Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering
BAB II FORMULASI SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDRY) D. Tindak pidana dan unsur-unsurnya Di dalam pasal-pasal KUHP maupun Undang-Undang di luar KUHP tidak
ditemukan satu pun pengertian mengenai tindak pidana, padahal pengertian tindak pidana itu sangat penting untuk dipahami agar dapat diketahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana tersebut merupakan indicator atau tolok ukur dalam memutuskan apakah perbuatan seseorang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana atau tidak. Apabila perbuatan seseorang telah memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana, tentu ia dapat dipidana. Demikian pula sebaliknya, jika unsur itu tidak dipenuhi, orang tersebut tidak akan dipidana. Karena tidak terdapat di dalam perundang-undangan, para ahli hokum mencoba memberikan pengertian dan unsur-unsur dari perbuatan pidana tersebut. berikut akan diuraikan pendapat beberapa ahli hukum tersebut.
Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. larangan ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian itu.
Simons mengartikan perbuatan pidana (delik) sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat
dihukum.
Dari definisi Simons tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur perbuatan pidana terdiri dari (1) perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat); (2) diancam dengan pidana; (3) melawan hukum; (4) dilakukan dengan kesalahan; dan (5) oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
Van Hamel menguraikan perbuatan pidana sebagai perbuatan manusia yang dirumuskan oleh undang-undang, melawan hukum (patut atau bernilai untuk
dipidana) dan dapat dicela karena kesalahan. Dari definisi tersebut dapat dilihat unsur-unsurnya, yaitu (1) perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang- undang; (2) melawan hukum; (3) dilakukan dengan kesalahan; dan (4) patut dipidana.
Selanjutnya Vos memberikan definisi singkat mengenai perbuatan pidana yang disebutkan straafbaarfeit, yaitu kelakuan atau tingkah laku manusia yang
31 Moljatno, Asas-asa Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta: Bina Aksara, 1984, hal.
54. 32 Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Deik), C etakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 1991, hal. 4. 33 Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan kedua (Semarang Yayasan Sudarto d/s Fakultas Hukum Universitas Diponegoro), 1990, hal. 41. oleh peraturan perundangundangan diberikan pidana. Jadi, unsur-unsurnya adalah
(1) kelakuan manusia; dan (2) diancam pidana dalam undang-undang.
Sementara itu Pompe memberikan dua macam definisi terhadap perbuatan pidana, yaitu yang bersifat teoretis dan yang bersifat perundang-undangan.
Menurut Pompe, dari segi definisi teoretis, perbuatan pidana ialah pelanggaran normal/ kaidah/ tata hukum, yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberikan pidana itu dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Selanjutnya, menurut hokum positif, perbuatan pidana ialah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan dan pengabaian atau tidak berbuat. Tidak berbuat biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan yang merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan
keadaan yang ikut serta itulah yang disebut uraian delik.
Berdasarkan beberapa rumusan tentang pengertian perbuatan pidana tersebut di atas, menurut hemat penulis, tepat apa yang disimpulkan oleh Moljatno mengenai unsur atau elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana. Unsur
atau elemen tersebut adalah sebagai berikut.
(a) Kelakuan dan akibat (perbuatan). (b) Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan. (c) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. (d) Unsur melawan hukum yang objektif. (e) Unsur melawan hukum yang subjektif. 34 A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hal. 225. 35 36 Ibid, hal. 226.
Lihat Moeljatno, Op. Cit., hal. 63. Lima unsur atau elemen tersebut di atas pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam dua unsur pokok, yaitu unsur pokok objektif dan unsur pokok subjektif.
a.
Unsur Pokok Objektif 1.
Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif adalah sebagai berikut: a)
Act ialah perbuatan aktif yang disebut juga perbuatan positif, dan
b) Ommission, ialah tidak aktif berbuat dan disebut juga perbuatan negatif.
2. Akibat perbuatan manusia Hal itu erat hubungannya dengan kausalitas. Akibat yang dimaksud adalah membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/ harta benda, atau kehormatan.
