Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa,yang dalam dirinya juga melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Bahwa anak merupakan tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, sehingga perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan peraturan khusus yang mengenai masalah anak. Tujuan dari perlindungan anak sendiri disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 pada Pasal 3 bahwa : “perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,berakhlak mulia, dan sejahtera.” Penyimpangan tingkah laku atau perilaku anak yang diluar kewajaran serta perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak disebabkan oleh berbagai faktor antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagai orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan dan bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap perilaku penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh akan mudah terseret 1 dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya. 1 Atas pengaruh dari keadaan sekitarnya maka tidak jarang anak ikut melakukan tindak pidana. Hal itu dapat disebabkan oleh bujukan, spontanitas atau sekedar ikut-ikutan. Meskipun demikan tetap saja hal itu merupakan tindakan pidana. Namun demi pertumbuhan dan perkembangan mental anak, perlu diperhatikan pembedaan perlakuan di dalam hukum acara dan ancaman pidana. Menurut Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP bahwa anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 tahun. Apabila anak terlibat dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan agar tersangka di bawah umur tersebut dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, dan pemeliharaanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman atau memerintahkan supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman. 2 Hakim merupakan salah satu aparat penegak hukum di Negara Republik Indonesia. Sebagai aparat penegak hukum, hakim mempunyai kedudukan yang sangat terhormat dan sangat menentukan terhadap suatu perkara, karena hakimlah yang menerima, memeriksa, dan memutus perkara. Pasal 1 butir 8 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 KUHAP, menyebutkan bahwa : ’Hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili.” Mengadili dapat diartikan sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan menurut tata cara yang diatur oleh Undang-Undang. 3 Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang ada. Pembuktian disini akan menjadi bahan penilaian mengenai benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan oleh Jaksa, sebab jika terjadi kekeliruan maka akan melanggar hak asasi manusia. Alat bukti merupakan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya 1 Gatot Sumpramono, 2000, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, hal.158 2 Ibid,hal.160 3 Hari Sasangka dan Lily Rosita, 1996, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Sinar Wijaya, Surabaya, hal.14 suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Dalam pengambilan keputusan, untuk memutus suatu perkara hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Pertanggungjawaban ini berdimensi vertikal dan horisontal. Secara vertikal, hakim dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara horisontal berarti pertanggungjawaban itu ditujukan kepada sesama manusia, baik itu kepada peradilan yang lebih tinggi ataupun kepada masyarakat. Hakim harus benar-benar mempertimbangkan semua fakta hukum dalam proses pembuktian di persidangan dengan menggunakan alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 1 KUHAP antara lain keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Pasal 183 KUHAP memberikan ketentuan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Salah satu alat bukti dalam KUHAP adalah keterangan saksi yang menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP menyebutkan bahwa saksi adalah seseorang yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri tentang suatu tindak pidana, sehingga keterlibatan seorang saksi mutlak diperlukan dalam keseluruhan tingkatan pemeriksaan perkara pidana termasuk pemeriksaan di pengadilan. Setiap orang wajib berperan sebagai seorang saksi, yaitu apabila seseorang melihat sendiri, mendengar sendiri, dan mengalami sendiri tentang terjadinya tindak pidana. Seseorang yang akan bersaksi diminta untuk bersumpah terlebih dahulu agar keterangannya dianggap sah, dalam hal ini kesaksiannya masih tidak dapat dijamin kebenarannya, mengingat adanya kesaksian-kesaksian yang berlawanan ataupun tidak ada persesuaian antara saksi satu dengan saksi yang lainnya dalam suatu perkara persidangan yang sama. 4 Di dalam KUHP Pasal 242 telah diatur mengenai sumpah palsu dan keterangan palsu, diancam dengan pidana penjara dan juga pidana pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 KUHP. Persoalan kesaksian 4 Ibid, hal.16 ini sudah semestinya diperhatikan oleh hakim yang akan memutus perkara agar tidak terjadi kekeliruan dalam mengambil keputusan yang diakibatkan oleh hal- hal seperti ini. Alat-alat bukti seperti kesaksian, menjadi kabur dan sangat relatif. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Terdakwa melalui pembuktian akan ditentukan nasibnya bersalah atau tidak melakukan tindak pidana. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa, Terdakwa dibebaskan dari hukuman. Apabila kesalahan Terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, Terdakwa dinyatakan bersalah dan akan dijatuhi hukuman. Oleh karena itu, Hakim harus cermat, hati- hati dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai-nilai pembuktian. 5 Terkait dari permasalahan di atas, penulis tertarik membahas sebuah kasus tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh seorang anak dalam putusan Nomor. 643Pid.BA2012PN.Bwi, dengan kasus posisi : Bermula pada hari Senin tanggal 14 Nopember 2011 sekitar pukul 20.30 Wib di Dusun Krajan Desa Wongsorejo Kec.Wongsorejo Kab.Banyuwangi tepatnya di depan rumah saksi korban Saimah telah terjadi pertengkaran mulut antara Siyati ibu saksi korban dan Tohiyah. Setelah itu Terdakwa menghampiri suara tersebut, melihat Siyati dan Tohiyah sudah tarik-menarik rambut, lalu keduanya sama-sama terjatuh ke paving dengan posisi Siyati berada di bawah sedangkan Tohiyah berada di atas tubuh Siyati. Kemudian Terdakwa hendak melerai pertengkaran antara Siyati dan Tohiyah, akan tetapi Terdakwa dipukul menggunakan sapu oleh Siyati. Mendengar suara orang bertengkar, saksi korban Saimah keluar dari dalam rumah dan ketika sampai di pintu rumah saksi korban melihat pertengkaran antara Siyati, Tohiyah, dan Terdakwa. Setelah itu Saksi korban hendak melerai pertengkaran tersebut dengan menarik baju Terdakwa, akan tetapi Terdakwa berbalik kearah saksi korban lalu memuntir tangan kanan saksi korban selanjutnya memukul dengan menggunakan tangan kanan mengepal sehingga mengenai dahi sebelah kiri saksi korban sehingga saksi korban 5 R.Atang Ranoemihardja, 1976, Hukum Acara Pidana, Tarsito, Bandung, hal.185 mengalami pusing dan langsung terduduk ketanah. Perbuatan Terdakwa tersebut mengakibatkan saksi korban mengalami luka lebam pada bagian dahi sebelah kiri saksi korban, hal ini berdasarkan Visum et Repertum No: 37118429.114.022011 tertanggal 14 Nopember 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Titik Istirahayu. Berdasarkan kasus posisi diatas, Penuntut Umum mendakwa Terdakwa dengan dakwaan tunggal. Terdakwa didakwa melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 ayat 1 KUHP. Penuntut Umum menuntut agar Terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat 1 KUHP dan memohon agar Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa selama 8 delapan bulan. Terhadap dakwaan dan tuntutan dari Penuntut Umum, berdasarkan pertimbangannya Hakim dalam perkara tersebut menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat 1 KUHP dan membebaskan terdakwa dari dakwaan jaksa penuntut umum. Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka penulis merasa perlu untuk membahas lebih lanjut dalam sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul “ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK Putusan Nomor:643Pid.BA2012PN.Bwi”.

1.2 Rumusan Masalah