan dan Konsumsi Kedelai di Sumatera Utara” dari
hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Ketersediaan kedelai di Sumatera Utara secara bersama-sama dipengaruhi
nyata oleh luas panen, tenaga kerja, pendapatan, dan nilai tukar.
2. Ketersediaan kedelai di Sumatera Utara secara parsial dipengaruhi nyata oleh
luas panen kedelai dan pendapatan.
3. Ketersediaan kedelai di Sumatera Utara secara parsial tidak dipengaruhi nyata
oleh tenaga kerja dan nilai tukar.
4. Konsumsi kedelai di Sumatera Utara secara bersama-sama dipengaruhi nyata
oleh harga kedelai import, jumlah penduduk, jumlah industri tahu/tempe,
pendapatan dan nilai tukar.
5. Konsumsi kedelai di Sumatera Utara secara parsial tidak dipengaruhi nyata
oleh harga kedelai import, jumlah penduduk, jumlah industri tahu/tempe,
pendapatan dan nilai tukar.
6. Rasio perbandingan ketersediaan dan konsumsi kedelai di Sumatera Utara
mengalami fluktuasi di tahun 1998-2013. Rasio dengan nilai terkecil diperoleh
pada nilai 0,25 (2002) dan terbesar diperoleh pada nilai 1,96 (2011).

Universitas Sumatera Utara

24

2.4. Kerangka Pemikiran
Ketersediaan makanan berpati (ubi kayu dan ubi jalar) tergantung pada tingkat
produksi karena produksi merupakan bagian dari ketersediaan adapun faktor lain
dari ketersediaan yaitu cukup lahan untuk menanam tanaman, penduduk untuk
tersedianya tenaga kerja, uang untuk modal pertanian, tenaga ahli untuk
membantu meningkatkan baik produksi maupun distribusi pangan yang merata.
Ketersediaan ubi kayu diantaranya dapat dipengaruhi oleh luas panen ubi kayu,
harga ubi kayu, jumlah penduduk, dan konsumsi dari ubi kayu. Sedangkan untuk
ketersediaan ubi jalar diantaranya dapat dipengaruhi oleh luas panen ubi jalar,
harga ubi jalar, jumlah penduduk dan konsumsi ubi jalar.
Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang
dengan tujuan tertentu dan kebutuhan tertentu. Adapun faktor-faktor lain
konsumsi ubi kayu dapat dipengaruhi oleh harga ubi kayu, harga tepung, produksi
ubi kayu, dan pendapatan perkapita. Sedangkan konsumsi ubi jalar diantaranya
dapat dipengaruhi oleh harga ubi jalar, harga tepung, produksi ubi jalar dan
pendapatan perkapita.
Ketahanan pangan sangat penting dan merupakan bagian terpenting dalam
pemenuhan hak atas pangan dan merupakan pilar hak asasi manusia. Ketahanan
pangan adalah bagian yang sangat penting dari berbagai lapis kehidupan
masyarakat. Secara nasional ketahanan pangan sangat tergantung terhadap
pertumbuhan gizi dalam kehidupan masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

25

Secara sistematis, kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut:
Faktor Ketersediaan Ubi
Kayu:
- Luas Panen Ubi Kayu
- Harga Ubi kayu
- Jumlah Penduduk
- Konsumsi Ubi Kayu

Faktor Konsumsi ubi
kayu:
- Harga Ubi Kayu
- Harga Tepung
- Produksi Ubi Kayu
- Pendapatan Perkapita

Ketersediaan
Makanan
Berpati

Konsumsi
Makanan
Berpati

Faktor Ketersediaan Ubi
Jalar:
- Luas Panen Ubi Jalar
- Harga Ubi Jalar
- Jumlah Penduduk
- Konsumsi Ubi Jalar

Faktor Konsumsi ubi
jalar:
- Harga Ubi Jalar
- Harga Tepung
- Produksi Ubi Jalar
- Pendapatan Perkapita

Keterangan :
= Menyatakan pengaruh

= Menyatakan Hubungan
Gambar 2.1. Skema
Kerangka
Pemikiran
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi Ketersediaan dan Konsumsi Makanan Berpati
(Ubi Kayu dan Ubi Jalar) di Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

26

2.5. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah, tinjauan pustaka, dan kerangka pemikiran maka
hipotesis dalam penelitian dapat diketahui sebagai berikut:
1. Ketersediaan ubi kayu di Sumatera Utara secara serempak dan parsial
dipengaruhi oleh luas panen ubi kayu, harga ubi kayu, jumlah penduduk, dan
konsumsi ubi kayu.
2. Ketersediaan ubi jalar di Sumatera Utara secara serempak dan parsial
dipengaruhi oleh luas panen ubi jalar, harga ubi jalar, jumlah penduduk, dan
konsumsi ubi jalar.
3. Konsumsi ubi kayu di Sumatera Utara secara serempak dan parsial dipengaruhi
oleh harga ubi kayu, harga tepung, produksi ubi kayu dan pendapatan.
4. Konsumsi ubi jalar di Sumatera Utara secara serempak dan parsial dipengaruhi
harga ubi jalar, harga tepung, produksi ubi jalar dan pendapatan.

Universitas Sumatera Utara