3. Keadaan-keadaan Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan atas: a.
Keadaan pada saat perbuatan dilakukan; dan b. Keadaan setelah perbuatan dilakukan.
4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hokum Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan terdakwa dari hukuman. Sifat melawan hukum bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah. b. Unsur Pokok Subjektif Asas pokok hukum pidana ialah “tak ada hukuman kalau tak ada kesalahan” (an act does not make guilty unless the mind is guilty, actus not facit
reum nisi mens sit rea ). Kesalahan dimaksud di sini adalah sengaja
(intention/dolus/opzet) dan kealpaan (negligent/schuld).1. Kesengajaan
Menurut para pakar, ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu : a. Kesengajaan sebagai maksud.
b.
Kesengajaan dengan sadar kepastian c. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).
d.
Kealpaan, adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada kesengajaan.
Ada dua bentuk kealpaan, yaitu: a. Tidak berhati-hati; dan
b.
Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu.
E. Macam-Macam Tindak Pidana
Hukum pidana dapat dibagi menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus (algemeen en byzonder strafrecht). Hukum pidana umum memuat aturan-aturan hukum pidana yang berlaku bagi setiap orang. Aturan-aturan ini misalnya terdapat dalam KUHP, Undang-undang Lalu Lintas dan sebagainya.
Hukum pidana khusus memuat aturan-aturan hukum pidana yang menyimpang 37 Leden Marpaung, Op.Cit., hal. 6-7. dari hukum pidana umum, ialah mengenai golongan-golongan tertentu atau berkenaan dengan jenis-jenis perbuatan tertentu.
1. Pidana Umum
Pengertian dari kata tindak pidana, perbuatan pidana atau peristiwa pidana adalah merupakan terjemahan dari kata “starfbaar feit” yang dibuat oleh para pembuat Undang-Undang di Indonesia. Starfbaar feit sendiri memiliki beberapa definisi seperti dikemukakan oleh :
Pompe membedakan pengertian strafbaar feit menjadi : a.
Definisi menurut teori “straf baar feit “ adalah merupakan pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan sipelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan kesejahteraan umum.
b.
Definisi menurut hukum positif, starfbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang oleh pengaturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum
38 J.E Jonkers memberikan definisi srafbaar feit adalah suatu kelakuan yang
melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
39 Starbaar feit dapat juga mempunyai arti atau makna sebagai tindak pidana,
peristiwa pidana, suatu perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana dan dapat dijatuhi hukuman.
38 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Ghalita Indonesia, 1992, hal.
91 39 J.T.C Simorangkir, Rudy T. Erwin, J.T Prasetyo, Kamus Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2000, hal. 161,
Setelah melihat arti atau definisi dari starfbaar feit, para sarjana hukum mencoba menerjemahkan dan mencari istilah yang tepat untuk digunakan dalam bahasa Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Moeljatno bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.
Ada istilah lain yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”. Istilah ini tumbuh dari pihak Kementrian Kehakiman, karena sering dipakai dalam sebuah perundang-undangan. Kata “tindak” lebih konkrit menyatakan suatu keadaan dari pada kata “perbuatan”. Kata “tindak” di sini dapat berarti kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, timdakan dan bertindak dan juga sering dipakai “ditindak”.
Dalam hal ini adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik, atau sikap
jasmani seseorang yang berkaitan dengan melawan hukum.
Wirjono Prodjodikoro, merumuskan, istilah “tindak pidana”, berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelakunya
dapat dikatakn merupakan subyek tindak pidana.
Jika melihat penjelasan dari para ahli hukum dan lembaga hukum, di Indonesia juga masih terjadi ketidak samaan persepsi dalam menterjemahkan arti kata strafbaar feit itu sendiri. Tapi karena dalam skripsi ini telah menggunakan kata “tindak pidana”. Maka mungkin di sini dapat dirumuskan bahwa “tindak 40 41 Ibid 43 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 1993, hal. 54, 44 Ibid Wiryo Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Jakarta-bandung,
1980, hal. 70 pidana” adalah suatu tindakan baik yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan atau aktif maupun pasifnya seseorang atau badan sebagai subyek hukum yang bersifat melawan hukum dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan serta telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana, kepadanya akan dikenakan sanksi atau hukuman.
2. Pidana Khusus
Pertama kali dikenal istilah Hukum Pidana Khusus, sekarang diganti dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus. Timbul pertanyaan apakah ada perbedaan dari kedua istilah ini. Seacara prinsipil tidak ada perbedaan antara kedua istilah ini. Oleh karena yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah UU
45 Pidana yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai
penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materil maupun dari segi Hukum Pidana Formal. Kalau tidak ada penyimpangan tidaklah disebut hukum Pidana Khusus atau Hukum Tindak Pidana Khusus.
Hukum tindak pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu. Oleh karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan berlaku kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu. Hukum Tindak pidana khusus ini diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU pidana merupakan indikator apakah UU pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU 45 Yang dimaksud UU Pidana adalah UU yang memuat atau mengatur perumusan tindak
pidana, dan berlakunya ketentuann hukum pidana. Khusus untukm hukum tindak pidana khusus diharuskan adanya indicator penyimpangan terhadap hukum pidana materil dan juga formal.
Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU pidana tersendiri. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Pompe yang mengatakan :“ Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi tersendiri”
UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan ketentuan Hukum Administrasi Negara terutama mengenai penya-lahgunaan kewenangan. Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan ini terdapat dalam perumusan tindak pidana korupsi.
UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU No 7 Drt 1955 (Hukum Pidana Ekonomi), UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahn 2002 dan UU No 1 /Perpu/2002 dan UU No 2/Perpu/2002. Hk. Tp. Khusus Mengatur Perbuatan tertentu ; Untuk orang/golongan tertentu Hk Tindak Pidana Khusus Menyimpang dari Hukum Pidana Matriil dan Hukum Pidana Formal. Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum.
Dasar Hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :
1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain.
2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).
F. Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundry)
Istilah pencucian uang atau money laundering telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat, yaitu ketika Al Capone, penjahat terbesar di Amerika masa lalu, mencuci uang hitam dari usaha kejahatannya dengan memakai Meyer Lansky, orang Polansia, yaitu seorang akuntan, mencuci uang kejahatan Al
Capone melalui usaha binatu (laundry). Al Capone membeli perusahaan yang
sah dan resmi, yaitu perusahaan pencucian pakaian atau disebut laundromat yang ketika itu terkenal di Amerika Serikat sebagai salah satu strateginya, yang kemudian usaha pencucian pakaian ini berkembang maju, dan berbagai perolehan uang hasil kejahatan seperti dari cabang usaha lainnya ditanamkan ke perusahaan pencucian pakaian ini, seperti uang hasil minuman keras ilegal, hasil perjudian
dan hasil usaha pelacuran.
Menurut Sarah N. Welling, money laundering dimulai dengan adanya “uang haram” atau “uang kotor” (dirty money). Uang dapat menjadi kotor dengan dua cara, pertama, melalui pengelakan pajak (tax evasion), yang dimaksud dengan “pengelakan pajak” ialah memperoleh uang secara legal, tetapi jumlah yang dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit daripada yang sebenarnya diperoleh, kedua, memperoleh uang melalui
cara-cara yang melanggar hukum. Teknik-teknik yang biasa dilakukan untuk hal itu, antara lain penjualan obat-obatan terlarang atau perdagangan narkoba secara gelap (drag sales atau drag trafficking), penyuapan (bribery), terorisme 46 Adrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang Merger, Likuidasi
dan Kepailitan , Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal 17 47 48 Ibid Ibid. hal 22
(terrorism), pelacuran (prostitution), perdagangan senjata (arms trafficking),
penyelundupan minuman keras, tembakau, dan pornografi (smuggling of contraband alcohol, tobacco, pornography), penyelundupan imigran gelap (illegal immigration rackets atau people smuggling), dan kejahatan kerah putih (white
collar crime) .
Tindak pidana pencucian uang (money laundering) secara populer dapat dijelaskan sebagai aktivitas memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari tindak pidana yang kerap dilakukan oleh kejahatan terorganisir (organized crime) maupun individu yang melakukan
tindakan korupsi, perdagangan narkotika dan tindak pidana lainnya. Hal ini bertujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, mendefinisikan pencucian uang atau
money laundering sebagai: “Rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang berasaldari kejahatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem 49 50 Ibid Yunus Husein, “PPATK: Tugas, Wewenang, dan Peranannya Dalam Memberantas
Tindak Pidana Pencucuian Uang” , Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 Nomor 3, 2003, hal. 26. 51 52 Ibid Sutan Remy Sjahdeini, Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007, hal. 5. keuangan (finacial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.” Harkristuti Harkrisnowo, sebagai salah satu ahli hukum pidana, memandang pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berupaya menyembunyikan asal-usul uang sehingga dapat digunakan sebagai uang yang
diperoleh secara legal. Tindak pidana pencucian uang merupakan suatu kejahatan kerah putih (white collar crime) di bidang perbankan, bahwa kejahatan ini dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pendidikan dan tingkat sosial serta perekonomian yang tinggi. Dalam ketentuan mengenai pencucian uang antara hasil tindak pidana (proceed of crime) dengan tindak pidana asal (predicate
crimes) dijadikan satu ketentuan karena memang terkait sangan erat.
Dalam Undang-Undang TPPU, disebutkan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tersebut. Dalam pengertian ini, unsur-unsur yang dimaksud adalah unsur pelaku, unsur perbuatan melawan hukum serta unsur
merupakan hasil tindak pidana.
Sedangkan pengertian tindak pidana pencucian uang dapat dilihat dalam ketentuan Pasal (3), (4), dan (5) Undang-Undang TPPU. Intinya adalah bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh seseorang dan/atau korporasi dengan sengaja menempatkan, 53 Anang, “Money Laundering (Politik Cuci Uang)”, http://meynyeng.wordpress.com/2013/09/26/money-laundering-politik-cuci-uang/. 54 Ni Komang Wiska Ati Sukariyani, “Tinjauan Umum Mengenai Pencucian Uang”, http://www.scribd.com/doc/75635799/Tinjauan-Umum-Mengenai-Pencucian-Uang. 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 1 angka (1).
mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan itu, termasuk juga
yang menerima dan mengusainya.
Secara etimologis, pencucian uang berasal dari bahasa Inggris yaitu money “uang” dan laundering “pencucian”, jadi, secara harfiah money laundering merupakan pencucian uang atau pemutihan uang hasil kejahatan, yang sebenarnya
tidak ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai money laundering, karena baik negara-negara maju dan negara-negara dunia ketiga masing-masing mempunyai definisi sendiri-sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda, namun para ahli hukum di Indonesia telah sepakat mengartikan money
laundering dengan pencucian uang.
Tindak Pidana Pencucian Uang ( money laundering) secara populer dapat dijelaskan sebagai aktivitas memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari tindak pidana yang kerap dilakukan oleh
organized crime maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan
narkotik dan tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut 56 Supriadi, “Tindak Pidana Pencucian Uang”, 57 http://www.negarahukum.com/hukum/1562.html.
Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 153. 58 Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 19.
sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi
bahwa uang tersebut berasal dari kegiatan illegal. Adapun latar belakang para pelaku pencucuian uang melakukan aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of
crime , memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati
hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada pelakukanya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan tersebut untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam
kegiatan usaha yang sah. Sementara itu, Black’s Law Dictionary memberikan batasan tentang pencucian uang sebagai :"Term used to describe investment or
other transfer of money flowing from racketeering, drug transaction, and other
illegal sources into legitimate channels so that its original source cannot be
traced ”.Kegiatan money laundering dalam sistem keuangan pada umumnya dan sistem perbankan pada khususnya memiliki risiko yang sangat besar. Risiko tersebut antara lain risiko operasional, risiko hukum, risiko terkonsentrasinya transaksi, dan risiko reputasi. Bagi perbankan Indonesia tindakan pencucian uang merupakan suatu hal yang sangat rawan karena pertama, peranan sektor 59 Yunus Husein, “PPATK: Tugas, Wewenang, dan Peranannya Dalam Memberantas Tindak Pidana Pencucuian Uang”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 No.3, 2003, hal.26. 60 Rick McDonnel, “Regional Implementation, Regional Conference on Combating Money Laundering and Terrorist Financing, Denpasar, 17 Desember 2002. 61 Lihat juga batasan yang digunakan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa, the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances
of 1988 yang mengartikan money laundering sebagai :“The convention or transfer of property, knowing that such property is derived from any serious (indictable) offence or offences, or from act of participation in such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the
illicit of the property or of assisting any person who is involved in the commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of property, knowing that such property is derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such an offence or offences.” perbankan dalam sistem keuangan di Indonesia diperkirakan mencapai 93%. Oleh sebab itu sistem perbankan menjadi perhatian utama dalam pelaksanaan rezim anti
money laundering . Kedua, tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus
globalisasi di sektor perbankan membuat industri perbankan menjadi lahan yang empuk bagi tindak kejahatan pencucian uang dan merupakan sarana yang paling efektif untuk melakukan kegiatan money laundering. Pelaku kejahatan dapat memanfaatkan bank untuk kegiatan pencucian uang karena jasa dan produk perbankan memungkinkan terjadinya lalu lintas atau perpindahan dana dari satu bank ke bank atau lembaga keuangan lainnya, sehingga asal usul uang tersebut sulit dilacak oleh penegak hukum.
Keterlibatan perbankan dalam kegiatan pencucian uang dapat berupa: a. Penyimpanan uang hasil kejahatan dengan nama palsu atau dalam safe
deposit box ; b.
Penyimpanan uang dalam bentuk deposito/tabungan/ giro; c. Penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal; d. Pengajuan permohonan kredit dengan jaminan uang yang disimpan pada bank yang bersangkutan; e.
Penggunaan fasilitas transfer atau EFT; f. Pemalsuan dokumen-dokumen L/C yang bekerjasama dengan oknum pejabat bank terkait; dan g. pendirian/pemanfaatan bank gelap.
Hal tersebut dapat terjadi mengingat adanya kemudahan dalam proses pengelolaan hasil kejahatan pada berbagai kegiatan usaha bank. Disamping itu, karena organisasi kejahatan membutuhkan pengelolaan cash flow keuangan dengan cara menempatkan dananya dalam kegiatan usaha perbankan maka penggunaan bank merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dalam upaya mengaburkan asal-usul sumber dana. Hal tersebut menunjukkan eratnya
keterkaitan antara organisasi kejahatan dan lembaga keuangan terutama bank.
Disamping itu, dengan berlakunya sistem Real Time Gross Settlement (RTGS), maka dalam hitungan detik pelaku kejahatan dapat dengan mudah memindahkan dana hasil kejahatan yang dilakukan. Penggunaan media pembayaran yang bersifat elektronik (electronic funds transfer) akan lebih menyulitkan pelacakan ditambah pula apabila dana tersebut masuk ke dalam sistem perbankan di negara yang ketat dalam menerapkan ketentuan rahasia bank.
Secara sederhana terdapat tiga tahap dalam proses pencucian yaitu
placement, layering dan integration. Placement merupakan upaya menempatkan
atau memasukkan dana atau instrument keuangan lainnya yang dihasilkan dari suatu aktifitas kejahatan pada system keuangan yaitu bank atau lembaga keuangan lainnya. Dalam hal ini terdapat pergerakan phisik dari uang tunai atau surat berharga, misalnya melalui penyeludupan uang tunai atau instrumen keuangan dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan memecah uang tunai atau instrumen keuangan dalam jumlah besar menjadi jumlah kecil ataupun didepositokan di bank atau dibelikan surat berharga 62 Guy Stessens, Money Laundering : A New International Law Enforcement Model,
Cambridge University Press, First Published 2000, hal.9 63 Jane E. Hughes dan Scott B. MacDonald, International Banking Text and Cases, Boston: Addison Wesley, 2002, hal 317.
seperti misalnya saham-saham atau juga mengkonversikan kedalam mata uang lainnya atau ditukarkan kedalam valuta asing. Inilah tahap yang apaling rawan dari proses pencucian uang, karena proses inilah yang paling mudah dideteksi.
Dalam rangka mencegah industri jasa keuangan dipakai oleh para pelaku tindak pidana untuk mencuci uangnya dan untuk mendeteksi proses placement diciptakanlah Cash Transaction Report atau CTR (laporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai). Kadangkala placement ini dapat dideteksi juga dengan menggunakan Laporan Transaksi Yang Mencurigakan (Suspicious
Transaction Report atau STR). Kedua laporan ini diatur dalam Pasal 13 UU NO.
15 Tahun 2002.. Laporan transaksi tunai yang diatur undang-undang adalah untuk transaksi tunai yang berjumlah kumulatif sebesar lima ratus juta atau lebih suatu jumlah yang dianggap oleh sementara orang sebagai jumlah yang terlalu besar.
Proses placement ini dideteksi juga dengan adanya kewajiban orang yang membawa uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia sejumlah seratus juta ruliah atau lebih untukmelaporkan kepada Direktorat Jenderal Bea Cukai. Kemudian Direktorat Jenderal Bea Cukai melaporkannya kepada PPATK (Pasal 16 UU No. 15 Tahun 2002). Layering, diartikan sebagai memindah-mindahkan hasil kejahatan dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan maksud agar sumber dan pemiliknya dapat dikaburkan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil
placement ketempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang
didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram” tersebut.Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin rekening- rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank, terutama di negara-negara yang tidak kooperatif dalam upaya memerangi kegiatan pencucian uang.
Proses “layering” ini dideteksi dengan adanya laporan transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transaction report atau STR) seperti diatur dalam Pasal 13. Laporan STR ini mengingat memerlukan judgement dari bank sudah tentu lebih berbobot dibandingkan CTR. Sementara itu yang dimaksud dengan tarnsaksi keuangan yang mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik nasabah serta kebiasan nasabah termasuk transaksi yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh penyedia jasa keuangan.(Pasal 1 angka 6). Integration, yaitu suatu proses dimana uang hasil kejahatan yang telah dicuci di investasikan kembali pada suatu bisnis yang legal sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum. Proses integration ini dideteksi dengan CTR atau STR.
Dalam ketiga tahap proses pencucian uang tersebut, laporan yang disampaikan oleh penyedian jasa keuangan sangat penting untuk digunakan sebagai upaya melakukan deteksi. Itu pulalah sebabnya mengapa penyedia jasa keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK dipidana dengan denda paling banyak dua ratus lima puluh juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah. Denda pidana ini sudah tentu diputuskan melalui proses pengadilan. (Pasal 8) Selain itu, apabila tindakpidana pencucian uang dilakukan oleh korporasi, misalnya penyedia jasa keuangan, maka terhadap korporasi tersebut dapat dijatuhkan pidana denda dengan ketentuan maksimumpidana ditambah satu pertiga. Korporasi tersebut dapat juga dikenakan hukuman tambahan berupa pemcabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti denganlikuidasi. (Pasal 5) Untuk bank, sanksi seperti ini merupakan suatu hal yang sangat berat, karena bank begitu banyak memiliki kreditur, debitur dan pegawai serta mengingat begitu pentingnya peranan perbankan dalam perekonomian. Tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor perbankan membuat industri ini menjadi lahan yang empuk bagi tindak kejahatan pencucian uang . Pelaku kejahatan dapat memanfaatkan bank untuk kegiatan pencucian uang karena jasa dan produk perbankan memungkinkan terjadinya lalu lintas atau perpindahan dana dari satu bank ke bank atau lembaga keuangan lainnya sehingga asal usul uang tersebut sulit dilacak oleh penegak hukum. Bahkan melalui sistem perbankan pelaku dalam waktu yang sangat cepat dapat memindahkan dana hasil kejahatan melampaui batas yurisdiksi negara, sehingga pelacakannya akan bertambah sulit apalagi kalau dana tersebut masuk ke dalam sistem perbankan yang negaranya menerapkan ketentuan rahasia bank yang sangat ketat.